Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai beberapa hal. Menjelaskan konsep-

konsep sesuai varibel penelitian, yaitu konsep anak usia prasekolah, konsep

perkembangan psikososial anak usia prasekolah, konsep pola asuh orang tua,

kerangka teori, kerangka konsep serta hipotesis.

2.1 Konsep Anak Usia Prasekolah

2.1.1 Definisi Anak Usia Prasekolah

Anak sebagaimana diamanatkan pasal 1 Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Undang-undang Perlindungan Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang berada

dalam kandungan. Secara umum, anak didefinisikan sebagai individu

yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang

dimulai dari bayi hingga remaja (Mutiah, 2015).

Anak Usia Prasekolah menurut The National Association For

The Education adalah anak antara usia toddler (1-3 tahun) dan usia

masuk kelas satu, biasanya antara usia 3 sampai 5 tahun. Bichler dan

Snowman menggunakkan pengertian prasekolah adalah mereka yang

berusia 4-6 tahun (Mansur, 2014).

13
14

Setiap anak mengalami berbagai macam tahapan

perkembangan yang berlangsung secara berurutan, terus-menerus dan

dalam tempo perkembangan tertentu yang relatif sama. Pemahaman

tentang tahapan perkembangan seorang anak akan mempermudah

orang tua maupun pendidik untuk mencermati apakah anak sudah

berkembang sesuai dengan perkembangan yang berlaku secara umum.

Hal ini penting guna mempersiapkan anak dengan pemberian stimulasi

yang tepat dan sesuai dengan kemampuan anak pada usianya (Mutiah,

2015).

Dengan kondisi fisik yang sehat, maka pemberian stimulasi

yang efektif akan dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan

dan potensinya secara lebih baik. Pemberian stimulasi merupakan

ransangan yang datang dari luar lingkungan diri anak. Stimulasi ini

sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Stimulasi dapat

berfungsi sebagai penguat dan pendorong bagi perkembangan anak

secara optimal (Mutiah, 2015).

2.1.2 Fase Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Tugas Perkembangan adalah tugas yang timbul pada sekitar suatu

periode tertentu dalam kehidupan seseorang. Tugas kemajuan yang

baik pada tugas perkembangan anak akan menyebabkan kelancaran

pada tugas-tugas perkembangan pada tahap berikutnya, tetapi

sebaliknya kemacetan tugas perkembangan pada suatu periode pada


15

anak akan menyebabkan kekecewaan seseorang, penentangan dari

masyarakat dan akan menemui kesukaran-kesukaran dalam tugas-

tugas perkembangan berikutnya (Fudyartanta, 2012).

Setiap anak memiliki kemampuan perkembangan yang berbeda-

beda, anak yang memiliki perkembangan cepat dan juga lambat

terletak pada individu anak masing-masing. Hal ini dapat

mempengaruhi tugas perkembangan anak, faktor yang

mempengaruhinya adalah pembawaan anak yang berbeda-beda satu

sama lainnya, dan pengaruh lingkungan sekitar fisik dan lingkungan

sosio-kulturalnya. Misalnya, faktor kesehatan dan gizi, sangat jelas

mempengaruhi perkembangan anak, pendidikan atau pengasuhan

orang tua (Fudyartanta, 2012).

1. Perkembangan Fisik

Sebagai seorang anak yang tumbuh dan berkembang, sistem

saraf anak akan menjadi lebih matang. Karena ini terjadi, anak

menjadi lebih dan lebih mampu melakukan tindakan yang semakin

kompleks. Tingkat di mana keterampilan motorik muncul kadang-

kadang merupakan kekhawatiran bagi orang tua. Terdapat jenis

keterampilan motorik pada anak yaitu bruto dan fine.

Bruto (besar), keterampilan motorik melibatkan otot-otot yang

lebih besar termasuk lengan dan kaki, tindakan yang membutuhkan

keterampilan motorik kasar meliputi berjalan, berlari,

keseimbangan dan koordinasi.  Ketika mengevaluasi keterampilan


16

motorik kasar, faktor-faktor yang termasuk ahli melihat kekuatan,

otot, kualitas gerakan dan berbagai gerakan (Setianingrum, 2017).

Fine (atau kecil), keterampilan motorik melibatkan otot kecil

di jari tangan, jari kaki, mata dan daerah lainnya, tindakan yang

memerlukan keterampilan motorik halus cenderung lebih rumit.

Seperti menggambar, menulis, memegang benda, melempar,

melambai dan menangkap (Setianingrum, 2017).

Perkembangan pada anak usia prasekolah mengalami

perkembangan motorik kasar yang diawali dengan kemampuan

berdiri dengan satu kaki selama 1-5 detik, melompat dengan satu

kaki, dan membuat posisi merangkak. Sementara itu,

perkembangan motorik halusnya ditandai dengan kemampuan

mencoret-coret di atas kertas, menempatkan objek ke dalam

wadah, serta mencoba makan dan minum sendiri (Suryani, 2017).

2. Perkembangan Kognitif

Kemampuan kognitif ini barkaitan dengan daya ingat,

kemampuan menganalisa maupun kemampuannya memecahkan

masalah. Anak adalah peneliti kecil, mereka aktif melakukan

percobaan dan menganalisa apa yang ada di sekelilingnya. Di sini

dukungan lingkungan untuk menunjang perkembangan kognitif

anak sangat diperlukan. Interaksi yang sehat antara anak dan

lingkungan dapat mengoptimalkan perkembangan kognitifnya

(Setianingrum, 2017).
17

Anak pada usia prasekolah juga mulai belajar beberapa hal

yang lebih kompleks seperti mengenali warna, menyebutkan

kegunaan benda, menghitung jumlah benda, mengerti beberapa

kata sifat dan kata depan, menirukan berbagai bunyi kata.

Sehingga dapat merespon panggilan orang-orang disekitarnya

(Suryani, 2017).

3. Perkembangan Bahasa

Bicara merupakan salah satu alat komunikasi yang paling

efektif. Semenjak anak masih bayi sering kali dengan

menggunakan bahasa tubuh dapat memenuhi kebutuhannya.

Namun hal tersebut kurang di mengerti oleh orang dewasa apa

yang dimaksud oleh anak. Oleh karena itu baik bayi maupun anak

kecil selalu berusaha agar orang lain mengerti maksudnya. Hal ini

yang mendorong anak untuk belajar berbicara dan membuktikan

bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang paling efektif

dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi yang lain yang

dipakai anak sebelum pandai berbicara (Setianingrum, 2017).

Secara garis besar ada dua keterampilan berbahasa, yaitu

keterampilan bahasa lisan dan keterampilan bahasa tulis. Dan

secara umum keterampilan bahasa dibagi menjadi empat, yaitu

menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Secara nyata, anak-

anak perlu untuk mempelajari keterampilan bahasa terutama

bahasa lisan (Setianingrum, 2017).


18

4. Perkembangan Sosio-Emosional

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan

orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun

saudara-saudaranya. Saat berhubungan dengan orang lain, terjadi

peristiwa yang sangat bermakna dalam kehidupan anak yang dapat

membentuk kepribadiannya, dan membentuk perkembangannya

menjadi manusia yang sempurna (Setianingrum, 2017).

Perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan

tingkah laku yang berhubungan dengan individu untuk hidup

sebagai bagian dari kelompoknya. Di dalam perkembangan sosial,

anak dituntut untuk memiliki kemampuan yang sesuai dengan

tuntutan sosial di mana mereka berada (Setianingrum, 2017).

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam hubungan dengan

orang lain, baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun

saudara-saudaranya. Adaptasi sosial anak ditunjukkan dengan

menangis apabila dimarahi, menunjukkan peningkatan kecemasan

terhadap perpisahan, serta membuat permintaan sederhana dengan

gaya (Suryani, 2017).

Di dalam perkembangan sosial, anak dituntut untuk memiliki

kemampuan yang sesuai dengan tuntutan sosial di mana mereka

berada. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perkembangan

sosial anak adalah suatu proses dalam kehidupan anak untuk

berperilaku sesuai dengan norma atau aturan dalam lingkungan


19

kehidupan anak. Perilaku yang ditunjukkan oleh seorang anak

dalam lingkungan sosialnya sangat dipengaruhi oleh kondisi

emosinya. Perkembangan emosi seorang anak sangat dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan (Suryani, 2017).

Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan

mengekspresikan emosi. Pada usia 6 tahun anak-anak memahami

konsep emosi yang lebih kompleks, seperti kecemburuan, kebang-

gaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anak-anak masih memiliki

kesulitan di dalam menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan ini

anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang mencakup

kapasitas untuk mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional,

serta menjaga perilaku yang terorganisir ketika munculnya emosi-

emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh pengalaman emosional.

Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama masa

prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya

kemampuan anak dalam mentoleransi frustasi (Santrock, 2007).

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

1. Motivasi Belajar Anak


20

Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan

memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya

menyekolahkan anak sedini mungkin untuk memotivasi anak,

memberikan buku-buku untuk membaca, menceritakan dongeng.

Serta memberikan suasana yang tenang dan sarana lainnya

(Setianingrum, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyanti (2012) menunjukan

bahwa kegiatan bermain finger painting yang dilakukan di taman

kanak-kanak meningkatkan motivasi anak untuk belajar. Untuk

meningkatkan motivasi belajar anak perlu adanya kegiatan

bermain dalam mengajarkan anak sehingga anak dapat

mengeksporasi dirinya sendiri.

2. Gizi Anak

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang

anak. Untuk tumbuh kembang diperlukan zat makanan yang

adekuat seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan

air yang harus dikonsumsi secara seimbang dengan jumlah yang

sesuai kebutuhan pada tahapan usianya. Kekurangan makanan

yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak,

sedangkan kelebihan makanan juga tidak baik, karena dapat

menyebabkan obesitas (Setianingrum, 2017).

Dalam penelitian Yuliandini (2017), status gizi anak

mempengaruhi perkembangan anak, dilihat dari pola asuh orang


21

tua yaitu pola asuh dalam pemberian makan anak, merawat anak,

menjaga kebersihan anak, kemandirian anak dan pengetahuan ibu

tentang gizi anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi

makan, cara makan yang sehat, memberi makanan yang bergizi

dan mengontrol besar porsi yang dihabiskan akan meningkatkan

status gizi anak, sehingga dapat dikatakan pola asuh orang tua

terutama ibu sangat berpengaruh besar dalam status gizi anak,

kebersihan anak, kemandirian serta pengetahuan ibu, ibu yang

memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak akan merawat

anak dengan baik, sehingga perkembanganya akan baik pula.

3. Lingkungan Pengasuhan

Pada lingkungan pengasuhan interaksi ibu dan anak sangat

mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan atau orang tua

mempunyai pengaruh lebih besar dalam kecerdasan motorik kasar

anak. Lingkungan dapat meningkatkan atau menurunkan saraf

kecerdasan anak terutama pada masa-masa pertama kehidupannya.

Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola

asuh tertentu. Terdapat 3 macam pola asuh orang tua yaitu

authoritative (demokratis), authoritarian (otoriter) dan permissive

(permisif) (Setianingrum, 2017).

4. Stimulasi
22

Stimulasi adalah perangsangan yang datang dari lingkungan

luar anak, yang merupakan bagian dari kebutuhan anak yaitu asah

atau kegiatan merangsang kemampuan dasar anak usia 0-6 tahun

agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal. Setiap anak

perlu mendapatkan stimulasi rutin sedini mungkin dan terus

menerus pada setiap kesempatan (Setianingrum, 2017).

Penelitian Wulandari (2017) mengungkapkan, bahwa pola asuh

orang tua dalam meningkatkan perkembangan anak sangatlah

berpengaruh, terutama dalam pola asuh permissive memiliki 4 kali

lebih memungkinkan anak untuk berkembang dengan baik, pola

asuh orang tua ini juga dipengaruhi oleh stimulasi orang tua yang

baik pula. Sehingga dapat dikatakan stimulasi orang tua yang baik

dapat mempengaruhi perkembangan anak.

5. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan ibu memegang peranan penting di dalam

memberikan stimulasi kepada anak. Hal ini dikarenakan pada usia

anak-anak sangat membutuhkan perhatian yang cukup untuk

membantu perkembangan yang optimal. Pengetahuan dan kognitif

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

Behavior) (Setianingrum, 2017).

Berdasarkan penelitian Novrinda (2017) menunjukkan, peran

orangtua dalam pendidikan anak usia dini pada aspek orangtua

sebagai guru pertama dan utama bagi anak, orangtua tamatan SD


23

menunjukkan angka yang lebih tinggi pada kategori penilaian

sering dibandingkan dengan orangtua tamatan SMP, SMA, dan

Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua yang

memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi mempunyai

pengetahuan yang lebih dalam mengembangkan kemampuan otak

anak sehingga anak dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki

anak dengan baik.

6. Kesehatan Anak

Kesehatan anak harus mendapatkan perhatian dari orang tua

dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ke tempat

pelayanan kesehatan yang terdekat. Anak yang sehat pada

umumnya akan tumbuh dengan baik, berbeda dengan anak yang

sering sakit. Anak yang sering sakit biasanya akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangannya (Soerjiningsih, 2013).

Penelitian Yuliandini tahun 2017 mengungkapkan, bahwa

orang tua memiliki pola asuh dalam hal merawat anak yang kurang

baik, pengasuhan perawatan dasar anak meliputi perawatan

terhadap anak sakit dan perawatan pencegahan agar anak tidak

jatuh sakit, pola asuh menjaga kebersihan anak, dan lainnya. Untuk

itu diperlukan kemampuan ibu dalam mengenali dan merawat anak

yang sakit, termasuk kemampuan mengenali penyakit menjadi

progresif yang butuh perawatan lanjut.

7. Perumahan
24

Keadaan perumahan yang layak, dengan kontruksi bangunan

yang tidak membahayakan penghuninya, akan menjamin

keselamatan dan kesehatan penghuninya. Misalnya, rumah dengan

ventilasi dan pencahayaan yang cukup, yang tidak penuh sesak dan

cukup leluasa bagi anak untuk bermain serta bebas polusi akan

menjamin perkembangan anak (Soerjiningsih, 2013).

8. Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi dapat mempengaruhi perkembangan

pada anak. Keadaan sosial ekonomi yang rendah biasanya selalu

berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan lingkungan

yang jelek. Anak dengan keluarga yang memiliki sosial ekonomi

tinggi umumnya pemenuhan kebutuhan gizinya cukup baik

dibandingkan dengan anak yang sosial ekonomi rendah. Demikian

juga dengan anak berpendidikan rendah, tentu akan sulit untuk

menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan mereka sering tidak

mau atau tidak menyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi

atau pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam

membantu perkembangan anak (Setianingrum, 2017).

Penelitian Kusumaningtyas (2016) menunjukkan, 40%

perkembangan motorik halus mengalami gangguan, ditandai

dengan anak sulit menirukan gambar seperti yang dicontohkan,

dan tidak bisa menyebutkan macam-macam warna. Hasil


25

penelitian ini menunjukan bahwa 55% keluarga dengan ayah dan

ibu yang bekerja mengalami anak yang mengalami gangguan.

9. Jumlah Saudara

Jumlah anak yang banyak pada keluarga, memungkinkan dapat

menyebabkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang

diterima anak dari orang tua terutama dalam memberikan gizi yang

seimbang, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak. Bukan cuman jumlah anak tetapi jumlah

saudara yang di asuh orang tuapun dapat menyebabkan

berkurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua (Setianingrum,

2017).

10. Kelompok Sebaya

Anak memerlukan teman sebaya untuk bersosialisasi dengan

lingkungannya. Perhatian dari orang tua tetap dibutuhkan untuk

memantau dengan siapa anak tersebut bergaul, khususnya bagi

remaja, harus diperhatikan teman sebayanya. Karena teman sebaya

dapat mempengaruhi dalam hal-hal yang tidak baik, seperti

penyalahgunaan obat-obat terlarang, alkohol, merokok, dan

sebagainya (Setianingrum, 2017).

11. Keluarga

Suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga sangat

penting dalam tumbuh kembang anak. Interaksi orangtua dan anak

merupakan suatu proses majemuk yang dipengaruhi banyak faktor,


26

yaitu kepribadian orang tua, sifat bawaan anak, kelahiran anak

yang lain, tingkah laku setiap anggota keluarga dan pengaruh luar

(Setianingrum, 2017).

2.2 Konsep Perkembangan Psikososial Anak Usia Prasekolah

2.2.1 Definisi Perkembangan Psikososial

Perkembangan psikososial menurut Diana tahun (2016) adalah

proses perubahan progesif yang menunjukkan cara anak berperilaku

dalam interaksinya dengan lingkungan atau proses perubahan dalam

kemampuan pada suatu kurun waktu. Sebagai fungsi dari kematangan

dan interaksi dengan lingkungan.

Menurut Diana (2016), perkembangan anak selain dari

perkembangan fisik juga dapat dilihat dari perkembangan intelektual,

sosial, emosi, dan moral yang oleh Erikson dinyatakan dalam empat

dimensi perkembangan psikosial yaitu perkembangan intelektual,

emosi, sosial serta moral. Ketika seseorang anak mampu mengolah

emosinya secara baik dapat dikatakan bahwa anak tersebut memilik

kecerdasan emosional yang baik pula.

Pendekatan psikososial melihat individu dalam konteks

pengaruh gabungan antara faktor psikologis dan lingkungan sosial

seseorang dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental.

Erikson mengusulkan teori perkembangan psikososial yang terdiri dari

delapan tahap dari bayi sampai dewasa, dalam setiap tahap, anak atau
27

individu mengalami krisis psikososial yang bisa memiliki hasil positif

atau negatif bagi perkembangan kepribadian (Suryani, 2017).

Tabel 2.1
Tahap Perkembangan Psikososial

Tahapan Krisis Psikososial Nilai-nilai Usia


Keutamaan
1. Percaya vs Tidak percaya Harapan 0-1,5 tahun
2. Otonomi vs Rasa malu Keinginan 1,5-4 tahun
dan ragu-ragu
3. Inisiatf vs Rasa bersalah Kegunaan 4-6 tahun
4. Tekun vs Rendah diri Kemampuan 6-12 tahun
5. Identitas vs Kebingungan Kestiaan 12-18 tahun
peran
6. Keintiman vs Persaingan Cinta 18-40 tahun
7. Generalisasi vs Stagnasi Kepedulian 40-65 tahun
8. Integritas vs Keputusa- Kebijaksanaan > 65 tahun
saan
Sumber: Suryani. (2017); Mutiah. (2015);
Soerjiningsih (2012)

Anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

sehingga menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, sosial,

dan emosional. Perkembangan yang optimal akan potensi yang

dimilikinya menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas.

Sehingga perkembangan psikososial memerlukan stimulus dan

rangsangan yang tertentu untuk berkembang secara optimal.

Perkembangan anak usia prasekolah ditandai dengan terjadinya

perkembangan psikososial (Irmilia, 2015).


28

2.2.2 Tahap Perkembangan Psikososial Anak Usia Prasekolah

Tahap perkembangan psikososial pada anak usia prasekolah

adalah inisiatif vs rasa bersalah. Hal yang utama dalam periode ini

adalah melibatkan anak secara teratur berinteraksi dengan anak-anak

lain, baik disekolah maupun dilingkungan rumah, inti dalam tahap ini

adalah bermain. Orangtua harus menyediakan kesempatan untuk anak-

anak mengeksplorasi kemampuan interpersonal melalui aktivitas

inisiasi, anak-anak mulai merencanakan kegiatan, membuat

permainan, dan memulai kegiatan dengan orang lain (Suryani, 2017).

Jika anak diberi kesempatan dalam mengembangkan

kemampuan dirinya, maka mereka dapat mengembangkan rasa

inisiatif, mereka juga akan merasa percaya diri terhadap kemampuan

mereka untuk memimpin orang lain dan membuat keputusan.

Sebaliknya, jika kecenderungan ini dihentikan, baik melalui kritik atau

kontrol, anak-anak akan mengembangkan rasa bersalah. Mereka akan

merasa seperti gangguan bagi orang lain ketika melakukan tindakan

dan karena itu akan menjadi anak pengikut orang tua dan kurang

inisiatif diri (Suryani, 2017).

Anak cenderung mengambil inisiatif namun seringkali orang

tua mencoba untuk menghentikan mereka dengan alasan melindungi

anak. Anak akan mencoba selalu melampaui kemampuan yang

dimilikinya. Namun, disisi lain orang tua cenderung untuk


29

menghukum anak terlalu banyak. Pada tahap ini anak akan mulai

banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan haus akan

pengetahuan. Jika orang tua menyepelekan pertanyaan anak,

menganggap pertanyaan sebagai gangguan, atau hal yang memalukan,

perilaku mereka mengancam anak memiliki perasaan bersalah dan

merasa menjadi gangguan (Suryani, 2017).

Terlalu banyak rasa bersalah dapat membuat anak lambat

untuk berinteraksi dengan orang lain dan dapat menghambat

kreativitas mereka. beberapa rasa bersalah tentu saja diperlukan,

dengan catatan rasa bersalah tersebut dimunculkan apabila anak tidak

tahu bagaimana mengandalkan diri. Sebuah keseimbangan yang sehat

antara inisiatif dan rasa bersalah, menjadi penting bagi perkembangan

anak karena kesuksesan pada tahap ini akan membawa anak pada nilai

luhur kegunaannya (Suryani, 2017).

Respon orang tua terhadap aktivitas seseorang anak yang ada

kaitanya dengan inisiatif ini, berkaitan dengan perkembangan motorik,

kemampuan berbahasa, ataupun fantasi anak. Boleh juga mempunyai

arti yang cukup penting. Apabila pertanyaan-pertanyaan seseorang

anak tidak memperoleh tanggapan sedikitpun, ketika jatuh dalam

mengendarai sepeda anak tidak diperhatikan dan dibangkitkan, maka

dapat dipastikan anak akan tetap berusaha mengembangkan

inisiatifnya, namun tidak demikian, jika usahanya tersebut diberi

kesempatan dengan disertai permohonan oleh anak, boleh jadi rasa


30

bersalah akan berkembang dalam dirinya. Untuk itu Erikson

menegaskan, bahwa rasa bersalah memang akan berkembang di tahap

ini mengingat anak-anak sudah mulai berpikir tentang prestasi, kendati

masih cenderung menunjukkan ketakutannya apabila tindakannya

tidak diterima atau tidak diakui (Mutiah, 2015).

Bagi Erikson, masa usia 4-6 tahun ini adalah masa bermain.

Dalam fase inilah anak-anak belajar berfantasi, belajar menertawakan

diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada fase ini

terletak fondasi anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat

penting pada fase berikutnya (Mutiah, 2015).

Pada saat yang sama, jika pada fase sebelumnya, anak perlu

menciptakan sense of identity sebagai seorang manusia dan

kepercayaan untuk melakukan eksplorasi sendiri, maka pada fase ini

yang harus diciptakan adalah identitas diri macam apa. Seperti anak

belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin,

tetapi juga dari perlakuan sekeliling atau lingkungan pada mereka.

Fase inilah yang berperan besar dalam menentukan identitas, anak

laki-laki akan menjadi lebih sayang pada ibu dan tidak begitu senang

pada bapak atau ayahnya, sementara anak perempuan menjadi sayang

pada ayahnya dan tidak begitu senang kepada ibunya, mereka juga

lebih menurut kepada guru-nya. Orang tua tidak perlu khawatir dengan

hal ini karena hal ini memang normal, dan jika anak dimarahi, maka
31

anak akan merasa bersalah, merasa bersalah akan identitas kelaminya

(Mutiah, 2015).

Tetapi, jika anak menjadi tidak terganggu dengan perasaan

bersalah. Anak bisa menentukan apakah mereka mau menjadi seperti

ayah atau ibu tanpa perasaan bersalah dan anak tidak akan mengalami

bayak kegelisahan karena merasa tidak dimengerti. Dengan merampok

masa bermain anak dan menyuruhnya mereka belajar untuk lebih

dahulu dari teman-teman seusianya maka akan berdampak kepada

perkembangan anak. Anak mulai didisiplinkan untuk menghafal

angka, abjad, dan menulis supaya lebih dari yang lain. Orang tua lebih

banyak berambisi membuat anak pintar ini adalah untuk gengsi orang

tua yang disamarkan dengan mengharapkan masa depan anak yang

baik, yang terjadi sesungguhnya adalah mengambil masa "fun" dari

anak-anak sehingga perkembangan emosi, kesenangan, dan

penjelajahan yang hanya tumbuh pada masa bermain ini tidak pernah

tumbuh secara matang (Mutiah, 2015).

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Psikososial

Faktor yang mempengaruhi perkembangan psikososial

menurut soerjiningsing (2012) yaitu stimulasi, motivasi belajar,

kelompok sebaya, stress, cinta kasih dan pola asuh orang tua.

Stimulasi dini oleh ibu yang baik akan mempengaruhi perkembangan

kemandirian pada anak pra sekolah. Untuk itu perlu adanya perhatian
32

khusus dalam menstimulasi anak agar perkembangannya dapat optimal

(Suwarti, 2016).

Penelitian Wijirahayu (2016) mengungkapkan, pendidikan ibu,

status pekerjaan ibu, status pertumbuhan anak, dan kelekatan antara

ibu dan anak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial

emosi anak. Selain itu, lama pendidikan ibu berpengaruh positif dan

signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak, hasil penelitian

juga menemukan bahwa status pekerjaan ibu berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak. Hal ini artinya

anak dengan ibu tidak bekerja akan memiliki perkembangan sosial

emosi lebih tinggi daripada anak dengan ibu yang bekerja. Ibu adalah

bagian dari keluarga, yang mengasuh dan mendidik anak setiap

harinya, sehingga peran ibu dalam mengembangkan perkembangan

anak sangatlah penting.

Dalam Penelitian Chhabra & Sodhi (2010) mengungkapkan,

43% anak yang berasal dari keluarga status ekonomi menengah, 36,8%

anak yang berasal dari status ekonomi rendah, dan 20,2% anak yang

berasal dari status ekonomi atas, menunjukkan bahwa 33% anak

memiliki masalah perselisihan dengan orang tua dan keluarga dan

29,4% orang tua tidak mengurus kebutuhan anak-anak mereka. 38,2%

remaja tidak memiliki teman dekat dan sebagian besar 43,6% memiliki

satu atau dua teman. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh orang tua
33

dalam hal status ekonomi sangatlah berpengaruh terhadap

perkembangan psikososial anak.

Sejalan dengan penelitian Susanu (2018) yang mengatakan

bahwa, struktur keluarga dan faktor-faktor yang menyangkut modal

pendidikan keluarga, telah ditemukan bahwa sebagian besar waktu,

defisiensi emosional yang dihasilkan khususnya oleh defisiensi tipe

keluarga dapat menyebabkan frustrasi, yang pada gilirannya

menyebabkan agresi tingkat tinggi. Kurangnya struktur keluarga

menimbulkan risiko serius dalam pendidikan anak-anak, tetapi tidak

dapat dikatakan dengan pasti bahwa semua anak yang dibesarkan

dalam keluarga seperti itu mau tidak mau menjadi perilaku

menyimpang. kekurangan dalam kehidupan keluarga dan dalam fungsi

institusi sosial.

Penelitian Wiyouf (2017) menunjukan pola komunikasi yang

tidak efektif beresiko menyebabkan kejadian anak temper tantrum

tinggi 3,200 kali dibandingkan dengan orang tua yang menerapkan

komunikasi efektif. Ketika orang tua menerapkan pola komunikasi

efektif maka kategori temper tantrum akan rendah, dan ketika orang

tua menerapkan pola komunikasi tidak efektif maka kategori temper

tantrum cenderung tinggi. responden menerapkan pola komunikasi

efektif sebanyak 19 responden atau sebanyak 63,3% sedangkan 11

responden panas 36,7% menerapkan pola komunikasi tidak efektif.


34

2.2.4 Pengukuran Perkembangan Psikososial Anak Usia Prasekolah

Pengukuran perkembangan psikososial mengacu pada

hubungan sosial dan mental seseorang dalam berbagai situasi yang

menuntut dan baru sesuai dengan perkembanganya. Pengukuran

perkembangan psikososial anak usia prasekolah dapat menggunakkan

instrumen Vineland Social Maturity Scale (VSMS).

VSMS adalah instrumen untuk mengetahui tingkat

perkembangan (kematangan) sosial pada seseorang, yang

dikembangkan oleh Edgar Arnold Doll tahun 1935, dapat digunakan

untuk usia 0-25 tahun. Terdiri dari daftar pertanyaan yang masing-

masing terdiri dari sejumlah indikator yang menggambarkan tentang

perkembangan sosial individu, adapun indikatornya yaitu; Self-Help

General (kemandirian umum). Self-Help Eating (kemandirian dalam

makan dan minum), Self-Help Dressing (kemandirian dalam

berpakaian), Self Direction (kemandirian dalam mengatur diri),

Occupation (pekerjaan), Communication (komunikasi), Locomotion

(kemandirian dalam bergerak) dan Socialization (kemandirian dalam

bergaul) (Soerjiningsih, 2013).


35

2.3 Pola Asuh Orang Tua

2.3.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua

Pola Asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh

orang tua dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa

tanggung jawab kepada anak-anaknya. Orang tua mempunyai

tanggung jawab yang disebut tanggung jawab primer. Dengan maksud

tanggung jawab yang harus dilaksanakan, jika tidak anak-anaknya

akan mengalami kebodohan dan lemah dalam menghadapi kehidupan

pada zamannya. Anak pada dasarnya merupakan amanat yang harus

dipelihara dan keberadaan anak itu merupakan hasil dari buah kasih

sayang antara ibu dan ayah yang diikat oleh tali pernikahan dalam

rumah tangga yang sakinah (Mansur, 2014).

Setiap orang tua mengharapkan anak-anaknya menjadi anak

yang sholeh dan sholehah serta berperilaku yang baik, oleh karena itu

dalam membentuk karakter anak harus secermat mungkin dan seteliti

mungkin. Karena pendidikan pertama yang diterima oleh anak adalah

orang tua, sehingga perlakukan orang tua terhadap anaknya

memberikan andil sangat banyak dalam proses pembentukan karakter

anak. Keluarga merupakan masyarakat pendidikan pertama yang

nantinya akan menyediakan kebutuhan biologis anak dan sekaligus

memberikan pendidikannya sehingga menghasilkan pribadi-pribadi


36

yang dapat hidup dalam masyarakatnya sambil menerima dan

mengolah mewariskan kebudayaanya. Dengan demikian berarti orang

tua harus menciptakan Suasana keluarga yang kondusif untuk

mewujudkan pola asuh yang baik. Sehingga akan tercipta perilaku

yang baik, baik dalam keluarga maupun di lingkungan (Mansur,

2014).

Keluarga adalah sebagai lingkungan utama bagi individu

dimana ia berinteraksi atau memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar

dari kepribadian, maka kewajiban orang tualah yang bisa menciptakan

pola asuh yang tepat dalam mendidik anak-anaknya dilingkungan

keluarga. Dalam kehidupan sekarang banyak terjadi kenakalan anak,

hal tersebut akibat dari latar belakang yang serba tidak baik dalam

mendidik anak, dengan demikian sebaiknya pola asuh orang tualah

sebagai faktor dasar dalam pembentukan pribadi (Mansur, 2014).

Semua perbuatan anak yang dijadikan tali pengendali benar-

benar mencerminkan pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya,

orang tua merupakan suatu basis penting dalam menanggulangi

kenakalan anak-anaknya, sedang sekolah hanya sekedar faktor

penunjang maka jangan terlalu banyak berharap dari sekolah sebelum

dasarnya ditanamkan dengan kokoh. Oleh karena itu orang tua dalam

menerapkan pola asuh pada anak-anaknya harus berdasarkan nilai-

nilai atau norma islam (Mansur, 2014).


37

Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak-anaknya

baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan

maupun tinjauan individu. Pendidikan keluarga dapat berlangsung

dengan baik mampu menumbuhkan perilaku yang benar-benar baik

dan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa

sekaligus berkepribadian secara islam, sehingga dapat diandalkan

menjadi manusia yang berkualitas akhlaknya (Mansur, 2014).

2.3.2 Jenis Pola Asuh Orang Tua

Mendidik anak dalam keluarga diharapkan agar anak mampu

berkembang kepribadiannya, menjadi manusia dewasa yang memiliki

sikap positif terhadap agama, kepribadian kuat dan mandiri,

berperilaku ihsan, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang

berkembang secara optimal. Untuk mewujudkan hal itu ada berbagai

cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Hurlack

dalam Mansur (2014), yaitu :

1. Pola Asuh Authoritative (Demokratis)

Pola asuh authoritative adalah pola asuh yang ditandai

dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-

anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak

selalu tergantung kepada orang tua. Dalam pola asuh seperti ini

orang tua memberi sedikit kebebasan kepada anak untuk

memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang


38

terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat

anak berbicara, dan bila berpendapat orang tua memberi

kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan

dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan

kehidupan anak itu sendiri (Mansur, 2014).

Anak diberi kesempatan mengembangkan kontrol

internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk

bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Anak dilibatkan

dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur

hidupnya, dalam hal-hal tertentu orang tua perlu ikut terlibat,

misalnya dalam keadaan membahayakan hidupnya atau

keselamatan anak. Permainan yang menyenangkan bagi anak,

tapi menyebabkan keruhnya mengganggu ketenangan umum

juga perlu diperhatikan orang tua (Mansur, 2014).

Demikian pula terhadap hal-hal yang sangat prinsip

mengenai pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat

universal dan absolute, orang tua dapat memaksakan

kehendaknya terhadap anak karena anak belum memiliki

alasan cukup tentang hal itu. Dengan demikian tidak semua

materi pelajaran agama seluruhnya diajarkan secara

authoritative (demokratis) (Mansur, 2014).

2. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)


39

Pola asuh authoritarian adalah pola asuh yang ditandai

dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan

ketat, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti

orang tuanya, kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri

dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol,

bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua

malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan itu

dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai

pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut

permasalahan anak-anaknya (Mansur, 2014).

Pola asuh authotarian ditandai dengan hukuman-

hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas

hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga

diatur yang membatasi perilakunya. Perbedaan seperti itu

sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak

tersebut menginjak dewasa (Mansur, 2014).

Kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam

memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya, akan tetapi tidak

boleh berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak

kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri di masa yang

akan datang. Orang tua yang suka mencampuri urusan anak-

anak sampai dengan masalah-masalah yang kecil, misalnya

mengatur jadwal perbuatan anak, jam istirahat atau jam tidur,


40

cara membelanjakan uang, warna pakaian yang cocok, memilih

teman atau selektifnya dalam mecari teman untuk diajak

bermain, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang harus

dimasuki (Mansur, 2014).

Dengan demikian sampai menginjak dewasa

kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang ragu-ragu

dan lemah kepribadian serta tidak mampu mengambil

keputusan tentang apapun yang dihadapi dalam kehidupannya.

Sehingga anak akan menjadi ketergantungan kehidupannya

terhadap orang lain (Mansur, 2014).

3. Pola Asuh Permissive (Primisif)

Pola asuh Permissive adalah pola asuh dengan cara

orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang

dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa

saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat

lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya.

Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak

perlu mendapat teguran, arahan, atau bimbingan (Mansur,

2014).

Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anak untuk

melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup dari orang

tuanya. Mereka cenderung tidak menegur atau

memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan


41

sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga

sering kali disukai oleh anak (Setianingrum, 2017).

Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa

yang sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik

seperti itu tidak sesusai jika diberikan kepada anak-anak.

Apabila diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang

harus disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam

keluarga orang tua harus merelaisasikan peranan atau tanggung

jawab dalam mendidik anaknya (Mansur, 2014).

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Banyak faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua

diantaranya adalah pendidikan, pengetahuan dan pendapatan.

Seseorang yang berpendidkan tinggi diyakini mempunyai pengetahuan

yang baik sehingga lebih mengerti bagaimana mengasuh anak,

demikian sebaliknya. Dari aspek pendapatan dijelaskan pada keluarga

yang mempunyai pendapatan tinggi cenderung lebih memanjakan

anaknya dengan berbagai fasilitas, hal ini berbeda jauh dengan

pengasuhan yang diterapkan oleh keluarga dengan pendapatan rendah

(Anwar, 2008)

Dalam Penelitian Widiani & Candrawati (2017) menunjukkan

bahwa, faktor lingkungan salah satunya keluarga berpengaruh pada

kemampuan ibu memberikan stimulasi. Jumlah anak yang dimiliki


42

sebagian besar 1 sebanyak 82 orang (48,8%) dimana jumlah anak yang

dimiliki cukup tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan ibu

memberikan stimulasi perkembangan psikososial otonomi pada anak

secara baik. Status pernikahan menikah sebanyak 167 orang (99,4%)

dimana ibu yang mendapat dukungan suami secara umum lebih baik

dalam memberikan stimulasi pada anak. Urutan anak yang dimiliki

sebanyak 86 (50,6%) anak merupakan anak ke dua dan seterusnya

sehingga ibu sudah mempunyai pengalaman dari anak yang

sebelumnya dalam memberikan stimulasi perkembangan, sehingga

pada anak yang kedua ibu lebih baik dalam memberikan stimulasi

perkembangan.

Penelitian Sunarsih (2018) menunjukkan, faktor yang

mempengaruhi pola asuh adalah ibu yang bekerja atau wanita karir.

Terdapat faktor internal dan faktor ekternal yang mempengaruhinya,

faktor internal berpengaruh secara signifikan terhadap pola asuh

pendidikan anak. Pola Asuh Pendidikan Anak yang di terapkan oleh

wanita karir adalah sistem pola asuh authoritative.

Penelitian Jade (2015) yang meneliti tentang pengetahuan

orang tua dalam perkembangan anak menunjukkan bahwa, tidak ada

perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan ekonomi yang

tinggi dan yang rendah, tetapi kelompok ekonomi rendah memiliki

jumlah pengertian yang terbanyak terhadap pertanyaan yang benar,

mayoritas pertanyaan dijawab dengan benar oleh kelompok ekonomi


43

rendah dan yang tinggi, tetapi kelompok diatas menunjukkan bahwa

pengetahuan orang tua terhadap perkembangan anak yang lebih

mengetahui adalah kelompok ekonomi yang rendah. Hal ini

membuktikan bahwa pengetahuan lebih berpengaruh terhadap faktor

yang mempengaruhi pola asuh dibandingkan dengan status ekonomi.

2.3.4 Pengukuran Pola Asuh Orang Tua

Pengukuran pola asuh orang tua menggunakan Parenting

Styles and Dimensions Questionnaire-Short Version (PSDQ) yang

dikembangkan oleh Robinson pada tahun 2001. Kuesioner PSDQ

adalah instrumen untuk mengetahui jenis pola asuh orang tua

diantaranya pola asuh authoritative (demokratis) yang memiliki 15

pertanyaan dan memiliki sub faktor diantaranya, 5 dimensi hubungan,

5 dimensi peraturan, dan 5 dimensi pemberian. Pola asuh

authoritarian (otoriter) memiliki 12 pertanyaan diantaranya 4 dimensi

pemaksaan fisik, 4 dimensi kemarahan verbal, dan 4 dimensi

hukuman, serta pola asuh permissive (permisif) yang memiliki 5

pertanyaan dengan sub faktor dimensi memanjakan.


44

2.4 Kerangka Teori

Fase Perkembangan Anak


Usia Prasekolah : Jenis Pola Asuh Orang
Tua:
1. Perkembangan Fisik
2. Perkembangan Kognitif 1. Authoritative
3. Perkembangan Bahasa (Demokratis)
2. Authoritarian (Otoriter)
4. Perkembangan Sosio- Anak Usia 3. Permissive (Primisif)
Emosional Prasekolah

(Suryani, 2017) (Mansur, 2014) (Mansur, 2014)

Tahap Perkembangan Faktor yang mempengaruhi


Psikososial : Perkembangan Psikososial :
1. Percaya vs Tidak percaya
2. Otonomi vs Rasa malu dan 1. Stimulasi
ragu-ragu 2. Motivasi

3. a Inisiatif vs Rasa Bersalah 3. Pola Asuh Orang Tua

4. Tekun vs Rendah diri


4. Kelompok Sebaya
5. Identitas vs Kebingungan
5. Cinta Kasih
6. Keintiman vs Persaingan
6. Stress
7. Generalisasi vs Stagnasi
8. Inegritas vs Keputusan

(Suryani, 2017 & Mutiah, 2015) (Soerjiningsih, 2012)

Faktor yang mempengaruhi Pola


Asuh Orang Tua :

1. Pengetahuan Orang Tua


2. Pendidikan Orang Tua
3. Pendapatan Keluarga
4. Pekerjaan Orang tua

(Anwar, 2008)
45

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber : Anwar, 2008,. Mansur 2014.,
Suryani, 2017 & Mutiah 2015.,Soerjiningsih, 2012.
Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pola Asuh Perkembangan


Orang Tua Psikososial

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


Sumber: Fudyartanta, 2012; Mansur, 2014; Mutiah, 2015;
Setianingrum, 2017; Suryani, & Badi’ah, 2013; Soerjiningsih, 2012.

Keterangan :

: Yang Diteliti

2.6 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan penelitian dinyatakan dalam bentuk pertanyaan.

(Suprapto, 2017). Pada penelitian ini dapat disimpulkan hipotesisnya adalah :

Ha : Adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan


psikososial anak usia prasekolah di PAUD Desa Kalibuntu
Kecamatan Losari Kabupaten Brebes
46

Ho : Tidak adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan


perkembangan psikososial anak usia prasekolah di PAUD Desa
Kalibuntu Kecamatan Losari Kabupaten Brebes

Anda mungkin juga menyukai