Anda di halaman 1dari 42

MODUL-6

KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Deskripsi Singkat
Pada bab ini, akan dibahas konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam. Selain itu,
dalam bab ini dibahas juga konsep mental dalam perspektif Islam. Mahasiswa juga perlu
mempelajari pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam, berabagai ciri mental yang
sehat, bentuk dan gejala gangguan mental serta upaya memelihara kesehatan mental dalam
perspektif Islam.

Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu menjelaskan kembali
konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam. Mahasiswa juga diharapkan mampu
mengidentifikasi dan menguraikan pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam,
gejala gangguan mental dan penanganannya dalam perspektif Islam.

Capaian Mata Kuliah


Mahasiswa memahami konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam, dengan
indikatornya:
 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep kesehatan mental
 Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya kesehatan mental
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan ciri-ciri mental yang sehat
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan gangguan kesehata mental
 Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menjelaskan upaya memelihara kesehatan
mental

A. Latar Belakang
Mengapa dalam buku ajar ini dimasukkan bahasan dalam perspektif agama Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa aspek agama dalam
perumusan kesehatan mental harus dimasukkan, karena agama memiliki peranan yang
vital dan kehidupan manusia baik disadari ataupun tidak. Agama merupakan salah satu
kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang mendambakan
ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan tidak akan terpenuhi kecuali dengan agama. WHO (1984) telah
menambahkan satu aspek yaitu aspek spiritual (agama) untuk menyempurnakan batas
kesehatan. Dengan masuknya aspek agama dalam kesehatan mental, maka pengertiannya
terasa luas karena sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu,
perspektif agama harus dimasukkan ke dalam pembahasan terkait kesehatan mental.
Agama merupakan fitrah manusia. Berbagai pendapat mengenai kefitrian agama
ini dapat dikaji berdasarkan beberapa pemikiran para ahli. Misalnya Einstein yang
menyatakan bahwa sifat sosial manusialah yang pada gilirannya merupakan salah satu
faktor pendorong terwujudnya agama. Manusia menyaksikan maut merenggut ayahnya,
ibunya, kerabatnya serta para pemimpin besar. Direnggutnya mereka satu persatu,
sehingga manusia merasa kesepian dikala dunia telah kosong. Jadi harapan akan adanya
sesuatu yang dapat memberi petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi pencinta dan
dicintai, keinginan bersandar pada orang lain dan terlepas dari perasaan putus asa, semua
itu membentuk dasar kejiwaan dalam diri sendiri untuk menerima keimanan kepada
Tuhan.
Uraian di atas merupakan intisari dari pendapat yang dikemukakan oleh William
James. Dia adalah seorang psikolog dan filsuf yang mempelopori aliran/mazhab
pragmatisme dalam dunia psikolgi. William menentang pandangan teori sebelumnya
terkait kesadaran yang menyatakan bahwa kesadaran tidak mewujudkan kesatuan
lahiriah. William justru menyatakan bahwa kesadaran adalah suatu fungsi yang
bersumber dari pengalaman murni. Pengalaman murni adalah perubahan-perubahan yang
terus dari kehidupan manusia dan akan menjadi bahan refleksi manusia pada masa
depan.
Manusia pada fitrahnya membutuhkan pegangan, panduan dan tuntunan sehingga
manusia memiliki tujuan dalam menjalani kehidupan dan eksistensi/keberadaannya di
dunia. Melalui agama, manusia mendapatkan identitas yang melekat dan hakiki terkait
siapa dirinya, apa yang menjadi tujuannya dalam hidup, hendak ke mana ia pergi, dan
apa yang terjadi setelah ia mati. Fitrah inilah yang membuat manusia dengan segala
potensi yang diberikan oleh Allah berupa akal dan hati untuk mampu melakukan banyak
hal yang hebat dalam catatan sejarah baik yang bersifat duniawi maupun hal yang terkait
dengan keagamaan.
Kesehatan mental sendiri tidak terlepas dari eksistensi agama. Konsep, prinsip, dan
pengetahuan yang terdapat dalam ilmu kesehatan mental sendiri memiliki benang merah
terutama dengan ajaran-ajaran agama Islam. Salah satu benang merah kesehatan mental
dengan agama Islam adalah bahwa keduanya merupakan panduan dan tuntunan dalam
meraih kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud dalam kesehatan mental adalah
kondisi kesejahteraan fungsi-fungsi psikologis dan berpenyesuaian diri secara wajar serta
berkontribusi terhadap lingkungannya. Sama halnya dengan ajaran-ajaran agama Islam
yang merupakan rahmatan lil alamin, di mana Islam sendiri menjadi sumber
kebahagiaan, keteraturan, ketentraman bagi manusia dalam konteks individu dan sosial.
Serta menjadi sumber kebahagiaan akan kehidupan kekal di alam akhirat kelak. Konsep
tersebut sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat Fushilat ayat 44 berikut ini:

ْ ُ‫ۗ ّي قُ ۡل هُ َو لِلَّ ِذينَ َءا َمن‬ٞ ِ‫ ّي َو َع َرب‬ٞ ‫صلَ ۡت َءا ٰيَتُ ۖ ٓۥهُ َء ۬ا ۡع َج ِم‬
َ‫ون‬llُ‫ۚ َوٱلَّ ِذينَ اَل ي ُۡؤ ِمن‬ٞ‫وا ه ُٗدى َو ِشفَٓاء‬ ِّ ُ‫وا لَ ۡواَل ف‬ ْ ُ‫َولَ ۡو َج َع ۡل ٰنَهُ قُ ۡر َءانًا َأ ۡع َج ِم ٗيّا لَّقَال‬
ٓ
٤٤ ‫ان بَ ِع ٖيد‬ ِ ۢ ‫ك يُنَاد َۡونَ ِمن َّم َك‬ َ ‫ر َوه َُو َعلَ ۡي ِهمۡ َع ًم ۚى ُأوْ ٰلَِئ‬ٞ ‫فِ ٓي َءا َذانِ ِهمۡ َو ۡق‬
"Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-
orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu
kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang
jauh".

Ayat tersebut merupakan jaminan Allah bahwa Islam, Al-Quran, dan Nabi
Muhammad sebagai berkah bagi alam semesta, terlebih bagi manusia yang beriman
kepada Allah. Melalui pengamalan ajaran-ajaran agama Islam, seseorang dikatakan telah
mewujudkan konsep diri (self identity) yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifatullah (Khalifah Allah) di muka bumi (Syamsu Yusuf, 2009). Sebagai
hamba Allah, manusia diberikan tugas suci oleh Allah yaitu beribadah sebagaimana
sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang dijelaskan Allah dalam Q.S. Adhariyat
ayat 56:

َ ‫ت ۡٱل ِج َّن َوٱِإۡل‬


ِ ‫نس ِإاَّل لِيَ ۡعبُ ُد‬
٥٦ ‫ون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ۡق‬
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”.

Allah menciptakan manusia untuk beribadah dengan segala yang dimilikinya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya manusia untuk senantiasa mengabdi kepada Allah melalui
berbagai macam ibadah baik yang bersifat personal seperti shalat, puasa, dzikir. Serta
ibadah yang bersifat sosial seeprti menyambung dan menjaga silaturahim, sedekah,
zakat, infaq, menimba ilmu dan masih banyak lagi. Allah telah menyempurnakan Islam
bagi Nabi Muhammad dan seluruh pengikutnya. Agama Islam berisikan petunjuk bukan
hanya bagaimana seseorang menjalani berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam
mencapai/mewujudkan, menjaga, serta untuk meningkatkan kesehatan mentalnya.
B. Konsep Mental dalam Perspektif Islam
Seperti telah kita bahasa pada bab awal dalam buku ini, bahwa mental dapat
diartikan sebagai fungsi-fungsi psikologis manusia yang berkaitan dengan pikiran,
emosi, dan sikap, serta perasaan. Dalam konteks agama Islam juga dikenal beberapa
istilah yang merujuk pada pengertian mental dalam kajian psikologi, hanya saja istilah
yang digunakan berdasarkan bahasa Arab yang terdapat di dalam Al quran, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Rasio
Rasio pada dasarnya tidak sama dengan akal (Langgulung, 1986). Rasio sendiri
merujuk pada segala sesuatu yang hanya dapat ditangkap atau diperoleh dari
pengalaman indera manusia. Rasio juga sering dimaksudkan dengan istilah “masuk
akal”. Namun hakikatnya rasio berarti sesuatu yang berkaitan dengan proses
pengamatan manusia terhadap alam di sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri.
Untuk memudahkan pengertian rasio yang dimaksud dalam konteks ini, harap
cermati Q:S 16:44 berikut ini:

َ ‫ ُِر َوَأن َز ۡلنَٓا ِإلَ ۡي‬lۗ ‫ٱلزب‬


ِ َّ‫ك ٱل ِّذ ۡك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬
٤٤ َ‫ُم يَتَفَ َّكرُون‬lۡ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ۡي ِهمۡ َولَ َعلَّه‬ ِ َ‫بِ ۡٱلبَيِّ ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu


Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Pada ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa umat manusia diperintahkan
untuk menyampaikan Al Quran kepada orang-orang agar mereka yang disampaikan
pun memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah melalui apa-apa yang telah ditunjukkan
kepada mereka. Allah menyebutkan keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab Allah. Hal-
hal tersebut adalah beberapa kejadian atau pengalaman yang telah lampau, dan
“mereka” dalam ayat tersebut harus menggunakan pemikirannya dengan mengerahkan
semua inderanya untuk dapat mengambil pelajaran atau hikmah.
Masih ada lagi ayat dalam Quran yang berkaitan dengan pernyataan terkait
dengan rasio, diantaranya adalah sebagai berikut dalam Q:S 16:3-4 berikut ini:

٣ ‫ون‬ ِّ ۚ ‫ض بِ ۡٱل َح‬


َ ‫ق تَ ٰ َعلَ ٰى َع َّما ي ُۡش ِر ُك‬ َ ‫ت َوٱَأۡل ۡر‬
ِ ‫ق ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
َ َ‫َخل‬
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada apa
yang mereka persekutukan”.

ِ ‫ق ٱِإۡل ن ٰ َس َن ِمن نُّ ۡطفَ ٖة فَِإ َذا هُ َو َخ‬


٤ ‫ين‬ٞ ِ‫يم ُّمب‬ٞ ‫ص‬ َ َ‫َخل‬
“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang
nyata”.
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan agar manusia menggunakan potensi berupa
seluruh indera yang dimilikinya untuk menelusuri ketetapan-ketetapan Allah dalam
berbagai fenomena-fenomena yang terjadi, mulai dari terjadinya hujan hingga proses
kejadian manusia.
Ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangannya berhasil menyumbangkan
terungkapnya banyak fakta terkait fenomena-fenomena alam semesta dan apa yang
terjadi di bumi. Mereka yang telah meneliti dan mencermati dengan seksama setiap
detil dari fenomena tersebut akan menemukan sebuah ketetapan dalam setiap
prosesnya. Ketetapan yang dimaksud adalah “sunatullah”, hukum Allah atau aturan-
aturan yang telah Allah berlakukan di alam dunia ini. Sebut saja gravitasi, rotasi bumi,
revolusi bumi terhadap matahari, pasang surut air laut, hujan, fotosintesis, proses
kelahiran bayi, atom, nuklir, materi gelap, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu digarisbawahi bahwa rasio adalah hasil
pengalaman indera manusia untuk mengamati, mencermati, dan meneliti tanda-tanda
kebesaran Allah yang berupa ketetapan, serta semua hasil pengalaman tersebut masuk
akal.
Kaitan rasio dengan mental bahwa rasio berasosiasi dengan fungsi-fungsi kognitif
manusia. Di mana rasio menghasilkan kesimpulan atas pengamatan dan pengalaman
indera manusia.

2. Akal/Al Aqlu
Dalam teori taksonomi Bloom, akal erat dengan istilah domain kognitif. Istilah
kognitif sendiri merujuk pada kemampuan otak untuk memproses pengenalan konsep,
mengingat yang telah menjadi pengalaman sebelumnya, memahami sesuatu,
melakukan aplikasi atau penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Akal atau yang
dikenal dengan istilah pikiran dalam teori psikologi terdiri atas unsur rasio dan
hati/rasa. Seseorang yang telah merasakan tanda-tanda kebesaran Allah akan meyakini
dan mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam, berbeda dengan mereka
yang telah mengetahui tanda kebesaran Allah namun tidak mengakui Allah sebagai
Tuhan mereka, mereka itulah yang disebut dalam Al Quran sebagai orang-orang yang
buta, sesat, tuli, dan lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena hati seseorang tersebut
tidak berfungsi.
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ar-ruh)
yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh oleh
filosofi Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya
bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah
al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah)
yang berpusat di kepala. Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal
sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal
adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda
yang ditangkap oleh panca indera.
Akal manusia telah membuahkan banyak sekali karya yang membuat kagum dan
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Terlebih lagi dalam era globalisasi ini,
pesat dan signifikan kita dapat identifikasi berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Kita bisa
menyaksikan teknologi nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik, yang memang
walaupun berbahaya namun memberikan manfaat yang sangat besar apabila
dipergunakan secara benar. Kita pun bisa menyaksikan teknologi Global Position
System (GPS) yang berkembang dengan pesat sehingga memudahkan kita untuk
mencari tempat apapun, kapanpun, dimanapun selama masih tersambung dengan
internet. Kita juga dapat menyaksikan bagaimana internet membuat jarak dan waktu
seakan bukan kendala berarti untuk melakukan berbagai aktivitas yang menunjang
kehidupan kita.
Semua fenomena tersebut merupakan hasil karya akal manusia yang
diberdayakan secara benar oleh manusia. Akal sebagai potensi yang digunakan
dengan benar akan menghasilkan karya yang sesuai dengan tujuan penciptaan
manusia yaitu bernilai ibadah.
Sebagai manusia, akal hendaknya digunakan Sebagai alat yang strategis untuk
mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam. Melalui akal,
manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengkaji dan mengimplementasikan ajaran-
ajaran Islam secara rasional terlepas dari segala bentuk kemusyrikan dan
kejahiliyahan.
Selanjutnya akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia
untuk mengetahui maksud yang terkandung di dalam pengertian Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Banyak terdapat ayat-ayat Quran dan hadist Nabi yang dalam
penafsirannya memerlukan pemikiran mendalam agar tidak menimbulkan pemaknaan
yang salah atau keliru. Disinilah akal difungsikan sebagai transalator untuk memaknai
dengan benar maksud dari kalimat-kalimat Allah dan Nabi-Nya. Penafsiran dan
pemaknaan yang salah dapat mengakibatkan akidah seseorang melenceng dari jalan
yang lurus.
Oleh karena demikian, akal sangat penting untuk menemukan kebenaran dari
kalimat Allah dan sunnah Rasul-Nya sehingga tidak terjadi pemaknaan yang keliru.
Terlebih daripadanya, sebagai umat muslim diwajibkan memanjatkan doa agar tetap
berada dalam jalan yang lurus, sebagaimana yang selalu dilafalkan dalam shalat yaitu
pada bacaan Al-Fatihah ayat 6 dan 7:

lِ ‫ ٱلَّ ِذينَ َأ ۡن َعمۡ تَ َعلَ ۡي ِهمۡ غ َۡي ِر ۡٱل َم ۡغضُو‬lَ‫ص ٰ َرط‬


‫ب‬ ِ ٦ ‫ ۡٱل ُم ۡستَقِي َم‬lَ‫ص ٰ َرط‬ ۡ
ِّ ‫ٱه ِدنَا ٱل‬
٧ َ‫َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل ٱلضَّٓالِّين‬
“6. Tunjukilah kami jalan yang lurus, 7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat”.
Fungsi akal adalah sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan, sebagai alat
untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar. Dalam teori
psikoanalisa, akal yang memiliki fungsi ini disebutkan konsep super ego. Akal dapat
digunakan untuk menyeleksi berbagai macam nilai-nilai yang baik dan tidak baik,
benar dan tidak benar. Akal yang demikian berhubungan dengan hati nurani atau
fitrah manusia. Karena pada hakikatnya, manusia selalu cenderung kepada kebenaran
terlepas dari segala kelemahan yang dimilikinya sebagai mahkluk.
Akal juga berfungsi sebagai alat untuk menemukan solusi terhadap permasalahan
yang dialami manusia. Seperti konsep yang dikemukakan oleh Freud bahwa perilaku
manusia dapat diartikan sebagai upaya mencapai keseimbangan terhadap stimulus
atau tuntutan yang dihadapinya. Adanya tekanan atau masalah yang muncul
memberikan kita kesempatan menggunakan akal menemukan solusi untuk
memecahkan masalah tersebut. Selain itu, akal juga dapat digunakan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan manusia seperti halnya rasa lapar yang melanda dan kita
berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan makanan.
Bagi manusia yang masih diberikan nikmat akal oleh Allah, sudah sepantasnya
berbangga dan bersyukur karena masih dipercaya untuk mengemban tugas mulia
sebagai manusia yaitu untuk beribadah dan memakmurkan bumi. Selanjutnya
berkaitan dengan akal, bahwa sesuatu yang rasional dapat diterima akal, sebab akal
manusia di dalamnya terdapat unsur hati/rasa percaya (Hadiri, 1993). Akal manusia
akan semakin berfungsi dengan baik bilamana hatinya baik, suci, dan senantiasa
beriman. Pernyataan ini menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara rasional dan akal.
Setelah seseorang menggunakan pemikirannya dalam merasionalkan, maka akal akan
membenarkan rasional tersebut sesuai dengan pengalaman yang didapatkannya.
Sebaliknya apabila hati seseorang tidak dalam keadaan baik, suci, dan beriman maka
rasional tersebut tidak akan diterima oleh akalnya sehingga cenderung terdapat
penolakan terhadap ketetapan yang menjadi pengalamannya.
Allah menjelaskan tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya kepada orang-orang
yang berilmu sehingga dapat memahaminya. Al Quran berfungsi sebagai penjelasan
bagi manusia, agar yang berakal dapat mengambil hikmah/pelajaran dan
sesungguhnya mereka yang berakallah yang dapat mengambil hikmah/pelajaran.
Salah satu ciri orang berakal adalah orang yang berdzikir kepada Allah dengan hati
dan bertafakkur terhadap setiap kejadian di dalam kehidupannya, selalu berdoa dan
merasa tidak terlepas dari keterbatasan juga kesalahan.
Pemahaman tersebut menjelaskan adanya sikap dan perilaku berserah diri secara
penuh kepada Allah. Mereka yang mengakui kebesaran Allah akan menyerahkan
hidup dan matinya kepada Allah semata sehingga tidak ada lagi bagi mereka
kesusahan di dalam hati dan pikiran mereka. Oleh karena itu, Allah mengkaruniakan
kepada mereka ketenangan pikiran dan hati atas penyerahan diri terhadap kebesaran
Allah.
Dari uraian sebelumnya secara jelas tergambar bahwa hakikat kebenaran
ditentukan juga oleh akal. Sedangkan berfungsinya akal ditentukan oleh hati. Oleh
karena itu, dapat diruntutkan bahwa rasio menghasilkan kebenaran yang diperoleh
melalui pengalaman, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang merupakan hasil
olahan akal, ilmu tersebut akan bermanfaat karena adanya pembenaran dari hati. Allah
memberikan petunjuk kepada siapapun yang dikehendakinya dan memberikan
petunjuk, hikmah untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.
Agar dapat memperoleh karunia yang disebutkan dalam ayat tersebut, bukan
hanya akal dan rasio yang perlu berdayakan oleh manusia. Manusia juga harus
menerima kebenaran melalui hatinya dengan meyakini apa yang menjadi ketetapan
Allah. Seperti yang telah disampaikan pada alinea sebelumnya, yakni berserah diri
kepada Allah.
Percuma bagi seseorang yang mengedepankan rasional dan akal namun tidak
menerima kenyaataan kebesaraan Allah melalui hatinya. Hal ini terjadi pada para
penganut sekulerisme terutama para ilmuwan barat. Mereka sangat maju dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, berbagai kemajuan mereka capai melalui hasil
keunggulan rasional dan akal mereka. Namun mereka tidak mau menerima tanda-
tanda kebesaran Allah tersebut sebagai bukti mutlak eksistensi Allah sebagai Tuhan
semesta alam. Mereka beranggapan bahwa dunia ini statis, artinya tidak berawal dan
tidak berujung. Kehidupan dalam pandangan mereka akan berakhir saat manusia telah
meninggal, dan dunia begitu seterusnya akan berjalan seiring evolusinya.
Para penganut atheisme sebagai contohnya, mereka menjadikan peristiwa banjir
bandang dan bahtera Nabi Nuh AS sebagai lelucon yang tidak masuk akal. Mereka
memandang bahwa pada saat itu dengan jumlah binatang yang sangat banyak, apakah
semuanya mampu ditampung oleh bahtera yang tidak seberapa ukurannya. Mereka
juga mempertanyakan bagaimana cara merawat binatang-binatang yang jumlahnya
sangat banyak tersebut selama bahtera Nabi Nuh terombang-ambing ditengah banjir
bandang tersebut, berapa banyak jumlah makanan yang harus disediakan untuk
binatang tersebut, mungkinkah dengan jumlah penumpang yang sedikit untuk
merawat semua binatang tersebut, bagaimana cara mengatasi binatang agar tidak
berkembang biak dan menambah jumlah beban di bahtera tersebut. Logika dan akal
seperti diatas seolah-olah masuk akal dan memang terdengar seperti kebenaran untuk
menyangkal peristiwa banjir bandang tersebut.
Bukan tidak diperbolehkan untuk mempertanyakan hal-hal yang seperti demikian
terhadap salah satu tanda kebesaran Allah, hanya saja dalam konteks ini mereka
mempertanyakan karena tidak sesuai dengan rasional dan akal mereka, sehingga
mereka enggan untuk mengimani dengan hati. Mereka yang hanya mengandalkan
pengetahuan dan logika dalam beriman tidak akan dapat memahami tanda-tanda
kebesaran Allah sekalipun sangat tampak di hadapan mereka.
Kesimpulan dari konsep akal sebagai salah satu unsur mental dalam perspektif
Islam adalah bahwa akal merupakan perwujudan rasional manusia yang terkait dengan
segala potensinya untuk mengungkap dan menentukan kebenaran. Kebenaran yang
telah diterima oleh akal harus diimbangi dengan hati sebagai penentu apakah
seseorang tersebut beriman atau tidak terhadap tanda-tanda keesaan dan kebesaran
Allah.

3. Hati/Al Qalbu
Qalb adalah bentuk mashdar dari akar qalaba - yaqlibu – qalban yang berarti
membalikkan atau memalingkan. Dalam banyak kamus bahasa Arab-Indonesia, kata
qalb, bila berdiri sendiri, diartikan dengan hati, jantung dan akal. Bila dalam bentuk
ungkapan, seperti qalb al-jaisy berarti tentara yang berada di tengah. Ungkapan qalb
kulli syai’ berarti hati, pati, pusat atau sari sesuatu. Hati, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah organ tubuh yang berwarna kemerah-merahan
terletak di bagian kanan atas rongga perut yang fungsinya untuk mengambil makanan
dan untuk mengambil empedu. Secara non fisik, kamus tersebut mengartikan hati
sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian.
Pengertian non fisik yang abstrak menurut KBBI ini sama sekali tidak mengesankan
arti “tempat” sebagai sinonim kata hati dalam arti fisik yang konkret.
Hati dalam bahasa Inggris disebut dengan heart, merupakan bagian tubuh
manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh.
Bagian tubuh ini pula yang membawa kehidupan seperti sabda Rasul berikut ini:

‫اآل ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله اآل وهى القلب‬.

”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika gumpalan


daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. Jika gumpalan daging
itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, gumpalan daging
itu adalah hati (Qalb).”

Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan
hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Berangkat dari uraian pengertian di atas,
jantung disebut qalb karena memang secara fisik keadaannya terus-menerus berdetak
dan bolak-balik memompa darah. kemudian bagaimana dengan istilah hati yang sedih
atau sakit hati. Berikutnya dijelaskan bahwa hati adalah sesuatu yang menentukan
seluruh kepribadian kita.
Pada hakikatnya sifat hati senantiasa tidak tetap atau tidak statis. Hal ini
merupakan kecenderungan manusia, jadi tidak heran apabila kita sering merasakan
ragu-ragu atau bersikap plin-plan dalam kondisi dan situasi tertentu. Gambaran yang
diberikan melalui ayat diatas adalah bagaimana hati berubah haluan dengan sangat
mudah apalagi melalui campur tangan Allah.
Kita mungkin pernah mengalami perubahan keinginan dalam hati yang
menyebabkan kita mengubah tujuan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Sebagai
contoh, seseorang mempersiapkan daftar barang yang akan dibeli di sebuah
supermarket sesuai dengan daftar kebutuhan pokok/utamanya sebagai persediaan
selama satu bulan ke depan. Namun setelah tiba di supermarket dan berbelanja, ia
justru mengambil barang-barang lain yang tidak sesuai dengan yang tercantum di
dalam daftar belanjaannya. Ilustrasi ini merupakan salah satu contoh kecil bahwa hati
manusia memang senantiasa atau cenderung rentan terhadap perubahan. Oleh karena
itu tidak heran apabila kita pernah bersikap tidak teguh pada pendirian atau plin plan.
Sikap, kepribadian dan perilaku yang berubah dari manusia bukan hanya hasil
dari berubahnya keputusan hati semata, akal atau pikiran manusia juga memegang
peranan dalam perubahan tersebut. Saat hati mulai merasakan ada yang harus
berubah, maka pikiran mulai mengambil andil untuk menimbang berdasarkan azas
untung-rugi dan logika terhadap opsi atau pilihan yang tersedia. Hati memainkan
peranan perasaan/emosi yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai, sedangkan
pikiran atau aql memainkan peranan logika yang mempertimbangkan sesuatu atas
untung-rugi suatu keputusan yang akan diambil. Kondisi ini kadang malah
menimbulkan pertentangan atau kontradiktif antara hati dan pikiran. Seperti contoh
saat berbelanja di supermarket tadi, pada akhirnya kita lebih cenderung membeli
barang-barang yang kita inginkan daripada barang-barang yang kita butuhkan.
Kondisi demikian sama seperti yang dikemukakan oleh Freud bahwa id dan super
ego kadang terlibat pertentangan sehingga ego harus mengambil tindakan sesuai
dengan tekanan yang lebih dominan antara id dan super ego. Dalam hal ini id
mewakili sisi keinginan dan super ego mewakili pikiran.
Allah menurunkan firman yang paling baik berupa kitab suci yang makna dan
diksinya sama-sama mencapai puncak kemukjizatan dan kesempurnaan (tafsir
Quraish Shihab). Di dalamnya banyak dikemukakan nasihat dan ketentuan hukum.
Bacaannya sering diulang. Ketika membaca atau mendengar ancaman yang
terkandung di dalamnya, orang-orang yang takut kepada Allah kulitnya akan
merinding. Setelah itu, kulit dan hatinya akan melunak untuk mengingat Allah. Kitab
suci yang mempunyai sifat-sifat seperti itu merupakan cahaya Allah yang dengannya
Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya lalu
membimbingnya untuk beriman kepada-Nya. Barangsiapa disesatkan oleh Allah
karena Dia Mahatahu bahwa ia akan menyimpang dari kebenaran maka tidak seorang
pun mampu menyelamatkannya dari kesesatan.
Seseorang yang qalbunya bersih, akan senantiasa mudah menangkap petunjuk
dari Allah. Petunjuk dari Allah tersebut menjadi dasar-dasar keimanan seseorang
tersebut untuk meyakini jalan yang lurus seperti yang selalu kita panjatkan dalam QS
1:6-7. Setelah keimanan terbentuk dalam qalbuseseorang, maka qalb juga akan
menjadi tempat ketakwaan seseorang tertanam di dalamnya.
Selain daripada itu, qalbu merupakan kendali seluruh anggota badan, jika kendali
itu sehat maka seluruh badan juga sehat dan jika kendali itu sakit maka seluruh badan
akan sakit pula. Pernyataan ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad pada awal
penjelasan tentang qalbu ini. Apabila kita mengaitkan dengan teori dan konsep
psikologi, bahwa mental dan fisik saling terkait satu sama lain sehingga apabila salah
satu aspek tersebut mengalami gangguan, maka akan menimbulkan gangguan
terhadap aspek yang lainnya.
Sebagai ilustrasi adalah ketika seseorang sedang berkonsentrasi terhadap
pekerjaannya yang menuntut deadline, kondisi demikian cenderung membuat
seseorang merasa enggan untuk makan tepat waktu dikarenakan menginginkan
pekerjaannya segera selesai. Akibat dari perilaku tersebut adalah ia akan makan
terlambat dari waktu yang seharusnya. Apabila pola kerja yang dilakukannya terus
menerus seperti itu, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan gejala penyakit
maag. Kesehatan mental juga selaras dengan kondisi kesehatan fisik seseorang.
Alangkah bijaksananya ditengah kesibukan pekerjaan seseorang tetap menyempatkan
untuk makan tepat waktu, minum air putih secukupnya, dan beristirahat sejenak dari
pekerjaan agar pikiran dan emosi tetap terjaga sehingga tidak mengakibatkan kondisi
seperti berada di dalam tekanan.
Ilustrasi yang kedua adalah, bahwa terdapat seorang siswa yang mengalami
kecelakaan lalu lintas sehingga mengakibatkan dirinya kehilangan fungsi alat-alat
penglihatannya. Kondisi yang tiba-tiba harus dialaminya mengakibatkan guncangan
psikis yang berat karena dia merasa belum sanggup menerima kenyataan tersebut.
Perasaan kehilangan dan penyesalan menyebabkan depresi dan frustrasi yang
berdampak pada kestabilan emosi dan pikirannya.
Kedua ilustrasi tersebut adalah sebagai gambaran bahwa kesehatan mental
seseorang saling terkait dengan kondisi kesehatan fisiknya. Terhadap hadist Nabi
Muhammad yang menjelaskan bahwa hati yang baik akan menghasilkan fisik yang
baik adalah terkait dengan bagaimana seseorang mampu memelihara mentalnya agar
tetap stabil dan positif menghadapi keadaan yang berlaku padanya, sehingga
kesehatan fisiknya juga tetap terjaga. Mental yang sehat dalam perspektif Islam juga
disebut dengan hati yang terbebas dari berbagai penyakitnya seperti iri, dengki, benci,
hasut, dan masih banyak lagi.

4. Nafs
Istilah nafs yang dimaksud dalam sub bab ini berasal dari bahasa Arab yang
dipakai dalam al-Qur’an. Menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an
disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa
(soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran
(mind), di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-Arab menerangkan bahwa kata nafs dalam
bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa dan
nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk
kepada diri pribadi. Pandangan tersebut disimpulkan bahwa setiap manusia memiliki
dua nafs, yakni nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal dari manusia
menyebabkan ia kehilangan daya pikirannya namun ia tetap hidup, hal ini dibuktikan
pada kondisi manusia saat sedang dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs
ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan seseorang tersebut di dunia seperti yang
terjadi pada manusia yang meninggal dunia.
Klasifikasi nafs:
Nafs menurut para ulama diklasifikasikan ke dalam 3 kategori sebagai berikut:
a. Nafs ammarah
Tingkatan pertama nafs pada manusia ini sifatnya berkecenderung memenuhi
naluri alamiah/insting yang disebut dengan jiwa kebinatangan (nafs ammarah). Hal
ini bersesuaian dengan teori psikoanalisa Freud yang mengatakan bahwa id
memiliki kecenderungan mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasarnya sebagai manusia seperti makan, minum dan kebutuhan
biologisnya.
Menurut Abraham Maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan
kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang
tidak mengetahui potensi yang dimilikinya. Mereka tidak menyadari seberapa
besar prestasi yang dapat mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka
yang mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu, saat manusia mengikuti nafs
ammarah ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang
dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Terlebih lagi batas-
batas antara yang haq dan yang bathil, halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan
tercela, manfaat dan madharat, dosa dan pahala tidak akan diindahkannya.
Menyambung uraian diatas, walaupun pada dasarnya manusia itu terlahir
dalam keadaan yang suci atau fithrah, namun manusia juga memiliki potensi
penggerak perilaku ke arah yang tidak sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan
Allah. Oleh karenanya, agar dapat mengaktualisasikan dan memperoleh
pemenuhan kebutuhan dasarnya, manusia perlu memahami mana yang haq dan
mana yang bathil. Sehingga dalam upaya pemenuhan kebutuhannya manusia tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Allah dan tuntunan Rasul-
Nya.

b. Nafs lawwamah
Tingkatan kedua dalam klasifikasi nafs manusia dapat menyadari kesalahan
dan dosanya, ketika telah mengenal petunjuk Ilahi, pada nafs ini telah terjadi yang
disebut dengan kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada momen tersebut
manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan yang disebut dengan jiwa kemanusiaan
(nafs lawwamah).
Berbeda dengan nafs ammarah yang cenderung agresif mendorong untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan dasar, dan menggerakan manusia untuk
melakukan hal-hal yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam,
maka nafs lawwamah telah memiliki sikap rasional untuk berbuat baik. Dalam
teori psikologi analisa, tingkatan ini sama seperti ego yang mana ego berupaya
menjembatani antara id dan superego. Id yang mendorong motivasi insting/naluri
dasar manusia dan superego yang mendorong motivasi nilai-nilai dan nurani
dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebelum diaktualisasikan melalui sikap,
emosi, perasaan dan perilaku.
Nafs lawwamah dalam diri manusia akan bereaksi apabila manusia akan dan
atau telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah. Seperti
ilustrasi bila kita akan melakukan sesuatu yang kita mengetahui bahwa perbuatan
tersebut melanggar hukum, disadari atau tidak di dalam hati dan pikiran kita
terdapat perasaan dan pikiran untuk mengurungkan niat tersebut. Pada saat
perbuatan melanggar hukum tersebut ternyata dilakukan, maka setelah itu akan
muncul rasa penyesalan dan rasa takut akan konsekuensi yang diakibatkan karena
perbuatan tersebut.

c. Nafs muthmainnah

Tingkat ketiga nafs manusia adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam
kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah).
Jiwa (merujuk pada seseorang) yang telah sanggup untuk menerima cahaya
kebenaran Ilahi. Juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kesenangan dunia
dan tidak bisa dipengaruhi oleh yang demikian. Nafs ini membuat pemiliknya merasa
berpuas diri dalam pengabdiannya kepada Allah.
Nafs ini seperti tingkatan superego dalam teori psikoanalisa. Nafs ini merupakan
fitrah manusia yang berisikan nilai-nilai kebenaran berdasarkan tuntunan Allah.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata hati nurani, nafs ini merupakan hati
nurani yang cenderung membawa motivasi kebenaran pada manusia.

5. Jiwa/Ruh
Membahas tentang ruh sangatlah rumit, ini dikarenakan ada beberapa istilah yang
digunakan dan satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Beberapa istilah tersebut
adalah “ruh”, “akal”, “nafsu”, dan “hati”. Istilah akal, nafsu, dan hati telah dibahas
pada halaman sebelumnya. Namun bukan berarti bahwa pengertian akal, nafsu, dan
hati ternyata merujuk pada kata ruh itu sendiri.
Asumsi ini didasarkan pada kata ruh dapat merujuk pada arti sebagai pembawa
wahyu dan juga sebagai dzat yang membuat manusia hidup (tubuh manusia berfungsi
secara utuh dalam psikis dan fisiknya).

C. Konsep Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam


Islam sebagai suatu agama merupakah rahmat bagi semesta, salah satu tujuan
ajaran-ajarannya sendiri adalah untuk membahagiakan dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, dan tentu saja dalam ajaran-ajaranya memiliki konsep kesehatan
mental. Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah bertujuan untuk
mendidik dan memperbaiki dan membersihkan serta mensucikan jiwa dan akhlak
manusia.
Kajian Islam terkait pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam
pengembangan pribadi pada umumnya, ini berarti kondisi mental yang sehat merupakan
hasil atau outcome dari kondisi pribadi yang matang secara emosional, intelektual dan
sosial terutama kematangan dalam aspek ketuhanan dan ketakwaan terhadap Allah Yang
Maha Esa.
Konsep kesehatan Mental dalam Al-Quran menurut Hasan Langgulung (1986)
disimpulkan sebagai hasil dari “akhlak yang mulia”. Oleh karena itu, konsep kesehatan
mental dalam perspektif Islam dapat didefinisikan sebagai keadaan jiwa yang
menyebabkan seseorang merasa rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melakukan akhlak
yang mulia.
Yahya Jaya (1994) menjelaskan bahwa kesehatan mental dalam perspektif Islam
identik dengan ibadah atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia untuk
mengabdi kepada Allah dan agama-Nya agar mendapatkan Al-nafs Al-muthmainnah
(jiwa yang tenang dan bahagia) dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, ada di antara ulama Islam yang menyebutkan bahwa
kesehatan mental itu erat kaitannya dengan keimanan dan ketakwaan.
Berdasarkan pengertian di atas, kesehatan mental disebut sebagai kebahagiaan dan
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Kondisi berserah diri kepada Allah
memberikan seseorang ketenangan dalam jiwa, hati, dan pikirannya. Dengan berserah
diri kepada Allah, hidupnya telah sempurna. Kesempurnaan tersebut berarti tidak adanya
cacat dalam aspek spiritualnya dalam aspek rasio, akal, hati, nafs, dan ruhnya.
Kesempurnaan tersebutlah yang menjadi faktor penting bagi kesehatan mental seseorang.
Seseorang yang telah meraih kesehatan mental seperti yang telah disebutkan pada
ayat sebelumnya, memiliki pikiran, sikap, emosi, perasaan, dan perilaku yang cenderung
kepada kebajikan dan menolak kemungkaran. Apabila dikaitkan dengan nafs, seseorang
yang mentalnya sehat berada pada nafs muthmainnah dimana ia akan mengedepankan
nilai-nilai keislaman dan hati nurani. Sehingga pada akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa
mereka termasuk ke dalam orang-orang yang beruntung. Beruntunglah mereka karena
meraih kabahagiaan melalui iman dan taqwa yang dimilikinya.
Pengertian lain terkait konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam dikemukan
oleh Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir (2003). Bahwa kita dapat meninjau dari dua pola
untuk mendefinisikan kesehatan mental:
1. Pola negatif/salaby, bahwa definisi kesehatan mental adalah kondisi terjaganya mental
seseorang dari neurosis dan psikosis. Pola ini memandang bawa kesehatan mental
menurut Islam adalah kondisi dimana seseorang terbebas dari penyakit-penyakit hati
(iri, dengki, suudzon, hasud, fitnah dan lainnya) dan jiwa (skizofrenia, bipolar,
psikopat dan lainnya). Pola ini dapat diartikan juga bahwa kesehatan mental adalah
suatu kondisi terwujudnya fungsi-fungsi psikologis seseorang dengan baik dan wajar
sebagai individu.
2. Pola positif/ijabiy, bahwa definisi kesehatan mental adalah kondisi kemampuan
individu dalam melakukan penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan
sosial. Penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan
tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang
dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari
dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal (Schneiders
dalam Syamsu Yusuf, 2009).
Menambahkan uraian di atas, kesehatan mental dalam Islam juga berarti
teraktualisasikannya potensi-potensi dalam diri seseorang secara baik dan benar.
Mengaktualisasikan diri merupakan salah satu kebutuhan manusia, sama dengan yang
dikemukakan oleh Maslow dalam teori piramida kebutuhan manusia. Aktulisasi diri
mendorong tercapainya kepuasan seseorang dari pengakuan dan afeksi orang lain
terhadap eksistensi dirinya sebagai bagian dari lingkungannya.
Uraian tersebut mengindikasikan bahwa kesehatan mental dalam perspektif Islam
dapat ditinjau dari dua aspek yang saling berkaitan yaitu dalam konsep ibadah yang
bersifat vertikal dan ibadah yang bersifat horisontal. Kesehatan mental dari ibadah yang
bersifat vertikal merupakan kebahagiaan dan ketenangan jiwa sebagai hasil dari
penyerahan diri dalam iman dan taqwa kepada Allah. Sementara itu kesehatan mental
dari ibadah yang bersifat horisontal sebagai hasil dari pengamalan iman dan taqwa
terhadap sesama mahkluk Allah.
Kesehatan mental bagi seorang muslim juga berarti kebahagiaan (sa’adah).
Kebahagiaan dalam kehidupan menurut perspektif Islam juga dapat berarti keselamatan,
kejayaan, dan kemakmuran (Langgulung, 1986). Di dalam al-Quran terdapat dua konteks
kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Kesehatan mental dalam konteks
kebahagiaan dunia sendiri dinyatakan dengan kondisi terhindar dari hal yang
mencelakakan hidup seperti penganiyayaan, penindasan, ketidakadilan, bencana, dan
penyakit (fisik-mental).
Sementara itu, kesehatan mental dalam konteks kebahagiaan akhirat berarti bahwa
seseorang terhindar dari siksa neraka serta memperoleh kasih sayang dari Allah berupa
surga dan segala kenikmatannya. Sebagaimana dimuat dalam QS 19:72 berikut ini:
ٰ
٧٢ ‫وا َّونَ َذ ُر ٱلظَّلِ ِمينَ فِيهَا ِجثِ ٗيّا‬
ْ َ‫ثُ َّم نُنَجِّي ٱلَّ ِذينَ ٱتَّق‬

“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan


orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut”.

Kebahagiaan di akhirat merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan seseorang selama


menjalani kehidupan. Seseorang harus menyerahkanan diri secara total kepada Allah dan
mengabdikan diri dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Berserah diri dalam
konsep Islam bukanlah sebuah pengekangan Tuhan kepada hamba-Nya, melainkan
sebuah kondisi kebebasan sejati seorang hamba dari segala yang menghalanginya dengan
Tuhannya.
Kemudian daripada itu seseorang harus menjalani iman dan taqwa yang dimilikinya
melalui ibadah-ibadah yang bersifat vertikal dan horisontal sesuai dengan tuntunan al-
Quran dan sunnah. Khusus untuk ibadah yang bersifat horisontal, perlu dicatat bahwa
sebagai manusia perlu menjaga hubungan sosial yang baik dan harmonis terhadap
sesama manusia, khususnya sesama saudara muslim.

D. Pentingnya Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam


Hubungan antara mental dan agama dalam konteks kesehatan mental terletak pada
sikap penyerahan diri seorang terhadap kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang
demikian akan memberikan sikap optimis pada seseorang sehingga akan muncul
perasaan positif seperti bahagia, rasa senang, puas, merasa sukses, merasa dicintai atau
rasa aman.
1. Syarat utama dalam beribadah
Kesehatan mental merupakan hal yang penting dalam perspektif Islam. Karena
melalui kesehatan mental, seseorang akan mampu mengaktualisasikan kebutuhannya
dalam beragama melalui berbagai ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah. Seperti
telah diuraikan pada halaman sebelumnya, bahwa akal merupakan salah satu unsur
mental dalam konteks dan perspektif agama Islam.
Dalam Islam, penting bagi seseorang untuk memiliki akal yang sehat. Karena
dengan sehatnya akal, seseorang memiliki kewajiban untuk melaksanakan ibadah-
ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Kewajiban dalam konsep Islam bukan
merupakan sebuah paksaan untuk melaksanakan sesuatu, namun merupakan petunjuk
bagi seseorang untuk menyempurnakan iman dan ketaqwaannya kepada Allah.
Ibadah sangat sejalan dengan akal sehat. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa akan merupakan salah satu unsur dalam konsep mental menurut
perspektif Islam. Orang yang memfungsikan akalnya dengan baik, ia akan tunduk
kepada Allah dan mau beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, di dalam Al Qur`an,
Allah sering mempertanyakan akal orang-orang kafir yang enggan mengabdikan diri
mereka kepada Penciptanya. Allah kerap bertanya, “Tidakkah engkau berfikir?
Tidakkah kalian berakal? Tidakkah mereka mengambil pelajaran?”.
Agama Islam memandang bahwa kesehatan mental dalam hal ini akal sebagai
fondasi untuk menjalankan semua ajaran-ajaran dalam Islam. Sebagai contoh, salah
satu syarat utama shalat bagi umat muslim adalah “berakal”. Begitu juga dengan
syarat untuk berhaji, berpuasa dan ibadah-ibadah lainnya. Syarat utama tersebut
mengindikasikan bahwa mereka yang “tidak berakal” dalam kata lain “gila” tidak
diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan juga untuk melaksanakan kewajiban
ibadah-ibadah yang lainnya. Dengan kata lain, berakal merupakan syarat sahnya suatu
ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim.
Mengapa dalam ibadah-ibadah tersebut diwajibkan untuk memiliki kesehatan
mental berupa akal yang sehat. Karena dengan sehatnya akal memberikan seseorang
kesadaran secara penuh akan hal-hal yang dilakukannya. Kesadaran secara harfiah,
kesadaran sama artinya dengan mawas diri (awareness). Kesadaran juga bisa diartikan
sebagai kondisi dimana seseorang memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal
maupun stimulus eksternal.
Berbeda dengan penjelasan diatas, orang yang tidak berakal atau gila tidak
menyadari segala tindakan atau perilakunya. Seseorang yang tidak berakal atau
kehilangan akalnya tidak memiliki kendali terhadap pikiran dan perilakunya. Kondisi
yang demikian menyebabkan orang tidak berakal tidak mampu membedakan hal yang
baik dan tidak baik, sehat dan tidak sehat. Kita mungkin pernah menyaksikan orang
gila memungut makanan dari tempat sampah dan memakannya, orang gila terlihat
sering berbicara sendiri, tidak merawat penampilan diri dan lain sebagainya.
Uraian ini menjadi penting karena dalam menjalankan kewajiban-kewajiban
sebagai muslim, perlu ditekankan bahwa akal/mental/jiwa seseorang haruslah dalam
keadaan sehat. Karena dengan demikian, seseorang dapat secara sah dan sadar dalam
melaksanakan ibadahnya dalam rangka mencapai kebahagiaan (sa’adah) di dunia dan
akhirat.

2. Agar mendapat perhitungan pahala dari Allah


Pahala merupakan dambaan bagi setiap muslim. Istilah pahala sendiri dapat
diartikan sebagai ganjaran baik dari Allah atas setiap perbuatan baik yang dilakukan
oleh manusia selama menjalani kehidupannya di dunia. Dalam arti lain pahala adalah
balasan yang diterima seseorang jika ia melakukan perbuatan baik, dengan catatan
orang yang melakukan perbuatan baik tersebut adalah seorang muslim. Setiap ibadah
dalam konteks Islam merupakan perbuatan yang baik seperti shalat, puasa, haji,
qurban, zakat, bersedakah, hingga tersenyum kepada orang lain sekalipun. Allah akan
mengganjarnya dengan ganjaran yang sesuai dengan perbuatannya. Bahkan satu
kebaikan yang dilakukannya bisa dibalas oleh Allah menjadi berlipat ganda
pahalanya.
Uraian ini melanjutkan poin pertama terkait pentingnya kesehatan mental bagi
seseorang dalam perspektif Islam. Selain sehat secara akal sebagai syarat utama dalam
beribadah, juga untuk menyadari secara penuh dalam berserah diri kepada Allah.
Kesehatan mental bagi seorang muslim sangat penting, karena dengan sehatnya
mental seseorang, pada saat ia melaksanakan ibadahnya kepada Allah, maka
ibadahnya tersebut akan mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Allah. Berbeda
dengan orang yang tidak berakal/gila, dosa dan bahkan pahala orang tersebut tidak
dihitung oleh Allah. Hal tersebut merujuk pada hadist Nabi Muhammad SAW sebagai
berikut:

Poin kedua dalam penjelasan Rasul tersebut memberikan gambaran bahwa orang
yang tidak berakal/gila tidak mendapatkan perhitungan baik pahala maupun dosa atas
setiap perbuatannya. Hal ini tentu sangat disayangkan bagi seorang muslim. Karena
dengan pahala tersebut Allah menjanjikan berbagai kenikmatan yang tidak dapat
ditandingi dengan kenikmatan apapun, yaitu surga dan menatap wajah Allah kelak di
akhirat. Oleh karena itu penting sekali untuk seorang muslim menjaga dan atau
memelihara kesehatan mentalnya agar tetap dalam kesadaran untuk menjalankan
setiap ibadah-ibadah yang tentu akan bernilai pahala apabila dilaksanakan dengan
ihklas.

3. Membedakan yang halal dan haram


Kesehatan mental juga menjadi penting bagi seorang muslim ketika ia harus bisa
membedakan hal yang benar dan yang munkar, yang hak dan yang bathil. Mengapa
demikian, mari kita bertafakur terkait kondisi kehidupan yang sedang kita jalani saat
ini.
Kehidupan yang kita jalani saat ini merupakan kehidupan akhir zaman. Kondisi
dunia saat ini sedang berada dalam kekacauan (chaos). Salah satu tanda mental kita
terganggu menurut perspektif Islam adalah apabila kita pernah berpikir atau bahkan
mengatakan “betapa waktu berlalu dengan sangat cepat, rasanya 24 jam dalam satu
hari kurang cukup untuk semua aktivitasku”, maka kita harus segera memperbanyak
istighfar dan mulai memperbaiki mental kita.
Mengapa demikian, berikut adalah penjelasannya:

l‫ ۡو ْا‬l‫اص‬ ِّ ‫اص ۡو ْا بِ ۡٱل َح‬


َ ‫ق َوتَ َو‬ َّ ٰ ‫وا ٱل‬
ِ ‫صلِ ٰ َح‬
َ ‫ت َوت ََو‬ ْ ُ‫وا َو َع ِمل‬
ْ ُ‫ ِإاَّل ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬٢ ‫ ِإ َّن ٱِإۡل ن ٰ َسنَ لَفِي ُخ ۡس ٍر‬١ ‫ص ِر‬ۡ ‫َو ۡٱل َع‬
٣ ‫بِٱلص َّۡب ِر‬

“1. Demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Surat al-Asr berisi penjelasan dari Allah bahwa manusia benar-benar mengalami
kerugian yang sangat besar apabila tidak beriman dan mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang baik dalam jalan yang lurus. Kaitannya dengan uraian sebelum ayat
tersebut adalah bagaimana kita memaknai kehidupan yang telah kita jalani selama ini.
Kesehatan mental dalam perspektif Islam menjadi penting karena pada akhir
zaman ini segala macam tipu daya iblis dan pasukannya sangat kental terasa dalam
semua aspek kehidupan manusia. Hal ini sudah dinyatakan oleh Allah dalam Quran
bahwa iblis bersumpah untuk menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dengan
berbagai cara, upaya dan dari berbagai arah. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim
untuk mewaspadai setiap jebakan iblis dan setan agar tidak terjerumus ke dalam
kemungkaran di dunia dan kehinaan di akhirat kelak.
Sebagai gambaran, dewasa ini kita dapat temui berbagai praktik riba yang
sedemikian rupa dikemas sehingga kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan
termasuk dalam kategori tersebut. Kemudian daripada itu, kita tidak tahu apakah
rezeki yang kita dapatkan dari hasil keringat kita sudah termasuk ke dalam kategori
thayyib (baik) apakah tidak.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar misalnya, kita berupaya menjemput
nafkah dengan bekerja demi terpenuhinya sandang, pangan, papan bagi diri dan
orang-orang tercinta di kehidupan kita. Hal tersebut merupakan sebuah kewajiban kita
(terutama laki-laki) dan bernilai kemuliaan di sisi Allah. Allah pun telah menjamin
bahwa manusia dipersilakan untuk menjemput rezeki yang ada di darat, laut, perut
bumi, dan di udara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Artinya Allah telah
memberikan kita kesempatan seluas-luasnya untuk menjemput rezeki.
Allah telah memberi peringatan sekaligus petunjuk kepada manusia untuk
memakan apa saja yang ada di bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-
buahan, serta daging hewan dengan dua kriteria yaitu halal dan baik. Halal adalah
makanan dan minuman serta segala jenis rezeki bukan termasuk yang dilarang Allah
(babi, minuman keras, bangkai, darah) dan atau bukan didapatkan melalui cara yang
dilarang oleh Allah, seperti pencurian, riba, perampokan dan sejenisnya. Jelaslah
bahwa kita sebagai manusia diharuskan untuk menjemput rezeki dengan cara-cara
yang halal, diantaranya tidak merugikan orang lain seperti riba. Disadari atau tidak,
rezeki yang tidak halal yang dikonsumsi atau digunakan oleh kita dapat
mengakibatkan hal-hal yang merugikan bagi kesehatan mental manusia.
Kerugian bagi kesehatan mental sebagai akibat dari menggunakan atau
mengkonsumsi sesuatu yang haram diantaranya adalah berkurangnya iman dalam diri
seseorang, menghalangi terkabulnya doa-doa, menyebabkan ibadah/amalan shaleh
tidak diterima oleh Allah, menghilangkan akal/pikiran, merusak hati, merusak
keturunan, dan membawa seseorang ke neraka kelak.
Dalam konteks kesehatan, rezeki yang kita makan dan minum adalah merupakan
sesuatu yang baik, lezat, sehat, menentramkan (thayyib), makanan yang bergizi
seimbang, tidak berlebihan. Artinya kita harus memperhatikan sisi manfaat makanan
dan minuman bagi tubuh dan pikiran kita selain sisi kelezatannya. Serta kita tidak
dianjurkan untuk berlebihan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman karena
dapat berpengaruh tidak baik bagi kesehatan fisik yang juga terkait dengan kesehatan
mental.
Pada intinya terkait dengan uraian ini adalah seorang muslim harus bisa
membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan kemampuan kita
membedakan diantara keduanya, kita juga harus memilih yang halal dan thayyib agar
mental kita tidak tercemar dan tidak mengalami kerugian-kerugian seperti yang telah
disebutkan diatas. Jadi, jangan heran kalau doa-doa kita belum dikabulkan, selain
karena ikhtiar yang belum maksimal, mungkin saja di dalam tubuh kita mengalir
darah yang bercampur dengan sesuatu yang haram. Wallahu alam.

4. Membedakan yang hak dan yang batil


Mental yang sehat bagi seorang muslim digunakan salah satunya adalah untuk
membedakan antara yang hak dan yang batil. Hak itu diartikan sebagai kebenaran,
sedangkan batil diartikan sebagai sesuatu yang salah dan atau tidak berdasar. Haq
(hak/kebenaran) dan Bathil (kebatilan) adalah dua realitas objektif yang senantiasa
bertentangan satu sama lain. Keduanya seperti konsep keseimbangan dalam Yin dan
Yang, kebajikan dan kejahatan, kutub positif dan kutub negatif pada magnet. Kita
dapat menyimpulkan bahwa "Al-Haq" (kebenaran sejati) sebagai kebenaran yang
datang dari Allah, sementara sesuatu yang tidak bersumber dari Allah adalah Bathil
(kebatilan) dan Dholal (kesesatan).
Diantara hak dan yang batil terdapat perbedaan yang sangat kentara, namun
dengan tipu daya setan dan iblis perbedaan tersebut dapat dimanipulasi sedemikian
rupa sehingga apabila kita tidak mengoptimalkan fungsi-fungsi mental kita (rasio,
akal, nafs dan hati), kita tidak dapat membedakannya dengan benar dan dapat saja
terjerumus dalam kebatilan.

5. Memahami tanda-tanda kebesaran Allah


Allah memberikan petunjuk bagi manusia untuk merenungkan, memikirkan dan
mencermati ayat-ayat Allah yang tertulis, tersirat dan tersebar di alam semesta dan
aktivitas kehidupan kita. Allah memerintahkan kita untuk demikian agar keimanan
dan ketaqwaan yang kita miliki tidak semata hanya ada dalam ucapan, bukan hasil
doktrin atau keturunan (Islam KTP) semata. Namun Allah menginginkan tujuan yang
lebih mulia daripada itu, yaitu kita manusia meyakini kebesaran dan kesaan Allah
melalui proses yang rasional dan masuk akal, meresap hingga ke hati dan ruh karena
rasa berserah diri tersebut timbul dari kesadaran diri seutuhnya. Sehingga tidak ada
lagi alasan bagi kita untuk mengingkari eksistensi Allah dan pentingnya berserah diri
pada-Nya dalam hidup dan kehidupan yang diberikan kepada kita sebagai anugerah.

ِ َ‫فَبَِأيِّ َءآاَل ِء َربِّ ُك َما تُ َك ِّذب‬


١٨ ‫ان‬

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. (QS 55:18).

Tidak hanya satu fungsi-fungsi mental/psikologis yang perlu dioptimalkan dalam


memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Kesemuanya harus saling mendukung dalam
fungsinya. Karena apabila tidak, dapat menyebabkan seseorang menjadi berada dalam
kesesatan yang nyata. Hal ini seperti para pendapat ilmuwan yang beraliran anti-
kreasionisme. Para ilmuwan tersebut merupakan para akademisi dengan tingkatan
intelektual yang tinggi dan reputasi yang tidak diragukan dalam komunitas sains.Teori
dan penemuan mereka merupakan sumbangan besar terhadap perkembangan sains dan
teknologi di era modern. Mereka telah menyaksikan berbagai tanda-tanda kebesaran
Allah dalam eksperimen dan temuan-temuannya. Namun mereka enggan untuk
beriman dan menerima kenyataan bahwa semua itu adalah hasil dari ciptaan Allah.
Mereka hanya menggunakan rasio dan akal dalam proses memahami tanda-tanda
kebesaran Allah dan tidak menggunakan hatinya, sehingga setelah menemukan dan
menyaksikan tanda-tanda tersebut tidak membuat mereka percaya dan yakin akan
eksistensi Allah dan andil-Nya terhadap segala yang ada.
Mental yang sehat merupakan potensi bagi seorang muslim untuk dapat
mengoptimalkan fungsi-fungsi psikologisnya untuk memahami tanda-tanda kebesaran
Allah di sekitarnya dan alam semesta ini. Melalui rasio dan akal, kita dapat mencari
tahu kebenaran pada tiap peristiwa dan bahkan mahkluk ciptaan Allah. Kemurnian
hati juga menjadi faktor penting untuk dapat menyimpulkan bahwa fenomena-
fenomena tersebut merupakan hasil kreasi dan ilmu pengetahuan Yang Maha Tinggi
pemilik alam semesta ini, agar kebenaran tersebut meresap seutuhnya dalam jiwa
manusia. Oleh karena demikian, penting sekali bagi seorang muslim untuk menjaga
kesehatan mentalnya.

E. Ciri Mental yang Sehat dalam Perspektif Islam


Perspektif Islam dalam kaitannya dengan ciri atau karakteristik mental yang sehat
banyak dikemukakan oleh para cendikiawan juga para akademisi. Berikut ini akan
diuraikan beberapa diantaranya. Konsep insan kamil menggambarkan bahwa orang yang
sehat mental diantaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Motif utama setiap perbuatannya adalah Ibadah pada Allah
2. Senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam menghadapi segala permasalahan
3. Beramal berdasarkan ilmu
4. Ketika seseorang mampu menghindarkan diri dari gangguan mental dan penyakit
5. Ketika seseorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, dan Allah
6. Ketika seseorang mampu mengendalikan diri terhadap permasalahan kehidupan
7. Ketika dalam diri seeorang terwujud keserasian dan keharmonisan antara fungsi-
fungsi kejiwaannya

Pendapat lain dikemukakan oleh Said Hawa yang mengidentifikasi ciri kesehatan
mental berdasarkan aspek penyucian jiwa sebagai berikut:
1. Sempurna dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah.
2. Tercerminnya melaksanakan habl in Allah dan habl min al-nas.
3. Memiliki hati/qalb yang teguh dalam meyakini keesaan Allah.
4. Tidak terkontaminasi oleh penyakit hati, terutama yang bertentangan dengan keesaan
Allah.
5. Jiwa menjadi suci, hatinya menjadi suci, dan pandangannya menjadi jernih.
6. Seluruh tubuhnya senantiasa berbuat sesuai dengan perintah Allah.

Tokoh lain yaitu Ahmad Farid juga mengemukakan bahwa ciri-ciri mental yang
sehat sebagai berikut:
1. Berorientasi pada akhirat
2. senantiasa dizikir
3. Selalu rindu untuk beribadah kepada Allah
4. Tujuan hidupnya hanya Kepada Allah
5. Kyusuk dalam menegakkan shalat
6. Menghargai waktu dan tidak serakah akan harta
7. Tidak berputus asa dan tidak malas untuk berzikir
8. Mengutamakan kualitas perbuatan

Sementara itu ciri mental yang sehat juga dirumuskan oleh Zakiah Daradjat (2001)
sebagai berikut:
1. Terbebas dari gangguan dan penyakit jiwa
2. Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan
3. Memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan hubungan
yang bermanfaat dan menyenangkan antar individu.
4. Memiliki kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimiliknya serta
memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain.
5. Beriman dan bertakwa kepada Allah serta senantisasa berupaya merealisasikan
tercipta kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Terakhir adalah pendapat dari Musfir (2005) yang menerangkan bahwa
karakteristik/ciri mental yang sehat dalam perspektif Islam diantaranya adalah:
1. Sisi spiritualitas, yaitu adanya keimanan kepada Allah, konsisten dalam melaksanakan
ibadah kepada-Nya, menerima takdir dan ketetapan yang telah digariskan oleh-Nya,
selalu merasakan kedekatan kepada Allah, memenuhi segala kebutuhan hidupnya
dengan cara yang halal dan selalu berdzikir kepada Allah.
2. Sisi sosial: cinta kepada orang tua, anak dan pasangan hidup, suka membantu orang-
orang yang membutuhkan amanah, berani mengatakan kebenaran, menjauhi segala
hal yang dapat menyakiti manusia dan mampu bertanggung jawab sosial.
3. Sisi biologis, yaitu terhindarnya tubuh dari segala bentuk penyakit dan juga cacat fisik
dengan adanya pemahaman akan selalu menjaga kesehatan tubuh dengan tidak
membebaninya dengan suatu tugas yang tidak sesuai dengan kemampuannya.

F. Penyakit/gangguan Mental dalam Perspektif Islam


Dalam perspektif Islam, penyakit/gangguan mental diidentikkan dengan sifat buruk
atau perilaku yang tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti sifat tamak, dengki, iri hati,
arogan, emosional dan seterusnya. Untuk memahami apa saja yang termasuk
penyakit/gangguan mental dalam perspektif Islam, berikut penjelasannya:
1. Hasad
Penyakit/gangguan mental hasad berarti kedengkian/iri. Kedengkian ini dapat
diartikan pula perasaan kecemburuan pada orang lain yang ia anggap memiliki
sesuatu yang tidak ia miliki. Seseorang dengan kondisi ini akan merasa tersiksa, benci
dan gelisah ketika mengetahui orang lain memiliki atau mendapatkan nikmat seperi
ilmu, harta dan kekaguman dari orang lain melebihi dari apa yang dimilikinya. Lebih
berbahaya lagi adalah ketika ia ingin agar semua kelebihan nikmat itu hilang dari
orang yang memilikinya tersebut. Karena dengan perasaan dan pikiran demikian, bisa
saja seseorang akan melakukan apa saja untuk dapat menghilangkan kenikmatan yang
dimaksud dari orang yang memilikinya. Tidak jarang media massa memberitakan
terjadinya pembunuhan, perampokan, pengkhianatan bahkan aksi santet dilakukan
karena motif kecemburuan terhadap harta dan jabatan.
Orang yang memiliki hasad dalam hatinya pada umumnya disebabkan beberapa
kemungkinan seperti permusuhan, persaingan dan kebencian. Permusuhan dan benci
ini terjadi bisa karena adanya rasa sakit hati baik yang disengaja maupun tidak
disengaja. Pada suatu kondisi tertentu, misalnya apabila terjadi sesuatu yang buruk
terjadi dan mengakibatkan kenikmatan orang yang lain (yang dianggapnya sebagai
musuh, saingan) hilang, orang yang memiliki hasad dalam hatinya beranggapan
bahwa peristiwa tersebut merupakan balasan dari Allah.

2. Serakah/tamak
Dalam bahasa Arab, serakah disebut dengan istilah tamak yang berarti sikap tidak
pernah merasa puas dengan sesuatu yang dimilikinya. Menurut istilah, tamak adalah
cinta kepada dunia (terutama harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum
haram dan halal. Karena perasaan tidak pernah puasnya tersebut, segala cara pun
dapat dilakukan seseorang untuk mendapatkan keinginannya. Serakah merupakan
salah satu penyakit hati, mereka yang terjangkit penyakit ini selalu menginginkan
lebih banyak, tidak peduli cara yang ditempuh itu benar atau tidak.
Penyakit hati ini membuat seseorang tidak pandai bersyukur atas semua yang
telah dimilikinya, terlebih semua itu adalah anugerah dari Allah. Sifat tamak dapat
menimbulkan rasa dengki, hasud dan permusuhan. Selain itu, tamak akan
membutakan akal dan hati seseorang sehingga dapat menghalalkan segala cara dalam
meraih tujuannya. Sifat tamak juga menyebabkan seseorang menjadi bakhil, karena
takut hartanya atau kepunyaannya berkurang. Terlebih yang paling berbahaya adalah
sifat tamak menjauhkan seseorang dari Allah.
3. Was-was
Para cendikiawan muslim mendefinisikan bahwa was-was sebagai
penyakit/gangguan mental yang membuat penderitanya tidak bisa bersikap dengan
tegas atas keadaan dirinya, sehingga jiwanya merasa kosong, hampa dan terombang-
ambing. Kondisi yang dialami penderitanya adalah keraguan, kecemasan, rasa
bingung dan kekhawatiran yang berlebih terhadap sesuatu hal. Penyakit ini disebut
ansietas (gangguan kecemasan) dalam kajian psikologi.
Dalam segala hal, penyakit was-was harus diwaspadai karena was-was berasal
dari setan. Selain rasa cemas, gelisah dan kerisauan penderitanya, was-was juga
menyebabkan penderitanya sering berangan-angan dan melamun akan khayalan yang
indah dalam intensitas dan frekuensi waktu yang lama. Hal ini menjadikan seseorang
lebih mudah terlepas dari kenyataan dan apabila seseorang terlepas dari kenyataan,
bisa saja orang tersebut “kesurupan” atau yang lebih parah lagi menjadi gila.

4. Riya’
Suatu amalan akan diterima di sisi Allah apabila dilakukan secara ikhlas oleh
seorang muslim. Tanpa keihklasan, amalan seseorang akan sia-sia. Setan memiliki
berbagai macam cara untuk menyesatkan manusia dari keikhlasan. Salah satunya
adala melalui perilaku riya’ yang disadari atau tidak telah dilakukan oleh seorang
muslim.
Riya’ adalah perilaku mengharapkan pujian atau perhatian dari orang lain atas
amalan/perbuatan baiknya. Salah satu bentuk riya’ yaitu sum’ah, yang artinya
melakukan suatu amalan agar orang lain mengetahui apa yang kita lakukan, sehinga ia
mendapatkan peujian atau ketenaran. Riya’ termasuk ke dalam perbuatan dosa dan
merupakan salah satu sifat dari orang-orang munafik.
Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampur dengan riya’? Hukum
masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan
maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun
jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika
amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah
sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan
dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak
berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang
bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri riya’,
maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak.
Berdasarkan uraian tersebut, penting sekali memiliki mental yang sehat (hati yang
ikhlas) agar setiap ibadah yang dilakukan seorang muslim betul-betul berdasarkan
kesadaran untuk mengharapkan ridha Allah. Sikap ikhlas tersebut dapat dimiliki oleh
seseorang apabila ia mampu memfungsikan secara selaras antara rasio, akal, hati dan
nafsnya.

5. Bicara Berlebih-lebihan
Berbicara dengan kalimat yang berlebihan termasuk perilaku akan yang
membawa seseorang kepada kerusakan. Kalimat berlebih-lebihan dalam percakapan
dapat membuat orang lain salah menafsirkan maksud dari ucapan seseorang,
mengacaukan topik yang sedang dibahas dan mengacaukan pikiran. Termasuk dalam
hal ini adalah suka mengulangi kalimat, memutar-mutar bahasa, menyamarkan kata-
kata, sehingga sulit dimengerti. Ucapan yang melebihi keperluan, termasuk berlebihan
dan tercela meskipun bukan perbuatan dosa.
Setan selalu megintai manusia, mereka menginginkan agar manusia menimbulkan
permusuhan dan kebencian pada sesamanya, serta menjadikan persengketaan sebagai
perangkap untuk menimbulkan kebinasaan diantara manusia. Oleh karena itu, kita
sebagai muslim dianjurkan agar menjaga lisan, seperti terirat dalam hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Dnya dan Abu Na’im, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang menjaga lidahnya, maka Allah akan menutupi aibnya.” (HR. Ibnu Abi
Dnya dan Abu Na’im) Karena bicara dapat menunjukan ekspresi dan kepribadian
seseorang, maka sebaiknya seorang muslim itu harus mengetahui situasi, kondisi, dan
kebutuhan dalam berbicara sehingga ucapan yang dikeluarkan efektif dan efisien dan
tidak menimbulkan kesalahan pemahaman dari orang lain. Mental yang sehat dalam
hal ini akal/pikiran diperlukan agar seseorang mampu menyaring hal-hal yang perlu
diutarakan dan hal-hal yang tidak perlu diutarakan. Mental sederhana juga diperlukan
untuk menjaga seseorang agar mampu menunjukkan perilaku yang tidak berlebihan.

6. Melaknat orang
Melaknat orang memiliki dua makna, makna pertama yaitu mencela atau
mencerca, sementara itu makna keduanya adalah mengusir serta menjauhkan dari
rahmat Allah. Sebaiknya kita berhati-hati dalam masalah laknat. Bahkan kepada orang
kafir sekalipun orang kafir yang masih hidup tidak boleh ditujukan laknat kepadanya
secara personal. Hukumnya haram melaknat orang kafir secara personal yang masih
hidup. Karena boleh jadi Allah merahmati dia, sehingga dia mendapatkan hidayah
untuk masuk Islam.
Banyak bahaya yang dapat ditimbulkan karena melaknat. Diantara bahaya
tersebut adalah tukang laknat tidak dimasukkan dalam golongan para syuhada dan
tidak termasuk orang-orang yang memberi syafa’at disisi Allah untuk memintakan
ampun bagi seseorang, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang suka melaknat tidak
akan menjadi pemberi syafa’at dan tidak pula syuhada pada hari kiamat” (HR.
Muslim).
Dalam kehidupan sehari-hari, melaknat seseorang dapat berupa mendoakan hal-
hal yang tidak baik kepada orang lain. Kita juga sering mendengar orang-orang dalam
pergaulan sehari-hari mengucapkan kata-kata umpatan dan makian menggunakan
nama binatang apabila sedang merasa terkejut atau marah kepada orang lain, bahkan
kepada mahkluk yang tidak berdosa, misalnya kepada binatang atau kepada benda
mati. Hal demikian merupakan perilaku yang tercela.
Seorang muslim hendaknya tidak berkata kecuali yang baik. Perkataannya adalah
suatu kejujuran, di samping sebagai perbaikan diantara manusia, amar ma’ruf nahi
munkar, doa, dan ketundukan kepada Allah.

7. Berbohong
Berbohong menjadi sebuah kata yang begitu erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Sulit sekali menghindari berbohong membuat bohong menjadi sebuah
penyakit/gangguan mental yang lintas zaman karena telah ada sejak dahulu kala.
Berbohong termasuk ke dalam salah satu perbuatan dosa besar dan sifat tercela dan
harus dijauhi oleh seorang muslim. Selain itu, berbohong akan menjatuhkan
pandangan, prinsip dan harga diri seseorang dalam pandangan orang lain. Bohong
adalah sesuatu yang tanpa dasar dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Berbohong pada hakikatnya adalah menginformasikan sesuatu kepada orang lain
tidak sesuai dengan kebenaran atau kenyataan yang terjadi. Sehingga orang lain yang
mendapat informasi meyakini sesuatu yang tidak sesuai. Berbohong merupakan salah
satu tanda perilaku dari orang yang tidak beriman.
Orang yang melakukan kebohongan, terlebih sering melakukan kebohongan
disebut oleh Allah sebagai pendusta. Kata ini merujuk pada sifat seseorang yang
memang identik atau melekat pada citra dan imejnya bahwa seseorang tersebut selalu
melakukan kebohongan.
Berbohong hukumnya haram bagi seorang muslim, walaupun demikian
disebutkan bahwa terdapat jenis kebohongan yang dimaklumi atau diperbolehkan
yaitu dalam keadaan darurat seperti: berbohong dalam keadaan perang sebagai bagian
dalam strategi, berbohong demi kebaikan, dan berbohong kepada istri/suami demi
menyenangkan pasangannya.
Selain pada kondisi dan situasi tersebut, berbohong dapat menyebabkan
seseorang melakukan perbuatan keji seperti adu domba, hingga menyebar fitnah
orang. Inilah yang disebut bahaya lidah dalam konteks ajaran agama islam, sehingga
setiap muslim harus menjaga lisannya agar selalu berkata yang baik dan benar.
Kebohongan merupakan sebuah dosa yang sangat disukai oleh iblis dan setan,
karena apabila seseorang terlibat menyampaikan kebohongan maka akan terus diikuti
oleh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebenaran dari kebohongan
yang sebelumnya. Dari segi psikis pelakunya, seseorang yang berkecenderungan
berbohong akan merasa gelisah, khawatir, dan cemas karena merasa takut akan
terbongkarnya kebohongan yang dia lakukan. Selain itu, seseorang yang
berkecenderungan dengan kebohongan akan merasa bersalah ke mana pun dan di
mana pun ia berada. Sehingga apabila ia tidak mengakui kebohongannya, akan
dilakukan kebohongan lainnya bahkan hal-hal keji lainnya agar kebohongannya tidak
terbongkar.

8. Janji palsu
Ayat al-Quran dan hadits Nabi SAW telah menunjukkan akan kewajiban
memenuhi janji dan sumpah setia. Serta menjelaskan bahaya dan buruknya bagi orang
yang melanggar atau tidak menepatinya. Hal ini merupakan bagian yang
diperintahkan oleh Allah, yaitu menepati janji dan ikatan serta memelihara sumpah
yang telah dikuatkan terlebih dengan menggunakan nama Allah.
Allah melarang seorang muslim untuk melanggar janji dan ikatan untuk menipu,
bukan sumpah-sumpah yang biasa diucapkan untuk bertekad melakukan sesuatu atau
tidak melakukannya serta anjuran untuk melanggar sumpah yang menghambat
kebaikan dengan membayar kifarat.
Seseorang yang tidak menepati janji dan sumpa setia mengarah kepada kekafiran.
Sebagaimana terjadi pada Bani Israil dan kaum lainnya. Ketika mereka melanggar
janji dan sumpah setia dengan Tuhannya. Mereka meninggalkan janji Allah berupa
keimanan, mengikuti para Rasul-Nya.
Janji palsu merupakan suatu amal buruk yang dilakukan oleh lidah, berawal dari
maksiat nifak dalam jiwa. Seseorang dapat membuat janji, namun setan dapat
membisikkan tipu dayanya supaya manusia tidak menepati janji tersebut. Oleh karena
itu, seseorang harus berhati-hati dalam membuat janji. Melanggar janji merupakan
perbuatan dosa apabila janji tersbut dibuat dengan maksud untuk dilanggar.
Seseorang yang sering mengumbar janji tanpa ditepati adalah salah satu
perwujudan perilaku berbohong. Allah mengutuk keras dan melaknat serta
menimpakan bencana kepada orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah
maupun berjanji terhadap sesama manusia. Ingkar janji juga merupakan indikator
orang yang munafik, karena ciri-ciri orang munafik adalah suka berdusta, suka ingkar
janji dan mengkhianati amanat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “Tanda-
tanda orang munafik ada tiga: jika bicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan
jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Muslim).

9. Mengadu domba
Mengadu domba atau namimah merupakan sebuah perbuatan yang sangat tercela
karena tujuan daripada adu domba itu ialah menyebarluaskan fitnah dan kebohongan
agar terjadi perselisihan diantara beberapa pihak baik individu maupun kelompok.
Dengan kata lain, adu domba merupakan suatu rekayasa/manipulasi yang sengaja
dilakukan untuk merusak, memfitnah, atau menghancurkan orang lain yang menjdi
pemicu terjadinya kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan. Hal ini
bertentangan dengan syari’at Islam, dimana tujuan bersosialisasi adalah membangun
individu dan masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa.
Perilaku ini dilakukan oleh seseorang biasanya karena dorongan atau motif untuk
mendapatkan keungtungan dari perselisihan yang terjadi dari beberapa pihak yang
diadu domba olehnya.
Oleh karena itu, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk selalu
melakukan klarifikasi terhadap suatu kabar atau isu yang muncul agar kita tidak
terjebak di dalam tipu daya fitnah dan adu domba. Fenomena adu domba yang marak
terjadi dewasa ini adalah hoax. Hoax adalah berita atau informasi yang tidak berdasar,
bohong (tidak sesuai dengan kenyataan) yang dimaksudkan untuk memunculkan
reaksi publik terhadap suatu isu. Biasanya hoax dilakukan oleh pihak yang memiliki
kepentingan terhadap suatu bidang tertentu dalam tatanan kehidupan masyarakat
seperti, ekonomi, agama, ras, dan kekuasaan.
Melalui mental yang sehat, seseorang tidak akan berbuat demikian karena
perilaku ini merupakan perbuatan tercela dan dilaknat oleh Allah. Pada segi yang lain,
seseorang harus menjaga akal dan pikiran serta hati agar tidak mudah terpengaruh
oleh isu-isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
10. Marah berlebihan
Marah berlebihan merupakan penyakit atau gangguan mental yang
menyebabkan banyak kejahatan dan amal yang buruk. Sebenarnya marah tidak
dilarang, marah merupakan sebuah hakikat pada sifat yang tertanam dalam nafs
manusia. Marah sendiri merupakan sikap untuk mengeluarkan emosi dan tekanan
berlebih yang terjadi pada mental manusia, terutama pada hati. Emosi yang
dikeluarkan tersebut dalam rangka agar kondisi mental tetap stabil dan tidak terjadi
gangguan lebih lanjut. Oleh karena itu, sebetulnya tidak dianjurkan seseorang untuk
memendam amarah/rasa marah.
Memendam marah dapat mengakibatkan goncangan pada mental seseorang,
sehingga emosi dan perilakunya dapat berubah menjadi maladaptif. Oleh karena itu,
marah harus dilakukan atau diaktualisasikan oleh seseorang agar emosi dan
pikirannya menjadi stabil kembali dan dapat berperilaku normal kembali.
Namun, marah harus diaktualisasikan secara tepat dan tidak berlebihan. Apabila
berlebihan, maka hal tersebut sudah bercampur dengan bisikan setan. Karena melalui
luapan amarah yang berlebihan, seseorang dapat melakukan hal-hal yang tidak
bersesuaian dengan norma-norma dan akidah Islam. Bersamaan dengan itu, sifat
marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan ke dalam hati untuk merusak
agama dan diri manusia, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata
sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat
buruk bagi diri dan orang lain.
11. Cinta dunia
Cinta dunia dikatakan oleh para ulama bukan sebagai dosa besar, namun sifat
ini dapat menjadi pangkal dari dosa-dosa besar dan kecil lainnya yang merugikan
kehidupan dunia dan akhirat manusia. Cinta dunia berarti kecintaan seseorang akan
kelezatan dan kenikmatan duniawi secara berlebihan, melebihi dari kebutuhan untuk
memuaskan tubuh dan jiwanya dapatlah itu disebut cinta dunia.
Cinta dunia tidak hanya dalam konteks terhadap kesenangan pada materi
semata, bisa juga pada obsesi terhadap popularitas. Menurut pandangan agama Islam,
hubbud dunya atau cinta dunia termasuk dalam katagori perbuatan-perbuatan tercela
dan keji. Karena timbulnya sifat hubbud dunya tidak lain karena ketamakan dan
kerakusan dan juga adanya perasaan ketakutan dari kemiskinan. Ironis memang
bahwa pada zaman sekarang, disadari atau kita kita menilai segala sesuatu
berdasarkan materi. Fenomena ini karena paham sekulerisme yang berkembang
melalui globalisasi.
Sekulerisme dan hedonisme dalam gaya hidup modern menggoda manusia untuk
terjerumus dalam pola hidup konsumerisme dan cinta akan keindahan dunia. Pola
hidup yang demikian merupakan salah satu tipu daya setan agar manusia melupakan
hakikat dunia bahwa kehidupan ini adalah kehidupan yang akan berakhir dalam waktu
yang singkat. Selain itu, cinta dunia dapat mengakibatkan perasaan takut miskin pada
penderitanya. Penyakit takut miskin akan mendorong orang sanggup menipu dalam
perdagangan, korupsi, menyelewengkan amanat, merampok, mencuri, berbuat riba,
dan lain-lain. Kemudian daripada itu, mereka menjadi tamak akan
kemegahan/kemewahan dunia. Mereka mengambil sebanyak-banyaknya dari
kelezatan dunia itu, seakan-akan tidak ingat bahwa ada akhir dari kehidupan.

12. Bakhil

Bakhil atau kikir/pelit adalah sifat tercela yang ditimbulkan dari rasa egois yang
berlebihan. Orang yang demikian mempunyai hati yang keras, tidak mempunyai rasa
belas kasihan dan tidak berperikemanusiaan. Penyakit atau gangguan mental ini dapat
menanamkan rasa dengki dan iri hati dalam jiwa orang-orang fakir miskin terhadap
orang-orang kaya yang bakhil. Sebagai akibatnya, orang-orang miskin tersebut akan
mencari-cari kesempatan yang tepat untuk melampiaskan rasa kedengkiannya
terhadap orang-orang kaya yang bakhil, dan berusaha mencari jalan untuk merebut
harta kekayaan mereka.
Agama Islam menjelaskan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang adalah
titipan yang diberikan oleh Allah dan terdapat hak orang lain di dalamnya. Seseorang
dengan sikap bhakil cenderung tidak mau memberikan sebagian harta tersebut kepada
yang berhak, ini berarti seseorang telah melakukan penimbunan terhadap harta
tersebut dan mencegah fungsi yang sebenarnya yaitu agar beredar di masyarakat.
Kondisi demikian akan menimbulkan dampak negatif terhadap pemilik harta itu
sendiri.
Sangat berbahayanya penyakit mental ini sehingga Rasulullah mengatakan bahwa
tidak ada penyakit yang lebih parah dari penyakit bhakil. Seorang yang benar-benar
beriman, akan menjauhi sifat tercela ini. Tugas utama bagi seorang yang beriman
adalah bersimpati dan berempati dengan mengeluarkan sebagian hartanya kepada
orang-orang yang berhak, dimulai dari lingkungan keluarga dan orang-orang
disekitarnya.

13. Bangga
Rasa bangga atas keberhasilan, kesuksesan atau prestasi yang dicapai selalu
melekat pada diri setiap manusia. Tetapi jika rasa bangga tersebut berlebihan dapat
membuat orang lupa diri, sehingga melupakan peran dan bantuan pihak lain. Rasa
bangga seperti inilah yang dinamakan i’jâb bin nafs (bangga terhadap diri sendiri)
atau yang lebih dikenal dengan sebutan ujub.
Ajib atau orang yang ujub biasanya berawal dari kesibukan dirinya
memperhatikan “kelebihan” yang ada pada dirinya. Mulai dari status sosial (raden,
kyai atau pejabat), kondisi fisik (wajah cantik atau tampang ganteng), status
pekerjaan, kekayaan, hingga ketekunan ibadahnya pun dibanggakannya. Dalam kajian
psikologi, penyakit mental ini disebut dengan istilah narsisme.
Sudah menjadi fenomena dewasa ini terutama di kalangan remaja untuk
menggunggah atau minimal menyimpan swafoto (selfie) pada media sosial online atau
perangkat gadgetnya. Fenomena tren perilaku ini berawal dari rasa kekaguman akan
dirinya sendiri. Penelitian menyebutkan bahwa makin banyak swafoto yang disimpan
atau diunggah ke media sosial. Maka makin tinggi tingkat narsisme atau obsesinya
terhadap dirinya sendiri.
Orang yang berlebihan membanggakan dirinya, lebih dekat kepada obsesi untuk
terus meningkatkan dan mempertahankan kondisinya tersebut. Sebagai dampak
negatifnya, seseorang tersebut dapat mengalami penyakit hati yang lain seperti iri,
dengki, kecemasan dan hasud kepada orang lain yang dirasa melebihi dirinya.
14. Sombong
Sombong atau kesombongan merupakan salah satu dosa besar. Kesombongan
muncul dari rasa marah yang berlebihan. Terkait dengan sifat sombong ini terdapat
dua bentuk, yang pertama adalah sifat merasa bahawa dirinya melebihi orang lain dan
tidak bisa ditandingi, yang kedua adalah sifat yang merendahkan orang lain bahwa
orang lain tidak sebanding karena derajatnya yang rendah tersebut.
Rasa sombong muncul dalam pikiran dan hati disaat seseorang mengira ia
memiliki keunggulan (bangga). Seseorang yang meyakini persepsi demikian akan
mengalami perasaan senang, gembira, dan bahagia yang palsu. Karena perasaan
demikian merupakan euphoria sesaat yang dibisikkan oleh setan.
Terdapat tiga kategori kesombongan menurut para ulama, yang pertama sombong
kepada Allah, orang yang sombong kepada Allah diindikasikan dengan salah satu
perilaku atau sikap seseorang yang tidak mau atau malas berdoa kepada Allah.
Kategori kedua adalah sombong kepada Nabi Allah, diindikasikan denga sikap atau
perilaku tidak mau/merasa malas mengikuti sunnahnya. Kategori ketiga adalah sifat
sombong yang sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari berawal dari rasa bangga
(narsis) atas keutamaan dirinya sendiri.

G. Memelihara Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam


Terdapat berbagai pendapat para ahli dalam merumuskan kiat atau upaya yang dapat
ditempuh untuk memelihara, menjaga, meningkatkan kesehatan mental seseorang. Salah
satunya dikemukakan oleh Abdul Mujib (2002), bahwa untuk memelihara kesehatan
mental dapat ditempuh melalui metode Iman, Islam, dan Ihsan. Metode ini berdasarkan
filosofi karakter dalam ajar Islam. Dalam praktiknya untuk memelihara kesehatan
mental, ketiga sifat/karakter tersebut secara bertahap diadaptasi oleh seseorang, langkah
demi langkah sesuai dengan sifat-sifat terpuji yang terdapat tingkatan Iman, Islam dan
Ihsan. Selain untuk memelihara kesehatan mental, juga untuk menumbuhkan ahklak-
ahklak yang terpuji dalam diri dan perilaku seseorang sesuai tuntunan Quran dan
Sunnah.
1. Metode Iman
Di dalam metode iman, seseorang akan dianjurkan untuk mengadaptasi nilai-nilai
yang terdapat dalam rukun iman. Seseorang belajar memaknai nama-nama Allah,
sifat-sifat-Nya, sifat-sifat malaikat, sifat-sifat Rasul Allah, Sifat dan nilai dalam al-
Quran, hari kiamat dan takdir Allah untuk diterapkan ke dalam kepribadian dan
perilaku seseorang. Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan
kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman akan merasakan ketenangan dalam
jiwanya dan sikapnya penuh dengan keyakinan dalam menghadapi problem hidup.
Melalui iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat
memohon apabila ditimpa masalah atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan
perilaku fisik maupun psikis.

2. Metode Islam

Tidak jauh berbeda dengan metode Iman, metode ini merupakan adaptasi dan
pengadopsian nilai-nilai dan pola karakter dalam rukun Islam (Syhadat, Shalat, Puasa,
Zakat, dan Haji). Islam sendiri secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu
penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan
keselamatan (al-salamah). Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian
muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci
dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi dan situasi (lingkungan) secara
benar dan baik.

3. Metode Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku
yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku
yang ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia adalah relatif karena adanya
norma-norma laing selain norma agama, maka kriteria ihsan yang sesungguhnya
ditentukan oleh Allah melalui al-Quran dan Sunnah.
Metode ini pada dasarnya dipraktikkan oleh seseorang dengan mengidentifikasi
berbagai sifat, sikap dan perilaku yang baik di dalam ajaran-ajaran al-Quran dan
Sunnah. Setelah diidentifikasi, sifat, sikap, dan perilaku tersebut diniatkan secara
ihklas untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain metode di atas, terdapat pula pendapat ulama dan akademisi lain yang telah
dirangkum dalam rangka identifikasi upaya untuk memelihara kesehatan mental dalam
perspektif Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menjaga kesucian
Menjaga kesucian dan kebersihan dari semua aspek mulai dari tubuh, makanan,
pakaian, tempat tinggal maupun lingkungan sekitar. Dengan tubuh, makanan, pakaian,
tempat tinggal maupun lingkungan sekitar yang bersih dan suci akan menimbulkan
kenyamanan batin bagi seseorang untuk beraktivitas dan hidup dalam lingkungan
tersebut sehingga terhindar dari berbagai potensi penyakit fisik dan mental.
2. Menjaga makanan
Allah menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal, baik
dan halal itu baik secara dzatnya maupun secara mendapatkannya. Penjelasan ini
terkait dengan uraian pada halaman sebelumnya terkait halal dan haram. Seseorang
yang memakan mamakan yang tidak baik terutama haram, akan menimbulkan banyak
kerugian bagi diri dan keturunannya secara fisik dan mental akibat dari mengalirnya
dzat yang haram/tidak baik dalam tubuhnya.

3. Shalat tepat waktu


Memperbanyak melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah seperti
mendirikan shalat 5 waktu secara tepat waktu. Seseorang yang melaksanakan
perintah-perintah Allah dengan baik akan merasakan ketenangan dan ketentraman
karena terlindung dari ancaman neraka dan murka Allah. Sehingga jiwanya pun
merasakan tenang, tentram dan damai. Shalat hanya sebagai salah satu contoh, masih
banyak ibadah lain yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim.

4. Perbanyak dzikir
Memperbanyak mengingat Allah, baik dalam kondisi senang maupun duka, siang
juga malam, dalam situasi sepi maupun ramai. Dengan bahasa lain berdzkir tidak
dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya dizikir dapat dilakukan kapan pun dan
dimanapun. Berdzikir boleh dengan lapadz apa saja sepanjang itu masih dalam
kategori kalimat thayyibah/baik untuk Allah.
Melalui dzikir, apabila dilakukan dengan benar dan khusyuk. Akan menimbulkan
getaran dalam hati, bahkan dapat menggetarkan tubuh. Hal ini yang disebut dengan
getaran batin/jiwa, karena saat menyebutkan kalimat dzikir tersebut jiwa kita
merasakan sentuhan Ilahi yang menentramkan jiwa dan jasmani.

5. Berpikir positif
Berpikir positif merupakan sikap yang mewujudkan keadaan jiwa dengan
berprasangka baik/berpikiran positif. Baik berprasangka baik kepada Allah maupun
sesama manusia. Hal ini ditekankan oleh Rasulullah SAW agar kita umatnya selalu
berprasangka baik kepada siapapun. Melalui prasangka yang baik, pikiran dan hati
kita akan terhindar dan terjaga dari fitnah, dari hoax yang dewasa ini marak beredar.
Sehingga menimbulkan ketenangan dalam diri kita untuk menanggapi isu atau
peristiwa yang belum tentu benar dan jelas.
Kita perlu dan harus berbaik sangka karena ternyata orang lain tidak seburuk
yang kita kira, mungkin kita yang lebih buruk dari mereka. Berbaik sangka dapat
mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan. Berbaik sangka dapat menyelamatkan
hati dan hidup kita. Berbaik sangka bisa membuat hidup kita lebih tentram.

6. Bersyukur
Bersyukur dapat diartikan mengakui adanya kenikmatan dan menampakannya
serta memuji Allah (atas) pemberian nikmat yang telah diberikan. Sedangkan makna
syukur secara syar’i adalah menggunakan nikmat Allah untuk dibelanjakan/digunakan
dalam hal yang diridhai Allah. Melalui bersyukur, seseorang akan terhindar dari sifat
dan sikap iri, benci, dengki, hasud, dan gangguan mental lainnya yang dapat merusak
serta mengurangi pahala atau kualitas ibadahnya.

7. Bersabar
Sabar merupakan sifat yang terpuji dalam agama, yaitu sabar dalam
melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Demikian juga sabar menghadapi
hal yang tidak disenangi di dunia ini atau saat sedang mendapatkan musibah/kesulitan
yang berkepanjangan. Sabar adalah sifat terpuji yang selalu membuat seseorang
memperoleh petunjuk untuk mendapatkan kebenaran.
Sabar juga dapat diartikan untuk menahan diri, terutama pada saat merasakan
emosi amarah memuncak, seseorang dianjurkan untuk bersabar agar tidak terbawa
oleh emosinya sehingga dapat melakukan hal-hal yang diluar dugaan (dalam arti
negatif). Inti dari bersabar adalah kita menahan diri dalam setiap keadaan terutama
saat berada dalam kesulitan agar kita selalu mendapatkan petunjuk, sehingga tidak
gegabah menentukan sikap dan langkah ke dalam perbuatan-perbuatan yang salah di
mata Allah.

8. Menjaga hati
Menjaga hati berarti menjaga kesucian diri dari segala tuduhan, fitnah dan
perbuatan keji seperti hasud, riya, sombong, thulul amal, bakhil ,ujub dan lain
sebagainya. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara hati (qalb) dengan
membaca al-Qruan beserta memaknainya, mendirikan shalat malam, berkumpul
dengan orang-orang shaleh (orang baik), memperbanyak puasa, dan memperpanjang
dzikir malam.
Latihan
Diskusikan dengan teman sekelas terkait dengan konsep kesehatan mental dan upaya
memelihara kesehatan mental dalam perspektif Islam.

Rangkuman
Agama Islam memiliki pandangan yang sejalan dengan perkembangan psikologi dan
psikiatri barat terkait konsep kesehatan mental. Kesehatan mental dalam perspektif Islam
dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Kedua sumber tersebut dimanfaatkan oleh para cendikiawan muslim untuk menggali lebih
dalam konsep kesehatan mental dan kedudukannya bagi manusia.
Tujuan utama yang menjadi titik equilibrium atau keseimbangan dalam kesehatan mental
menurut perspektif Islam adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang didapatkan di dunia dan di
akhirat. Mental yang sehat sangat penting kedudukannya bagi seorang muslim karena terkait
dengan syarat utama untuk beribadah.
Semua penyakit mental yang dialami oleh seseorang merupakan akibat dari lengahnya
iman seseorang, sehingga setan dapat membisikkan berbagai tipu daya dan muslihatnya untuk
mengalihkan manusia dari perbuatan yang baik (adaptif) ke arah yang menyimpang
(maladaptif). Oleh karena itu, sebagai muslim senantiasa dianjurkan menjaga kesehatan
mental dengan berpegang teguh pada iman dan melaksanakan ketaqwaan kepada Allah secara
sungguh-sungguh.

Tes formatif
Pilihan ganda
1. Dalam konteks agama Islam dikenal beberapa istilah yang merujuk pada pengertian
mental dalam kajian psikologi kecuali :
a. Rasio
b. Akal
c. Hati
d. Rasa
2. Salah satu benang merah kesehatan mental dengan agama Islam adalah bahwa keduanya
merupakan panduan dan tuntunan dalam meraih kebahagian, kebahagian yang dimaksud
dalam kesehatan mental adalah:
a. Kondisi kesejahteraan fungsi-fungsi psikologis dan berpenyesuaian diri secara wajar
serta berkontribusi terhadap lingkungannya
b. Perubahan perubahan yang terus dari kehidupan manusia dan akan menjadi bahan
refleksi manusia pada masa depan
c. Manusia mendapat identitas yang melekat dan hakiki terkait dengan dirinya
d. Karya yang membuat kagum dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia
3. Istilah nafs yang dimaksud dalam sub bab ini berasal dari bahasa Arab yang dipakai dalam
al-Qur’an. Secara etimologi dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus)
adalah :
a. Ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).
b. Haq dan bathil
c. Manusia
d. Organisme
4. Ada beberapa kalsifikasi nafs kecuali :
a. Nafs ammarah
b. Nafs lawwamah
c. Nafs muthmainnah
d. Nafs qalbu
5. Kebahagiaan dalam kehidupan menurut perspektif Islam juga dapat berarti sebagai
berikut :
a. Ketidakadilan, bencana, dan penyakit
b. Kasih sayang dari Allah
c. Keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran
d. Terhindar dari siksa neraka
6. Kebahagiaan di akhirat merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan seseorang selama
menjalani kehidupan. Seseorang harus menyerahkanan diri secara total kepada Allah dan
mengabdikan diri dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Berserah diri dalam
konsep Islam, berarti :
a. Sebuah pengekangan Tuhan kepada hamba-Nya
b. Sebuah kondisi kebebasan sejati seorang hamba dari segala yang menghalanginya
dengan Tuhannya.
c. Menjaga hubungan sosial yang baik dan harmonis terhadap sesama manusia
d. Sikap penyerahan diri seorang terhadap kekuasaan
7. Dalam ibadah-ibadah diwajibkan untuk memiliki kesehatan mental berupa akal yang
sehat, seperti tercantum dibawah ini:
a. Orang yang tidak berakal atau gila tidak menyadari segala tindakan atau perilakunya.
b. Orang tidak berakal tidak mampu membedakan hal yang baik dan tidak baik, sehat
dan tidak sehat.
c. Balasan yang diterima seseorang jika ia melakukan perbuatan baik
d. Dengan sehatnya akal memberikan seseorang kesadaran secara penuh akan hal-hal
yang dilakukannya.
8. Pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam kecuali :
a. Sebagai syarat utama dalam beribadah
b. Agar mendapat perhitungan pahala dari Allah
c. Mampu membedakan halal dan haram
d. Memperlihatkan kemakmuran pada manusia
9. Ciri mental yang sehat seperti dibawah ini :
a. Bersifat egoisme
b. Berperilaku hasad
c. Beramal berdasarkan ilmu
d. Riya
10. Gangguan kecemasan merupakan sebagai salah satu bentuk gangguan kesehatan pada
mental. Dalam al-Quran, gangguan kecemasan disebut dengan istilah...
a. Bakhil
b. Was-was
c. Hasad
d. Ajib

Anda mungkin juga menyukai