“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ada 2 pendapat dalam memahami term Shifa’
dalam ayat tersebut: pertama, terapi bagi jiwa yang dapat menghilangkan kebodohan dan keraguan,
membuka jiwa yang tertutup, serta dapat menyembuhkan jiwa yang sakit; kedua, terapi yang dapat
menyembuhkan penyakit fisik baik dalam bentuk azimat maupun tangkal. Sementara Al-Thabathaba’i
mengemukakan bahwa shifa’ dalam Al-Quran memiliki makna ”terapi ruhaniah” yang dapat
menyembuhkan penyakit batin. Dengan Al-Qu’ran maka seeseorang dapat mempertahankan keteguhan
jiwa dari penyakit batin seperti keraguan dan kegoncangan jiwa, mengikuti hawa nafsu, dan perbuatan
jiwa yang rendah. Lebih lanjut Al-Thabathaba’i mengemukakan bahwa Al-Qu’ran juga dapat
menyembuhkan penyakit jasmani baik melalui bacaan atau tulisan.2
Sedang menurut Al-Faidh Al-Hasani dalam tafsirnya mengemukakan bahwa lafadz-lafadz Al-
Qu’ran dapat menyembuhkan penyakit badan, sedangkan makna-maknanya dapat menyembuhkan
penyakit jiwa.3 Ayat di atas juga menegaskan adanya empat fungsi al-Qur’an yaitu: pengajaran, obat,
petunjuk serta rahmat. Sebagai pengajaran, al-Qur’an pertama kali menyentuh hati yang masih
diselubungi oleh kabut keraguan dan kelengahan serta aneka sifat kekurangan. Dengan sentuhan
pengajaran itu, keraguan berangsur sirna dan berubah menjadi keimanan, kelengahan beralih sedikit demi
sedikit menjadi kewaspadaan. Dari saat ke saat, al-Qur’an menjadi obat bagi aneka penyakit ruhani, jiwa
1
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2001), h.221
2
Muhammad Husain Al-Thabthabai, Al Mizan fi Tafsir Al-Quran, (Teheran : Dar Al Kitab Al Islamiyah, 1397), Jilid
13, h.195
3
Muhsin Al Faid Al Kashani, Al Shafi fi Tafsir Kalam Allah, (Mashhad : Dar Al Murtadho li Al-Nashr, 1091), Jilid 3,
h.213
7
menjadi lebih siap meningkat dan meraih petunjuk tentang pengetahuan yang benar dan makrifat tentang
Tuhan. Ini membawa lehurnya akhlak luhur,amal kebajikan yang mengantarkan seseorang meraih
kedekatan kepada Allah SWT.dan pada gilirannya nanti, mengundang aneka rahmat yang puncaknya
adalah surga dan ridla Allah SWT. 4 Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Israa:82
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Dalam ayat ini tampak bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penyeru kepada ketauhidan kepada-Nya serta pengarah mereka akan nilai-nilai pemikiran baru dalam
kehidupan. Al-Qur’an diturunkan untuk mengarahkan manusia untuk berperilaku baik, dimana perilaku
baik diperlukan guna kepentingan manusia itu sendiri dan masyarakatnya. Al-Qur’an menunjukkan
manusia akan jalan yang benar dengan pendidikan kejiwaan dalam lingkungan yang kondusif yang
mampu mengantarkannya menjadi manusia yang sempurna. Sesungguhnya predikat manusia sempurna
inilah bukti dan indikasi akan adanya kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-
Nya :
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar.”(Q.S.al-Israa:9)
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”(Q.S.Yunus:57)
“Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka
mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul
adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-
orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka.
mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh".(Q.S.Fushsilat:44)
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,(Jakarta:Lentera hati, cet. V,
2006),h.104.
8
Sesungguhnya Al-Qur’an sangat berpengaruh dalam kejiwaan kaum muslimin. Pada awal
kenabian Rasulullah, Al-Qur’an telah mampu mengubah banyak kepribadian dan perilaku kaum
muslimin. Juga banyak mengubah akhlak dan gaya hidup mereka.
Al-Qur’an telah mampu membentuk mereka menjadi individu yang memiliki prinsip dan nilai-
nilai kemanusiaan yang mulia. Al-Qur’an mengantarkan mereka menjadi satu komunitas masyarakat
yang kuat dan penuh kedisiplinan yang siap membantu satu sama lainnya. Dengannya, mereka dapat
membentuk Negara besar dan menghancurkan dua kekuasaan besar pada masa itu: kekuasaan Romawi
dan Persia. Dengan pengaruh Al-Qur’an pula, kaum muslimin dapat menyebarkan ajaran agama Islam
di berbagai penjuru dunia dan mengubah dunia dengan perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya
dalam peradaan manusia di antara semua seruan dakwah ketauhidan yang pernah ada.
Al-Qur’an telah memberikan kaum muslimin kekuatan jiwa yang besar yang sangat berpengaruh
ke dalam dirinya dengan membangkitkan emosi serta menggetarkan segala perasaan yang dimilikinya.
Al-Qur’an pun telah membentuk pola pemikiran dan kepribadiannya yang kokoh. Juga membangkitkan
rasa ingin tahu dan pemikirannya serta mempertajam pengamatannya. Sungguh! Siapa pun yang
membaca Al-Qur’an, mempelajari, dan menerapkannya diiringi dengan penerapan sunnah Rasulullah,
maka hal itu mampu membuat individu merasa lahir kembali dan mengubahnya menjadi manusia yang
berubah total menuju arah yang positif.
5
Shodiq, Salahuddin Chairi, Kamus Istilah Agung, (Jakarta : CV. Slenttarama, 1983),h. 20
9
goncangan, dan pertentangan jiwa yang berujung kepada munculnya banyak penyakit kejiwaan. Manusia
sejenis yang mengalami penyakit kejiwaan dapat dilihat atas tiga gejalanya.
1. Suka menipu dirinya sendiri dan orang lain.
2. Berperilaku dengan yang tidak selayaknya.
3. Merasa putus asa.
Sesungguhnya seorang individu yang mengalami penyakit kejiwaan sangat mengenal dirinya dan
memahami kenyataan. Namun, ia menipu dirinya sendiri seolah ia tidak dapat menerima kenyataan yang
ada hingga akhirnya ia berperilaku dengan tidak selayaknya atau aneh di mata banyak orang lainnya. Pada
saat itulah ia akan merasakan sakit yang amat mendalam yang berujung kepada keterputusasaan hasil dari
adanya kecemasan yang timbul dari pertentangan dalam jiwanya. Penyakit kejiwaan ini pun akhirnya
mampu melemahkan kemampuan seseorang dalam memutuskan suatu permasalahan pada umumnya,
membuatnya tidak mampu berinteraksi dengan manusia dengan baik, dan juga tidak mampu menerima
kenyataan hidup sebenarnya.
Rasulullah sangat memperhatikan pendidikan kejiwaan para sahabatnya dengan mengarahkan
mereka untuk selalu menjaga kesehatan jiwa dan fisik mereka dengan baik, sebagaimana Rasulullah pun
memperhatikan terapi atas segala penyakit kejiwaan dan juga fisik yang menimpa mereka.
Sesungguhnya sebaik-baiknya terapi mental adalah dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,
“Tidak ada suatu kaum pun yang berkumpul dalam suatu rumah dari banyak rumah Allah (Masjid)
lalu mereka membaca ayat-ayat Allah dan mempelajarinya bersama-sama kecuali diturunkan bagi mereka
ketenangan, dilimpahkan kepada mereka rahmat, para malaikat memuliakan mereka dan Allah pun akan
menyebut siapa pun yang mengingat-Nya.” (HR Muslim)
Barra’ berkata, “Seorang lelaki sedang membaca surah al-Kahfi dan ia memiliki kuda yang terikat
di antara dua simpul. Lalu, awan pun datang dan memayunginya dan berputar-putar di atasnya.
Kemudian makin mendekat hingga membuat kudanya itu lari darinya. Lalu ketika pagi hari tiba, ia
mendatangi Rasulullah dan mengisahkan apa yang terjadi. Rasulullah bersabda,
“Itulah ketenangan yang turun karena bacaan Al-Qur’an.” (HR Bukhari, Muslim, dan
Tirmidzi)
10
يب أ َْو َعاِىَُ َسبى ٍيل ى صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم ِىبَ ْع ى عن اِ ىن عمَ قَ َال أَخ َذ رس ُ ى
ض َج َْدي فَ َق َال ُك ْن ىِف الدننْيَا َكأَن َ
َّك َغ ىَ ٌ لل اللَّه َ َ َُ َ ْ ْ ُ ََ
ى
كِّث نَ ْف َْ َت فَ َال ُُتَد ْ ك ِىالْ َم َْاء َوإى َذا أ َْم َْْي َِّث نَ ْف َْ َت فَ َال ُُتَد ْ َصبَ ْح َ ك ىِف أ َْه ىل الْ ُقبُلىر فَ َق َال ىِ اِْ ُن عُ َمََ إى َذا أ َْوعُ َّد نَ ْف َْ َ
ك َغ ًدا قَ َال أَُِل َّك َا تَ ْد ىري يَا َعْب َد اللَّىه َما ْ
اَسُ َ ك فَىإن َ ك قَ ْب َل َم ْلتى َك َوىم ْن َحيَاتى َ اح َو ُخ ْذ ىم ْن ىص َّحَى َ
ك قَ ْب َل َس َق ىم َ ِى َّ
الصبَ ى
اا
ي َحدَّثَنَا َْحَّ ُ ص ىَ ن
َِّب الْبَ ْ
َْحَ ُد ِْ ُن َعْب َد َة الض ِّناه ٍد َع ْن اِْ ىن عُ َمََ ََْن َلهُ َحدَّثَنَا أ ْ ىعيْى وقَ ْد روى ه َذا ا ْْل ىديث ْاَأَعمش عن ُُم ى
َ َ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم ََْن َلهُ (رواه التمذي :كَاِ الَهد(0033 ، ىٍ ٍ ٍ
َِّب َ ِْ ُن َزيْد َع ْن لَْيث َع ْن ُُمَاهد َع ْن اِْ ىن عُ َمََ َع ْن النى ِّ
12. Terapi dan Penyakit yang Tak Terobati
َ 1-ما أَنَََْل اللَّهُ َااءً إىَّا قَ ْد أَنَََْل لَهُ ىش َفاءً َعلى َمهُ َم ْن َعلى َمهُ َو َج ىهلَهُ َم ْن َج ىهلَهُ (رواه أْحد(
ُصيب اواء الد ى
َّاء َََِأَ ِىىإ ْذ ىن ى ى ٍ ى لل اللَّىه َ َّ َّ ى َّ َ 2-عن أىَِب النَِ ْىري َعن جاِى ٍَ َعن رس ى
صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أَنَّهُ قَ َال ل ُِك ِّل َااء َا َواءٌ فَإذَا أ َ َ َ ُ ْ َُ َ ْ َ ْ
اللَّىه َعََّ َو َج َّل (رواه مْلم(
ى ى َعَاِ يا رس َ ى َ 3-عن أُسام َة ِ ىن َش ىَ ٍ
ض ْعلل اللَّه أََا نَََ َد َاوى قَ َال نَ َع ْم يَا عبَ َاا اللَّه تَ َد َاوْوا فَىإ َّن اللَّ َه ََلْ يَ َ ت ْاَأ ْ َ ُ َ َ ُ يك قَ َال قَالَ ْ ْ ََ ْ
لل اللَّىه َوَما ُه َل قَ َال ا ََََُْم (التمذي( ض َع لَهُ ىش َفاءً أ َْو قَ َال َا َواءً إىَّا َااءً َو ىاح ًدا قَالُلا يَا َر ُس ََااءً إىَّا َو َ
يد ِْن الْمْيَّ ى ى ث َعن عُ َقْي ٍل َعن اِْ ىن ىشه ٍ
َن أََِاب أ َّ َخبَ ََِن أَُِل َسلَ َم َة َو َسع ُ ُ ُ َ
اِ قَ َال أ ْ ى َ ْ َ 4-حدَّثَنَا َُْ ََي ِْ ُن ُِ َِك ٍْري َحدَّثَنَا اللَّْي ُ ْ
الْ َام قَ َال اِْ ُن الْ ْلَا ىاء ىش َفاءٌ ىم ْن ُك ِّل َا ٍاء إىَّا َّ اْلَبَّىة َّ
لل ىِف ْ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّ َم يَ ُق ُ هَي َةَ أَخب َُُها أَنَّه َىَسع رس َ ى
لل اللَّه َ ُ َ َْ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ
الْ ْلَااءُ الشنلنى ُيَ (البخاري( اْلَبَّةُ َّ
ت َو ْ ام الْ َم ْل ُ
الْ ُ
اِ َو َّ ىشه ٍ
َ
13. Terapi dan Ruqiyah
لل اَل اِ اللَّىه فَلَهُ ِىىه َح َْنَةٌ َوا ْْلَ َْنَةُ ِى َع ْش ىَ أ َْمثَ ىاََا َا أَقُ ُ
لل اللَّىه صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه وسلَّم من قََأَ حَفًا ىمن كىََ ى
َ َ َ َ ْ َ َْ ْ َ 1-قَ َال َر ُس ُ
ف وَام حَ ٌ ى ى
ف (التمذي( يم َح َْ ٌف َوم ٌ ف َح َْ ٌ َ ٌ َ ْ ف َولَ ىِك ْن أَل ٌَح َْ ٌ
ث علَى نَ ْف ىْ ىه ىِف مَ ىض ىه الَّ ىذي قُبىض فى ىيه ِىالْمع ِّل َذ ى ى ى َ 2-ع ْن َعاِى َش َة َر ىضي اللَّهُ َعْن َها أ َّ
ات َُ َ ََ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن يَْنف ُ َ َن النى َّ
َِّب َ َ
ث علَى ي َديهى اِ َكيف َكا َن ي ْن ىفث قَ َال ي ْنفى ٍ ى ى ى ى ى ى ىى ى ى
َ ُ َ ُ َ َ ْ ت اِْ َن ش َه ْ َ ث َعلَْيه َب َّن فَأ َْم َْ ُح ِىيَد نَ ْفْه لبَ َََكَ َها فَ َْأَلْ ُ ت أَنَا أَنْف ُ فَلَ َّما ثَ ُق َل ُكْن ُ
ُُثَّ ُيَْ َْ ُح َبىى َما َو ْج َههُ (البخاري(
ى لل اللَّىه صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم إى َذا م ىَض أَح ٌد ىمن أَهلى ىه نَ َف َ ى ى
ضث َعلَْيه ِىالْ ُم َع ِّل َذات فَلَ َّما َم ىَ َ ُ َْ ََ َ َ َ َ ْ ْ َ ت َكا َن َر ُس ُ َ 3-ع ْن َعاِ َش َة قَالَ ْ
ى ى ى ى ىى ى مَضه الَّ ىذي مات فى ىيه جعلْت أَنْ ُف ُ ى
لِت أ َْعظَ َم ََََِك ًة م ْن يَدي َوىِف ىرَوايَة َُْ ََي ِْ ىن أَين َ ث َعلَْيه َوأ َْم َْ ُحهُ ِىيَد نَ ْفْه َأَن ََّها َكانَ ْ ََ ُ َ َ ََ َ ُ
ات (مْلم( ىِبُع ِّل َذ ٍ
َ
14. Terapi dengan Doa, Dzikir dan Taubat
ض َها أ َْو َعى ىم ْن َِ ْع ٍ
ض فَىإذَا َسأَلَُْ ْم ى ى َن رس َ ى ى ى
صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال الْ ُقلُ ُ
لِ أ َْوعيَةٌ َوَِ ْع ُ لل اللَّه َ َ 1-ع ْن َعْبد اللَّه ِْ ىن َع ْم ٍَو أ َّ َ ُ
ب َغافى ٍل (رواه اْل َجاَِىة فَىإ َّن اللَّ َه َا يَََْ ىجيب لى َعْب ٍد َا َعاهُ َع ْن ظَ ْه ىَ قَلْ ٍ
ْ ُ اسأَلُلهُ َوأَنَُْ ْم ُملقىنُل َن ِى ْى
َّاس فَ ْ َّ
الل َه َعََّ َو َج َّل أَين َها الن ُ
أْحد(
ى صلَّى اللَّهُ َعلَْي ىه َو َسلَّم ْااعُلا اللَّ َه َوأَنَُْ ْم ُملقىنُل َن ِى ْى
اْل َجاَِىة َو ْاعلَ ُملا أ َّ َّ 2-عن أىَِب هَي َةَ قَ َال قَ َال رس ُ ى
يب
َن الل َه َا يَ ََْْج ُ َ لل اللَّه َ َُ َ ْ ُ َ َْ
ب َغافى ٍل َا ٍه (التمذي( ُا َعاء ىم ْن قَلْ ٍ
ً
14
ص ْلَم َعَى ىه فَأ َْم َِكنََْهُ ىم ْن نَ ْف ىْ َها فَ َلقَ َع إى ْن ىشْئَُم ََأَفَْىنَ نَّه لَ ُِكم قَ َال فَََ عََّضت لَه فَ لَم ي لََْ ىفت إىلَي ها فَأَتَ ى
ت َراعيًا َكا َن يَأْ ىوي إى ََل َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َْ ُ ْ ْ
ض ىَُِلنَهُ فَ َق َال َما َشأْنُ ُِك ْم قَالُلا ص ْلَم َعََهُ َو َج َعلُلا يَ ْ ى
اسََ ْن ََلُلهُ َوَه َد ُملا َ
ت ُه َل م ْن ُجََيْ ٍج فَأَتَ ْلهُ فَ ْ ت قَالَ ْ ت فَلَ َّما َولَ َد ْ َعلَْي َها فَ َح َملَ ْ
ى زنَي ى ى ى ى
الصى َِّب
ف أَتَى َّ صََ َ صلَّى فَلَ َّما انْ َ ُصلِّ َي فَ َِب فَ َجاءُوا ِىه فَ َق َال َاعُ ىلِن َح ََّّت أ َ الصى ن
ك فَ َق َال أَيْ َن َّ ت ىمْن َ ت َبَذه الْبَغ ِّي فَ َللَ َد ْ َْ َ
اعي قَ َال فَأَقْ بَ لُلا َعلَى ُجََيْ ٍج يُ َقبِّلُلنَهُ َويَََ َم َّْ ُحل َن ِىىه َوقَالُلا نَْب ىِن لَ َ
ك الَ ى
لَ قَ َال فَُال ٌن َّ فَطَ َع َن ىِف َِطْنى ىه َوقَ َال يَا غُ َالمُ َم ْن أَُِ َ
ب َعلَى َااٍَِّة ى ن َكما َكانَت فَ َفعلُلا وِ ي نَا صىِب ي َ ى ى
ض ُع م ْن أ ُِّمه فَ َمََّ َر ُج ٌل َراك ٌ ْ َ َ َْ َ َ ْ َ يد َ ى ى ٍ
وها م ْن ط َ َع ُب قَ َال َا أ ى ك ىم ْن َذ َه ٍ ص ْلَم َعََ َ َ
ى ى ى ى ٍ ٍ
اج َع ْل اِْىِن مثْ َل َه َذا فَََ ََََ الثَّ ْد َي َوأَقْ بَ َل إىلَْيه فَنَظَََ إىلَْيه فَ َق َال اللَّ ُه َّم َا ََتْ َعلْ ىِن مثْلَهُ ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم ْ فَا ىرَهة َو َش َارٍة َح َْنَة فَ َقالَ ْ
صبَعى ىه اعهُ ِىىإ ْ ضَ
ى ى ى
صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُه َل َُِْكي ْارت َ
ى ى
َِن أَنْظَُُ إى ََل َر ُسلل اللَّه َ ض ُع قَ َال فَ َِكأ ِّ ُُثَّ أَقْ بل علَى ثَ ْديىىه فَجعل ي َتَ ى
َ َ َ َْ ََ َ
ى َّ ى
لل َح ْْى َِب اللهُ َون ْع َم الْ َلك ُ
يل ت َوىه َي تَ ُق ُ ت سَقْ ى ى
ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ
ص َها قَ َال َوَمنَوا ىِبَا ىريٍَة َو ُه ْم يَ ْ ى الْبَّاَِىة ىِف فَ ىم ىه فَ َج َع َل َُيُ ن
َّ
ى اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها فَ ُهنَ َ ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم َا ََْت َع ْل اِْىِن ىمثْلَ َها فَََ ََََ َّ
ت يث فَ َقالَ ْ اج َعا ا ْْلَد َ اَ تَ ََ َ اع َونَظَََ إىلَْي َها فَ َق َال اللَّ ُه َّم ْ ضَ الَ َ فَ َقالَ ْ
ض ىَُِلنَ َهات اللَّ ُه َّم َا ََتْ َعلْ ىِن ىمثْلَهُ َوَمنَوا ىَبَ ىذهى ْاَأ ََم ىة َو ُه ْم يَ ْ ى
اج َع ْل اِْىِن مثْلَهُ فَ ُقلْ َ ت اللَّ ُه َّم ْ
ى
َحلْ َقى َمََّ َر ُج ٌل َح َْ ُن ا ََْْيئَة فَ ُقلْ ُ
ت الَ ُج َل َكا َن َجبَّ ًارا فَ ُقلْ ُ اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها قَ َال إى َّن َذ َاَ َّ ت اللَّ ُه َّم ْ
ى
ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َع ْل اِْىِن مثْلَ َها فَ ُقلْ َ
ى ى
َويَ ُقللُل َن َزنَْيت َسََقْت فَ ُقلْ ُ
اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها ى ى ى ىى ى
ت اللَّ ُه َّم ْ اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن مثْلَهُ َوإى َّن َهذه يَ ُقللُل َن ََا َزنَْيت َوََلْ تَ َْن َو َسََقْت َوََلْ تَ ْْ ىَ ْق فَ ُقلْ ُ
ىى ىٍ 5-حدَّثَنَا ُزَهْي َ ِْن حَ ٍ
ين َع ْن أىَِب ُهََيَََْة َع ْن النى ِّ
َِّب َخبَ ََنَا َج ىَ ُيَ ِْ ُن َحازم َحدَّثَنَا َُمَ َّم ُد ِْ ُن سري َ يد ِْ ُن َه ُارو َن أ ْ ِ َحدَّثَنَا يَىَ ُ ُ ُ َْ َ
ب ُجََيْ ٍج َوَكا َن ُجََيْ ٌج َر ُج ًال َعاِى ًدا فَ َّاَتَ َذ صلَّى اللَّه علَي ىه وسلَّم قَ َال ََل ي ََ َِكلَّم ىِف الْمه ىد إىَّا ثََالثَةٌ ىعيْى اِن مَََ و ى
صاح ُ َ ْ ُ َْ َ َ َ َْ َْ ْ ُ َْ ََ َ َ
ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى ى
ت فَلَ َّما صََفَ ْ ص َالته فَانْ َ ََ َ َ ََ ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ صلِّي فَ َقالَ ْ ص ْلَم َع ًة فَ َِكا َن ف َيها فَأَتَ َْهُ أُنمهُ َو ُه َل يُ َ َ
ت فَلَ َّما َكا َن ىم ْن ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى ى ى
صََفَ ْص َالته فَانْ َ ََ َ َ ََ ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال يَا َر ِّ صلِّي فَ َقالَ ْ َكا َن م ْن الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ
ت اللَّ ُه َّم َا ُُتىَْهُ َح ََّّت يَْنظََُ ِ أ ُِّمي وص َالىِت فَأَقْ بل علَى ىى ى
ص َالته فَ َقالَ ْ ََ َ َ ََ َي َر ِّ ت يَا ُجََيْ ُج فَ َق َال أ ْ صلِّي فَ َقالَ ْ الْغَد أَتَ َْهُ َو ُه َل يُ َ
ت إى ْن ىشْئَُ ْم ََأَفَْىنَ نَّهُ لَ ُِك ْم ى ى ى ى ى ى ى ى
َّل ىِبُ ْْن َها فَ َقالَ ْت ْامََأَةٌ َِغي يََُ َمث ُ يل ُجًََْْيا َوعبَ َااتَهُ َوَكانَ ْ إ ََل ُو ُجله الْ ُملم َْات فَََ َذا َكََ َِنُل إ ْسََاِ َ
ى
ى ى ىى قَ َال فَََ عََّضت لَه فَلَم ي لََْ ىفت إىلَي ها فَأَتَ ى
ت فَلَ َّما ص ْلَم َعَه فَأ َْم َِكنََْهُ م ْن نَ ْفْ َها فَ َلقَ َع َعلَْي َها فَ َح َملَ ْ ت َراعيًا َكا َن يَأْ ىوي إى ََل َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َْ
ت ىَبَ ىذ ىه الْبَغى ِّي ض ىَُِلنَهُ فَ َق َال َما َشأْنُ ُِك ْم قَالُلا َزنَْي َ ص ْلَم َعََهُ َو َج َعلُلا يَ ْ اسََ ْن ََلُلهُ َوَه َد ُملا َ
ى
ت ُه َل م ْن ُجََيْ ٍج فَأَتَ ْلهُ فَ ْ ت قَالَ ْ َولَ َد ْ
ِب فَطَ َع َن ىِف َِطْنى ىه َوقَ َال الصى َّ
ف أَتَى َّ صََ َ صلَّى فَلَ َّما انْ َ
ى
ِب فَ َجاءُوا ِىه فَ َق َال َاعُ ىلِن َح ََّّت أ َ
ُصلِّ َي فَ َ الصى ن
ك فَ َق َال أَيْ َن َّ ت ىمْن َ فَ َللَ َد ْ
ب ك ىم ْن ذَ َه ٍ ص ْلَم َعََ َ
ك َ اعي قَ َال فَأَقْ بَ لُلا َعلَى ُجََيْ ٍج يُ َقبِّلُلنَهُ َويَََ َم َّْ ُحل َن ِىىه َوقَالُلا نَْب ىِن لَ َ الَ ى
لَ قَ َال فَُال ٌن َّ يَا غُ َال ُم َم ْن أَُِ َ
ب َعلَى َااٍَِّة فَا ىرَه ٍة َو َش َارٍة َح َْنَ ٍة ى ن َكما َكانَت فَ َفعلُلا وِ ي نَا صىِب ي َ ى ى
ض ُع م ْن أ ُِّمه فَ َمََّ َر ُج ٌل َراك ٌ ْ َ َ َْ َ َ ْ َ يد َ ى ى ٍ
وها م ْن ط َ
قَ َال َا أ ى
َع ُ
اج َع ْل اِْىِن ىمثْ َل َه َذا فَََ ََََ الثَّ ْد َي َوأَقْ بَ َل إىلَْي ىه فَنَظَََ إىلَْي ىه فَ َق َال اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن ىمثْلَهُ ُُثَّ أَقْ بَ َل َعلَى ثَ ْديىىه ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم ْ فَ َقالَ ْ
الْبَّاَِىة ىِف فَ ىم ىه فَ َج َع َل صبَعى ىه َّ اعهُ ِىىإ ْ
ضَ
ى ى ى
صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُه َل َُِْكي ْارت َ
ى ى
َِن أَنْظَُُ إى ََل َر ُسلل اللَّه َ ض ُع قَ َال فَ َِكأ ِّ فَجعل ي َتَ ى
َ َ َ َْ
ت أُنمهُ اللَّ ُه َّم َا يل فَ َقالَ ْ
ى َّ ى
لل َح ْْى َِب اللهُ َون ْع َم الْ َلك ُ ت َوىه َي تَ ُق ُ ت سَقْ ى ى
ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ
ص َها قَ َال َوَمنَوا ىِبَا ىريٍَة َو ُه ْم يَ ْ ى َُيُ ن
ى اج َعلْ ىِن ىمثْلَ َها فَ ُهنَ َ ََْت َع ْل اِْىِن ىمثْلَ َها فَََ ََََ َّ
ت َحلْ َقى َمََّ َر ُج ٌل َح َْ ُن يث فَ َقالَ ْاج َعا ا ْْلَد َ اَ تَََ َ اع َونَظَََ إىلَْي َها فَ َق َال اللَّ ُه َّم ْ ضَ الَ َ
ت ت سَقْ ى ى ت اللَّ ُه َّم َا ََْت َعلْ ىِن ىمثْلَهُ َوَمنَوا ىَبَ ىذ ىه ْاَأََم ىة َو ُه ْم يَ ْ ى ى
اج َع ْل اِْىِن مثْلَهُ فَ ُقلْ َ ت اللَّ ُه َّم ْ
ى
ضَُِلنَ َها َويَ ُقللُل َن َزنَْي َ َ ا ََْْيئَة فَ ُقلْ ُ
16
Referensi:
1. Shahih Bukhari,oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin
Bardzibah al-Bukhari yang lebih dikebal dengan sebutan al-Bukhari (wafat.256 H=870 M).
2. Shahih Muslim, oleh al-Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjal al-Qusyairi al-Naisaburi,
yang lebih dikenal dengan sebutan Muslim (wafat 261 H=875 M
3. Sunan Abu Daud, oleh al-Imam Abu Daud bin Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani,
yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Daud as-Sijjistani atau Abu Daud (wafat 275 H=889
M).
4. Sunan at-Turmudzi, oleh al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-
Dlahak al-Salmi at-Turmudzi, yang lebih dikenal dengan sebutan at-Turmudzi atau at-
Tirmidzi (wafat 279 H=892 M).
5. Sunan an-Nasa’i, al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr
an-Nasa’i, yang lebih dikenal dengan sebutan an-Nasa’i (wafat 303 H=915 M).
6. Sunan Ibnu Majah, oleh al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Ibni Majah al-
Qazwini, dalam masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Majah (wafat 273 H=887 M).
7. Sunan ad-Darimi, oleh al-Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman bin Fadl bin
Bahran bin Abdis Samad at-Tamimi ad-Darimi, yang lebih dikenal dengan sebutan ad-Darami
(wafat 255 H= 868 M). Kitab ini menggunakan lambang (dy)
8. Al-Muwatha’. Kitab ini dalam masyarakat biasa disebut sebagai Muwatha’ Malik, oleh al-
Imam Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Asbahi, yang lebih dikenal dengan
sebutan Malik bin Anas (wafat 179 H=795 M).
9. Musnad Ahmad atau dikenal sebagai Musnad Ahmad bin Hanbal. Oleh al-Imam Abu Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal as-Syaibani al-Mawarizi, yang lebih dikenal dengan nama
Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H=855 M).
17
Konseling Qur'ani
Konsep Konseling Berdasarkan Ayat-Ayat Al Qur’an Tentang Hakikat Manusia, Pribadi
Sehat, Dan Pribadi Tidak Sehat
Oleh: Abdul Hayat6
ABSTRAK
Kajian ini adalah untuk menemukan konsep konseling berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, yaitu tentang hakikat
manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat. Bentuk kajian ini adalah kajian pustaka yang bersifat kualitatif.
Hasil kajian ini disimpulkan: manusia pada hakikatnya adalah makhluk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk
religius. Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain, lingkungan, dan Allah. Pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan Allah.
Kata-kata kunci: Konsep konseling, hakikat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan
pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme,
humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan
kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya
konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut.
Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman
yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan
, keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri.
Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip
oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih
suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990:
293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler,
seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam
memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat
yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh
Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor
dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk
meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa
menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal
ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan
untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya
6
http://hayat-banjar.blogspot.co.id/2009/04/konseling-qurani.html?showComment=1446172869737#c53521519828
30016762
18
untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk
kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan
oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini
merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan konseling yang berwawasan
agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia
barat hal ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan nilai-nilai Al
Kitab) di kalangan umat Kristiani.
Ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai konseling, namun hal itu belum terungkap
dan tersaji secara konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha mengungkan ayat-ayat tersebut
khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan menyajikannya secara
konseptual dan sistematis. Allah mengisyaratkan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang mau
mempelajari ayat-ayat Al Qur’an. Firman Allah Swt. yang artinya; Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al
Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ? (Q.S. Al-Qamar: 40).
Ayat-ayat Al Qur’an itu mudah dipelajari, memahaminya tidak memerlukan penafsiran yang rumit,
serta kandungannya bisa dikaitkan kepada hal-hal yang aktual, karena ayat-ayat Al Qur’an memang memuat
fakta-fakta hukum yang bersifat emperik, sekaligus memuat nilai-nilai yang bersifat filosofis, sehingga isinya
mudah diungkap dan bisa dikaitkan ke berbagai aspek realitas kehidupan.
B. METODE
1. Bentuk dan Sifat Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan
konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan
kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku teks, jurnal atau majalah-majalah ilmiah dan hasil-hasil
penelitian (Pidarta, 1999: 3-4).
Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, menekankan proses, menganalisa data
secara induktif, dan rancangan bersifat sementara (Bogdan & Biklen, 1990: 28-29).
Kedua. Mencari dan mengumpulkan data ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling.
Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung nilai-nilai konseling dengan berpijak
pada sifat dan kriteria konsep pokok konseling yang pada langkah pertama.
Ketiga. Menetapkan ayat-ayat Al Qur’an yang relevan dengan konsep pokok konseling, menafsirkan,
dan menguraikannya secara konseptual dan sistematis.
Keempat. Melakukan sintesis kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan konsep konseling, yaitu dengan
mengungkap, menghubungkan dan menggabungkan secara kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang telah
ditetapkan dengan konsep pokok konseling sehingga terlihat dengan jelas relevansinya.
Kelima. Membuat ketetapan akhir dengan menyimpulkan bagaimana konsep konseling berdasarkan
ayat-ayat Al Qur’an secara konseptual dan sistematis.
C. HASIL KAJIAN
1. Hakikat Manusia
Menurut konsep konseling, manusia itu pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk
pribadi, dan makhluk sosial. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu Al
Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini meliputi ketiga komponen
lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi, dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia
sebagai makhluk religius.
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan
kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting.
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan
sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius. Manusia sebagai makhluk
religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu
terikat dengan nilai-nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang
menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan
dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang relevan
dengan insting ini disebut nafsu.
Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-
kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan
memaksakan diri serta cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.).
Al Hawa adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan
kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh
kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi
atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat
dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad: 26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah, yaitu nafsu yang selalu mendorong
untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang
menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan nafsu amarah dengan perbuatan nyata,
sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu
menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3) nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan
20
kalbu sehingga dirahmati oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti
mendorong kepada hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
2. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri
dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial. Al Qur’an di samping
menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis, Eksistensial, Terapi
Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang mampu megngatur diri dalam
hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta
serasinya fungsi id, ego dan superego, (2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4)
percaya diri, (5) sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan bertanggung
jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9) tidak terbelenggu oleh ide tidak
rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas adalah pribadi yang akal dan
kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62).
Mampu membebaskan diri dari khauf (kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48
dan Ar-Ra’du: 28). Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan
kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan terhadap pengalaman
(Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri ini ada pada orang yang istiqamah
(konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-
Imran: 139). Mampu menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak
dan kerja (sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup yang
disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran: 29, Ar-Ra’du:11,
Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki kepribadian shidiq, yaitu
sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan,
serasi antara sikap dan perilaku (Al-Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab,
salah satu bentuk penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha
22
memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-Imran:135), serta
adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang
lebih baik dan bersegera melakukannya (Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32),
memiliki sikap tawakkal dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah,
dengan kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140, Al-
Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu bersyukur atas apa yang
ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri. (An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-Taubah: 105). Di samping
itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai
tuntunan-Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun
minallah dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan
dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi yang tidak mampu mengatur
diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalaho
pribadi yang tidak beriman dan enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga
sebagai kufur orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak
menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Dalam melakukan
muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku zhalim, mementingkan diri sendiri
tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6, Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping
25
kekufuran, kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”.
Orang yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal perbuatannya
diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain, seperti kepada roh halus, atau semata-
mata untuk manusia, baik dalam melakukan ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al
Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan
sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih
mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).
D. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia
a. Sebagai Makhluk Biologis
Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an, manusia mempunyai potensi nafsu, yaitu al hawa dan as-syahwat.
Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk
selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Al Hawa adalah
dorongan yang tidak rasional, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang terpengaruh oleh
kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau
sentimen. Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: nafsu amarah , yaitu nafsu yang selalu mendorong
untuk melakukan kesesatan dan kejahatan, nafsu lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal, dan nafsu
muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong
kepada hal-hal yang positif.
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling sebagaimana dikemukakan oleh Freud dalam
Psikoanalisisnya bahwa manusia memiliki potensi dasar isnting yang dalam pembentukan kepribadian
berkedudukan dalam id, yaitu sumber utama energi psikis berupa dorongan seksual (libido), dorongan hidup
(eros) dandorongan agresip merusak diri (thanatos), dorongan ini tidak rasional,tidak bermoral, memaksakan
kehendak yang berada di luar kesadaran manusia.
2. Pribadi Sehat
Pribadi sehat adalah pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain,
lingkungan, dan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut keterangan Al Qur’an pribadi sehat dalam hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi
yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan dorongan nafsu, mampu
membebaskan diri dari khauf (kecemasan), memiliki kebebasan dan bertanggung jawab, berbuat atas
pertimbangan sendiri serta siap bertanggung jawab baik terhadap sesama manusia maupun kepada
Allah Swt.. Dismping itu juga pribadi yang memiliki kepribadian shidiq dan amanah, mampu
menjadikan hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja (ihsan),
serta sealalu berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya,
memiliki sikap tawakkal, serta mampu bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau
menerima diri sendiri (qana’ah).
27
Keterangan ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi sehat itu memiliki
ciri-ciri pokok: ego berfungsi penuh, serta sesuainya antara id, ego dan superego, bebas dari
kecemasan, keterbukaan terhadap pengalaman, memiliki kebebasan dan tanggungjawab, kongruensi,
sumber evaluasi internal, kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, serta tidak
terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), menerima diri sendiri dan percaya diri.
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang mau
melakukan amal saleh, bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong
menolong, menerima pengalaman dan bertanggung jawab sekalipun pengalaman itu buruk dan
menyakitkan, berpikiran positif (husnus zhan). Di samping itu dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf
dan nahi mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus
mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam bermuamalah maupun beribadah secara
langsung maupun tidak langsung.
Keterangan ini relevan dengan Berdasarkan keempat teori ini, pribadi yang benar terhadap orang lain
adalah pribadi yang mau menyumbang, memberi dan menerima, menerima pengalaman dan
bertanggungjawab, memandang baik diri sendiri dan orang lain (I ‘m ok your are ok), signifikan dan
berharga bagi orang lain, dan memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau
mengorbankan orang lain.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang
peduli, menjaga dan memelihara kelestarian lingkungannya, dan pribadi yang mampu memproduk
lingkungan menjadi kondosip bagi kehidupan.
Konsep ini relevan dengan konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan
Behavioral yang menegaskan bahwa pribadi yang benar terhadap lingkungan adalah pribadi yang
mempu berhubungan baik dengan lingkungan, juga berbuat sesuatu guna mengolah lingkungan
menjadi baik, minimal tidak membuat sesuatu yang bisa merusak lingkungan, sehingga tercipta
lingkungan yang kondusif bagi kehidupan.
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. adalah pribadi yang selalu
meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas,
menjalankan muamalah dengan benar dan dengan niat yang ikhlas. Di samping itu juga pribadi yang
mampu menjalankan secara seimbang diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-
Nya, juga menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah
dan hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya berjalan
dengan baik. Keterngan ini tidak dijelaskan dalam konsep konseling.
sekehendaknya, penuh emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral, tidak mampu membebaskan diri
dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu sendiri terlahir dari perbuatan dosa baik terhadap
Allah maupun terhadap sesama manusia, ta’ashub yaitu tidak terbuka terhadap pengalaman, tidak
mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, dan yang lebih parah lagi adalah
berkepribadian munafik, riya yaitu beramal hanya untuk dilihat orang lain, kurang memiliki kesadaran
diri dan tidak konstruktif, tidak pandai bertawakkal, rendah diri (ya’uus ) dan putus asa (qunuut).
Konsep ini relevan dengan konsep konseling yang menegaskan bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur hubungan dengan diri sendiri itu memiliki ciri-ciri kepribadian sebagai berikut: ego tidak
berfungsi penuh, tidak serasinya antara id, ego, dan superego, dikuasai kecemasan, tidak terbuka
terhadap pengalaman, tidak mengakui pengalaman atau tidak bertanggung jawab, inkongruen,
sumber evaluasi eksternal, kurangnya kesadaran diri, tidak konstruktif, terbelenggu ide tidak rasional
(tuntutan kemutlakan), serta rendah diri putus asa.
nikmat). Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku
zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain. Di samping kekufuran,
kesalahan yang sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik.
Kemudian, pribadi yang tidak sehat terhadap Allah adalah pribadi yang tidak mampu memungsikan
diri secara seimbang antara diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan
urusan keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan keduniaan
tertinggalkan. Konsep ini tidak diterangkan dalam konsep konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2001.
Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000.
As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
30
Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling. Counseling and Values, (36):
179-191,.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode.
Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direkturat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 1990.
Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred: Four Approaches to
Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of Counseling & Development. (78): 162-170.
Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5. Monterey, California:
Brooks/Cole Publishing Company, 1996.
Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1992.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an Pelita IV /
Tahun I, 1984/1985.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990.
Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional Consideration and
Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72): 395-398.
Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling and Pasychotherapy.
Boston: Allyn and Bacom, 1984.
Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, INC., 1970.
Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah Al-Islami, 1979.
Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the Working Alliance Using
Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling Psychology 42: 338–349.
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir,
1994.
Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang. Dalam Effendy, E.A
(Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad Subandi: PT. Lentera
Basritama, 2000.
Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd., 1995.
Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan.
(26): 3-15.
Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme Islam Di Indonesia.
Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.99-141). Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1999.
Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.
Posted by hayat at 16:51