Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
Heward (2003) Mendefinisikan ABK sebagai anak dengan karakteristik khusus yang
berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan
mental, emosi, atau fisik.
Menurut Suran dan Rinzzo (dalam semiawan dan mangunson,2010) ABK adalah
anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaannya
1. Impairment, yaitu orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi dari
ketidaknormalan psikologik, psikis, atau karena kelainan pada struktur organ tubuhnya.
Tingkat kelemahan itu menjadi penghambat yang mengakibatkan tidak berfungsinya
anggota tubuh lainnya seperti pada fungsi mental. Contoh dari kategori impairment ini
adalah kebutaan, tuli, kelumpuhan, amputasi pada anggota tubuh, gangguan mental
(keterbelakangan mental) atau penglihatan yang tidak normal.
2. Disability, yaitu ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas pada tataran aktifitas
manusia normal, sebagai akibat dari kondisi impairment tadi. Akibat dari kerusakan pada
sebagian atau semua anggota tubuh tertentu, menyebabkan seseorang menjadi tidak
berdaya untuk melakukan aktifitas manusia normal, seperti mandi, makan, minum, naik
tangga atau ke toilet sendirian tanpa harus dibantu orang lain.
3. Handicap, yaitu ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosial-
ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis baik karena sebab
abnormalitas fungsi (impairment), atau karena disabilitas (disability) sebagaimana di atas.
Disabilitas dalam kategori ke tiga lebih dipengaruhi faktor eksternal si individu
penyandang disabilitas, seperti terisolir oleh lingkungan sosialnya atau karena stigma
budaya, dalam arti penyandang disabilitas adalah orang yang harus dibelaskasihani, atau
bergantung bantuan orang lain yang normal.
Sumber: Oki Dermawan,”Strategi Pembelajaran Bagi ABK di SLB” Jurnal Ilmiah Psikologi 6 (2), 886-897,
2013
Materi II (Kategori Anak Berkebutuhan Khusus)
A. Anak Berkebutuhan Khusus bersifat Sementara (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara merupakan anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal. Misalnya saja, anak yang mengalami gangguan emosi karena trauma
akibat diperkosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Sehingga anak seperti ini
memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan
dengan hambatan yang dialaminya, namun anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus,
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima
kekerasan dalam rumah tangga;
2. Mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya.
3. Mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru
dalam mengajar, atau;
4. Anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami
B. Anak Berkebutuhan Khusus bersifat Tetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang
mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan
akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi
penghilangan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan
gerak (motorik), gangguan interaksi-komunikasi, gangguan emosi, sosial dan tingkah laku.
Jadi dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen
sama artinya dengan anak penyandang kecacatan, Layanan pendidikan anak
berkebutuhuhan khusus tidak harus disekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah
regular atau yang biasa disebut “sekolah inklusif”. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh
konsep special needs education, yang antara lain melatar belakangi munculnya gagaran
pendidikan inklusif (UNESCO, 1994). Dalam konsep special needs education, sangat
dihindari penggunaan label kecacatan, tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu
yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Maka, anak luar biasa ini tidak lagi
dipandang sebagai cacat tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan
kebutuhan akan layanan pendidikannya.
Materi III (Klasifikasi Jenis Anak Berkebutuhan Khusus)
A. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu.
Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik dan tubuhnya tidak dapat
menjalankan tugasnya secara normal, Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada
a) Alat indra fisik, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu), kelainan pada
indra penglihatan (tunanetra) dan kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara)
b) Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem
saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan pada
anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna misalnya lahir tanpa tangan/kaki,
amputasi, dan lain-lain atau disebut dengan tunadaksa.
B. Kelainan Mental
Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada
aspek mental ini dapat menyebar kedua arah yaitu kelainan mental dalam arti lebih
(supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal).
1. Anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner). Karakteristik anak yang termasuk
dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa
indeks kecerdasannya berada pada rentang 110-120
2. Anak berbakat (gifted), anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-
140
3. Anak genius (extremelly gifted), akan sangat berbakat atau genius jika indeks
kecerdasannya berada pada rentang di atas 140
C. Kelainan perilaku sosial
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain.
Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya
kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/ norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979).
Sumber : Aqila Smart. (2010). Anak Cacat Bukan Kiamat “Metode Pembelajaran dan Terapi untuk Anak
BerkebutuhanKhusus”. Yogyakarta; KATA HATI
Materi IV (Mengenal Anaka Tunanetra)
Hadi (2005: 38) mengatakan “ tunanetra dapat diartikan sebagai suatu kondisi cacat
penglihatan sehingga mampu mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara
optimal sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan
pelajaran. Jadi menurut pendapat Purwaka Hadi anak tunanetra adalah kondisi cacat
penglihatan yang dapat mengganggu proses pembelajaran dan dibutuhkan cara-cara khusus
sesuai dengan keterbatasannya dalam proses pembelajaran.
Tunanetra sebelum dan sejak lahir yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan
1. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta
pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan
2. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan
visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi
3. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu
melakukan latihan latihan penyesuaian diri
4. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan latihan
penyesuaian diri.Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
C. Klasifikasi Anak Tunanetra Berdasarkan Kemampuan Daya Penglihatan
Tunanetra ringan
Mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat
mengikuti program program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan
Tunanetra setengah berat
Mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca
pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak
Tunanetra berat
Mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
D. Karakteristik Anak Tunanetra
Anak tunanetra secara fisik sama dengan anak-anak pada umumnya, namun terdapat
beberapa hal yang membedakan antara keduanya. Terdapat beberapa karakteristik yang ada
pada anak tunanetra diantaranya:
a) Kognitif Keterbatasan atau ketidakmampuan penglihatan berpengaruh pada perkembangan
dan proses belajar siswa. Lowenfeld sebagaimana yang dikutip oleh Ardhi Wijaya
menggambarkan dampak kebutaan dan lowfision terhadap perkembangan kognitif anak. Ia
mengidentifikasi keterbatasan anak pada tiga area yaitu:
1) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman Pengalaman anak tunanetra diperoleh dari indra-
indra yang masih berfungsi pada tubuhnya, terutama indra pendengaran dan perabaan.
Namun kedua indra tersebut tidak dapat menyeluruh dalam memberikan informasi seperti
informasi warna, ukuran, dan ruang. Dalam memperoleh informasi anak haruslah melakukan
kontak langsung dengan benda yang ia pelajari, sehingga untuk benda yang terlampau jauh
seperti langit dan bintang, benda yang terlalu besar seperti gunung, benda yang terlalu rapuh
seperti hewan kecil, atau benda yang membahayakan seperti api mereka ulit untuk
mengakses dan memperoleh informasi karena sulit diteliti dengan indra perabaan.
2) Kemampuan untuk berpindah tempat Keterbatasan penglihatan membuat anak tunanetra
harus belajar berjalan dan mengenali lingkungannya agar mampu melakukan mobilitas
secara aman, efektif, dan efisien.
3) Interaksi dengan lingkungan Anak tunanetra sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan,
karena keterbatasan penglihatan mereka. Mereka membutuhkan waktu yang relatif lebih
lama dalam mengenali lingkungannya.
b) Akademik Kemampuan akademik anak tunanetra secara umum sama dengan anak normal
lainnya. Ketunanetraan mereka berpengaruh pada keterampilan membaca dan menulis
mereka. Untuk memenuhi kebutuhan membaca dan menulis mereka dibutuhkan media dan
alat yang sesuai. Anak dengan tunanetra total dapat membaca dan menulis dengan huruf
braille, sedangkan anak low fision menggunakan huruf cetak dengan ukuran yang besar
c) Fisik Keadaan fisik anak tunanetra yang sangat mencolok yaitu kelainan pada organ
matanya. Terdapat beberapa gejala tunanetra yang dapat diamati yaitu mata juling, sering
berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan
dan cepat, mata selalu berair (mengeluarkan air mata), serta pembengkakan pada kulit tempat
tumbuh bulu mata.
d) Motorik Hilangnya kemampuan penglihatan tidak memberi pengaruh besar pada keadaan
motorik anak. Anak hanya membutuhkan belajar dan waktu yang sedikit lebih lama untuk
melakukan mobilitas. Seiring berjalannya waktu anak dapat mengenali lingkungannya dan
beraktivitas dengan aman dan efisien
e) Perilaku Secara tidak langsung kondisi ketunaan anak tunanetra menimbulkan masalah pada
perilaku kesehariannya. Wujud perilaku tersebut dapat berupa menggosok mata secara
berlebihan, menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau
mencondongkan kepala ke depan, sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain
yang sangat memerlukan penggunaan mata, berkedip lebih banyak daripada biasanya atau
lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan, membawa bukunya ke dekat mata, tidak
dapat melihat benda-benda yang agak jauh, menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi, tidak
tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan
penglihatan, janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata, dan
menghindar dair tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan
jarak jauh.
f) Pribadi dan Sosial Keterbatasan penglihatan anak tunanetra berdampak pada kemampuan
sosial mereka. Mereka kesulitan dalam mengamati dan menirukan perilaku sosial dengan
benar. Mereka memerlukan latihan dalam pengembangan persahabatan dengan sekitar,
menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik,
mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan intonasi suara dalam
mengekspresikan perasaan, serta menyampaikan pesan yang tepat saat berkomunikas.
E. Etiologi/Faktor Penyebab Tunanetra
a) Prenatal (Sebelum Kelahiran) Tahap prenatal yaitu sebelum anak lahir pada saat masa anak
di dalam kandungan dan diketahui sudah mengalami ketunaan. Faktor prenatal berdasarkan
periodisasinya dibedakan menjadi periode embrio, periode janin muda, dan periode janin
aktini. Pada tahap ini anak sangat rentan terhadap pengaruh trauma akibat guncangan, atau
bahan kimia. Faktor lain yang menjadi faktor anak mengalami tunanetra berkaitan dengan
kondisi anak sebelum dilahirkan yaitu gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu,
kekurangan gizi, keracunan obat, virus, dan sebagainya
b) Neonatal (Saat Kelahiran) Periode neonatal yaitu periode dimana anak dilahirkan. Beberapa
faktornya yaitu anak lahir sebelum waktunya (prematurity), lahir dengan bantuan alat (tang
verlossing), posisi bayi tidak normal, kelahiran ganda atau kesehatan bayi.
c) Posnatal (Setelah Kelahiran) Kelainan pada saat posnatal yaitu kelainan yang terjadi setelah
anak lahir atau saat anak dimasa perkembangan. Pada periode ini ketunaan bisa terjadi akibat
kecelakaan, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan vitamin, bakteri, Serta kecelakaan
yang sifatnya ekstern seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya,
kecelakaan kendaraan, dan lain-lain.
F. Dampak Anak Tunanetra
Dampak Ketunanetraan Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang
sangat penting bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan.
Pengalaman manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan.
Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih
luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus
diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobil, dan lain-lain termasuk
detail bagian-bagiannya, Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi
visual. Sebagai akibatnya penyandang tunanetra akan kekurangan atau kehilangan informasi
yang bersifat visual (hanya dapat dilihat)
Di samping itu, dampak ketunanetraan dapat terjadi pada beberapa aspek, seperti aspek
psikologis, aspek fisik atau aspek emosi dan sosial. Berikut ini akan dibahas dampak
ketunanetraan terhadap perkembangan dan pertumbuhan berbagai aspek.
a) Sentuhan
2) Beri anak berbagai macam benda atau objek dengan berbagai tekstur, bentuk, dan ukuran
3) Beri kesempatan pada anak-anak untuk menjalankan aktivitas sehari-hari seperti bermain, mengurus
diri, berkumpul bersama keluarga, di dapur atau di taman.
b) Pendengaran
1) Berbicara dengan anak di berbagai kesempatan, meyebutkan nama benda yang berada di sekelilingnya
dan memberi tahu keadaan di sekelilingnya
c) Bau
1) Pastikan anak-anak sering di dorong untuk membaui bendabenda di sekitarnya seperti makanan,sabun,
minuman, bensin, minyak wangi, dan sebagainya
d) Rasa
1) Dorong anak memasukkan benda ke dalam mulut untuk meningkatkan sensitivitas lidah, namun
sebelumnya pastikan benda tersebut bersih dan aman
2) Berikan makanan dan minuman yang bermacam-macam rasa, tekstur, dan beri tahu nama makanan
dan minuman itu
Konseling bagi Anak Berkebutuhan Khusus bertujuan agar setelah mendapat layanan
bimbingan konseling anak dapat mencapai penyesuaian dan perkembangan yang optimal sesuai
dengan sisa kemampuannya, bakat, dan nilai nilai yang dimilikinya.
Sumber : Andrie.2010.PendidikanJasmaniTunanetra
Materi V (Mengenal Anak Tunarugu)
Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat
mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai
bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih
ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan
tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan
dan kepentingan masing-masing.
Menurut Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74) mengemukakan bahwa: seseorang
yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi
dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera
pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi.
Sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih
dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing
aids).
Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang
tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui
pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang
dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tin
Suharmini (2009: 35) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu
yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap
berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan definisi yang termasuk kompleks, sehingga
dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya,
baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah
diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus.Hal ini sangat menentukan dalam
pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya
pembelajaran yang efektif. Dalam menentukan ketunarunguan dan pemilihan alat bantu dengar serta
layanan khusus akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara.
15Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi ketunarunguan adalah sebagai berikut.
a. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.
b. Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau
ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian
c. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
d. d. Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan
sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.e.
Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga,
yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ
pendengarannya, dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa.
1. Berdasarkan sifat terjadinyaa. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah
mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.b.
Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan
atau suatu penyakit.2. Berdasarkan tempat kerusakana. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah,
sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif.b.
Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.3.
Berdasarkan taraf penguasaan bahasaa. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli
sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti
mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.16b. Tuli purna
bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah
menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan.
Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk menentukan bagaimana intervensi yang akan
dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis klasifikasi termasuk yang sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi
di atas merupakan jenis klasifikasi yang membagi tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuai dengan
kehilangan pendengarannya dan tempat terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan
memfokuskan subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi
ketunarunguan bawaan, ketika lahir anak sudah mengalami ketunarunguan sehingga intervensi yang lambat
mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu.
Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang khas, karena secara fisik anak
tunarungu tidak mengalami gangguan yang terlihat. Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu
memiliki karakteristik yang khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995:
35-39) mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan bicara, emosi,
dan sosial.
a. Karakteristik dari segi intelegensiIntelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu
tinggi, rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata.
Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena dipengaruhi oleh
kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak
diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi
anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu
tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal
seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan
berkembang dengan cepat.
b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicaraKemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara
berbeda dengan anak normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu
mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam
berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu
akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu memerlukan penanganan khusus dan
lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara
anak tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu.
Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan
upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun
banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara
terdengar monoton berbeda dengan anak normal.
c.Karakteristik dari segi emosi dan sosialKetunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan
lingkungan. Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang
melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan
terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki 12sifat yang polos dan
tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Kehilangan pendengaran bisa disebabkan oleh faktor genetik, infeksi pada ibu seperti cacar air selama
kehamilan, komplikasi ketika melahirkan, atau penyakit awal masa kanak-kanak seperti gondok atau cacar
air. Banyak anak sekarang ini dilindungi dari kehilangan pendengaran dengan vaksinasi seperti untuk
mencegah infeksi. Tanda-tanda masalah pendengaran adalah mengarahkan salah satu telinga ke pembicara,
menggunakan salah satu telinga dalam percakapan, atau tidak memahami percakapan ketika wajah
pembicara tidak dapat dilihat indikasi lain adalah tidak mengikuti arahan, sering kali meminta orang untuk
mengulang apa yang mereka katakan, salah mengucapkan kata atau nama baru, atau tidak mau
berpartisipasi dalam diskusi kelas (Anita, 2004 : 608).
Sebab-sebab kelainan pendengaran atau tunarungu juga dapat terjadi sebelum anak dilahirkan, atau sesudah
anak dilahirkan. Menurut Sardjono mengemukakan bahwa faktor penyebab ketunarunguan dapat dibagi
dalam:
1) Infeksi
Peneliti menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya tuna rungu wicara yaitu pre natal (keturunan),
natal (bawaan dari pihak ibu), post natal (otitis media).
E.Dampak Anak Tunarungu
Pakar pendidikan anak tunarungu seperti Daniel Ling dalam Sadja’ah (2005, hlm.1)
mengemukakan bahwa ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang
bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa. Hambatan perkembangan bahasa
memunculkan dampak-dampak lain yang sangat kompleks lainnyas seperti aspek pendidikan,
hambatan emosi-sosial, perkembangan inteligensi dan akhirnya hambatan dalam aspek
kepribadian, artinya dampak inti yang di derita menimbulkan/mengait pada dampak lain yang
mengganggu kehidupannya.
Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan
ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk
berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang
dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu
tergantung pada jenis dan tingkat kehilangan pendengarannya. Hambatan tersebut dapat
mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang
dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial, emosi, perilaku, dan
keragaman pengalamannya. Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat
didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga
gangguan dalam gangguan pendengaran menjadi menimbulkan masalah.
d) Dampak Terhadap Perkembangan Sosial Anak TunarunguSama seperti manusia lainnya, anak
tunarungu juga makhluk sosial yang selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Akan
tetapi, karena memiliki kekurangan dalam segi fisik, biasanya mereka mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Mereka banyak yang merasa rendah diri dan merasa
kurang berharga. Dengan demikian, penilaian dari lingkungan terhadap dirinya memberikan
pengaruh yang besar terhadap fungsi sosialnya.
4. Auditory Brainstem Response (ABR) atau Brainstem Audiometry (BSR) berupa suatu peralatan
elektronik yang canggih yang memeriksa pendengaran melalui respon atau reaksi syaraf
pendengaran bayi terhadap bunyi. Dengan ABR, pada kepala bayi (biasanya dalam keadaan tidur)
dipasang elektroda, dua pada tulang di belakang telinga dan satu pada dahinya sehingga bunyi
langsung disalurkan ke syaraf pendengaran si bayi. (hanya terdapat di Rumah Sakit besar dan
jumlahnya masih sangat terbatas).
o Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner
dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi
tunarungu
o Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun leader
yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga
terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu.
o Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan
berkesinambungan.
o Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar, meliputi
: pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya.
Anak tunagrahita adalah anak berkebutuhan khusus yang terdiri dari beberapa jenis yang beragam
dari yang ringan hinggan yang berat. Anak tuna grahita belum mampu berdiri sendiri oleh karena
itu masih memputuhkan bantuan dari lingkungan sekitar seperti orang tua, guru, shadow, dan
teman. Orang tua sangat memiliki peran penting dalam membantu anak tuna grahita, orang tua
memiliki tanggung jawab agar anak tuna grahita dapat bersekolah seperti anak-anak lainya di
sekolah yang dapat melatih kemandirian serta pendewasaan dalam setiap proses pembelajaran.
Menurut Somantri dalam Wikasanti (2014) AAMD (American Associationof Mental Deficiency)
mendefinisikan anak tuna grahita memiliki intelektual dibawah rata-rata secara jelas disertai
ketidak mampuan dalam penyesuaian pada masa perkembangan.
dalam Wardani (2011: 6.6) yaitu mild mental retardation/ ringan (tuna grahita
tuna grahita ringan (IQ 50-70), anak tuna grahita sedang (IQ 25-49), dan anak
Anak tuna grahita ringan masih dapat belajar membaca, menulis, dan
setengah dan tiga per empat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda. Setelah dewasa anak
tunagrahita mampu berdiri sendiri dan kecerdasannya mencapat tingakat usia normal 9 dan 12 tahun.
menulis seperti nama sendiri, alamat rumah, nama orang tua, dan lain-lain.
c. Anak Tuna Grahita Berat dan Sangat Berat (IQ 40-25 kebawah)
bergantung kepada pertolongan dan bantuan orang lain. anak tunagraita tidak
tidak dapat membedakan hal bahaya dan tidak bahaya, hanya mampu
mengucapkan kata-kata sederhana saja.
berikut ini:
a. Masa Bayi
Pada masa ini ciri-ciri tunagrahita yaitu tampak mengantuk saja, apatis,
tidak perna sadar, jarang menangis dan jika menangis terus-terusan, terlambat
b. Masa Kanak-kanak
Saat masa ini tunagrahita sedang memiliki ciri seperti kepala besar, dan
ekspresi muka datar, bereaksi cepat tetapi tidak tepat, dan tampak aktif.
c. Masa Sekolah
berhitung, dan menulis). Tidak dapat melihat perbedaan antara dua hal yang
d. Masa Puber
Pada saat masa ini anak tunagrahita mengalami hal yang sama dengan
kesulitan dalam brgaul, mengendalikan diri, dan setelah lulus sekolah belum
siap untuk bekerja. Karakteristik tunagrahita menurut Brown, Wolery dalam Widianingsih
5. Kurang kemampuan menolong diri sendiri, anak tunagrahita berat sangat sulit
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus, misalnya: menggigit diri
a. Faktor Keturunan
b. Gangguan metabolisme
f. Faktor lingkungan
yang berfungsi secara bermakna di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih
rendah) ketidak normalan atau disertai defisit atau hendaya fungsi adaptif bersifat
mental pada tuna grahita akibat gangguan atau penyakit yang disebabkan oleh
hal- hal yang tidak rasional, seperti guna- guna, kemasukan roh jahat, atau
mental tidak dibawa kedokter melainkan dibawa berobat ke cara- cara yang tidak
rasional , misalnya dibawa ke dukun, orang pintar, dan para normal (Hanawi,
2003). Tuna grahita mengalami gangguan psikis dan fisiknya yang berdampak
keluarga (Suryani, 2005). Karangpatian disebut juga kampung ediot yang hidup
Menurut Jati Rinarki pada bukunya Anak Berkebutuhan Khusus menuturkan beberapa dampak pada anak
tunagrahita : (Jati Rinakri Atmaja, M.Pd – 2018)
Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas, terlebih kapasitasnya mengenai hal yang abstrak.
Mereka lebih banyak belajar dengan membeo dari pada dengan pengertian. Dengan membuat kesalahan
yang sama, mereka cenderung menghindar dari perbuatan berpikir, dan lapang minatnya sedikit mereka
juga
Cenderung cepat lupa, sulit untuk membuat kreasi baru, serta rentang perhatiannya pendek.Dampak sosial
emosional anak tunagrahita dapat berasal dari ketidakmampuannya dalam menerima dan melaksakan
norma sosial dan pandangan masyarakat yang masih menyamakan keberadaan tunagrahita dengan anggota
masyarakat lainnya, ataupun masyarakat yang masih menganggap bahwa anak tunagrahita tidak dapat
berbuat sesuatu karena ketunagrahitaannya.
Dampak ketunangrahitaannya dalam sosial dan emosiaonalnya adalah anak tunagrahita memiliki
ketidakmampuan untuk memahami aturan sosial dan keluarga, sekolah serta masyarakat. Dalam
pergaulannya anak tunagrahita tidak dapat menngurus diri, memelihara dan memimpin diri.
Pada dasarnya tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh anak tunagrahita tidak berbeda dengan tujuan
pendidikan pada umumnya sebab anak tunagrahita itu sendiri lahir ditengah tengah masyarakat. Namun,
tujuan itu bukanlah tujuan yang eksklusif karena diperlukan penyesuaian tertentu dengan tingkatan
kemampuan mereka. Tujuan yang terletak di luar jangkauan kemampuan anak tunagrahita, sebaliknya,
tujuan yang bagi anak normal merupakan hal yang biasa dan tidak perlu mendapatkan perhatian khusus,
dalam pendidikan anak tunagrahita mungkin perlu mendapat penekanan khusus, misalnya dirumuskan tebih
terperinci
Telah disepakati bahwa setiap peserta didik memiliki perbedaan individu, namun terdapat toleransi sejauh
mana pembelajaran itu diperlukan adaptasi. Jika pembelajaran konvensional telah mengakomodasi semua
kebutuhan khusus peserta didik, maka adaptasi tidak diperlukan. Variabel adaptasi sangat tergantung dari
jenis dan tingkat karakteristik peserta didik khususnya kelainan yang disandang, baik kelainan fisik, emosi,
sosial dan intelektual. Secara umum, mengembangkan kurikulum yang adaptif bagi anak tunagrahita dapat
dilakukan melalui empat teknik sebagai berikut.
1) Melakukan duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran pada anak ”normal”
ke dalam pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus khususnya anak tunagrahita tanpa melakukan
perubahan, penambahan, dan pengurangan apa pun.
2) Modifikasi terhadap materi, media dan strategi pembelajaran yaitu sebagian atau keseluruhan materi,
media, prosedur dan strategi pembelajaran yang dipergunakan pada pembelajaran anak “normal” diadaptasi
sedemikian rupa sehingga materi, media, dan strategi pembelajarannya sesuai dengan karakteristik anak
tunagrahita.
3) Substitusi, yaitu mengganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang berlaku pada pembelajaran
anak “normal”, bahkan mengganti mata pelajaran tertentu, misalnya mata pelajaran apresiasi seni suara
atau sastra untuk anak normal diganti dengan mata pelajaran menggambar untuk anak tunagrahita.
Memberikan tambahan pembelajaran/kegiatan ekstra kurikuler yang berkaitan dengan aktivitas
kompensatif yang tidak ada pada kurikulum reguler. Misalnya: Activity of dailly living (ADL),
pengembangan diri dan sosial, pengembangan komunikasi, dll.
Jenis-jenis implikasi pendidikan serta terapi bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita yang dibutuhkan
adalah sebagai berikut.
1. FISIOTERAPI
Fisioterapi udalah suatu terap awal yang dipertukan oleh anak tunagrahita karena tunagrahitaterlahir
dengan tonus yang lemah. Terapi awal Ini berguna untuk menguatkan otot-otot mereka sehingga
kelemahannya dapat diatasi dengan lanhan-latihan penguatan otot.
2. TERAPI WICARA
Terapi wicara adalah suatu terapi yang diperlukan untuk anak tunagrahita atau anak bermasalah dengan
keterlambatan bicara. Deteksi dini diperlukan untuk mengetehu saswn mungkin gangguan kemampuan
berkomunikasi sebagai dasar untuk memberikan pelayanan terapi wicara.
3. TERAPI OKUPASI
Terapi ini diberikan untuk dasar anak dalam hal kemandirian kognitif/pemahaman, dan kemampuan
sensorik dan motoriknya' Kemandirian diberikan karena pada dasarnya anak “bermasalah. bergantung pada
orang lain atau bahkan terlalu acuh Sehingga, beraktivitas tanpa komunikasi dan mempedulikan orang lain.
Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi, dengan, Atau tanpa menggunakan
alat.
4. TERAPI REMEDIAL
Terapi, ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan akademis skill, jadi bahan-bahan dari sekolah
bisa dijadikan acuan Program.
5. TERAPI KOGNITIF
Terapi Ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan perceptual, misalnya anak yang
Tidak bisa berkonsentrasi, anak yang mengalami gangguan pemahaman dll.
7. TERAPI SNOEZELEN
Snoezelen adalah suatu aktivitas terapi yang dilakukan untuk memengaruhi CNS melalui pemberian
stimulasi pada sistem sensori primer, seperti visual, auditori, taktil. Taste, dan smeil Serta Aren sensori
Internal, seperti vestibular dan proprioceptive dengan akan Untuk mencapai relaksasi dan atau aktivitas.
Snoezelen 'anak yang Metode terapi multisensoris. Terapi ini diberikan paca anak yang mengalami
gangguan perkembangan motorik, misainya anak yang mengalami keterlambatan berjalan
Peran bimbingan konseling bagi anak berkebutuhan khusus tunagrahita adalah sebagai berikut.
Bimbingan dan konseling sebagai layanan sedikitnya memerlukan 4 pendekatan (pendekatan krisis,
remedial, pencegahan, dan perkembangan). Pendekatan perkembangan dipandang sebagai pendekatan yang
komprehensif sehingga disebut pendekatan komprehensif. Sebagai layanan yang memiliki pendekatan
komprehensif, maka ada beberapa komponen di dalamnya, yaitu asumsi dasar dan kebutuhan dasar, teori
bimbingan perkembangan, kurikulum dan tujuan bimbingan perkembangan, prinsip-prinsip bimbingan
perkembangan, program bimbingan dan konseling, serta kebutuhan acuan yuridis dan model nasional untuk
memperoleh standar layanan juga untuk melindungi layanan bimbingan dan konseling sebagai profesi.
Mengenai kebutuhan Layanan bimbingan dan konseling ini Thompson dkk. (2004) menuliskan garis
besarnya sebagai berikut
b. Menemukan kebutuhan ABK yang spesifik sesuai dengan kelainannya. Kebutuhan ini muncul menyertai
kelainannya.
c. Menemukan konsep diri
g. Membantu perkembangan ABK agar berkembang efektif, memilik keterampilan hidup mandiri.
j. Bersama-sama merancang perencanaan pendidikan formal, pendidikan tambahan, dan peralatan yang
dibutuhkan.
SLB sebagai institusi yang menyelenggarakan pendidik, bagi ATG, pelaksanaan bimbingan dan konseling
belum ditangan secara proporsional. SLB belum memiliki tenaga khusus Menangani, permasalahan
bimbingan dan konseling Dengan kondisi demikian Tugas tugas guru pembimbing dilaksanakan oleh guru-
guru menangani masalah siswa. Layanan guru sebagai pembimbing ATG akan mengalami berbagai kendala
sesuai dengan kondisi dan karakteristik siswa. Pembimbing mengalami kesulitan bila berhadapan langsung
dalam pelaksanaan konseling yang sesungguhnya. Di sisi lain ATG mengalami kesulitan jika dihadapkan
pada keharusan pengambilan keputusan. Oleh karena ATG mengalami hambatan dalam hal kecerdasan
yang berdampak pada masalah kehidupan. Kemampuan ATG mengambil keputusan sebatas sangat
sederhana dan banyak membutuhkan bantuan dari orang lain.
Materi VII (Mengenal Anak Tunadaksa)
A.Pengertian Anak Tunadaksa
yang mempunyai kelainan tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot,
dan persendian baik dalam struktur atau fungsinya yang dapat mengganggu
secara layak.
sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang,
secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal.
Dalam hal ini yang termasuk gangguan fisik adalah lahir dengan tunadaksa
bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, kehilangan anggota badan
karena amputasi, terkena gangguan neuro muscular seperti cerebral palsy, terkena gangguan sensomotorik
(alat penginderaan) dan atau menderita
penyakit kronis.
tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem
otot, tulang, dan persendian karena kecelakaan atau kerusakan otak yang dapat
adalah suatu kelainan fisik atau tubuh yang diperoleh sejak lahir maupun
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem penggolongan
(klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem
kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada
sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti
cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau
bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang
disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Soeharso (1982)
mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat pada fungsi otot dan urat saraf dan
penyebabnya terletak dalam otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan
psikologis (perasaan).
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi (1) ringan, dengan ciri-ciri,
yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri; (2) sedang, dengan ciri-ciri:
membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace;
dan (3) berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong
diri.
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas: (1)
spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya; (2) dyskenisia, yang
meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh
tubuh sehingga sulit dibengkokkan); tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada
kepala); (3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak
berfungsi; serta (4) jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
a. Karakteristik Kognitif
mengatur dalam diri anak. Wujud konkrit dapat dilihat dari angka indeks
b. Karakteristik Inteligensi
anak tunadaksa dapat digunakan tes yang telah dimodifikasi agar sesuai
dengan anak tunadaksa. Tes tersebut antara lain hausserman Test (untuk
c. Karakteristik Kepribadian
menimbulkan sifat harga diri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki
d. Karakteristik Fisik
penyandang tunadaksa, potensi itu tidak utuh karena ada bagian tubuh yang
dinyatakan hampir sama dengan orang normal pada umumnya kecuali pada
kerusakan tersebut.
bicara.
a. Faktor Internal
daily living).
umum lainnya.
lingkungannya.
b. Faktor Eksternal
1) Masalah keluarga yaitu timbul rasa malu akibat salah satu anggota
tunadaksa ini belum mampu berdiri sendiri dan selalu bergantung pada
orang lain.
terdiri dari keadaan jasmani dan rohani, status pendidikan dan status ekonomi
serta tentang keberadaan dirinya di lingkungan masyarakat. Faktor eksternal
penyandang tunadaksa.
Masalah kesulitan belajar: Masalah ini berkaitan dengan hambatan-hambatan yang dialami seorang tuna
daksa akibat kelainan pada otak atau gangguan pada sistem saraf.
Masalah sosialisasi: Masalah ini berkaitan dengan penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan. Mereka
cenderung mudah frustasi, menarik diri, dan merasa terdesak oleh kehadiran orang lain.
Masalah keterampilan dan pekerjaan: Orang tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas. Oleh
karena itu, mereka membutuhkan bantuan dan pembinaan agar dapat mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain.
Masalah latihan gerak: Masalah ini berkaitan erat dengan kondisi orang tuna daksa yang mayoritas
mengalami gangguan dalam gerak.
1. Kelas biasa (regular class) mengarah kepada pendidikan inklusi, anak tunadaksa belajar di sekolah
umum bersama-sama dengan anak normal.
2. Kelas atau sekolah khusus (special classes and/or schools), anak tunadaksa belajar dengan sesama anak
tunadaksa lainnya disekolah khusus (SLB-D) jadi system sekolahnya terpisah (Segregasi).
3. Pengajaran dirumah (home instruction), anak tunadaksa belajar dirumah, dan guru yang berkunjung ke
rumah.
4. Sekolah dirumah sakit (school in the hospital or convalescent home), anak tunadaksa belajar dirumah
sakit karena lama dirawat agar tidak ketinggalan pelajaran, maka guru yang datang ke rumah sakit.
Materi VIII (Mengenal Anak Tunalaras)
A.Pengertian Anak Tunalaras
Menurut Efendi (2006), tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan,
tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi
yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah
terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri ataupun orang lain.
Menurut Delphie (2006), tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi
dan kontrol sosial. Anak tunalaras disebut juga dengan istilah medis emotionally handicapped atau
behavioral disorder.
Menurut Somantri (2007), tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan
berkelainan tingkah laku, sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Menurut Wardani, dkk (2007), tunalaras adalah anak yang secara terus menerus menunjukkan
penyimpangan perilaku sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri, walaupun
telah menerima layanan belajar serta bimbingan.
Menurut Kosasih (2012), tunalaras adalah sebutan untuk anak yang terindikasi memiliki gangguan dalam
hal emosi dan perilaku, yang diakibatkan oleh masalah intrapersonal sehingga ia mengalami kesulitan
dalam berperilaku sesuai norma yang ada di masyarakat pada umumnya.
Menurut Pratiwi dan Murtiningsih (2013), tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan
kepribadian, sehingga tidak selaras dengan norma di lingkungan sekitarnya.
Menurut Sunardi (1995), anak tunalaras atau tunasosial dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu
berdasarkan klasifikasi psikiatris dan klasifikasi behavioristik. Adapun penjelasan jenis klasifikasi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Klasifikasi Psikiatris Berdasarkan tingkatan ringan, sedang atau berat, tunalaras dibagi menjadi:Tingkat
ringan atau sedang, meliputi neurosis, psychoneurosis, gangguan perilaku kepribadian yaitu penyimpangan
perilaku ditandai dengan konflik emosi dan kecemasan tetapi masih mempunyai hubungan dengan dunia
nyata.
Tingkat berat, meliputi (1) Psychosis: yaitu penyimpangan perilaku ditandai dengan penyimpangan dari
pola-pola perilaku normal dalam berpikir dan bertindak. (2) Schizophrenia: yaitu gangguan jiwa ditandai
dengan distorsi berpikir, persepsi tidak normal, dan perilaku atau emosi yang aneh. (3) Autism: gangguan
jiwa tingkat berat pada masa anak-anak, ditandai dengan isolasi diri secara berlebihan, perilaku aneh,
keterlambatan perkembangan, biasanya dapat diamati sebelum usia 2,5 tahun.
b. Klasifikasi Behavioristic
Conduct disorder, juga disebut unsocialized aggression, yaitu ketidakmampuan mengendalikan diri seperti
berkelahi, memukul, menyerang orang lain, pemarah, tidak patuh, menentang, merusak milik orang lain,
kurang ajar, nakal, hiperaktif, menolak arahan, mudah terganggu perhatiannya, mencuri, menyalahkan
orang lain, gaduh, dan ramai.
Socialized aggression, yaitu berbagai perilaku yang dilakukan secara berkelompok, seperti bertemu dengan
anak-anak jahat, mencuri secara kelompok, setia dengan teman-teman yang nakal, menjadi anggota geng,
keluar rumah sampai larut malam, bolos dari sekolah, dan lari dari rumah.
Anxiety-withdrwal, juga disebut personality problem, adalah perilaku yang berkaitan dengan kepribadian
seperti, cemas, takut, tegang, sangat pemalu, menyendiri, tidak berteman, sedih, depresi, terlalu sensitif,
terlalu perasa, merasa rendah diri, kurang percaya diri, mudah bingung, sangat tertutup, dan sering
menangis.
Immaturity/inadequacy, yaitu kelompok perilaku yang menunjukkan sikap kurang dewasa, kurang matang,
seperti kemampuan memperhatikan pendek, tak dapat berkonsentrasi, melamun, kaku, pasif, kesulitan
memperhatikan, kurang minat, gagal menyelesaikan sesuatu, ceroboh, dan tidak rapi.
Menurut Hidayat, dkk (2013), perkembangan kognitif, kepribadian, emosi, dan sosial anak tunalaras dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkembangan Kognitif
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang
rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan
emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah sering kali menimbulkan anggapan bahwa
mereka memiliki intelegensi yang rendah. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang
menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi
rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, padahal pada dasarnya
seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar.
b. Perkembangan KepribadianKepribadian merupakan struktur yang unik, tidak ada dua individu yang
memiliki kepribadian sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamis
pada sistem psikofisis individu yang turut menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Tingkah laku yang ditampilkan orang ini erat sekali kaitannya dengan upaya pemenuhan
kebutuhan hidup. Konflik psikis dapat terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan kebutuhan
dengan norma sosial. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian konflik, dapat menjadikan
stabilitas emosi terganggu. Selanjutnya mendorong terjadinya perilaku menyimpang dan dapat
menimbulkan frustrasi pada diri individu.
c. Perkembangan Emosi
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang
menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosi
secara tepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka sering kali menjadi sangat emosional.
Terganggunya kehidupan emosi ini terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase
perkembangan.
d. Perkembangan Sosial
Sebagaimana telah kita pahami bahwa anak tunalaras mengalami hambatan dalam melakukan interaksi
sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki
kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian ternyata
mereka dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan teman-temannya. Anak tunalaras memiliki
penghayatan yang keliru, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka
menganggap dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbullah
kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan mereka.
Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa faktor yang menjadi penyebab anak tunalaras.
1. Faktor Biologi
Faktor biologi ini dapat terjadi, ketika anak tersebut mengalami keadaan kurang gizi, mengidap penyakit,
psikotik, dan trauma atau karena adanya disfungsi pada otak, sehingga mengalami gangguan emosional.
2. Faktor Keluarga
Hubungan anak dengan keluarga merupakan faktor terbesar yang berpengaruh terhadap perkembangan
emosional anak.
Tanpa disadari hubungan dalam keluarga yang sifatnya interaksional dan transaksional sering menjadi
penyebab utama permasalahan emosi dan perilaku pada anak.
3. Faktor Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Terkadang sebagian anak
mengalami gangguan emosi dan perilaku ketika mereka mulai bersekolah.
4. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat yang negatif dan tempat dimana anak bergaul yang kuran baik, juga dapat
menyebabkan anak memiliki perilaku yang cenderung mengalami gangguan emosi dan perkembangan
fisik dan mental yang terganggu.
Adanya konflik dalam lingkungan pergaulan juga dapat timbul pada diri anak sendiri, karena norma yang
dianut di rumah atau keluarga bertentangan dengan norma dan keanyanyataan yang ada dalam masyarakat.
Program pendidikan bagi anak dengan gangguan emosi membutuhkan perhatian termasuk dukungan moral,
bantuan agar mereka menguasai akademisnya, membangun kemampuan sosialnya, meningkatkan
kesadaran diri, kemampuan mengontrol diri dan kepercayaan diri. Menurut Meimulyani dan Caryoto
(2013), terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan Anak tunalaras,
yaitu:
Berusaha mengatasi semua masalahnya dengan menyesuaikan proses pembelajaran sesuai dengan kondisi
anak tunalaras.
Member rasa aman agar mereka punya percaya diri dan tidak merasa disia-siakan oleh lingkungan sekitar.
Menciptakan suasana yang tidak menambah rasa rendah diri dan rasa bersalah bagi anak tunalaras.
Materi IX (Mengenal Anak Autisme)
Autisme berasal dari kata autos yang berarti aku. Pada pengertian
non ilmiah kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa semua anak yang
maupun berprilaku. Keadaan ini terjadi sejak usia 2-3 tahun tanpa
memandang sosial ekonomi mapan maupun kurang, atau atau dewasa dan
Autisme sebenarnya bukan hal baru dan sudah ada sejak lama,
namun belum terdiagnosis sebagai autis. Menurut cerita terdahulu sering kali
ada anak yang dianggap aneh, anak tersebut sering kali menunjukkan gejala
yang tidak biasa. Mereka menolak bila digendong, menangis kalau malam
dan tidur bila siang hari. Mereka sering kali bicara sendiri dengan bahasa
yang sering tidak dimengerti oleh orang tuanya. Apabila dalam kondisi marah
mereka bisa menggigit, mencakar, menjambak atau menyerang. Para peneliti kemudian menyatakan bahwa
autisme bukan hanya gangguan
adalah suatu grup gangguan perkembangan anak yang berkisar dari autisme
dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger’s Syndrome bisa sangat ahli
mengenai mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya hal yang mau ia
bicarakan.
berikut :
1) Autis Ringan
kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat
2) Autis Sedang
3) Autis Berat
1. Interaksi sosial:
a. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman atau lebih suka menyendiri
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
c. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin
meminta minum
b. Senang meniru atau membeo (echolalia); Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian
tersebut tanpa mengerti artinya
c. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi sirna
e. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain; Bicara tidak
dipakai untuk alat berkomunikasi
f. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia
dewasa
3. Pola bermain:
c. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di putar-putar; tidak kreatif,
tidak imajinatif
d. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.
4. Gangguan sensoris:
b. Sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti senang mencium-cium, menjilat mainan
atau benda-benda
a. Perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya dalam ketrampilan sosial, komunikasi
dan kognisi.
b. Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun atau bahkan sirna,
misalnya pernah dapat bicara kemudian hilang.
6. Penampakan gejala:
a. Gejala diatas dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala
sudah ada
b. Pada beberapa anak sekitar umur 5 – 6 tahun gejala tampak agak berkurang.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, satu dari 160 anak di dunia mengalami autis atau Autism
Spectrus Disorder (ASD).
Kini, definisi autisme diperluas menjadi gangguan spektrum autisme (GSA) yang mencakup beberapa
gangguan perkembangan otak lainnya, seperti sindrom Asperger. Melansir National Institute of Health,
bukti sejauh ini menemukan bahwa hasil tes pencitraan otak dari anak pengidap autisme sedikit berbeda
dari anak-anak lain yang tidak memiliki gangguan tersebut. Gambar pencitraan otak anak autis (sebutan
lama bagi pengidap autis, –red) menunjukkan perbedaan pada beberapa area otak.Kondisi ini mungkin
terjadi selama masa perkembangan awal dalam kandungan. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa gangguan
tersebut dapat terjadi akibat adanya cacat gen (mutasi). Ini akhirnya memengaruhi perkembangan otak
sekaligus bagaimana sel-sel otak saling berhubungan satu sama lain.
Umumnya penyandang autis tertunda tumbuh kembang kemampuan motoriknya. Bahkan, beberapa anak
istimewa ini punya massa otot rendah.
Nah, terapi fisik dapat membantu anak autisme dengan melatih kekuatan otot, koordinasi, dan kemampuan
dasar olahraga.
Terapi autisme tersebut dilakukan dengan terapis khusus yang sudah terlatih. Tapi, ada beberapa latihan
fisik yang bisa juga Anda lakukan bersama anak di rumah, seperti melakukan senam ringan, peregangan,
ataupun latihan keseimbangan.
2. Terapi Bermain
Anak-anak dengan autisme memiliki cara bermain yang berbeda dari anak-anak lain. Mereka kemungkinan
akan fokus pada bagian mainan (seperti roda) ketimbang keseluruhan mainan. Biasanya mereka juga tidak
mau bermain dengan anak-anak lain.
3. Terapi visual
Banyak anak autis adalah pemikir visual. Itu sebabnya, metode pembelajaran berkomunikasi melalui
gambar dapat dilakukan.
Salah satu terapi anak autis dalam hal tersebut adalah PECS (Picture Exchange Communication System).
Terapi untuk anak autis dengan metode ini dapat membuatnya lebih mudah memahami sesuatu.
4. Terapi Wicara
Penyandang autis juga bisa mengalami kesulitan berbicara. Mereka akan sulit mengutarakan kemauannya
ataupun memahami orang lain.
Oleh karena itu, dibutuhkan terapi wicara untuk penanganan anak autis yang mengalami kesulitan bicara.
5. Terapi okupasi
Kebanyakan anak autis mengalami perkembangan motorik lambat. Itulah sebabnya terapi okupasi sangatlah
penting. Karena, terapi tersebut berkaitan dengan pembentukan kemampuan hidup sehari-hari.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan di rumah untuk melatihnya, seperti memegang pensil dengan benar,
memegang mainan, menyisir rambut, ataupun menggosok gigi.
6. Terapi Biomedis
Terapi biomedik banyak diterapkan pada anak penyandang autis. Karena, menurut penelitian, terdapat
gangguan metabolisme di dalam tubuh penyandang autis yang memengaruhi susunan saraf pusat.
Terapi tersebut juga termasuk penggunaan obat-obatan dalam penanganan autisme. Kebanyakan, perawatan
biomedis dilakukan berdasarkan pendekatan DAN (Defeat Autism Now).
Terapi tingkah laku merupakan terapi anak autis yang bertujuan mengubah perilaku negatif yang dapat
membahayakan dirinya. Karena, ia sering kesulitan dalam menyampaikan perasaannya.
Penyandang autis juga menderita akibat terlalu sensitif terhadap suara, cahaya, dan sentuhan. Akibatnya, ia
terkadang berlaku kasar atau mengganggu.
Terapi autisme Applied Behavior Analysis (ABA) bertujuan meningkatkan atau mengembangkan perilaku
positif pada anak dan mengajarkan keahlian baru kepadanya.
Perlu kerja sama dengan orangtua dan pengasuh untuk menentukan keberhasilan terapi ABA. Misalnya,
Anda ingin mengajarkan anak menggosok gigi sendiri. Mulailah dengan mengajarnya mengambil sikat gigi
sendiri, membasahinya, lalu memberi pasta gigi.
Anak dengan autisme akan mengalami kesulitan bersosialisasi dan berkomunikasi. Ia membutuhkan
bantuan untuk mengasah kemampuan untuk mempertahankan percakapan, berhubungan dengan orang
baru, dan mengenal tempat bermain.
Seorang terapis kemampuan sosial dapat membantu menciptakan atau memfasilitasi terjadinya interaksi
sosial.
Perkembangan anak dengan autisme memang bisa mengalami keterlambatan. Namun, hal ini tidak bisa
dijadikan alasan untuk memaklumi keterlambatan tersebut.
Sebaiknya tetap upayakan untuk melatih perkembangan anak dengan membangun minat, kekuatan, dan
perkembangannya. Hal tersebut bertujuan meningkatkan kemampuan kecerdasan, sosial, dan emosional
anak.
Selain gangguan motorik, anak dengan autisme juga bisa mengalami gangguan sensori. Ada yang terlalu
sensitif terhadap cahaya, suara, maupun sentuhan. Di sisi lain, ada juga yang mengalami gangguan
penurunan sensitivitas sensori.
Informasi sensorik yang diajarkan bisa berupa sentuhan, gerakan, penglihatan, suara, bau, maupun rasa
Materi X (Mengenal Anak ADD/ADHD)
Sebelum mengenali apa saja ciri-ciri anak ADHD, kenali penjelasan ADHD secara umum. Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan perkembangan saraf yang paling umum terjadi pada masa
kanak-kanak. Idealnya, ADHD terdiagnosis pada masa kanak-kanak,namun seringkali baru terdiagnosa
ketika penderita sudah dewasa.
Anak-anak dengan ADHD biasanya akan kesulitan berkonsentrasi di kelas, seringkali menunjukkan
perilaku impulsif atau terlalu aktif dan terkesan “sulit diam”. ADHD pada anak terlihat ketika anak
memasuki usia sekolah. Biasanya selama tahun-tahun awal sekolah, anak memiliki masalah dalam
memperhatikan saat sedang belajar, membaca, atau melakukan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi.
Anak laki-laki lebih cenderung mengalami ADHD daripada anak perempuan
B.Gejala-Gejala Anak ADD/ADHD
Jika kita mencatat dengan seksama tanda-tanda anak ADHD dapat dilihat dari perilakunya.
Mengalami kesulitan fokus dan berperilaku tenang pada satu waktu tertentu merupakan hal yang
wajar bagi anak-anak. Namun, anak-anak dengan ADHD mengalami hal ini jauh lebih sering dan
cukup berat, hingga mengganggu proses belajar di sekolah, bahkan pertemanan dengan teman.
Ciri-ciri anak ADHD yang biasa terjadi, seperti hiperaktif, perilaku impulsif, kesulitan fokus.
Anak-anak dengan ADHD mungkin mengalami kesulitan untuk duduk diam, mengikuti petunjuk,
dan menyelesaikan tugas di rumah atau sekolah. Gejala ADHD pada anak biasanya dimulai
sebelum usia anak 12 tahun. Bahkan pada beberapa anak sudah terlihat sejak usia 3 tahun. Adapun
gejala ADHD pada anak yang mungkin terjadi sebagai berikut :
Jika berbicara penyebab ADHD, sebenarnya para ilmuan sedang mempelajari penyebab dan faktor risiko
dalam upaya mengurangi kemungkinan seseorang menderita ADHD. Dihimpun dari Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), penelitian saat ini menunjukkan bahwa genetika memainkan peran penting.
Studi terbaru tentang gen kembar yang menghubungkan ADHD. Selain genetika, para ilmuan juga
mempelajari kemungkinan penyebab dan faktor risiko lainnya termasuk:
Terapi Psikoedukasi
Terapi ini dapat dilakukan untuk menangani anak dengan ADHD yang sudah beranjak remaja. Terapi
psikoedukasi dilakukan dengan mendiskusikan seputar ADHD dan dampaknya bagi kesehatan maupun
lingkungan kepada anak.
Terapi Perilaku
Terapi perilaku biasanya dilakukan untuk mendorong anak agar mampu mengendali kan gejalaADHDyang
disandang.
Jenis terapi ini hampir sama dengan terapi perilaku. Pada terapi perilaku kognitif, anak akan dibantu untuk
mengendalikan gejala ADHD dengan mengubah cara pikir dan cara pandang anak terhadap suatu kondisi.
Pelatihan Keterampilan Sosial Terapi ini membantu anak untuk mengambil bagian dalam sebuah situasi.
Hal ini bertujuan untuk mengedukasi anak-anak bahwa perilaku mereka dapat memengaruhi orang lain.
Materi XI (Mengenal Anak DKB “Diagnosis Kesulitan Belajar”)
.Gejala disleksia pada anak akan susah untuk dikenali. Gejala akan tampak pada saat anak mulai memasuki
masa sekolah. Guru adalah sosok pertama yang akan menyadari adanya gejala penyakit disleksia. Penyakit
disleksia akan berbeda-beda tergantung dari usia dan tahap perkembangan anak. Lalu, bagaimana cara
mengajar anak disleksia? Berikut adalah penjelasan lebih lengkap mengenai disleksia pada anak.
Penyebab Disleksia
Penyebab disleksia yang utama berasal dari genetika. Seorang anak yang menderita disleksia kemungkinan
memiliki orang tua, saudara atau anggota keluarga lainnya yang juga memiliki penyakit yang sama.
Penyakit disleksia menyebabkan disfungsi otak bagian pengelolaan bahasa yang berguna untuk memahami
bahasa dengan baik. Disfungsi gangguan fungsi otak ini menyebabkan penderita disleksia menjadi lebih
lambat dan susah dalam memahami bahasa. Penyakit disleksia ini berbeda-beda pada setiap orang dan tidak
selalu berdampak buruk bagi kehidupan mereka.
Disgrafia adalah gangguan belajar yang berpusat pada kemampuan menulis anak. Kondisi ini dapat ditandai
dengan sulit menyalin tulisan, kesulitan membayangkan kata sebelum ditulis, hingga memperhatikan
tangan sambil menulis. Peran orangtua sangat dibutuhkan untuk mengatasinya.
Penyebab Disgrafia
penyebab disgrafia belum diketahui secara pasti. Walaupun begitu, terdapat beberapa kemungkinanyang
dapat memicu masalah ini.
Bila terjadi saat anak-anak, kemungkinan penyebab disgrafia adalah terganggunya bagian memori yang
membantu anak untuk mengingat kata-kata yang ditulis atau gerakan tangan untuk bisa menulis.
Terkadang disgrafia bisa timbul bersama dengan gangguan belajar lainnya, seperti ADHD, disleksia, dan
sebagainya.
Disgrafia yang muncul saat dewasa bisa disebabkan cedera otak ataupun stroke. Sebab, adanya cedera
atau gangguan pada bagian lobus parietal kiri di otak bisa memicu gangguan ini
b. Disgrafia motorik
Jenis disgrafia ini terjadi ketika penderitanya memiliki keterampilan motorik halus yangkurangbaik.Selain
itu, penderita disgrafia motorik dianggap memiliki ketangkasan yang buruk.
Karya tulis, termasuk karya dan gambar yang disalin penderitanya, cenderung buruk atau tidak terbaca.
Agar tulisannya dapat terbaca dengan jelas, penderita disgrafia motorik perlu bekerja ekstra keras.
Meski begitu, kemampuan mengeja penderita jenis disgrafia ini umumnya masih berada di batas yang
normal.
c. Disgrafia spasial
Disgrafia spasial terjadi akibat masalah dengan kesadaran spasial. Jenis disgrafia ini dapat terlihat ketika
anak atau orang dewasa merasa kesulitan untuk bisa menulis secara lurus di garis kertas yang sama.
Selain itu, penderita disgrafia spasial dapat merasa kesulitan memberikan jarak antara kata yang mereka
tulis.
Semua bentuk tulisan tangan dan gambar dari penderita disgrafia spasial biasanya tidak bisa terbaca
dengan jelas.
Akan tetapi, keterampilan mengeja mereka biasanya tidak terganggu atau masi h normal
C.Mengenal Diskalkulia
diskalkulia adalah ketidakmampuan belajar yang mempengaruhi cara anak dalam melakukan perhitungan
aritmatika. Ini juga dikenal sebagai diskalkulia matematika yang mengacu pada ketidakmampuan anak
dalam memahami matematika, konsepnya, dan angka.
b. Diskalkulia praktognostik
Anak dengan gangguan ini mengalami kesulitan menerapkan prinsip matematika sederhana, seperti
membandingkan kuantitas atau ukuran dua benda.
c. Diskalkulia leksikal
Ini adalah kebalikan dari diskalkulia verbal. Anak dengan gangguan ini mengalami kesulitan membaca
simbol matematika seperti tambah dan kurang. Ia juga tak dapat membaca operasi matematika ketika
ditampilkan dalam bentuk visual.
d. Diskalkulia grafis
Tak seperti diskalkulia leksikal, gangguan ini menyebabkan kesulitan dalam menulis operasi numerikdan
matematika. Dalam hal ini, seseorang anak tidak dapat menemukan konsep matematika jikadalambentuk
tertulis.
e. Diskalkulia diagnostic
Diskalkulia diagnostik berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam mengingat konsep aritmatika
sebelumnya. Akibatnya, ini menyebabkan kesulitan dalam pemahaman. Diskalkulia operasional Bentuk
diskalkulia ini menyebabkan anak kesulitan dalam menafsirkan simbol operasional dan artinya
Penyebab Diskalkulia
a. Perkembangan otak
Diskalkulia yang disebabkan oleh perkembangan otak dikenal sebagai diskalkulia perkembangan, ini
terjadi akibat kesenjangan antara bagian struktural dan fungsional otak, yang menjadi salah satu
penyebab utama gangguan ini.
c. Faktor lingkungan
Penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga dapat berpe ran dalam gangguan ini. Misalnya,
janin mungkin terpapar alkohol atau obat-obatan oleh ibu selama kehamilan
Gejala-Gejala diskalkulia
1. Masalah dengan menghitung angka, baik lisan maupun tulisan
2. Mengalami kesulitan mengingat konsep matematika sebelumnya atau kesulitan dalam
mengingat aritmatika dasar
3. Lambat dalam melakukan perhitungan
4. Mengalami peningkatan kecemasan saat harus berhubungan dengan pelajaran aritmatika
5. Mengalami kesulitan melacak waktu
6. Tidak dapat memahami bahkan persamaan matematika yang paling sederhana
7. Tidak dapat membaca nilai numerik atau nilai operasional
8. Menggunakan jari untuk menghitung sederhana atau kesulitan dalam menghitung mundur
9. Kurangnya koordinasi dan gerakan dalam keterampilan motorik