Deskripsi Singkat
Pada bab ini, akan dibahas konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam. Selain itu,
dalam bab ini dibahas juga konsep mental dalam perspektif Islam. Mahasiswa juga perlu
mempelajari pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam, berabagai ciri mental yang
sehat, bentuk dan gejala gangguan mental serta upaya memelihara kesehatan mental dalam
perspektif Islam.
Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu menjelaskan kembali
konsep kesehatan mental dalam perspektif Islam. Mahasiswa juga diharapkan mampu
mengidentifikasi dan menguraikan pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam,
gejala gangguan mental dan penanganannya dalam perspektif Islam.
A. Latar Belakang
Mengapa dalam buku ajar ini dimasukkan bahasan dalam perspektif agama Islam?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa aspek agama dalam
perumusan kesehatan mental harus dimasukkan, karena agama memiliki peranan yang
vital dan kehidupan manusia baik disadari ataupun tidak. Agama merupakan salah satu
kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang mendambakan
ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan tidak akan terpenuhi kecuali dengan agama. WHO (1984) telah
menambahkan satu aspek yaitu aspek spiritual (agama) untuk menyempurnakan batas
kesehatan. Dengan masuknya aspek agama dalam kesehatan mental, maka pengertiannya
terasa luas karena sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Karena itu,
perspektif agama harus dimasukkan ke dalam pembahasan terkait kesehatan mental.
Agama merupakan fitrah manusia. Berbagai pendapat mengenai kefitrian agama
ini dapat dikaji berdasarkan beberapa pemikiran para ahli. Misalnya Einstein yang
menyatakan bahwa sifat sosial manusialah yang pada gilirannya merupakan salah satu
faktor pendorong terwujudnya agama. Manusia menyaksikan maut merenggut ayahnya,
ibunya, kerabatnya serta para pemimpin besar. Direnggutnya mereka satu persatu,
sehingga manusia merasa kesepian dikala dunia telah kosong. Jadi harapan akan adanya
sesuatu yang dapat memberi petunjuk dan pengarahan, harapan menjadi pencinta dan
dicintai, keinginan bersandar pada orang lain dan terlepas dari perasaan putus asa, semua
itu membentuk dasar kejiwaan dalam diri sendiri untuk menerima keimanan kepada
Tuhan.
Uraian di atas merupakan intisari dari pendapat yang dikemukakan oleh William
James. Dia adalah seorang psikolog dan filsuf yang mempelopori aliran/mazhab
pragmatisme dalam dunia psikolgi. William menentang pandangan teori sebelumnya
terkait kesadaran yang menyatakan bahwa kesadaran tidak mewujudkan kesatuan
lahiriah. William justru menyatakan bahwa kesadaran adalah suatu fungsi yang
bersumber dari pengalaman murni. Pengalaman murni adalah perubahan-perubahan yang
terus dari kehidupan manusia dan akan menjadi bahan refleksi manusia pada masa
depan.
Manusia pada fitrahnya membutuhkan pegangan, panduan dan tuntunan sehingga
manusia memiliki tujuan dalam menjalani kehidupan dan eksistensi/keberadaannya di
dunia. Melalui agama, manusia mendapatkan identitas yang melekat dan hakiki terkait
siapa dirinya, apa yang menjadi tujuannya dalam hidup, hendak ke mana ia pergi, dan
apa yang terjadi setelah ia mati. Fitrah inilah yang membuat manusia dengan segala
potensi yang diberikan oleh Allah berupa akal dan hati untuk mampu melakukan banyak
hal yang hebat dalam catatan sejarah baik yang bersifat duniawi maupun hal yang terkait
dengan keagamaan.
Kesehatan mental sendiri tidak terlepas dari eksistensi agama. Konsep, prinsip, dan
pengetahuan yang terdapat dalam ilmu kesehatan mental sendiri memiliki benang merah
terutama dengan ajaran-ajaran agama Islam. Salah satu benang merah kesehatan mental
dengan agama Islam adalah bahwa keduanya merupakan panduan dan tuntunan dalam
meraih kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud dalam kesehatan mental adalah
kondisi kesejahteraan fungsi-fungsi psikologis dan berpenyesuaian diri secara wajar serta
berkontribusi terhadap lingkungannya. Sama halnya dengan ajaran-ajaran agama Islam
yang merupakan rahmatan lil alamin, di mana Islam sendiri menjadi sumber
kebahagiaan, keteraturan, ketentraman bagi manusia dalam konteks individu dan sosial.
Serta menjadi sumber kebahagiaan akan kehidupan kekal di alam akhirat kelak. Konsep
tersebut sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat Fushilat ayat 44 berikut ini:
ْ ُۗ ّي قُ ۡل هُ َو لِلَّ ِذينَ َءا َمنٞ ِ ّي َو َع َربٞ صلَ ۡت َءا ٰيَتُ ۖ ٓۥهُ َء ۬ا ۡع َج ِم
َونllُۚ َوٱلَّ ِذينَ اَل ي ُۡؤ ِمنٞوا ه ُٗدى َو ِشفَٓاء ِّ ُوا لَ ۡواَل ف ْ َُولَ ۡو َج َع ۡل ٰنَهُ قُ ۡر َءانًا َأ ۡع َج ِم ٗيّا لَّقَال
ٓ
٤٤ ان بَ ِع ٖيد ِ ۢ ك يُنَاد َۡونَ ِمن َّم َك َ ر َوه َُو َعلَ ۡي ِهمۡ َع ًم ۚى ُأوْ ٰلَِئٞ فِ ٓي َءا َذانِ ِهمۡ َو ۡق
"Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-
orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu
kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang
jauh".
Ayat tersebut merupakan jaminan Allah bahwa Islam, Al-Quran, dan Nabi
Muhammad sebagai berkah bagi alam semesta, terlebih bagi manusia yang beriman
kepada Allah. Melalui pengamalan ajaran-ajaran agama Islam, seseorang dikatakan telah
mewujudkan konsep diri (self identity) yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah dan
sebagai khalifatullah (Khalifah Allah) di muka bumi (Syamsu Yusuf, 2009). Sebagai
hamba Allah, manusia diberikan tugas suci oleh Allah yaitu beribadah sebagaimana
sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang dijelaskan Allah dalam Q.S. Adhariyat
ayat 56:
Allah menciptakan manusia untuk beribadah dengan segala yang dimilikinya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya manusia untuk senantiasa mengabdi kepada Allah melalui
berbagai macam ibadah baik yang bersifat personal seperti shalat, puasa, dzikir. Serta
ibadah yang bersifat sosial seeprti menyambung dan menjaga silaturahim, sedekah,
zakat, infaq, menimba ilmu dan masih banyak lagi. Allah telah menyempurnakan Islam
bagi Nabi Muhammad dan seluruh pengikutnya. Agama Islam berisikan petunjuk bukan
hanya bagaimana seseorang menjalani berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam
mencapai/mewujudkan, menjaga, serta untuk meningkatkan kesehatan mentalnya.
B. Konsep Mental dalam Perspektif Islam
Seperti telah kita bahasa pada bab awal dalam buku ini, bahwa mental dapat
diartikan sebagai fungsi-fungsi psikologis manusia yang berkaitan dengan pikiran,
emosi, dan sikap, serta perasaan. Dalam konteks agama Islam juga dikenal beberapa
istilah yang merujuk pada pengertian mental dalam kajian psikologi, hanya saja istilah
yang digunakan berdasarkan bahasa Arab yang terdapat di dalam Al quran, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Rasio
Rasio pada dasarnya tidak sama dengan akal (Langgulung, 1986). Rasio sendiri
merujuk pada segala sesuatu yang hanya dapat ditangkap atau diperoleh dari
pengalaman indera manusia. Rasio juga sering dimaksudkan dengan istilah “masuk
akal”. Namun hakikatnya rasio berarti sesuatu yang berkaitan dengan proses
pengamatan manusia terhadap alam di sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri.
Untuk memudahkan pengertian rasio yang dimaksud dalam konteks ini, harap
cermati Q:S 16:44 berikut ini:
2. Akal/Al Aqlu
Dalam teori taksonomi Bloom, akal erat dengan istilah domain kognitif. Istilah
kognitif sendiri merujuk pada kemampuan otak untuk memproses pengenalan konsep,
mengingat yang telah menjadi pengalaman sebelumnya, memahami sesuatu,
melakukan aplikasi atau penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Akal atau yang
dikenal dengan istilah pikiran dalam teori psikologi terdiri atas unsur rasio dan
hati/rasa. Seseorang yang telah merasakan tanda-tanda kebesaran Allah akan meyakini
dan mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan semesta alam, berbeda dengan mereka
yang telah mengetahui tanda kebesaran Allah namun tidak mengakui Allah sebagai
Tuhan mereka, mereka itulah yang disebut dalam Al Quran sebagai orang-orang yang
buta, sesat, tuli, dan lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena hati seseorang tersebut
tidak berfungsi.
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ar-ruh)
yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh oleh
filosofi Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya
bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah
al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah)
yang berpusat di kepala. Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal
sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal
adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda
yang ditangkap oleh panca indera.
Akal manusia telah membuahkan banyak sekali karya yang membuat kagum dan
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Terlebih lagi dalam era globalisasi ini,
pesat dan signifikan kita dapat identifikasi berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Kita bisa
menyaksikan teknologi nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik, yang memang
walaupun berbahaya namun memberikan manfaat yang sangat besar apabila
dipergunakan secara benar. Kita pun bisa menyaksikan teknologi Global Position
System (GPS) yang berkembang dengan pesat sehingga memudahkan kita untuk
mencari tempat apapun, kapanpun, dimanapun selama masih tersambung dengan
internet. Kita juga dapat menyaksikan bagaimana internet membuat jarak dan waktu
seakan bukan kendala berarti untuk melakukan berbagai aktivitas yang menunjang
kehidupan kita.
Semua fenomena tersebut merupakan hasil karya akal manusia yang
diberdayakan secara benar oleh manusia. Akal sebagai potensi yang digunakan
dengan benar akan menghasilkan karya yang sesuai dengan tujuan penciptaan
manusia yaitu bernilai ibadah.
Sebagai manusia, akal hendaknya digunakan Sebagai alat yang strategis untuk
mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran Islam. Melalui akal,
manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengkaji dan mengimplementasikan ajaran-
ajaran Islam secara rasional terlepas dari segala bentuk kemusyrikan dan
kejahiliyahan.
Selanjutnya akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia
untuk mengetahui maksud yang terkandung di dalam pengertian Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Banyak terdapat ayat-ayat Quran dan hadist Nabi yang dalam
penafsirannya memerlukan pemikiran mendalam agar tidak menimbulkan pemaknaan
yang salah atau keliru. Disinilah akal difungsikan sebagai transalator untuk memaknai
dengan benar maksud dari kalimat-kalimat Allah dan Nabi-Nya. Penafsiran dan
pemaknaan yang salah dapat mengakibatkan akidah seseorang melenceng dari jalan
yang lurus.
Oleh karena demikian, akal sangat penting untuk menemukan kebenaran dari
kalimat Allah dan sunnah Rasul-Nya sehingga tidak terjadi pemaknaan yang keliru.
Terlebih daripadanya, sebagai umat muslim diwajibkan memanjatkan doa agar tetap
berada dalam jalan yang lurus, sebagaimana yang selalu dilafalkan dalam shalat yaitu
pada bacaan Al-Fatihah ayat 6 dan 7:
3. Hati/Al Qalbu
Qalb adalah bentuk mashdar dari akar qalaba - yaqlibu – qalban yang berarti
membalikkan atau memalingkan. Dalam banyak kamus bahasa Arab-Indonesia, kata
qalb, bila berdiri sendiri, diartikan dengan hati, jantung dan akal. Bila dalam bentuk
ungkapan, seperti qalb al-jaisy berarti tentara yang berada di tengah. Ungkapan qalb
kulli syai’ berarti hati, pati, pusat atau sari sesuatu. Hati, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah organ tubuh yang berwarna kemerah-merahan
terletak di bagian kanan atas rongga perut yang fungsinya untuk mengambil makanan
dan untuk mengambil empedu. Secara non fisik, kamus tersebut mengartikan hati
sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian.
Pengertian non fisik yang abstrak menurut KBBI ini sama sekali tidak mengesankan
arti “tempat” sebagai sinonim kata hati dalam arti fisik yang konkret.
Hati dalam bahasa Inggris disebut dengan heart, merupakan bagian tubuh
manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh.
Bagian tubuh ini pula yang membawa kehidupan seperti sabda Rasul berikut ini:
اآل ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله اآل وهى القلب.
Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan
hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Berangkat dari uraian pengertian di atas,
jantung disebut qalb karena memang secara fisik keadaannya terus-menerus berdetak
dan bolak-balik memompa darah. kemudian bagaimana dengan istilah hati yang sedih
atau sakit hati. Berikutnya dijelaskan bahwa hati adalah sesuatu yang menentukan
seluruh kepribadian kita.
Pada hakikatnya sifat hati senantiasa tidak tetap atau tidak statis. Hal ini
merupakan kecenderungan manusia, jadi tidak heran apabila kita sering merasakan
ragu-ragu atau bersikap plin-plan dalam kondisi dan situasi tertentu. Gambaran yang
diberikan melalui ayat diatas adalah bagaimana hati berubah haluan dengan sangat
mudah apalagi melalui campur tangan Allah.
Kita mungkin pernah mengalami perubahan keinginan dalam hati yang
menyebabkan kita mengubah tujuan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Sebagai
contoh, seseorang mempersiapkan daftar barang yang akan dibeli di sebuah
supermarket sesuai dengan daftar kebutuhan pokok/utamanya sebagai persediaan
selama satu bulan ke depan. Namun setelah tiba di supermarket dan berbelanja, ia
justru mengambil barang-barang lain yang tidak sesuai dengan yang tercantum di
dalam daftar belanjaannya. Ilustrasi ini merupakan salah satu contoh kecil bahwa hati
manusia memang senantiasa atau cenderung rentan terhadap perubahan. Oleh karena
itu tidak heran apabila kita pernah bersikap tidak teguh pada pendirian atau plin plan.
Sikap, kepribadian dan perilaku yang berubah dari manusia bukan hanya hasil
dari berubahnya keputusan hati semata, akal atau pikiran manusia juga memegang
peranan dalam perubahan tersebut. Saat hati mulai merasakan ada yang harus
berubah, maka pikiran mulai mengambil andil untuk menimbang berdasarkan azas
untung-rugi dan logika terhadap opsi atau pilihan yang tersedia. Hati memainkan
peranan perasaan/emosi yang berkaitan dengan norma dan nilai-nilai, sedangkan
pikiran atau aql memainkan peranan logika yang mempertimbangkan sesuatu atas
untung-rugi suatu keputusan yang akan diambil. Kondisi ini kadang malah
menimbulkan pertentangan atau kontradiktif antara hati dan pikiran. Seperti contoh
saat berbelanja di supermarket tadi, pada akhirnya kita lebih cenderung membeli
barang-barang yang kita inginkan daripada barang-barang yang kita butuhkan.
Kondisi demikian sama seperti yang dikemukakan oleh Freud bahwa id dan super
ego kadang terlibat pertentangan sehingga ego harus mengambil tindakan sesuai
dengan tekanan yang lebih dominan antara id dan super ego. Dalam hal ini id
mewakili sisi keinginan dan super ego mewakili pikiran.
Allah menurunkan firman yang paling baik berupa kitab suci yang makna dan
diksinya sama-sama mencapai puncak kemukjizatan dan kesempurnaan (tafsir
Quraish Shihab). Di dalamnya banyak dikemukakan nasihat dan ketentuan hukum.
Bacaannya sering diulang. Ketika membaca atau mendengar ancaman yang
terkandung di dalamnya, orang-orang yang takut kepada Allah kulitnya akan
merinding. Setelah itu, kulit dan hatinya akan melunak untuk mengingat Allah. Kitab
suci yang mempunyai sifat-sifat seperti itu merupakan cahaya Allah yang dengannya
Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya lalu
membimbingnya untuk beriman kepada-Nya. Barangsiapa disesatkan oleh Allah
karena Dia Mahatahu bahwa ia akan menyimpang dari kebenaran maka tidak seorang
pun mampu menyelamatkannya dari kesesatan.
Seseorang yang qalbunya bersih, akan senantiasa mudah menangkap petunjuk
dari Allah. Petunjuk dari Allah tersebut menjadi dasar-dasar keimanan seseorang
tersebut untuk meyakini jalan yang lurus seperti yang selalu kita panjatkan dalam QS
1:6-7. Setelah keimanan terbentuk dalam qalbuseseorang, maka qalb juga akan
menjadi tempat ketakwaan seseorang tertanam di dalamnya.
Selain daripada itu, qalbu merupakan kendali seluruh anggota badan, jika kendali
itu sehat maka seluruh badan juga sehat dan jika kendali itu sakit maka seluruh badan
akan sakit pula. Pernyataan ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad pada awal
penjelasan tentang qalbu ini. Apabila kita mengaitkan dengan teori dan konsep
psikologi, bahwa mental dan fisik saling terkait satu sama lain sehingga apabila salah
satu aspek tersebut mengalami gangguan, maka akan menimbulkan gangguan
terhadap aspek yang lainnya.
Sebagai ilustrasi adalah ketika seseorang sedang berkonsentrasi terhadap
pekerjaannya yang menuntut deadline, kondisi demikian cenderung membuat
seseorang merasa enggan untuk makan tepat waktu dikarenakan menginginkan
pekerjaannya segera selesai. Akibat dari perilaku tersebut adalah ia akan makan
terlambat dari waktu yang seharusnya. Apabila pola kerja yang dilakukannya terus
menerus seperti itu, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan gejala penyakit
maag. Kesehatan mental juga selaras dengan kondisi kesehatan fisik seseorang.
Alangkah bijaksananya ditengah kesibukan pekerjaan seseorang tetap menyempatkan
untuk makan tepat waktu, minum air putih secukupnya, dan beristirahat sejenak dari
pekerjaan agar pikiran dan emosi tetap terjaga sehingga tidak mengakibatkan kondisi
seperti berada di dalam tekanan.
Ilustrasi yang kedua adalah, bahwa terdapat seorang siswa yang mengalami
kecelakaan lalu lintas sehingga mengakibatkan dirinya kehilangan fungsi alat-alat
penglihatannya. Kondisi yang tiba-tiba harus dialaminya mengakibatkan guncangan
psikis yang berat karena dia merasa belum sanggup menerima kenyataan tersebut.
Perasaan kehilangan dan penyesalan menyebabkan depresi dan frustrasi yang
berdampak pada kestabilan emosi dan pikirannya.
Kedua ilustrasi tersebut adalah sebagai gambaran bahwa kesehatan mental
seseorang saling terkait dengan kondisi kesehatan fisiknya. Terhadap hadist Nabi
Muhammad yang menjelaskan bahwa hati yang baik akan menghasilkan fisik yang
baik adalah terkait dengan bagaimana seseorang mampu memelihara mentalnya agar
tetap stabil dan positif menghadapi keadaan yang berlaku padanya, sehingga
kesehatan fisiknya juga tetap terjaga. Mental yang sehat dalam perspektif Islam juga
disebut dengan hati yang terbebas dari berbagai penyakitnya seperti iri, dengki, benci,
hasut, dan masih banyak lagi.
4. Nafs
Istilah nafs yang dimaksud dalam sub bab ini berasal dari bahasa Arab yang
dipakai dalam al-Qur’an. Menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an
disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa
(soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran
(mind), di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.
Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-Arab menerangkan bahwa kata nafs dalam
bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa dan
nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk
kepada diri pribadi. Pandangan tersebut disimpulkan bahwa setiap manusia memiliki
dua nafs, yakni nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal dari manusia
menyebabkan ia kehilangan daya pikirannya namun ia tetap hidup, hal ini dibuktikan
pada kondisi manusia saat sedang dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs
ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan seseorang tersebut di dunia seperti yang
terjadi pada manusia yang meninggal dunia.
Klasifikasi nafs:
Nafs menurut para ulama diklasifikasikan ke dalam 3 kategori sebagai berikut:
a. Nafs ammarah
Tingkatan pertama nafs pada manusia ini sifatnya berkecenderung memenuhi
naluri alamiah/insting yang disebut dengan jiwa kebinatangan (nafs ammarah). Hal
ini bersesuaian dengan teori psikoanalisa Freud yang mengatakan bahwa id
memiliki kecenderungan mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasarnya sebagai manusia seperti makan, minum dan kebutuhan
biologisnya.
Menurut Abraham Maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan
kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang
tidak mengetahui potensi yang dimilikinya. Mereka tidak menyadari seberapa
besar prestasi yang dapat mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka
yang mengaktualisasikan diri. Oleh karena itu, saat manusia mengikuti nafs
ammarah ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang
dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Terlebih lagi batas-
batas antara yang haq dan yang bathil, halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan
tercela, manfaat dan madharat, dosa dan pahala tidak akan diindahkannya.
Menyambung uraian diatas, walaupun pada dasarnya manusia itu terlahir
dalam keadaan yang suci atau fithrah, namun manusia juga memiliki potensi
penggerak perilaku ke arah yang tidak sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan
Allah. Oleh karenanya, agar dapat mengaktualisasikan dan memperoleh
pemenuhan kebutuhan dasarnya, manusia perlu memahami mana yang haq dan
mana yang bathil. Sehingga dalam upaya pemenuhan kebutuhannya manusia tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Allah dan tuntunan Rasul-
Nya.
b. Nafs lawwamah
Tingkatan kedua dalam klasifikasi nafs manusia dapat menyadari kesalahan
dan dosanya, ketika telah mengenal petunjuk Ilahi, pada nafs ini telah terjadi yang
disebut dengan kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada momen tersebut
manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan yang disebut dengan jiwa kemanusiaan
(nafs lawwamah).
Berbeda dengan nafs ammarah yang cenderung agresif mendorong untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan dasar, dan menggerakan manusia untuk
melakukan hal-hal yang cenderung bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam,
maka nafs lawwamah telah memiliki sikap rasional untuk berbuat baik. Dalam
teori psikologi analisa, tingkatan ini sama seperti ego yang mana ego berupaya
menjembatani antara id dan superego. Id yang mendorong motivasi insting/naluri
dasar manusia dan superego yang mendorong motivasi nilai-nilai dan nurani
dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebelum diaktualisasikan melalui sikap,
emosi, perasaan dan perilaku.
Nafs lawwamah dalam diri manusia akan bereaksi apabila manusia akan dan
atau telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah. Seperti
ilustrasi bila kita akan melakukan sesuatu yang kita mengetahui bahwa perbuatan
tersebut melanggar hukum, disadari atau tidak di dalam hati dan pikiran kita
terdapat perasaan dan pikiran untuk mengurungkan niat tersebut. Pada saat
perbuatan melanggar hukum tersebut ternyata dilakukan, maka setelah itu akan
muncul rasa penyesalan dan rasa takut akan konsekuensi yang diakibatkan karena
perbuatan tersebut.
c. Nafs muthmainnah
Tingkat ketiga nafs manusia adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam
kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah).
Jiwa (merujuk pada seseorang) yang telah sanggup untuk menerima cahaya
kebenaran Ilahi. Juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kesenangan dunia
dan tidak bisa dipengaruhi oleh yang demikian. Nafs ini membuat pemiliknya merasa
berpuas diri dalam pengabdiannya kepada Allah.
Nafs ini seperti tingkatan superego dalam teori psikoanalisa. Nafs ini merupakan
fitrah manusia yang berisikan nilai-nilai kebenaran berdasarkan tuntunan Allah.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata hati nurani, nafs ini merupakan hati
nurani yang cenderung membawa motivasi kebenaran pada manusia.
5. Jiwa/Ruh
Membahas tentang ruh sangatlah rumit, ini dikarenakan ada beberapa istilah yang
digunakan dan satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Beberapa istilah tersebut
adalah “ruh”, “akal”, “nafsu”, dan “hati”. Istilah akal, nafsu, dan hati telah dibahas
pada halaman sebelumnya. Namun bukan berarti bahwa pengertian akal, nafsu, dan
hati ternyata merujuk pada kata ruh itu sendiri.
Asumsi ini didasarkan pada kata ruh dapat merujuk pada arti sebagai pembawa
wahyu dan juga sebagai dzat yang membuat manusia hidup (tubuh manusia berfungsi
secara utuh dalam psikis dan fisiknya).
Poin kedua dalam penjelasan Rasul tersebut memberikan gambaran bahwa orang
yang tidak berakal/gila tidak mendapatkan perhitungan baik pahala maupun dosa atas
setiap perbuatannya. Hal ini tentu sangat disayangkan bagi seorang muslim. Karena
dengan pahala tersebut Allah menjanjikan berbagai kenikmatan yang tidak dapat
ditandingi dengan kenikmatan apapun, yaitu surga dan menatap wajah Allah kelak di
akhirat. Oleh karena itu penting sekali untuk seorang muslim menjaga dan atau
memelihara kesehatan mentalnya agar tetap dalam kesadaran untuk menjalankan
setiap ibadah-ibadah yang tentu akan bernilai pahala apabila dilaksanakan dengan
ihklas.
“1. Demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Surat al-Asr berisi penjelasan dari Allah bahwa manusia benar-benar mengalami
kerugian yang sangat besar apabila tidak beriman dan mengerjakan perbuatan-
perbuatan yang baik dalam jalan yang lurus. Kaitannya dengan uraian sebelum ayat
tersebut adalah bagaimana kita memaknai kehidupan yang telah kita jalani selama ini.
Kesehatan mental dalam perspektif Islam menjadi penting karena pada akhir
zaman ini segala macam tipu daya iblis dan pasukannya sangat kental terasa dalam
semua aspek kehidupan manusia. Hal ini sudah dinyatakan oleh Allah dalam Quran
bahwa iblis bersumpah untuk menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dengan
berbagai cara, upaya dan dari berbagai arah. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim
untuk mewaspadai setiap jebakan iblis dan setan agar tidak terjerumus ke dalam
kemungkaran di dunia dan kehinaan di akhirat kelak.
Sebagai gambaran, dewasa ini kita dapat temui berbagai praktik riba yang
sedemikian rupa dikemas sehingga kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan
termasuk dalam kategori tersebut. Kemudian daripada itu, kita tidak tahu apakah
rezeki yang kita dapatkan dari hasil keringat kita sudah termasuk ke dalam kategori
thayyib (baik) apakah tidak.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar misalnya, kita berupaya menjemput
nafkah dengan bekerja demi terpenuhinya sandang, pangan, papan bagi diri dan
orang-orang tercinta di kehidupan kita. Hal tersebut merupakan sebuah kewajiban kita
(terutama laki-laki) dan bernilai kemuliaan di sisi Allah. Allah pun telah menjamin
bahwa manusia dipersilakan untuk menjemput rezeki yang ada di darat, laut, perut
bumi, dan di udara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Artinya Allah telah
memberikan kita kesempatan seluas-luasnya untuk menjemput rezeki.
Allah telah memberi peringatan sekaligus petunjuk kepada manusia untuk
memakan apa saja yang ada di bumi, baik yang berupa biji-bijian, sayuran, dan buah-
buahan, serta daging hewan dengan dua kriteria yaitu halal dan baik. Halal adalah
makanan dan minuman serta segala jenis rezeki bukan termasuk yang dilarang Allah
(babi, minuman keras, bangkai, darah) dan atau bukan didapatkan melalui cara yang
dilarang oleh Allah, seperti pencurian, riba, perampokan dan sejenisnya. Jelaslah
bahwa kita sebagai manusia diharuskan untuk menjemput rezeki dengan cara-cara
yang halal, diantaranya tidak merugikan orang lain seperti riba. Disadari atau tidak,
rezeki yang tidak halal yang dikonsumsi atau digunakan oleh kita dapat
mengakibatkan hal-hal yang merugikan bagi kesehatan mental manusia.
Kerugian bagi kesehatan mental sebagai akibat dari menggunakan atau
mengkonsumsi sesuatu yang haram diantaranya adalah berkurangnya iman dalam diri
seseorang, menghalangi terkabulnya doa-doa, menyebabkan ibadah/amalan shaleh
tidak diterima oleh Allah, menghilangkan akal/pikiran, merusak hati, merusak
keturunan, dan membawa seseorang ke neraka kelak.
Dalam konteks kesehatan, rezeki yang kita makan dan minum adalah merupakan
sesuatu yang baik, lezat, sehat, menentramkan (thayyib), makanan yang bergizi
seimbang, tidak berlebihan. Artinya kita harus memperhatikan sisi manfaat makanan
dan minuman bagi tubuh dan pikiran kita selain sisi kelezatannya. Serta kita tidak
dianjurkan untuk berlebihan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman karena
dapat berpengaruh tidak baik bagi kesehatan fisik yang juga terkait dengan kesehatan
mental.
Pada intinya terkait dengan uraian ini adalah seorang muslim harus bisa
membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan kemampuan kita
membedakan diantara keduanya, kita juga harus memilih yang halal dan thayyib agar
mental kita tidak tercemar dan tidak mengalami kerugian-kerugian seperti yang telah
disebutkan diatas. Jadi, jangan heran kalau doa-doa kita belum dikabulkan, selain
karena ikhtiar yang belum maksimal, mungkin saja di dalam tubuh kita mengalir
darah yang bercampur dengan sesuatu yang haram. Wallahu alam.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”. (QS 55:18).
Pendapat lain dikemukakan oleh Said Hawa yang mengidentifikasi ciri kesehatan
mental berdasarkan aspek penyucian jiwa sebagai berikut:
1. Sempurna dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah.
2. Tercerminnya melaksanakan habl in Allah dan habl min al-nas.
3. Memiliki hati/qalb yang teguh dalam meyakini keesaan Allah.
4. Tidak terkontaminasi oleh penyakit hati, terutama yang bertentangan dengan keesaan
Allah.
5. Jiwa menjadi suci, hatinya menjadi suci, dan pandangannya menjadi jernih.
6. Seluruh tubuhnya senantiasa berbuat sesuai dengan perintah Allah.
Tokoh lain yaitu Ahmad Farid juga mengemukakan bahwa ciri-ciri mental yang
sehat sebagai berikut:
1. Berorientasi pada akhirat
2. senantiasa dizikir
3. Selalu rindu untuk beribadah kepada Allah
4. Tujuan hidupnya hanya Kepada Allah
5. Kyusuk dalam menegakkan shalat
6. Menghargai waktu dan tidak serakah akan harta
7. Tidak berputus asa dan tidak malas untuk berzikir
8. Mengutamakan kualitas perbuatan
Sementara itu ciri mental yang sehat juga dirumuskan oleh Zakiah Daradjat (2001)
sebagai berikut:
1. Terbebas dari gangguan dan penyakit jiwa
2. Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan
3. Memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan hubungan
yang bermanfaat dan menyenangkan antar individu.
4. Memiliki kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimiliknya serta
memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain.
5. Beriman dan bertakwa kepada Allah serta senantisasa berupaya merealisasikan
tercipta kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Terakhir adalah pendapat dari Musfir (2005) yang menerangkan bahwa
karakteristik/ciri mental yang sehat dalam perspektif Islam diantaranya adalah:
1. Sisi spiritualitas, yaitu adanya keimanan kepada Allah, konsisten dalam melaksanakan
ibadah kepada-Nya, menerima takdir dan ketetapan yang telah digariskan oleh-Nya,
selalu merasakan kedekatan kepada Allah, memenuhi segala kebutuhan hidupnya
dengan cara yang halal dan selalu berdzikir kepada Allah.
2. Sisi sosial: cinta kepada orang tua, anak dan pasangan hidup, suka membantu orang-
orang yang membutuhkan amanah, berani mengatakan kebenaran, menjauhi segala
hal yang dapat menyakiti manusia dan mampu bertanggung jawab sosial.
3. Sisi biologis, yaitu terhindarnya tubuh dari segala bentuk penyakit dan juga cacat fisik
dengan adanya pemahaman akan selalu menjaga kesehatan tubuh dengan tidak
membebaninya dengan suatu tugas yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
2. Serakah/tamak
Dalam bahasa Arab, serakah disebut dengan istilah tamak yang berarti sikap tidak
pernah merasa puas dengan sesuatu yang dimilikinya. Menurut istilah, tamak adalah
cinta kepada dunia (terutama harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum
haram dan halal. Karena perasaan tidak pernah puasnya tersebut, segala cara pun
dapat dilakukan seseorang untuk mendapatkan keinginannya. Serakah merupakan
salah satu penyakit hati, mereka yang terjangkit penyakit ini selalu menginginkan
lebih banyak, tidak peduli cara yang ditempuh itu benar atau tidak.
Penyakit hati ini membuat seseorang tidak pandai bersyukur atas semua yang
telah dimilikinya, terlebih semua itu adalah anugerah dari Allah. Sifat tamak dapat
menimbulkan rasa dengki, hasud dan permusuhan. Selain itu, tamak akan
membutakan akal dan hati seseorang sehingga dapat menghalalkan segala cara dalam
meraih tujuannya. Sifat tamak juga menyebabkan seseorang menjadi bakhil, karena
takut hartanya atau kepunyaannya berkurang. Terlebih yang paling berbahaya adalah
sifat tamak menjauhkan seseorang dari Allah.
3. Was-was
Para cendikiawan muslim mendefinisikan bahwa was-was sebagai
penyakit/gangguan mental yang membuat penderitanya tidak bisa bersikap dengan
tegas atas keadaan dirinya, sehingga jiwanya merasa kosong, hampa dan terombang-
ambing. Kondisi yang dialami penderitanya adalah keraguan, kecemasan, rasa
bingung dan kekhawatiran yang berlebih terhadap sesuatu hal. Penyakit ini disebut
ansietas (gangguan kecemasan) dalam kajian psikologi.
Dalam segala hal, penyakit was-was harus diwaspadai karena was-was berasal
dari setan. Selain rasa cemas, gelisah dan kerisauan penderitanya, was-was juga
menyebabkan penderitanya sering berangan-angan dan melamun akan khayalan yang
indah dalam intensitas dan frekuensi waktu yang lama. Hal ini menjadikan seseorang
lebih mudah terlepas dari kenyataan dan apabila seseorang terlepas dari kenyataan,
bisa saja orang tersebut “kesurupan” atau yang lebih parah lagi menjadi gila.
4. Riya’
Suatu amalan akan diterima di sisi Allah apabila dilakukan secara ikhlas oleh
seorang muslim. Tanpa keihklasan, amalan seseorang akan sia-sia. Setan memiliki
berbagai macam cara untuk menyesatkan manusia dari keikhlasan. Salah satunya
adala melalui perilaku riya’ yang disadari atau tidak telah dilakukan oleh seorang
muslim.
Riya’ adalah perilaku mengharapkan pujian atau perhatian dari orang lain atas
amalan/perbuatan baiknya. Salah satu bentuk riya’ yaitu sum’ah, yang artinya
melakukan suatu amalan agar orang lain mengetahui apa yang kita lakukan, sehinga ia
mendapatkan peujian atau ketenaran. Riya’ termasuk ke dalam perbuatan dosa dan
merupakan salah satu sifat dari orang-orang munafik.
Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampur dengan riya’? Hukum
masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan
maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun
jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika
amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah
sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan
dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak
berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang
bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri riya’,
maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak.
Berdasarkan uraian tersebut, penting sekali memiliki mental yang sehat (hati yang
ikhlas) agar setiap ibadah yang dilakukan seorang muslim betul-betul berdasarkan
kesadaran untuk mengharapkan ridha Allah. Sikap ikhlas tersebut dapat dimiliki oleh
seseorang apabila ia mampu memfungsikan secara selaras antara rasio, akal, hati dan
nafsnya.
5. Bicara Berlebih-lebihan
Berbicara dengan kalimat yang berlebihan termasuk perilaku akan yang
membawa seseorang kepada kerusakan. Kalimat berlebih-lebihan dalam percakapan
dapat membuat orang lain salah menafsirkan maksud dari ucapan seseorang,
mengacaukan topik yang sedang dibahas dan mengacaukan pikiran. Termasuk dalam
hal ini adalah suka mengulangi kalimat, memutar-mutar bahasa, menyamarkan kata-
kata, sehingga sulit dimengerti. Ucapan yang melebihi keperluan, termasuk berlebihan
dan tercela meskipun bukan perbuatan dosa.
Setan selalu megintai manusia, mereka menginginkan agar manusia menimbulkan
permusuhan dan kebencian pada sesamanya, serta menjadikan persengketaan sebagai
perangkap untuk menimbulkan kebinasaan diantara manusia. Oleh karena itu, kita
sebagai muslim dianjurkan agar menjaga lisan, seperti terirat dalam hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abi Dnya dan Abu Na’im, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang menjaga lidahnya, maka Allah akan menutupi aibnya.” (HR. Ibnu Abi
Dnya dan Abu Na’im) Karena bicara dapat menunjukan ekspresi dan kepribadian
seseorang, maka sebaiknya seorang muslim itu harus mengetahui situasi, kondisi, dan
kebutuhan dalam berbicara sehingga ucapan yang dikeluarkan efektif dan efisien dan
tidak menimbulkan kesalahan pemahaman dari orang lain. Mental yang sehat dalam
hal ini akal/pikiran diperlukan agar seseorang mampu menyaring hal-hal yang perlu
diutarakan dan hal-hal yang tidak perlu diutarakan. Mental sederhana juga diperlukan
untuk menjaga seseorang agar mampu menunjukkan perilaku yang tidak berlebihan.
6. Melaknat orang
Melaknat orang memiliki dua makna, makna pertama yaitu mencela atau
mencerca, sementara itu makna keduanya adalah mengusir serta menjauhkan dari
rahmat Allah. Sebaiknya kita berhati-hati dalam masalah laknat. Bahkan kepada orang
kafir sekalipun orang kafir yang masih hidup tidak boleh ditujukan laknat kepadanya
secara personal. Hukumnya haram melaknat orang kafir secara personal yang masih
hidup. Karena boleh jadi Allah merahmati dia, sehingga dia mendapatkan hidayah
untuk masuk Islam.
Banyak bahaya yang dapat ditimbulkan karena melaknat. Diantara bahaya
tersebut adalah tukang laknat tidak dimasukkan dalam golongan para syuhada dan
tidak termasuk orang-orang yang memberi syafa’at disisi Allah untuk memintakan
ampun bagi seseorang, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang suka melaknat tidak
akan menjadi pemberi syafa’at dan tidak pula syuhada pada hari kiamat” (HR.
Muslim).
Dalam kehidupan sehari-hari, melaknat seseorang dapat berupa mendoakan hal-
hal yang tidak baik kepada orang lain. Kita juga sering mendengar orang-orang dalam
pergaulan sehari-hari mengucapkan kata-kata umpatan dan makian menggunakan
nama binatang apabila sedang merasa terkejut atau marah kepada orang lain, bahkan
kepada mahkluk yang tidak berdosa, misalnya kepada binatang atau kepada benda
mati. Hal demikian merupakan perilaku yang tercela.
Seorang muslim hendaknya tidak berkata kecuali yang baik. Perkataannya adalah
suatu kejujuran, di samping sebagai perbaikan diantara manusia, amar ma’ruf nahi
munkar, doa, dan ketundukan kepada Allah.
7. Berbohong
Berbohong menjadi sebuah kata yang begitu erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Sulit sekali menghindari berbohong membuat bohong menjadi sebuah
penyakit/gangguan mental yang lintas zaman karena telah ada sejak dahulu kala.
Berbohong termasuk ke dalam salah satu perbuatan dosa besar dan sifat tercela dan
harus dijauhi oleh seorang muslim. Selain itu, berbohong akan menjatuhkan
pandangan, prinsip dan harga diri seseorang dalam pandangan orang lain. Bohong
adalah sesuatu yang tanpa dasar dan tidak sesuai dengan kenyataan.
Berbohong pada hakikatnya adalah menginformasikan sesuatu kepada orang lain
tidak sesuai dengan kebenaran atau kenyataan yang terjadi. Sehingga orang lain yang
mendapat informasi meyakini sesuatu yang tidak sesuai. Berbohong merupakan salah
satu tanda perilaku dari orang yang tidak beriman.
Orang yang melakukan kebohongan, terlebih sering melakukan kebohongan
disebut oleh Allah sebagai pendusta. Kata ini merujuk pada sifat seseorang yang
memang identik atau melekat pada citra dan imejnya bahwa seseorang tersebut selalu
melakukan kebohongan.
Berbohong hukumnya haram bagi seorang muslim, walaupun demikian
disebutkan bahwa terdapat jenis kebohongan yang dimaklumi atau diperbolehkan
yaitu dalam keadaan darurat seperti: berbohong dalam keadaan perang sebagai bagian
dalam strategi, berbohong demi kebaikan, dan berbohong kepada istri/suami demi
menyenangkan pasangannya.
Selain pada kondisi dan situasi tersebut, berbohong dapat menyebabkan
seseorang melakukan perbuatan keji seperti adu domba, hingga menyebar fitnah
orang. Inilah yang disebut bahaya lidah dalam konteks ajaran agama islam, sehingga
setiap muslim harus menjaga lisannya agar selalu berkata yang baik dan benar.
Kebohongan merupakan sebuah dosa yang sangat disukai oleh iblis dan setan,
karena apabila seseorang terlibat menyampaikan kebohongan maka akan terus diikuti
oleh kebohongan-kebohongan lainnya untuk menutupi kebenaran dari kebohongan
yang sebelumnya. Dari segi psikis pelakunya, seseorang yang berkecenderungan
berbohong akan merasa gelisah, khawatir, dan cemas karena merasa takut akan
terbongkarnya kebohongan yang dia lakukan. Selain itu, seseorang yang
berkecenderungan dengan kebohongan akan merasa bersalah ke mana pun dan di
mana pun ia berada. Sehingga apabila ia tidak mengakui kebohongannya, akan
dilakukan kebohongan lainnya bahkan hal-hal keji lainnya agar kebohongannya tidak
terbongkar.
8. Janji palsu
Ayat al-Quran dan hadits Nabi SAW telah menunjukkan akan kewajiban
memenuhi janji dan sumpah setia. Serta menjelaskan bahaya dan buruknya bagi orang
yang melanggar atau tidak menepatinya. Hal ini merupakan bagian yang
diperintahkan oleh Allah, yaitu menepati janji dan ikatan serta memelihara sumpah
yang telah dikuatkan terlebih dengan menggunakan nama Allah.
Allah melarang seorang muslim untuk melanggar janji dan ikatan untuk menipu,
bukan sumpah-sumpah yang biasa diucapkan untuk bertekad melakukan sesuatu atau
tidak melakukannya serta anjuran untuk melanggar sumpah yang menghambat
kebaikan dengan membayar kifarat.
Seseorang yang tidak menepati janji dan sumpa setia mengarah kepada kekafiran.
Sebagaimana terjadi pada Bani Israil dan kaum lainnya. Ketika mereka melanggar
janji dan sumpah setia dengan Tuhannya. Mereka meninggalkan janji Allah berupa
keimanan, mengikuti para Rasul-Nya.
Janji palsu merupakan suatu amal buruk yang dilakukan oleh lidah, berawal dari
maksiat nifak dalam jiwa. Seseorang dapat membuat janji, namun setan dapat
membisikkan tipu dayanya supaya manusia tidak menepati janji tersebut. Oleh karena
itu, seseorang harus berhati-hati dalam membuat janji. Melanggar janji merupakan
perbuatan dosa apabila janji tersbut dibuat dengan maksud untuk dilanggar.
Seseorang yang sering mengumbar janji tanpa ditepati adalah salah satu
perwujudan perilaku berbohong. Allah mengutuk keras dan melaknat serta
menimpakan bencana kepada orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah
maupun berjanji terhadap sesama manusia. Ingkar janji juga merupakan indikator
orang yang munafik, karena ciri-ciri orang munafik adalah suka berdusta, suka ingkar
janji dan mengkhianati amanat, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “Tanda-
tanda orang munafik ada tiga: jika bicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan
jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Muslim).
9. Mengadu domba
Mengadu domba atau namimah merupakan sebuah perbuatan yang sangat tercela
karena tujuan daripada adu domba itu ialah menyebarluaskan fitnah dan kebohongan
agar terjadi perselisihan diantara beberapa pihak baik individu maupun kelompok.
Dengan kata lain, adu domba merupakan suatu rekayasa/manipulasi yang sengaja
dilakukan untuk merusak, memfitnah, atau menghancurkan orang lain yang menjdi
pemicu terjadinya kebencian, permusuhan dan bahkan peperangan. Hal ini
bertentangan dengan syari’at Islam, dimana tujuan bersosialisasi adalah membangun
individu dan masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa.
Perilaku ini dilakukan oleh seseorang biasanya karena dorongan atau motif untuk
mendapatkan keungtungan dari perselisihan yang terjadi dari beberapa pihak yang
diadu domba olehnya.
Oleh karena itu, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk selalu
melakukan klarifikasi terhadap suatu kabar atau isu yang muncul agar kita tidak
terjebak di dalam tipu daya fitnah dan adu domba. Fenomena adu domba yang marak
terjadi dewasa ini adalah hoax. Hoax adalah berita atau informasi yang tidak berdasar,
bohong (tidak sesuai dengan kenyataan) yang dimaksudkan untuk memunculkan
reaksi publik terhadap suatu isu. Biasanya hoax dilakukan oleh pihak yang memiliki
kepentingan terhadap suatu bidang tertentu dalam tatanan kehidupan masyarakat
seperti, ekonomi, agama, ras, dan kekuasaan.
Melalui mental yang sehat, seseorang tidak akan berbuat demikian karena
perilaku ini merupakan perbuatan tercela dan dilaknat oleh Allah. Pada segi yang lain,
seseorang harus menjaga akal dan pikiran serta hati agar tidak mudah terpengaruh
oleh isu-isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
10. Marah berlebihan
Marah berlebihan merupakan penyakit atau gangguan mental yang
menyebabkan banyak kejahatan dan amal yang buruk. Sebenarnya marah tidak
dilarang, marah merupakan sebuah hakikat pada sifat yang tertanam dalam nafs
manusia. Marah sendiri merupakan sikap untuk mengeluarkan emosi dan tekanan
berlebih yang terjadi pada mental manusia, terutama pada hati. Emosi yang
dikeluarkan tersebut dalam rangka agar kondisi mental tetap stabil dan tidak terjadi
gangguan lebih lanjut. Oleh karena itu, sebetulnya tidak dianjurkan seseorang untuk
memendam amarah/rasa marah.
Memendam marah dapat mengakibatkan goncangan pada mental seseorang,
sehingga emosi dan perilakunya dapat berubah menjadi maladaptif. Oleh karena itu,
marah harus dilakukan atau diaktualisasikan oleh seseorang agar emosi dan
pikirannya menjadi stabil kembali dan dapat berperilaku normal kembali.
Namun, marah harus diaktualisasikan secara tepat dan tidak berlebihan. Apabila
berlebihan, maka hal tersebut sudah bercampur dengan bisikan setan. Karena melalui
luapan amarah yang berlebihan, seseorang dapat melakukan hal-hal yang tidak
bersesuaian dengan norma-norma dan akidah Islam. Bersamaan dengan itu, sifat
marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan ke dalam hati untuk merusak
agama dan diri manusia, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata
sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat
buruk bagi diri dan orang lain.
11. Cinta dunia
Cinta dunia dikatakan oleh para ulama bukan sebagai dosa besar, namun sifat
ini dapat menjadi pangkal dari dosa-dosa besar dan kecil lainnya yang merugikan
kehidupan dunia dan akhirat manusia. Cinta dunia berarti kecintaan seseorang akan
kelezatan dan kenikmatan duniawi secara berlebihan, melebihi dari kebutuhan untuk
memuaskan tubuh dan jiwanya dapatlah itu disebut cinta dunia.
Cinta dunia tidak hanya dalam konteks terhadap kesenangan pada materi
semata, bisa juga pada obsesi terhadap popularitas. Menurut pandangan agama Islam,
hubbud dunya atau cinta dunia termasuk dalam katagori perbuatan-perbuatan tercela
dan keji. Karena timbulnya sifat hubbud dunya tidak lain karena ketamakan dan
kerakusan dan juga adanya perasaan ketakutan dari kemiskinan. Ironis memang
bahwa pada zaman sekarang, disadari atau kita kita menilai segala sesuatu
berdasarkan materi. Fenomena ini karena paham sekulerisme yang berkembang
melalui globalisasi.
Sekulerisme dan hedonisme dalam gaya hidup modern menggoda manusia untuk
terjerumus dalam pola hidup konsumerisme dan cinta akan keindahan dunia. Pola
hidup yang demikian merupakan salah satu tipu daya setan agar manusia melupakan
hakikat dunia bahwa kehidupan ini adalah kehidupan yang akan berakhir dalam waktu
yang singkat. Selain itu, cinta dunia dapat mengakibatkan perasaan takut miskin pada
penderitanya. Penyakit takut miskin akan mendorong orang sanggup menipu dalam
perdagangan, korupsi, menyelewengkan amanat, merampok, mencuri, berbuat riba,
dan lain-lain. Kemudian daripada itu, mereka menjadi tamak akan
kemegahan/kemewahan dunia. Mereka mengambil sebanyak-banyaknya dari
kelezatan dunia itu, seakan-akan tidak ingat bahwa ada akhir dari kehidupan.
12. Bakhil
Bakhil atau kikir/pelit adalah sifat tercela yang ditimbulkan dari rasa egois yang
berlebihan. Orang yang demikian mempunyai hati yang keras, tidak mempunyai rasa
belas kasihan dan tidak berperikemanusiaan. Penyakit atau gangguan mental ini dapat
menanamkan rasa dengki dan iri hati dalam jiwa orang-orang fakir miskin terhadap
orang-orang kaya yang bakhil. Sebagai akibatnya, orang-orang miskin tersebut akan
mencari-cari kesempatan yang tepat untuk melampiaskan rasa kedengkiannya
terhadap orang-orang kaya yang bakhil, dan berusaha mencari jalan untuk merebut
harta kekayaan mereka.
Agama Islam menjelaskan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang adalah
titipan yang diberikan oleh Allah dan terdapat hak orang lain di dalamnya. Seseorang
dengan sikap bhakil cenderung tidak mau memberikan sebagian harta tersebut kepada
yang berhak, ini berarti seseorang telah melakukan penimbunan terhadap harta
tersebut dan mencegah fungsi yang sebenarnya yaitu agar beredar di masyarakat.
Kondisi demikian akan menimbulkan dampak negatif terhadap pemilik harta itu
sendiri.
Sangat berbahayanya penyakit mental ini sehingga Rasulullah mengatakan bahwa
tidak ada penyakit yang lebih parah dari penyakit bhakil. Seorang yang benar-benar
beriman, akan menjauhi sifat tercela ini. Tugas utama bagi seorang yang beriman
adalah bersimpati dan berempati dengan mengeluarkan sebagian hartanya kepada
orang-orang yang berhak, dimulai dari lingkungan keluarga dan orang-orang
disekitarnya.
13. Bangga
Rasa bangga atas keberhasilan, kesuksesan atau prestasi yang dicapai selalu
melekat pada diri setiap manusia. Tetapi jika rasa bangga tersebut berlebihan dapat
membuat orang lupa diri, sehingga melupakan peran dan bantuan pihak lain. Rasa
bangga seperti inilah yang dinamakan i’jâb bin nafs (bangga terhadap diri sendiri)
atau yang lebih dikenal dengan sebutan ujub.
Ajib atau orang yang ujub biasanya berawal dari kesibukan dirinya
memperhatikan “kelebihan” yang ada pada dirinya. Mulai dari status sosial (raden,
kyai atau pejabat), kondisi fisik (wajah cantik atau tampang ganteng), status
pekerjaan, kekayaan, hingga ketekunan ibadahnya pun dibanggakannya. Dalam kajian
psikologi, penyakit mental ini disebut dengan istilah narsisme.
Sudah menjadi fenomena dewasa ini terutama di kalangan remaja untuk
menggunggah atau minimal menyimpan swafoto (selfie) pada media sosial online atau
perangkat gadgetnya. Fenomena tren perilaku ini berawal dari rasa kekaguman akan
dirinya sendiri. Penelitian menyebutkan bahwa makin banyak swafoto yang disimpan
atau diunggah ke media sosial. Maka makin tinggi tingkat narsisme atau obsesinya
terhadap dirinya sendiri.
Orang yang berlebihan membanggakan dirinya, lebih dekat kepada obsesi untuk
terus meningkatkan dan mempertahankan kondisinya tersebut. Sebagai dampak
negatifnya, seseorang tersebut dapat mengalami penyakit hati yang lain seperti iri,
dengki, kecemasan dan hasud kepada orang lain yang dirasa melebihi dirinya.
14. Sombong
Sombong atau kesombongan merupakan salah satu dosa besar. Kesombongan
muncul dari rasa marah yang berlebihan. Terkait dengan sifat sombong ini terdapat
dua bentuk, yang pertama adalah sifat merasa bahawa dirinya melebihi orang lain dan
tidak bisa ditandingi, yang kedua adalah sifat yang merendahkan orang lain bahwa
orang lain tidak sebanding karena derajatnya yang rendah tersebut.
Rasa sombong muncul dalam pikiran dan hati disaat seseorang mengira ia
memiliki keunggulan (bangga). Seseorang yang meyakini persepsi demikian akan
mengalami perasaan senang, gembira, dan bahagia yang palsu. Karena perasaan
demikian merupakan euphoria sesaat yang dibisikkan oleh setan.
Terdapat tiga kategori kesombongan menurut para ulama, yang pertama sombong
kepada Allah, orang yang sombong kepada Allah diindikasikan dengan salah satu
perilaku atau sikap seseorang yang tidak mau atau malas berdoa kepada Allah.
Kategori kedua adalah sombong kepada Nabi Allah, diindikasikan denga sikap atau
perilaku tidak mau/merasa malas mengikuti sunnahnya. Kategori ketiga adalah sifat
sombong yang sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari berawal dari rasa bangga
(narsis) atas keutamaan dirinya sendiri.
2. Metode Islam
Tidak jauh berbeda dengan metode Iman, metode ini merupakan adaptasi dan
pengadopsian nilai-nilai dan pola karakter dalam rukun Islam (Syhadat, Shalat, Puasa,
Zakat, dan Haji). Islam sendiri secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu
penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan
keselamatan (al-salamah). Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian
muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci
dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi dan situasi (lingkungan) secara
benar dan baik.
3. Metode Ihsan
Kata ihsan berasal dari kata hasuna yang berarti baik atau bagus. Seluruh perilaku
yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan merupakan perilaku
yang ihsan. Namun karena ukuran ihsan bagi manusia adalah relatif karena adanya
norma-norma laing selain norma agama, maka kriteria ihsan yang sesungguhnya
ditentukan oleh Allah melalui al-Quran dan Sunnah.
Metode ini pada dasarnya dipraktikkan oleh seseorang dengan mengidentifikasi
berbagai sifat, sikap dan perilaku yang baik di dalam ajaran-ajaran al-Quran dan
Sunnah. Setelah diidentifikasi, sifat, sikap, dan perilaku tersebut diniatkan secara
ihklas untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain metode di atas, terdapat pula pendapat ulama dan akademisi lain yang telah
dirangkum dalam rangka identifikasi upaya untuk memelihara kesehatan mental dalam
perspektif Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kesucian
Menjaga kesucian dan kebersihan dari semua aspek mulai dari tubuh, makanan,
pakaian, tempat tinggal maupun lingkungan sekitar. Dengan tubuh, makanan, pakaian,
tempat tinggal maupun lingkungan sekitar yang bersih dan suci akan menimbulkan
kenyamanan batin bagi seseorang untuk beraktivitas dan hidup dalam lingkungan
tersebut sehingga terhindar dari berbagai potensi penyakit fisik dan mental.
2. Menjaga makanan
Allah menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal, baik
dan halal itu baik secara dzatnya maupun secara mendapatkannya. Penjelasan ini
terkait dengan uraian pada halaman sebelumnya terkait halal dan haram. Seseorang
yang memakan mamakan yang tidak baik terutama haram, akan menimbulkan banyak
kerugian bagi diri dan keturunannya secara fisik dan mental akibat dari mengalirnya
dzat yang haram/tidak baik dalam tubuhnya.
4. Perbanyak dzikir
Memperbanyak mengingat Allah, baik dalam kondisi senang maupun duka, siang
juga malam, dalam situasi sepi maupun ramai. Dengan bahasa lain berdzkir tidak
dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya dizikir dapat dilakukan kapan pun dan
dimanapun. Berdzikir boleh dengan lapadz apa saja sepanjang itu masih dalam
kategori kalimat thayyibah/baik untuk Allah.
Melalui dzikir, apabila dilakukan dengan benar dan khusyuk. Akan menimbulkan
getaran dalam hati, bahkan dapat menggetarkan tubuh. Hal ini yang disebut dengan
getaran batin/jiwa, karena saat menyebutkan kalimat dzikir tersebut jiwa kita
merasakan sentuhan Ilahi yang menentramkan jiwa dan jasmani.
5. Berpikir positif
Berpikir positif merupakan sikap yang mewujudkan keadaan jiwa dengan
berprasangka baik/berpikiran positif. Baik berprasangka baik kepada Allah maupun
sesama manusia. Hal ini ditekankan oleh Rasulullah SAW agar kita umatnya selalu
berprasangka baik kepada siapapun. Melalui prasangka yang baik, pikiran dan hati
kita akan terhindar dan terjaga dari fitnah, dari hoax yang dewasa ini marak beredar.
Sehingga menimbulkan ketenangan dalam diri kita untuk menanggapi isu atau
peristiwa yang belum tentu benar dan jelas.
Kita perlu dan harus berbaik sangka karena ternyata orang lain tidak seburuk
yang kita kira, mungkin kita yang lebih buruk dari mereka. Berbaik sangka dapat
mengubah suatu keburukan menjadi kebaikan. Berbaik sangka dapat menyelamatkan
hati dan hidup kita. Berbaik sangka bisa membuat hidup kita lebih tentram.
6. Bersyukur
Bersyukur dapat diartikan mengakui adanya kenikmatan dan menampakannya
serta memuji Allah (atas) pemberian nikmat yang telah diberikan. Sedangkan makna
syukur secara syar’i adalah menggunakan nikmat Allah untuk dibelanjakan/digunakan
dalam hal yang diridhai Allah. Melalui bersyukur, seseorang akan terhindar dari sifat
dan sikap iri, benci, dengki, hasud, dan gangguan mental lainnya yang dapat merusak
serta mengurangi pahala atau kualitas ibadahnya.
7. Bersabar
Sabar merupakan sifat yang terpuji dalam agama, yaitu sabar dalam
melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Demikian juga sabar menghadapi
hal yang tidak disenangi di dunia ini atau saat sedang mendapatkan musibah/kesulitan
yang berkepanjangan. Sabar adalah sifat terpuji yang selalu membuat seseorang
memperoleh petunjuk untuk mendapatkan kebenaran.
Sabar juga dapat diartikan untuk menahan diri, terutama pada saat merasakan
emosi amarah memuncak, seseorang dianjurkan untuk bersabar agar tidak terbawa
oleh emosinya sehingga dapat melakukan hal-hal yang diluar dugaan (dalam arti
negatif). Inti dari bersabar adalah kita menahan diri dalam setiap keadaan terutama
saat berada dalam kesulitan agar kita selalu mendapatkan petunjuk, sehingga tidak
gegabah menentukan sikap dan langkah ke dalam perbuatan-perbuatan yang salah di
mata Allah.
8. Menjaga hati
Menjaga hati berarti menjaga kesucian diri dari segala tuduhan, fitnah dan
perbuatan keji seperti hasud, riya, sombong, thulul amal, bakhil ,ujub dan lain
sebagainya. Hal ini dapat dilakukan mulai dari memelihara hati (qalb) dengan
membaca al-Qruan beserta memaknainya, mendirikan shalat malam, berkumpul
dengan orang-orang shaleh (orang baik), memperbanyak puasa, dan memperpanjang
dzikir malam.
Latihan
Diskusikan dengan teman sekelas terkait dengan konsep kesehatan mental dan upaya
memelihara kesehatan mental dalam perspektif Islam.
Rangkuman
Agama Islam memiliki pandangan yang sejalan dengan perkembangan psikologi dan
psikiatri barat terkait konsep kesehatan mental. Kesehatan mental dalam perspektif Islam
dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Kedua sumber tersebut dimanfaatkan oleh para cendikiawan muslim untuk menggali lebih
dalam konsep kesehatan mental dan kedudukannya bagi manusia.
Tujuan utama yang menjadi titik equilibrium atau keseimbangan dalam kesehatan mental
menurut perspektif Islam adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang didapatkan di dunia dan di
akhirat. Mental yang sehat sangat penting kedudukannya bagi seorang muslim karena terkait
dengan syarat utama untuk beribadah.
Semua penyakit mental yang dialami oleh seseorang merupakan akibat dari lengahnya
iman seseorang, sehingga setan dapat membisikkan berbagai tipu daya dan muslihatnya untuk
mengalihkan manusia dari perbuatan yang baik (adaptif) ke arah yang menyimpang
(maladaptif). Oleh karena itu, sebagai muslim senantiasa dianjurkan menjaga kesehatan
mental dengan berpegang teguh pada iman dan melaksanakan ketaqwaan kepada Allah secara
sungguh-sungguh.
Tes formatif
Pilihan ganda
1. Dalam konteks agama Islam dikenal beberapa istilah yang merujuk pada pengertian
mental dalam kajian psikologi kecuali :
a. Rasio
b. Akal
c. Hati
d. Rasa
2. Salah satu benang merah kesehatan mental dengan agama Islam adalah bahwa keduanya
merupakan panduan dan tuntunan dalam meraih kebahagian, kebahagian yang dimaksud
dalam kesehatan mental adalah:
a. Kondisi kesejahteraan fungsi-fungsi psikologis dan berpenyesuaian diri secara wajar
serta berkontribusi terhadap lingkungannya
b. Perubahan perubahan yang terus dari kehidupan manusia dan akan menjadi bahan
refleksi manusia pada masa depan
c. Manusia mendapat identitas yang melekat dan hakiki terkait dengan dirinya
d. Karya yang membuat kagum dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia
3. Istilah nafs yang dimaksud dalam sub bab ini berasal dari bahasa Arab yang dipakai dalam
al-Qur’an. Secara etimologi dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus)
adalah :
a. Ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).
b. Haq dan bathil
c. Manusia
d. Organisme
4. Ada beberapa kalsifikasi nafs kecuali :
a. Nafs ammarah
b. Nafs lawwamah
c. Nafs muthmainnah
d. Nafs qalbu
5. Kebahagiaan dalam kehidupan menurut perspektif Islam juga dapat berarti sebagai
berikut :
a. Ketidakadilan, bencana, dan penyakit
b. Kasih sayang dari Allah
c. Keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran
d. Terhindar dari siksa neraka
6. Kebahagiaan di akhirat merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan seseorang selama
menjalani kehidupan. Seseorang harus menyerahkanan diri secara total kepada Allah dan
mengabdikan diri dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Berserah diri dalam
konsep Islam, berarti :
a. Sebuah pengekangan Tuhan kepada hamba-Nya
b. Sebuah kondisi kebebasan sejati seorang hamba dari segala yang menghalanginya
dengan Tuhannya.
c. Menjaga hubungan sosial yang baik dan harmonis terhadap sesama manusia
d. Sikap penyerahan diri seorang terhadap kekuasaan
7. Dalam ibadah-ibadah diwajibkan untuk memiliki kesehatan mental berupa akal yang
sehat, seperti tercantum dibawah ini:
a. Orang yang tidak berakal atau gila tidak menyadari segala tindakan atau perilakunya.
b. Orang tidak berakal tidak mampu membedakan hal yang baik dan tidak baik, sehat
dan tidak sehat.
c. Balasan yang diterima seseorang jika ia melakukan perbuatan baik
d. Dengan sehatnya akal memberikan seseorang kesadaran secara penuh akan hal-hal
yang dilakukannya.
8. Pentingnya kesehatan mental dalam perspektif Islam kecuali :
a. Sebagai syarat utama dalam beribadah
b. Agar mendapat perhitungan pahala dari Allah
c. Mampu membedakan halal dan haram
d. Memperlihatkan kemakmuran pada manusia
9. Ciri mental yang sehat seperti dibawah ini :
a. Bersifat egoisme
b. Berperilaku hasad
c. Beramal berdasarkan ilmu
d. Riya
10. Gangguan kecemasan merupakan sebagai salah satu bentuk gangguan kesehatan pada
mental. Dalam al-Quran, gangguan kecemasan disebut dengan istilah...
a. Bakhil
b. Was-was
c. Hasad
d. Ajib