Anda di halaman 1dari 8

MEMAHAMI TANTANGAN dan MEMPERJUANGKAN HAK ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS di INDONESIA

Ruthnovrimel Debora Rajagukguk


ruthnovrimeldeborarajagukguk@gmail.com
Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

ABSTRAK
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, emosi,
dan sosial. Karena itu, mereka membutuhkan perawatan khusus. Keterbatasan fisik tidak
selalu berarti keterbatasan dalam kecerdasan, emosi, atau interaksi sosial. Agar penyandang
disabilitas dapat hidup dan berkembang dengan baik, hak-hak anak berkebutuhan khusus
harus dipenuhi. Anak-anak berkebutuhan khusus di masyarakat belum semuanya menerima
layanan pendidikan yang mereka butuhkan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pendidikan
untuk anak berkebutuhan khusus tidak mampu menyediakan layanan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kepustakaan atau library
research. Sumber primer seperti buku daln jurnall alkaldemik digunalkaln untuk
mengembalngkaln konsep tentalng kemalmpualn guru dallalm menentukaln teknik penilalialn
halsil pembelaljalraln. Ketigal konsep tersebut dialnallisis dengaln mengkalji hubungaln,
persalmalaln, daln kesesualialnnyal dengan topik.
Kata Kunci : Anak berkebutuhan khusus ; Pendidikan ; Hak anak berkebutuhan khusus

ABSTRACT
Children with special needs are children who have physical, intellectual, emotional and
social limitations. Therefore, they need special care. Physical limitations do not necessarily
mean limitations in intelligence, emotions, or social interaction. In order for people with
disabilities to live and develop well, the rights of children with special needs must be
fulfilled. Children with special needs in the community have not all received the educational
services they need. This is due to the fact that education for children with special needs is not
able to provide services that suit their needs. This research uses a library research approach.
Primary sources such as books and algebraic journals are used to develop concepts about
teacher's ability to determine the technique of assessing learning outcomes. The three
concepts are analyzed by analyzing their relationship, correspondence, and relevance to the
topic.
Keywords : Children with special needs ; Education ; Right of children with disabilities
Pendahuluan
Secara alami, semua individu memiliki beragam kebutuhan, termasuk anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus. Salah satunya adalah kebutuhan akan pendidikan. Dengan
memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus, diharapkan mereka dapat
belajar untuk mandiri dan mengurusi diri sendiri, serta menjadi lebih mandiri tanpa terlalu
bergantung pada bantuan orang lain. Dengan bantuan pendidikan, seseorang bisa
mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat untuk menghadapi era globalisasi dan sebagai
tempat untuk pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuai dengan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan
tanpa memandang keragaman apapun yang ada pada dirinya.
Tidak ada data yang akurat dan tepat tentang jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia.
Namun, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, jumlah anak
berkebutuhan khusus adalah 1,48 juta, atau 0,7 persen dari jumlah penduduk, dengan 317.016
anak yang berusia antara 5 dan 8 tahun. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah
menerima layanan pendidikan inklusif dan sekolah baru 28,897, atau 26,15 persen, dari total
234.119 anak. Deskripsi tentang pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus diatur oleh
Undang-Undang No. 70 tahun 2009 dalam pasal 1 yang menjelaskan bahwa "Pendidikan
inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan peluang kepada
seluruh peserta didik yang memiliki perbedaan atau keistimewaan serta memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat yang istimewa untuk mengikuti proses pendidikan atau
pembelajaran."
Namun, masih ada banyak anak dengan kebutuhan khusus yang menghadapi diskriminasi di
lingkungan sekitarnya. Smith (2015) mengemukakan bahwa salah satu strategi efektif dalam
mengatasi diskriminasi, mempromosikan masyarakat yang inklusif, menciptakan lingkungan
komunitas yang ramah, dan mencapai tujuan pendidikan untuk semua adalah melalui
pendirian sekolah-sekolah reguler yang berfokus pada pendidikan inklusif. Dalam
prakteknya, pendidikan inklusif didasarkan pada prinsip bahwa semua individu memiliki
kesetaraan dan perlu saling menghargai (Martona, 2013). Sesuai dengan Pasal 4 dari
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang menetapkan standar nasional pendidikan,
tujuan utamanya adalah untuk menjamin kualitas pendidikan nasional guna meningkatkan
kecerdasan bangsa, membentuk karakter dan peradaban yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak-anak dengan kebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki keistimewaan
dalam jenis dan ciri-ciri mereka, sehingga berbeda dengan anak-anak sebaya yang memiliki
perkembangan normal. Perbedaan yang ada pada anak-anak berkebutuhan khusus dapat
terlihat dari variasi antarindividu dan dalam diri individu tersebut sendiri. Anak-anak ini
umumnya mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, yang sering
menjadi tantangan bagi orang tua dan guru. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan potensi
mereka, diperlukan pemahaman yang mendalam dan pendekatan pengajaran yang khusus.
Keterbatasan atau disabilitas merujuk pada kondisi dimana bagian tubuh mengalami
kerusakan berat, tidak berfungsi, rusak, terganggu, atau memiliki kekurangan yang signifikan
dalam fungsinya. Juga terkait dengan gangguan dalam fungsi tubuh. Penyandang disabilitas
adalah mereka yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, atau memiliki cacat anatomi
atau fungsional yang menyulitkan mereka untuk bersaing dengan teman sebaya.
Anak dengan kebutuhan khusus (children with special needs) dapat merujuk kepada anak
yang memiliki perkembangan lambat atau menghadapi kesulitan dalam belajar di sekolah
seperti anak-anak pada umumnya. Istilah ini juga mencakup anak-anak yang mengalami
gangguan fisik, mental, kecerdasan, atau emosi, sehingga memerlukan pendekatan
pembelajaran yang khusus untuk mereka. Seiring berjalannya waktu, interpretasi tentang
ketunaan dapat diartikan sebagai keadaan yang tidak biasa atau diluar norma. Konsep
ketunaan berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep ketunaan lebih mengacu pada individu
yang memiliki kekurangan, sementara konsep berkelainan atau yang luar biasa memiliki
makna yang lebih inklusif, mencakup baik anak-anak yang memiliki kecacatan maupun yang
memiliki keunggulan. Heward, dalam pandangannya, menggambarkan anak-anak
berkebutuhan khusus sebagai individu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari anak-
anak secara umum, namun hal ini tidak selalu berarti adanya keterbatasan mental, emosional,
atau fisik. Ada beragam istilah yang digunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti
disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization (WHO), definisi
dari tiap istilah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Disability atau kondisi keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang disebabkan
oleh ketidakmampuan) untuk melakukan aktivitas sesuai dengan standar atau dalam
batas yang dianggap normal, umumnya merujuk pada tingkat individu.
b. Impairment, kehilangan, atau ketidaknormalan pada aspek psikologis atau struktur
anatomi serta fungsinya biasanya merujuk pada ketidaknormalan di tingkat
organisme.
c. Handicap, ketidakmampuan adalah kondisi individu yang membatasi atau
menghalangi kemampuan seseorang untuk memenuhi peran yang umumnya
diharapkan dari individu tersebut. Istilah "Anak Berkebutuhan Khusus" (ABK)
digunakan sebagai pengganti istilah "Anak Luar Biasa" (ALB) untuk menggambarkan
adanya keadaan yang istimewa atau khusus pada individu tersebut. Anak-anak
berkebutuhan khusus memiliki perbedaan karakteristik yang bervariasi antara satu
individu dengan individu lainnya.
Di Negara Indonesia anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan
dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut:
1. Anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan, terutama anak yang buta total,
tidak bisa menggunakan indera penglihatan mereka untuk berpartisipasi dalam
kegiatan belajar maupun aktivitas sehari-hari. Biasanya, proses belajar mereka
dilakukan dengan menggunakan sentuhan atau sensasi taktil karena kemampuan indra
peraba sangat penting untuk menggantikan peran indera penglihatan yang tidak
berfungsi.
2. Anak yang mengalami tunagrahita memiliki tantangan dalam belajar karena terdapat
hambatan pada perkembangan kecerdasan, mental, emosi, sosial, dan fisik mereka.
Hal ini menyebabkan kesulitan dalam kemampuan belajar.
3. Anak-anak yang mengalami kekurangan pendengaran dan bicara, atau yang dikenal
sebagai tuna rungu wicara, umumnya menghadapi tantangan dalam hal pendengaran
dan kesulitan berkomunikasi secara verbal dengan orang lain.
4. Anak yang mengalami kesulitan dalam mengatur emosi seringkali disebut sebagai
anak tunalaras. Ciri-ciri utamanya termasuk kecenderungan untuk menunjukkan
keonaran berlebihan serta mungkin memiliki kecenderungan terhadap perilaku yang
melanggar hukum.
5. Anak-anak yang mengalami keadaan fisik atau motorik yang berbeda (tunadaksa)
memiliki kelainan pada tulang, persendian, serta sistem saraf yang mengontrol
pergerakan otot tubuh mereka. Menurut penilaian medis, kondisi ini menyebabkan
mereka membutuhkan layanan khusus terkait dengan gerakan anggota tubuh mereka.
6. Anak-anak dengan autisme memiliki gangguan ketidakmampuan berkomunikasi. Ini
disebabkan oleh kerusakan pada otak. Secara umum, anak-anak dengan autisme
mengalami kesulitan berbicara dan juga mengalami gangguan dalam kemampuan
intelektual dan fungsi saraf. Gejala autisme meliputi kesulitan berkomunikasi,
gangguan fungsi saraf dan intelektual, serta perilaku yang tidak umum. Anak-anak
dengan autisme memiliki kehidupan sosial yang berbeda dan tampaknya kurang
tertarik untuk berinteraksi sosial, sering terisolasi dari lingkungan sekitarnya.
7. Anak-anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau specific learning
disability) adalah istilah yang merujuk kepada siswa yang menunjukkan pencapaian
akademik yang rendah dalam bidang tertentu seperti membaca, menulis, dan
matematika. Mereka umumnya mengalami kesulitan dalam memproses informasi
yang diterima melalui indera penglihatan, pendengaran, atau persepsi tubuh dalam
aspek kognitif. Perkembangan emosi dan sosial mereka membutuhkan perhatian
khusus, termasuk aspek konsep diri, kemampuan berpikir, keterampilan sosial,
kepercayaan diri, kurangnya perhatian, kesulitan berinteraksi sosial, dan kesulitan
dalam membangun pertemanan. Kondisi kesulitan belajar ini bisa disebabkan oleh
beberapa faktor seperti gangguan persepsi (perceptual handicaps), cedera otak (brain
injury), gangguan pada fungsi otak (minimal brain dysfunction), disleksia (dyslexia),
dan afasia perkembangan (developmental aphasia).
8. Anak yang mengalami hiperaktivitas (attention deficit disorder with
hyperactivity/ADD-H) tidak mengalami sebuah penyakit, tetapi menunjukkan gejala
atau simptom. Gejala ini bisa terjadi karena beberapa faktor seperti kerusakan pada
otak, gangguan emosional, gangguan pendengaran, atau keterbelakangan mental.
Beberapa istilah yang dulu digunakan untuk merujuk pada hiperaktivitas atau ADD-H
meliputi minimal cerebral dysfunction, minimal brain damage (istilah yang sudah
tidak digunakan lagi oleh para psikolog atau pedagog), minimal cerebral palsy,
hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder with hyperactivity. Tanda-
tanda yang dapat diamati pada anak yang mengalami hal ini termasuk selalu aktif,
sulit untuk diam, sering mengganggu orang lain, cenderung berpindah-pindah,
kesulitan dalam berkonsentrasi, sulit untuk mengikuti instruksi atau perintah, masalah
dalam proses belajar, dan kurangnya perhatian terhadap pelajaran.
9. Anak-anak yang memiliki kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and
developmentally disabled children) sering dikenal sebagai individu tunaganda yang
mengalami gangguan perkembangan yang melibatkan hambatan neurologis. Ini bisa
disebabkan oleh satu atau dua jenis kelainan dalam kemampuan seperti kecerdasan,
kemampuan gerak, bahasa, atau interaksi sosial dalam masyarakat. Kelainan
perkembangan ganda ini juga meliputi ketidakmampuan dalam fungsi adaptif.
Umumnya, mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan
dengan metode yang spesifik.
Pendidikan Inklusi
Inklusi bersumber dari kata “inclusion”, yang berarti melibatkan atau mengajak. Pengertian
inklusi disusun demi merealisasikan lingkungan yang ramah untuk semua orang dengan
mengajak dan mengikutsertakan orang dari berbagai keanekaragaman kemampuan, status,
kondisi, latar belakang, etnik, budaya dan lainnya. Menurut Garnida (2015: 48) pendidikan
inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki
keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan tanpa pertimbangan akan
keterbatasan masing-masing. Pendidikan inklusi adalah platform pembelajaran yang terbuka
di mana siswa dengan kebutuhan khusus dan siswa tanpa disabilitas belajar bersama-sama.
Konsep pendidikan inklusif menegaskan pentingnya memenuhi kebutuhan semua anak dalam
mendapatkan pendidikan tanpa adanya diskriminasi baik secara fisik maupun psikologis
(Tarmansyah, 2013). Menurut Hildegun Olsen (2007:82), dalam pelaksanaan pendidikan
inklusi, setiap sekolah memiliki kewajiban untuk menyediakan akses bagi setiap anak, tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik, atau kondisi lainnya yang
dimilikinya.
Berdasarkan Pratiwi (2015), hak untuk mendapatkan pendidikan juga termasuk dalam
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948 (The 1948 Universal Declaration of Human
Rights), yang kemudian diperbaharui dalam Konferensi Dunia 1990 tentang Pendidikan
untuk Semua (The 1990 World Conference on Education for All). Tujuan dari inisiatif ini
adalah memastikan bahwa hak-hak tersebut berlaku bagi seluruh individu tanpa memandang
perbedaan yang ada.
Menurut IDEA, anak-anak dengan kebutuhan khusus harus diberikan pendidikan dalam
lingkungan yang membatasi sebisa mungkin (Least Restrictive Environment, LRE). Hal ini
merujuk pada kondisi yang dapat menyerupai lingkungan pendidikan anak-anak tanpa
kebutuhan khusus. Sekolah seharusnya berupaya untuk mendidik anak-anak dengan
kebutuhan khusus di kelas reguler. Proses mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus di
kelas reguler sebelumnya dikenal sebagai "mainstreaming". Namun, istilah tersebut telah
digantikan dengan "inklusi", yang berarti memberikan pendidikan penuh waktu kepada anak-
anak dengan kebutuhan khusus di kelas reguler. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
prestasi akademis anak-anak yang memiliki kesulitan belajar mengalami manfaat dari inklusi
di kelas reguler.
Prinsip Pendidikan Anak Disability
1. Prinsip Kasih Sayang. Prinsip kasih Sayang pada dasarnya adalah menerima mereka
sebagaimana adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalani hidup dan
kehidupan dengan wajar, sepert layaknya anak normal lainnya. Oleh karena itu, upaya
yang perlu dilakukan untuk mereka: (a) tidak bersikap memanjakan, (b) tidak bersikap
acuh tak acuh terhadap kebutuhannya, dan (c) memberikan tugas yang sesuai dengan
kemampuan anak.
2. Prinsip Layanan Individual. Pelayanan individual dalam rangka mendidik anak
berkelainan perlu mendapatkan porsi yang besar, sebab setiap anak berkelainan dalam
jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan
untuk mereka selama pendidikannya: (a) jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih
dari 4-6 orang dalam setiap kelasnya, (b) pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran
dapat bersifat fleksibel, (c) penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa, sehingga
guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan (d) modifikasi alat bantu
pengajaran.
3. Prinsip Kesiapan. Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan.
Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan,
terutama pengetahuan prasyarat, baik prasyarat pengetahuan, mental dan fisik yang
diperlukan untuk menunjang pelajaran berikutnya. Contoh, anak tunagrahita sebelum
diajarkan pelajaran menjahit perlu terlebih dahulu diajarkan bagaimana cara
menusukkan jarum. Contoh lain anak berkelainan secara umum mempunyai
kecenderungan cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh karena
itu guru dalam kondisi ini tidak perlu memberi pelajaran baru, melainkan mereka
diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah segar kembali guru baru
dapat melanjutkan pemberian pelajaran.
4. Prinsip Keperagaan. Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung
oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya. Selain mempermudah guru dalam
mengajar, fungsi lain dari penggunaan alat peraga sebagai media pembelajaran pada
anak berkelainan, yakni mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang
disajikan guru. Alat peraga yang digunakan untuk media sebaiknya diupayakan
menggunakan benda tiruan atau minimal gambarnya. Misalnya mengenalkan macam
binatang pada anak tunarungu dengan cara anak disuruh menempelkan gambar-
gambarnya di papan flannel lebih baik daripada guru bercerita di depan kelas. Anak
tunanetra yang diperkenalkan sosok buah belimbing, maka akan lebih baik jika
dibawakan benda aslinya daripada tiruannya, sebab selain anak dapat mengenal
bentuk dan ukuran juga dapat mengenal rasanya.
5. Prinsip Motivasi. Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan
pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak yang berkelainan. Contoh,
bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang ditekankan pada
pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan mengesankan jika mereka diajak
ke kebun binatang. Bagi anak tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat
lima sempurna, maka akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya kemudian
diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanya berupa gambar-gambar saja.
6. Prinsip Belajar dan Bekerja Kelompok. Arah penekanan prinsip belajar dan bekerja
kelompok sebagai salah satu dasar pendidikan anak berkelainan, agar mereka sebagai
anggota masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa harus
merasa rendah diri atau minder dengan orang normal. Oleh karena itu, sifat egosentris
atau egoistis pada anak tunarungu disebabkan karena tidak menghayati perasaan,
agresif, dan destruktif pada anak tunalaras perlu diminimalkan atau dihilangkan
melalui belajar dan bekerja kelompok. Melalui kegiatan tersebut diharapkan mereka
dapat memahami bagaimana cara bergaul dengan orang lain secara baik dan wajar.
7. Prinsip Ketrampilan Pendidikan. Ketrampilan yang diberikan kepada anak
berkelainan, selain berfungsi selektif, edukatif, rekreatif dan terapi, juga dapat
dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya kelak. Selektif berarti untuk
mengarahkan minat, bakat, ketrampilan dan perasaan anak berkelainan secara tepat
guna. Edukatif berarti membimbing anak berkelainan untuk berpikir logis,
berperasaan halus dan kemampuan untuk bekerja. Rekreatif berarti unsure kegiatan
yang diperagakan sangat menyenangkan bagi anak berkelainan. Terapi berarti
aktivitas ketrampilan yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi akibat
kelainan atau ketunaan yang disandangnya.
8. Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap. Secara fisik dan psikis sikap anak
berkelainan memang kurang baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai
sikap yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain. Misalnya blindism
pada tunanetra, yaitu kebiasaan menggoyang-goyangkan kepala ke kiri-kanan, atau
menggoyanggoyangkan badan secara tidak sadar, atau anak tunarungu memiliki
kecenderungan rasa curiga pada orang lain akibat ketidakmampuannya menangkap
percakapan orang lain, dan lain-lain.
Prinsip-prinsip dasar dalam penerapan Program Perlindungan Khusus untuk Anak-
Anak dengan Disabilitas
Beberapa prinsip dalam melaksanakan program perlindungan khusus bagi anak penyandang
disabilitas termasuk: pertama, Prinsip Non Diskriminasi, yaitu memberikan perlindungan
khusus kepada anak penyandang disabilitas tanpa melakukan diskriminasi berdasarkan suku,
agama, ras, jenis kelamin, atau kewarganegaraan; kedua, Prinsip Kepentingan Terbaik, yang
menekankan bahwa langkah-langkah untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak
penyandang disabilitas harus didasarkan pada kepentingan terbaik mereka; ketiga, Prinsip
Hak untuk Hidup dan Perkembangan, yang menegaskan bahwa upaya perlindungan anak
penyandang disabilitas dilakukan untuk memenuhi hak asasi mereka sesuai dengan hukum
yang berlaku; dan keempat, Keadilan mengindikasikan bahwa anak-anak dengan disabilitas
harus menerima perlakuan yang adil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu
mereka.
Dasar hukum pelaksanaan program perlindungan khusus bagi anak-anak penyandang
disabilitas.
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2016
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang
Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Menjadi Undang-Undang;
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
14. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention On The Rights Of Persons With
Disabilities);
15. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, tentang Penyandan Disabilitas;
16. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tentang Pengesahan Konvensi tentang
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child);
Tantangan Utama dalam Memperjuangkan Hak Anak Berkebutuhan Khusus
1. Aksesibilitas Terhadap Layanan: Anak-anak dengan kebutuhan khusus seringkali
menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan
dukungan yang mereka butuhkan. Beberapa daerah mungkin tidak memiliki layanan
yang memadai atau infrastruktur yang mendukung aksesibilitas bagi anak-anak ini.
2. Stigma dan Diskriminasi: Stigma sosial dan diskriminasi masih menjadi masalah
besar bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini dapat menghambat integrasi
mereka dalam masyarakat, pendidikan, dan kesempatan kerja.
3. Kurangnya Sumber Daya dan Dukungan: Banyak negara atau komunitas mungkin
kurang dalam menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung anak-anak
berkebutuhan khusus. Ini termasuk kurangnya tenaga terlatih, dana yang cukup, atau
infrastruktur yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mereka.
4. Keterbatasan Pendidikan Inklusif: Sistem pendidikan sering kali belum siap untuk
menyediakan lingkungan inklusif bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Kurangnya pelatihan untuk guru, kurikulum yang disesuaikan, dan sarana pendukung
lainnya bisa menjadi hambatan bagi pendidikan mereka.
5. Keterbatasan Perlindungan Hukum: Tidak semua negara memiliki sistem hukum
yang kuat untuk melindungi hak-hak anak berkebutuhan khusus. Ini dapat mencakup
kurangnya kebijakan yang kuat atau implementasi yang konsisten untuk melindungi
mereka dari pelecehan, eksploitasi, atau diskriminasi.
6. Tantangan Keluarga: Keluarga anak-anak dengan kebutuhan khusus sering kali
menghadapi tantangan emosional, finansial, dan fisik yang besar. Dukungan yang
kurang dari masyarakat atau lembaga pemerintah dapat memperparah kesulitan yang
mereka hadapi.
7. Keterbatasan Komunikasi: Anak-anak dengan kebutuhan khusus, terutama yang
memiliki keterbatasan komunikasi, mungkin kesulitan dalam menyampaikan
kebutuhan atau pengalaman mereka, yang bisa menyulitkan dalam mendapatkan
bantuan atau dukungan yang tepat.
Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya, disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia memberikan perlindungan
hukum kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya hak mereka atas
pendidikan. Mereka seharusnya diperlakukan sama dengan anak-anak normal dalam hal
akses pendidikan sekolah, tanpa ada bentuk diskriminasi atau pengecualian. Sekolah
diharapkan memberikan fasilitas khusus bagi mereka, sementara pemerintah bertanggung
jawab menyediakan fasilitas yang dibutuhkan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terhadap anak berkebutuhan
khusus, terutama dalam bentuk penolakan dari beberapa sekolah saat mereka mendaftar
sebagai siswa. Ini merupakan kondisi yang sebaiknya diantisipasi oleh pemerintah dan pihak
sekolah, sehingga hak asasi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan tidak lagi dilanggar.
Meskipun secara hukum, anak berkebutuhan khusus memiliki jaminan dari negara untuk
mendapatkan pendidikan, masih ada tantangan nyata yang perlu diatasi untuk memastikan
hak ini terwujud secara efektif dan adil bagi mereka.

Anda mungkin juga menyukai