Sekolah inklusif adalah Lembaga pendidikan yang dihadirkan dengan tujuan untuk
membuka aksesibilitas semua warga masyarakat usia belajar untuk memperoleh
layanan pembelajaran tanpa terhalang oleh hambatan fisik, mental akademik, sensorik
dan kondisi sosial ekonomi. Keragaman peserta didik pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif sangat beragam, karena sekolah inklusif memberikan
akses yang terbuka bagi semua peserta didik.
1. Peserta didik reguler. Peserta didik reguler adalah peserta didik yang tidak
memiliki hambatan tertentu, misalnya hambatan fisik, mental kognitif, sensorik
dan hambatan lainnya yang menyebabkan mereka mengalami kendala dalam
mengikuti pembelajaran secara klasikal.
2. Peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus
adalah peserta didik yang memiliki hambatan tertentu, seperti hambatan
penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan intelektual, hambatan fisik,
hambatan dengan autistik, dan hambatan lainnya seperti anak hiperaktif, lamban
belajar, rendah konsentrasi dan gangguan perilaku tertentu.
3. Peserta didik berkebutuhan layanan khusus. Peserta didik berkebutuhan
layanan khusus adalah peserta didik yang mengalami hambatan secara
eksternal, seperti anak korban bencana alam, anak korban HIV, anak korban
kekerasan rumah tangga dan lingkungan.
Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang bersifat biologis,
psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak berkebutuhan khusus bisa dikaitkan
dengan kelainan genetik dan menjelaskan secara biologis penggolongan anak
berkebutuhan khusus, seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan
tunaganda.
Dalam konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap
dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner,
gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan
kemampuan berbicara pada anak autis dan Attention Deficit Hiperaktif Disorder (ADHD).
Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan
kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga memerlukan
penanganan khusus.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002)
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau
fisik.
Anak kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai
anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk
berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam
pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada
umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan
perkembangan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Alimin (2007) yang mengungkapkan bahwa anak
berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan
pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing
anak secara individual. Dengan kata lain, lingkungan belajar, teknik, media, dan lainnya
harus menyesuaikan dengan ABK.
Peserta didik yang mengalami lamban belajar, disleksia, diskalkulia, atau disgrafia dapat
dikategorikan sebagai ABK temporer. Dengan demikian, memerlukan layanan
pendidikan yang khusus. Apabila hambatan tersebut tidak mendapatkan intervensi yang
tepat, maka tidak menutup kemungkinan menjadi permanen.
Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan
membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka
dalam menjalankan daily activities.
Menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan
hambatan pendengaran atau anak tunarungu adalah ereka yang mempunyai
kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka
yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara
pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat-
alat lainnya.
Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan
pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing
impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara
fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi
pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi
yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi
dan komunikasi secara verbal.
Gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak
mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu
fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak.
Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena
gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek berikut:
1. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk,
merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi
pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak
umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta
gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).
Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada
di bawah rata-rata. Anak mengalami hambatan intelektual mengalami hambatan dalam
tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau
terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan
bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki
tiga indikator, yaitu:
Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
gangguan gerak adalah:
Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu:
Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang
berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada
usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial
atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam
mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan
emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan
emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e. Cenderung prestasi belajar dan motivasi rendah sering bolos jarang masuk
sekolah.
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum,
yaitu sebagai berikut:
a. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat tinggi. (High
function children with autism).
b. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat menengah (Middle
function children with autism).
c. Anak autis yang memiliki fungsi kognisi dan intelektual tingkat rendah (Low
function children with autism)
Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki
bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi),
kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas
kemampuan anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan
potensinya, diperlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat
istimewa disebut sebagai gifted & talented children (Dudi Gunawan, 2011).
Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa
domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-
emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak
berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat
bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau
memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
Layanan khusus dalam pendidikan bagi anak dengan gangguan penglihatan yaitu
dalam membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang hambatan
penglihatan total. Bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan kaca
pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan didengar atau
diperbesar. Di samping itu, diperlukan latihan Orientasi dan Mobilitas (OM) yang
penerapannya bukan hanya di sekolah, melainkan dapat diterapkan di lingkungan
tempat tinggalnya.
Seseorang dikatakan hambatan penglihatan total atau buta total (totally blind) jika
mengalami hambatan visual yang sangat berat sampai tidak dapat melihat sama
sekali. Penyandang buta total mempergunakan kemampuan perabaan dan
pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya
mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan
orientasi dan mobilitas.
a. Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki hambatan lain dapat mencapai tugas-tugas
perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak,
berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang
mendengar (Preisler, 1995, dalam Alimin, 2007). Namun demikian, beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami hambatan pendengaran memiliki
kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks.
Individu ini tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan hambatan
pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti, karena mereka mengalami
kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak cerdas istimewa dan bakat istimewa adalah sebagai
berikut.
4. Menyortir dan mencocokkan huruf kapital, huruf kecil, bentuk cetak, dan tulisan
tangan dari huruf; melatih keterampilan sequencing dengan huruf dan bentuk-
bentuk terpotong; dan melatih menempatkan tiap huruf dalam alfabet dalam
hubungannya dengan huruf lain.