Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

URGENSI PKN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI


BERKEADABAN

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan

Dosen Pengampu :

Mustamim,SH.,M.Hum

Disusun oleh :

Arta Zulian Effendi ( 2101290222 )

Yazid al Bustommy ( 2101290261 )

Alif Nur Wicaksono ( 2101290221 )

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS KH WAHAB HASBULLAH

TAMBAKBERAS JOMBANG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi robbil-‘aalamiin, puji syukur senantiasa selalu kita


panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan Rahmat, Taufik
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia serta di akhirat kepada
umat manusia.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah kewarganegaraan
dan juga untuk khalayak umum sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta
informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami yang semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Dari itu kami
sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang
membaca makalah ini. Terutama dosen mata kuliah kewarganegaraan, yang kami
harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Jombang, Senin 04 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................

A. Latar Belakang ...................................................................................


B. Rumusan Masalah .............................................................................
C. Tujuan Penulis....................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................

A. Urgensi Kewarganegaraan ...............................................................


B. Pengembangan Nilai Demokrasi di Indonesia.................................

BAB III : PENUTUP......................................................................................

A. Kesimpulan..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Paradigma pendidikan di perguruan tinggi, pada umumnya akan terkait


dengan 4 (empat) hal yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan yaitu
mahasiswa, dosen, materi, dan manajemen pendidikan. Keempat hal tersebut satu
sama lain bersinergi dan berinteraksi secara interpendensi. Dalam konteks
pelaksanaan pendidikan, paling tidak terdapat dua kutub paradigma pembelajaran,
yaitu feodalistik dan humanistik. Paradigma feodalistik didasarkan pada
pemikiran bahwa lembaga pendidikan (perguruan tinggi) merupakan tempat
melatih dan menyiapkan peserta didik untuk kepentingan masa yang akan datang.
Peserta didik diposisikan sebagai ‘’objek’’ dalam pembelajaran dan dipandang
sebagai unsur yang tidak berdaya. Karena, peran dosen di kelas sangat dominan.
Ia cenderung memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber ilmu, kebenaran,
dan informasi sehingga memungkinkan seorang dosen tersebut berperilaku
otoriter dan birokratis. Materi pembelajarannya disusun secara rigid sehingga
memasung kreativitas peserta didik, baik laki-laki maupun perempuan. Di sisi lain
manajemen pendidikan pun (termasuk di dalamnya manajemen pembelajaran)
bersifat sentralistik, birokratis, dan monolitik. Penerapan strategi pembelajaran
sangat dogmatis, indoktrinatif, dan otoriter. Implikasi langsung daripada
pembelajaran feodalistik ini menciptakan lulusan lembaga pendidikan seperti
robot, tidak punya kreativitas dan cenderung otoriter.1

Sementara itu, paradigma humanistik mendasarkan pada pemikiran


bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik
yang beraneka ragam (multikultural). Dalam pandangan ini, peserta didik
ditempatkan sebagai ‘’subjek’’ sekaligus ‘’objek’’. Dosen diposisikan sebagai
fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Penyusunan materi pembelajaan
dilakukan berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik, fleksibel,

1
Azyumardi Azra, Membangun Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

4
dinamis, dan fenomenologis. Karenanya, materi tersebut bersifat kontekstual dan
memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model materi
pembelajaran ini medorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life
classroom). Begitu pula dengan manajemen pendidikan (pembelajaran) yang lebih
menekankan pada dimensi desentralistik, kebebasan dan mimbar, tidak birokratis,
dan mengakui pluralistik. Implikasi langsung dari paradigma humanistik menjadi
peserta didik sebagai lulusan pendidikan yang memiliki kreativitas, kemandirian
dan keadaban demokrasi yang tinggi.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan dasar dari Mata kuliah


Pengembangan Kepribadian (MPK) yang wajib diberikan di perguruan Tinggi
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000 dan
pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional No. 38/DIKTI/Kep/2002 tanggal 18 Juli 2002.2

Dasar pertimbangan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi


adalah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menetapkan kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama,
Pendidikan Kewarganegaraan dan bahasa. Yang kemudian diejawantahkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang menetapkan kurikulum tingkat Satuan Pendidikan Tinggi wajib memuat
mata kuliah pendidikan Agama, pendidikan Kewarganegaraan dan bahasa
Indonesia serta bahasa Inggris dan kurikulum tingka satuan pendidikan tinggi
Program Diploma dan Sarjana wajib memuat mata kuliah yang bermuatan
kepribadian, kebudayaan serta mata kuliah statistika dan atau matematika.3

Berdasarkan pertimbangan di atas maka Direktorak Jenderal Pendidikan


Tinggi memutuskan dengan SK No, 43/DIKTI/Kep/2006 tentang rambu-rambu
Pelaksanaan Kelompok Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Pendidikan Kewarganegaraan yang kita kenal sekarang telah mengalami
perjalanan panjang dan melalui kajian kritis sejak tahun 1960-an yang dikenal
2
Ahmad Kaelan & Zubaidi, Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta
:Paradigma, 2007.
3
Ibid.

5
dengan Mata Pelajaran ‘’Civic’’ di Sekolah Dasar dan merupakan embrio dari
‘’Civic Education’’ sebagai ‘’the Body of Knowledge”. Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai instrumen pengetahuan (the Body of Knowledge)
diarahkan untuk membangun masyarakat demokrasi yang beradab. Secara
normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memperoleh dasar hukum yang diatur
dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi: ‘’Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa’’.4

Ketentuan di atas harus dipahami sebagai pendidikan yang akan


mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang didasarkan
pada nilai-nilai yang tumbuh, hisup, dan berkembang dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional menurut Pasal 3
Undang-undang tentang Sisdiknas yang berbunyi: ‘’...berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab’’.Dari ketentuan
di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan demokrasi merupakan bagian
integral dari pendidikan nasional. Oleh karenanya secara kontekstual dewasa ini
pendidikan demokrasi sangat memerlukan adanya pemahaman bersama tentang
perlunya perubahan dan penegasan kembali mengenai visi, misi dan strategi
psiko-pedagogis dan sosio-andragogis pendidikan kewarganegaraan, di mana
pendidikan kewarganegaraan menjadi bagian substansinya.Pendidikan
Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang mempunyai obyek telaah
kebajikan dan buadaya kewarganegaraan, dengan menggunakan disiplin ilmu
pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin
ilmu lain yang relevan yang secara koheren diorganisasikan dalam bentuk
program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial-kultural, dan kajian ilmiah
kewarganegaraan. Demikian pula pendidikan demokrasi merupakan suatu konsep

4
Ahmad Kaelan & Zubaidi, Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta
:Paradigma, 2007.

6
pendidikan yang sistemik dan koheren yang mencakup pemehaman tentang cita-
cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi melalui interaksi sosial kultural dan
psiko-pedagogis yang demokratis, dan diorientasikan pada upaya sistematis dan
sistemik untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik. Oleh karena
itu, rekonseptualisasi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan
demokrasi Indonesia sangatlah diperlukan, karena ternyata proses pendidikan
politik, demokrasi, dan HAM selama ini belum memberikan hasil yang
menggembirakan dan prospek yang menjanjikan. Indikator yang kasat mata dapat
dilihat pada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang cenerung anarkhis,
pelanggaran HAM di mana-mana, komunikasi sosial politik yang cenderung asal
menang sendiri, hukum yang terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas
dari tata krama, serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara. Hal ini
dibuktikan hasil ‘’National Survey of Voter Education’’ oleh Asia Foundation
tahun 1998 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari sampel nasional
mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana
demokrasi.5

Proses rekonseptualisasi pendidikan demokrasi dapat didasarkan pada asumsi-


asumsi dasar sebagai berikut:6

1. Komitmen Nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk


mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, memerlukan wahana psiko-
pedagogis (pengembangan potensi didik di sekolah) dan sosio-andragogis
(fasilitasi pemberdayaan pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang
memungkinkan terjadinya proses belajar berdemokrasi sepanjang hayat melalui
pendidikan demokrasi;

2. Transformasi demokrasi dalam masyarakat Indonesia memmerlukan konsep


yang diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang
tepat sasaran, strategis, dan kontekstual agar setiap individu warga negara mampu
5
Asykuri Ibn Chamim dkk, Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2003.
6
Ibid.

7
memerankan dirinya sebagai warga negara yang cerdas, demokratis, berwatak dan
beradab;

3. Pendidikan demokrasi yang dilakukan dalam konteks pendidikan formal, non


formal, dan informal selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam
mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik berwatak maupun beradab. Untuk
itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model
pendidikan demokrasi yang secara teoretis dan empiris valid, kontekstual handal
dan akseptabel.

4. Secara psiko-pedagogis, pendidikan demokrasi yang dianggap paling tepat


adalah pendidikan untuk mengembangkan kewarganegaraan yang demokratis
(education for democratic citizenship), yang di dalamnya mewadahi pendidikan
tentang, melalui, dan untuk demokrasi (education about, through, and for
democracy) yang dilakukan secara sistemik dan sistem pendidikan formal
termasuk pendidikan tinggi.

5. Untuk mendapatkan model pendidikan kewarganegaraan yang secara psiko-


pedagogis dan secara sosio-andragogis akseptabel dan handal diperlukan upaya
untuk mengkaji kekuatan konteks kehandalan input dan proses, guna
menghasilakn produk pendidikan yang memadai sesuai dengan visi, dan misi
pendidikan kewarganegaraan untuk masyarakat warga Indonesia (civil
society/madani/masyarakat Pancasila).

Pendidikan demokrasi dapat dilihat dalam dua setting besar, yaitu


school based democracy education dan society based democracy eduaction.
School based democracy merupakan pendidikan demokrasi dalam konteks atau
berbasis pendidikan formal, sedangkan Society based democracy education
merupakan pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis kehidupan
masyarakat.7

Secara instrumental, pendidikan demokrasi di Indonesia telah


digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sejak dari usulan BP
7
Asykuri Ibn Chamim dkk, Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2003.

8
KNIP 1945 sampai munculnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sisdiknas). Menurut Pasal 3 Undang-
undang tentang Sisdiknas, tujuan pendidikan nasional dinyatakan sebagai:
‘’berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab’’. Dengan demikian sejak tahun 1945 sampai sekarang ini, instrumen
peraturan perundang-undangan telah menempatkan pendidikan demokrasi sebagai
bagian integral dari pendidikan.8

Dalam tatanan instrumen kurikuler, pendidikan demokrasi telah


disajikan dalam berbagai mata pelajaran dan mata kuliah. Namun demikian
pendidikan demokrasi di Indonesia belum berhasil secara mendalam karena belum
mengembangkan paradigma pendidikan demokrasi yang sistemik, sehingga upaya
pengembangan ‘’civic intelligence civic participation, and responsibility’’ melalui
berbagai dimensi ‘’civic education’’ sebagai wahana utama pendidikan demokrasi
belum dapat diwujudkan secara maksimal.

Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan yang di


dalamnya juga menyangkut pendidikan demokrasi memiliki komponen, yaitu:
kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan, program kurikuler pendidikan
kewarganegaraan, dan gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, secara koheren
bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan
kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganageraan, dan keterampilan
kewarganegaraan haruslah dioptimalkan.9

Visi kelompok mata kuliah pengembanan kepribadian (MPK) di


perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan
penyelenggaraan program studi guna mengantar mahasiswa memantapkan
kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Sedangkan Misi kelompok
mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) di perguruan tinggi membantu
8
Ahmad Kaelan & Zubaidi, Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta
:Paradigma, 2007.
9
Ibid.

9
mahaiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan
cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan
rasatanggung jawab.10

Kompetensi dasar mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan


dirumuskan sebagai berikut: Agar mahasiswa menjadi ilmuan dan profesional
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air demokratis yang berkeadaban,
menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berdedikasi aktif
dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai-nilai
Pancasila.11

B.RUMUSAN MASALAH

1.Bagaimana Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan

2.Bagaimana Pengembangan Nilai Demokrasi di Indonesia

C.TUJUAN PENELITIAN

1.Untuk mengetahui apa aitu urgensi Pendidikan kewarganegaraan

2.............................................................Untuk memahami latar belakang filosofis Pendidikan kewarg


perguruan tinggi

3.................................................................Untuk mengetahui Pancasila sebagai core philosophy bagi


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

4.Untuk mengetahui perkembangan nilai demokrasi di Indonesia


10
Ahmad Kaelan & Zubaidi, Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,
Yogyakarta :Paradigma, 2007.
11
“Pedoman Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Sebagai Mata Kuliah Wajib
Umum (MKWU).”

10
BAB II

PEMBAHASAN

A.Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan

............................................................. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic E


sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan HAM mensyaratkan
adanya sistem pendidikan yang bebas dari belenggu otoriterianisme dan

11
feodalisme. Pendidikan Kewarganegaraan mendorong tumbuhnya situasi
pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, humanis, dan demokratis.12

Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus sensitif


jender dan mengedepankan prinsip keadilan. Dosen harus memberikan
kesempatan yang sama kepada mahasiswa, baik laki-laki maupun perempuan
dalam berbagai aktivitas pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Oleh karena
itu, dalam setiap aktivitas pembelajaran dosen harus proaktif dan menunjukkan
apresiasi yang tinggi kepada kaum perempuan (para mahasiswi) untuk terus
menerus mendorong dan mengaktifkan mereka secara aktif dan partisipatori
dalam rangka pengembangan potensi dirinya secara maksimal.13

Dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi standar atau yang


sering disebut kompetensi minimal terdiri dari tiga jenis:14

1. kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan kewarganegaraan (civic


knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education): demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (civil society).

2. kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (civic dispositions) seperti


pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman. Ketiga,
kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan kewarganegaraan
(civic skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik
penyelenggara negara dan pemerintahan.Ketiga kompetensi tersebut
diartikulasikan oleh mahasiswa melalui transfer pembelajaran (transfer of
learning), pengalihan nilai (transfer of values), dan pengalihan prinsip-prinsip
(transfer of principles) demokrasi bagi tumbuhnya masyarakat madani.
Kemampuan mengembangkan masyarakat menjadi demokratis, kemampuan
mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kemampuan membangun kearifan diri (self

12
A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah,2013) 3.
13
Christine S.T. Kansil. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003).
14
Ibid.

12
wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat,
merupakan tuntutan dasar Pendidikan Kewarganegaraan.

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) bertujuan untuk :15

(a) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab


dalam kehidupan politik dan masyarakat baik lokal, nasional, regional dan global

(b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan
integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan
demokratis

(c) menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analitis, kritis dan


bertindak demokratis, yang dalam bahasa Lord Henry Peter Broughton akan
menjadi warga bangsa yang mudah dipimpin tetapi sulit untuk dikendalikan,
mudah diperintah tetapi sulit untuk diperbudak

(d) mengembangkan kultur demokrasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan,


toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan melakukan dialog, negosiasi,
kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam
kegiatan politik kemasyarakatan

(e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen (warga
negara yang baik dan bertanggung jawab) melalui penanaman moral, dan
keterampilan sosial (social skills).

Sehingga kelak mereka mampu memahami dan memecahkan persoalan


aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati,
menghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi
HAM, mengembangkan demokratisasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan
menghargai kearifan lokal (local wisdom).

Paradigma pendidikan dalam konteks suatu bangsa (nation) akan


menunjukkan bagaimana proses pendidikan berlangsung dan pada tahap

15
A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah,2013)

13
berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari
proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan empat hal yang menjadi
dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan
manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis), paling tidak
terdapat dua kutub paradigma pendidikan seperti dikemukakan oleh Rosyada,
Dede at.al. yakni paradoksial yaitu paradigma feodalistik dan paradigma
humanistik.16

Paradigma feodalistik mempunyai asumsi bahwa lembaga pendidikan


(Perguruan Tinggi) merupakan tempat melatih dan mempersiapkan peserta untuk
masa datang. Oleh karena itu peserta didik (siswa dan mahasiswa), ditempatkan
sebagai obyek semata dalam pembelajaran, sedangkan dosen sebagai satu-satunya
sumber ilmu, kebenaran dan informasi, berperilaku otoriter dan birokratis. Materi
pembelajaran disusun secara rigid sehingga memasung kreativitas peserta didik
(mahasiswa) dan dosen. Sementara itu, manajemen pendidikan bersifat
sentralistik, birokratis dan monolitik. Dalam penerapan strategi pembelajarannya,
sangat dogmatis, indoktrinatif dan otoriter. Akibat dari orientasi tersebut lulusan
pendidikan menjadi manusia robot dan tidak kreatif serta tidak demokratis atau
otoriter. Paradigma feodalistik dalam praktek pendidikan telah berlangsung cukup
lama dalam dunia pendidikan nasional mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi.17

......................................................... Sementara itu paradigma humanistik mendasarkan pa


peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang
berbeda-beda. Karena itu, dalam pandangan peserta didik (mahasiswa)
ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik. Materi pembelajaran
yang disusun berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) peserta didik,
bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi tersebut bersifat
kontekstual dan memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model

16
“Pedoman Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Sebagai Mata Kuliah Wajib
Umum (MKWU).”
17
Ibid

14
materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang
hidup (life classroom) yang dalam istilah menurut Dr. Ace Suryadi disebut
sebagai global classroom. Begitu juga manajemen pendidikan dan
pembelajarannya menekankan pada dimensi sentralistik, tidak birokratis,
mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan
demokratis. Untuk itu kelas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, dalam
istilah menurut Prof. Dr. Udin S. Winataputra , diperlakukan sebagai
laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar pada
cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.18

Dalam situasi itu, dosen dan mahasiswa secara bersama-sama


mengembangkan dan memelihara iklim demokrasi. Implikasi dari paradigma
humanistik tersebut, peserta didik (mahasiswa) dimungkinkan menjadi lulusan
yang memiliki kreativitas tinggi, kemandirian dan sikap toleransi yang tinggi,
karena dalam proses pembelajaran telah tumbuh iklim dan kultur yang
demokratis. Karenanya, orientasi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education),
mulai dari pendidikan dasar sampai Pendidikan Tinggi, harus lebih menerapkan
paradigma humanistik. Dengan paradigma humanistik, pengalaman belajar
(learning experience) yang diterima peserta didik menjadi lebih bermakna dan
menjadikan pengetahuan yang diperolehnya (learning to know) tersimpan dalam
memori yang sejati dan menjadi pendorong untuk selalu belajar tentang masalah
demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani (civil society).19

Di samping itu, pengalaman pembelajaran yang berorientasi humanistik


membuat peserta didik menemukan jati dirinya (learning to be) sebagai manusia
yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial. Pengetahuan dan kesadaran
diri yang tercipta dari hasil pembelajaran tersebut mendorong peserta didik untuk
melakukan sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang
dimilikinya. Apa yang dilakukan oleh peserta didik dimaksudkan dalam rangka
pembelajaran untuk membangun kehidupan bersama (learning to live together).
18
Walden Bello, De-Globalisasi: Gagasan-Gagasan Ekonomi Dunia Baru. Bantul: Pondok
Edukasi.2004.
19
A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah,2013)

15
Kehidupan bersama tersebut dibangun atas dasar kesadaran akan realitas
keragaman dan saling memerlukan.20

Learning to live together menjadi penting, khususnya menghadapi


dunia yang penuh konflik dan banyaknya pelanggaran HAM. Kehidupan yang
damai ini bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat,
orang tua, siswa/mahasiswa, guru/dosen dan semua pihak. Dalam lingkup Asia-
Pasifik yang ditandai dengan keragaman budaya, bahasa, tatanan geografis, sosio-
politik, agama, dan tingkat ekonomi, kaum muda perlu diajarkan kepada
keindahan dari keragaman kultural ini. Learning to live together dalam konteks
globalisasi yang kooperatif berarti juga upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan
kemanusiaan sehingga ada usaha bersama untuk saling mengasihi dalam
kehidupan bersama. Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan baik sebagai pendidikan demokrasi maupun sebagai pendidikan
HAM mensyaratkan situasi pembelajaran yang interaktif, empiris, konstektual,
kasuistis, demokratis dan humanis.21

Keberhasilan transisi Indonesia ke arah tatanan demokrasi keadaban


yang lebih genuine dan otentik merupakan suatu proses yang komplek dan
panjang. Sebagai proses komplek dan panjang transisi Indonesia menuju
demokrasi keadaban tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Azyumardi Azra ,
mencakup tiga agenda besar yang berjalan secara simultan dan sinergis. Pertama,
reformasi konstitusional (constitutional reforms) yang menyangkut perumusan
kembali falsafat, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik. Kedua,
reformasi kelembagaan (institutional reforms) yang menyangkut pengembangan
dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik dan lembaga kenegaraan seperti
MPR, DPR, MA dan DPA dan sebagainya. Ketiga, pengembangan kultur atau
budaya politik (political culture) yang lebih demokratis melalui pendidikan.22

20
Henry Randal Walte dalam civic Education (Pendididkan Kewarganegaraan, (Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press, 2013), 6.
21
Ibid.
22
Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan. Jakarta: Sinar Harapan, 2003.

16
Jika poin pertama dan kedua, reformasi dilakukan pada tataran
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka pada `poin ketiga yakni
pengembangan kultur demokratis harus dilakukan dengan melibatkan semua
segmen masyarakat mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu cara
untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan
Kewarganegaraan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya
demokrasi berkeadaban.23

1.Pengembangan Nilai Demokrasi di Indonesia

2............................................................Transisi demokrasi yang telah berlangsung beberapa tahun ter


menunjukkan perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dewasa ini semakin banyak partai politik yang bermunculan, baik
sebelum pemilihan umum pada 1999 maupun sesudahnya. badan legisltif, yang
pada masa rezim Orde Baru relatif tunduk pada eksekutif, sekarang telah
menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Setidaknya keberanian berbeda
pendapat dengan eksekutif semakin menonjol. Pada waktu yang sama, pihak
eksekutif juga mulai menunjukkan penghargaan yang cukup sebagaimana
diharapkan pihak legislatif. Kritik terhadap pemerintah, baik di pusat maupun di
tingkat daerah, juga semakin marak dan senantiasa memenuhi halaman surat kabar
dan majalah. Bertambah pula LSM baru yang memusatkan perhatian pada isu-isu
tertentu yang terjadi sebagai akibat implementasi agenda pemerintahan. Walaupun
peningkatan kesadaran tentang nilai-nilai demokrasi terasa semakin marak di
kalangan aktivis politik, LSM, intelektual, peneliti dan media massa, bukan berarti
bahwa demokrasi telah benar-benar tegak di bumi Indonesia. Dewasa ini tindakan
para politisi yang dapat dikategorikan sebagai penyimpangan masih saja terjadi.
Setidaknya, masih sering dijumpai adanya upaya pemaksaan kehendak dengan
kekerasan oleh orang-orang yang seakan berdiri di atas hukum; tindakan korupsi
di kalangan pejabat justru semakin merajalela di tengah kritik masyarakat yang
terus berdengung; dan ancaman terhadap hak asasi dan keamanan pun masih
23
Henry Randal Walte dalam civic Education (Pendididkan Kewarganegaraan, (Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press, 2013)

17
sering muncul, baik oleh aparat keamanan pun masih sering muncul, baik oleh
aparat keamanan maupun oleh kalangan sipil terhadap sesama sipil. Akhirnya,
sekalipun bangsa ini telah bergerak meninggalkan era otoritarianisme, di beberapa
ksempatan masih bermunculan tindakan yang anti-demokrasi dalam berbagai
bentuknya. Kondisi ini sudah tentu memerlukan penyegaran kembali berkenaan
dengan apa yang disebut dengan nilai dan kondisi yang diperlukan untuk
membangun tatanan demokrasi.

B. Pengembangan Nilai Demokrasi di Indonesia

Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang


diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai
atau kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan.
Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan.
Nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan oleh Askuri Ibn Chamim at. al. antara lain;
kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati
orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan. Di
samping nilai-nilai tersebut di atas, diperlukan pula sejumlah kondisi agar nilai-
nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi demokrasi.24

Kebebasan dalam berdemokrasi sesungguhnya bukan merupakan


sebuah kebebasan yang mutlak, melainkan kebebasan yang memiliki koridor dan
batasan, termasuk dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain.. Kebebasan
berpendapat sangat dihargai di alam demokrasi, karena kebebasan berpendapat ini
merupakan hak setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk nenyuarakan
aspirasi dan gagasannya melalui berbagai macam saluran publik, seperti media
massa, buku, karya seni, maupun melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di
parlemen. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara
menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, sehingga negara akan sangat mudah
melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, demokrasi akan mati.25

24
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi
Hukumnya, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 128-129
25
Rosyada, Dede dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.( Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003).

18
Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi
yang diperlukan bagi setiap warga negara . Kebebasan berkelompok ini
diperlukan untuk membentuk organisasi mahasiswa, partai politik, organisasi
massa, perusahaan, dan kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan
naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif
berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar
maupun kelompok lain yang jahat.26

Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini tumbuh semakin kuat.


Persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang sedemikian kompleks
seringkali memerlukan organisasi untuk menemukan jalan keluar. Ketika banjir
melanda suatu daerah, upaya penyelamatan dan pemberian bantuan akan lebih
cepat bila dilakukan secara berkelompok. Pemilihan presiden memerlukan
keterlibatan partai politik sebagai kelompok untuk mengumpulkan dukungan
maupun dana untuk berkampanye. Seorang presiden sudah tentu tidak mungkin
mencalonkan dirinya sendiri kecuali dicalonkan oleh partainya. Berkelompok
merupakan cara kuno dan sekaligus modern untuk menjaga kelangsungan hidup
bermasyarakat.

Demokrasi menjamin kebebasan warga negara untuk berkelompok,


termasuk membentuk partai baru maupun mendukung partai apapun. Tidak ada
lagi keharusan mengikuti ajakan dan intimidasi pemerintah. Tak ada lagi
ketakutan untuk menyatakan afiliasinya ke dalam partai selain partai
penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan
lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi
mendukung kebebasan berkelompok.

Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari


kebebasan berpendapat dan berkelompok. Adapun jenis partisipasi yang pertama
di alam demokrasi adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik
pemilihan anggota DPR maupun pemilihan presiden. Bentuk partisipasi kedua

Syarbaini, Syahrial dkk, Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan


26

Kewarganegaraan. (Editor Dhoni Yusra. Jakarta: Graha Ilmu, 2006)

19
yang belum berkembang luas di negara demokrasi baru adalah apa yang disebut
sebagai kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah. Melakukan protes terhadap
lembaga masyarakat atau pemerintah adalah bentuk partisipasi ketiga yang
diperlukan negara demokrasi, agar sistem politik bekerja lebih baik. Sementara
bentuk partisipasi keempat adalah mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan
publik mulai dari pemilihan lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR,
hingga presiden, sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku.

Nilai-nilai kesetaraan perlu dikembangkan dan dilembagakan dalam


semua sektor pemerintahan dan masyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak
terjadi diskriminasi atau kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama tertentu,
sehingga hubungan antar kelompok dapat berlangsung dalam suasana egaliter.
Penolakan terhadap asas kesetaraan ini sudah tentu bertentangan dengan
demokrasi. Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai
fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Kesetaraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara.

Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, di mana


kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan hukum,
karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama sebagai makhluk
sosial. Dalam demokrasi, kesetaraan gender harus diwujudkan. Proses ke arah itu
memang memerlukan waktu panjang. Dalam proses politik di Indonesia
perkembangan ke arah ke setaraan gender dalam politik di era pasca-reformasi
1998 (awal perkembangan menuju demokrasi) sudah cukup progresif, terbukti
dengan diakomodasikannya gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota
legislatif. Namun, hal itu hanyalah sebagian kecil solusi dalam persoalan
kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalam
mewujudkan kesetaraan gender, baik di bidang sosial, politik, ekonomi,
pendidikan, budaya dan lain-lain.27

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi
27

Hukumnya, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),

20
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam


beberapa hal berikut:

1. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah:

(a) melahirkan warga negara yang memiliki wawasan kebangsaan dan bernegara,
serta nasionalisme yang tinggi

21
(b) melahirkan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai
HAM dan demokrasi, serta berpikir kritis terhadap permasalahannya

(c) melahirkan warga negara yang mampu berpartisipasi dalam upaya


menghentikan budaya kekerasan, menyelesaikan konflik dalam masyarakat secara
damai berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai universal, dan menghormati
supremasi hukum (rule of law)

(d) melahirkan warga negara yang mampu memberikan kontribusi terhadap


persoalan bangsa dan kebijakan public

(e) melahirkan warga negara yang memiliki pemahaman internasional mengenai


‘’Civil Society’’.

2. Dengan memahami latar belakang filosofis Pendidikan Kewarganegaraan di


Perguruan Tinggi, maka diharapkan pelaksanaan pembelajaran pendidikan
Kewarganegaraan dapat dipertangggung jawabkan dengan alasan bahwa melalui
Pendidikan Kewarganegaraan, paradigma pendidikan demokrasi secara sistemik
dengan mengembangkan civic intellegence, civic participation, and civic
responsibility dari ‘’civic education’’ merupakan wahana pendidikan demokrasi
yang diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas dengan keahlian
profesional serta berkeadaban khas Pancasila.

3. Pancasila sebagai Core Phylosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa


dan bernegara serta demokratis dalam rangka mewujudkan masyarakat warga
yang beradab. Berdasarkan itu, maka Perguruan Tinggi harus mampu
menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, anggun secara moral,
kompeten dalam penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta memiliki
komitmen yang tinggi untuk berbagai kegiatan pemenuhan amanat sosial.

22
4. Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan
untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi
inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa
adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai
tersebut antara lain: kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi;
menghormati orang, kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan
kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kaelan & Zubaidi,2007. Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan


Tinggi, Yogyakarta :Paradigma.

A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, 2013. Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila,


Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarief
Hidayatullah.

23
Azra, Azyumardi. 2003. Membangun Masyarakat Madani. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Asykuri Ibn Chamim dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta:


Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.

Bello, Walden. 2004. De-Globalisasi: Gagasan-Gagasan Ekonomi Dunia Baru.


Bantul: Pondok Edukasi.

Buchori, Mochtar. 2003. Transformasi Pendidikan. Jakarta: Sinar Harapan.

Henry Randal Walte dalam civic Education (Pendididkan Kewarganegaraan,2013.


Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press.

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010. Civic Education: Antara Realitas Politik
dan Implementasi Hukumnya, PT Gramedia Pustaka Utama.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan di


Perguruan Tinggi. Jakarta: Pradnya Paramita.

Pedoman Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Sebagai Mata Kuliah


Wajib Umum (MKWU).
Rosyada, Dede dkk. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.
Jakarta: Fajar Interpratama Offset.

Syarbaini, Syahrial dkk. 2006. Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui


Pendidikan Kewarganegaraan. Editor Dhoni Yusra. Jakarta: Graha Ilmu.

24

Anda mungkin juga menyukai