Anda di halaman 1dari 6

Menurut Australian Institute of Health and Welfare, penyakit kronis adalah kondisi jangka panjang

dengan efek persisten. https://www.orami.co.id/magazine/penyakit-kronis

Definisi penyakit kronis menurut WHO (World Health Organization) adalah penyakit yang terjadi dengan
durasi panjang yang pada umumnya berkembang secara lambat serta terjadi akibat faktor genetik,
fisiologis, lingkungan dan perilaku. https://lifepack.id/jenis-jenis-penyakit-kronis-gejala-dan-
pengobatannya/

Penyakit terminal Suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi penderita
untuk sembuh. Kondisi tersebut adalah suatu proses yang rpogresif menuju kematian berjalan melalui
suatu proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu.
https://www.kemkes.go.id/index.php?txtKeyword=PENYAKIT+KANKER&act=search-by-
map&pgnumber=0&charindex=&strucid=1280&fullcontent=1&C-ALL=1

Anak berkebutuhan khusus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan.
Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke
sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Anak berkebutuhan khusus" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR (Januari
2021)
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. Tidak ada alasan yang
diberikan. Silakan kembangkan artikel ini semampu Anda. Merapikan artikel dapat
dilakukan dengan wikifikasi atau membagi artikel ke paragraf-paragraf. Jika sudah
dirapikan, silakan hapus templat ini. (Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan
templat ini)

Anak berkebutuhan khusus (Heward/disabilitas) adalah anak dengan karakteristik khusus


yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak
dengan gangguan kesehatan, dan kesulitan bersosialisasi. Istilah lain bagi anak berkebutuhan
khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki,
ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan
dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan
menjadi tulisan Braille (tulisan timbul) dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat (bahasa tubuh).[1][2] .( https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas,[3] bahwa jenis pendidikan bagi Anak
berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan
batasan bahwa Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Teknis layanan pendidikan
jenis Pendidikan Khusus untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa dapat diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan
khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi Pendidikan Khusus hanya ada pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenjang pendidikan tinggi secara khusus belum
tersedia.

PP No. 17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa Peserta didik berkelainan terdiri
atas peserta didik yang: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f.
tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k.
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki
kelainan lain.

Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 Tahun 2010 Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan
dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah. (2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan
keagamaan. Pasal 133 ayat (4)menetapkan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus
dapat dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
Permendiknas No. 70 tahun 2009 Pasal 3 ayat (1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. (2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (10 terdiri atas: a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa;
f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k.
menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; l. memiliki
kelainan lainnya; m. tunaganda Integrasi antar jenjang dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB)
satu atap, yakni satu lembaga penyelenggara mengelola jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan
SMALB dengan seorang Kepala Sekolah. Sedangkan Integrasi antar jenis kelainan, maka dalam
satu jenjang pendidikan khusus diselenggarakan layanan pendidikan bagi beberapa jenis
ketunaan. Bentuknya terdiri dari TKLB; SDLB, SMPLB, dan SMALB masing-masing sebagai
satuan pendidikan yang berdiri sendiri masing-masing dengan seorang kepala sekolah.

Altenatif layanan yang paling baik untuk kepentingan mutu layanan adalah INTEGRASI
ANTAR JENIS. Keuntungan bagi penyelenggara (sekolah) dapat memberikan layanan yang
tervokus sesuai kebutuhan anak seirama perkembangan psikologis anak. Keuntungan bagi anak,
anak menerima layanan sesuai kebutuhan yang sebenarnya karena sekolah mampu membedakan
perlakuan karena memiliki fokus atas dasar kepentingan anak pada jenjang TKLB, SDLB,
SMPLB, dan SMALB.
Penyelenggaran pendidikan khusus saat ini masih banyak yang menggunakan Integrasi antar
jenjang (satu atap) bahkan digabung juga dengan integrasi antar jenis. Pola ini hanya didasarkan
pada effisiensi ekonomi padahal sebenarnya sangat merugikan anak karena dalam praktiknya
seorang guru yang mengajar di SDLB juga mengajar di SMPLB dan SMALB. Jadi perlakuan
yang diberikan kadang sama antara kepada siswa SDLB, SMPLB dan SMALB. Secara kualitas
materi pelajaran juga kurang berkualitas apalagi secara psikologis karena tidak menghargai
perbedaan karakteristik rentang usia.

Adapun bentuk satuan pendidikan / lembaga sesuai dengan kekhususannya di Indonesia dikenal
SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita,
SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat
ganda.

Pemerintah sebenarnya ada kesempatan memberikan perlakuan yang sama kepada Anak
Indonesia tanpa diskriminasi. Coba renungkan kalau bisa mendirikan SD Negeri, SMP Negeri,
SMA Negeri untuk anak bukan ABK, mengapa tidak bisa mendirikan SDLB Negeri, SMPLB
Negeri, dan SMALB Negeri bagi ABK. Hingga Juni tahun 2013 di Provinsi Jawa Tengah dan
DIY baru Pemerintah Kabupaten Cilacap yang berkenan mendirikan SDLB Negeri, SMPLB
Negeri, dan SMALB Negeri masing-masing berdiri sendiri sebagai satuan pendidikan formal.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap tidak mempermasalahkan kewenangan siapa
pengelolaan satuan pendidikan khusus, akan tetapi semata-mata didasari oleh kebutuhan
masyarakat sebagai warga negara yang berdomisili di wilayahnya.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, emosi, dan sosial.
Anak-anak ini dalam perkembangannya mengalami hambatan, sehingga tidak sama dengan
perkembangan anak sebayanya. Hal ini menyebabkan anak berkebutuhan khusus membutuhkan suatu
penanganan yang khusus. Anak yang mempunyai keterbatasan fisik belum tentu mempunyai
keterbatasan intelektual, emosi, dan sosial. Namun, apabila seorang anak mempunyai keterbatasan
intelektual, emosi, dan sosial, biasanya mempunyai keterbatasan fisik. Tidak mudah untuk mengetahui
bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus, sehingga diperlukan derajat dan
frekuensi penyimpangan dari suatu norma. Seorang anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang
berbeda dari norma sedemikian signifikan dan sedemikian sering sehingga merusak keberhasilan
mereka dalam aktivitas sosial, pribadi, atau pendidikan. Kategori anak berkebutuhan khusus dapat
dideskripsikan oleh profesional sebagai tidak  mampu (disabled), mempunyai kesulitan (impaired),
terganggu (disordered), cacat (handicapped), atau berkelainan (exeptional) (Haring, 1982).

Kebijakan Pelayanan Kesehatan Long Term Disease Belum Spesifik


Februari 10, 2014, oleh:

https://www.umy.ac.id/kebijakan-pelayanan-kesehatan-long-term-disease-belum-spesifik

Kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia, dalam menangani penyakit kronis (Long Term
Disease) dinilai belum spesifik. Kebijakannya pun belum dikenal secara khusus sebagai Long
Term Care, tapi sering diistilahkan sebagai paliatif, hospice care, home care, keperawatan
keluarga, praktik mandiri, holistic care, dan continum care. Padahal, dari beberapa istilah yang
ada itu belum semuanya mengarah pada pelayanan kesehatan untuk pasien penyakit kronis (Long
Term Disease).

Demikian disampaikan Harif Fadhillah, perwakilan Persatuan Perawat Nasional Indonesia


(PPNI) saat menjadi narasumber dalam acara 2nd International Nursing Conference 2014 yang
bertemakan “Application Holistic Care Toward A Better Quality of Health On Long-Term
Disease”, di Sportorium Kampus Terpadu UMY, Minggu (9/2). Sementara Harif menyampaikan
tentang Trend Perawatan Penyakit dan Kebijakan Dalam Menangani Penyakit Long-Term
(Kronis dan Terminal) di Indonesia.

Menurut Harif, penanganan masalah penyakit kronis (Long-Term Care) di Indonesia masih
sebagai entitas dan belum adanya aspek serta metodologi penanganan yang spesifik. Long-Term
Care (LTC) ini menurutnya harus melihat aspek kuratif (daya untuk mengobati), preventif
(pencegahan), menyeluruh, dan berkesinambungan. “Kalau dalam konteks Long-Term ini lebih
pada upaya pelayanan kesehatan perorangan, maka hal ini erat kaitannya dengan bagaimana
praktek profesi yang dilakukan, dan ini kita sebut sebagai LTC. Dalam upaya pelayanan
kesehatan ini harusnya juga sudah dijelaskan dalam kebijakan pemerintah, namun hingga saat ini
belum ada aturan secara spesifik untuk Long-Term ini,” ujarnya.

Perawatan penyakit kronis dan terminal ini menurut Harif seharusnya mencakup beberapa hal,
yaitu upaya berkesinambungan yang dilakukan berupa pelayanan kesehatan semenjak bayi
hingga usia lanjut, secara formal juga harus dilakukan pelayanan oleh institusi pelayanan
kesehatan, baik itu di tingkat klinik pratama, sekunder (rumah sakit umum), dan tersier (rumah
sakit khusus). “Kemudian secara informal, pelayanan juga bisa dilakukan di dalam keluarga
sendiri atau oleh teman, jika pasien tidak memiliki keluarga, karena dominan yang menjadi
pasien Long-Term berusia lanjut. Namun dari itu semua, “kunci” pentingnya terletak pada
koordinasi dari semua pihak. Karena saya melihat bahwa Long-Term ini tidak bisa hanya
dihayati dan ditangani dalam satu profesi saja, tapi lebih pada multi profesi,” paparnya.

Ia juga mengatakan bahwa regulasi tentang penanganan LTD itu juga perlu lebih dispesifikkan
lagi dalam bentuk Undang-Undang. “Hal ini untuk mengetahui kriteria penyakit yang termasuk
dalam Long-Term Disease, karena kita juga masih menemukan kesulitan dalam hal ini, ada yang
mengatakan yang termasuk Long-Term itu penyakit menular, kemudian penyakit tidak menular,
ada juga yang mengatakan disebabkan oleh injuri” tukasnya.

Adapun seminar internasional yang diadakan oleh mahasiswa Profesi Ners Keperawatan FKIK
UMY angkatan 20 ini, juga dijelaskan mengenai perkembangan dan pembaharuan sistem
pelayanan kesehatan melalui praktik keperawatan holistik (Holistic Nursing Care (HNC)) dan
Long Term Care (LTC). Karena LTC sendiri merupakan suatu bentuk pelayanan yang
membutuhkan waktu yang panjang dikarenakan oleh kecacatan atau penyakit kronis, untuk
membantu individu yang membutuhkan bantuan kesehatan dan aktivitas sehari-hari dalam waktu
yang lama. “Sedangkan HNC itu praktek keperawatan yang memadukan antara pengobatan
modern dan konvensional, dan bertujuan untuk mengatasi masalah individu dengan memandang
individu dari keseluruhan aspek kehidupannya (komprehensif),” ujar Laila, panitia seminar.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengupdate informasi terbaru mengenai praktik keperawatan
holistik (Holistic Nursing Care (HNC)) dan Long Term Care (LTC) di beberapa negara serta
mengetahui praktik HNC dan LTC pada pasien dengan Long Term Disease, sehingga diharapkan
dapat membantu perawat mampu mengembangkan praktek HNC dan LTC pada pasien dengan
Long Term Disease berlandaskan ilmu dan keterampilan.

Selain itu, seminar ini juga disertai dengan kegiatan mini workshop tentang praktek HNC
(bekam, acupuntur, acupressure, dll) untuk memberikan gambaran praktek pelaksanaan HNC
secara nyata kepada peserta. Dan ada pula Lomba poster dan presentasi poster penelitian yang
berkaitan dengan HNC dan LTC pada hari Minggu, 08 Februari 2014, dengan hadiah total jutaan
rupiah bagi pemenang dan juara 1, 3, dan 3 mendapat kesempatan untuk presentasi penelitian
dalam 2nd International Nursing Conference dan tampil dalam GALERY POSTER
PRESENTATION.

3. tren

Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya
berdasarkan fakta.

Issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak terjadi pada
masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum, pembangunan
nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, ataupun tentang krisis. Issu adalah sesuatu yang
sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas faktannya atau buktinya

Trend dan Issu Keperawatan adalah sesuatu yang sedang d.bicarakan banyak orang tentang
praktek/mengenai keperawatan baik itu berdasarkan fakta ataupun tidak, trend dan issu
keperawatan tentunya menyangkut tentang aspek legal dan etis keperawatan.

Peran Perawat Terhadap Trend Issue


 Peran perawat dalam penerapan trend issue pada yaitu dapat melakukan perannya sebagai
pembari asuhan keperawatan (Care giver) dengan lebih baik. Pemberian asuhan keperawatan
akan lebih baik dengan adanya Telehealth atau Telenursing yang berbasis teknologi. Dengan
adanya telnologi telenursing ini perawat hendaknya dapat melakukan tindakan keperawatan
dengan lebih efisien dan tepat. Dengan demikian Perawat sebagai pemberi layanan keperawatan
dengan asuhan keperawatannya dituntut semakin profesional dan mengedepankan perkembangan
teknologi kesehatandalam memberi pelayanan kesehtan. Dengan memanfaatkan kecanggihan
tekhnologi, asuhan keperawatan tersebut bisa diberikan hasil yang lebih baik. Perawat juga dapat
melakukan perannya sebagai kolaborator dengan tim kesehatan lain dengan memanfaatkan
komunikasi pada telenursing sehingga pelayanan kepada pasien lebih meningkat.
https://www.academia.edu/40766275/MAKALAH_TREND_DAN_issu

4 kebijakn ABK

UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat disebutkan bahwa


“setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.
Penjelasan :
Tentunya aspek-aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua
orang. Menjadikan bahan rujukan kita bersama untuk lebih mengayomi mereka yang
berkebutuhan khusus. ABK juga manusia sama seperti yang lainnya dan mereka mempunyai hak
yang sama juga untuk memperoleh pendidikan yang layak. 2.

Kemudian terdapat penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada pasal 32 ayat 1,
pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelaianan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau
memiliki potensi kecerdasan.
Penjelasan :
Disini jelas sekali disinggung mengenai mereka yang mendapat pendidikan adalah yang
memiliki kesukaran dalam pembelajaran. Berarti ABK harus disajikan materi pembelajaran yang
eksklusif juga karena memiliki keterbatasan. Bukannya malah dikucilkan bahkan dikeluarkan
dari sekolah karena dianggap menjelekkan citra sekolah. 3.

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa: · Pasal 3 (1): Setiap
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendididkan secara inklusif
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. · Pasal 4:
Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah
menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 (1). · Pasal 6 (1): Pemerintah kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. · Pasal 6 (2):
Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan
pendidikan yang ditunjuk. · Pasal 6 (3): Pemerintah dan Pemerintah Provinsi membantu
tersedianya sumber daya pendidikan inklusif.

https://www.academia.edu/8520638/
ADAPTIVE_Kebijakan_Pemerintah_tentang_Anak_Berkebutuhan_Khusus_di_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai