Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DAN SIMULASI PADA ANAK


DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS, KORBAN
PEMERKOSAAN, KORBAN KDRT, KORBAN TRAFFICKING,
NARAPIDANA DAN ANAK JALANANAN

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II, dengan
Dosen Pembimbing Rully Andika, Skep., MAN

Disusun Oleh:

Kelompok 8

1. Vinny Alvionita

2. Mei Nur Anisa

3. Restu Setya Adjiwinoto

4. Nur Afifah Aini

SI KEPERAWATAN
STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
TAHUN 2018/2019
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus


1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki
kekhususan dibandingkan dengan anak normal lainnya. Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) ini dianggap berbeda oleh masyarakat pada
umumnya. ABK dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat
atau penyandang ketunaan ataupun juga anak yang memiliki kecerdasan
atau bakat istimewa (Mulyono, 2003:26). Ilahi (2013:138) menjelaskan
ABK sebagai berikut.
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan
khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan
pendidikan yang lebih intens. Kebutuhan mungkin disebabkan oleh
kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah tekanan
ekonomi, politik, sosial, emosi, dan perilaku yang menyimpang. Disebut
berkebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan
keberbedaan dengan anak normal pada umumnya.
Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua
kategori yaitu anak yang memiliki kekhususan permanen dan temporer
(Ilahi, 2013:139). Anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekhususan
permanen yaitu akibat dari kelainan tertentu seperti anak tunanetra.
Sedangkan anak yang memiliki kekhususan temporer yaitu mereka yang
mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena kondisi dan situasi
lingkungan misalnya anak yang mengalami kedwibahasaan atau perbedaan
bahasa yang digunakan dalam dan di sekolah.
ABK seperti yang telah dijelaskan di atas memerlukan modifikasi
dari tugas, metode atau pelayanannya. Hal ini dikarenakan keadaan mereka
yang memiliki kekhususan dan berbeda dari anak lainnya. Untuk
mengembangkan potensinya maka diperlukan modifikasi tersebut.
Meskipun berbeda mereka mendapatkan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang layak. Setiap anak yang memiliki
kekhusususan tentunya memiliki ciri yang berbeda pula. Siswa memiliki
kebutuhan untuk kepentingan belajarnya, oleh karena itu penting untuk
fleksibel dalam melakukan pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan
khusus yang dimiliki anak berkebutuhan khusus.
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Klasifikasi ABK menurut Garnida dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tunanetra
Tunanetra adalah salah satu klasifikasi bagi anak yang memiliki
kebutuhan khusus dengan ciri adanya hambatan pada indra
penglihatan (Pratiwi dan Afin, 2013:18). Sedangkan Garnida (2015:5)
berpendapat bahwa anak tunanetra merupakan anak yang memiliki
gangguan penglihatannya sedemikian rupa, sehingga dibutuhkan
pelayanan khusus dalam pendidikan ataupun kehidupannya.
Berdasarkan penjelaskan di atas dapat diketahui bahwa anak
tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya
penglihatannya, berupa ketidak mampuan melihat secara menyeluruh.
Berdasarkan kemampuan daya melihatnya, anak tunanetra
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Anak kurang awas (low vision)
Penyandang low vision masih mampu melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan penglihatan. Namun penyandang low vision
memiliki persepsi yang berbeda.
2) Anak tunanetra total (totally blind)
Penyandang tunanetra blind atau buta total adalah tunanetra yang
sama sekali tidak memiliki persepsi visual.
b. Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian
daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi
secara verbal. Anak tunarungu memilki gangguan pada
pendengarannya sehingga tidak mampu mendengarkan bunyi secara
menyeluruh atau sebagian. Meskipun telah diberikan alat bantu dengar,
mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar
bunyi, ketunarunguan dibagi ke dalam empat kategori sebagai berikut:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment)
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment) adalah
kondisi seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas
20-40 dB. Seseorang dengan ketunarunguan ringan sering tidak
menyadari saat sedang diajak berbicara, sehingga mengalami sedikit
kesulitan dalam percakapan.
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment)
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), dalam
kondisi ini seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas
40-65 dB dan mengalami kesulitan dalam percakapan jika tidak
memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau
dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment)
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi
dimana seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas
65-95 dB, seedikit memahami percakapan pembicara meskipun sudah
memperhatikan wajah pembicara dan dengan suara keras, akan
tetapi masih dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4) Ketunarunguan berat sekali (profour hearing impairment)
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment),
yaitu kondisi dimana seseorang hanya dapat mendengar bunyi
dengan intensitas 95 atau lebih keras. Tidak memungkinkan untuk
mendengar percakapan normal, sehingga sangat tergantung pada
komunikasi visual.
c. Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di
bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya. Seseorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga
indikator, yaitu:
1. Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-
rata
2. Ketidakmampuan dalam perilaku sosial/adaptif, dan
3. Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan
yaitu sampai dengan usia 18 tahun. Berdasarkan tingkat
kecerdasannya, anak tunagrahita dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
1) Tunagrahita ringan, yaitu seseorang yang memiliki IQ 55-70
2) Tunagrahita sedang, seseorang dengan IQ 40-55
3) Tunagrahita berat, seseorang yang memiliki IQ 25-40
4) Tunagrahita berat sekali, yaitu seseorang yang memiliki IQ < 25
d. Anak dengan gangguan perilaku (Tunalaras)
Anak tunalaras adalah anak yang berperilaku menyimpang baik
pada taraf sedang, berat dan sangat berat sebagai akibat terganggunya
perkembangan emosi dan sosial atau keduanya sehingga merugikan
dirinya sendiri maupun lingkungan (Direktorat PSLB dalam Gunahardi
dan Esti, 2011). Sedangkan Kauffman dan Hallahan (2006) dalam
Pratiwi dan Afin (2013:58) berpendapat mengenai anak tunalaras
sebagai berikut.
Anak tunalaras dikatakan sebagai anak-anak yang sulit untuk
diterima dalam berhubungan secara pribadi maupun sosial karena
memiliki perilaku ekstrem yang sangat bertentangan dengan norma
sekitar. Perilaku ini bias dating secara tidak langsung dan disertai
dengan gangguan emosi yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di
sekitarnya.
e. Tunadaksa
Tunadaksa merupakan suatu kondisi yang menghambat kegiatan
individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang
dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk
mengikuti pendidikan ataupun untuk berdiri sendiri (Rahman,
2014:170). Sedangkan menurut (Garnida, 2015:10) tunadaksa
didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot,
tulang, persendian dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus dan
kecelakaan baik yang terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah
kelahiran. Gangguan ini mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilitas dan gangguan perkembangan
pribadi.
f. Anak Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI)
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan
(inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab di atas anak-anak normal
seusianya, sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi
nyata memerlukan pelayanan khusus. Anak CIBI dibagi menjadi
tiga golongan sesuai dengan tingkat intelegensi dan kekhasan
masing-masing, diantaranya (1) Superior, (2) Gifted (Anak Berbakat),
dan (3) Genius. (Pratiwi dan Afin, 2013:70)
g. Lamban belajar (slow learner)
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang
memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum
termasuk tunagrahita. Anak lamban belajar memiliki kemampuan
berpikir abstrak yang rendah dibandingkan dengan anak pada
umumnya. Dengan kondisi tersebut maka anak lamban belajar
membutuhkan pembelajaran khusus untuk meningkatkan potensi yang
dimilikinya. Ciri-ciri yang dapat diamati pada anak lamban belajar,
yaitu:
1. Rata-rata prestasi belajarnya rendah (kurang dari 6).
2. Menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat
dibandingkan teman- teman seusianya.
3. Daya tangkap terhadap pelajaran lambat.
4. Pernah tidak naik kelas.
h. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang
secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus,
terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau
matematika. Hal tersebut disebabka karena faktor disfungsi neurologis,
bukan disebabkan karena faktor inteligensi. Anak berkesulitan belajar
spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia),
kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung
(diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami
kesulitan yang berarti. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu disleksia, disgrafia dan diskalkulia.
Masing-masing memiliki ciri yang berbeda.
1) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia), yaitu:
a. Kesulitan membedakan bentuk.
b. Kemampuan memahami isi bacaan rendah.
c. Sering melakukan kesalahan dalam membaca.
2) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia), yaitu:
a. Sangat lamban dalam menyalin tulisan.
b. Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v
dengan u, 2
dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya.
c. Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
d. Menulis huruf dengan posisi terbalik (p ditulis q atau b).
3) Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkulia),
yaitu:
a. Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
b. Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan.
c. Sering salah membilang secara berurutan.
d. Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2
dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya.
e. Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
i. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang
kompleks,meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga
tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil gejalanya sudah
muncul sejak lahir. Wing dalam Jenny Thompson (2010:86)
mendefinisikan autisme sebagai ganguan
perkembangan yang mengkombinasikan gangguan komunikasi sosial,
gangguan interaksi sosial dan angguan imajinasi sosial.
j. Tunalaras
Tunalaras atau anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku
memiliki ciri-ciri, yaitu:
1) Cenderung membangkang.
2) Mudah terangsang emosinya/mudah marah.
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
4) Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
5) Prestasi belajar dan motivasi belajar cenderung rendah, sering
membolos atau jarang masuk sekolah.
k. Autis
Banyak sekali variasi gejala yang diperlihatkan oleh anak autis.
Selain gejalanya yang bervariasi, tingkat keparahan juga sangat
bervariasi. Ciri-ciri anak autis, yaitu:
1) Mengalami hambatan di dalam bahasa.
2) Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan isyarat
sosial.
3) Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
B. KORBAN PEMERKOSAAN
A. PENGERTIAN
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian
atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah
orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13
tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah
suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan
atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai
perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua
atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan
untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja
belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya,
mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan
perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
B. ETIOLOGI
Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual
yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
1. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak
memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat
subyek menjadi korban kekerasan seksual..
2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku.
Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik,
membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
3. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah
memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada
korban yang menjadi target dari pelaku.
Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang
berperan dalam pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak
dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
2. Pengaruh biokimia, bermacam-macam
neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin, dopamine,
asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam
memudahkan dan menghambat impuls- impuls agresif
3. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan
herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku
agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip
genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan.
4. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma
dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy),
telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah
1. Perkosaan.
Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling
mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki
pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2
menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang
dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang
yang mengenal korban alias orang dekat korban.
2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia
menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan
32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami
kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku
kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki
hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada
masa kanak-kanak.
3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.
Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang
dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban
kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka
Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health
Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun
2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan
seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa
biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan
pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah
kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah
untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan
berbasis gender:
a. Kekerasan fisik : Menampar, memukul,
menendang, mendorong, mencambuk, dll.
b. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan
merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina
c. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat
pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta
uang, dll
d. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu
dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam
pergaulan, dll
D. MANIFESTASI KLINIK
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan
menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan
emosional.
a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan
aktifitas sehari-hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak
fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood
dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.
Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam
Minangsari (2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual
adalah anak laki- laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun.
Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya.
Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak
selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual
yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak
menjadi pusat perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak
memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak
pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya
perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami
pelecehan seksual (minangsari, 2007). Tanda dan indikasi ini diambil
Jeanne Wess dari buku yang sama:
1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut,
iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa
penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral.
b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada
siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu,
perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur,
mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta
perkembangan terhambat.
2. Anak usia prasekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan tanda fisik
antara lain: perilaku regresif seperti menghiap jempol,
hiperaktif,keluhan somatic seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit. Tanda pada perilaku emosional dan social: Kelakuan
yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena kelakuan seksual.
Tanda dan perilaku seksual: Masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakan tubuh, melakukan aktifitas seksual, terang-
terangan, tau banyak tentang aktivitas seksual dan rasa ingin tahu
berlebihan tentang masalah sekual.
3. Anak usia sekolah
Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan
belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos,
hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang
dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi
buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka
pakaian.
4. Remaja
Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri
sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai
kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol,
kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain
yang tak biasa.
E. PENATALAKSANAAN
Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang
dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :
a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada
Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:

a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap


jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-
menerus, sakit perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang
tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium
secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual
terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang
aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah
seksual.
b. Protective behaviors counseling.
Artinya anak-anak dilatih menguasai ketrampilan mengurangi
kerentanya dilatih menguasai ketrampilan mengurangi kerentannya
sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi, berkata
tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan, menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person,
melaporkan pada orang tua atau orang dewasa yang dipercaya dapat
membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.
Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa
mereka sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu
bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat,
feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi
kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali
berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan
perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat
mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka
diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya
terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi,
pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi
mereka.
d. Cognitif terapy.
Artinya konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan
seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi
oleh poikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang
lingkar.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan
pada anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan
individu. Uji skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan
nilai pada skala internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain
ketakutan, segan, depresi, pengendalian berlebihan atau di bawah
pengendalian, agresif dan antisosial.

C. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1. PENGERTIAN PERKAWINAN DAN KELUARGA
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja
terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman dan hewan.
Aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang
dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat
adat dan atau para pemuka agama.
Keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan
perkawinan. Didalamnya hidup bersama pasangan suami-isteri secara sah
karena pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup-semati, ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad
dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan
batin. Suatu keluarga setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Terdiri dari orang-orang yang memiliki ikatan darah atau adopsi.
b. Anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu
rumah dan mereka membentuk satu rumah tangga.
c. Memiliki satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling
berkomunikasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu,
anak dan saudara.
d. Mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar
berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.
2. DEFINISI KEKERASAN
Menurut KBBI, kekerasan berarti sifat atau hal yang keras, kekuatan
dan paksaan. Paksaan berarti adanya suatu tekanan dan desakan yang keras.
Kata-kata ini bersinonim dengan kata memperkosa yaitu menundukkan
dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan dan melanggar
dengan kekerasan. Dengan demikian kekerasan berarti membawa kekuatan
paksaan dan tekanan. Istilah kekerasan menurut filsuf Thomas Hoblees
(1588-1679) manusia dipandang sebagai makhluk yang dikuasai oleh
dorongan-dorongan irasionil dan anarkis serta mekanistis yang saling iri,
benci sehingga menjadi kasar, jahat, buas, pendek untuk berpikir.
3. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Istilah KDRT sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) tersebut seringkali disebut dengan kekerasan
domestik. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya menjangkau para
pihak dalam hubungan perkawinan antara suami dengan istri saja, namun
termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam
lingkup rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah
1) Anak, termasuk anak angkat dan anak tiri
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri
dan anak karena hubungan darah, perkawinan (misalnya: mertua,
menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang
menetap dalam rumah tangga serta
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut. Siapapun sebetulnya berpotensi untuk menjadi pelaku
maupun korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun
korban kekerasan dalam rumah tangga pun tidak mengenal status sosial,
status ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, suku maupun
agama.
4. BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk
dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas
luka lainnya.
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis3 atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar
yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.

c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri
dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak
istri. Kekerasan seksual berat, berupa:
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada
saat korban tidak menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan
alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis
ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
d. Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
5. FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)
Padahal saat ini, kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi isu
global yang mengundang perhatian berbagai kalangan. Kekerasan dalam
rumah tangga yang selama ini banyak terjadi dapat dikatakan sebagai suatu
fenomena gunung es. Artinya bahwa persoalan kekerasan dalam rumah
tangga yang selama ini terekspose ke permukaan (publik) hanyalah
puncaknya saja. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang muncul
dalam sebuah keluarga lebih banyak dianggap sebagai sebuah permasalahan
yang sifatnya pribadi dan harus diselesaikan dalam lingkup rumah tangga
(bersifat tertutup dan cenderung sengaja ditutup-tutupi).
Namun demikian, terlepas dari apapun penyebabnya, dampak dari
kekerasan dalam rumah tangga tentu sangat luas. Dampak yang dirasakan
tidak hanya pada perempuan yang menjadi korban secara langsung, namun
juga berdampak pada anak-anak.
1) Dampak Kekerasan pada Anak
Dampak pertama adalah ketegangan. Anak senantiasa hidup dalam
bayang-bayang kekerasan yang dapat terjadi kapan saja dan ini
menimbulkan efek antisipasi. Anak selalu mengantisipasi jauh
sebelumnya bahwa kekerasan akan terjadi sehingga hari-harinya terisi
oleh ketegangan.
a. Berikut adalah mengunci pintu perasaan. Ia berupaya melindungi
dirinya agar tidak tegang dan takut dengan cara tidak mengizinkan
dirinya merasakan apa pun. Singkat kata, ia membuat perasaannya
mati supaya ia tidak lagi harus merasakan kekacauan dan
ketegangan.
b. Kebalikan dari yang sebelumnya adalah justru membuka pintu
perasaan selebar-lebarnya, dalam pengertian ia tidak lagi
memunyai kendali atas perasaannya. Ia mudah marah, takut, sedih,
tegang dan semua perasaan ini mengayunkannya setiap waktu.
c. Dampak berikut adalah terhambatnya pertumbuhan anak. Untuk
dapat bertumbuh dengan normal anak memerlukan suasana hidup
yang tenteram. Ketakutan dan ketegangan melumpuhkan anak dan
menghambat pertumbuhan dirinya. Misalnya, dalam kepercayaan,
ia sukar sekali memercayai siapa pun dan masalah ini akan
memengaruhi relasinya kelak sebab ia akan mengalami kesulitan
membangun sebuah relasi yang intim.
d. Terakhir adalah kekerasan dalam rumah tangga akan mendistorsi
pola relasi. Pada akhirnya anak rawan untuk mengembangkan pola
relasi bermasalah seperti manipulatif, pemangsa, pemanfaat, dan
peran korban.

2) Tipe Pelaku Kekerasan dalam rumah tangga


a. Orang yang menggunakan kekerasan untuk mengekspresikan
kemarahan. Biasanya orang ini mengalami masa kecil yang sarat
ketegangan dan kekerasan. Alhasil sewaktu ia marah, kemarahan
muncul dalam kadar yang besar. Ditambah dengan pembelajaran
cara pengungkapan yang keliru, ia rentan untuk melakukan tindak
kekerasan kepada pasangannya. Biasanya orang dengan tipe ini
menyadari bahwa tindakannya salah namun ia sendiri tidak dapat
mengendalikan dirinya tatkala marah.
b. Orang yang menggunakan kekerasan untuk mengumbar kekuasaan.
Orang seperti ini cenderung memandang pasangannya sebagai
obyek yang perlu dikuasai dan diajar. Ia cepat menafsir bantahan
pasangan sebagai upaya untuk menghina atau melawannya—
tindakan yang "mengharuskannya" untuk mengganjar
pasangannya. Orang ini biasanya tidak merasa bersalah sebab ia
menganggap tindakannya dapat dibenarkan sebab menurutnya,
pasangan memang seharusnya menerima ganjaran itu.
c. Orang yang menggunakan kekerasan untuk menyeimbangkan
posisi dalam pernikahan. Pada umumnya orang ini merasa diri
inferior terhadap pasangan dan cepat menuduh pasangan sengaja
untuk merendahkannya. Itu sebabnya ia menggunakan kekerasan
untuk merebut kembali kekuasaan dalam rumah tangganya,
biasanya ia tidak merasa bersalah.
d. Orang yang menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar terakhir
untuk menyelesaikan konflik. Pada umumnya orang ini tidak
terbiasa menggunakan kekerasan namun dalam keadaan frustrasi,
ia pun merasa terdesak sehingga secara spontan menggunakan
kekerasan. Pada dasarnya ia tidak menyetujui cara ini dan merasa
bersalah telah melakukannya.
3) Tipe Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
a. Orang yang berjenis penantang. Orang ini hanya mengenal bahasa
menaklukkan atau ditaklukkan oleh karena masa kecil yang juga
sarat dengan kekerasan. Itu sebabnya sewaktu terjadi perselisihan,
ia cepat bereaksi menantang seakan-akan perselisihan merupakan
ajang adu kekuatan alias perkelahian. Tidak jarang, korban dengan
tipe penantang adalah pihak pertama yang menggunakan
kekerasan.
b. Orang yang bergantung. Orang ini tidak dapat hidup sendirian dan
membutuhkan pasangan untuk "menghidupinya." Orang tipe
bergantung membuat pasangan kehilangan respek sehingga dalam
kemarahan ia mudah terjebak dalam penggunaan kekerasan.
Kekerasan merupakan wujud keinginannya untuk melepaskan diri
dari kebergantungan pasangan pada dirinnya sekaligus ekspresi
dari ketidakhormatan kepada pasangan yang bergantung.
c. Orang yang berperan sebagai pelindung. Orang ini senantiasa
berusaha keras menutupi masalah keluarganya demi menjaga nama
baik. Orang bertipe ini cenderung menoleransi kekerasan alias
membiarkannya sehingga masalah terus berulang. Orang ini selalu
berusaha mengerti namun tindakan ini berakibat buruk pada
pasangan yang menggunakan kekerasan. Ia makin leluasa
menggunakan kekerasan karena tidak ada konsekuensi yang
menantinya.
4) Reaksi terhadap Kekerasan
a. Pada umumnya korban merasa ketakutan yang besar. Pada akhirnya
hidupnya menjadi lumpuh karena ia selalu dibayang-bayangi
konsekuensi buruk yang menantinya.
b. Kebanyakan korban juga menyimpan marah dan benci kendati
tidak selalu ia memerlihatkannya karena takut.
c. Banyak korban kekerasan yang merasa malu. Mungkin malu dilihat
orang berhubung adanya bekas pemukulan tetapi kalaupun tidak
ada bekasnya, ia merasa malu karena perbuatan kekerasan
merupakan aib dalam keluarga. Julukan "dipukuli suami" tetap
bukanlah julukan yang terhormat.
d. Terakhir adalah hilangnya respek pada pasangan. Dan, biasanya
hilangnya respek diikuti oleh hilangnya kasih. Sayangnya namun
cukup sering terjadi, korban pun pada akhirnya kehilangan respek
pada diri sendiri dan cenderung melihat diri seperti sampah.
6. PENCEGAHAN TERJADINYA KDRT
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga,
karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap
ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga
dapat saling menghargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi
dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang
ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila
terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.
1) Tanda-tanda potensi pelaku KDRT sebelum menikah:
a. Cenderung kasar pada semua orang. Misal: pada teman, saat menyetir
mobil, di tempat umum, dan keluarga sendiri. Ia mudah tersinggung
dan marah, ketika marah bersikap kasar.
b. Dalam keluarganya, kita melihat kebiasaan kekerasan, kurang peduli
pada orang lain, mau menang sendiri, tidak mau berbagi. Ayah mungkin
memberikan contoh kekerasan dan anak-anak menirunya.
c. Ia mungkin egois dan selalu memikirkan kepentingannya sendiri,
enggan berbagi.Orang lain yang harus menjaga perasaan dan lebih
banyak menyesuaikan diri.
d. Ia tidak terlihat kasar saat pergaulan sehari-hari, tetapi terkesan tidak
dapat mengendalikan diri saat kecewa atau marah. Bila kecewa atau
marah, ia dapat bersikap kasar, bertingkah laku membahayakan, dan
membuat orang merasa takut.
e. Ia mudah curiga pada orang lain, mudah menyalahkan, banyak
berpikiran buruk, khususnya perilaku pasangan.
f. Ia posesif dan tidak memberikan ruang pribadi bagi kita.
g. Ia cenderung meyakini pembagian peran gender yang kaku,
menempatkan laki-laki sebagai penentu.
7. PENANGGULANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam hidup ini, tidak jarang dialami yang sama sekali tidak
diinginkan. Ada pepatah “untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak”, yang artinya kehidupan didepqan kita adalah rahasia Allah, untung
maupun malang sering datang tiba-tiba tanpa disangka. Menghadapi
masalah KDRT, maka ada pepatah yang penting kita hayati “Sebelum ajal
berpantang mati”. Maksudnya, kehidupan dan kematian ditentukan oleh
Tuhan, maka jangan terlalu takut menghadapi masalah karena orang tidak
akan mati seblum tiba ajalnya. Oleh karena itu, teruslah berusaha sampai
titik darah penghabisan. Jika KDRT terjadi, maka hadapi dan tangani:
a. Isteri dan suami lakukan dialog. Keduanya harus cari solusi atas
masalah yang dihadapi untuk memecahkan masalah yang menjadi
penyebab terjadinya KDRT. Jika anak-anak sudah mulai besar, ajak
mereka supaya berbicara kepada bapak, kalau KDRT dilakukan bapak
(suami).
b. Selesaikan masalah KDRT dengan kepala dingin. Cari waktu yang tepat
untuk sampaikan bahwa KDRT bertentangan hukum negara, hukum
agama, budaya dan adat-istiadat masyarakat.
c. Laporkan kepada keluarga yang dianggap berpengaruh yang bisa
memberi jalan keluar terhadap penyelesaian masalah KDRT supaya
tidak terus terulang.
d. Kalau sudah parah KDRT seperti korban sudah luka-luka, maka
dilakukan visum.
e. Laporkan kepada yang berwajib telah terjadi KDRT. Melapor ke polisi
merupakan tindakan paling terakhir karena bisa berujung kepada
perceraian.
1. Ancaman Hukuman KDRT menurut UU No. 23 tahun 2004 :
Pasal 44 berbunyi:
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45:
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 49:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
2. Jika yang menjadi korban KDRT adalah anak:
Hal ini diatur dlm UU No. 23 tahun 2002 ttg Perlindungan Anak.
a. Pasal 80 berbunyi:
1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
b. Pasal 81:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
1) juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

D. TRAFFICKING HUMAN
1. Pengertian
Trafficking adalah konsep dinamis dengan wujud yang berubah
dari waktu kewaktu, sesuai perkembangan ekonomi, sosial dan politik.
Sampai saat ini tidak ada definisi trafficking yang disepakati secara
internasional, sehingga banyak perdebatan dan respon tentang definisi
yang dianggap paling tepat tentang fenomena kompleks yang disebut
trafficking ini.

Menurut resolusi senat AS no. 2 tahun 199, trafficking adalah


salah satu atau lebih bentuk penculikan, penyekapan, perkosaan,
penyiksaan, buruh paksa atau praktek-praktek seperti perbudakan dan
menghancurkan hak asasi manusia. Trafficking memuat segala tindakan
yang termasuk dalam proses rekruitmen atau pemindahan orang di dalam
ataupun antar negara, melibutkan penipuan, paksaan atau dengan tujuan
menempatkan orang-orang pada situasi penyiksaan atau eksploitasi
seperti prustitusi paksa, penyiksaan dan kekejaman luar biasa, buruh di
pabrik dengan kondisi buruk atau pekerja rumah tangga yang
dieksploitasi.
2. Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human
Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun
eksploitasi terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa
factor khususnya di Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Faktor ekonomi

Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor


penyebab utama terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa
perdagangan manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan
bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa
rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar
masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk mencari
uang dengan berbagai cara.
b. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya

Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia,


untuk Indonisia penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga
pendidikan dan LSM menunjukkan sebagian besar korban perdagangan
manusia adalah perempuan dan anak-anak. Indonisia adalah suatu
masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana kaum
laki-laki yang lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur
yang mendegorasi perempuan baik dalam kebijakan pemerrintah maupun
dalam prilaku masyarakat.
c. Faktor Pendidikan
Melihat data di atas tampak bahwa mayoritas masyarakat
Indonesia masih banyak yang bertaraf rendah tingkatannya dalam hal
pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya
keterampilan atau skill menyebabkan sebagian besar dari permpuan
menganggur serta menghabiskan sebagian besar hidup dan waktunya di
rumah. Dan pada akhirnya tidak menghasilkan keuangan bahkan
mengurani pemasukan. Sebenarnya tidak hanya kaum perempuan yang
menganggur akan tetapi laki-laki juga mengalami hal yang serupa.
Tampak bahwa setip tahun ribuan orang meninggalkan kampung
halamannya dan snak keluarganya demi mencari keja atau penghidupan
yan lebih layak di daerah lain Indonesia atau bahkan keluar negeri.

Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi


kekerasan dan eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya
anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak mempunyai skill yang
memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan
terlibat kriminalitas.
d. Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei
2002 yang lalu memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37%
balita Indonesia belum mempunyai akta kelahiran. Pasal 9 konvensi
mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus
didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai
nama serta kewarganegaraan. Ada bermacam- macam alasan mengapa
banyak anak tidak terdaftar kelahirannyaa. Orang tua yang miskin
mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka tidak
menyadari pentingtnya akata kelahiran.
e. Kebijakan yang Bias Gender
Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan
gender di mana hukum Undang-undang Dasar 1945 menjamin
kesetaraan hak untuk laki- laki dan perempuan. Indonisia juga telah
meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak
bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan
deskriminasi untuk perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun
kenyataannya hukum perlindungan hanya di atas kertas sedangkan
prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan.
f. Pengaruh Globalisasi
Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada
beberapa waktu terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu
yang aktual, baik dalam lingkup domistik maupun yang telah bersifat
lintas batas negara. Perdagangan manusia yang paling menonjol terjadi
khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri
seksual, ini baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media
massa pada beberapa tahun terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam
skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan
sangat rapi
3. Bentuk dan Modus Trafficking Human
a. Bentuk Trafficking
Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun
semakin komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang
dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri
karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai belahan
dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking
diantaranya adalah:
1) Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau
mengalami perceraian karena akibat kawin muda atau putus
sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan kemudian
dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk
mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang
eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak terbatas agar
menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan.
b) Eksploitasi non komersial,
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan
kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan
yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan
tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban
harus menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan
ada yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi
semuanya terganggu jiwanya.
2) Pekerja Rumah Tangga
Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun
di dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja
yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan
menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang,
upah yang tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau
yang disebut pembantu tidaklah dianggap sebagai pekerja formal
melainkan sebagai hubungan informal antara pekerja dan majikan,
dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan.
3) Penjualan Bayi
Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga
modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker.
Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil
pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit
untuk mengadopsi anak.
4) Jeratan Hutang
Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan
tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan
atau tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi
mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke
negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti
dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal jika dihitung-
hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak gaji
TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja
apapun kondisi yang dihadapi di lapangan sampai habis masa
kontrak.
5) Pengedar Narkoba dan Pengemis
Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang
namanya narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia
dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota besar
sampai kepelosok desa. Inilah salah satu yang menyebabkan
orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya
sangat menggiurkan dan disisi lain ia sulit menemukan pekerjaan
yang layak dengan penghasilan besar walaupun resikonya juga
sangat besar.

6) Pengantin Pesanan Pos (Mail order bride)


Kasus ini dapat terjadi salah satunya adalah karena
tingginya mahar yang diminta oleh pihak perempuan, sementara
laki-laknya tidak mampu secara ekonomi untuk memenuhinya
sedangkan usia mereka lebih dari cukup untuk menikah. Maka
salah satu caranya adalah dengan membeli perempuan dari luar
negeri untuk dinikahinya karena tidak perlu memberikan mahar
yang besar dan lebih mau menuruti apa maunya si laki- laki.
7) Undang- Undang Tentang Trafficking
Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Berdasarkan
Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
4. Dampak/ Pengaruh Trafficking Human
Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor
penyebab human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan
korban trafficking dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak
terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial perempuan korban
trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction (2011: 13,
14) sebagai berikut.
a) Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental
Menurut Williamson et al. (2010: 2), perempuan korban
trafficking sering mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan
suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan cedera aktual atau
terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
diri sendiri atau orang lain" dan tanggapan mereka terhadap peristiwa
ini sering melibatkan "rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan,
sebagai reaksi umum dari post traumatic stress disorder (PTSD).
Para perempuan korban trafficking seringkali kehilangan
kesempatan penting untuk mengalami perkembangan sosial, moral,
dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan
gelap masa depan.
a. Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD)

PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang


mengalami peristiwa traumatik yang menyebabkan gangguan
pada integritas diri individu dan sehingga individu mengalami
ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri (Townsend
M.C., 2009).
b. Kecemasan

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada


sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas
dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak
berdaya (Videbeck, 2008). Satu studi melaporkan bahwa
orang yang selamat dari trafficker mengalami kecemasan
dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%), merasa tertekan
(95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%) (Bradley,
2005).
c. Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan


perilaku seseorang yang tidak akan berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan.
b) Dampak Sosial
Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi,
karena sejak awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan
trafficker mereka sudah disekap, diisolir agar tidak berhubungan
dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan.
Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan
membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain (Course
Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani nafsu bejat para
tamu (lelaki hidung belang).
c) Dampak Kesehatan Fisik

Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking


terjadi, karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak
manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya.
5. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk


tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya
penanganan yang komprehensif dan terpadu.Tidak hanya dibutuhkan
pengetahuan dan keahlian professional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame apparat
penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan
pihak- pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian
terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik local maupun
internasional.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan
meminta dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) yang melakukan Program Prevention ofChild Trafficking for
Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah:
1) Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-
laki dan anak perempuan.
2) Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak
perempuan setelah lulus sekolah dasar
3) Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi
kenaikan penghasilan
4) Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit
keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri.
5) Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap
trafficking anak.
E. NARAPIDANA
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, dalam memperlakukan
orang- orang terpidana dan tahanan (yang pernah melanggar hukum) adalah
dengan penjeraan (dibuat jera). Maksud dari penjeraan, agar jera dan kapok
sehingga tidak mengulangi kejahatan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat ( 7 )
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan
bahwa Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat
( 1 ) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.01-
PP.02.01 Tahun1990 menyatakan bahwa: Narapidana adalah seseorang
terpidana berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan terpidana tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
atau Rumah Tahanan Negara.
1. Pengertian Narkotika
Secara umum, yang dimaksud dengan Narkotika adalah sejeniszat
yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang
yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi,
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.
Penggolongan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah sebagai
berikut:
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi.
c. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
2. Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan
yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum Narkotika, dalam hal ini adalah
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-
ketentuan lain yang termasuk dan tidak bertentangan dengan Undang-
Undang tersebut.
3. Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional artinya sesuai
menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk
maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau
penyalahgunaan Narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2019 tentang Narkotika
4. Bentuk Tindak Pidana Narkotika yang umum dikenal antara lain:
a) Penyalahgunaan melebihi dosis
b) Pengedaran Narkotika, karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai
peredaran Narkotika, baik nasional maupun internasional.
c) Jual beli Narkotika, ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi
untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi
untuk kepuasan.

F. ANAK JALANAN
1. Pengertian Anak Jalanan
Istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika
selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk
menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak
memiliki ikatan dengan keluarga. Istilah anak jalanan berbeda-beda untuk
setiap tempat, misalnya di Columbia mereka disebut “gamin” (urchin atau
melarat) dan “chinces” (kutu kasur), “marginais” (criminal atau marjinal) di
Rio, “pa’jaros frutero” (perampok kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di
Bolivia, “resistoleros” (perampok kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak
dekil) di Vietnam, “saligoman” (anak menjijikkan) di Rwanda. Istilah-
istilah itu sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi anak-anak jalanan

ini dalam masyarakat. Pengertian anak jalanan telah banyak


dikemukakan oleh banyak ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut
PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan
untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tinggal di
jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga yang tidak
mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran
keluarganya.Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong,
pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah.
UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai those who have
abandoned their home, school, and immediate communities before they are
sixteen yeas of age have drifted into a nomadic street life (anak-anak
berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga,
sekolah dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang
berpindah-pindah). Anak jalanan merupakan anak yang sebagian besar
menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan
atau tempat-tempat umum lainnya.
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Adanya Anak Jalanan
Banyak faktor yang kemudian di identifikasikan sebagai penyebab
tumbuhnya anak jalanan. Parsudi Suparlan berpendapat bahwa adanya
orang gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya
sebuah kota, tetapi justru karena tekanan tekanan ekonomi dan rasa tidak
aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat
yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih
baik di kota (Parsudi Suparlan, 1984 : 36).
Menurut Saparinah Sadli (1984:126) bahwa ada berbagai faktor yang
saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan,
antara lain: faktor kemiskinan (struktural dan pribadi), faktor keterbatasan
kesempatan kerja (faktor intern dan ekstern), faktor yang berhubungan
dengan urbanisasi dan masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti
tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan
berbagai faktor lainnya. Hasil penelitian Hening Budiyawati, dkk. (dalam
Odi Shalahudin, 2000:11) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan anak pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan
mereka adalah karena:
1) Kekerasan dalam keluarga.
2). Dorongan keluarga.
3). Ingin bebas.
4). Ingin memiliki uang sendiri.
5). Pengaruh teman.
Beragam faktor tersebut yang paling dominan menjadi penyebab
munculnya anak jalanan adalah faktor kondisi sosial ekonomi di samping
karena adanya faktor broken home serta berbagai faktor lainnya.
3. Karakteristik Anak Jalanan
Berdasarkan intensitasnya di jalanan, anak jalanan dapat
dikelompokkan menjadi tiga karakteristik utama yaitu:
a. Children of thr street
Anak yang hidup/tinggal di jalanan dan tidak ada hubungan
dengan keluarganya. Kelompok ini biasanya tinggal di terminal,
stasiun kereta api, emperan toko dan kolong jembatan.
b. Children on the street
Anak yang bekerja di jalanan. Umumnya mereka adalah anak
putus sekolah, masih ada hubungannya dengan keluarga namun tidak
teratur yakni mereka pulang ke rumahnya secara periodik.
c. Vulberable children to be street children
Anak yang rentan menjadi anak jalanan. Umumya mereka
masih sekolah dan putus sekolah, dan masih ada hubungan teratur
(tinggal) dengan orang tuanya. Jenis pekerjaan anak jalanan
dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1) Usaha dagang yang terdiri atas pedagang asongan, penjual koran,
majalah, serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2) Usaha di bidang jasa yang terdiri atas pembersih bus,
pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek
payung, tukang semir sepatu dan kenek.
3) Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai
macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang,
radio karaoke dan lain-lain.
4) Kerja serabutan yaitu anak jalanan yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan
mereka.
4. CIRI-CIRI ANAK JALANAN
CIRI FISIK CIRI PSIKIS

Warna kulit kusam Mobilitas tinggi

Rambut kemerah-merahan Acuh tak acuh


Kebanyakan berbadan kurus Penuh curiga
Pakaian tidak terurus Sangat sensitive
Berwatak keras
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berani menanggung resiko
Mandiri

Dalam bentuk pola kerja anak jalanan dapat dikategorikan menjadi


tiga bentuk strategi bertahan hidup yaitu bertahan hidup kompleks, sedang
dan sederhana. Sebagian besar anak jalanan memiliki strategi bertahan
hidup kompleks dan sedang dengan jenis pekerjaan pengamen. Hal
tersebut dilatar belakangi oleh:
a. Kondisi ekonomi keluarga
Kegiatan anak-anak di jalanan berhubungan dengan kemiskinan
keluarga di mana orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
(sandang, pangan, papan) dari anggota keluarganya sehingga dengan
terpaksa ataupun sukarela mencari penghidupan di jalan untuk
membantu orangtua.
b. Konflik dengan/antar orangtua
Selain faktor ekonomi, perselisihan dengan orangtua ataupun antar
orangtua (disharmoni keluarga) menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan anak turun ke jalan dan akhirnya menjadi anak jalanan.
c. Mencari pengalaman
Tidak jarang anak melakukan aktivitas di jalan dengan alasan
mencari pengalaman untuk memperoleh penghasilan sendiri.
Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Jakarta yang pergi ke Jakarta
untuk mencari pengalaman baru dan kehidupan baru yang lebih baik.
5. Model Penanganan Anak Jalanan
Anak jalanan pada umumnya berusia 6 hingga 18 tahun. Diantara
mereka ada yang bekerja dan ada yang tidak, ada yang mempunyai
hubungan dengan keluarga dan ada yang tidak sama sekali. Masing-
masing mereka itu memiliki strategi khusus untuk bertahan hidup. Anak
jalanan itu mobilitasnya tinggi, mereka sering berpindah. Mereka berada di
ruas jalan, seperti simpang jalan, halte, tempat parkir, terminal, stasiun, dan
tempat ramai lainya. Anak jalanan pada umumnya berasal dari keluarga
yang tidak memiliki pengetahuan, keterampilan dan keahlian.
6. Permasalahan yang dihadapi oleh Anak Jalanan
Secara umum permasalahan yang di hadapi oleh anak jalananan dapat
dikategorikan menjadi enam, yaitu :
1) Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga
sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna
mencari tambahan ekonomi keluarga.
2) Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di
rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong
untuk anak turun ke jalan.
3) Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui
fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak
anak.Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan
baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan
penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik.
4) Peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah.
5) Lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong
partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.
7. Solusi untuk Mengatasi Anak Jalanan
Menurut Nugroho ada tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak
jalanan, yaitu:
1) Pendekatan Penghapusan (abolition)
Lebih mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala
anak jalanan. Anak jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan
merupakan akibat dari bekerjanya sistem ekonomi politik masyarakat
yang tidak adil. Untuk mengatasi masalah anak jalanan sangat tidak
mungkin tanpa menciptakan struktur sosial yang adil dalam masyarakat.
Pendekatan ini lebih menekankan kepada perubahan struktur sosial atau
politik dalam masyarakat, dalam rangka melenyapkan masalah anak
jalanan.
2) Pendekatan Perlindungan (protection)
Mengandung arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang
terlanjur menjadi anak jalanan. Karena kompleksnya faktor penyebab
munculnya masalah kemiskinan, maka dianggap mustahil menghapus
kemiskinan secara tuntas. Untuk itu anak-anakyang menjadi korban
perlu di lindungi dengan berbagai cara, misalnya:melalui perumusan
hukum yang melindungi hak-hak anak. Fungsionalisasi lembaga
pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Perlindungan ini
senada dengan pendapat pemerintah melalui departemen sosial, praktisi-
praktisi LSM dan UNICEF di mana tanggal 15 Juni 1998 membentuk
sebuah lembaga independent yang melakukan perlindungan pada anak.
Yaitu lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA tersebut
didasarkan pada prinsip dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu:1) Anak
di fasilitasi agar dapat melaporkan keadaan dirinya.2) Menghargai
pendapat anak.3) LPA bertanggung jawab kepada masyarakat bukan
kepada pemerintah.4) Accountability Menurut Nugroho, sisi negatif dari
pendekatan perlindungan tersebutadalah strategis perlindungan hanya
akan menjadi ajang kepentingan para elitdan tokoh masyarakat sehingga
berimplikasi pada tidak tuntasnyapenyelesaian problem anak jalanan.
Produk-produk hukum yang dirumuskan sebagai wujud bagi
perlindungan terhadap anak.
3) Pendekatan Pemberdayaan (empowerment)
Menekankan perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan.
Pemberdayaan ini bermaksud menyadarkan mereka yang telah menjadi
anak jalanan agar menyadari hak dan posisinya dalam konteks social,
politik ekonomi yang abadi di masyarakat. Pemberdayaan biasanya di
lakukan dalam bentuk pendampingan. Yang berfungsi sebagai fasilitator,
dinamisator, katalisator bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini dikatakan
berhasil jika anak jalanan berubah menjadi kritis dan mampu
menyelesaikan permasalahannya secara mandiri.
8. Penanganan untuk Menertibkan Anak Jalanan
1) Pertama, pemerintah harus memikirkan tempat tinggal yang layak bagi
anak jalanan. Rumah singgah misalnya, di mana mereka merasa aman
dan mendapatkan perlindungan. Program Orang Tua Asuh dapat
membantu pemerintah dalam menangani masalah anak jalanan. Hal ini
penting, karena berbicara anak jalanan berarti berbicara di mana mereka
tinggal untuk mendapatkan perlindungan, baik dari faktor alam maupun
dari faktor orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan.
2) Kedua, adanya sekolah berbiaya murah dan gratis niscaya membuat anak
yang beraktivitas di jalanan akan berkurang. Anak-anak tidak perlu
memikirkan bagaimana mencari uang sekolah. Melunasi uang buku,
membayar uang ujian, uang hari guru, uang perpisahan, dan segala
macam jenis uang lainnya yang sangat membebani ekonomi keluarga.
3) Ketiga, membuat kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan partisipasi
anak secara rutin. Hal ini dimaksudkan untuk mengisi waktu luang anak
sehingga tidak mudah untuk terjerumus kepada hal-hal yang tidak
diinginkan, seperti beraktivitas di jalanan untuk mencari uang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) di
definisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus
untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna.
Penyebutan sebagai anak berkebutuhan khusus, dikarenakan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan,
layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layanan
lainnya yang bersifat khusus. Dalam penanganan anak berkebutuhan khusus,
terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu penguatan kondisi
mental orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dukungan sosial
yang kuat dari tetangga dan lingkungan sekitar anak berkebutuhan khusus
tersebut, dan yang terakhir adalah peran aktif pemerintah dalam menjadikan
pelayanan kesehatan dan konsultasi bagi anak berkebutuhan khusus.
2. Perkosaan adalah hubungan seksual tanpa kehendak bersama, yang dipaksakan
oleh satu pihak kepada pihak lain,yang juga dapat merupakan tindak pseudo
seksual yaitu perilaku seksual yang tidak selalu di motivasi dorongan seksual
sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan
dominan, agresi dan perendahan pada satu pihak (korban) oleh pihak
lainnya(pelaku).
3. Masalah anak jalanan adalah masalah yang sangat kompleks yang menjadi
masalah kita bersama. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu pihak
saja melainkan harus ditangani bersama-sama oleh berbagai pihak yang perduli
permasalahan ini juga dapat diatasi dengan suatu program yang komprehensi
dan tidak akan dapat tertangani secara efektif bila dilaksanakan secara persial.
Dengan demikian kerja sama antara berbagai pihak, pemerintah, LSM, masa
media mutlak diperlukan. Khusus mengenai aspek hukum yang melindungi
anak jalanan yang terpaksa bekerja juga merupakan komponen yang perlu
diperhatikan karena masih lemahnya peraturan dan perundang-undangan yang
mengatur masalah ini.
B. Saran
Setelah mengetahui dan memahami segala sesuatu hal yang berhubungan
dengan anak berkebutuhan khusus, sangat diharapkan bagi masyarakat indonesia
terutama bagi para pendidik dalam menyikapi dan mendidik anak. Saran saya
dalam menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan adanya semacam
kampanye kepada masyarakat luas untuk peduli dan meningkatkan kesadaran
terhadap anak anak jalanan yang ada di Indonesia ini melalui poster, iklan layanan
dan sebagainya
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Armai. 15 Juni 2004. Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan, (online),


(http://anjal.blogdrive.com, diakses pada tanggal 7 april 2013, pukul 11.07 WIB).
http://kumpulanmakalah-kedokteran-psikologi.blogspot.com/2013/06/makalah-
pemberdayaan-anak-jalanan.html
http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-
rumah.html
https://www.academia.edu/9941031/makalah_Human_Trafficking_Pengertian_Human_
Trafficking_Penanggulangan_Human_Trafficking
https://www.academia.edu/15846426/MAKALAH_ANAK_KEBUTUHAN_KHUSUS
https://www.academia.edu/9305737/Makalah_KDRT
http://senyumketiga.blogspot.com/2014/09/makalah-pemerkosaan.html
35

Anda mungkin juga menyukai