Dosen Pengampu :
Mustamim,SH.,M.Hum
Disusun oleh :
TAMBAKBERAS JOMBANG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN..............................................................................
A. Kesimpulan..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Azyumardi Azra, Membangun Masyarakat Madani. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
4
dinamis, dan fenomenologis. Karenanya, materi tersebut bersifat kontekstual dan
memiliki relevansi dengan tuntutan dan perubahan sosial. Model materi
pembelajaran ini medorong terciptanya kelas pembelajaran yang hidup (life
classroom). Begitu pula dengan manajemen pendidikan (pembelajaran) yang lebih
menekankan pada dimensi desentralistik, kebebasan dan mimbar, tidak birokratis,
dan mengakui pluralistik. Implikasi langsung dari paradigma humanistik menjadi
peserta didik sebagai lulusan pendidikan yang memiliki kreativitas, kemandirian
dan keadaban demokrasi yang tinggi.
5
dengan Mata Pelajaran ‘’Civic’’ di Sekolah Dasar dan merupakan embrio dari
‘’Civic Education’’ sebagai ‘’the Body of Knowledge”. Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai instrumen pengetahuan (the Body of Knowledge)
diarahkan untuk membangun masyarakat demokrasi yang beradab. Secara
normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memperoleh dasar hukum yang diatur
dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi: ‘’Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa’’.4
4
Ahmad Kaelan & Zubaidi, Pendidkan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta
:Paradigma, 2007.
6
pendidikan yang sistemik dan koheren yang mencakup pemehaman tentang cita-
cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi melalui interaksi sosial kultural dan
psiko-pedagogis yang demokratis, dan diorientasikan pada upaya sistematis dan
sistemik untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik. Oleh karena
itu, rekonseptualisasi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan
demokrasi Indonesia sangatlah diperlukan, karena ternyata proses pendidikan
politik, demokrasi, dan HAM selama ini belum memberikan hasil yang
menggembirakan dan prospek yang menjanjikan. Indikator yang kasat mata dapat
dilihat pada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang cenerung anarkhis,
pelanggaran HAM di mana-mana, komunikasi sosial politik yang cenderung asal
menang sendiri, hukum yang terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas
dari tata krama, serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara. Hal ini
dibuktikan hasil ‘’National Survey of Voter Education’’ oleh Asia Foundation
tahun 1998 yang menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari sampel nasional
mengindikasikan belum mengerti tentang apa, mengapa dan bagaimana
demokrasi.5
7
memerankan dirinya sebagai warga negara yang cerdas, demokratis, berwatak dan
beradab;
8
KNIP 1945 sampai munculnya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU tentang Sisdiknas). Menurut Pasal 3 Undang-
undang tentang Sisdiknas, tujuan pendidikan nasional dinyatakan sebagai:
‘’berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab’’. Dengan demikian sejak tahun 1945 sampai sekarang ini, instrumen
peraturan perundang-undangan telah menempatkan pendidikan demokrasi sebagai
bagian integral dari pendidikan.8
9
mahaiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan
cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan
rasatanggung jawab.10
B.RUMUSAN MASALAH
C.TUJUAN PENELITIAN
10
BAB II
PEMBAHASAN
11
feodalisme. Pendidikan Kewarganegaraan mendorong tumbuhnya situasi
pembelajaran yang interaktif, empiris, kontekstual, humanis, dan demokratis.12
12
A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah,2013) 3.
13
Christine S.T. Kansil. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003).
14
Ibid.
12
wisdom) dalam menggunakan kepercayaan yang diberikan masyarakat,
merupakan tuntutan dasar Pendidikan Kewarganegaraan.
(b) menjadikan warga masyarakat yang baik dan mampu menjaga persatuan dan
integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan
demokratis
(e) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen (warga
negara yang baik dan bertanggung jawab) melalui penanaman moral, dan
keterampilan sosial (social skills).
15
A.Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarief Hidayatullah,2013)
13
berikutnya akan dapat meramalkan kualitas dan profil lulusan sebagai hasil dari
proses pendidikan. Paradigma pendidikan terkait dengan empat hal yang menjadi
dasar pelaksanaan pendidikan, yaitu peserta didik (mahasiswa), dosen, materi dan
manajemen pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan (praksis), paling tidak
terdapat dua kutub paradigma pendidikan seperti dikemukakan oleh Rosyada,
Dede at.al. yakni paradoksial yaitu paradigma feodalistik dan paradigma
humanistik.16
16
“Pedoman Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Sebagai Mata Kuliah Wajib
Umum (MKWU).”
17
Ibid
14
materi pembelajaran tersebut mendorong terciptanya kelas pembelajaran yang
hidup (life classroom) yang dalam istilah menurut Dr. Ace Suryadi disebut
sebagai global classroom. Begitu juga manajemen pendidikan dan
pembelajarannya menekankan pada dimensi sentralistik, tidak birokratis,
mengakui pluralitas dengan penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi dan
demokratis. Untuk itu kelas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, dalam
istilah menurut Prof. Dr. Udin S. Winataputra , diperlakukan sebagai
laboratorium demokrasi di mana semangat kewarganegaraan yang memancar pada
cita-cita dan nilai demokrasi diterapkan secara interaktif.18
15
Kehidupan bersama tersebut dibangun atas dasar kesadaran akan realitas
keragaman dan saling memerlukan.20
20
Henry Randal Walte dalam civic Education (Pendididkan Kewarganegaraan, (Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press, 2013), 6.
21
Ibid.
22
Mochtar Buchori, Transformasi Pendidikan. Jakarta: Sinar Harapan, 2003.
16
Jika poin pertama dan kedua, reformasi dilakukan pada tataran
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, maka pada `poin ketiga yakni
pengembangan kultur demokratis harus dilakukan dengan melibatkan semua
segmen masyarakat mulai dari elit politik hingga rakyat awam. Salah satu cara
untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban adalah melalui Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education). Dengan demikian pendidikan (Pendidikan
Kewarganegaraan) bisa menjadi pilar kelima (the fifth estate) bagi tegaknya
demokrasi berkeadaban.23
17
sering muncul, baik oleh aparat keamanan pun masih sering muncul, baik oleh
aparat keamanan maupun oleh kalangan sipil terhadap sesama sipil. Akhirnya,
sekalipun bangsa ini telah bergerak meninggalkan era otoritarianisme, di beberapa
ksempatan masih bermunculan tindakan yang anti-demokrasi dalam berbagai
bentuknya. Kondisi ini sudah tentu memerlukan penyegaran kembali berkenaan
dengan apa yang disebut dengan nilai dan kondisi yang diperlukan untuk
membangun tatanan demokrasi.
24
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi
Hukumnya, (PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 128-129
25
Rosyada, Dede dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.( Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003).
18
Berkelompok dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi
yang diperlukan bagi setiap warga negara . Kebebasan berkelompok ini
diperlukan untuk membentuk organisasi mahasiswa, partai politik, organisasi
massa, perusahaan, dan kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan
naluri dasar manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif
berkelompok dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar
maupun kelompok lain yang jahat.26
19
yang belum berkembang luas di negara demokrasi baru adalah apa yang disebut
sebagai kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah. Melakukan protes terhadap
lembaga masyarakat atau pemerintah adalah bentuk partisipasi ketiga yang
diperlukan negara demokrasi, agar sistem politik bekerja lebih baik. Sementara
bentuk partisipasi keempat adalah mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan
publik mulai dari pemilihan lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR,
hingga presiden, sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku.
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Civic Education: Antara Realitas Politik dan Implementasi
27
20
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
(a) melahirkan warga negara yang memiliki wawasan kebangsaan dan bernegara,
serta nasionalisme yang tinggi
21
(b) melahirkan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai
HAM dan demokrasi, serta berpikir kritis terhadap permasalahannya
22
4. Nilai-nilai demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan
untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau kondisi
inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan. Sebaliknya, tanpa
adanya kondisi ini, pemerintahan tersebut akan sulit ditegakkan. Nilai-nilai
tersebut antara lain: kebebasan berpendapat, berkelompok, berpartisipasi;
menghormati orang, kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan
kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
23
Azra, Azyumardi. 2003. Membangun Masyarakat Madani. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010. Civic Education: Antara Realitas Politik
dan Implementasi Hukumnya, PT Gramedia Pustaka Utama.
24