Anda di halaman 1dari 5

Tugas Tutorial ke 2 Pembaharuan dalam Pembelajaran di SD

1. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik social
A. Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif.
Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan
orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu
pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk
saling membantu dalam belajar.
B. Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam
ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah
sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang
dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan agar siswa mampu
mengerjakan tugas atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada
tingkat perkembangan kognitif anak.Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka
ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang atau
terlalu mudah untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi
dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi
menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi
C. Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses yang digunakan seorang pelajar untuk secara bertahap memperoleh
keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang dewasa atau teman yang lebih
tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa adalah suatu bentuk masa magang/pelatihan.
Awalnya, guru memberi contoh kepada siswa kemudian membantu murid
mengerjakan tugas tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya
secara mandiri.
D. Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu bantuan yang diberikan oleh orang
lain kepada anak untuk membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi
masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan
secukupnya dalam memecahkan masalah siswa. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan
tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan,
yaitu:
 Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
 Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
 Siswa gagal meraih keberhasilan.
2. Perbedaan antara enkulturasi dan akulturasi dapat ditarik dengan jelas dengan alasan
berikut:
a. Enculturation adalah proses pembelajaran budaya di mana seseorang datang
untuk mengetahui tentang aturan, nilai-nilai dan pola perilaku / budaya asli
mereka sendiri. Sebaliknya, akulturasi mengacu pada proses pembelajaran
budaya di mana anggota kelompok budaya tertentu dipengaruhi oleh budaya
lain, dengan melakukan kontak dengannya dan mengadopsinya sampai taraf
tertentu.
b. Enculturation adalah pengenalan pertama dan terpenting seseorang terhadap
budaya, yang terjadi sesaat setelah kelahiran. Sebaliknya, akulturasi adalah
sosialisasi berikutnya dengan budaya yang berbeda.
c. Dalam enkulturasi, seseorang belajar atau memperoleh budaya sendiri, yang
menjadi miliknya. Sebaliknya, dalam akulturasi, budaya seseorang
digolongkan oleh budaya lain.
d. Enculturation hanya mengandung satu budaya, sedangkan dua budaya atau
lebih ada dalam akulturasi.
e. Enculturation adalah persyaratan penting bagi seorang individu untuk
bertahan hidup dalam masyarakat, yang terjadi tanpa pengaruh apa pun.
Sebagai lawan, akulturasi bukan suatu keharusan, untuk bertahan hidup, tetapi
seseorang dapat mempelajari budaya orang lain bila diperlukan.
f. Enculturation tidak mengarah pada modifikasi dalam budaya yang ada. Di sisi
lain, dalam kasus transformasi akulturasi dalam budaya seseorang atau
penggabungan dua budaya atau lebih terlihat.
g. Dalam kasus enkulturasi, tidak ada risiko asimilasi, sedangkan jika akulturasi
berlanjut untuk waktu yang lama, maka akan menghasilkan asimilasi.
Contoh Enkulturasi Dalam Pendidikan
 Contoh lain dari budaya pendidikan, misalnya, adalah ketika seseorang
dididik sejak kecil untuk mengakui ideologi Pancasila sebagai ideologi
negara tanpa digugat. Pendahuluan ini berlangsung terus menerus,
sampai akhirnya seseorang dapat mencapai ideologi rakyat
Indonesia.Penjelasan tentang pemahaman diatas tentang enkulturasi
dan contoh sebelumnya menunjukkan bahwa ini adalah proses
individu yang dilakukan secara terus menerus dan bahwa perilaku
mereka menciptakan kebiasaan dan budaya yang mempengaruhi
kehidupan mereka di masyarakat.
 Contoh akulturasi dalam pendidikan Proses terjadinya akulturasi
budaya dalam arti pendidikan juga terlihat pada kehidupan seseorang
dalam pondok pesantren. Khususnya di daerah Jawa yang memberi
makna Bahasa Arab dengan huruf pegon, yakni dengan Bahasa Jawa.
Fenomena ini dilakukan dengan penggabungan kebudayaan linguistik
tanpa menghilangkan salah satu unsur kebudayaan aslinya. Maka tak
khayal akulturasi dalam pendidikan menjadi perubahan sosial yang
biasanya dilakukan tanpa adanya konflik sosial sebelumnya.
3. Pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society), adalah kepanjangan
sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Dasar pendekatan ini, setelah
menggunakan pendekatan ini siswa akan memiliki kemampuan memandang suatu cara
terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur, sehingga dapat diperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang pengetahuan. Urutan ringkasan pendekatan ini membawa
pesan bahwa untuk menggunakan sains (S-pertama) ke bentuk teknologi (T) dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat (S-kedua) diperukan pemikiran tentang berbagai
implikasinya pada lingkungan (E) secara fisik maupun mental. Secara tidak langsung, hal
ini menggambarkan arah pendekatan SETS yang relatif memiliki kepedulian terhadap
lingkungan kehidupan atau sistem kehidupan (manusia).
Jadi, pendidikan SETS (Science, Environment, Technology, and Society), bukan
pendidikan angan-angan atau di atas kertas saja, melainkan benar-benar membahas
sesuatu yang nyata yaitu, bisa dipahami, dapat dilihat dan dibahas dan bisa dipecahkan
jalan keluarnya. Dengan kata lain, pendekatan ini didefinisikan sebagai belajar dan
mengajar mengenai sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Ini berarti
bahwa peserta didik dalam pembelajarannya selain mempelajari teori tentang sains (ilmu
pengetahuan) mereka juga menengok kehidupan nyata mereka yang berhubungan dengan
teori yang dipelajari, sehingga akan berdampak positif dalam pemahaman peserta
didik.Maka, dengan pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society),
hasil pembelajaran diharapkan mampu memberikan bekal kemampuan dasar kepada
siswa dalam mengembangkan kehidupan sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat,
warga negara, sehingga siap untuk mengikuti pendidikan selanjutnya.Adapun teori
belajar yang digunakan dalam pendekatan SETS adalah konstruktivisme, behaviorisme,
cognitive development, dan social cognitive.Belajar berdasarkan konstruktivisme adalah
“mengonstruk” pengetahuan. Belajar bermakna apabila peserta didik belajar
mengkonstruksikan (membangun) pengetahuan, sikap, atau ketrampilannya sendiri.
Kegiatan konstruktivisme terlihat dalam pembelajaran dengan menggunakan SETS,
peserta didik dituntut untuk bisa menghubungkaitkan antara unsur-unsur SETS. Ini bisa
diawali dengan menggunakan contoh yang mereka alami sendiri atau yang mereka
pahami mengenai kehidupan sehari-hari mereka.
4. Secara keilmuan, pendidikan demokrasi dan HAM merupakan bagian integral dari
pendidikan kewarganegaraan, yang pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan
individu menjadi warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen).Kualitas
personal (desirable personal qualities) yang didambakan itu harus dapat diaplikasikan
dalam kehidupan dirumah, disekolah, dimasyarakat, dan sejauh mungkin dalam
pergaulan internasional sesuai dengan status dan perannya dalam konteks kehidupan
itu.Untuk itulah cita-cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi seyogianya dikuasai,
diterapkan, dan disosialisasikan melalui proses pendidikan kewarganegaraan yang
bersifat multidimensional (multidimensional citizenship education).Guna mencapai
semua itu pendidikan demokrasi dan HAM seyogianya mengorganisasikan pengalaman
belajar yang beragam untuk berbagai jalur, jenis, jenjang dan situasi pendidikan, dan
dengan cara melibatkan siswa dalam proses pengambilan keputusan dalam
masyarakat.Oleh karena itu, disarakan agar dalam pendidikan demokrasi dan HAM
dikembangkan berbagai strategi belajar yang berorientasi pada pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah sosial yang secara bertujuan
memfasilitasi siswa untuk menjadi warga negara yang dewasa.Secara konseptual
pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis diterima sebagai dasar
pertimbangan utama bagi pendidikan di Indonesia. Ikhtiar kependidikan ini pada
dasarnya harus ditujukan untuk pengembangan kecerdasan spiritual, rasional, emosional
dan sosial warga Negara baik secara aktor sosial maupun sebagai pemimpin pada hari ini
dan selanjutnya. Sementara itu mengenai karakter utama warga Negara yang cerdas dan
baik adalah mereka yang secara tetap memelihara dan mengembangkan cita-cita dan nilai
demokrasi sesuai dengan perkembangan zaman dan secara efektif dan langgeng
menangani dan mengelola krisis yang selalu muncul untuk kemaslahatan masyarakat
Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat global yang damai dan sejahtera.
Apabila ditampilkan dalam wujud program pendidikan, paradigma baru ini menunjukkan
hal-hal sebagai berikut:
1) Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada
pengembangan pengertian tentang hakekat dan karakteristik aneka ragam
demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
2) Mengembangkan kurikulum atau paket pendidikan yang sengaja dirancang untuk
memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi bagaimana cita-cita demokrasi
telah diterjemahkan dalam kelembagaan dan praktek di berbagai belahan bumi
dan dalam berbagai kurun waktu
3) Tersedianya sumber belajar yang memungkunkan siswa mampu mengeksplorasi
sejarah demokrasi di negaranya untuk menjawab persoalan apakah kekuatan dan
kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih
4) Tersedianya sumber belajar yang dapat memfasilitasi siswa untuk memahami
penerapan demokrasi di Negara lain sehingga mereka mamiliki wawasan yang
luas tentang ragam ide dan system demokrasi dalam berbagai konteks
5) Dikembangkannya kelas sebagai democraties laboratory, lingkungan sekolah
sebagai micro cosmos of democracy dan masyarakat luas sebagai open global
classroom yang memungkinkan siswa dapat belajar demokrai dalam situasi
berdemokrasi dan untuk tujuan melatih diri sebagai warga Negara yang
demokratis.
5. Model pembelajaran “Praktik-Belajar Kewarganegaraan ... Kami Bangsa Indonesia”
(PKKBI) yang memiliki karakteristik substantif dan psikopedagogis bergerak dalam
konteks substantif dan sosial kultural kebijakan publik sebagai salah satu koridor
demokrasi yang berfungsi sebagai wahana interaksi warga negara dengan negara dalam
melaksanakan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai warga negara Indonesia
yang cerdas, partisipatif dan bertanggungjawab, yang secara kurikuler dan pendagogis
merupakan misi utama pendidikan kewarganegaraan.Model tersebut menerapkan
paradigma portofolio-based learning dan portofolio assisted assessment atau “penilaian
berbantuan hasil belajar utuh peserta didik” yang dirancang dalam desain pembelajaran
yang memadukan secara sinergis model-model social problem solving (pemecahan
masalah), social inquiry (penelitian sosial), social involvement (pelibatan sosial),
cooperative learning (belajar bersama), simulated hearing (simulai dengar pendapat),
deep dialogue and critical thinking (dialog mendalam dan berpikir kritis), value
clarification (klarifikasi nilai), democratic teaching (pembelajaran demokratis)”. Dengan
demikian, model ini potensial menghasilkan powerful learning atau belajar yang berbobot
dan bermakna yang secara pendagogis bercirikan prinsip meaningful (bermakna),
integrative (terpadu), value-based (berbasis nilai), challenging (menantang), activivating
(mengaktifkan), dan joyful (menyenangkan)”.Kerangka operasional pedagogis dasar
yang digunakan adalah modifikasi strategi pemecahan masalah dengan langkah-langkah:
Indentifikasi Masalah, Pemilihan Masalah, Pengumpulan Data, Pembuatan Fortofolio,
Showcase, dan Refleksi. Sedangkan sajian portofolionya mencakup Panel Sajian dan File
Dokumentasi dikemas dengan menggunakan sistematika Identifikasi dan Pemilihan
Masalah, Alternatif Kebijakan, Usulan Kebijakan, dan Rencana Tindakan. Semntara itu,
kegiatan Show Case didesain sebagai forum dengar pendapat (simulated public
hearing).Fokus perhatian dari model ini adalah pengembangan civic knowledge
(pengetahuan kewarganegaraan), civic dispositions (kebajikan kewarganegaraan), civic
skills (keterampilan kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri
kewarganegaraan), civic commitmen (komitmen kewarganegaraan), civic competence,
(kompetensi kewarganegaraan) yang bermuara pada berkembangnya well informed,
risend, and responsible decesion making (kemampuan mengambil keputusan
berwawasan, bernalar, dan bertanggung jawab).Strategi instruksional yang digunakan
dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi inquiri learning, discoveri learning,
problem solving learning, reseach-oriented learning (be;lajar melalui penelitian,
penyingkapan, pemecahan masalah) yang dikemas dalam model Project ala John Dewey.
Langkah-langkah pembelajarannya mencakup berikut ini:
a. Mengidentifikasi masalah kebijakan opublik dalam masyarakat;
b. Memilih suatu masalah untuk dikaji oleh kelas;
c. Mengumpulkan infirmasi yang terkait pada masalah itu;
d. Mengembangkan fortofolio kelas;
e. Menyajikan fortofolio dihadapn tim juri;
f. Melakukan refleksi pengalaman belajar.

Anda mungkin juga menyukai