Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep anak prasekolah

1. Pengertian anak prasekolah

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 5 tahun

yang pada masa ini anak memiliki kemampuan mengontrol diri,

berinteraksi dengan orang lain dan sebagai modal awal menuju tahap

perkembangan selanjutnya yakni usia sekolah (Anggika, 2016, Norma

2014, Farida, 2017).

Jadi anak usia prasekolah merupakan anak yang berusia 3 sampai 5

tahun yang dimana anak memiliki kemampuan untuk mengontrol

dirinya, mampu berinteraksi dengan orang lain serta mampu

bersosialisasi dengan orang lain.

2. Ciri-ciri anak prasekolah

Menurut Muscari 2005 dalam (Ayu, 2018) mengemukakan ciri-ciri

anak prasekolah meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.

a. Ciri fisik

Penampilan atau gerak-gerik anak prasekolah mudah dibedakan

dengan anak pada tahapan sebelumnya. anak usia prasekolah

umumnya sangat aktif, memiliki penguasaan (kontrol) terhadap

tubuhnya serta menyukai kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan

9
10

sendiri. Menurut Muscari 2005 dalam (Ayu, 20) mengatakan bahwa

ciri fisik anak usia prasekolah ialah memilki tinggi badan

bertambah rata-rata 6,25-7,5 cm pertahun. Sedangkan berat badan

anak usia prasekolah bertambah rata-rata 2,3 kg pertahun.

b. Ciri sosial

Anak prasekolah biasanya mudah bersosialisasi dengan orang

disekitarnya. Pada tahap ini umumnya anak memiliki satu atau dua

sahabaat yang cepat berganti. Pada umumnya mereka dapat

menyesuaikan diri secara sosial serta mau bermain dengan

temannya. Taman yang biasanya dipilih yang jenis kelaminnya

sama, akan tetapi berkembang menjadi teman yang terdiri dari jenis

kelamin yang berbeda. Pada usia prasekolah anak memiliki

ketertarikan selain dengan orang tuanya, yakni kakek-nenek,

saudara kandung, serta guru sekolah. Selain itu pada tahap ini anak

memerlukan interaksi yang teratur untuk membantu keterampilan

sosialnya.

c. Ciri emosional

Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya secara

bebas dan terbuka, sikap marah, iri hati pada anak usia prasekolah

sering terjadi bahkan mereka sering kali memperebutkan perhatian

dan orang disekitarnya.


11

d. Ciri kognitif

Pada tahap ini anak biasanya sudah terampil berbahasa dan

sebagian dari mereka senang berbicara khususnya pada

kelompoknya. Baiknya anak diberi kesempatan untuk menjadi

pendengar yang baik. Pada usia prasekolah anak sudah dapat

menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang lain dan anak

mamppu menampilakan kemampuan yang egosentrik. Selain itu

anak usia prasekolah mampu membuat klasifikasi, menjumlahkan

serta menghubungankan objek-objek. Anak mulai menunjukan

proses berfikir intuitif yakni anak menyadari sesuatu adalah benar

akan tetapi tidak mampu mengatakan alasannya. Paada usia ini anak

banyak menggunakan kata yang sesuai namun kurang memahami

makna sebenarnya dan anak tidak mampu melihat sudut pandang

orang lain.

3. Perkembangan anak usia prasekolah

a. Perkembangan fisik

Pada masa prasekolah pertumbuhan fisik anak khususnya berat

badan mengalami kenaikan rata-rata pertahunnya 2 kg, kelihatan

kurus akan tetapi aktivitas motoric tinggi dimana sistem tubuh

sudah mencapai kematangan seperti berjalan, melompat dan lain-

lain. Pada pertumbuhan tinggi badan anak akan bertambah rata-rata

6,75-7,5 cm pertahunnya.
12

b. Perkembangan motorik

Perkembangan motorik meliputi perkembangan motoric kasar dan

halus. Motorik halus merupakan pengorganisasian penggunaan otot-

otot seperti jari jemari dan tangan sering menumbuhkan kecermatan

dan koordinasi, keterampilan yang mencakup penggunaan alat-alat

untuk menggunakan suatu objek. Motoric kasar merupakan gerakan

fisik yang membutuhkan keseimbangan serta koordinasi antara

anggota tubuh dengan menggunakan otot-otot besar sebagian atau

seluruh anggota tubuh menurut Nursalam 2008 dalam (Sholikatun,

2018).

Menurut Muscari dalam (Ummah 2018 ) menungkapkan bahwa

keterampilan motorik kasar pada anak usia prasekolah sudah dapat

melompat dengan satu kaki, melompat dan berlari lebih lancar,

mengembangkan kemampuan olahraga seperti meluncur dan

berenang, dapat mengendarai sepeda roda 3, menaiki dan menuruni

tangga dengan kaki bergantian, berdiri dengan satu kaki beberapa

menit, melompat dengan satu kaki. Pada usia 4 tahun dapat

melompati tali, dan berdiri seimbang dengan satu kaki serta dengan

mata tertutup paa usia 5 tahun.

Keterampilan motorik halus dapat merekatkan sepatu, dapat

membuat jembatan dengan tiga balok, menggambar tanda silang,

mengancingkan baju sendiri, makan sendiri, dapat menggunakan


13

sendok dan garpu ketika makan, menuangkan air kedalam gelas,

mandi sendiri, menggunakan gayung saat mandi dan dapat ketoilet

sendiri.

c. Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa pada anak usia prasekolah ialah mempu

menyebutkan hingga empat gambar, empat warna, menyebutkan

kegunaan benda, menghitung, menggunakan bunyi untuk

mengidentifikasi objek, baik itu orang, ataupun aktivitas, meniru

berbagai bunyi kata, memahami arti larangan, berespon terhadap

panggilan dari orang-orang dan keluarga terdekat menurut Ali, 2005

dalam (Anggika, 2016).

Menurut muscari, 2008 dalam (Sholikatun, 2018) menyebutkan

rata-rata anak usia 3 tahun mengucapkan 900 kata, berbicara

kalimat dengan 3-4 kata dengan berbicara terus-menerus. Rata-rata

usia 4 tahun mengucapkan 1500 kata, mengatakan cerita yang

berlebihan, dan bernyanyi yang sederhana. Anak usia 5 tahun rata-

rata mengucapakan 2100 kata, mengetahui 4 warna atau lebih,

mampu menamakan hari-hari dalam satu minggu dan bulan.

d. Perkembangan adaptasi sosial

Pada perkembangan anak usia prasekolah anak dapat bermain

dengan permainan sederhana, menangis ketika dimarahi, membuat

permainan sederhana dengan gaya tubuh, menunjukan peningkatan


14

kecemasan terhadap perpisahan serta dapat mengenali anggota

keluarga menurut Ali, 2008 dalam (Anggika, 2016).

Periode penting pada tumbuh kembang anak adalaah masa balita

dimana pada massa ini pertumbuhan dasar yang akan

mempengaruhi dan menenutkan perkembangan anak selanjutnya.

Pada masa ini kemampuan perkembangan bahasa, kreatifitas,

kesadaran sosial, kesadaaran emosional dan intelagensia berjalan

sangat cepat. Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi oleh

lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya.

Perkembangan anak akan optimal apabila interaksi sosial

diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap

perkembangan menurtut Ali, 2008 dalam (Anggika, 2016).

B. Konsep kecemasan

1. Pengertian kecemasan

Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak pasti yang

berkaitan dengan penilaian terhadap sesuatu yang berbahaya.

Kecemasan merupakan perasaan khawatir atau ketakutan dan

kegelisahan terhadap suatu ancaman yang dirasakan secara subjektif

(Fatian, 2015, Destri, 2017, Erna,2019)

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa cemas

merupakan suatu perasaaan atau reaksi yang tidak pasti terhadap suatu

keaadaan yang dianggap mengancam kehidupan. Perasaan cemas dan


15

takut merupakan perasaan yang normal terjadi akan tetapi perlu

menjadi perhatian apabila perasaaan takut dan cemas berlebihan akan

memperburuk keaadaan.

2. Penyebab kecemasan

Menurut stuaart & Sunden 2006 dalam (Mariyana, 2013)

menyatakan bahwa faktor predisposisi kecemasan timbul karena

adanya perasaan takut dan tidak adanya penerimaan mengenai kondisi

yang ada, kecemasan muncul dikarenakan ketidakmampuan seseorang

dalam mencapai keinginan.

Teori yang menjelaskan terkait penyebab kecemasan meliputi,

pandangan psikoanalitik, pandangan interpersonal, pandangan prilaku,

kajian keluarga, kajian biologis menurut Stuart 2007 dalam

(Sholikatun, 2018)

a. Pandangan psikoanalitik

Teori ini menyatakan bahwa ansietas apabila konflik emosional

terjadi antara dua kepribadian, yakni id dan super ego. Id sebagai

dorongan dan impuls primitive sedagkan super ego menggambarkan

hati nurani seseorang dan kendalikan oleh norma budaya serta

fungsi dari ego ialah sebagai penengah tuntutan dari dua elemen

yang bertentangan dan ansietas sebagai peningkat ego dari adanya

bahaya (Mariyana, 2018 dan Sholikatun, 2018).


16

b. Pandangan interpersonal

Teori pandangan interpersonal beranggapan bahwa ansietas imbul

akbat dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan

penolakan interpersonal. Perkembangan ansietas berhubungan

dengan trauma baik karena perpisahan maupun kehilangan yang

menimbulkan kelemahan spesifik (Mariyana, 2018 dan Sholikatun,

2018).

c. Pandangan prilaku

Teori ini mempercayai bahwa ansietas sebagai hasil dari frustasi

yakni segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang

untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan (Mariyana, 2018 dan

Sholikatun, 2018).

d. Kajian kelaurga

Teori ini mempercayai bahwa ansietas merupakan hal yang biasa

ditemui dalam keluarga yakni ada tumpang tindih dalam gangguan

ansietas serta antara gangguan ansietas dengan depresi (Sholikatun,

2018).

e. Kajian biologis

Teori ini menjelaskan bahwa ansietas berhubungan dengan

gangguan fisik yang kemudian menurunkan kapasitas seseorang

untuk mengatasi stressor akibatnya terjadi ansietas (Sholikatun,

2018).
17

3. Tingkat kecemasan

Menurut Stuart, 2006 dalam (Sholikatun, 2018) tingkat kecemasan

dibagi menjadi empat bagian, yakni kecemassan ringan, sedang, berat

dan panik.

a. Kecemasan ringan

Pada kondisi ini seseorang mengalami ketegangan yang dirasakan

setiap hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan lahan persepsinya. Seseorang akan lebih tanggap dan

bersikap positif terhadap peningkatan minat dan motivasi. Tanda

dari kecemasan ringan meliput, gelisah, mudan marah dan mencari

perhatian.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada hal penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun mampu

melakukan sesuatu yang lebih terarah. Pada kecemasan tingkat

sedang seseorang akan terlihat serius dalam memperhatikan

sesuatu. Tanda dari kecemasan sedang berupa, suara bergetar,

perubahan dalam nada suara, takikardi, gemetaran, dan peningkatan

ketegangan otot.
18

c. Kecemasan berat

Pada kondisi ini lahan persepsi menjadi kurang, cenderung

memusatkan pada sesuatu yang lebih rinci, spesifik serta tidak dapat

berpikir mengenai hal lain. Semua prilaku ditujukan untuk

menurunkan kecemasan sehingga fokus padaa kegiatan lain menjadi

berkurang. Tanda seseorang dalam kondisi kecemasaan berat dapat

berupa merasaa terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan

pernapasan , perubahan gastrointestinal termasuk mual, muntah rasa

terbakar pada ulu hati, sendawa, anoreksia serta diare, perubahan

kardiovaskuler dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.

d. Panik

Seseorang yang dalam kondisi kecemasaan tingkat panik akan

kehilangan kendali diri dan detail perhatian yang kurang. Akibat

dari hilangnya kontrol seseorang tidaak mampu melakukan apapun

meskipun dengan perintah.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan anak

Menurut Hockenberry dan Wilson dalam (Astarani, 2017) menyatakan

bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan pada anak sebagai

berikut:
19

a. Usia

Anak usia prasekolah belum mampu menerima maupun

mempersepsikan suatu penyakit serta pengalaman baru dengan

lingkungan asing menurut wong dalam (Astarani 2017)

b. Karakteristik saudara atau posisi anak dalam keluarga

Posisi anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kecemasan pada

anak yang mengalami hospitalisasi. Anak pertama memiliki

kecemasan yang tinggi dibandingkan dengan anak ke dua menurut

Ilmiasih 2012 dalam (Astarani, 2017)

c. Jenis kelamin

Tingkat stress hospitalisasi dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin,

dimana anak perempuan memiliki tingkat kecemasan tinggi

dibanding dengan anak laki-laki yang mengalami hospitalisasi

d. Pandangan anak terhadap sakit dan perawatan

Pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi

sebelumnya tingkat kecemasan lebih rendah dibandingkan dengan

anak yang belum memilki pengalaman hospitalisasi sama sekali.

Anak memilki respon sensitivitas mengenai lingkungan serta

mampu mengingat dengan detail kejadian yang dialaminya dan

lingkungan disekitarnya.
20

e. Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah

Menurut Hockenberru dan Wilson 2009 dalam (Sholikatun, 2018)

menyebutkan bahwa dukungan keluarga berkaitan dengan jumlah

anggota keluarga, yakin semakin banyak atau tinggi dukunga yang

diterima anak maka tingkat kecemasan anak semakin rendah.

f. Persepsi anak terhadap sakit

Menurut Small et all 2009 dalam (Sholikatun, 2018) menyebutkan

bahwa anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi

menyebabkan dampak pada orang tua. Dampak tersebut timbul

yakni karena kemampuan koping yang belum baik serta stress

karena pengobatan.

Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan pada anak ialah

perpisahan, kehilangan control, serta cidera tubuh. (Fatrian, 2015,

Yuni, 2017, Lisbert, 2018, Erna, 2019). Sedangkan menurut (Erna,

2019) selain yang katakana diatas kecemasan anak juga dipengaruhi

oleh ketidakmampuan anak menyesuaikan dengan lingkungan baru

rumah sakit serta tindakan perawatan dirumah sakit.

5. Alat ukur kecemasan

a. Zeng Self Rating Anxiety Scale

Skala ini berfokus pada kecemasan dan koping dalam mengatasi

stress secara umum. Skala ini terdiri dari 20 pertanyaan dimana 15


21

pertanyaan mengenai peningkatan kecemasan dan 5 pertanyaan

berkenaan dengan penurunan kecemasan.

b. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

HARS ini pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton pada

tahun 1956 yakni untuk mengukur semua tanda kecemasan baik itu

kecemasan psikis maupun kecemasan somatic. HARS ini terdiri

dari 16 pertanyaan untuk menguur kecemasan pada anak dan orang

dewasa.

C. Konsep hospitalisasi

1. Pengertian hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu keadaan dimana karena suatu alasan

baik itu terencana ataupun darurat yang mengharuskan anak dirawat

atau tinggal dirumah sakit untuk menjalani terapi dan mendapat

perawatan. (Erna, 2019, Fatrian, 2015, Lisbert Octavia, 2018,

Yuni,2007, Destri, 2017, Febriana, 2017 dan Endang, 2018). Jadi dapat

disimpulkan bahwa hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu

alasan yang mengharuskan anak di rawat dirumah sakit untuk

mendapat perawatan.

2. Stressor dan respon anak terhadap hospitalisasi

Menurut hockenberry dan Wilson 2009 dalam (Sholikhatun 2018)

menyatakan beberapa hal yang menjadi stressor pada anak sehingga


22

mengakibatkan anak tidak mampu mengatasi krisis yang dialaminya

karena hospitalisasi yaitu :

a. Cemas karena perpisahan

Menurut (Yusnita, 2012) Respon anak terhadap perpisahan dibagi

menjadi 3, yaitu :

1) Tahap protes (phase of protest)

Pada fase ini anak akan menangis, menjerit/berteriak, mencari

orang tua dengan pandangan mata, meminta selalu bersama

dengan orang tua, menghindari dan menolak bertemu dengan

orang yang tidak di kenal. Sikap protes, seperti menangis akan

berlanjut dan akhirnya akan berhenti karena keletihan fisik.

Pendekatan orang yang tidak dikenal akan meningkatkan sikap

protes. Jadi dapat di simpulkan bahwa anak pada tahap ini anak

akan menangis kuat, menjerit serta memanggil ibunya atau

mengunakan tingkah laku agresif akibatnya proses pemulihan

pada anak terganggu.

2) Tahap putus asa (phase of despair)

Perilaku yang dapat diamati pada fase ini, yaitu anak tidak aktif,

menarik diri dari orang lain, tertekan dan sedih, tidak tertarik

terhadap lingkungan sekitar, pendiam, menolak untuk makan dan

minum, menolak untuk bergerakTahap menolak (phase of

denial). Pada fase ini anak akan mulai menujukkan ketertarikan


23

terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi secara dangkal dengan

orang yang tidak dikenal atau perawat dan mulai tampak

gembira. Fase penerimaan biasanya terjadi setelah berpisah

dengan orang tua dalam jangka waktu yang cukup lama, tetapi

hal ini jarang dilihat pada anak-anak yang dirawat di rumah

sakit. Pada tahap ini anak samar-samar menerima perpisahan

serta mulai tertarik terhadap apa yang ada disekitarnya.

b. Kehilangan kontrol

Kehilangan kontrol terjadi karena ketidakmampuan menyadari

keterbatasan dan prilaku yang dihasilkan. Hal ini terlihat pada

prilaku mereka dalam kemampuan motoric, bermain, melakukan

hubungan interpersonal dan melakukan aktivitas sehari-hari

(activity of daily living)

Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan

negativistic, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif.

Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena

penyakit kronis), maka anak akan menarik diri dari hubungan

interpersonal menurut Nursalam, 2005 dalam (Yuni, 2017)

c. nyeri yang dialami

Anak prasekolah memandang nyeri sebagai hukuman akibat

kesalahan yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan pemikiran

magis anak. Respon anak terhadap tindakan yang tidak


24

menyakitkan sama seperti respon terhadap tindakan yang sangat

menyakitkan. Anak akan berespon terhadap nyeri dengan

menyeringaikan wajah, menangis, mangatup gigi, menggigit bibir,

membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan yang agresif

seperti menggigit, menendang, memukul, atau berlari keluar.

Nursalam, 2005 dalam (Fatrian, 2015)

Reaksi kecemasan yang diperlihatkan oleh anak yang dirawat di

rumah sakit bersifat individual, dan hal itu sangat bergantung pada

tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap

penyakit yang diseritanya, status anak dalam keluarga, system

pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki

anak. (Yuni, 2017)

3. Dampak hospitalisasi pada anak usia prasekolah

Pengaruh hospitalisasi pada perkembangan anak tergantung pada

faktor-faktor yang berhubungan seperti kepribadian anak, posisi anak

dalam keluarga, keadaan keluarga, serta keadaan perawatan (Fatkhul,

2010). Dampak jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan yang

tidak segera ditangani akan membuat anak melakukan penolakan

terhadap tindakan keperawatan sehingga berpengaruh terhadap

lamanya hari rawat. Selain jangka pendek juga jangka panjang dari

kecemasan yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan kesulitan


25

dalam kemampuan membaca, gangguan bahasa serta kemampuan

kognitif.

Selain itu hospitalisasi berdampak juga terhadap perkembangan

anak sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Lilis murtutik

dan Wahyuni 2013 dalam (Utami 2014) pada anak pra sekolah

penderita leukemia di RSUD Dr. Moewardi menunjukan bahwa

semakin sering anak menjalani hospitalisasi beresiko tinggi mengalami

gangguan pada perkembangan motorik kasar.

D. Konsep terapi bermain

1. Pengertian bermain

Bermain merupakan suatu metode bagaimana anak mengenal

dunia. Bermain juga bukan hanya sekedar mengisi waktu melainkan

suatu kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan dan cinta

kasih. variasi permainan sangat diperlukan anak untuk kesehatan fisik,

mental dan perkembangan emosinya (Yunita, 2012, Andriana, 2011).

Selain untuk kesehatan fisik, mental serta perkembangan emosinya

juga sebagai pengalaman daan pengetahuan (Andriana, 2011).

2. Karakteristi bermain

Menurut Wong & Whaley 1996 dalam (Maryani, 2013) karakteristik

bermain pada anak usia prasekolah berdasarkan isi permainannya yaitu

sebagai berikut :
26

a. Solitary play

Pada kondisi ini anak akan bermain sendiri dan mencari kesibukan

sendiri

b. Parallel play

Pada permainan ini anak bermain pada permainan yang sama tanpa

ada tukar menukar alat permainan dan tanpa ada komunikasi satu

sama lain

c. Assosiatif play

Anak bersama-saama temannya dan masing-masing anak bermain

berdasarkan keinginannya tetapi tidak ada tujuan group

d. Cooperative play

Pada permainan ini anak bekerja sama serta berkoordinasi dalam

alat-alat dan peranan-peranan. Ada perjanjian dan pembagian tugas

3. Terapi bermain

Menurut (Dian Andriana, 2011) terapi bermain merupakan

penerapan dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi

prilaku yang bermasalah atau dianggap menyimpang dalam melakukan

suatu perubahan serta menempatkan anak dalam situasi bermain.

Perubahan yang dimaksud dapat berarti menghilangkan, mengurangi,

meningkatkan atau memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku

tertentu.
27

Terapi bermain merupakan salah satu intervensi yang dapat

diberikan kepada anak ketika anak mengalami hospitalisasi. Saat

dirawat anak atau dirawat dirumah sakit anak cenderung mengalami

stress yang berlebihan, dengan demikian melalui terapi bermain anak

dapat mengeluarkan rasa takut, cemas yang mereka alami serta terapi

bermain sesuai dangan tumbuh kembang anak.

4. Tujuan terapi bermain

Menurut Astarani, 2017 dalam (Fatkhul , 2010). tujuan dari terapi

bermain ialah untuk menciptakan suasana yang aman dalam

mengekspresikan diri mereka, mempelajari aturan sosial, memahami

bagaimana sesuatu itu bisa terjadi serta memberikan kesempatan pada

anak untuk berekspresi dan mencoba hal yang baru. Selain itu untuk

melanjutkan fase tumbuh kembang secara optimal, serta

mengembangkan kreativitas anak sehingga anak mampu beradaptasi

lebih efektif terhadap stress.

5. Prinsip bermain di rumah sakit

Prinsip – prinsip bermain di rumah sakit Menurut Astriani, 2017 dalam

(Fatkhul, 2010), yaitu :

a. Anak tidak banyak menggunakan energi, dan waktu bermain harus

lebih singkat yakni antara 15-20 menit untuk menghindari

kelelahan serta alat permainan yang digunakan lebih sederhana


28

b. Mainan harus relative aman serta terhindar dari infeksi silang.

Selain memperhatikan waktu bermain, juga harus memperhatikan

keamanan dan kenyamanan bagi anak.

c. Permainan yang digunakan harus sesuai dengan kelompok usia

dikarenakan kebutuhan bermain berbeda antara usia yang lebih

rendah dan yang lebih yang lebih tinggi sehingga pembuatan jadwal

dan pengelompokan usia.

d. Tidak bertentangan dengan terapi artinya terapi bermain pada anak

di rumah sakit harus memperhatikan keadaan anak serta tidak

berlawanan dengan terapi pengobatan yang sedang dijalankan oleh

anak di rumah sakit.

e. Melibatkan orang tua dan keluarga

Keterlibatan orang tua dapat membantu mendorong keterampilan

kemampuan serta memberikan dukungan untuk perkembangan

emosi anak. Selain itu terapi bermain dengan melibatkan orang tua

mampu memberikan rasa aman, tenang, nyaman dan sayang serta

merasa diperhatikan. Sehingga anak mampu mengelola emosi dan

berespon lebih efektif terhadap situasi selama hospitalisasi.

6. Fungsi bermain di rumah sakit

(Menurut Dian Andriana, 2011) fungsi dari bermain di rumah sakit

ialah :
29

a. Memfasilitasi anak untuk beadaptasi dengan lingkungan yang asing

b. Memberikan kesempatan untuk membuat keputusan dan control

c. Membantu mengurangi stress terhadap perpisahan

d. Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang bagian-bagian

tubuh, fungsinya, dan penyakit.

e. Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan dan

tujuan peralatan serta prosedur medis

f. Memberi peralihan (distraksi) dan relaksasi

g. Membantu anak untuk merasa lebih aman dalam lingkungan yang

asing

h. Memberi cara untuk mengurangi tekanan dan untuk mengeksplorasi

perasaan

i. Menganjurkan untuk berinteraksi dan mengembangkan sikap-sikap

yang positif terhadap orang lain

j. Memberi cara untuk mengekspresikan ide kreatif dan minat

k. Memberi cara untuk mencapai tujuan terapeutik

7. Permainan puzzle

Puzzle merupakan suatu permainan yang mampu memfasilitasi

permainan asosiatif dimana anak prasekolah senang bermain dengan

anak lain, sehingga puzzle dapat dijadikan sebagai permainan anak

sambil bersosialisasi (fitriani, 2017). Puzzle sendiri merupakan

permainan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan kesabaran dan


30

ketekunan. (Lisbert Octavia, 2018). Puzzle merupakan suatu alat yang

mampu membantu perkembangan psikologis pada anak. Permainan

puzzle dijadikan sebagai terapi karena bermain puzzle tidak

memerlukan tenaga yang berlebihan sehingga anak tidak mudah

merasa lelah (Lisbert Octavia, 2018; Fitriani, 2017).

Manfaat dari terapi bermain puzzle ialah sebagai berikut :

a. Meningkatkan keterampilan kognitif pada anak

Pada permainan puzzle anak mampu memecahkan masalah dengan

menyusun gambar, sehingga dapat meningkatkan keterampilan

kognitif pada anak. Seperti diketahui bahwa keterampilan kognitif

berhubungan dengan kemampuan dalam belajar dan memecahkan

masalah.

b. Meningkatkan keterampilan motorik halus

Pada terapi puzzle yang digunakan ialah tangan dan jari-jari tangan

sehingga keterampilan motoric halus pada anak dapat meningkat.

Seperti diketahui kemampuan motorik halus berkaitan dengan

kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khususnya

tangan dan jari-jari tangan.

c. Meningkatkan keterampilan sosial

Permainan puzzle dapat dilakukan secara individu maupun

kelompok sehingga anak mampu berinteraksi dengan orang lain.

d. Melatih koordinasi mata dan tangan


31

Anak belajar mencocokan keeping-kepingan puzzle serta

menyusunnya kembali menjadi satu dimana kegiatan ini merupakan

langkan penting menuju pengembangan keterampilan membaca.

e. Melatih logika

Dalam bermain puzzle anak dilatih menggunakan logika, misalnya

puzzle bergambar manusia, maka anak akan dilatih menyimpulkan

dimana letak kepala, tangan dan kaki sesuai logika

f. Melatih kesabaran

Puzzle sendiri merupakan permainan yang dalam pelaksanaannya

membutuhkan kesabaran dan ketekunan. (Lisbert Octavia, 2018).

g. Memperluas pengetahuan

Pada terapi puzzle anak akan belajar banyak hal, yakni warna,

bentuk, angka, huruf. Selain itu anak juga mampu belajar konsep

dasar binatang, alam sekitar, buah-buahan serta alphabet.

8. Prosedur terapi bermain puzzle

Persiapan

a. Siapkan puzzle sederhana yang akan digunakan sebagai alat terapi

b. Siapkan tempat meja, kursi atau boleh boleh dilakukan di tempat

tidur

Cara bermain

a. Letakkan puzzle di depan anak


32

b. Pisahkan setiap potongan atau kepingan puzzle

c. Beri contoh pada anak cara menyusun puzzle

d. Minta anak untuk mencoba melakukan

e. Berikan pujian apabila anak berhasil menyusun puzzle

f. Apabila anak masih ingin bermain, ulangi lagi permainan, boleh

menggunakan puzzle yang lain

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Dayani, 2015) pelaksanaan

terapi bermain clay dlakukan selama 20 menit ditempat tidur anak

sebanyak 2 kali pertemuan. Setelah melakukan kegiatan terapi bermain

clay pada hari kedua selesai, peneliti melakukan data kecemasan

sesudah (post-test) yang di isi oleh orang tua responden.

Anda mungkin juga menyukai