Anda di halaman 1dari 28

MODUL-7

KESEHATAN MENTAL
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Deskripsi Singkat
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak-anak yang membutuhkan pendidikan
khusus dan layanan pendidikan khusus dikarenakan kondisi kelaianan yang bersifat fisik,
motorik, emosi, perilaku, intelektual dan bahkan faktor sosial. Pada bab ini, mahasiswa akan
mempelajari dan mendiskusikan bagaimana kondisi kesehatan mental ABK terutama sebagai
dampak dari kebutuhan khusus yang dialami oleh ABK tersebut. Mahasiswa juga diminta
untuk mengidentifikasi berbagai kemungkinan kondisi psikologis yang dialami oleh ABK
berdasarkan karakteristiknya.

Relevansi
Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan
menjelaskan kembali siapa saja yang termasuk ke dalam katergori ABK dan pengertian dari
ABK itu sendiri. Mahasiswa juga diharapkan mampu mengidentifikasi karakteristik tiap jenis
ABK dan mengenali karakteristiknya, serta menguraikan kondisi psikologis yang berdampak
pada diri ABK tersebut. Pada akhirnya, mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi
berbagai kebutuhan ABK dalam upaya penanggualangan dampak psikologis yang dialami
ABK sebagai akibat dari kebutuhan khusus yang dialaminya.

Capaian Mata Kuliah


Mahsiswa memahami kesehatan mental pada ABK, dengan indikator:
 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian ABK
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan klasifikasi ABK
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan karakteristik ABK
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan dampak psikologis kebutuhan
khusus bagi ABK
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan kebutuhan ABK berdasarkan
karakteristik dan damapak kebutuhan khusus pada ABK
A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Seiring dengan perkembangan paradigma pendidikan yang memperhatikan
keberagaman potensi yang dimiliki oleh peserta didik, saat ini dikembangkan dan
digunakan istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak berkebutuhan khusus (ABK)
adalah istilah untuk merujuk pada anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental,
emosi atau fisik. Mereka yang termasuk dalam istilah ini diantaranya: tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, tunaganda, berkesulitan belajar, anak
gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan. Karena
karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk layanan pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
Penggunaan istilah ini dianggap lebih santun dan halus untuk merujuk pada anak-
anak yang mengalami kecacatan seperti yang termasuk dalam pengertian anak cacat dan
anak luar biasa. Istilah ini juga memandang anak-anak tersebut dari sudut pandang
kebutuhan dan potensi yang mereka miliki, berbeda dengan istilah anak cacat dan anak
luar biasa yang memandang mereka dari sudut pandang “kondisi kekurangan” yang
mereka alami.
Terminologi berkebutuhan khusus mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 32 dijelaskan bahwa:
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi dan bakat istimewa, dan (2)
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di aderah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Sebagai tambahan, Lynch (1994) mengemukakan bahwa anak-anak yang termasuk


dalam kategori berkebutuhan pendidikan khusus adalah anak luar biasa (anak dengan
kekurangan dan dengan kemampuan diatas rata-rata), anak yang tidak pernah sekolah,
anak yang tidak teratur sekolah, anak yang mengalami drop out, anak yang mengalami
sakit kronis, anak yang bekerja pada usia sekolah, dan anak jalanan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ABK adalah anak yang
mengalami kelainan yang bersifat permanen atau menetap dan kelainan temporer atau
sementara sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan secara khusus tergantung
pada kondisi, potensi dan kebutuhan belajarnya.
B. Klasifikasi ABK
Dalam payung besarnya, klasifikasi ABK terdiri dari dua jenis yaitu ABK permanen
dan ABK temporer. Berikut adalah penjelasannya:
1. ABK permanen
ABK yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan
belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari
kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang mengalami kondisi kehilangan seluruh atau
sebagaian fungsi atau organ penglihatan, pendengaran, serta gangguan perkembangan
kecerdasan dan kognitif, gangguan gerak (motorik), gangguan sensoris, gangguan
interaksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial dan perilaku. Dapat disimpulkan bahwa
ABK yang bersifat permanen identik dengan anak penyandang kecacatan, namun
jangan lupakan bahwa mereka yang memiliki kecerdasan dan kemampuan diatas rata-
rata (anak berbakat) juga termasuk dalam jenis ini.
a. Tunanetra
Tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk merujuk pada seseorang
yang mengalami gangguan atau hambatan penglihatan. Berdasarkan tingkat
gangguannya tunanetra dibagi dua kategori yaitu buta total (total blind) dan yang
masih memiliki sisa penglihatan (Low Vision).
Definisi tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang
memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah
dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Akibat dari hilang/berkurangnya
fungsi penglihatannya tunanetra berusaha memaksimalkan fungsi indera yang
lainnya seperti, perabaan, penciuman, pendengaran, dan lain sebagainya sehingga
tidak sedikit penyandang tunanetra yang memiliki kemampuan luar biasa misalnya
di bidang musik atau ilmu pengetahuan.
b. Tunarungu
Tunarungu adalah istilah untuk merujuk seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
yag diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat/organ
pendengarannya, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaranya dalam
kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara
kompleks.
Winarsih (2007) menyatakan bahwa istilah tunarungu merujuk pada seseorang
yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik
sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak fungsinya sebagian atau
seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dwidjosumarto dalam Somantri (2012) mengungkapkan bahwa tunarungu
adalah seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara. Ketunarunguan
terbagi menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing).
Tuli adalah keadaan kerusakan berat pada sistem pendengaran, sedangkan kurang
dengar merupakan kerusakan pada sistem pendengaran namun masih dapat
berfungsi untuk mendengar baik melalui alat bantu dengar atau tidak.

c. Tunagrahita
Banyak istilah yang digunakan sebagai padanan tunagrahita, diantaranya
adalah mental retardation, mentally retard, mental deficiency, mental defective,
dan lain-lain. Paradigma yang saat ini digunakan oleh para pakar pendidikan dalam
skala internasional adalah mental retardation. Namun di Indonesia dalam sudut
pandang pendidikan, istilah tersebut disebut dengan tunagrahita.
Definisi tunagrahita sebagaimana dirumuskan oleh American Association on
Mental Deficiency (AAMD) seperti dikutip Astati & Mulyati (2011), bahwa
“Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual
functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior and manifested
during the developmental period”.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketunagrahitaan
merupakan sebuah kondisi fungsi-fungsi intelektual yang tingkatannya di bawah
rata-rata orang pada umumnya dan mempengaruhi pula pada aspek perilaku adaptif
seseorang. Kondisi tersebut terjadi selama periode perkembangan seseorang.
Tunagrahita sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk peserta
didik berkebutuhan khusus yang mengalami kondisi keterbatasan dalam aspek
intelegensi (hambatan intelektual) dan interaksi sosial. Sebagai ilustrasi,
tunagrahita mengalami kondisi Mental Age (MA) yang tidak sesuai (berada di
bawah) Calendar Age (CA). Konsep ini memberi gambaran bahwa kemampuan
kognitif tunagrahita tidak bersesuaian (di bawah) dengan usia kalendernya.
Artinya, seorang tunagrahita yang berusia kalender 10 tahun, bisa jadi kemampuan
kognitifnya hanya sampai batas 6 tahun. Di mana seseorang tersebut hanya mampu
memfungsikan kognitifnya sesuai dengan aspek-aspek yang dapat dilakukan oleh
seseorang pada usia 6 tahun.
Perlu ditekankan bahwa, istilah tunagrahita juga merujuk pada sejauh mana
tingkat adaptivitas seseorang terhadap lingkungannya. Karena tunagrahita biasanya
menunjukkan kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Jadi
apabila hanya terdapat satu ciri yang muncul (baik hambatan intelektualnya atau
kesulitan menyesuaikan diri saja), seseorang tersebut bukan termasuk tunagrahita.
Selain itu, tunagrahita terjadi selama masa perkembangan terutama usia dini.

d. Tunadaksa
Pengertian tunadaksa adalah suatu keadaan yang rusak atau terganggu sebagai
akibat dari kelainan bentuk/struktru pada tulang, otot, dan sendi walaupun masih
memiliki fungsi yang seperti seharusnya. Kondisi ini dapat terjadi akibat penyakit,
kecelakaan dan atau merupakan kondisi bawaan sejak lahir (Conference, 1931).
Dalam konteks pendidikan khusus (pendidikan luar biasa), dimasukkan juga
kategori cerebral palsy yang merujuk pada seseorang dengan individu gangguan
gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dalam otak sebagai bentuk
brain injury yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik.
Perbedaan antara tunadaksa dan cerebral palsy adalah bahwa tunadaksa sama
sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami gangguan atau
kerusakan, sedangkan cerebral palsy masih dapat menggerakan anggota tubuhnya
meskipun gerakannya terganggu karena adanya kelainan pada tonus otot.

e. Tunalaras
Dalam literatur asing banyak istilah yang mengupas tentang pendidikan dan
psikoterapi bagi anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial, banyak
ditemukan istilah yang bermakna sama dengan istilah anak tunalaras, seperti:
serious emotional disturbance children, emotional conflict children, emotional
disturbance children, emotional handicap children, emotional impairment
children, behavior disorder children, behavior handicap children, behavior
impairment children, severe behavior children, social and emotional children, dan
sebaginya.
Menurut Kirk dalam Somantri (2012) menjelaskan bahwa tunalaras adalah
mereka yang terganggu perkembangan emosi, menunjukkan adanya konflik dan
tekanan batin, menunjukkan gejala gangguan kecemasan. Sementara itu menurut
Nelson (1981), seseorang dikatakan tunalaras apabila perilakunya menyimpang
dari ukuran menurut norma, usia, jenis kelamin, dilakukan dengan frekuensi dan
intensitas relatif tinggi, serta dalam waktu relatif lama. Pendapat lain dikemukakan
oleh Merril, bahwa untuk dapat digolongkan ke dalam tunalaras, seseorang
menunjukkan tingkahlaku yang berkecenderungan anti sosial yang memuncak dan
menimbulkan gangguan-gangguan, sehingga pihak berwajib diperlukan untuk
menangani mereka.
Batasan tentang tunalaras masih berkembang hingga sekarang, para ahli
memberikan definisi dan batasan-batasan tunalaras pada aspek emosi dan perilaku.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tunalaras dipandang sebagai
kondisi hambatan/gangguan emosi dan perilaku sehingga kurang atau sulit dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan mengganggu situasi belajarnya.
f. Autis
Istilah Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943.
Ada banyak sekali definisi tentang autisme yang dikemukakan oleh para ahli. Salah
satunya seperti yang dikemukakan oleh Treatment and Educational of Autistic and
Communication Handicapped Children Program (TEACCH) dalam Wall (2004)
yaitu: “Autism is a lifelong developmental disability that prevents individuals from
properly understanding what they see, hear, and otherwise sense. This results in
severe problem of social relationships, communication, and behavior”.
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai
dengan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas,
berulang-ulang dan karakter stereotip. Gejala autis muncul sebelum 3 tahun
pertama kelahiran sang anak. Autisme merupakan salah satu dari tiga gangguan
Autism spectrum disorder. Dua di antaranya adalah sindrom Asperger dan PDD-
NOS (pervasive developmental disorder, not otherwise specified).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan ada sekitar
2,4 juta orang penyandang autisme di Indonesia pada tahun 2010. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun tersebut mencapai 237,5 juta jiwa, ini berarti ada
sekitar satu penyandang autisme pada setiap 100 bayi yang lahir.

g. ADHD
ADHD merupkan singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder.
Dalam bahasa Indonesia, ADHD merujuk pada kondisi hambatan atau Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Sebelum istilah ini digunakan,
pernah ada istilah ADD, singkatan dari Attention Deficit Disorder yang berarti
gangguan pemusatan perhatian.
Istilah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan istilah
yang sering muncul pada dunia medis yang belakangan ini diadopsi dalam dunia
pendidikan dan psikologi. Istilah ini memberikan gambaran tentang suatu kondisi
yang mencakup disfungsi otak, di mana individu mengalami kesulitan dalam
mengendalikan impuls, menghambat perilaku, dan tidak mendukung rentang
perhatian atau rentang perhatian mudah teralihkan. Jika hal ini terjadi pada seorang
anak dapat menyebabkan berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku,
kesulitan sosial, dan kesulitan-kesulitan lain yang kait-mengait.
h. Berbakat
Untuk mendefinisikan anak berbakat perlu ditinjau terlebih dahulu bahwa
keberbakatan dipandang sebagai kemampuan dan kecerdasan luar biasa seperti
tercantum dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8
ayat 2. Kemampuan dan kecerdasan yang dimaksud merupakan diatas rata-rata
atau diatas normal.
Renzulli dalam teori three chain of giftedness mengemukakan bahwa
seseorang dianggap berbakat apabila memiliki kemampuan yang diatas rata-rata,
komitmen pada tugas yang tinggi dan kreativitas. Sementara itu Munandar
mengemukakan bahwa anak berbakat mengacu pada konsep berdimensi ganda, hal
ini berdasarkan teori multiple intelegence (kecerdasan ganda).
Seiring perkembangan dan perubahan paradigma yang terjadi dalam bidang
pendidikan, keberbakatan kini tidak semata-mata merujuk pada fungsi kognitif
yang tinggi namun juga pada totalitas dan keterpaduan fungsi-fungsi otak. Seperti
dikemukakan oleh Clark dalam Somantri (2012) bahwa keberbakatan mencakup
kecakapan intelektual yang superior, yang secara potensial dan fungsional mampu
mencpai keunggulan akademik dan non akademik di lingkungannya.

i. Berkesulitan belajar spesifik


Badan Penasihat Nasional Penyandang Cacat Amerika Serikat mendefinisikan
berkesulitan belajar sebagai:
a disorder in one or more of the basic psychological processes involved in
understanding or in using language, spoken or written, which may manifest it
self in an imperfect ability to listen, think, speak, read, write, spell, or to do
mathematical calculations. The term include such as conditions as perceptual
handicaps, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, and
developmental aphasia. The term does not include children who have learning
problems which are primarily the result of visual, hearing, or environmental,
cultural, or economic disadvantage.

Pendapat lain yang senada dikemukakan oleh Haring (1974) “Learning


disability is a behavioral deficit almost always associated with academic
performance and that can be remediated by precise individual instruction
programming”.
Berdasarkan uraian diatas, berkesulitan belajar atau learning disability (ies)
merupakan klasifikasi tersendiri dalam konteks ABK dan tidak termasuk ke dalam
golongan suatu keluarbiasaan seperti tunanetra, tunarungu dan lainnya. Kesulitan
belajar khusus didefinisikan sebagai gangguan perseptual, konseptual, memori,
maupun ekspresif dalam proses belajar. Kondisi ini tidak terkait dengan tingkat
kecerdasan dan kondisi fisik seseorang melainkan fungsi-fungsi psikologis yang
menghambat proses belajar seseorang. Contoh dari kasus berkesulitan belajar
khusus diantaranya adalah disleksia, disgrafia, dan diskalkulia.

j. ABK majemuk
Istilah ABK majemuk sebelumnya disebut dengan istilah
tunaganda/tunamajemuk. Namun seiring berubahnya paradigma terkait ABK, maka
istilah tunaganda/tunamajemuk berganti menjadi ABK majemuk. ABK majemuk
adalah mereka yang mengalami hambatan dan kebutuhan belajar secara khusus
yang disebabkan karena kombinasi hambatan diantara fisik, sensoris, sosial, emosi,
intelektual dan lainnya. Sebagai contoh, seorang anak dengan kondisi tunagrahita
disertai dengan ketunanetraan merupakan manifestasi dari ABK majemuk.
Selain pengertian di atas, terdapat istilah lain dalam kategori ABK majemuk
yang sering digunakan yaitu MDVI (Multi Disabilities with Visual Impairment),
yang merupakan sebutan untuk ABK dengan kondisi hambatan lebih dari satu
yaitu: ketunagrahitaan, ketunadaksaan, ketunarunguan, spektrum autisme dan
lainnya yang disertai hambatan penglihatan (ketunanetraan).

2. ABK temporer
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal atau kondisi tertentu, misalnya: anak yang berada di daerah bencana,
daerah konflik, daerah terpencil, berasal dari keluarga dengan ketidakberdayaan
ekonomi, bekerja di usia muda, korban narkoba. Demikian juga anak yang mengalami
penyakit yang berat dalam ukuran medis dan atau kronis seperti penyakit jantung dan
kanker.
Kondisi yang demikian membuat akses terhadap layanan pendidikan terputus dan
terhambat. Oleh karena itu, anak-anak dengan kondisi seperti itu memerlukan layanan
pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang
dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus.

C. Karakteristik ABK
Secara umum, kondisi yang disandang anak berkebutuhan khusus berdampak secara
fisiologis, psikologis, maupun sosiologis. Pada aspek fisiologis, biasanya anak
mengalami masalah antara lain: koordinasi gerak, gangguan sensorimotor, kesulitan
menjaga kesehatan. Dampak psikologis terjadi sebagai akibat tidak langsung karena
kurangnya mendapat kesempatan untuk belajar, bermain, atau bekerja sehingga
potensinya tidak berkembang secara optimal. Kondisi seperti ini mengakibatkan anak
tertekan, rendah diri, tidak percaya diri. Dampak sosiologis berkaitan dengan reaksi dan
perubahan situasi dalam keluarga serta hubungannya dengan masyarakat sekitar.
Kelainan yang disandang setiap jenis anak berkebutuhan khusus berdampak pula
pada munculnya karakteristik atau ciri khas yang membedakannya dengan ABK lain dan
anak pada umumnya. Karakteristik khusus pada setiap jenis kelainan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tunanetra
Kelainan penglihatan (visual) yang dialami anak tunanetra berpengaruh pada berbagai
aspek sebagai berikut:
a. Karakteristik fisik
Pada umumnya anak tunanetra memiliki karakteristik fisik yang tidak berbeda
dengan anak normal. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ
penglihatannya. Sebagai akibat hilangnya atau berkurangnya fungsi penglihatan,
tunanetra memperoleh informasi bergantung pada indera yang lain yang masih
berfungsi. Pada umumnya fungsi indera lain seperti: perabaan, pendengaran,
penciuman, dan perasa lebih peka dari orang kebanyakan, sehingga sementara
orang awam menganggap tunanetra memiliki “indera keenam”. Kepekaan ini
sebenarnya terjadi karena latihan dimana kehilangan penglihatan mendorong
tunanetra untuk melatih dan mengoptimalkan fungsi-fungsi indera lain untuk
memenuhi keperluan hidupnya, misalnya untuk bergerak, belajar, dan bekerja.
b. Karakteristik pribadi
Keterbatasan atau kehilangan penglihatan yang dimiliki oleh tunanetra
mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh waktu
terjadinya, misalnya: ketunanetraan yang terjadi sejak lahir mengakibatkan anak
tidak memiliki pengalaman visual sama sekali. Dia menjadi lebih terbiasa dengan
kondisinya. Lain halnya dengan orang yang mengalami ketunanetraan pada usia
remaja atau dewasa dimana telah memiliki banyak pengalaman visual, kehilangan
penglihatan merupakan pukulan berat yang mempengaruhi kepribadiannya.
Masalah kepribadian lebih cenderung diakibatkan oleh sikap negatif yang diterima
oleh anak dari lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik Sosial
Anak tunanetra mengalami kesulitan dalam hal menguasai keterampilan sosial
karena biasanya keterampilan tersebut didapatkan oleh individu melalui model atau
contoh perilaku serta umpan balik melalui penglihatan.

2. Tunarungu
a. Karakteristik fisik
Karakteristik fisik tunarungu pada umumnya tidak berbeda dengan anak
normal. Pertumbuhan dan perkembangan fisiknya pun sesuai dengan tahapan
usianya. Sehingga secara kasat mata sulit untuk mengidentifikasi anak tunarungu
karena penampilannya pun seperti anak normal pada umumnya. Mereka pun
mampu menjaga kebersihan dan merawat penampilan seperti berdandan layaknya
anak pada umumnya.
b. Karakteristik bicara/bahasa
Kehilangan kemampuan mendengar mengakibatkan anak tunarungu
mengalami hambatan dalam berkomunikasi dan berbahasa secara lisan.
Ketunarunguan yang diperoleh sejak lahir biasanya disertai pula dengan
ketunawicaraan. Mereka kesulitan dalam memahami dan memaknai kosakata
sehingga komunikasi dua arah merupakan tantangan bagi tunarungu dikarenakan
kesulitan dalam berbahasa verbal, sehingga sering terjadi miskomunikasi dua arah
antara tunarungu dengan orang lain.
c. Karakteristik kepribadian meliputi
Anak tunarungu yang tidak mendapatkan latihan atau pendidikan yang baik
lebih cenderung menunjukkan sifat dan sikap pemurung, penuh curiga, tidak
simpatik, tidak wajar, egois, dan sebagianya. Lingkungan tunarungu yang
“memanjakan” dapat berpengaruh terhadap ketidakmampuan penyesuaian mental
juga emosi, serta anak tunarungu cenderung menunjukan kondisi yang lebih
neurotik, mengalami insecurity dan berkepribadian tertutup (introvert).

3. Tunagrahita
a. Karakteristik fisik
Keadaan/kondisi fisik anak tunagrahita dipengaruhi oleh berat-ringan tingkat
ketunagrahitaannya. Anak tunagrahita ringan umumnya memiliki penampilan fisik
yang tidak berbeda dengan anak normal, lain halnya dengan anak tunagrahita
sedang atau berat, perbedaan kondisi fisik biasanya nampak jelas terutama pada
anak dengan ciri klinis tertentu seperti: down syndrome. Selain itu, perkembangan
fisik dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal
mengakibatkan koordinasi geraknya kurang fleksibel (Martasuta, 1984).
b. Karakteristik kecerdasan
Keterbatasan perkembangan kecerdasan intelektual yang dialami anak
tunagrahita mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam berfikir abstrak, hal
ini berdampak pada munculnya kesulitan dalam belajar akademik. Kecerdasan
intelektual anak tunagrahita tertinggal jauh dari anak pada umumnya dengan IQ 70
ke bawah dan perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia yang masih
muda.
c. Karakteristik emosi dan sosial
Perkembangan emosi berkaitan tingkat ketunagrahitaan yang dialaminya.
Anak tunagrahita cenderung tidak dapat bersifat asertif dan tidak dapat
mengidentifikasi bahaya yang ada di sekitarnya. Namun demikian, mereka mampu
menunjukkan emosi-emosi seperti rasa senang, sedih dan marah seperti anak
normal namun masih belum banyak menunjukkan simpati dan empati kepada
orang lain.
Pada aspek social, anak tunagrahita cenderung bergantung pada orang lain.
Sama seperti anak pada umumnya, seorang anak kecil menggantungkan diri kepada
orangtua atau sosok orang dewasa di sekitarnya saat menghadapi bahaya atau
mengalami kekecewaan. Namun seiring bertambahnya usia, ketergantungan
tersebut bukan hanya kepada orangtuanya tapi juga kepada teman sebayanya.

4. Tunadaksa
a. Karakteristik fisik
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan,
namun pada anak tunadaksa potensi tersebut harus dikompensasikan oleh bagian
tubuh lain mengingat ketidakutuhan kondisi fisiknya. Secara umum, perkembangan
fisik anak tunadaksa sama seperti anak normal terkecuali pada bagian tubuh yang
mengalami kerusakan.
b. Karakteristik emosi
Perkembangan emosi pada anak tunadaksa berbeda antara tunadaksa sejak
lahir dan seseorang yang menjadi tunadaksa setelah besar atau dewasa. Dukungan
orangtua dan orang-orang di sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh
pada perkembangan emosi tunadaksa.
Orangtua tunadaksa cenderung bersikap over protective terhadap mereka.
Reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustrasi bagi anak-
anak tunadaksa yang mana kondisi tersebut berakibat buruk lebih dari faktor
ketunadaksaan yang dialami anak.
c. Karakteristik kepribadian-sosial
Masalah penyesuaian diri terlihat dalam hubungan sosial anak tunadaksa
dalam rangka meyakinkan konsep diri dalam arti fisiknya dan berusaha untuk
meyakinkan konsep diri yang disadarinya. Masalah penyesuaian diri jga mungkin
terjadi pada kemajuan perkembangan yang normal yang dialami setiap orang, di
mana pada saat bersamaan juga anak tunadaksa berusaha untuk memperluas ruang
gerak untuk mempertahankan konsep diri yang telah dimilikinya.

5. Tunalaras
a. Karakteristik kepribadian
Kepribadian anak tunalaras mengalami guncangan akibat dari benturan antara
usaha pemebuhan kebutuhan dengan norma-norma yang berlaku. Kegagalan dalam
memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan konflik mental menjadi pemicu dari
terganggunya stabilitas emosi yang berujung pada kepribadian anak tunalaras yang
cenderung kurang bersahabat terhadap lingkungannya.
b. Karakteristik emosi dan perilaku
Gangguan perilaku merupakan permasalahan yang paling menonjol
ditunjukkan oleh anak tunalaras. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul,
berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain,
menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi
tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami gangguan. Anak normal pada
umumnya mungkin juga dapat melakukan perilaku-perilaku demikian tetapi tidak
secara impulsif dan sesering anak tunalaras.
Perilaku anak tunalaras menunjukkan bentuk yang sangat ekstrim dan bukan
hanya berbeda dengan perilaku anak lainnya. Artinya perilaku yang mereka
tunjukkan merupakan sebuah penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku
di lingkungannya. Hal tersebut merupakan akibat dari adanya suatu masalah emosi
dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung.

6. Autis
Anak-anak yang mengalami spektrum autisme mungkin memiliki masalah
komunikasi, keterampilan sosial, dan bereaksi terhadap dunia di sekitar mereka. Tidak
semua perilaku tersebut terdapat pada tiap anak. Diagnosis harus dilakukan oleh
dokter anak atau profesional lainnya yang berpengalaman dalam bekerja dengan anak-
anak autis. Namun beberapa gejala atau tanda di bawah ini dapat dijadikan pedoman
untuk mengidentifikasi karakteristik anak dengan spektrum autis.
a. Karakeristik komunikasi
1) Tidak berbicara atau sangat terbatas.
2) Kesulitan mengekspresikan keinginan dan kebutuhan dasar.
3) Kurangnya pembendaharaan kosakata.
4) Bermasalah mengikuti arah atau menemukan benda-benda yang bernama.
5) Mengulangi apa yang dikatakan (echolalia).
6) Kesulitan dalam menjawab pertanyaan.
b. Karakteristik sosial
1) Kontak mata minimalis terhadap lawan komunikasi.
2) Menjadi terlalu fokus pada suatu topik atau benda-benda yang menarik bagi
mereka.
3) Kesulitan dalam menjalin dan membina hubungan pertemanan.
4) Menangis, marah, atau tertawa tanpa sebab yang jelas dan pada situasi kondisi
yang tidak sesuai.
5) Kurang menyukai kontak fisik.
Untuk mengidentifikasi karakteristik anak dengan spektrum autis, dapat
merujuk pada DSM-IV dan DSM-V.

7. ADHD
a. Masalah pemusatan perhatian
Pemusatan perhatian adalah suatu bentuk multidimensional sebagai bentuk
adanya kewaspadaan penuh atau alertness, sangat berminat atau arousal,
selektifitas, perhatian terus-menerus, rentang perhatian atau span of attention.
Sehingga anak mengalami penurunan persistensi upaya atau berkurangnya respons
terhadap tugas secara terus-menerus sehingga dibutuhkan penguat intrinsik ataupun
ekstrinsiknya (Barkley dalam Saputro, 2009).
b. Hiperaktivitas
Hiperaktivitas pada anak ADHD paling sering ditunjukkan dalam bentuk
kegelisahan, tidak bisa diam atau restless, tangan dan kaki selalu bergerak, tubuh
secara menyeluruh bergerak tidak sesuai situasi. Gerakan gerakan tersebut
seringkali tanpa tujuan, tidak sesuai dengan kondisi atau situasi yang berlaku.

8. Anak berbakat
a. Karakteristik intelektual
Anak berbakat terlahir dengan anugerah berupa tingkat intelektual yang di atas
rata-rata anak pada umumnya. Mereka memiliki cara berpikir yang unik dan tidak
biasa dalam menyikapi berbagai hal. Mereka tergolong cepat belajar dan mampu
memahami apa yang dipelajarinya tanpa harus bersusah payah seperti pada anak
pada umumnya.
b. Karakteristik emosi
Anak berbakat cenderung memiliki kondisi emosi yang rentan karena
sensitivitas yang dimilikinya. Mereka mudah tersinggung dan teguh pada
pendiriannya. Hal ini merupakan dampak negatif dari tingginya tingkat intelektual
yang mereka miliki. Sikap perfeksionis yang mereka tunjukkan kadang diartikan
sebagai keras kepala oleh orang lain terutama teman sebayanya.
c. Karakteristik sosial
Anak berbakat cenderung memilih kebebasan pribadi dibandingkan harus
terikat dengan sistem yang berlaku. Oleh karena itu tidak jarang lingkungan salah
mengidentifikasi mereka sebagai tunalaras. Anak berbakat menghargai demokrasi
namun kurang luwes dalam berkompromi. Mereka lebih mandiri tapi kurang
konformitas terhadap masukan dan kritikan teman sebanyanya. Mereka juga
terlihat memiliki sikap kepemimpinan dan kecakapan dalam memimpin kegiatan
atau suatu kelompok.

9. Berkesulitan belajar khusus


a. Karakteristik kognitif
Anak berkesulitan belajar khusus mengalami prestasi akademik yang rendah
sebagai akibat dari kesulitannya memproses kognisi terkait proses belajarnya.
Masalah yang dialami oleh anak berkesulitan belajar lebih mengarah pada area
kemampuan bicara, membaca, menulis, mendengarkan, berpikir dan matematis
yang merupakan penekanan terhadap aspek akademik-kognitif. Kondisi tersebut
merupakan gambaran bahwa masalah tersebut bukan merupakan akibat dari tingkat
kecerdasan yang rendah.
b. Karakteristik sosial-emosi
Setiap jenis kesulitan belajar memiliki karakteristik yang khas, namun pada
umumya mereka mengalami emosi yang labil dan impulsif. Kondisi tersebut
nampak dengan sering berubahnya suasana hati dan tingkatan tempramennya. Hal
ini merujuk pada lemahnya pengendalian terhadap dorongan-dorongan untuk
melakukan hal-hal secara spontan.

10. ABK majemuk


Karakteristik ABK majemuk sangat kompleks tergantung pada kombinasi
hambatan/gangguan yang dimilikinya.

D. Dampak Psikologis Kebutuhan Khusus Pada Anak dan Orangtua


Berdasarkan hakikatnya, kondisi kebutuhan khusus yang dialami oleh anak baik itu
bersifat temporer maupun permanen menimbulkan dampak pada psikologis anak yang
berpengaruh pada kehidupannya sehari-hari. Pengaruh tersebut bukan hanya bagi ABK
tersebut namun juga bagi keluarga dan lingkungannya (Mulyati, 2012). Dampak yang
terjadi pada diri anak, keluarga dan lingkungannya tersebut bergantung pada tingkat
kelainan atau hambatan yang disandangnya. Semakin berat tingkat kelainan atau
hambatannya, maka makin besar dampaknya bagi keluarga dan lingkungannya. Pada sub
bab ini diuraikan secara umum dampak psikologis yang pada umumnya terjadi berkaitan
dengan kebutuhan khusus yang dialami oleh anak. Berikut penjelasannya:
1. Dampak psikologis pada anak
Sebagai ilustrasi, berdasarkan kisah nyata seorang tunanetra yang mana
merupakan salah satu alumni perguruan tinggi swasta di Indonesia. Ia mengalami
kehilangan fungsi penglihatannya akibat dari sebuah kecelakaan lalu lintas yang
melibatkan dirinya sehingga dirinya harus mendapatkan perawatan medis yang
intensif. Organ-organ lain dari tubuhnya berhasil disembuhkan namun ia harus
kehilangan fungsi penglihatannya karena terdapat serpihan kaca dan aspal jalanan
yang masuk ke dalam matanya saat kecelakaan. Ia memberikan kesaksian betapa
tergoncangnya mentalnya pasca kecelakaan tersebut, terlebih menerima kenyataan
pada dirinya kehilangan salah satu “nikmat” dari Allah yaitu penglihatannya. Hari
berlalu dengan kondisinya yang baru sebagai tunanetra, banyak yang harus ia
sesuaikan dengan kondisinya. Rasa frustrasi berubah menjadi depresi berat dan harus
selalu berada dalam pengawasan psikiater dan psikolog sampai pada akhirnya dia
dapat menerima kenyataan dan keadaannya.
Ilustrasi di atas memberikan kita gambaran bahwa dampak psikologis dari
terjadinya kebutuhan khusus sebagai suatu keadaan terguncangnya mental individu
atas kenyataan bahwa dirinya mengalami kekurangan atau hambatan. Pada individu
dengan kondisi demikian, guncangan mental tersebut dimanifestasikan dalam bentuk
keterlambatan dan ketidakseimbangan dalam berbagai aspek baik internal maupun
kehidupan sehari-hari. Kebutuhan khusus yang terjadi baik bawaan sejak lahir/masa
perkembangan ataupun saat dewasa memberikan dampak yang tidak main-main
terhadap kondisi psikologis seseorang. Seseorang bisa jadi menjadi apatis, menarik
diri dari lingkungannya, pendiam akibat dari kurangnya self esteem dan self direction
akibat kebutuhan khusus yang dialaminya.
ABK yang mengalami hambatan penglihatan, pendengaran, intelektual, fungsi
gerak, emosi maupun sosialnya akan berdampak dalam gangguan fungsi mentalnya.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, gangguan fungsi mental pada anak yang
mengalami hambatan penglihatan berdampak pada emosinya juga, kekurangan rasa
percaya diri (self esteem) atau malah terkadang tidak terkontrol emosinya (perubahan
suasana hati yang tiba-tiba dan drastis).
Gangguan fungsi mental juga dapat terjadi pada anak dengan kondisi Cerebral
Palsy (CP) baik mereka dengan tingkat intelektual yang di bawah rata-rata, CP yang
memiliki tingkat intelektual normal dan di atas rata-rata. Gangguan ini merupakan
dampak dari hambatan fisik yang berhubungan dengan fungsi gerak dan adanya
penerimaan yang keliru dari lingkungannya. Misalnya anak CP yang sebenarnya
cerdas, karena keterbatasan gerak mengakibatkan tugas-tugas yang diberikan
kepadanya tidak dapat diselesaikan dengan benar dan tepat waktu, akibatnya ia
dianggap sebagai anak yang tidak mampu mengerjakannya. Anggapan tersebut
merupakan pandangan negatif yang dapat mengganggu psikologis anak tersebut.
Ilustrasi lain terkait dampak psikologis bagi ABK apabila kelak telah usia
menginjak dewasa, dimana sudah saatnya ia memiliki pasangan hidup (pasangan
lawan jenisnya). Kondisi yang dialaminya membuat dirinya ragu-ragu dalam
mengambil keputusan, minder dan tidak berani menjalin hubungan dengan lawan
jenis. Apabila dibiarkan seperti demikian, akan timbul rasa penyesalan diri,
penyesalan terhadap orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Reaksi atas kondisi
kelainannya/hambatannya akan berbentuk pada kebencian terhadap lingkungan
sekitarnya, sehingga menimbulkan sikap negatif seperti rendah diri, mengisolasi diri,
merasa tidak berdaya dan tidak berguna.
Pada tunarungu terlebih yang disertai dengan ketunawicaraan, kondisi psikologis
mereka dapat seketika terguncang apabila ada orang baru yang tidak dikenalnya
menyapa dirinya. Pada umumnya, mereka merasa malu dan kebingungan harus
berkomunikasi dengan orang-orang baru yang menyapanya. Keterbatasan
pendengaran anak tunarungu dapat menghambat perkembangan kepribadiannya
secara keseluruhan yang meliputi aspek psikologis (inteligensinya), emosi, dan juga
psiko-sosialnya. Dampak yang sering terjadi akibat ketunarunguan adalah hambatan
dalam berkomunikasi. Sementara itu komunikasi merupakan hal yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kasus tunalaras, emosi dan perilaku meyimpang yang ditunjukkannya
kepada lingkungan membuat dirinya cenderung dijauhi oleh anak-anak sebayanya
terutama oleh teman-teman di kelasnya. Hal ini karena teman-teman sebayanya
merasa bahwa tunalaras tersebut berbahaya dan tidak dapat bersikap baik terhadap
mereka. Artinya, lingkungan menjauhi dirinya karena dianggap akan menimbulkan
kekacauan atau kerusakan apabila lingkungan tersebut menerima dirinya. Kondisi
demikian dapat menyebabkan guncangan mental yang diwujudkan dalam bentuk
pendiam, pemalu, benci terhadap lingkungan di sekitarnya, dan merasa dikucilkan.
Pada umumnya tunalaras juga menunjukkan amarah dalam bentuk perilaku agresif
dan melawan otoritas sebagai bentuk protes terhadap lingkungannya.
Kondisi keberbakatan yang dimiliki oleh anak pun dapat menimbulkan masalah-
masalah psikologisnya apabila keberbakatan tersebut tidak dapat terakomodasi dengan
baik. Perkembangan koginitif yang cepat dan tidak selaras dengan perkembangan
fisiknya, menyebabkan terjadinya “gap” atau kesenjangan diantaranya. Kondisi
demikian dapat menimbulkan perasaan tidak stabil/adekuat pada anak. Perasaan
seperti demikian biasanya diwujudkan dalam bentuk penolakan untuk bekerja sama
dengan teman-teman sebayanya karena menganggap tidak dapat melakukan pekerjaan
tersebut. Anak berbakat yang mengalami perkembangan kognitif yang cepat lebih
cepat belajar dan sering merasa bosan dalam proses pembelajaran yang reguler. Hal
tersebut membuat anak berbakat merasa bosan dan cenderung enggan untuk
menunggu kelompoknya, sehingga terjadi kesulitan dalam penyesuaian diri. Isu
ketidakstabilan emosi juga dimiliki anak berbakat, mereka lebih rentan terhadap kritik
karena ada kesan perfeksionis dalam performa mereka dalam berbagai bidang.
Gangguan kecemasan dan perasaan frustrasi merupakan bentuk guncangan
psikologis yang umumnya dialami oleh anak berkesulitan belajar terkait dengan
performa belajarnya di kelas. Kondisi demikian merupakan akibat dari seringnya
ketidakmampuan untuk memenuhi target capaian pembelajaran yang dipengaruhi
kondisi kebutuhan khusus yang dialaminya.
Kondisi yang berbeda dialami oleh mereka ABK temporer, terutama mereka yang
berada di daerah bencana sosial (zona perang misalnya). Kondisi kejiwaan mereka
rentan akan gangguan akibat trauma yang mereka alami karena telah menyaksikan
kekerasan dan kehilangan orang-orang tercinta (orangtua, saudara, teman) misalnya
karena situasi perang yang berkepanjangan. Bukan hanya kehilangan orang-orang
tercinta, namun juga mereka kehilangan tempat tinggal dan tempat mereka
bersekolah. Kondisi tersebut membuat mereka tidak mendapatkan pendidikan seperti
biasanya (regular) karena kebanyakan dari mereka harus pindah ke tempat-tempat
penampungan pengungsi. Demikian juga dengan anak-anak yang merupakan korban
bencana alam, masih kita ingat peristiwa tsunami yang melanda provinsi Daerah
Istimewa Aceh pada Desember 2004 silam. Kerusakan dan kerugian bersifat moril
dan materi sangat besar. Terutama bagi anak-anak, mereka banyak yang menjadi
yatim piatu dan harus tinggal di barak-barak pengungsian dalam waktu yang sangat
lama. Untuk menyembuhkan trauma pada anak-anak yang demikian dibutuhkan
waktu yang tidak sebentar mengingat mereka akan menjalani sisa hidupnya ke depan
dengan kondisi seperti itu.
Anak-anak yang menderita penyakit kronis pun mengalami dampak psikologis
yang tidak dapat diremehkan. Mereka harus menjalani kehidupannya lebih banyak
berurusan dengan pengobatan medis yang membuat mereka terpaksa untuk sering
meninggalkan kehidupan sekolahnya. Mereka dapat mengalami gangguan mental
berupa depresi berkepanjangan seperti rasa tertinggal karena sering tidak hadir di
sekolah, mereka dapat mengalami rasa kurang percaya diri akan kemampuannya
untuk mengikuti pembelajaran yang telah banyak ia tinggalkan.

2. Dampak psikologis pada orangtua


Setiap orangtua mendambakan anaknya lahir dengan kondisi jasmani dan rohani
yang sehat/sempurna. Tidak mudah bagi orangtua menerima kenyataan bahwa
anaknya mengalami kelainan atau kecacatan sehingga menyebabkan kebutuhan
khusus termasuk dalam segi pendidikan pada anak. Kondisi psikologis orangtua yang
mana anaknya mempunyai kelainan pada kenyataannya beragam dan tergantung pada
penerimaanya terhadap anak tersebut. Sehingga sikap penerimaan orangtua terhadap
ABK pun menjadi faktor penting yang berdampak pada orangtuanya sendiri, anak dan
lingkungan di sekitarnya. Untuk tunagrahita dan penyandang spektrum autisme,
dampak psikologis justru paling dirasakan oleh orangtuanya.
Tidak sedikit orangtua bersikap menolak (denial) karena sulit menerima
kenyataan bahwa anak yang hadir diantara mereka tidak sesuai dengan harapan.
Dalam kultur masyarakat Indonesia khususnya di daerah, masih terdapat anggapan
kondisi kebutuhan khusus tersebut “kutukan/azab” dari Tuhan atau akibat hal-hal
yang mistis. Terdapat pula sikap penolakan tersebut dintunjukkan dengan
memberikan sikap dingin (tidak acuh) kepada anak, membiarkan anak dan lebih parah
lagi adalah menelantarkannya. Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat sikap
orangtua yang mengirim anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus ke sekolah
berasrama tanpa pernah menjenguk dan menjemput mereka pada saat liburan tiba
(termasuk liburan hari raya keagamaan). Jadi anak menghabiskan waktunya bersama
dengan guru dan pengurus asrama sepenuhnya.
Banyak didapati bahwa ABK sengaja diisolir di rumah karena orangtua merasa
malu dalam menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak yang lain.
Pada kondisi yang seperti ini, sebenarnya ada pula orangtua yang mencoba untuk
bersikap terbuka pada kondisi anaknya yang mengalami kebutuhan khusus, namun
sikap tersebut disertai pula alasan-alasan yang tidak rasional terkait kebutuhan khusus
yang dialami anak, terutama menyangkal bahwa anaknya membutuhkan layanan
pendidikan khusus (Somantri, 2012). Orangtua merasa lebih aman untuk menahan
anaknya di rumah dan melatihnya sendiri atau dengan bantuan pengasuh/pelatih yang
didatangkan ke rumah untuk mengurusi keperluan anaknya.
Terdapat rasa penyesalan dalam diri orangtua terhadap kondisi anaknya yang
berkebutuhan khusus, karenanya orangtua berusaha bertanggungjawab akan
kebutuhan anaknya namun tanpa kehangatan dan kasih sayang, artinya orangtua
hanya sekedar menunaikan kewajiban menafkahi anak saja. Namun ada pula yang
sebaliknya, orangtua memelihara anaknya tersebut secara berlebihan sebagai
kompensasi dari rasa penolakan (Somantri, 2012).
Perasaan frustrasi dan depresi rentan terhadap orangtua yang memiliki ABK
karena tidak jarang orangtua merasa terdapat sesuatu yang salah dengan fungsi-fungsi
reprodukinya. Selain itu perasaan rendah diri juga meliputi orangtua akan tidak
berhasilnya dalam mengasuh anaknya yang berkebutuhan khusus. Bukan hanya itu,
terkadang orangtua menunjukkan sikap agresif dan emosi amarah sebagai bagian dari
gejala depresi akibat pemikiran bahwa ia tidak akan mungkin mempunyai anak yang
normal.
Pada dasarnya sikap yang paling menentukan dari orangtua anak yang
berkebutuhan khusus adalah ketika mengetahui pertama kali bahwa kondisi anaknya
berbeda dari anak lain pada umumnya, kemudian saat anak memasuki usia sekolah,
setelah lulus dari sekolah dan kondisi orangtua yang makin bertambah usia sehingga
muncul kekhawatiran tidak dapat lagi menjaga anaknya atau siapa yang akan
menjaganya kelak mereka telah meninggal.

E. Kebutuhan ABK
Selama upaya sosialisasi terkait eksistensi Anak berkebutuhan khusus (ABK)
dilakukan di Indonesia, masyarakat pada umumnya masih memandang ABK sebagai
kaum minoritas dalam kehidupan sehari-hari. Kesempatan yang diberikan pada mereka
masih kurang porsinya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya baik karena
terbentur faktor aksesibilitas maupun luas lingkup aktualisasi diri yang tersedia. ABK
masih mendapatkan pandangan negatif dan remeh dari masyarakat pada umumnya.
Beruntung seiring dengan perkembangan zaman, peran sosialisasi akan eksistensi ABK
sudah mulai mampu menepis paradigma negatif dan skeptis masyarakat terhadap ABK.
ABK adalah manusia, pada hakikatnya manusia terlahir dengan jiwa yang suci dan
Allah telah menyatakan dengan tegas tidak ada perbedaan bagi manusia kecuali dari
iman dan taqwanya. Oleh karena itu, ABK pun memiliki hak dan kewajiban yang sama
untuk hidup dan berkehidupan. Apabila membahas kebutuhan bagi ABK, mereka sama-
sama membutuhkan berbagai hal yang seperti anak normal pada umumnya butuhkan
juga.
Mengadaptasi pendapat Witmer & Kontinsky, Frampton & Gall, Mulyati (2011)
menjelaskan beberapa kebutuhan ABK yang berpengaruh pada perkembangan anak,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sense of trust
Merupakan kebutuhan akan rasa percaya dari orang-orang di sekitarnya, bahwa ia
eksis ditengah-tengah mereka. Aspek ini juga diartikan sebagai perasaan akan
terjaminnya kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis mereka seperti makan, minum,
tempat tinggal, tidur dan lain-lain.
2. Sense of autonomy
Merupakan kebutuhan anak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mempelajari
berbagai hal di lingkungannya, dengan memperhatikan berbagai aturan dan batasan
(seperti kebiasaan orang-orang di rumah) yang ada sehingga anak dapat bersikap
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
3. Sense of initiative
Merupakan tahapan kebutuhan bagi anak untuk mengembangkan imajinasinya dengan
bermain peran dan berpura-pura menjadi sosok yang dikenalnya (seperti pahlawan,
orangtua, profesi tertentu). Pada tahap ini mereka akan menemukan banyak
pertanyaan spontan untuk diungkapkan terkait berbagai hal yang ada di sekitarnya.
4. Sense of duty and accomplishment
Merupakan kebutuhan akan pencapaian yang diakui oleh orang-orang di sekitarnya.
Apabila sebelumnya anak hanya melakukan hal-hal yang bersifat random dan tanpa
makna (hanya bermain untuk mengembangkan imajinasi), maka selanjutnya anak
merasa perlu melakukan sesuatu yang berarti bagi orang-orang di sekitarnya
(membantu orangtua membersihkan rumah dan mendapat penghargaan dari
orangtuanya).
5. Sense of identity
Merupakan kebutuhan anak untuk mengetahui secara utuh konsep tentang siapa
dirinya yang sebenarnya. Anak harus mengetahui secara sadar terhadap gendernya
(jenis kelamin) dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk body image
dan self direction agar anak mampu berperilaku sesuai dengan kenyataan diri dan
berperan bagi orang-orang di sekitarnya.
6. Sense of intimacy
Merupakan kebutuhan anak untuk membina hubungan sosial yang akrab dengan
orang-orang di sekitarnya, baik dengan keluarga, teman di lingkungan rumah dan di
sekolah. Karena sikap yang cenderung menarik diri dari orang-orang di sekitarnya,
bukan berarti ABK tidak membutuhkan perasaan hangat dari pertemanan bersama
orang-orang di sekitarnya.
7. Parental sense
Merupakan kebutuhan anak untuk mencurahkan kasih sayang bukan hanya kepada
dirinya tetapi juga kepada orang lain (adik atau saudaranya) bahkan kepada sesama
mahkluk Allah (misalnya sayang terhadap binatang peliharaan). Pada tahap ini,
mereka mungkin akan menunjukkan rasa kasih sayang yang lebih tulus dibandingkan
dengan orang-orang normal pada umumnya.
8. Sense of integrity
Merupakan kebutuhan bagi anak dalam menumbuhkan dan mengembangkan
kepribadiannya menjadi seseorang yang memiliki integritas terhadap diri dan orang-
orang di sekitarnya, sehingga eksistensi dan peranannya kepada lingkungan dapat
berarti positif. Kebutuhan ini pula menjadi kebutuhan untuk berpartisipasi terhadap
lingkungan secara mandiri.
Rumusan kebutuhan di atas disusun berdasarkan tahapan perkembangan manusia
yang mana pada tiap tahapan perkembangan, seseorang harus mendapatkan pengalaman
pada aspek-aspek tersebut. Apabila seseorang melewatkan tahapan dan aspek kebutuhan
diatas, maka dikhawatirkan dapat mengakibatkan gangguan psikologis pada seseorang
tersebut. Anak berkebutuhan khusus tentu memerlukan kesempatan untuk mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya.
Sementara itu, dalam kajian psikologi juga terdapat rumusan kebutuhan manusia
yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan
di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak tercukupi dahulu sebelum kebutuhan-
kebutuhan lain di tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, teori ini dikenal dengan
istilah hierarki kebutuhan manusia.
1. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan paling dasar bagi setiap orang adalah kebutuhan fisiologis yakni
kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan
yang dimaksud adalah kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur,
bernafas dan bahkan hasrat seksual. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi
paling dasar dan besar bagi semua pemenuhan kebutuhan di atasnya.
Seseorang yang merasakan lapar akan termotivasi untuk makan, bukan mencari
teman untuk curhat. Manusia akan mengabaikan atau menekan terlebih dahulu semua
kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu terpenuhi. Namun kebutuhan ini
juga dipengaruhi status sosial seseorang di masyarakat, contoh pada perkembangan
zaman sekarang pada masyarakat kalangan menengah ke atas, kebutuhan untuk
memuaskan rasa lapar sudah bercampur dengan gaya hidup. Selain memuaskan rasa
laparnya, citarasa dan tampilan makanan menjadi pertimbangan untuk memuaskan
rasa lapar tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan beragamnya kuliner yang
berkembang saat ini. Namun seseorang yang sangat merasa lapar, tidak akan
mempedulikan citarasa dan tampilan makanan karena prioritasnya adalah rasa
kenyang.
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis pada ABK pun tidak boleh dikesampingkan,
bukan hanya makanan, minuman, dan tempat tinggal. Bahkan apabila memungkinkan,
kebutuhan untuk menyalurkan hasrat seksual secara benar pun harus diakomodasi
karena kebutuhan-kebutuhan ini termasuk ke dalam fitrah manusia.
2. Kebutuhan akan rasa aman
Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpenuhi atau tercukupi, muncul
kebutuhan lain yakni kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan akan rasa
aman ini diantaranya diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan,
perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti kriminalitas, perang,
terorisme, penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan bencana alam. Selain itu,
terdapat juga kebutuhan akan rasa aman secara psikis dari hal-hal yang mengancam
kondisi kejiwaan seperti bullying, dipandang remeh, dan lain sebagainya.
Kebutuhan akan rasa aman merupakan isu penting bagi ABK. Masih terdapat
kasus di mana ABK mendapatkan perlakuan yang tidak dapat diterima seperti
bullying dari anak-anak normal sebayanya. Kasus seperti itu sebenarnya banyak
terjadi di masyarakat, masih hangat kasus bullying yang dilakukan oleh oknum
mahasiswa perguruan tinggi swasta di Indonesia terhadap seorang mahasiswa
penyandang spektrum autisme yang mana peristiwa tersebut sempat viral di media
sosial (youtube dan instagram).

Sumber: http://www.solopos.com/2017/07/18/farhan-mahasiswa-universitas-gunadarma-pernah-
dikurung-dalam-kelas-834746 dari akun instagram @thenewbikingregetan

Peristiwa di atas merupakan satu dari sekian banyak perlakuan kurang terpuji
terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Lebih dari itu, masyarakat awam banyak
yang menyebut ABK (tunagrahita, autis, sindroma down) sebagai orang-orang gila.
Hal ini menjadi kewajiban bersama untuk menghilangkan paradigma tersebut agar
ABK terhindar dari peristiwa-peristiwa yang dapat mengakibatkan gangguan mental.
Karena mereka pada hakikatnya memiliki hak yang sama seperti anak-anak pada
umumnya.

3. Kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang


Apabila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi,
maka selanjutnya muncul kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki dan
dimiliki. Kebutuhan-kebutuhan ini mencakup dorongan untuk dibutuhkan oleh orang
lain agar diakui eksistensinya dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat. Bentuk
perwujudan atas pemenuhan kebutuhan ini seperti hubungan pertemanan,
persahabatan, keinginan memiliki pasangan hidup dan keturunan, kebutuhan untuk
dekat dengan keluarga dan kebutuhan antar-pribadi seperti kebutuhan untuk memberi
dan menerima cinta.
ABK membutuhkan sosok yang dekat sebagai sarana untuk saling memberi dan
saling menerima, terutama dari orangtua dan keluarganya. Hal ini seperti yang telah
dibahas pada bagian dampak kebutuhan khusus bagi orangtua ABK. Anak
berkebutuhan khusus pada hakikatnya memiliki rasa cinta dan kasih sayang yang tulus
melebihi orang-orang normal pada umumnya. Mereka mampu menunjukkan perasaan
kasih sayangnya tersebut secara nyata apabila diajarkan untuk bersimpati dan
berempati oleh lingkungannya dengan benar.

4. Kebutuhan akan penghargaan


Setelah kebutuhan akan memiliki dan kasih sayang terpenuhi, selanjutnya
manusia akan berupaya untuk mengejar kebutuhan egonya atas dorongan atau
keinginan untuk berprestasi dan memiliki prestise. Seseorang akan membutuhkan
pengakuan dan apresiasi atas apa pencapaiannya, seperti misalnya contoh kecil bahwa
seorang anak yang telah membantu orangtuanya membersihkan halaman rumah akan
merasa sangat senang apabila orangtuanya mengucapkan terimakasih kepadanya.
Kepada ABK pun demikian halnya, bahwa merupakan sesuatu yang penting untuk
mengapresiasi dan memberikan bagi mereka penghargaan/pengakuan atas apa yang
telah dikerjakannya. Dalam teori behavioristik oleh Skinner, hal ini disebut dengan
istilah reward yang akan menyebabkan terulangnya perilaku positif dari seseorang.

5. Kebutuhan akan aktualisasi diri


Tingkat paling tinggi dalam hirarki kebutuhan dasar oleh Maslow adalah
aktualisasi diri, yakni kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada
orang lain. Pada tingkatan ini, seseorang akan mengembangkan dan menunjukkan
semaksimal mungkin potensi yang dimilikinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri
adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan
yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Maslow melukiskan kebutuhan ini
sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi
apa saja menurut kemampuannya. Sekecil apapun potensi yang ABK miliki,
diperlukan peran dari orang-orang di sekitarnya terutama orangtua, keluarga dan guru
agar mereka mampu mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan
minat, bakat, dan kemampuannya.
Seperti halnya anak-anak pada umumnya, anak berkebutuhan khusus memiliki
kebutuhan yang menuntut pemuasan, akan tetapi dalam memenuhi kebutuhan atau
tuntutan tersebut anak berkebutuhan khusus mengalami banyak hambatan atau
keterbatasan yang diakibatkan oleh kelainannya. Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan
menimbulkan ketegangan emosi dan perasaan tidak aman. Hal ini akan menambah
kempleksnya problem anak berkebutuhan khusus. Dampak psikologis seringkali lebih
berat daripada dampak yang dibawa oleh kelainannya.
Sekali lagi, penerimaan yang wajar dari lingkungan baik lingkungan keluarga
maupun masyarakat memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan
kepribadian dan kesehatan mental anak berkebutuhan khusus.

Latihan
Bentuk kelompok dan diskusikan tentang dampak psikologis dari kebutuhan khusus yang
dialami oleh ABK

Rangkuman
Kondisi kesehatan mental ABK beragam tergantung pada tingkatan kebutuhan khusus
yang dialaminya. Selain itu, faktor penyebab dan tingkat usia pada saat mengalami kebutuhan
khusus juga mempengaruhi kondisi mental ABK. Anak yang mengalami kebutuhan khusus
sejak usia dini atau sejak lahir akan lebih mudah menerima dirinya dibandingkan dengan
seseorang yang mengalami kebutuhan khusus pada saat usia perkembangan. Kebutuhan
khusus yang dialami anak berdampak pada psikologis anak dan orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu, pentingnya memelihara kesehatan mental bagi ABK melalui penerimaan dan
sikap yang wajar terhadap mereka. Karena pada dasarnya mereka memiliki hak dan
kebutuhan serta kewajiban yang sama seperti anak pada umumnya.

Tes formatif
1. Dalam klasifikasi ABK ada dua jenis,seperti tercantum dibawah ini:
a. Abk permanen dan ABK temporer
b. Anak tunanetra dan ABK temporer
c. Anak korban bencana dan Anak Luar Biasa
d. Anak tunarungu dan tunagrahita
2. Perbedaan antara tunadaksa dan cerebral palsy, sebagai berikut:
a. Tunadaksa sama sekali tidak dapat menggerakkan bagian tubuhnya yang mengalami
gangguan atau kerusakan, sedangkan cerebral palsy masih dapat menggerakan
anggota tubuhnya meskipun gerakannya terganggu karena adanya kelainan pada
tonus otot.
b. Mereka yang terganggu perkembangan emosi, menunjukkan adanya konflik dan
tekanan batin
c. Gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas, berulang-ulang dan karakter
stereotip.
d. Seseorang menunjukkan tingkahlaku yang berkecenderungan anti sosial yang
memuncak dan menimbulkan gangguan-gangguan, sehingga pihak berwajib
diperlukan untuk menangani mereka.kanan batin, menunjukkan gejala gangguan
kecemasan
3. Anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal disebut :
a. ABK permanen
b. ABK temporer
c. Anak Luar Biasa
d. Anak Berkesulitan belajar
4. Untuk mengidentifikasi karakteristik anak dengan spektrum autis, dapat merujuk pada :
a. DSM-IV dan DSM-V
b. pedoman wawancara
c. therapy
d. program pembelajaran
5. Dampak psikologis kebutuhan khusus pada anak dan orangtua, terjadi seperti tercantum
dibawah ini kecuali:
a. Guncangan mental tersebut dimanifestasikan dalam bentuk keterlambatan dan
ketidakseimbangan dalam berbagai aspek baik internal maupun kehidupan sehari-
hari.
b. Mereka dapat mengalami gangguan mental berupa depresi berkepanjangan seperti
rasa tertinggal karena sering tidak hadir di sekolah, mereka dapat mengalami rasa
kurang percaya diri akan kemampuannya untuk mengikuti pembelajaran yang telah
banyak ia tinggalkan.
c. Orangtua bersikap menolak (denial) karena sulit menerima kenyataan bahwa anak
yang hadir diantara mereka tidak sesuai dengan harapan
d. Setiap orangtua mendambakan anaknya lahir dengan kondisi jasmani dan rohani
yang sehat/sempurna.
6. Salah satu kebutuhan ABK yang berpengaruh pada perkembangan anak, diantaranya
adalah sebagai berikut, kecuali :
a. Sense of trust
b. Sense of duty and accomplishment
c. Sense of task
d. Sense of identity
7. Hirarkhi kebutuhan manusia, dikemukakan oleh :
a. Erich Fromm
b. Alfred Adler
c. Abraham Maslow
d. Karen Horney
8. Mereka yang mengalami hambatan dan kebutuhan belajar secara khusus yang
disebabkan karena kombinasi hambatan diantara fisik, sensoris, sosial, emosi,
intelektual dan lainnya.disebut:
a. Tunalaras
b. Tunarungu
c. Tunalaras
d. Abk Majemuk
9. Gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan kesulitan dalam
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas, berulang-ulang dan karakter
stereotip. Disebut :
a. Gangguan kesulitan belajar
b. Autis
c. ADHD
d. Disleksia
10. Terminologi anak berkebutuhan khusus mengacu pada :
a. UUD 1945
b. UU no 31 pasal 2
c. UU no 20/2003
d. UU no 31 pasal 2

Anda mungkin juga menyukai