Hallahan & Kauffman (2006) mengemukakan beberapa hal yang dapat
terpengaruh sebagai akibat dari kerusakan pada penglihatan.
1. Perkembangan Kognitif dan Kemampuan Konseptual
Mereka yang tunanetra lebih bergantung pada informasi taktil dan
auditif untuk belajar tentang dunia dibandingkan mereka yang awas (Hull, dalam Kauffman & Hallahan, 2006). Oleh karena itu melalui kemampuan pendengaran (auditoris) dan perabaan (taktil), diharapkan hal-hal yang menghambat dapat teratasi. Bahkan dalam penelitian Berla (dalam Hallahan & Kauffman, 1994) disimpulkan bahwa makin awal anak yang terganggu penglihatannya dilatih untuk menggunakan strategi misalnya membandingkan benda melalui pemahaman membandingkan perbedaan panjangnya ke ukuran tubuh; atau perbedaan bunyi bila benda tersebut diketukkan ke meja; maka perkembangan taktil/perabaannya makin baik.
Bila diukur melalui tes intelegensi, tampaknya penderita tunanetra
memiliki tingkat kecerdasan yang berada pada taraf di bawah rata-rata (Kirk & Gallagher, 1986). Tes intelegensi juga diperlukan untuk mengukur keterampilan-keterampilan spasial/keruangan dan taktil (performance), karena ini berkaitan dengan kemampuan seseorang yang mengalami gangguan penglihatan untuk dapat menjelajah lingkungan atau/dan membaca braille.
2. Perkembangan Motorik serta Mobilitas
Tanpa penglihatan, perkmebangan motoric dari anak tunanetra
cenderung lambat. Sebelum melakukan gerakan yang sesuai dengan lingkungannya, maka ia harus mengetahui lebih dahulu bagian tubuhnya, mengetahui arah, lateralitas, posisi dalam ruang, serta keterampilan seperti duduk, berdiri ataupun berjalan. Dengan adanya kerusakan pada indra penglihatannya maka anak yang baru masuk sekolah memiliki kemampuan orientasi yang buruk, body awareness (kesadaran tubuh) yang tidak sesuai serta tidak tepat dalam mengkoordinasikannya, dan kurang dapat memperkirakan bagaimana bergerak secara aman/tepat pada situasi yang baru.
Hal-hal ini akan berpengaruh terhadap orientasi arah atau kemampuan
mobilitas. Orientasi dan mobilitas merujuk pada kemampuan untuk merasakan hubungan seseorang dengan orang lain, suatu objek, landmarks (orientasi) dan untuk bergerak dalam suatu lingkungan (mobilitas). Perkembangan kedua hal ini sangat berhubungan dengan kemampuan spasial.
3. Perkembangan Sosial
Secara umum dikatakan bahwa masalah dalam bergerak, sikap terlalu
melindungi dari orangtua dan hubungannya dengan kelompok teman sebaya dan anak-anak normal penglihatan menunjukkan bahwa anak dengan cacat penglihatan memiliki masalah dalam penyesuaian dirinya, tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Kontak sosial dengan teman sebaya tampaknya membutuhkan usaha yang maksimal mengingat komunikasi nonverbal tidak dapat berfungsi secara efektif.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa kesulitan interaksi sosial
terjadi karena justru respon masyarakat yang tidak sesuai pada orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki ekspresi wajah yang berbeda dengan orang yang normal. Contohnya, mereka sulit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, terutama yang negatif.
Halangan yang dapat terjadi pada beberapa siswa tunanetra untuk
penyesuaian diri yang baik adalah, perilaku-perilaku stereotipik: gerakan- gerakan yang sama dan diulang-ulang, seperti menggoyang tubuh, menggaruk mata, gerakan-gerakan jari atau tangan yang berulalng-ulang diketuk- ketukkan. Selama ini sering disebut blindism, karena diperkirakan hanya muncul pada penderita tunanetra saja, tapi kadang-kadang menjadi karakterisktik dari anak awas yang terganggu mentalnya atau terbelakang mental. Dari segi perkembangan bahasa, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara orang awas dengan yang terganggu penglihatannya.
PELAKSANAAN PENDIDIKAN TUNANETRA DI INDONESIA
Secara umum, ada tiga bentuk program/lingkunagan pendidikan bagi anak
tunanetra yang telah diselenggarakan di Indonesia, yaitu:
1. Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB/A)
Adalah lembaga pendidikan luar biasa yang secara khusus disediakan
untuk melayanai pendidikan bagi anak-anak tunanetra. Murid yang terdaftar dalam sekolah ini terbagi dua yaitu kelompok buta dan kurang awas (law vision). Namun demikian secara umum belum ada perbedaan pelayanan pendidikan intensif untuk kedua kelompok yang berbeda tersebut. Dilihat dari statusnya, di Indonesia dikenal ada SLB/A Negeri dan Swasta. Pada umumnya, SLB untuk anak tunanetra dilengkapi dengan asrama di samping tidak menutup kemungkinan bagi anak yang ingin tetap tinggal di rumah orangtuanya.
Dilihat dari fungsinya dikenal ada:
SLB/A Pembina tingkat nasional. SLB/A Pembina tingkat provinsi. SLB/A biasa (biasnaya yang berstatus swasta)
2. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Adalah pendidikan luar biasa setingkat sekolah dasar yang menampung
dan melayani pendidikan anak dari beberapa macam kebutuhan dalam satu lembaga. Kelompok anak berkebutuhan khusus yang ditampung dalam program ini adalah: tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Konsekuensi dari program ini adalah perlunya guru-gurur luar biasa yang memiliki kekhususan berbeda sesuai dengan banyaknya jenis kelainan anak didik.
3. Pendidikan Inklusif/ Sekolah Terpadu
Pendidikan terpadu adalah suatu bentuk program pendidikan dimana
anak-anak tunanetra belajar bersama-sama (dalam kelas biasa) dengan anak- anak awas.
Berkenaan dengan pelaksanaan sistem terpadu, ada beberapa
pertimbangan khusus yang harus diperhatikan:
Tentang kemampuan dan kemauan anak tunanetra untuk berintegrasi
dengan anak awas. Ini penting kaitannya dengan kesiapan anak berkenaan dengan kemampuan akademis dan sikap mental untuk bersaing dan bekerjasama di lain pihak.
Kesediaan lembaga/sekolah untuk menerima anak tunanetra mengikuti
pendidikan secara bersama-sama. Tidak semua sekoah mau melaksanakan sistm ini. Oleh karena itu perlu ada upaya-upaya pendekatan untuk memungkinkan diadakannya pendidikan terpadu aatau inklusid pada suatu sekolah.
Ketersediaan petugas khusus yang professional serta sarana khusus