Tuna Rungu
Disusun Oleh :
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dan selalu memberi dukungan, mereka adalah :
1. Dita Lestari M, psi, Psikolog, selaku dosen mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus yang telah memberikan bimbingan serta arahan dalam mengerjakan laporan ini.
2. IBU Adella Veranti, M.Pd, selaku Kepala SLBN 03 Kota Bengkulu yang telah
memberikan izin untuk melakukan observasi di SLB ini, sekaligus memberikan
informasi yang saya butuhkan
3. Segenap guru dan siswa/i SLBN 03 Kota Bengkulu yang telah berpartisipasi pada
observasi ini, memberikan dukungan dan bantuan moral serta materiil.
4. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun
material sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini.
5. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan ini.
Saya sadar bahwa kesempurnaan hanyalah milik Yang Maha Sempurna, tetapi usaha maksimal
telah saya lakukan dalam penulisan dan penyusunan Laporan Observasi ini. Kritik dan saran
akan saya terima dengan tangan terbuka. Saya berharap, semoga Laporan Observasi ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Serta dapat memberikan wawasan yang lebih
luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya mahasiswa Pendidikan
Islam Anak Usia Dini (PIAUD), Fakultas Tarbiyah Dan Tadris, Universitas Islam Negeri
Fatmawati Sukarno Bengkulu
.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Memahami dan mengenal anak berkebutuhan khusus kesulitan belajar di SLBN 03 Kota
Bengkulu
3. Mengetahui problem wali murid yang berkebutuhan khusus di SLBN 03 Kota Bengkulu
C. Metode penelitian
Anak berkebutuhan khusus (ABK) atau disebut juga anak luar biasa, anak berkelainan, anak
disabilitas, dan juga anak difabel adalah anak yang dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan secara signifikan mengalami hambatan atau penyimpangan baik secara fisik,
mental- intelektual, sosial, atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya
sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Depdiknas, 2004:1).
Tien Supartinah mengemukakan dengan istilah anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang
mempunyai kondisi luar biasa karena berbeda atau lain dari keadaan yang dimiliki oleh anak
pada umumnya atau normal (1999:1).
Muljono Abdurrahman juga menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang
menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata, penyimpangan tersebut terkait dengan
penglihatan atau pendengaran, intelektual, dan/atau sosial-emosional (1999:8).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam tumbuh dan kembangnya mengalami hambatan atau penyimpangan baik
secara fisik, mental- intelektual, sosial-emosional, dan komunikasi yang berbeda dengan anak-
anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan
demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi
kelainan/penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan
pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus
Anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan
pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak yang tipe gangguan pendengaran lebih ringan dapat
diatasi dengan alat bantu dengar dan dapat sekolah biasa di sekolah formal. Gangguan
pendengaran dapat diklasifikasikan sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi
dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per sound) atau hertz (Hz). Orang normal dapat mendengar
dalam frekuensi 18-18.000 Hertz. Intensitas diukur dalam desibel (dB). Kesemuanya itu diukur
dengan audiometer yang dicatat dalam audiogram. Perbedaan antara ketulian dengan gangguan
pendengaran menurut Hallahan dan Kauffman (2006) yakni orang tuli adalah mereka yang
ketidakmampuan mendengarnya menghambat keberhasilan memproses informasi bahasa
melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa alat bantu dengar.
Namun gangguan pendengaran adalah gangguan pendengaran baik yang permanen maupun
berfluktuasi namun tidak tuli
1. Prelingual deafness, yaitu suatu kondisi seseorang dimana ketulian sudah ada sejak
lahir atau sebelum dimulainya perkembangan bicara dan bahasa
2. Postlingual deafness, yaitu kondisi dimana seseorang mengalami ketulian setelah ia
menguasai wicara atau bahasa Batasan lain bersifat kuantitatif yang menunjuk pada
gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran dan diukur dengan alat
audiometric. Audiometri merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh
seseorang bisa mendengar atau seberapa besar hilangnya pendengaran.
Anak tunarungu pada hakekatnya adalah sama dengan anak-anak pada umumnya, yang
memiliki kebututuhan dan tugas-tugas perkembangan yang sama dengan anak-anak normal.
Kondisi tidak berfungsinya organ pendengaran secara normal menyebabkan anak-anak
tunarungu memiliki karakteristik yang spesifik, yang membedakan dirinya dengan anak-anak
pada umumnya.
Dilihat dari sisi perkembangannya, anak tunarungu memiliki pola yang bervariasi dalam
beberapa segi, yang umumnya berbeda dengan anak-anak normal. Secara rinci, beberapa
perkembangan yang spesifik diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan Bahasa.
Secara umum perkembangan fisik anak tunarungu tidak banyak mengalami hambatan, kecuali
organ keseimbangan yang mengalami sedikit gangguan. Hal ini terjadi karena adanya kelainan,
baik organik maupun fungsional pada telinga tengah yang menyebabkan terganggunya organ
keseimbangan. Kendati demikian, masih ada sebagian kecil anak-anak tunarungu yang
mengalami hambatan dalam perkembangan fisiknya, yang disebabkan faktor-faktor genetik,
obat-obatan, serta adanya tekanan- tekanan psikologis. Kondisi ketunarunguan juga
menyebabkan hambatan dalam perkembangan bahasa seorang anak. Bagaimanapun,
kemampuan pendengaran sangat penting artinya dalam perkembangan bahasa seseorang,
sementara untuk anak tunarungu hal ini tidak dapat dilakukan dengan baik. Pola perkembangan
bahasa untuk anak tunarungu, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada awal masa meraban tidak terjadi hambatan pada mereka, karena meraban merupakan
kegiatan alamiah motorik dari pernapasan dan pita suara. Pada akhir masa meraban mulai
terjadi perbedaan perkembangan bahasa antara anak tunarungu dan anak-anak normal. Anak-
anak pada umumnya merasakan adanya kenikmatan dalam meraban, karena dapat
mendengarkan adanya suara-suara yang keluar dari mulutnya. Sebaliknya, untuk anak-anak
tunarungu hal-hal seperti itu tidak dapat dilakukan, karena adanya hambatan pendengaran.
Dengan demikian, perkembangan bahasa anak tunarungu umumnya berhenti pada tahap
meraban.
b. Pada tahap meniru, anak tunarungu terbatas pada peniruan bahasa secara visual
(penglihatan), yaitu melalui gerak-gerik dan isyarat. Sedangkan peniruan bahasa melalui
pendengaran (auditif) umumnya tidak dapat dilakukan. Bagi anak tunarungu, bahasa isyarat
merupakan bahasa ibu, sementara bahasa lisan merupakan bahasa yang asing bagi dirinya. Di
dalam kondisi yang demikian, perkembangan bahasa anak-anak tunarungu pada tahap
berikutnya sangat memerlukan bimbingan khusus, sesuai dengan derajat kenunaan dan
kemampuannya masing-masing. Secara umum, tahapan perkembangan bahasa anak adalah:
2. Tahap meraban
3. Tahap meniru
4. Tahap Yargon
2. Perkembangan Inteligensi.
Adanya bimbingan yang teratur, terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu
perkembangan inteligensi anak tunarungu. Namun demikian, tidak semua aspek inteligensi
pada anak tunarungu terhambat perkembangannya, aspek yang mengalami hambatan adalah
yang berkenaan dengan kemampuan verbal,
Selain itu kemampuan intelektual anak tunarungu juga tergantung dari faktor kebahasaan,
sesuai derajat ketunaan yang disandangnya. Hal ini didasarkan adanya kenyataan, bahwa berat
ringannya kelainan akan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap kemampuan berbahasa
penyandang tunarungu.
3. Perkembangan Emosi.
Beberapa karakteristik yang yang umumnya dimiliki oleh anak tunarungu antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Segi Fisik
b. Pernapasannya pendek
2. Bahasa
a. Miskin kosa kata
b. Sulit mengartikan ungkapan-ungkapan dan (idiomatik). kata-kata yang abstrak
c. Sulit memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat panjang, serta bentuk
kiasan-kiasan.
d. Kurang menguasai irama dan gaya bahasa. Dalam segi bahasa, anak tunarungu
banyak mengalami kelemahan. Mereka melihat alam ini sebagai sesuatu yang bisu,
meskipun sebenarnya pada diri anak munarungu ada garis khayal dalam pikirannya,
namun mereka tidak dapat
Untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik anak tunarungu secara mendalalam, maka
dapat dilakukan assesment dengan metode observasi dan test. Hal mi dilakukan terutama untuk
mengetahui fenomena perilaku seseorang tunarungu dalam setting kehidupan yang wajar dalam
kehidupan sehari-hari. Observasi akan lebih baik dilakukan dalam ruang yang dirancang secara
khusus dilengkapi dengan one way screen untuk memudahkan pengamat mengobservasi
perilaku anak, dengan tampa disadari oleh anak tersebut. Banyak hal yang bisa diperoleh
dengan observasi selain mengenai perilaku, juga bisa dilihat kondisi fisik, dan karakteristik
lainnya. Sedang test dalam hal ini dapat dilakukan untuk mengetahui kemampuan potensial,
fungsional dan aktual), derajat ketunaan, sikap dan kepribadian anak tanarungu. Kondisi anak
tunrungu sangat bervariasi, sehingga dengan dilakukan assesment akan dapat diketahui
karakteristik dan kebutuhan (belajar) anak. Hasil ini jaga akan sangat membantu pendidik
dalam memberikan bimbingan dan pelayanan bagi mereka. Ketepatan pemberian bimbingan
dan pelayanan pendidikan, tertama yang berkenaan dengan karakteristik individual,
memungkin kan anak untuk dapat berkembang sescara optimal.
Pada umumnya anak tunarungu memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, mereka juga
sangat senang dipuji atas prestasinya. Namun sayangnya perkembangan belajarnya lamban,
disebabkan keterbatasan persepsi auditorinya, dan ini sangat mengganggu kemampuan dan
proses berfikirnya. Kondisi demikian menyebabkan kemampuan belajarnya tidak dapat dicapai
secara optimal.
Faktor penyebab ketunarunguan menurut para ahli pada umumnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Penyebab ketunarunguan sebelum anak dilahirkan atau anak masih dalam kandungan (masa
prenatal);
2. Penyebab ketunarunguan pada waktu proses kelahiran atau baru dilahirkan (masa natal);
3. Penyebab ketunarunguan sesudah dilahirkan atau masa postnatal (Moh Amin dalam
Sardjono, 1997: 10).
Anak mengalami ketunarunguan atau kurang dengar karena merupakan keturunan orang tua
(ayah atau ibu) yang menderita tuna rungu, tuna rungu jenis ini biasa disebut tuna rungu genetis.
Tuna rungu karena heriditas ini akibat coclea (rumah siput) tidak berkembang secara normal,
dan ini menyebabkan kelainan pada corti (selaput-selaput dalam telinga).
Penyebab ketunarunguan jenis ini terjadi pada waktu ibu sedang mengandung menderita
penyakit campak, cacar air, sehingga anak yang dilahirkan akan menderita tuna rungu mutisma
(deaf mute, mereka tidak dapat bicara secara lisan). Akibat penyakit campak tersebut dapat
merusak coclea dan terjadilah tuli perseptif (perceptive loss deafness) terjadi kerusakan telinga
bagian dalam.
Pada waktu ibu sedang mengandung menderita keracunan darah (toxemia), hal ini dapat
berakibat placenta menjadi rusak sehingga berpengaruh pada janin menjadi tuna rungu.
Banyak kasus seorang ibu yang karena bayi yang dikandung itu tidak diharapkan, maka
berusaha menggugurkan kandungannya itu, tetapi ternyata bayi tetap tidak gugur, jika reaksi
obat berbahaya tadi mengenai pada organ pendengarannya, maka kemungkinan besar bayi
tersebut menjadi tuna rungu karena terjadi kerusakan pada coclea (rumah siput) (Moh. Amin
dalam Sardjono, 1997: 10).
1) Kelahiran prematur, bayi yang dilahirkan premature sebagian besar berat badannya tidak
normal serta jaringan tubuhnya lemah dan sering mengalami kekurangan darah, jika ini terjadi,
maka inti coclea akan rusak hingga menjadi tuna rungu.
3) Anak mengalami kelainan organ pendengarannya sejak lahir seperti; liang telinga sempit
(microtis) sehingga anak yang dilahirkan mengalami tuna rungu, atau anak tidak mempunyai
membrane tympani atau membrannya terlalu tebal atau mengerut, sehingga anak mengalami
kelainan pendengaran.
4) Saat melahirkan menggunakan alat (tang) jika penggunaan alat ini mengenai salah satu organ
pendengaran maka akan berakibat anak mengalami tuna rungu.
Ketunarunguan setelah dilahirkan dapat disebabkan karena infeksi, meningitis, tuna rungu
perseptif, otitis media yang kronis, terjadi infeksi pada alat pernapasan, dan lain-lain (Sardjono,
1997:9-11). Pendapat senada juga disampaikan Prof. dr. Soewito bahwa sebab- sebab
ketunarunguan dibedakan menjadi tiga yaitu masa prenatal, perinatal, dan postnatal.
1) Prenatal, yaitu penyebab ketunarunguan karena heriditer atau keturunan atau sedang
penyebab nonheriditer misalnya karena infeksi virus rubella, defisiensi nutrisi (malabsorbsi),
beri-beri, diabetes mellitus (kencing manis), obat-obatan ototoksis yang dapat merusak
pendengaran antara lain; thalidomide, kinine, streptochyin, dan gangguan kelenjar endoktrin
(cretinisme atau cebol).
3) Postnatal, yaitu ketunarunguan yang disebabkan karena infeksi, misalnya parotitis, otitis
media, meningitis (radang selaput otak), trauma fisik dan akustik, serta proses degenerasi
preisbyacusis (Sardjono, 1997: 23).