0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
151 tayangan7 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang definisi, klasifikasi, dan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Jenis ABK yang dijelaskan meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Layanan pendidikan yang diberikan antara lain melalui sekolah inklusi, sekolah khusus, pembelajaran bahasa isyarat, dan kurikulum khusus.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi, klasifikasi, dan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Jenis ABK yang dijelaskan meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Layanan pendidikan yang diberikan antara lain melalui sekolah inklusi, sekolah khusus, pembelajaran bahasa isyarat, dan kurikulum khusus.
Dokumen tersebut membahas tentang definisi, klasifikasi, dan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Jenis ABK yang dijelaskan meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Layanan pendidikan yang diberikan antara lain melalui sekolah inklusi, sekolah khusus, pembelajaran bahasa isyarat, dan kurikulum khusus.
1. Definisi Dan Urgensi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak. Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu : anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kelainan tertentu, dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang di sebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat karena melalui pendidikan anak dapat berinteraksi dengan orang lain dan diperlakukan sama dengan anak normal lainnya. Anak berkebutuhan khusus pun berhak mendapatkan pendidikan. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi anak berkebutuhan khusus temporer dan permanen. Anak berkebutuhan khusus permanen meliputi: Anak dengan gangguan fisik, dikelompokkan lagi menjadi: 1. Anak dengan gangguan penglihatan (tunanetra) - Anak kurang awas (low vision) - Anak buta (blind) 2. Anak dengan gangguan pendengaran dan bicara (tunarungu/ wicara) - Anak kurang dengar (hard of hearing). - Anak tuli (deaf) 3. Anak dengan kelainan kecerdasan a. Anak dengan gangguan kecerdasan (intelektual) di bawah rata-rata (tunagrahita) - Anak tunagrahita ringan ( IQ IQ 50 -70) - Anak tunagrahita sedang (IQ 25 - 49) - Anak tunagrahita berat (IQ 25 - ke bawah) b. Anak dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata - Giffted dan genius, yaitu anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata - Talented, yaitu anak yang memiliki keberbakatan khusus 4. Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa). - Anak layuh anggota gerak tubuh (polio) - Anak dengan gangguan fungsi syaraf otak (cerebral palcy)
5. Anak dengan gangguan perilaku dan emosi (tunalaras)
a. Anak dengan gangguan perilaku - Anak dengan gangguan perilaku taraf ringan. - Anak dengan gangguan perilaku taraf sedang - Anak dengan gangguan perilaku taraf berat. b. Anak dengan gangguan emosi - Anak dengan gangguan emosi taraf ringan. - Anak dengan gangguan emosi taraf sedang . - Anak dengan gangguan emosi taraf berat. 6. Anak gangguan belajar spesifik. 7. Anak lamban belajar (slow learner). 8. Anak Autis. 9. Anak ADHD
2. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Peraturan perundangan lain di antaranya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan yang lebih operasional adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI – No.70 Tahun 2009 Tentang “Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa”. Peraturan tersebut semakin menegaskan komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif. Sedangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pendidikan inklusif telah ada sebelum Permendiknas, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 di DKI Jakarta. Di tingkat kabupaten, Perda semacam itu, terdapat di Kabupaten Payakumbuh Sumatera Barat dan Kota Depok. Tumbuhnya Perda di tingkat provinsi dan kabupaten, tidak berarti tanpa persoalan.
3. Layanan Pendidikan Khusus Untuk Anak Difabel
Sekolah harus memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan serta potensi yang dimiliki siswa yang bersangkutan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif harus mampu memberikan layanan, khususnya layanan yang berkaitan dengan layanan akademik serta layanan non-akademik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Hal-hal yang berkaitan dengan layanan akademik yaitu peserta didik, kurikulum, sarana prasarana, serta pendidik. Syarat ANAK berkebutuhan khusus yang bisa diterima menjadi siswa pada pendidikan jenjang SD umum/ normal adalah akta kelahiran, umur siswa, kartu keluarga (KK). Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), lazim juga disebut pendidikan luar biasa, ataupun special education. Layanan pendidikan ABK ini dilatar belakangi oleh kesadaran akan hak memperoleh pendidikan sebagai hak asasi manusia. Dalam upaya melindungi hak anak secara formal dan legal, dibentuklah United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada tahun 1946, yang merupakan badan internasional yang melindungi hak anak. Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus sebagai beikut : 1. Tunanetra Tunaetra adalah individu yang mengalami gangguan pada indra penglihatan. Pada dasarnya, tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, yaitu buta total (blind) dan kurang penglihatan (low vision). Buta total bila tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya melihat cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf braille. Sedangkan yang disebut low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata hams didekatkan atau mata hams dijauhkan dari objek yang dilihatnya. Untuk membantu low vision maka hams menggunakan kacamata atau kontak lensa. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang terpisah dari anak yang masih memilki penglihatan yang masih bagus dan integrasi atau terpadu dengan normal di sekolahan umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi meliputi sekolah khusus, yaitu SLB-A, SLB-B dan lainnya. Strategi proses pembelajaran memilki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak pada tunumnya. 2. Tunarungu Tunarung adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indra pendengaran. Pada anak tunarungu, ketika dia lahir dia tidak bisa menangis. Anak tunarungu juga mengalami kesulitan berbicara, karena fungsi pendengarannya yang tidak berfungsi. Agar dapat berkomunikasi dengan orang lain, maka hams menggunakan bahasa isyarat. Anak yang tunarungu bisa diberikan pendidikan berupa keterampilan supaya aman, menjadi bagian dari masyarakat, dan dapat menjadi seorang yang mandiri. Mereka hams berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau berbicara dengan menggunakan ejaan huruf isyarat. Layanan bagi anak yang tunarungu adalah sekolah yang di dalamnya menyertakan gum pendamping yang berlatarbelakang Pendidik Luar Biasa (PLB), berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah, lingkup sekolah inklusi harus kondusif dan sarana prasarana yang mendukung bagi ABK. Pembelajaran yang paling penting terhadap anak yang tunarungu adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dapat diperoleh melalui percakapan.
3. Tunagrahita adalah individu yang memiliki kernampuan intelektual di bawah rata-
rata/ratardasi mental. Ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Anak tunagrahita hams membutuhkan perhatian yang lebih dalam pengenalan dan pemahaman akan suatu materi. Layanan pendidikan bagi tunagrahita diantaranya mendapatkan kelas transisi yaitu salah satu kelas persiapan dan pengenalan pengajaran, memerlukan sekolah khusus/SLB dan dengan tenaga pendidikan khusus, dan mendapatkan pendidikan terpadu serta panti rehabilitasi. Khusus untuk kasus seperti ini, Leonardo, Ong Peter, dkk. (2018) pernah melakukan penelitian dengan menggunakan aplikasi pembelajaran Augmented Reality yang cocok digunakan untuk penderita tunagrahita dibandingkan penderita lainnya karena mampu meningkatkan daya ingat dari penderita tunagrahita yang mengalami kesulitan dalam menghafal materi pelajaran. Selain itu penerapan kurikulum khusus bagi pendidikan luar biasa (PLB) juga perlu mendapat perhatian. 4. Tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang yang memilki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh. Antara anak normal dan tunadaksa, memilki peluang yang sama untuk melakukan aktualisasi diri. Hanya saja banyak orang yang meragukan kemampuannya. Ada beberapa penggolongan tunadaksa, yaitu tunadaksa golongan murni (umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, penyakit lumpuh/polio) dan tunadaksa golongan kombinasi (mengalami gangguan mental). Sistem layanan pendidikan bagi tunadaksa tersebut bervariasi, mulai dan sistem pendidikan reguler sampai pendidikan yang diberikan di suatu rumah sakit. Model pelayanan bagi tunadaksa dibagi menjadi dua kategori, yaitu "sekolah khusus" dan "sekolah terpadu". Sekolah khusus dipergunakan bagi anak yang mengalami masalah intelektualnya, seperti retardasi mental/kesulitan gerakan dan emosinya. Sedangkan sekolah terpadu dipergunakan bagi anak tunadaksa yang memiliki intensitas masalah yang relatif ringan dan tidak disertai problem penyerta. Dengan kata lain, pelayanannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah reguler. 5. Tunalaras adalah sebutan untuk orang yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Biasanya anak yang mengalaminya memilki ciri berani melanggar peraturan, mudah emosi dan suka melakukan tindakan agresif Anak tunalaras biasanya di sekolahkan di Sekolah Luar Biasa C. Namun, anak tunalaras bisa saja belajar di sekolah umum. Dengan kata lain, mereka dibiarkan membaur dengan anak normal lainnya. Kelas khusus diberikan ketika mereka benar-benar tidak bisa bersatu dengan lingkungan sosial. Pengembangan pendidikan sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha bimbingan penyuluhan di sekolah reguler. Caranya dengan pendidikan jasmani adaptif, yaitu suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan, dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. 6. Down syndrome Merupakan salah satu bagian dari tunagrahita dan kelainan kromosom. Cirinya tampak nyata dilihat dari fisik penderita, misalkan tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil dan lainnya. Anak down syndrome harus mendapatkan pendidikan tambahan Anak-anak ini bisa menunjukkan kemajuan yang pesat jika mereka bisa diterima dengan baik di masyarakat, tidak hanya dalam keluarga. Pada dasarnya layanan pendidikan bagi mereka adalah menimbulkan semangat dalam belajar. Mereka juga harus mendapatkan pembelajaran akademis dari anak-anak yang lain, misalkan membaca dan menulis. Jadi, setiap anak yang termasuk dalam anak berkebutuhan khusus hams mendapatkan perhatian yang lebih dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Model Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu: 1. Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa) 2. Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB) 3. Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung) 4. Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)’ 5. Pusat Diagnostik-Prescriptif 6. Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa). 7. Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB) 8. Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama) 9. Residential School (Sekolah luar biasa berasrama)
10. Membangun Kemitraan Melalui Upaya Kolaborasi Pendidikan ABK
Kemitraan tri sentra pendidikan adalah kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang berlandaskan padaazas gotong royong, kesamaan kedudukan, saling percaya, salingmenghormati, dan kesediaan untuk berkorban dalam membangunekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budayaprestasi peserta didik. Model Operasional Kemitraan Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat dikembangkan dengan mendayagunakan semua potensi sumberdaya yang dimiliki sekolah, keluarga dan masyarakat secara kolaboratif. Pihak sekolah bertindak sebagai: 1. pemrakarsa dalam kemitraan, yaitu pihak yang mengawali untukmembangun kemitraan. Misalnya pada hari pertama masuk sekolah.Pada kegiatan itu sekolah, diwakili wali kelas, memimpin pertemuandengan orang tua/wali untuk membahas program sekolah danagenda pertemuan orang tua/wali. 2. fasilitator kemitraan, yaitu pihak yang memfasilitasi terwujudnyakemitraan dengan keluarga dan masyarakat, misalnya menyediakantempat penyelenggaraan kelas orang tua/wali. 3. pengendali kemitraan, yaitu pihak yang mengendalikan secara proaktifsehingga kemitraan terus berjalan semakin baik, misalnya melakukanevaluasi perubahan perilaku orang tua/wali dalam keterlibatannyamendukung proses pendidikan anak di rumah Sue Stubss dalam bukunya Inclusive Education (2002) menjelaskan bahwa kolaborasi antara orang tua dan guru dalam mengembangkan program pendidikan inklusif, dianggap sebagai mitra kerja yang setara dan terbukti memberikan kontribusi yang signifikan untuk anak mereka, kontribusi tersebut meliputi: 1. Membantu dan memberikan informasi kepada guru tentang cara menangani anaknya. 2. Berbagi pengalaman dengan menjadi pembicara dalam seminar yang mungkin dilaksanakan guru dan in-service training lainnya. 3. Para orang tua bekerjasama dengan sekolah lain untuk pengembangan pendidikan inklusif. 4. Bekerjasama dan membuat rencana dengan pemangku kepentingan seperti organisasi penyandang disabilitas atau organisasi lainnya. Peran orang tua dalam pendidikan inklusif memiliki pengaruh yang sangat besar karena orang tua merupakan orang yang paling mengerti si anak, dari segi karakteristik,