Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat lepas

berhubungan dengan orang lain. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain

dalam dimensi sosial maka orang tersebut tidak bisa dipisahkan dari lingkungan

sosialnya (Creswell J, 2012). Lingkungan sosial merupakan tempat

berlangsungnya macam-macam interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta

pranatanya dengan simbol dan nilai serta norma yang sudah mapan terkait dengan

lingkungan alam, lingkungan binaan dan buatan. Artinya manusia akan selalu

berhubungan dengan manusia lainnya pada suatu lingkungan sosial baik berupa

alam, binaan dan buatan (Purba, 2012).

Berdasarkan proses berinteraksi sosial dilingkungan masyarakat, individu

dapat bereaksi dengan penerimaan atau penolakan dari diri individu terhadap

tindakan yang dilakukan individu lainnya. Adaptasi atau penyesuaian diri

terhadap lingkungan sosial memiliki peran terhadap terciptanya kesehatan mental

individu (Soekarno, 2010). Setiap individu memiliki sikap yang berbeda dalam

beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ada individu yang mudah beradaptasi

dengan lingkungan barunya, tetapi ada pula individu yang memerlukan waktu

lama untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya (Samsul, 2013).

Lingkungan sosial yang utama didapatkan manusia adalah keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan pertama anak untuk berinteraksi, membentuk,

mendidik, dan mengembangkan perilaku anak serta belajar hidup sosial (Suwita P,

1
2011). Lingkungan keluarga merupakan tempat awal untuk berlangsungnya

sosialisasi pada anak. Semua nilai dan norma yang dimiliki individu berawal dari

lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga berperan sangat penting dalam

pembentukan karakter dan perilaku anak (Desmita, 2011).

Tidak semua anak di Indonesia dibesarkan dilingkungan keluarga, sebagian

mereka dibesarkan dilingkungan panti asuhan, menjadi anak jalanan dan

sebagainya (Jahja, 2011).

Berdasarkan data yang direkam oleh Pusat dan Informasi Kesejahteraan

sosial (2011), terdapat sejumlah 6.810 panti sosial di Indonesia yang tediri dari

panti anak, panti lanjut usia, panti penyandang cacat, panti tunasosial, dan panti

NAPZA. Dari sekian banyak panti yang ada di Indonesia, 5846 panti di antaranya

merupakan panti anak. Data ini menunjukkan tingginya angka anak Indonesia

yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Dilihat dari banyaknya jumlah

anak yang berada dilingkungan panti salah satu faktor yang mendorong perlunya

anak-anak tersebut mendapat perhatian serius dari semua pihak adalah status

mereka yang yatim, piatu, yatim piatu, berasal dari keluarga berstatus ekonomi

kurang atau tidak mampu, terlantar, ODHA, cacat, dan lain sebagainya.

Mengacu pada salah satu penelitian di tahun 2007 yang dilakukan oleh

United states Departement of health and Human Service (Bruskas, 2008),

menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak-anak di panti asuhan mungkin

mengalami setidaknya satu atau lebih gangguan mental dan 63% diantaranya

adalah korban penelantaran. Pada tahun 2012, Komisi Nasional Perlindungan

Anak (KPAI) melaporkan menerima rata-rata 200 laporan kasus anak stress per

bulan sepanjang tahun 2011 meningkat 98% dari tahun sebelumnya. Laporan

2
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) tersebut turut mengindikasikan

terdapat peningkatan gangguan stress pada anak di Indonesia (Psikologizone,

2012).

Pembentukan panduan umum program kesejahteraan sosial anak No. 15

A/HUK/2010 yaitu standar pelayanan pengasuhan yang disahkan di Jakarta pada

tanggal 18 maret 2011, merupakan bukti nyata upaya pemerintah dalam

melindungi kesejahteraan sosial anak yang bertujuan untuk pemenuhan hak dasar

anak dan perlindungan terhadap anak dari penelantaran, eksploitasi dan

diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak

dapat terwujud.

Menurut sebuah laporan baru yang di luncurkan DEPSOS RI tahun 2008

Pendirian panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan berjumlah antara sekitar

5000 sampai dengan 8000 panti asuhan yang menyebar di seluruh pelosok negeri

dan melayani 1,4 juta anak. Jumlah ini merupakan salah satu yang tersebar di

Dunia. Namun ironinya, pemerintah hanya menjalakan 1 % dari keseluruhan

jumlah panti asuhan yang ada, sedangkan 99 % sisanya dijalankan oleh

perorangan maupun yayasan yang berdiri secara mandiri (Sudrajat, 2008).

Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah penduduk

terpadat keempat di dunia. Hasil proyeksi Sensus Penduduk 2010, pada tahun

2011 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 243,8 juta jiwa. Sekitar 33,9 %

dari penduduk Indonesia adalah anak-anak berusia 0-17 tahun. Hal ini

menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak-anak Indonesia sama dengan

berinvestasi dengan sepertiga lebih penduduk Indonesia.

3
Menanggapi fenomena ini, perlu adanya perhatian khusus bagi anak yang

mengalami masalah sosial agar tidak terjebak pada kasu-kasus kekerasan,

pelanggaran hukum, dan eksploitasi. Maka dari itu dibentuklah suatu wadah atau

lembaga yang siap mewadahi anak-anak kurang beruntung agar tetap dapat

terpenuhi hak nya, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.

Lembaga yang dimaksud salah satunya ialah Panti Sosial Asuhan Anak. Namun,

panti sosial asuhan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah anak terlantar

beberapa tahun terakhir. Disisi lain, pengawasan dari pemerintah masih sangat

kurang. Berdampak pada seringkali ditemukan kualitas pelayanan di panti sosial

asuhan anak yang masih sangat terbatas (Teja, 2011).

Panti asuhan merupakan lembaga yang berperan penting dalam melayani

hak-hak anak, terutama pada anak yatim, yatim piatu, anak terlantar serta berasal

dari keluarga dengan status ekonomi kurang atau tidak mampu (Voekl, 2012).

Panti asuhan memberikan bekal untuk masa depan anak asuh melalui kegiatan-

kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan-kegiatan yang dicanangkan oleh pengasuh

mendukung kebutuhan anak asuh, baik pemenuhan kebutuhan fisik,

mental/spiritual (psikis), sosial, maupun keterampilan sebagai bekal untuk mandiri

(Listyawati, 2010).

Lingkungan panti asuhan menjadi lingkungan hidup baru bagi anak-anak

tanpa keluarga. Ada beberapa fenomena yang dapat muncul dalam kehidupan di

panti asuhan, yaitu pertama pengalaman atau peristiwa yang menyenangkan serta

perlakuan-perlakuan yang benar dan sehat dari anggota pengasuh, teman bermain

atau lingkungan akan membentuk individu yang sehat, namun apabila pengalaman

atau peristiwa atau perlakuan yang tidak atau kurang sehat dan tidak

4
menyenangkan bahkan sampai menimbulkan trauma akan mempengaruhi

terbentuknya kepribadian individu menjadi kurang sehat (Kuntari, 2010).

Individu dikatakan tidak mampu menyesuaikan diri apabila perasaan sedih,

rasa kecewa, atau putus asa berkembang dan mempengaruhi fungsi-fungsi

fisiologi serta psikologinya, menjadi tidak mampu menggunakan pikiran dan

sikap dengan baik, sehingga tidak mampu mengatasi tekanan-tekanan yang

muncul dengan cara yang baik. Individu dengan penyesuaian diri yang tinggi

yaitu mampu beradaptasi, mampu berusaha mempertahankan diri secara fisik,

mampu menguasai dorongan emosi, perilakunya menjadi terkendali dan terarah,

motivasi tinggi dan sikapnya berdasarkan realitas sehingga mampu menegakkan

hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial (Schneiders, 2008).

Kehidupan manusia merupakan suatu proses penyesuaian diri yang

berlangsung kontinu yang mendorong manusia berjuang memenuhi kebutuhan

dan memelihara hubungan tetap harmonis. Ketika seseoarang dapat mengatasi

masalah-masalah yang dihadapi secara efektif terhadap tuntutan dari dalam dan

luar diri, maka dia dikatakan sebagai orang yang mampu menyesuaikan diri

dengan baik. Sebaliknya apabila masalah-masalah yang dihadapi orang tersebut

terlalu berat dihadapi sehingga menimbulkan gejala-gejala rasa cemas, tidak

berdaya, tidak bahagia atau gejala lainnya, maka orang itu dikatakan sebagai

orang yang gagal dalam menyesuaikan diri (Herri Zan, 2010).

Hasil survey awal pada Panti Asuhan Puteri Aisiyah Jl. Santun No.17,

SudirejoI, Kota Medan, Sumatera Utara adalah Panti Asuhan yang menampung

anak-anak yang terdiri dari anak yatim piatu, anak-anak yang masih memiliki

orang tua lengkap tapi tidak mampu. Anak di Panti Asuhan ini rata-rata berusia

5
12-16 tahun, berjumlah 42 orang dan keseluruhannya adalah putri. Panti Asuhan

ini memberikan pendidikan kepada anak asuh berupa pendidikan formal dan

informal. Pendidikan formal didapatkan di sekolah sesuai tingkat usia anak asuh

sedangkan informal diperoleh di asrama misalnya disiplin dan pendidikan agama.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui

Pengaruh tingkat adaptasi anak panti terhadap penerimaan diri di lingkungan panti

asuhan Aisiyah.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apa saja yang mempengaruhi tingkat adaptasi anak Panti Asuhan

terhadap penerimaan diri di lingkungan Panti Asuhan Aisiyah?

2. Bagaimana tingkat adaptasi anak di Panti Asuhan Aisiyah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengaruh tingkat adaptasi

anak Panti Asuhan terhadap penerimaan diri di lingkungan Panti Asuhan Aisiyah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

kepada intelektual yang akan meneliti di bidang pendidikan khususnya kajian

sosial. Disamping itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi

peneliti lain,supaya menjadi acuan dan untuk mengembangkan penelitian lanjutan

yang belum dibahas dalam penelitian ini agar lebih lengkap.

1.4.2 Bagi Praktek Keperawatan

6
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi

bagi anak yang berada di panti asuhan mengenai pengaruh tingkat adaptasi anak

terhadap penerimaan diri di lingkungan Panti Asuhan.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan dan motivasi

kepada peneliti lain, supaya menjadi acuan dan untuk mengembangkan penelitian

lanjutan yang belum dibahas dalam penelitian ini agar lebih lengkap.

Anda mungkin juga menyukai