Anda di halaman 1dari 25

6

Lampiran materi KSD

TERAPEUTIK DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS


1. Terapeutik (Terapi) Menurut Al-Qur'an
Kata ”therapy” bermakna pengobatan dan penyembuhan, sedangkan dalam bahasa Arab kata
”therapy” sepadan dengan Istishfa yang berasal dari Shafa-Yashfi-Shifaa-an, yang artinya
menyembuhkan.1 Kata istishfa digunakan oleh M. Abdul Aziz Al-Khalidiy dalam kitabnya yang berjudul
”Al-Istishfa bi al-Qur'an”. Di dalam Al-Qur'an ada beberapa ayat yang memuat kata Shifa’ di antaranya
dalam surat Yunus ayat 57:

              
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”

Dalam surat Al-Isro ayat 82

              
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ada 2 pendapat dalam memahami term Shifa’
dalam ayat tersebut: pertama, terapi bagi jiwa yang dapat menghilangkan kebodohan dan keraguan,
membuka jiwa yang tertutup, serta dapat menyembuhkan jiwa yang sakit; kedua, terapi yang dapat
menyembuhkan penyakit fisik baik dalam bentuk azimat maupun tangkal. Sementara Al-Thabathaba’i
mengemukakan bahwa shifa’ dalam Al-Quran memiliki makna ”terapi ruhaniah” yang dapat
menyembuhkan penyakit batin. Dengan Al-Qu’ran maka seeseorang dapat mempertahankan keteguhan
jiwa dari penyakit batin seperti keraguan dan kegoncangan jiwa, mengikuti hawa nafsu, dan perbuatan
jiwa yang rendah. Lebih lanjut Al-Thabathaba’i mengemukakan bahwa Al-Qu’ran juga dapat
menyembuhkan penyakit jasmani baik melalui bacaan atau tulisan.2
Sedang menurut Al-Faidh Al-Hasani dalam tafsirnya mengemukakan bahwa lafadz-lafadz Al-
Qu’ran dapat menyembuhkan penyakit badan, sedangkan makna-maknanya dapat menyembuhkan
penyakit jiwa.3 Ayat di atas juga menegaskan adanya empat fungsi al-Qur’an yaitu: pengajaran, obat,
petunjuk serta rahmat. Sebagai pengajaran, al-Qur’an pertama kali menyentuh hati yang masih
diselubungi oleh kabut keraguan dan kelengahan serta aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan
pengajaran itu, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi
sedikit menjadi kewaspadaan. Dari saat ke saat, al-Qur’an menjadi obat bagi aneka penyakit ruhani, jiwa

1
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001), h.221
2
Muhammad Husain Al-Thabthabai, Al Mizan fi Tafsir Al-Quran, (Teheran : Dar Al Kitab Al Islamiyah, 1397), Jilid
13, h.195
3
Muhsin Al Faid Al Kashani, Al Shafi fi Tafsir Kalam Allah, (Mashhad : Dar Al Murtadho li Al-Nashr, 1091), Jilid 3,
h.213
7

menjadi lebih siap meningkat dan meraih petunjuk tentang pengetahuan yang benar dan makrifat tentang
Tuhan. Ini membawa lehurnya akhlak luhur,amal kebajikan yang mengantarkan seseorang meraih
kedekatan kepada Allah SWT.dan pada gilirannya nanti, mengundang aneka rahmat yang puncaknya
adalah surga dan ridla Allah SWT. 4 Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Israa:82

              
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Dalam ayat ini tampak bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penyeru kepada ketauhidan kepada-Nya serta pengarah mereka akan nilai-nilai pemikiran baru dalam
kehidupan. Al-Qur’an diturunkan untuk mengarahkan manusia untuk berperilaku baik, dimana perilaku
baik diperlukan guna kepentingan manusia itu sendiri dan masyarakatnya. Al-Qur’an menunjukkan
manusia akan jalan yang benar dengan pendidikan kejiwaan dalam lingkungan yang kondusif yang
mampu mengantarkannya menjadi manusia yang sempurna. Sesungguhnya predikat manusia sempurna
inilah bukti dan indikasi akan adanya kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-
Nya :

                
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar.”(Q.S.al-Israa:9)

              
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”(Q.S.Yunus:57)

                

                 
“Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka
mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul
adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-
orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka.
mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".(Q.S.Fushsilat:44)

       


“Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.”(Q.S.al-
Jaatsiyah: 20)

4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,(Jakarta:Lentera hati, cet. V,
2006),h.104.
8

Sesungguhnya Al-Qur’an sangat berpengaruh dalam kejiwaan kaum muslimin. Pada awal
kenabian Rasulullah, Al-Qur’an telah mampu mengubah banyak kepribadian dan perilaku kaum
muslimin. Juga banyak mengubah akhlak dan gaya hidup mereka.
Al-Qur’an telah mampu membentuk mereka menjadi individu yang memiliki prinsip dan nilai-
nilai kemanusiaan yang mulia. Al-Qur’an mengantarkan mereka menjadi satu komunitas masyarakat
yang kuat dan penuh kedisiplinan yang siap membantu satu sama lainnya. Dengannya, mereka dapat
membentuk Negara besar dan menghancurkan dua kekuasaan besar pada masa itu: kekuasaan Romawi
dan Persia. Dengan pengaruh Al-Qur’an pula, kaum muslimin dapat menyebarkan ajaran agama Islam
di berbagai penjuru dunia dan mengubah dunia dengan perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya
dalam peradaan manusia di antara semua seruan dakwah ketauhidan yang pernah ada.
Al-Qur’an telah memberikan kaum muslimin kekuatan jiwa yang besar yang sangat berpengaruh
ke dalam dirinya dengan membangkitkan emosi serta menggetarkan segala perasaan yang dimilikinya.
Al-Qur’an pun telah membentuk pola pemikiran dan kepribadiannya yang kokoh. Juga membangkitkan
rasa ingin tahu dan pemikirannya serta mempertajam pengamatannya. Sungguh! Siapa pun yang
membaca Al-Qur’an, mempelajari, dan menerapkannya diiringi dengan penerapan sunnah Rasulullah,
maka hal itu mampu membuat individu merasa lahir kembali dan mengubahnya menjadi manusia yang
berubah total menuju arah yang positif.

2. Terapeutik Menurut Al-Hadits.


Moral (akhlaq), yaitu suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang dari padanya
lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau
penelitian, atau sikap mental atau watak yang terjabarkan dalam bentuk : berpikir, berbicara,
bertingkah laku dan sebagainya sebagai ekspresi jiwa.5 Masuk dalam kategori ini adalah sifat liar,
pemarah sembrono, dengki, dendam, suka mengambil hak milik orang lain, berprasangka
buruk, malas, mudah putus asa dan lain sebagainya.
Islam memberikan tuntunan moral melalui Al-Quran dan As-Sunnah. Nabi Muhammad
Saw. adalah jujur yang membawa pesan-pesan moral secara aplikatif dan kongkrit di dalam
kehidupan sehari-hari, baik moral atau akhlaq di hadapan Allah, sesama manusia, maupun
dengan lingkungan dan alam sekitar. Moral, akhlaq atau tingkah laku merupakan ekspresi dari
kondisi mental dan spiritual, yang muncul dan hadir secara spontan dan otomatis, tidak dapat
dibuat-buat atau direkayasa. Perbuatan dan tingkah laku tersebut kadang-kadang bahkan sering
tidak disadari oleh seseorang, bahkan perbuatan dan tingkah lakunya menyimpang dari norma-
norma agama yang akhirnya dapat membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam ajaran Islam,
sikap dan tingkah laku yang seeprti itu merupakan perbuatan tercela yang dimurkai Allah dan
Rasul-Nya. Untuk menyembuhkan penyakit-penyakit itulah Rasulullah diutus ke dunia ini,
dengan perkataan, perbuatan, sikap dan gerak-gerik serta segala tingkah lakunya merupakan
teladan dan contoh yang baik dan benar bagi manusia.
Islam telah datang untuk memberikan petunjuk kepada manusia dan mengarahkannya kepada
kebaikan, baik di dunia maupun akhirat dengan membebaskannya dari semua kebodohan, kesesatan, adat
istiadat yang buruk, dan akhlak yang tercela. Manusia terkadang menghadapi banyak tekanan,

5
Shodiq, Salahuddin Chairi, Kamus Istilah Agung, (Jakarta : CV. Slenttarama, 1983),h. 20
9

goncangan, dan pertentangan jiwa yang berujung kepada munculnya banyak penyakit kejiwaan. Manusia
sejenis yang mengalami penyakit kejiwaan dapat dilihat atas tiga gejalanya.
1. Suka menipu dirinya sendiri dan orang lain.
2. Berperilaku dengan yang tidak selayaknya.
3. Merasa putus asa.
Sesungguhnya seorang individu yang mengalami penyakit kejiwaan sangat mengenal dirinya dan
memahami kenyataan. Namun, ia menipu dirinya sendiri seolah ia tidak dapat menerima kenyataan yang
ada hingga akhirnya ia berperilaku dengan tidak selayaknya atau aneh di mata banyak orang lainnya. Pada
saat itulah ia akan merasakan sakit yang amat mendalam yang berujung kepada keterputusasaan hasil dari
adanya kecemasan yang timbul dari pertentangan dalam jiwanya. Penyakit kejiwaan ini pun akhirnya
mampu melemahkan kemampuan seseorang dalam memutuskan suatu permasalahan pada umumnya,
membuatnya tidak mampu berinteraksi dengan manusia dengan baik, dan juga tidak mampu menerima
kenyataan hidup sebenarnya.
Rasulullah sangat memperhatikan pendidikan kejiwaan para sahabatnya dengan mengarahkan
mereka untuk selalu menjaga kesehatan jiwa dan fisik mereka dengan baik, sebagaimana Rasulullah pun
memperhatikan terapi atas segala penyakit kejiwaan dan juga fisik yang menimpa mereka.
Sesungguhnya sebaik-baiknya terapi mental adalah dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tidak ada suatu kaum pun yang berkumpul dalam suatu rumah dari banyak rumah Allah (Masjid)
lalu mereka membaca ayat-ayat Allah dan mempelajarinya bersama-sama kecuali diturunkan bagi mereka
ketenangan, dilimpahkan kepada mereka rahmat, para malaikat memuliakan mereka dan Allah pun akan
menyebut siapa pun yang mengingat-Nya.” (HR Muslim)
Barra’ berkata, “Seorang lelaki sedang membaca surah al-Kahfi dan ia memiliki kuda yang terikat
di antara dua simpul. Lalu, awan pun datang dan memayunginya dan berputar-putar di atasnya.
Kemudian makin mendekat hingga membuat kudanya itu lari darinya. Lalu ketika pagi hari tiba, ia
mendatangi Rasulullah dan mengisahkan apa yang terjadi. Rasulullah bersabda,
“Itulah ketenangan yang turun karena bacaan Al-Qur’an.” (HR Bukhari, Muslim, dan
Tirmidzi)
‫‪10‬‬

‫‪HADIS BIMBINGAN KONSELING ISLAM‬‬

‫‪1. Penguatan Agama Melalui Nasihat dan Bimbingan Konseling Islam‬‬


‫ىى‬ ‫ى ى ى ى ى ى ىى ى ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫يحةُ » قُلْنَا ل َم ْن قَ َال « للَّه َولِكََاِىه َولََ ُسلله َوَأَِ َّمة الْ ُم ْْلم َ‬
‫ن‬ ‫ِّين النَّص َ‬
‫َِّب ‪-‬صلى اهلل عليه وسلم‪ -‬قَ َال « الد ُ‬ ‫أ َّ‬
‫َن النى َّ‬
‫َو َع َّامَى ىه ْم »‪ .‬صحيح مْلم – (ج ‪ / 1‬ص ‪(35‬‬
‫‪2. Nilai-Nilai Dasar Bimbingan Konseling Islam‬‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ىٍ‬ ‫عن أىَِب هَي ََة قَ َال قَا َل رس ُ َّى‬
‫َّس اللَّهُ‬ ‫َّس َع ْن ُم ْؤمن ُك ًََِْة م ْن ُكََِ الدننْيَا نَف َ‬ ‫لل الله ‪-‬صلى اهلل عليه وسلم‪َ « -‬م ْن نَف َ‬ ‫َُ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى ى ى‬ ‫ى‬
‫َعْنهُ ُك ًََِْة م ْن ُكََ ىِ يَ ْلم الْقيَ َامة َوَم ْن يَ َََّْ َعلَى ُم ْعْ ٍَ يَ َََّْ اللَّهُ َعلَْيه ىِف الدننْيَا َواآلخََىة َوَم ْن َسََ ََ ُم ْْل ًما َسََ ََهُ اللَّهُ‬
‫ك طَ ىَ ًيقا ي لََْ ىم ى ى ى‬ ‫ى‬
‫اآلخََىة َواللَّهُ ىِف َع ْل ىن الْ َعْبد َما َكا َن الْ َعْب ُد ىِف َع ْل ىن أ ىَخ ىيه َوَم ْن َسلَ َ‬ ‫ىِف الدننْيا و ى‬
‫س فيه علْ ًما َس َّه َل اللَّهُ لَهُ‬ ‫َ ُ‬ ‫َ َ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى ى‬ ‫ٍ ى‬ ‫ِىىه طَ ىَ ًيقا إى ََل ْ ى‬
‫ت َعلَْي ىه ُم‬ ‫اِ اللَّه َويَََ َد َار ُسلنَهُ َِْي نَ ُه ْم إىاَّ نَََلَ ْ‬
‫اجََ َم َع قَ ْلٌم ىِف َِْيت م ْن ُِيُلت اللَّه يََْ لُل َن كََ َ‬ ‫اْلَنَّة َوَما ْ‬
‫يم ْن ىعْن َدهُ َوَم ْن َِطَّأَ ِىىه َع َملُهُ ََلْ يُ ْْ ىَ ْع ِىىه نَ َْبُهُ »‪ .‬صحيح‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫الْ ىِكينَةُ َو َغ ىشيََْ ُه ُم َّ‬
‫الَ ْْحَةُ َو َحفََّْ ُه ُم الْ َمالَِ َِكةُ َوذَ َكََُه ُم اللَّهُ ف َ‬ ‫َّ‬
‫مْلم – (ج ‪ / 8‬ص ‪1208 )11‬‬
‫‪3. Potensi Dasar Diri Manusia‬‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم‬ ‫ى‬
‫ت َر ُسلَل اللَّه َ‬
‫حدَّثَنَا أَِل نُعي ٍم حدَّثَنَا َزَك ىَيَّاء عن ع ىام ٍَ قَ َال َىَسعت الننعما َن ِن ِ ىش ٍري ي ُق ُ ى‬
‫لل ََس ْع ُ‬ ‫ْ ُ َْ َْ َ َ‬ ‫ُ َْ َ‬ ‫ُ َْ َ‬ ‫َ‬
‫ات اسََب َأَ لى ىدينىهى‬ ‫َّاس فَمن اتَّ َقى الْم َشبَّه ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫ْ َْ‬ ‫ُ َ‬ ‫ات َا يَ ْعلَ ُم َها َكثريٌ م ْن الن ى َ ْ‬ ‫ن َوَِْي نَ ُه َما ُم َشبَّ َه ٌ‬
‫اْلَََ ُام َِ ِّ ٌ‬
‫ن َو ْ‬‫اْلََال ُل َِ ِّ ٌ‬
‫لل ْ‬ ‫يَ ُق ُ‬
‫ك ىْحًى أََا إى َّن ىْحَى اللَّىه‬ ‫ك أَ ْن ي لاقىعه أََا وإى َّن لى ُِك ِّل ملى ٍ‬
‫َ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫َوع َْضه َوَم ْن َوقَ َع ىِف الشنبُ َهات َكََ ٍاع يَ َْ َعى َح ْلَل ا ْْل َمى يُلش ُ َُ َ ُ َ‬
‫ى ىى‬
‫ت فَ َْ َد ا ْْلَ َْ ُد ُكلنهُ أََا َوىه َي‬ ‫صلَ َح ا ْْلَ َْ ُد ُكلنهُ َوإى َذا فَ َْ َد ْ‬
‫ت َ‬ ‫ضغَةً إى َذا َ‬
‫صلَ َح ْ‬ ‫ىِف أ َْر ىض ىه ََمَا ىرُمهُ أََا َوإى َّن ىِف ا ْْلَ َْ ىد ُم ْ‬
‫ب (البخاري(‬ ‫الْ َق ْل ُ‬
‫‪4. Hipokrit (Nifaq) sebuah Problem BKI‬‬
‫ِ َوإى َذا ْاؤُُتى َن‬ ‫ث إى َذا َحد َ‬
‫َّث َك َذ َ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم قَ َال آيَةُ الْ ُمنَافى ىق ثََال ٌ‬ ‫ى‬
‫‪َ 1-‬ع ْن أىَِب ُهََيَََْة َرض َي اللَّهُ َعْنهُ َع ْن النى ِّ‬
‫َِّب َ‬
‫ف (رواه البخاري)‬ ‫َخا َن َوإى َذا َو َع َد أ ْ‬
‫َخلَ َ‬
‫ت فى ىيه‬ ‫صا َوَم ْن َكانَ ْ‬
‫ى ى‬ ‫ىى‬ ‫ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال أ َْرَِ ٌع َم ْن ُك َّن فيه َكا َن ُمنَاف ًقا َخال ً‬ ‫‪َ 2-‬ع ْن َعْب ىد اللَّىه ِْ ىن َع ْم ٍَو أ َّ‬
‫َن النى َّ‬
‫َِّب َ‬
‫اه َد َغ َد َر َوإى َذا‬ ‫اق َح ََّّت يَ َد َع َها إى َذا ْاؤُُتى َن َخا َن َوإى َذا َح َّد َ‬ ‫ت فى ىيه خصلَةٌ ىمن النِّ َف ى‬ ‫خ ى‬
‫ِ َوإى َذا َع َ‬
‫ث َك َذ َ‬ ‫َ ْ ْ‬ ‫صلَةٌ مْن ُه َّن َكانَ ْ‬ ‫َ ْ‬
‫اص َم فَ َجََ (رواه البخاري(‬ ‫َخ َ‬
‫‪5. Memposisikan Manusia Sebagai Tugas Bimbingan Konseling Islam‬‬
‫َّاس َمنَا ىزَُ ْم َم َع َما‬ ‫لل اللَّ ىه َ َّ َّ ى َّ‬ ‫ى‬
‫‪َ 1-‬ع ْن َعاِ َشةَ َر ىض َي اللَّهُ َعنْ َها أَن ََّها قَالَ ْ‬
‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أَ ْن نُنَ ََِّل الن َ‬ ‫ت أ ََمََنَا َر ُس ُ‬
‫ى ى ى‬ ‫ى ى ى‬ ‫ىى‬
‫يم (مْلم(‬ ‫نَطَ َق ِه الْ ُق َْآ ُن م ْن قَ ْلل اللَّه تَ َع َاَل َوفَ ْل َق ُك ِّل ذي علْ ٍم َعل ٌ‬
‫َّاس َمنَا ىزَُ ْم (رواه أِل ااوا(‬ ‫لل اللَّىه َ َّ َّ ى َّ ى‬ ‫ٍ‬
‫‪َ 2-‬وىِف ىرَوايَة أ ْ‬
‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أَنَْلُلا الن َ‬ ‫ُخَى ‪ :‬قَ َال َر ُس ُ‬
‫‪11‬‬

‫‪6. BKI dlm Memelihara dan Mengembangkan Fitrah manusia‬‬


‫لا يُللَ ُد َعلَى الْ ىفطََْىة فَأََِ َلاهُ يُ َه ِّلَاانىىه أ َْو‬
‫‪1-‬عن أىَِب هَي َةَ ر ىضي اللَّه عْنه قَ َال قَ َال النىَِّب صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم ُك نل مللُ ٍ‬
‫ُ َ ْ َ َ َ َْ‬ ‫ن َ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ َ َ ُ َ ُ‬
‫يم َة َه ْل تَََى فى َيها َج ْد َعاءَ (البخاري(‬ ‫ى‬ ‫صَانىىه أَو ُُيَ ِّجْانىىه َكمثَ ىل الْب ىه ى‬
‫يمة تُْنََ ُج الْبَه َ‬‫يُنَ ِّ َ ْ َ َ َ َ‬
‫َج ىل أَنَّهُ ُولى َد‬ ‫ى ٍى‬ ‫ٍ‬
‫صلَّى َعلَى ُك ِّل َم ْللُلا ُمََ َل ىِف َوإى ْن َكا َن لغَيَّة م ْن أ ْ‬ ‫ى ٍ‬
‫ب قَ َال اِْ ُن ش َهاِ يُ َ‬ ‫َخبَ ََنَا ُش َعْي ٌ‬
‫ان أ ْ‬‫‪2-‬حدَّثَنَا أَِل الْيم ى‬
‫ُ ََ‬ ‫َ‬
‫اْلس َالىم يد ى‬ ‫ى‬
‫صلِّ َي‬‫صا ىر ًخا ُ‬ ‫اسََ َه َّل َ‬ ‫اْل ْس َالىم إىذَا ْ‬
‫ت أُنمهُ َعلَى َغ ْىري ْى‬ ‫اص ًة َوإى ْن َكانَ ْ‬ ‫َّعي أََِلاهُ ْى‬
‫اْل ْس َال َم أ َْو أَُِلهُ َخ َّ‬ ‫َ‬ ‫َعلَى فطََْىة ْى ْ َ‬
‫صلَّى اللَّهُ‬ ‫َِّب َ‬ ‫ِّث قَ َال النى ن‬ ‫َج ىل أَنَّهُ ىس ْق ٌ‬
‫ط فَىإ َّن أََِا ُهََيََْةَ َر ىض َي اللَّهُ َعنْهُ َكا َن َُُد ُ‬ ‫ى‬
‫صلَّى َعلَى َم ْن َا يَ ََْْ ىه نل م ْن أ ْ‬
‫ى‬
‫َعلَْيه َوَا يُ َ‬
‫صَانىىه أَو ُُيَ ِّجْانىىه َكما تُنََْج الْب ىه ى‬ ‫ىى‬ ‫ى ى‬ ‫ٍى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫يمةً ََجْ َعاءَ‬ ‫يمةُ ََب َ‬ ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم َما م ْن َم ْللُلا إَّا يُللَ ُد َعلَى الْفطََْة فَأََِ َلاهُ يُ َه ِّلَاانه أ َْو يُنَ ِّ َ ْ َ َ ُ َ َ‬
‫ى َّى َّ‬ ‫ى َّ‬ ‫َه ْل ُىُت نْل َن فى َيها ىم ْن َج ْد َعاءَ ُُثَّ يَ ُق ُ‬
‫اس َعلَْي َها ْاآليَةَ (البخاري(‬ ‫لل أَُِل ُهََيََْةَ َرض َي اللهُ َعنْهُ فطََْةَ الله ال ىِت فَطَََ النَّ َ‬

‫‪7. Indikator Iman, Islam dan Ihsan dalam Proses BKI‬‬


‫‪a. Indikator Iman: Integrasi kognitif, afektif dan psikomotorik.‬‬
‫ب وقَلٌل ِىاللِّْ ى‬ ‫ى‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّم ْى‬ ‫ب قَ َال قَ َال رس ُ ى‬‫َع ْن َعلى ِّي ِْ ىن أىَِب طَالى ٍ‬
‫ان َو َع َم ٌل‬ ‫َ‬ ‫اْلُيَا ُن َم ْع ىَفَةٌ ِالْ َقلْ ى َ ْ‬ ‫َ‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬
‫ان (رواه إِن ماجه(‬ ‫ِى ْاَأَرَك ى‬
‫ْ‬
‫‪b. Indikator Islam: Integrasi Iman, Ibadah dan Peduli Sosial.‬‬
‫س َش َه َاا ىة أَ ْن َا‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّم ُِىِن ْى‬
‫اْل ْس َال ُم َعلَى ََْ ٍ‬
‫َ َ‬
‫عن اِ ىن عمَ ر ىضي اللَّه عْن هما قَ َال قَ َال رس ُ ى‬
‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫َ ْ ْ ُ ََ َ َ ُ َ ُ َ‬
‫اْل ِّج و ى‬ ‫الص َال ىة وإىيَ ىاء َّ ى‬
‫ضا َن (رواه البخاري(‬ ‫ص ْلم َرَم َ‬
‫الََكاة َو َْ َ َ‬ ‫لل اللَّىه َوإىقَ ىام َّ َ َ‬ ‫إىلَ َه إىَّا اللَّهُ َوأ َّ‬
‫َن َُمَ َّم ًدا َر ُس ُ‬
‫‪c. Indikator Ihsan: Integrasi nilai-nilai teologis, psikologis dan sosiologis dalam BKI‬‬
‫َّك تَََاهُ فَىإ ْن ََلْ تَ ُِك ْن تَََاهُ فَىإنَّهُ يَََ َاَ (البخاري(‬ ‫لل اللَّىه َما ْى‬
‫اْل ْح َْا ُن قَ َال ا ْىْل ْح َْا ُن أَ ْن تَ ْعبُ َد اللَّ َه َكأَن َ‬ ‫‪1-‬قَ َال يَا َر ُس َ‬
‫ت (مْلم(‬ ‫َّك إى ْن َا تَ ُِك ْن تَََاهُ فَىإنَّهُ يَََ َاَ قَ َال َ‬
‫ص َدقْ َ‬ ‫َّك تَََاهُ فَىإن َ‬
‫اْل ْح َْا ُن قَ َال أَ ْن ََتْ َشى اللَّ َه َكأَن َ‬ ‫لل اللَّىه َما ْى‬
‫‪2-‬قَ َال يَا َر ُس َ‬
‫ى‬
‫َّك تَََاهُ فَىإ ْن ََلْ تَ ُِك ْن تَََاهُ فَىإنَّهُ يَََ َاَ (رواه أْحد(‬ ‫اْل ْح َْا ُن قَ َال أَ ْن تَ ْع َم َل للَّىه َكأَن َ‬
‫‪3-‬قَ َال فَ َما ْى‬
‫‪d. Islam Terbaik: Integrasi antara Mikro dan Makro-konseling.‬‬
‫ض ُل قَ َال َم ْن َسلى َم الْ ُم ْْلى ُمل َن ىم ْن لى َْانىىه َويَ ىد ىه (النْاِي(‬ ‫اْل ْس َالىم أَفْ َ‬
‫ي ْى‬‫لل اللَّىه أَ ن‬ ‫‪َ 1-‬ع ْن أىَِب ُم َ‬
‫لسى قَ َال قُ ْلنَا يَا َر ُس َ‬
‫اْل ْس َالىم َخْي ٌَ قَ َال تُطْعى ُم الطَّ َع َام‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم أَ ن‬ ‫َن رج ًال سأ ََل رس َ ى‬ ‫ى ى‬
‫ي ْى‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫‪َ 2-‬ع ْن َعْبد اللَّه ِْ ىن َع ْم ٍَو أ َّ َ ُ َ َ ُ‬
‫ف (رواه أِل ااوا(‬ ‫ت َوَم ْن ََلْ تَ ْع ىَ ْ‬ ‫الْ َال َم َعلَى َم ْن َعََفْ َ‬
‫َوتَ ْقََأُ َّ‬
‫‪8. Hijrah sebagai Pendekatan BKI‬‬
‫‪4-‬قَ َال النىَِّب صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم الْمؤىمن من أ ىَمنه النَّاس والْمْلىم من سلىم الْمْلىمل َن ىمن لىْانىىه وي ىد ىه والْمه ى‬
‫اج َُ‬ ‫ْ َ ََ َ ُ َ‬ ‫ُ َ ْ َ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َُ ُ َ ُ ْ ُ َ ْ َ َ ُ ْ ُ‬ ‫ن َ‬
‫َم ْن َه َجََ ال نْلءَ َوالَّ ىذي نَ ْف ىْي ِىيَ ىدهى َا يَ ْد ُخ ُل ا ْْلَنَّ َة َعْب ٌد َا يَأَْم ُن َج ُارهُ َِ َلاِىَقهُ (رواه أْحد ‪(10125 :‬‬
‫ي ْاَأَعم ىال أَفْضل قَ َال طُ ُ ى ى ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫‪َ 5-‬ع ْن َعْب ىد اللَّىه ِْ ىن ُحْب ىش ٍّي ْ‬
‫اْلَثْ َع ىم ِّي أ َّ‬
‫يل‬
‫لل الْقيَام ق َ‬ ‫َُ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُسئ َل أَ ن ْ َ‬‫َِّب َ‬‫َن النى َّ‬
‫ض ُل قَ َال َم ْن َه َجََ َما َحَََّم اللَّهُ َعلَْي ىه ( أِل ااوا ‪ :‬كَاِ‬ ‫الص َدقَىة أَفْضل قَ َال جه ُد الْم ىقل قىيل فَأَ ن ى‬
‫ي ا َْ ْجََىة أَفْ َ‬ ‫َ ْ ُ ِّ َ‬ ‫َُ‬ ‫ي َّ‬ ‫فَأَ ن‬
‫الصالة ‪(1051 ،‬‬
‫‪12‬‬

‫‪9. Iyadah dan Ta`ziyah Sebagai Media BKI‬‬


‫لل‬‫يل َما ُه َّن يَا َر ُس َ‬ ‫ىى ى ى‬ ‫ىى‬ ‫لل اللَّىه َ َّ َّ ى َّ‬ ‫‪َ 3-‬ع ْن أىَِب ُهََيََْةَ أ َّ‬
‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم قَ َال َح نق الْ ُم ْْلم َعلَى الْ ُم ْْلم ست ق َ‬ ‫َن َر ُس َ‬
‫س فَ َح ىم َد اللَّ َه فَ َْ ِّمَْهُ َوإىذَا‬ ‫ى‬ ‫اللَّىه قَ َال إىذَا لَ ىقيَه فَْلِّم علَي ىه وإىذَا اع َ ى‬
‫ص ْح لَهُ َوإذَا َعطَ َ‬‫ك فَانْ َ‬
‫ص َح َ‬ ‫اَ فَأَجْبهُ َوإىذَا ْ‬
‫اسََ ْن َ‬ ‫َُ َ ْ َ ْ َ َ َ‬
‫ات فَاتَّبى ْعهُ (راه مْلم(‬ ‫ض فَعُ ْدهُ َوإىذَا َم َ‬ ‫َم ىَ َ‬
‫يت‬ ‫ى‬
‫الْ َالىم َوتَ ْشم ُ‬ ‫ب لىلْ ُم ْْلى ىم َعلَى أ ىَخ ىيه َران َّ‬ ‫لل اللَّىه صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم ََْ ى‬
‫س ََت ُ‬ ‫ُ َْ ََ َ ٌ‬ ‫َ‬ ‫‪َ 4-‬ع ْن أىَِب ُهََيََْةَ قَ َال قَ َال َر ُس ُ‬
‫اْلَنَاِىىَ (رواه مْلم(‬ ‫َّع َلىة َو ىعيَ َااةُ الْ َم ىَ ى‬
‫يض َواتِّبَاعُ ْ‬ ‫س َوإى َجاَِةُ الد ْ‬ ‫اط ى‬‫الْع ى‬
‫َ‬
‫‪10. Pelaksanan BKI Persepktif Hadis‬‬
‫‪a. Pelaksanaan BKI secara Direktif‬‬
‫الص َال ىة َو ُه ْم‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم ُم َُوا أ َْوَا َا ُك ْم ِى َّ‬ ‫ِّه قَ َال قَ َال رس ُ ى‬
‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬
‫ب عن أَِى ىيه عن جد ى‬
‫َْ َ‬ ‫‪َ 2-‬ع ْن َع ْم ىَو ِْ ىن ُش َعْي ٍ َ ْ‬
‫اج ىع (أِل ااوا(‬ ‫اض ىَِلهم علَي ها وهم أَِ ناء ع ْش ٍَ وفَ َِّقُلا ِ ي ن هم ىِف الْمض ى‬ ‫ىى‬
‫َ َ‬ ‫ن َو ْ ُ ُ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َْ ُ َ َ َْ َ ُ ْ‬ ‫أَِْنَاءُ َسْب ىع سن َ‬
‫ى‬ ‫ب َعن يلنُس َعن اِْ ىن ىشه ٍ‬ ‫ى ى‬
‫ت ُم َعا ىويََة ِْ َن أىَِب ُس ْفيَا َن‬ ‫َخبَ ََىِن ُْحَْي ٌد قَ َال ََس ْع ُ‬ ‫اِ أ ْ‬ ‫َ‬ ‫يل َحدَّثَنَا اِْ ُن َو ْه ٍ ْ ُ َ ْ‬ ‫‪َ 3-‬ح َّدثَنَا إ َْسَاع ُ‬
‫اس ٌم َويُ ْع ىطي‬ ‫لل من ي ىَْا اللَّه ِىىه خي َا ي َفقِّهه ىِف الدِّي ىن وإىََّا أَنَا قَ ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫َ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم يَ ُق ُ َ ْ ُ ُ َ ْ ً ُ ْ ُ‬ ‫َِّب َ‬ ‫ت النى َّ‬‫ب قَ َال ََس ْع ُ‬ ‫ََيْطُ ُ‬
‫اعةُ أ َْو َح ََّّت يَأْىِتَ أ َْم َُ اللَّىه (رواه البخاري(‬ ‫ىى ى ى‬
‫الْ َ‬
‫لم َّ‬ ‫اللَّهُ َولَ ْن يَََ َال أ َْم َُ َهذه ْاَأ َُّمة ُم ََْْق ً‬
‫يما َح ََّّت تَ ُق َ‬

‫‪b. Pelaksanan BKI Non Direktif‬‬

‫لل اللَّىه اِْ َذ ْن ىِ ِى ِّ‬


‫الَنَا فَأَقْ بَ َل الْ َق ْلمُ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم فَ َق َال يَا َر ُس َ‬ ‫َع ْن أىَِب أ َُم َام َة قَ َال إى َّن فَ ًَّت َشاِىا أَتَى النى َّ‬
‫َِّب َ‬
‫ك قَ َال َا َواللَّىه َج َعلَىِن اللَّهُ فى َداءَ ََ‬ ‫َُتبنهُ ىَأُِّم َ‬ ‫علَي ىه فََجَوه قَالُلا مه مه فَ َق َال ْاانُه فَ َدنَا ىمْنه قَ ىَيبا قَ َال فَجلَس قَ َال أ ُى‬
‫َ َ‬ ‫ُ ً‬ ‫ْ‬ ‫َ ْ َ َُ ُ َ ْ َ ْ‬
‫َّ ى‬ ‫ك قَ َال َا واللَّىه يا رس َ َّى‬ ‫ىى‬
‫لل الله َج َعلَىِن اللهُ ف َداءَ ََ قَ َال َوَا الن ُ‬
‫َّاس‬ ‫َ َ َُ‬ ‫َّاس ُىُبنلنَهُ ىَأ َُّم َهاِت ْم قَ َال أَفََُ ىحبنهُ ىاِْنََى َ‬
‫قَ َال َوَا الن ُ‬
‫ى‬ ‫ُىُبنلنَه لىب ناِتىىم قَ َال أَفََ ىحبنه ىَأُخَىك قَ َال َا واللَّىه جعَل ىِن اللَّه فى َداء ََ قَ َال وَا النَّاس ُىُبنلنَه ىَأ ىى‬
‫َخ َلاِت ْم قَ َال أَفََُحبنهُ‬ ‫ُ َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ َ‬ ‫َ ََ‬ ‫ُ ُ ْ َ‬ ‫ُ ََ ْ‬
‫ك قَ َال َا َواللَّىه َج َعلَىِن‬ ‫ى‬ ‫ى ىى‬ ‫َّ ى‬ ‫ى‬
‫َّاس ُىُبنلنَهُ ل َع َّماِت ْم قَ َال أَفََُ ىحبنهُ ْلَالََى َ‬ ‫َّى‬
‫ك قَ َال َا َوالله َج َعلَىِن اللهُ ف َداءَ ََ قَ َال َوَا الن ُ‬ ‫ل َع َّمَى َ‬
‫ص ْن فَ َْ َجهُ‬ ‫ض َع يَ َدهُ َعلَْي ىه َوقَ َال اللَّ ُه َّم ا ْغ ىف َْ َذنْبَهُ َوطَ ِّه َْ قَلْبَهُ َو َح ِّ‬ ‫اللَّه فى َداء ََ قَ َال وَا الن ى ى ىى‬
‫َّاس ُُبنلنَهُ ْلَ َااِت ْم قَ َال فَ َل َ‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ َ‬
‫ت إى ََل َش ْي ٍء (رواه أْحد(‬ ‫ى‬
‫ك الْ َف ََّت يَلََْف ُ‬
‫ى‬
‫فَلَ ْم يَ ُِك ْن َِ ْع ُد َذل َ‬
‫)‪c. Pelaksanan BKI Eklektik (al-Ilmu bi al-ta`allum/ Ilmu dgn Cara Belajar‬‬
‫َن الْعُلَ َماءَ ُه ْم َوَرثَةُ ْاَأَنْبىيَ ىاء‬
‫اعلَ ْم أَنَّهُ َا إىلَ َه إىَّا اللَّهُ فَبَ َدأَ ِىالْعىلْ ىم َوأ َّ‬ ‫ى‬
‫َِاِ الْعىلْ ُم قَ ْب َل الْ َق ْلىل َوالْ َع َم ىل ل َق ْلىل اللَّىه تَ َع َاَل فَ ْ‬
‫ب ِىىه ىعلْ ًما َس َّه َل اللَّهُ لَهُ طَ ىَي ًقا إى ََل ا ْْلَن ىَّة َوقَ َال َج َّل‬ ‫وَّرثُلا الْعىلْم من أَخ َذه أَخ َذ ىِب ٍّ ى‬
‫ك طَ ىَي ًقا يَطْلُ ُ‬ ‫ظ َواف ٍَ َوَم ْن َسلَ َ‬ ‫َ َْ َ ُ َ َ‬ ‫َ‬
‫ىذ ْك َُهُ إىََّا ََيْ َشى اللَّ َه ىم ْن ىعبَ ىاا ىه الْعُلَ َماءُ َوقَ َال َوَما يَ ْع ىقلُ َها إىَّا الْ َعالى ُمل َن َوقَالُلا لَ ْل ُكنَّا نَ ْْ َم ُع أ َْو نَ ْع ىق ُل َما ُكنَّا ىِف‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم َم ْن يُىَْا‬ ‫َّ ى‬ ‫َّ ى‬ ‫اِ َّ ى ى‬ ‫َصح ى‬
‫َِّب َ‬‫ين َا يَ ْعلَ ُمل َن َوقَ َال النى ن‬ ‫ين يَ ْعلَ ُمل َن َوالذ َ‬ ‫الْعري َوقَ َال َه ْل يَ ََْْ ىلي الذ َ‬ ‫أَْ‬
‫ى‬
‫َش َار إى ََل قَ َفاهُ ُُثَّ‬‫ص َام َة َعلَى َهذ ىه َوأ َ‬ ‫الص ْم َ‬ ‫ض ْعَُ ْم َّ‬ ‫َّعلن ىم َوقَ َال أَُِل ذَ ٍّر لَ ْل َو َ‬
‫ى‬
‫ِّههُ ىِف الدِّي ىن َوإىََّا الْعلْ ُم ِىالَ َ‬
‫ى‬
‫اللَّهُ ِىه َخْي ًَا يَُفق ْ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم قَ ْبل أَ ْن ُىَت ُيَوا َعلَ َّي ََأَنْ َف ْذتُ َها َوقَ َال اِْ ُن َعبَّ ٍ‬ ‫ظَنَ نْت أ ِّ ى ى ى ى‬
‫اس ُكلنُلا‬ ‫َ‬ ‫َِّب َ‬ ‫َِن أُنْف ُذ َكل َمةً ََس ْعَُ َها م ْن النى ِّ‬ ‫ُ‬
‫صغَا ىر الْعىلْ ىم قَ ْبل كىبَا ىرهى‬‫الََِّ ىاِنن الَّ ىذي ي َ ِِّب النَّاس ِى ى‬ ‫ال َّ‬ ‫ن ُحلَ َماءَ فُ َق َهاءَ َويُ َق ُ‬ ‫ى‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َُ‬ ‫َرَِّانيِّ َ‬
‫‪13‬‬

‫‪11. Tindakan Antisifatif dan Preventif dalam BKI‬‬

‫يب أ َْو َعاِىَُ َسبى ٍيل‬ ‫ى‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم ِىبَ ْع ى‬ ‫عن اِ ىن عمَ قَ َال أَخ َذ رس ُ ى‬
‫ض َج َْدي فَ َق َال ُك ْن ىِف الدننْيَا َكأَن َ‬
‫َّك َغ ىَ ٌ‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫َ َُ‬ ‫َ ْ ْ ُ ََ‬
‫ى‬
‫ك‬‫ِّث نَ ْف َْ َ‬‫ت فَ َال ُُتَد ْ‬ ‫ك ِىالْ َم َْاء َوإى َذا أ َْم َْْي َ‬‫ِّث نَ ْف َْ َ‬‫ت فَ َال ُُتَد ْ‬ ‫َصبَ ْح َ‬ ‫ك ىِف أ َْه ىل الْ ُقبُلىر فَ َق َال ىِ اِْ ُن عُ َمََ إى َذا أ ْ‬‫َوعُ َّد نَ ْف َْ َ‬
‫ك َغ ًدا قَ َال أَُِل‬ ‫َّك َا تَ ْد ىري يَا َعْب َد اللَّىه َما ْ‬
‫اَسُ َ‬ ‫ك فَىإن َ‬ ‫ك قَ ْب َل َم ْلتى َ‬‫ك َوىم ْن َحيَاتى َ‬ ‫اح َو ُخ ْذ ىم ْن ىص َّحَى َ‬
‫ك قَ ْب َل َس َق ىم َ‬ ‫ِى َّ‬
‫الصبَ ى‬
‫اا‬
‫ي َحدَّثَنَا َْحَّ ُ‬ ‫ص ىَ ن‬
‫َِّب الْبَ ْ‬
‫َْحَ ُد ِْ ُن َعْب َد َة الض ِّن‬‫اه ٍد َع ْن اِْ ىن عُ َمََ ََْن َلهُ َحدَّثَنَا أ ْ‬ ‫ىعيْى وقَ ْد روى ه َذا ا ْْل ىديث ْاَأَعمش عن ُُم ى‬
‫َ َ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم ََْن َلهُ (رواه التمذي‪ :‬كَاِ الَهد‪(0033 ،‬‬ ‫ىٍ‬ ‫ٍ‬ ‫ٍ‬
‫َِّب َ‬ ‫ِْ ُن َزيْد َع ْن لَْيث َع ْن ُُمَاهد َع ْن اِْ ىن عُ َمََ َع ْن النى ِّ‬
‫‪12. Terapi dan Penyakit yang Tak Terobati‬‬
‫‪َ 1-‬ما أَنَََْل اللَّهُ َااءً إىَّا قَ ْد أَنَََْل لَهُ ىش َفاءً َعلى َمهُ َم ْن َعلى َمهُ َو َج ىهلَهُ َم ْن َج ىهلَهُ (رواه أْحد(‬
‫ُصيب اواء الد ى‬
‫َّاء َََِأَ ِىىإ ْذ ىن‬ ‫ى ى‬ ‫ٍ‬ ‫ى‬ ‫لل اللَّىه َ َّ َّ ى َّ‬ ‫‪َ 2-‬عن أىَِب النَِ ْىري َعن جاِى ٍَ َعن رس ى‬
‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أَنَّهُ قَ َال ل ُِك ِّل َااء َا َواءٌ فَإذَا أ َ َ َ ُ‬ ‫ْ َُ‬ ‫َ ْ َ‬ ‫ْ‬
‫اللَّىه َعََّ َو َج َّل (رواه مْلم(‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫َعَاِ يا رس َ ى‬ ‫‪َ 3-‬عن أُسام َة ِ ىن َش ىَ ٍ‬
‫ض ْع‬‫لل اللَّه أََا نَََ َد َاوى قَ َال نَ َع ْم يَا عبَ َاا اللَّه تَ َد َاوْوا فَىإ َّن اللَّ َه ََلْ يَ َ‬ ‫ت ْاَأ ْ َ ُ َ َ ُ‬ ‫يك قَ َال قَالَ ْ‬ ‫ْ ََ ْ‬
‫لل اللَّىه َوَما ُه َل قَ َال ا ََََُْم (التمذي(‬ ‫ض َع لَهُ ىش َفاءً أ َْو قَ َال َا َواءً إىَّا َااءً َو ىاح ًدا قَالُلا يَا َر ُس َ‬‫َااءً إىَّا َو َ‬
‫يد ِْن الْمْيَّ ى‬ ‫ى‬ ‫ث َعن عُ َقْي ٍل َعن اِْ ىن ىشه ٍ‬
‫َن أََِا‬‫ب أ َّ‬ ‫َخبَ ََِن أَُِل َسلَ َم َة َو َسع ُ ُ ُ َ‬
‫اِ قَ َال أ ْ ى‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫‪َ 4-‬حدَّثَنَا َُْ ََي ِْ ُن ُِ َِك ٍْري َحدَّثَنَا اللَّْي ُ ْ‬
‫الْ َام قَ َال اِْ ُن‬ ‫الْ ْلَا ىاء ىش َفاءٌ ىم ْن ُك ِّل َا ٍاء إىَّا َّ‬ ‫اْلَبَّىة َّ‬
‫لل ىِف ْ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم يَ ُق ُ‬ ‫هَي َةَ أَخب َُُها أَنَّه َىَسع رس َ ى‬
‫لل اللَّه َ‬ ‫ُ َ َْ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ‬
‫الْ ْلَااءُ الشنلنى ُيَ (البخاري(‬ ‫اْلَبَّةُ َّ‬
‫ت َو ْ‬ ‫ام الْ َم ْل ُ‬
‫الْ ُ‬
‫اِ َو َّ‬ ‫ىشه ٍ‬
‫َ‬
‫‪13. Terapi dan Ruqiyah‬‬
‫لل اَل‬ ‫اِ اللَّىه فَلَهُ ِىىه َح َْنَةٌ َوا ْْلَ َْنَةُ ِى َع ْش ىَ أ َْمثَ ىاََا َا أَقُ ُ‬
‫لل اللَّىه صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه وسلَّم من قََأَ حَفًا ىمن كىََ ى‬
‫َ َ َ َ ْ َ َْ ْ‬ ‫َ‬ ‫‪1-‬قَ َال َر ُس ُ‬
‫ف وَام حَ ٌ ى‬ ‫ى‬
‫ف (التمذي(‬ ‫يم َح َْ ٌ‬‫ف َوم ٌ‬ ‫ف َح َْ ٌ َ ٌ َ ْ‬ ‫ف َولَ ىِك ْن أَل ٌ‬‫َح َْ ٌ‬
‫ث علَى نَ ْف ىْ ىه ىِف مَ ىض ىه الَّ ىذي قُبىض فى ىيه ِىالْمع ِّل َذ ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫‪َ 2-‬ع ْن َعاِى َش َة َر ىضي اللَّهُ َعْن َها أ َّ‬
‫ات‬ ‫َُ‬ ‫َ‬ ‫ََ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن يَْنف ُ َ‬ ‫َن النى َّ‬
‫َِّب َ‬ ‫َ‬
‫ث علَى ي َديهى‬ ‫اِ َكيف َكا َن ي ْن ىفث قَ َال ي ْنفى‬ ‫ٍ‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ىى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫َ ُ َ ُ َ َ ْ‬ ‫ت اِْ َن ش َه ْ َ‬ ‫ث َعلَْيه َب َّن فَأ َْم َْ ُح ِىيَد نَ ْفْه لبَ َََكَ َها فَ َْأَلْ ُ‬ ‫ت أَنَا أَنْف ُ‬ ‫فَلَ َّما ثَ ُق َل ُكْن ُ‬
‫ُُثَّ ُيَْ َْ ُح َبىى َما َو ْج َههُ (البخاري(‬
‫ى‬ ‫لل اللَّىه صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم إى َذا م ىَض أَح ٌد ىمن أَهلى ىه نَ َف َ ى‬ ‫ى‬
‫ض‬‫ث َعلَْيه ِىالْ ُم َع ِّل َذات فَلَ َّما َم ىَ َ‬ ‫ُ َْ ََ َ َ َ َ ْ ْ‬ ‫َ‬ ‫ت َكا َن َر ُس ُ‬ ‫‪َ 3-‬ع ْن َعاِ َش َة قَالَ ْ‬
‫ى‬ ‫ى ى‬ ‫ى ىى ى‬ ‫مَضه الَّ ىذي مات فى ىيه جعلْت أَنْ ُف ُ ى‬
‫لِ‬‫ت أ َْعظَ َم ََََِك ًة م ْن يَدي َوىِف ىرَوايَة َُْ ََي ِْ ىن أَين َ‬ ‫ث َعلَْيه َوأ َْم َْ ُحهُ ِىيَد نَ ْفْه َأَن ََّها َكانَ ْ‬ ‫ََ ُ‬ ‫َ َ‬ ‫ََ َ ُ‬
‫ات (مْلم(‬ ‫ىِبُع ِّل َذ ٍ‬
‫َ‬
‫‪14. Terapi dengan Doa, Dzikir dan Taubat‬‬
‫ض َها أ َْو َعى ىم ْن َِ ْع ٍ‬
‫ض فَىإذَا َسأَلَُْ ْم‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫َن رس َ ى‬ ‫ى ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال الْ ُقلُ ُ‬
‫لِ أ َْوعيَةٌ َوَِ ْع ُ‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫‪َ 1-‬ع ْن َعْبد اللَّه ِْ ىن َع ْم ٍَو أ َّ َ ُ‬
‫ب َغافى ٍل (رواه‬ ‫اْل َجاَِىة فَىإ َّن اللَّ َه َا يَََْ ىجيب لى َعْب ٍد َا َعاهُ َع ْن ظَ ْه ىَ قَلْ ٍ‬
‫ْ ُ‬ ‫اسأَلُلهُ َوأَنَُْ ْم ُملقىنُل َن ِى ْى‬
‫َّاس فَ ْ‬ ‫َّ‬
‫الل َه َعََّ َو َج َّل أَين َها الن ُ‬
‫أْحد(‬
‫ى‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّم ْااعُلا اللَّ َه َوأَنَُْ ْم ُملقىنُل َن ِى ْى‬
‫اْل َجاَِىة َو ْاعلَ ُملا أ َّ َّ‬ ‫‪2-‬عن أىَِب هَي َةَ قَ َال قَ َال رس ُ ى‬
‫يب‬
‫َن الل َه َا يَ ََْْج ُ‬ ‫َ‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ‬
‫ب َغافى ٍل َا ٍه (التمذي(‬ ‫ُا َعاء ىم ْن قَلْ ٍ‬
‫ً‬
‫‪14‬‬

‫َصلى ْح‬‫ص َمةُ أ َْم ىَي َوأ ْ‬


‫ى‬ ‫ى ى‬
‫َصل ْح ىِ اي ىِن الَّذي ُه َل ع ْ‬
‫لل اللَّه َّم أ ى‬ ‫ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعَلْيه َو َسلَّ َم يَ ُق ُ ُ ْ‬
‫‪3-‬عن أىَِب هَي ََة قَ َال َكا َن رس ُ ى‬
‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫اشي وأ ى‬
‫ى‬ ‫ى‬
‫اح ًة‬
‫ت َر َ‬ ‫اْلَيَاةَ ىزيَ َااةً ىِ ىِف ُك ِّل َخ ٍْري َو ْ‬
‫اج َع ْل الْ َم ْل َ‬ ‫َصل ْح ىِ آخََىِت الَّىِت ف َيها َم َعااي َو ْ‬
‫اج َع ْل ْ‬ ‫اي الَّىِت ف َيها َم َع َ ْ‬‫ىِ ُانْيَ َ‬
‫ىِ ىم ْن ُك ِّل َشٍَّ (مْلم) كَاِ الذكَ والدعاء والَلِة واْلسَغفار‪(7881 :‬‬
‫لم ىم ْن‬ ‫ىى‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم َم ْن َجلَس ىِف َُْملى ٍ‬ ‫‪4-‬عن أىَِب هَي ََة قَ َال قَ َال رس ُ ى‬
‫س فَ َِكثََُ فيه لَغَطُهُ فَ َق َال قَ ْب َل أَ ْن يَ ُق َ‬ ‫َ‬ ‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ‬
‫ى ى‬ ‫ى‬ ‫َُملى ىْ ىه َذلىك سبحانَك اللَّه َّم وىِبم ىد ََ أَ ْشه ُد أَ ْن َا إىلَه إىَّا أَنْت أ ى‬
‫ك‬‫ك إىَّا غُفََ لَهُ َما َكا َن ىِف َُْمل ىْ ىه َذل َ‬ ‫لِ إىلَْي َ‬
‫َسََ ْغف َََُ َوأَتُ ُ‬
‫َ ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ ُْ َ َ ُ َ َ ْ‬ ‫ْ‬
‫َوىِف الْبَاِ َع ْن أىَِب َِ ََْزةَ َو َعاِى َش َة (رواه البخاري وأِل ااوا وأْحد والدارمي(‬
‫َن النىَِّب صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم قَ َال ُك نل اِ ىن آام خطَّاء وخي َ ْ ى‬
‫ن الَ ََّّلاُِل َن (روه التمذي‪0705 :‬‬ ‫اْلَطَّاِ َ‬ ‫ْ ََ َ ٌ َ َُْ‬ ‫ُ َْ ََ َ‬ ‫س أ َّ َّ َ‬ ‫‪َ 5-‬ع ْن أَنَ ٍ‬
‫واِن ماجة‪(7071 :‬‬
‫‪15. Manfaat Tabligh melalui BKI‬‬
‫ِ ح ىام ىل فى ْق ٍه إى ََل من هل أَفْ َقه ىمنْه ور َّ ى ى ى ٍ‬ ‫ى‬ ‫ى ى ى‬
‫س‬
‫ِ َحامل ف ْقه لَْي َ‬ ‫َ ْ َُ ُ ُ َُ‬ ‫‪1-‬نَضَََّ اللَّهُ ْامََأً ََس َع منَّا َحديثًا فَ َحفظَهُ َح ََّّت يُبَ لِّغَهُ َغْي ََهُ فَ َُ َّ َ‬
‫ِىَف ىق ٍيه (التمذي(‬
‫ِ َح ىام ىل فى ْق ٍه إى ََل َم ْن ُه َل أَفْ َقهُ ىمنْهُ (التمذي(‬
‫اها َو َح ىفظَ َها َوَِلَّغَ َها فَ َُ َّ‬ ‫ى‬
‫‪2-‬نَضَََّ اللَّهُ ْامََأً ََس َع َم َقالَىِت فَ َل َع َ‬
‫‪16. Sistem Evaluasi dan Penilaian‬‬
‫‪1-‬عن أِب هَيَة قال قال رسلل اهلل صلى اهلل عليه وسلم إن اهلل ا ينظَ إَل صلركم وأملالِكم ولِكن ينظَ إَل قللِِكم‬
‫وأعمالِكم ( رواه مْلم ‪ :‬كَاِ الرب والصلة ‪(7131 ،‬‬
‫‪2-‬عن أِب هَيَة رفعه إَل النِب صلى اهلل عليه وسلم قال إن اهلل ا ينظَ إَل صلركم وأملالِكم ولِكن إَّا ينظَ إَل‬
‫أعمالِكم وقللِِكم (رواه أِن ماجة‪ ،‬كَاِ الَهد ‪(7105 :‬‬
‫‪17. Konstruktifitas BKI‬‬
‫ب َعلَى نَ ْف ىْ ىه َو ُه َل‬ ‫اْللْق َكََ ى ى ىى‬
‫ب ِف كََاِه َو ُه َل يَ ِْكَُ ُ‬
‫َّ‬ ‫َِّب َ َّ َّ ى َّ‬
‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم قَ َال لَ َّما َخلَ َق اللهُ َْ َ َ‬ ‫‪َ 1-‬ع ْن أىَِب ُهََيََْةَ َع ْن النى ِّ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫وْ ى‬
‫ضىِب (رواه البخاري ‪ ،‬كَاِ الَلحيد ‪)5833 :‬‬ ‫ب غَ َ‬ ‫ض ٌع عنْ َدهُ َعلَى الْ َع َْ ىش إ َّن َر ْْحَىِت تَغْل ُ‬ ‫َ‬
‫‪ 2-‬عن أِب هَيَة قال قال رسلل اهلل صلى اهلل عليه وسلم انظَوا إَل من أسفل منِكم وا تنظَوا إَل من هل فلقِكم‬
‫فهل أجدر أن ا تَاروا نعمة اهلل قال أِل معاوية عليِكم‬
‫َس َف َل ىمنْ ُِك ْم َوَا تَنْظَُُوا إى ََل َم ْن ُه َل‬ ‫ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم انْظَُُوا إى ََل َم ْن ُه َل أ ْ‬
‫‪3-‬عن أىَِب هَي َةَ قَ َال قَ َال رس ُ ى‬
‫لل اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫ُ َ َْ‬ ‫َْ‬
‫يث ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫يح (التمذي ‪ ،‬كَاِ صفة القيامة ‪/0751 :‬مْلم‬ ‫صح ٌ‬ ‫َج َد ُر أَ ْن َا تَ ََْا ُروا ن ْع َمةَ اللَّه َعلَْي ُِك ْم َه َذا َحد ٌ َ‬ ‫فَ ْلقَ ُِك ْم فَىإنَّهُ أ ْ‬
‫‪ ،‬كَاِ الَهد ‪)3557 :‬‬
‫ب ُجََيْ ٍج‬ ‫‪4-‬عن أىَِب هَي َةَ عن النىَِّب صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم قَ َال ََل ي ََ َِكلَّم ىِف الْمه ىد إىَّا ثََالثَةٌ ىعيْى اِن مَََ و ى‬
‫صاح ُ‬ ‫َ ْ ُ َْ َ َ َ‬ ‫َْ‬ ‫َْ ْ‬ ‫ُ َْ ََ َ‬ ‫َ ْ ُ َ َْ َ ْ ِّ َ‬
‫ى‬ ‫َّ‬
‫ص َالىِت فَأَقْ بَ َل‬‫ِ أ ُِّمي َو َ‬
‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫َوَكا َن ُجََيْ ٌج َر ُج ًال َعاِى ًدا فَاَتَ َذ َ‬
‫ص ْلَم َعةً فَ َِكا َن ف َيها فَأَتََْهُ أُنمهُ َو ُه َل يُ َ‬
‫ص َالتىىه‬ ‫ى ى‬ ‫علَى ىى‬
‫ص َالىِت فَأَقْ بَ َل َعلَى َ‬‫ِ أ ُِّمي َو َ‬ ‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫ت فَلَ َّما َكا َن م ْن الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ‬ ‫صََفَ ْ‬
‫ص َالته فَانْ َ‬ ‫َ َ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫ت‬ ‫ص َالته فَ َقالَ ْ‬ ‫ص َالىِت فَأَقْ بَ َل َعلَى َ‬ ‫ِ أ ُِّمي َو َ‬ ‫َي َر ِّ‬‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال أ ْ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫ت فَلَ َّما َكا َن م ْن الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ‬ ‫صََفَ ْ‬
‫فَانْ َ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى ى‬ ‫ى ى ى‬ ‫ى‬
‫ت‬ ‫َّل ىِبُ ْْن َها فَ َقالَ ْ‬
‫ت ْامََأَةٌ َِغي يََُ َمث ُ‬ ‫يل ُجََْْيًا َوعبَ َااتَهُ َوَكانَ ْ‬ ‫ى‬
‫الل ُه َّم َا ُُتَْهُ َح ََّّت يَْنظََُ إ ََل ُو ُجله الْ ُملم َْات فَََ َذا َكََ َِنُل إ ْسََاِ َ‬
‫َّ‬
‫‪15‬‬

‫ص ْلَم َعَى ىه فَأ َْم َِكنََْهُ ىم ْن نَ ْف ىْ َها فَ َلقَ َع‬ ‫إى ْن ىشْئَُم ََأَفَْىنَ نَّه لَ ُِكم قَ َال فَََ عََّضت لَه فَ لَم ي لََْ ىفت إىلَي ها فَأَتَ ى‬
‫ت َراعيًا َكا َن يَأْ ىوي إى ََل َ‬ ‫ْ‬ ‫َ َ ْ ُ ْ َ ْ َْ‬ ‫ُ ْ‬ ‫ْ‬
‫ض ىَُِلنَهُ فَ َق َال َما َشأْنُ ُِك ْم قَالُلا‬ ‫ص ْلَم َعََهُ َو َج َعلُلا يَ ْ‬ ‫ى‬
‫اسََ ْن ََلُلهُ َوَه َد ُملا َ‬
‫ت ُه َل م ْن ُجََيْ ٍج فَأَتَ ْلهُ فَ ْ‬ ‫ت قَالَ ْ‬ ‫ت فَلَ َّما َولَ َد ْ‬ ‫َعلَْي َها فَ َح َملَ ْ‬
‫ى‬ ‫زنَي ى ى ى ى‬
‫الصى َِّب‬
‫ف أَتَى َّ‬ ‫صََ َ‬ ‫صلَّى فَلَ َّما انْ َ‬ ‫ُصلِّ َي فَ َ‬‫ِب فَ َجاءُوا ِىه فَ َق َال َاعُ ىلِن َح ََّّت أ َ‬ ‫الصى ن‬
‫ك فَ َق َال أَيْ َن َّ‬ ‫ت ىمْن َ‬ ‫ت َبَذه الْبَغ ِّي فَ َللَ َد ْ‬ ‫َْ َ‬
‫اعي قَ َال فَأَقْ بَ لُلا َعلَى ُجََيْ ٍج يُ َقبِّلُلنَهُ َويَََ َم َّْ ُحل َن ِىىه َوقَالُلا نَْب ىِن لَ َ‬
‫ك‬ ‫الَ ى‬
‫لَ قَ َال فَُال ٌن َّ‬ ‫فَطَ َع َن ىِف َِطْنى ىه َوقَ َال يَا غُ َالمُ َم ْن أَُِ َ‬
‫ب َعلَى َااٍَِّة‬ ‫ى‬ ‫ن َكما َكانَت فَ َفعلُلا وِ ي نَا صىِب ي َ ى ى‬
‫ض ُع م ْن أ ُِّمه فَ َمََّ َر ُج ٌل َراك ٌ‬ ‫ْ َ َ َْ َ َ ْ َ‬ ‫يد َ ى ى ٍ‬
‫وها م ْن ط َ‬ ‫َع ُ‬‫ب قَ َال َا أ ى‬ ‫ك ىم ْن َذ َه ٍ‬ ‫ص ْلَم َعََ َ‬ ‫َ‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ٍ‬ ‫ٍ‬
‫اج َع ْل اِْىِن مثْ َل َه َذا فَََ ََََ الثَّ ْد َي َوأَقْ بَ َل إىلَْيه فَنَظَََ إىلَْيه فَ َق َال اللَّ ُه َّم َا ََتْ َعلْ ىِن مثْلَهُ‬ ‫ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم ْ‬ ‫فَا ىرَهة َو َش َارٍة َح َْنَة فَ َقالَ ْ‬
‫صبَعى ىه‬ ‫اعهُ ِىىإ ْ‬ ‫ضَ‬
‫ى ى‬ ‫ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُه َل َُِْكي ْارت َ‬
‫ى ى‬
‫َِن أَنْظَُُ إى ََل َر ُسلل اللَّه َ‬ ‫ض ُع قَ َال فَ َِكأ ِّ‬ ‫ُُثَّ أَقْ بل علَى ثَ ْديىىه فَجعل ي َتَ ى‬
‫َ َ َ َْ‬ ‫ََ َ‬
‫ى‬ ‫َّ ى‬
‫لل َح ْْى َِب اللهُ َون ْع َم الْ َلك ُ‬
‫يل‬ ‫ت َوىه َي تَ ُق ُ‬ ‫ت سَقْ ى‬ ‫ى‬
‫ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ‬
‫ص َها قَ َال َوَمنَوا ىِبَا ىريٍَة َو ُه ْم يَ ْ ى‬ ‫الْبَّاَِىة ىِف فَ ىم ىه فَ َج َع َل َُيُ ن‬
‫َّ‬
‫ى‬ ‫اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها فَ ُهنَ َ‬ ‫ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم َا ََْت َع ْل اِْىِن ىمثْلَ َها فَََ ََََ َّ‬
‫ت‬ ‫يث فَ َقالَ ْ‬ ‫اج َعا ا ْْلَد َ‬ ‫اَ تَ ََ َ‬ ‫اع َونَظَََ إىلَْي َها فَ َق َال اللَّ ُه َّم ْ‬ ‫ضَ‬ ‫الَ َ‬ ‫فَ َقالَ ْ‬
‫ض ىَُِلنَ َها‬‫ت اللَّ ُه َّم َا ََتْ َعلْ ىِن ىمثْلَهُ َوَمنَوا ىَبَ ىذهى ْاَأ ََم ىة َو ُه ْم يَ ْ‬ ‫ى‬
‫اج َع ْل اِْىِن مثْلَهُ فَ ُقلْ َ‬ ‫ت اللَّ ُه َّم ْ‬
‫ى‬
‫َحلْ َقى َمََّ َر ُج ٌل َح َْ ُن ا ََْْيئَة فَ ُقلْ ُ‬
‫ت‬ ‫الَ ُج َل َكا َن َجبَّ ًارا فَ ُقلْ ُ‬ ‫اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها قَ َال إى َّن َذ َاَ َّ‬ ‫ت اللَّ ُه َّم ْ‬
‫ى‬
‫ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َع ْل اِْىِن مثْلَ َها فَ ُقلْ َ‬
‫ى‬ ‫ى‬
‫َويَ ُقللُل َن َزنَْيت َسََقْت فَ ُقلْ ُ‬
‫اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ىى‬ ‫ى‬
‫ت اللَّ ُه َّم ْ‬ ‫اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن مثْلَهُ َوإى َّن َهذه يَ ُقللُل َن ََا َزنَْيت َوََلْ تَ َْن َو َسََقْت َوََلْ تَ ْْ ىَ ْق فَ ُقلْ ُ‬
‫ىى‬ ‫ىٍ‬ ‫‪5-‬حدَّثَنَا ُزَهْي َ ِْن حَ ٍ‬
‫ين َع ْن أىَِب ُهََيَََْة َع ْن النى ِّ‬
‫َِّب‬ ‫َخبَ ََنَا َج ىَ ُيَ ِْ ُن َحازم َحدَّثَنَا َُمَ َّم ُد ِْ ُن سري َ‬ ‫يد ِْ ُن َه ُارو َن أ ْ‬ ‫ِ َحدَّثَنَا يَىَ ُ‬ ‫ُ ُ َْ‬ ‫َ‬
‫ب ُجََيْ ٍج َوَكا َن ُجََيْ ٌج َر ُج ًال َعاِى ًدا فَ َّاَتَ َذ‬ ‫صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم قَ َال ََل ي ََ َِكلَّم ىِف الْمه ىد إىَّا ثََالثَةٌ ىعيْى اِن مَََ و ى‬
‫صاح ُ‬ ‫َ ْ ُ َْ َ َ َ‬ ‫َْ‬ ‫َْ ْ‬ ‫ُ َْ ََ َ‬ ‫َ‬
‫ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى‬ ‫ى‬
‫ت فَلَ َّما‬ ‫صََفَ ْ‬ ‫ص َالته فَانْ َ‬ ‫ََ َ َ‬ ‫ََ‬ ‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫ص ْلَم َع ًة فَ َِكا َن ف َيها فَأَتَ َْهُ أُنمهُ َو ُه َل يُ َ‬ ‫َ‬
‫ت فَلَ َّما َكا َن ىم ْن‬ ‫ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى‬ ‫ى‬ ‫ى‬
‫صََفَ ْ‬‫ص َالته فَانْ َ‬ ‫ََ َ َ‬ ‫ََ‬ ‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫َكا َن م ْن الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ‬
‫ت اللَّ ُه َّم َا ُُتىَْهُ َح ََّّت يَْنظََُ‬ ‫ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى‬ ‫ى‬
‫ص َالته فَ َقالَ ْ‬ ‫ََ َ َ‬ ‫ََ‬ ‫َي َر ِّ‬ ‫ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال أ ْ‬ ‫صلِّي فَ َقالَ ْ‬ ‫الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ‬
‫ت إى ْن ىشْئَُ ْم ََأَفَْىنَ نَّهُ لَ ُِك ْم‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى ى‬ ‫ى ى ى‬
‫َّل ىِبُ ْْن َها فَ َقالَ ْ‬‫ت ْامََأَةٌ َِغي يََُ َمث ُ‬ ‫يل ُجًََْْيا َوعبَ َااتَهُ َوَكانَ ْ‬ ‫إ ََل ُو ُجله الْ ُملم َْات فَََ َذا َكََ َِنُل إ ْسََاِ َ‬
‫ى‬
‫ى ى‬ ‫ىى‬ ‫قَ َال فَََ عََّضت لَه فَلَم ي لََْ ىفت إىلَي ها فَأَتَ ى‬
‫ت فَلَ َّما‬ ‫ص ْلَم َعَه فَأ َْم َِكنََْهُ م ْن نَ ْفْ َها فَ َلقَ َع َعلَْي َها فَ َح َملَ ْ‬ ‫ت َراعيًا َكا َن يَأْ ىوي إى ََل َ‬ ‫ْ‬ ‫َ َ ْ ُ ْ َ ْ َْ‬
‫ت ىَبَ ىذ ىه الْبَغى ِّي‬ ‫ض ىَُِلنَهُ فَ َق َال َما َشأْنُ ُِك ْم قَالُلا َزنَْي َ‬ ‫ص ْلَم َعََهُ َو َج َعلُلا يَ ْ‬ ‫اسََ ْن ََلُلهُ َوَه َد ُملا َ‬
‫ى‬
‫ت ُه َل م ْن ُجََيْ ٍج فَأَتَ ْلهُ فَ ْ‬ ‫ت قَالَ ْ‬ ‫َولَ َد ْ‬
‫ِب فَطَ َع َن ىِف َِطْنى ىه َوقَ َال‬ ‫الصى َّ‬
‫ف أَتَى َّ‬ ‫صََ َ‬ ‫صلَّى فَلَ َّما انْ َ‬
‫ى‬
‫ِب فَ َجاءُوا ِىه فَ َق َال َاعُ ىلِن َح ََّّت أ َ‬
‫ُصلِّ َي فَ َ‬ ‫الصى ن‬
‫ك فَ َق َال أَيْ َن َّ‬ ‫ت ىمْن َ‬ ‫فَ َللَ َد ْ‬
‫ب‬ ‫ك ىم ْن ذَ َه ٍ‬ ‫ص ْلَم َعََ َ‬
‫ك َ‬ ‫اعي قَ َال فَأَقْ بَ لُلا َعلَى ُجََيْ ٍج يُ َقبِّلُلنَهُ َويَََ َم َّْ ُحل َن ِىىه َوقَالُلا نَْب ىِن لَ َ‬ ‫الَ ى‬
‫لَ قَ َال فَُال ٌن َّ‬ ‫يَا غُ َال ُم َم ْن أَُِ َ‬
‫ب َعلَى َااٍَِّة فَا ىرَه ٍة َو َش َارٍة َح َْنَ ٍة‬ ‫ى‬ ‫ن َكما َكانَت فَ َفعلُلا وِ ي نَا صىِب ي َ ى ى‬
‫ض ُع م ْن أ ُِّمه فَ َمََّ َر ُج ٌل َراك ٌ‬ ‫ْ َ َ َْ َ َ ْ َ‬ ‫يد َ ى ى ٍ‬
‫وها م ْن ط َ‬
‫قَ َال َا أ ى‬
‫َع ُ‬
‫اج َع ْل اِْىِن ىمثْ َل َه َذا فَََ ََََ الثَّ ْد َي َوأَقْ بَ َل إىلَْي ىه فَنَظَََ إىلَْي ىه فَ َق َال اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن ىمثْلَهُ ُُثَّ أَقْ بَ َل َعلَى ثَ ْديىىه‬ ‫ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم ْ‬ ‫فَ َقالَ ْ‬
‫الْبَّاَِىة ىِف فَ ىم ىه فَ َج َع َل‬ ‫صبَعى ىه َّ‬ ‫اعهُ ِىىإ ْ‬
‫ضَ‬
‫ى ى‬ ‫ى‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُه َل َُِْكي ْارت َ‬
‫ى ى‬
‫َِن أَنْظَُُ إى ََل َر ُسلل اللَّه َ‬ ‫ض ُع قَ َال فَ َِكأ ِّ‬ ‫فَجعل ي َتَ ى‬
‫َ َ َ َْ‬
‫ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم َا‬ ‫يل فَ َقالَ ْ‬
‫ى‬ ‫َّ ى‬
‫لل َح ْْى َِب اللهُ َون ْع َم الْ َلك ُ‬ ‫ت َوىه َي تَ ُق ُ‬ ‫ت سَقْ ى‬ ‫ى‬
‫ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ‬
‫ص َها قَ َال َوَمنَوا ىِبَا ىريٍَة َو ُه ْم يَ ْ ى‬ ‫َُيُ ن‬
‫ى‬ ‫اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها فَ ُهنَ َ‬ ‫ََْت َع ْل اِْىِن ىمثْلَ َها فَََ ََََ َّ‬
‫ت َحلْ َقى َمََّ َر ُج ٌل َح َْ ُن‬ ‫يث فَ َقالَ ْ‬‫اج َعا ا ْْلَد َ‬ ‫اَ تَََ َ‬ ‫اع َونَظَََ إىلَْي َها فَ َق َال اللَّ ُه َّم ْ‬ ‫ضَ‬ ‫الَ َ‬
‫ت‬ ‫ت سَقْ ى‬ ‫ى‬ ‫ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن ىمثْلَهُ َوَمنَوا ىَبَ ىذ ىه ْاَأََم ىة َو ُه ْم يَ ْ ى‬ ‫ى‬
‫اج َع ْل اِْىِن مثْلَهُ فَ ُقلْ َ‬ ‫ت اللَّ ُه َّم ْ‬
‫ى‬
‫ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ‬ ‫ا ََْْيئَة فَ ُقلْ ُ‬
16

‫ى‬ َّ َ‫اج َع ْل ىِن ىمثْلَ َها قَ َال إى َّن َذ َا‬ ‫ى‬


ُ‫ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن مثْلَه‬
ُ ْ‫الَ ُج َل َكا َن َجبَّ ًارا فَ ُقل‬ ْ ‫ت اللَّ ُه َّم‬
َ ْ‫ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َع ْل اِْىِن مثْلَ َها فَ ُقل‬
ُ ْ‫فَ ُقل‬
)7505 : ‫ كَاِ الرب‬، ‫اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها (رواه مْلم‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ىى‬
ُ ْ‫َوإى َّن َهذه يَ ُقللُل َن ََا َزنَْيت َوََلْ تَ َْن َو َسََقْت َوََلْ تَ ْْ ىَ ْق فَ ُقل‬
ْ ‫ت اللَّ ُه َّم‬

Referensi:

1. Shahih Bukhari,oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin
Bardzibah al-Bukhari yang lebih dikebal dengan sebutan al-Bukhari (wafat.256 H=870 M).
2. Shahih Muslim, oleh al-Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjal al-Qusyairi al-Naisaburi,
yang lebih dikenal dengan sebutan Muslim (wafat 261 H=875 M
3. Sunan Abu Daud, oleh al-Imam Abu Daud bin Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani,
yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Daud as-Sijjistani atau Abu Daud (wafat 275 H=889
M).
4. Sunan at-Turmudzi, oleh al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-
Dlahak al-Salmi at-Turmudzi, yang lebih dikenal dengan sebutan at-Turmudzi atau at-
Tirmidzi (wafat 279 H=892 M).
5. Sunan an-Nasa’i, al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr
an-Nasa’i, yang lebih dikenal dengan sebutan an-Nasa’i (wafat 303 H=915 M).
6. Sunan Ibnu Majah, oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibni Majah al-
Qazwini, dalam masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Majah (wafat 273 H=887 M).
7. Sunan ad-Darimi, oleh al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman bin Fadl bin
Bahran bin Abdis Samad at-Tamimi ad-Darimi, yang lebih dikenal dengan sebutan ad-Darami
(wafat 255 H= 868 M). Kitab ini menggunakan lambang (dy)
8. Al-Muwatha’. Kitab ini dalam masyarakat biasa disebut sebagai Muwatha’ Malik, oleh al-
Imam Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi, yang lebih dikenal dengan
sebutan Malik bin Anas (wafat 179 H=795 M).
9. Musnad Ahmad atau dikenal sebagai Musnad Ahmad bin Hanbal. Oleh al-Imam Abu Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal as-Syaibani al-Mawarizi, yang lebih dikenal dengan nama
Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H=855 M).
17

Konseling Qur'ani
Konsep Konseling Berdasarkan Ayat-Ayat Al Qur’an Tentang Hakikat Manusia, Pribadi
Sehat, Dan Pribadi Tidak Sehat
Oleh: Abdul Hayat6

ABSTRAK
Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat
manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif.
Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk
religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.

Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat

A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan
pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme,
humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan
kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya
konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut.
Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman
yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan
, keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri.
Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip
oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih
suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990:
293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler,
seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam
memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat
yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh
Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor
dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk
meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa
menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal
ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan
untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya

6
http://hayat-banjar.blogspot.co.id/2009/04/konseling-qurani.html?showComment=1446172869737#c53521519828
30016762
18

untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk
kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan
oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini
merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan
agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia
barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al
Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap
dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut
khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara
konseptual dan sistematis. Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau
mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya; Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al
Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).
Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit,
serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat
fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya
mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.
B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan
konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan
kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil
penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data
secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).

2. Pendekatan dan Tahap-Tahap Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat penafsiran
(hermeneutik). Analisis isi merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk
menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 2001:163). Adapun hermeneutik
berarti penafsiran atau menafsirkan, yaitu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci, seperti
Al Qur’an, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan Upanishad (Sumaryono, 1999: 24-28). Jadi, analisis dalam
penelitian ini adalah menganalisis data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung relevan dengan konsep
konseling, agar dapat diketahui dan dimengerti kandungan konselingnya secara jelas.
Adapun langkah-langkah dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
Pertama. Menemukan konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat
dari teori-teori pendekatan konseling. Konsep tersebut ditelaah dari teori-teori pendekatan konseling yang
paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan yaitu; psikoanalitik, terapi Adlerian, terapi eksistensial,
terapi terpusat pada pribadi, terapi gestalt, analisis transaksional, terapi perilaku, terapi rasional emotif, dan,
terapi realita.
19

Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling.
Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak
pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan,
dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan
mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah
ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan
ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.

C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk
pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al
Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen
lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia
sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan
kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting.
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan
sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk
religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu
terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang
menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan
dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan
dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-
kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan
memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.).
Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan
kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh
kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi
atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat
dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong
untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang
menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata,
sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu
menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan
20

kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti
mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).

b. Sebagai Makhluk Pribadi


Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Terpusat pada Pribadi, Terapi
Eksistensial, Terapi Gestalt, Rasional Emotif Terapi, dan Terapi Realita. Manusia sebagai makhluk
pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir
rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan
dorongan berpikir tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi
hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam proses aktualisasi
diri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara
rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang (Al-Baqarah: 164, Al-
Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ),
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 )
serta tanggung jawab (Al-Muddatsir: 38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia
juga memiliki kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-
Baqarah: 155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa (Ar-
Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan An-Nisa: 78).

c. Sebagai Makhluk Sosial


Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, dan
Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia
merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai
produser terhadap lingkungannya, (2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak,
yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau
kembali, (4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia memilikipotensi fitrah
yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak terbebas dari pengaruh
lingkungan atau merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada
usia anak-anak. Oleh karena kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka
tanggung jawab orang tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-
Tahrim: 6) Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah
mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai pengaruh masa anak yang
menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-
Hasyr:18), bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya)
(Al-Ankabut: 7, Al-A’raf: 179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122).
Sebagai makhluk sosial ini pula manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan
keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-
Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
21

d. Sebagai Makhluk Religius


Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius
manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran
hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu
menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-
A’raf:172-174). Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak,
dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai makhluk religius
berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi. Abidullah merupakan
pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah (Adz-
Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk
mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat
manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).

2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri
dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping
menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi
Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam
hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta
serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4)
percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung
jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak
rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan
kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62).
Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48
dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan
kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman
(Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah
(konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-
Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak
dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang
disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11,
Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu
sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan,
serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab,
salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha
22

memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta
adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang
lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32),
memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah,
dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-
Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang
ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).

b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain


Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral, Transaksional, dan
Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap orang lain memiliki
ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2)
memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang lain,
dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu
perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6).
Disamping amal saleh, adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong
atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan dan ketakwaan, bukan
dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran positif (husnus zhan) baik terhadap diri
sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada
siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8),
dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam
bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah: 275, An-Nisa: 29).
Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi melarang orang duduk-duduk dipinggir
jalan yang membuat orang yang mau lewat merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan
memperhatikan dia bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang
mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat berjemaah ketika mendengan
salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang menangis.

c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan


Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan Behavioral. Pribadi yang
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang mampu berinteraksi
dengan lingkungannya dan dapat menciptakan atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini adalah untuk kepentingan
manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-
Rum: 41). Untuk itu pribadi yang sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha
mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa pribadi yang mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya
yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar
23

dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping
itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai
tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun
minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan
dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

3. Pribadi Tidak Sehat


Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping
menerangkan tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam pendekatan Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi
Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak
serasinya antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka terhadap
pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6) inkongruen, (7) tidak mengakui
pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8) kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional,
(10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri
adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu
berbuat sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-
Haj:46, Al-A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang tidak
mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari kekufuran,
kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151).
Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang
bukan golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-Maidah: 104,
Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, yaitu suka
melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan
yang lebih parah lagi adalah berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di
dalam hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di satu tempat
dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam konseling disebut dengan
inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145). Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi
dirinya berdasarkan evaluasi eksternal (Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47),
kurangnya kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang yang tidak
pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan) (Fushilat: 49, Luqman: 34),
rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1, Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian,
pribadi yang tidak pandai bersyukur terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan
Ali-Imran:191, Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
24

b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain


Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler, Terapi Behavioral, Transaksional,
dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain
memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2)
memandang diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4) memenuhi
kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain
adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan
kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau
lebih suka menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat
sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181),
orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us
zhan (berpikir negatif), tajassus yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak
diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan melakukan amar ma’ruf nahi
munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak
konstruktif (An-Nur:19, Al-Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi
kebutuhannya sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis dengan
riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi takaran dan timbangano dalan
berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh, dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278,
An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan An-Nisa: 29).

c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan


Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi Behavioral, bahwa pribadi
yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu
berinteraksi dan mengelola lingkungannya secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat
lingkungan menjadi rusak.
Senada dengan konsep konseling di atas, Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi
denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat
sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif
bagi kehidupan Al Qur’an mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan
manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).

e. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.

Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho
pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga
sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak
menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan
muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri
tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping
25

kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”.
Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya
diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-
mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al
Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan
sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih
mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat.
Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk
selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah
dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh
kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau
sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong
untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu
muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong
kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam
Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian
berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup
(eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan
kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.

b. Sebagai Makhluk Pribadi


Al Qur’an menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berpikir secara rasional dalam
mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang, memiliki kesadaran diri (as-syu’ru), memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab. Sekalipun demikian, manusia juga memiliki
kondisi kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf, memiliki kemampuan untuk
mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa, memiliki kesadaran (as syu’ru) begitu juga tentang
kematian ia akan datang kapan saja dan dimana saja dan tidak diketahui sebelumnya, sebab kematian adalah
merupakan urusan Allah semata.
Keterangan tersebut relevan dengan konsep konseling, yaitu manusia ada bersama orang lain oleh karena itu
manusia harus memiliki kepribadian yang eksis. Pribadi yang eksis itu menurut konsep konseling adalah
pribadi yang memiliki potensi kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran diri, memiliki kebebasan
untuk menentukan pilihan, bertanggung jawab atas arah pilihan yang ditentukan sendiri, merasakan
kecemasan sebagai bagian dari kondisi hidup, memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, dan selalu
terlibat dalam proses aktualisasi diri
26

c. Sebagai Makhluk Sosial


Manusia memiliki fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun manusia tidak
terbebas dari pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Namun demikian, setelah manusia dewasa
(mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu
mengubah berbagai pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang tidak
lagi cocok, bahkan manusia mampu mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya). Manusia
membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi,
memiliki hati nurani (kalbu), dan mampu melakukan amal shalih.
Keterangan di atas relevan dengan konsep konseling yang mengungkapkan bahwa manusia ada merupakan
bagian dari masyarakat dan dunia sosial, sehingga kita tidak berarti tanpa adanya orang lain. Manusia sebagai
makhluk sosial, ia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus
sebagai produser terhadap lingkungannya, prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak,
yaitu pengaruh orang tua (orang lain yang signifikan), keputusan dapat ditinjau kembali apabila keputusan
yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, ia selalu menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta
kasih dan kekeluargaan, membuat dan menyumbang, menerima diri sendiri dengan apa adanya, dan memiliki
komponen superego, yaitu kode moral dan nilai ideal yang mampu membedakan baik dan buruk, benar dan
salah.
d. Sebagai Makhluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki. Fitrah ini
berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri
kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada. Namun ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan
ada pula yang tidak, dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai
makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan dan
petunjuk Allah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai
dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang
disebut rahmatan lil’alamin. Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain,
lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi
yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu
membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas
pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada
Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu
menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan),
serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya,
memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau
menerima diri sendiri (qana’ah).
27

Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki
ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari
kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi,
sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak
terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau
melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong
menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan
menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf
dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus
mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara
langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain
adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan
bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan
berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau
mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang
peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk
lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan
Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang
mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan
menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta
lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu
meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas,
menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang
mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-
Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah
dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan
dengan baik. Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.

3. Pribadi Tidak Sehat


Pribadi tidak sehat pada hakikatnya adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungan
dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah Swt.

a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri


Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang
akal dan kalbunya tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat
28

sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri
dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap
Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak
mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah
berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran
diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak
berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka
terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen,
sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional
(tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.

b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain


Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil
dalam arti egois dan tidak mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan, tidak
mau saling menolong (ta’awun), memiliki sifat marhun dan takabbur yaitu sifat sombong dan merasa
diri lebih besar dan berharga daripada orang lain, su’us zhan (berfikir negatif), tajassus yaitu suka
mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah yaitu menggunjing sesama, kufur nikmat, enggan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, gemar melakukan riba, memperoleh harta dengan jalan batil,
yaitu perbuatan yang cendrung hanya menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, dan
sebagainya.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang egois dan tidak mau
menyumbang, memandang diri sendiri baik sedang orang lain jelek (I’m ok your are not ok),
berpikiran negatif terhadap orang lain, ketidak mampuan menyesuaikan diri secara psikologis,
memenuhi kebutuhan sendiri dengan mengorbankan (merampas) hak orang lain.

c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan


Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang
tidak mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan
kerusakan lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak
mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak bisa membangun
hubungan baik dengan alam atau kosmos, dan ikut berperilaku yang bisa merusak lingkungan..

d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.


Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah adalah pribadi yang kufur dan
syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah
(hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau
menjalankan ibadah kepada Allah Swt. yaitu ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya untuk
dilaksanakan, atau tidak menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur
29

nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku
zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran,
kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan
diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan
urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan
tertinggalkan. Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut .
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-
ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau
terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis,
pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak
sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling
seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan
sumber penentu kepribadian adalah insting. Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an
bahwa potensi manusia yang paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama
kepada agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
d. Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an, manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh
dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius (At Tin: 4).
Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk
biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
2. Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling tentang hakikat manusia, pribadi sehat
dan pribadi tidak sehat berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini bukan merupakan konsep yang sudah
lengkap dan final dan dapat mewakili nilai kandungan ayat-ayat Al Qur’an secara utuh, maka untuk
melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan
menggali dan meneliti konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an ini, baik memperluas atau
memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang
lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.

DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2001.
Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.
As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
30

Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36):
179-191,.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode.
Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 1990.
Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to
Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.
Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California:
Brooks/Cole Publishing Company, 1996.
Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV /
Tahun I, 1984/1985.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.
Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and
Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.
Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy.
Boston: Allyn and Bacom, 1984.
Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.
Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.
Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using
Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir,
1994.
Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A
(Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera
Basritama, 2000.
Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.
Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan.
(26): 3-15.
Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia.
Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1999.
Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.
Posted by hayat at 16:51

Anda mungkin juga menyukai