Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan anugrah Tuhan yang harus dijaga dengan baik agar

mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam hidupnya. Periode emas

atau golden (0-3 tahun) merupakan masa anak mengalami pertumbuhan dan

perkembangan secara cepat, hal ini mengisyaratkan bahwa apabila

perkembangan pada asfek kognitif, motorik, serta efektip bisa dicapai secara

optimal yang akan mendukung perkembangan anak selanjutnya. Hal ini tentu

saja bisa di capai apabila anak tumbuh secara normal, berarti bahwa tidak ada

gangguan yang di derita anak baik secara fisik, psikologis, maupun

perilakunya, sebaliknya jika anak memiliki gangguan fisik seperti kecacatan

tubuh fisik, maupun psikologis, serta gangguan perilaku, maka dapat

menghambat perkembangan dan pertumbuhannya pula (Ekowarni, 2014).

Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang secara signifikan

berbeda dengan anak-anak lainnya, mereka baik secara fisik, psikologi,

kognitif maupun sosial terhambat dalam mencapai tujuan dan potensinya

secara maksimal seperti gangguan berbicara, cacat tubuh, reterdasi mental

dan gangguan emosional (Mangunsong, 2009). Keberadaan anak

berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia tidak dapat diabaikan, mengingat

jumlah mereka yang terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir karena

semakin mudahnya untuk menemukan anak-anak dengan gangguan tumbuh

kembang baik secara fisik, intelektual, emosi, dan sosial ditengah masyarakat.

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia dari tahun ke tahun

terus meningkat. PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa/United Nations)


memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang

memiliki kebutuhan khusus. Jumlah anak usia sekolah di Indonesia yang

berkebutuhan khusus, yaitu 5-14 tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika

mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta

anak Indonesia yang berkebutuhan khusus (Desiningrum, 2016).

Menurut data terbaru jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia

tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 %) berada

dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak

berkebutuhan khusus yang bersekolah, masih terdapat 245.027 anak

berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik

sekolah khusus ataupun sekolah inklusi. Jumlah anak berkebutuhan khusus

pada tahun 2011 tercatat sebanyak 356.192 anak, namun yang mendapat

layanan baru 86.645 anak dan tahun 2012 baru 105.185 anak, tahun 2014

pemerintah mentargetkan minimal 50% anak berkebutuhan khusus sudah

terakomodir (Desiningrum, 2016).

Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus sama halnya dengan anak

normal lainnya, mereka juga memiliki potensi-potensi yang bisa

dikembangkan bahkan mereka memiliki potensi yang melebihi kemampuan

anak normal lainnya. Sehingga agar potensi-potensi yang dimiliki anak

berkebutuhan khusus dapat berkembang dengan sempurna diperlukan

bimbingan, arahan dan pendidikan seperti halnya berupa terapi untuk mereka

(Dewi Irawan, 2016).

Anak Berkebutuhan Khusus seharusnya memperoleh pelayanan secara

khusus. Pendidikan anak berkebutuhan khusus hendaknya menjadi satu

kesatuan dengan pendidikan normal lainnya, sehingga tidak akan terjadi

isolasi pada mereka yang menderita kelainan. Untuk itu upaya pemerintah
dalam reformasi pada pendidikan yang ditujukan kepada anak berkebutuhan

khusus adalah amat mendesak agar sumber daya manusia bisa berfungsi

secara maksimal. Jelas sekali bahwa upaya ini perlu adanya dukungan

berbagai pihak yaitu dari pemerintah, masyarakat maupun sekolah sebagai

pelaksana operasional. Pemerintah berperan untuk mendesain sistem

Pendidikan Luar Biasa yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang

secara maksimal dan mendapatkan peluang kerja. Masyarakat berperan untuk

memperlakukan peserta didik yang memiliki kelainan seperti halnya siswa-

siswa lain yang normal. Sekolah berperan untuk melaksanakan pendidikan

secara terintegrasi antara anak normal dan anak yang menderita kelainan

(Arie, 2014).

Kenyataannya penerapan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus

memerlukan terapi yang berguna untuk membantu mereka dapat lebih

berkembang dalam hal fisik dan mentalnya. Terapi yang diberikan tersebut

diharapkan mampu merangsang perkembangan fisik anak dengan baik agar

dapat melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh anak seusianya dan

dapat mengubah gangguan perkembangan komunikasi, sosial, dan perilaku

yang terjadi pada anak sehingga menghasilkan perilaku yang positif dan dapat

menjadi anak yang mandiri (Dewi Irawan, 2016).

Terapi yang digunakan untuk anak berkebutuhan khusus dengan

menerapkan occupational therapy atau yang sering disebut terapi okupasi.

Terapi ini selain digunakan untuk anak berkebutuhan khusus dapat pula

diberikan kepada anak/orang dewasa yang mengalami kesulitan belajar,

hambatan motorik (cedera, stroke, traumatic brain injury), autisme, sensory

processing disorders, down syndrome, Attention Deficit Hyperactivity

Disorder (ADHD), genetic disorders, asperger’s syndrome, keterlambatan


wicara, gangguan perkembangan (Cerebal Palsy), Pervasive Developmental

Disorder (PDD) dan yang mengalami gangguan kejiwaan.

Terapi Okupasi banyak dilakukan pada anak yang berkebutuhan khusus

untuk melatih motorik halus. Dalam studi ini, peneliti ingin menjelaskan lebih

jauh bagaimana efektivitas terapi okupasi yang diberikan kepada anak

berkebutuhan khusus dan outcome yang dihasilkan.

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana efektivitas pemberian terapi okupasi pada anak berkebutuhan

khusus?”

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran efektivitas terapi okupasi pada anak

berkebutuhan khusus.

2. Untuk mengetahui tekhnik terapi okupasi yang diberikan kepada anak

yang berkebutuhan khusus.

3. Untuk mengetahui gambaran pemberian intervensi terapi okupasi pada

anak yang berkebutuhan khusus.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan acuan penelitian keperawatan selanjutnya.

Sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih rinci mengenai

intervensi keperawatan pada anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

dijadikan rujukan tambahan untuk melakukan pengabdian ke masyarakat,

khususnya pengembangan keterampilan keperawatan anak.

2. Manfaat Praktisi
a. Bagi Anak

Penelitian ini diharapkan, dengan dilakukannya terapi okupasi pada

anak yang berkebutuhan khusus dapat mengalami pertumbuhan dan

perkembangan dengan baik serta meningkatkan kualitas hidup anak.

b. Bagi Orangtua

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada

orangtua tentang pentingnya melakukan terapi okupasi pada anak yang

berkebutuhan khusus untuk merangsang perkembangan fisik anak

dengan baik.

c. Bagi Perawat Anak

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang

terapi okupasi dan mampu menerapkan baik di rumah sakit maupun di

masyarakat.

d. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman peneliti

tentang efektifitas pemberian terapi okupasi dan sebagai tambahan

referensi untuk penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai