Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Assesment Psikologi Klinis pada mulanya dikenal dengan nama psikodiagnosis.
Istilah “assesment” dalam psikologi klinis untuk pertama kali digunakan di Amerika
Serikat, yaitu untuk menyeleksi calon untuk melaksanakan misi khusus dalam PD II.
Dalam kegiatan psikologis pada umumnya, pemeriksaan psikologis dilakukan dengan
nama assesment psikologis, yang berlaku secara umum terhadap individual normal,
seperti untuk keperluan seleksi calon tenaga kerja, memilih jurusan dalam bidang
pendidikan, dan lain-lain. Untuk keperluan klinis, khususnya menyangkut kegiatan
menemukan sumber gangguan untuk masalah devisi perilaku atau disabilites ,
penamaan kegiatannya adalah assesment psikologi dan mendiagnosis. Mendiagnosis
adalah menggolongkan hasil pemeriksaan pada “kotak” jenis gangguan menurut
pengelompokan gangguan manapun.
Assesmen klinis, misalnya dapat dipahami sebagai kegiatan yang meliputi
evaluasi mengenai kekuatan dan kelemahan individual, merupakan konsepsualisasi
suatu masalah yang dialami, dan beberapa resep untuk mengurangi masalah;
kesemuanya merupakan cara kita untuk memahami lebih diri klien. Assesmen
bukanlah sesuatu yang sekali dilakukan dan untuk selamanya selesai. Jadi assesmen
merupakan suatu proses yang biasanya berjalan bersama terapi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis-jenis asesmen?
2. Apa itu klasifikasi diagnostik?
3. Apa itu wawancara klinis dan contohnya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu jenis-jenis asesmen
2. Untuk mengetahui apa itu klasifikasi diagnostik
3. Untuk mengetahui apa itu wawancara klinis beserta contohnya

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jenis-Jenis Asesmen
I. Asesmen pengungsian intelektual
Asesmen merupakan kontroversi ilmuwan profesional pertama dalam psikologi
klinis. Para teoretis dan peneliti menaruh minat terhadap struktur intelektual
berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Untuk mengembangkan tipe pengertian ini,
dibutuhkan pengukuran dan prosedur statistik lanjutan dan jumlah subyek penelitian
yang banyak. Ahli lain Spearman (1904) mengemukakan adanya satu kemampuan
yang disebut sebagai faktor inteligensi (general factory of inteligence), sehingga saat
ini kita mengenal salah satu teori spearman mengenai inteligensi sebagai "General
Factory Theory". Para ahli yang berpendapat lain mengemukakan teori faktor
spesifik, sehingga pada umumnya kita menganggap inteligensi ini terdiri atas faktor
umum dan faktor khusus. Faktor khusus inteligensi saat ini tercermin dalam apa yang
disebut multipelintellugence dari Gardner.1
Rudolf Amthauer (1970) menyatakan hal yang sedikit berbeda. Menurutnya,
inteligensi ialah sebagai suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian
seseorang, suatu kebutuhan yang berstruktur yang terdiri atas kemampuan jiwa-
mental dan diungkapkan melalui prestasi, serta memberikan kemampuan kepada
individu untuk bertindak. Inteligensi hanya dapat dikenal melalui ungkapan-ungkapan
yaitu terlihat melalui prestasi.
Berikut ini dikemukakan beberapa alat tes inteligensi yang umum dipakai,
khususnya di Indonesia:
1. Standford-Binet Intelligence Scale
Semula alat tes pengukuran inteligensi adalah Skala-Binet-Simon. Alat tes ini
terdiri atas 30 pertanyaan yang dimulai dari yang sangat mudah ke yang sangat sukar
dan yang mengukur kemampuan sensori dan perseptual, seperti juga ketrampilan
verbal. Kemudian, mengalami beberapa revisi, dan revisi besar-besaran dilakukan di
Amerika oleh Termanifestasi (1916) di Srandford-Binet University yang kemudian
dikenal dengan nama Standford-Binet.

1
Sutardjo A. Wiramihardja. Pengantar Psikologi Klinis. (Bandung: PT. Refika Aditama,
2004). Hal. 131

2
2. Weshler Adult Intelligence Scale (WAIS)
WAIS merupakan alat pemeriksaan inteligensi yang bersifat individu. WAIS
merupakan alat yang paling populer karena paling banyak digunakan saat ini. Semula
bernama Wescler Bellevue Intelligence Scale (WBIS) di samping WISC ( Wescler
Intelligence Scale for Children).
Tes inteligensi ini memiliki enam subtes yang terkomunikasikan kan dalam
bentuk skala pengukuran ketrampilan verbal dan lima subtes membentuk suatu skala
pengukuran ketrampilan tindakan (performance). Tes intelligensi yang bersifat khas
karena individual (WAIS/WBIS) ditinjau dari setting klinis, meliputi pengukuran
ketrampilan verbal dan pengukuran ketrampilan melakukan tindakan (performance).
II. Asesmen Kepribadian
Asesmen Kepribadian merupakan istilah yang umum dalam upaya untuk menemukan
pola perilaku dan pola pikiran atau penyesuaian diri seseorang secara khas terhadap
lingkungannya. Sunberg (1976).
Dalam asesmen Kepribadian, pendapat psikoanalisa tentang adanya budaya substansi
yang direpresentasikan, merupakan asumsi yang tidak dapat dihindarkan, setiap gejala
yang tampil dalam perilaku, selain didasari oleh intensi yang sadar. Juga sangat
penting mengenai peran yang tidak sadar. Dalam banyak kasus bisa dikemukakan,
bahwa perilaku yang disadari atau disengaja, sering dilatarbelakangi kebutuhan atau
motivasi yang tidak sadar. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memahami latar
belakang itu. Antara lain dengan melihat simbol atau latar belaknhotivasi di balik
tingkah laku sadarnya. Tentu saja harus dimengerti lebih dahulu mengenai apa yang
dimaksud dengan perilaku yang sadar dan yang tidak sadar.
1. Protective Assesment
Berkembang dari perspektif teoritis yang menampilkan karakteristik dinamis sebagai
inti kepribadian (seperti psikoanalitis). Karena itu, metode dasarnya melibatkan upaya
menyiapkan subyek dalam suatu bentuk kisah, ambifus, dan hampir tanpa isi terhadap
mana untuk beresonansi bersama suatu minimum struktur atau instruksi. Secara
teoritis pemeriksa menganggap bahwa bila semua alat tes berisikan suatu isi yang
minimum maka respons subyek hanya merupakan fungsi kepribadian subyek. Dapat
dilakukan makin banyak kesempatan subyek harus beresonansi bebas idiosinkratis,
makin personal dan bermalamlah respons-respons itu. Berdasarkan pandangan teori
psikodinamik mengenai kepribadian. Proyeksi dilihat sebagai alat yang sensitif bagi
aspek tak sadar perilaku. Mekanisme pertahanan diri dan kesenderungan laten
3
disimpulkan dari data fantasi tak terstruktur yang dihasilkan dalam konteks di mana
tidak ada jawaban yang benar dan salah.
2. Objective Assesment
Hutcherson (1971) ada tiga perbedaan mendasar antara asesmen protektif dan
asesmen obyektif. Pertama, Assesment protektif sangat menaruh perhatian pada
dinamika intraphisik sementara asesmen obyektif mencari deskripsi sifatnya yang
dimaksud dengan deskripsi sifat ialah deskripsi kebiasaan seseorang atau gaya
karakteristik yang kedua, tes protektif bersifat samar-samar dan memiliki kebebasan
untuk menjawab, sementara tes obyektif memiliki stimuli yang dirancang secara jelas
dan meminta jawaban-jawaban yang terbatas. Ketiga, isi respons tes protektif secara
tipikal ditafsir tiap orang tanpa refrensi norma. Skor tes obyektif membandingkan
hasil seseorang dengan orang-orang lainnya. Oleh karena itu, standarisasi sangat
penting dalam tes obyektif. Secara singkat, asesmen obyektif merupakan pendekatan
yang terstruktur, ilmiah, dan non subyektif dalam deskripsi individual.
Yang paling terkenal dalam pemakaian klinis terutama dikalangan psikiatrik adalah
Minnesota Multiphasic Personaliti Inventori (MMPI), California Psychology
Inventori (CPI), dan Sixteen Personaliti Factor Questionnair (16PF).
III. Asessmen Pemfungsian Neuropsikologis
Asessmen neuropsikologi melibatkan pengukuran tanda-tanda perilaku yang
mencerminkan kesehatan atau kekurangan dalam fungsi otak. Terdapat tiga kegiatan
psikolog klinis dalam asesmen neuropsikologis, yaitu menyangkut focus perhatian
asesmen ini, sejumlah alat tes neuropsikologis yang utama, dan bukti-bukti riset
menyangkut realibilitas dan tes validitas tes untuk asesmen neuropsikologis.
Pertanyaan-pertanyaan asesmen neuropsikologis yang memerlukan jawaban.
Kapan saja otak seseorang mengalami gangguan –baik karena penyakit ataupun
genetis- kelumpuhan menyebabkan perubahan dalam pikiran, perilaku, dan atau
emosinya. Asesmen neuropsikologis berusaha untuk menunjukkan kehadian, dan
lokasi, dari cedera otak dengan menjawab enam pertanyaan berikut:
1) Apakah gangguan otak jelas lokasinya atau kabur?
Biasanya, jika cedera otak terbatas pada daerah yang tertentu, hasil gangguan
kognitif, afektif, dan perilkau akan spesifik dan terbatas. Bagimanapun, jika
gangguan otak lebih kabur, hasil berupa disfungsi cenderung untuk
berkorespondensi tergeneralisasi. Sumber gangguan otak yang kabur termasuk
kekurangan oksigen (anoxia), penyakit infeksi, penyakit degenerative,
4
penyalahgunaan obat, dan cedera kepala. Gangguan otak yang jelas lokasinya
berasal dari trauma tertentu yang lebih spesisfik, tumor, infeksi pada daerah
tertentu, atau gangguan vascular.
2) Apakah gangguan bersangkutan dengan pergeseran jaringan atau penyakit
jaringan?
Pergeseran jaringan otak, biasanya nebghasilkan simtom perilaku yang spesifik.
Penyakit jaringan lebih sering menyebabkan gangguam otak dan disfumgsi
perilaku yang tergeneralisasi, termasuk “efek jarak”.
3) Apakah gangguan bersifat progresif atau non progresif?
Progonosis untuk deteriorasi yang berkelanjutan vs kondisi yang tetap penting
untuk perencanaan rehabilitasi dan penanganan, maupun untuk pengetahuan klien.
Trauma insiden tunggal cenderung untuk berefek yang tidak bertumbuh terus
menerus. Sebaliknya, penyakit atau gangguan otak yang samar cenderung untuk
membuat deteriorasi progresif.
4) Apakah gangguan akut atau kronik?
Yang paling cepat dan rekoveri ekstensif gangguan perilaku dan fungsi kognitif
cenderung terjadi pada sutu atau dua bulan pertama setelah cedera otak. Dalam,
banyak kasus terutama dengan gangguan itak yang jelas daerahnya,
perkembangan bertahap dapat berkelanjutan untuk beberapa tahun, sementara
pada kasus disfungsi otak kronik menghasilkan secara progresif lebih melebar dan
menyebabkan deteriorasi kognitif dan perilaku.
5) Apakah disfungsi itu organic atau fungsional?
Implikasi dari oembedaan antara yang bersifat fisiologis vs psikologis yang
disebabkan oleh masalah-masalah juga penting. Orang yang otaknya tidak
mengalami kerusakan sering memperlihatkan disfungsi perilaku dan kognitif yang
hampir sejajar dengan simtom kerusakan otak jika mereka mengalami kesulitan
psikologis yang serius. Kesalahan diagnosis baik dalam arah dapat membuat efek
negative pada penyesuaian sosial dan dari terapi. Jika kerusakan otak salah
diagnosis, terutama gangguan yang samara tau degenerative, hal ini dapat
membawa abandonment terapi = terapi psikologis dan atau penggunaan obat yang
tidak sesuai, baik yang dapat memperparah ketidakmampuan pasien maupun
perubahan rekoverinya.

5
6) Mungkinkah “Minimal Brain Dysfunction” ?
Kelompok orang yang secara khusus sukar bagi psikolog klinis untuk membuat
diagnose yang akurat adalah anak-anak yang memperlihatkan gangguan perilaku
dan kognitif sama dengan evidensi anak-anak yang mengalami kerusakan oatak.
Akan tetapi bagi mereka, neurology tidak dapat menemukan evidensi kelumouhan
otak yang jelas. Anak-anak ini diberi label yang berbagai-bagi seperti “minimal
brain dysfunction” (MBD), “hyperactive”, dan “learning disability”. Sampai saat
ini riset sedang berjalan untuk dapat menjelaskan peranan kerusakan otak vs
faktor-faktor psikologis dan “MBD” anak-anak.
1. Berbagai tes asesmen neuropsikologis
Terdapat delapan jenis tes asesmen neuropsikologis, yaitu:
1) Tes persepsi visual
Antara lain Test od facual perception (ToFR) dari Benton dan Van Allen, Hidden
figure word test (HFaHWT) dari Thailand, dan Word or picture regocnition and
recall (WoPRaR) dari Battersby, Bender, Pollack, dan Khan.
2) Tes persepsi pendengaran
Contohnya Seashore rhythm test dan speech-sound perception test.
3) Test of tactile perception
Antara lain sensory perceptual examination dan fingertip writing.
4) Tes of motor coordination and steadiness
Antara lain finger oscallation test dank love-Matthews motor steadiness battery.
5) Tests of sensomotor contruction skill
Antara lain block rotation test, tectual performance test, bender-gestalt test, dan
graham –kendall memory for design test.
6) Test of memory
Antara lain wechsler memory scale. Tes daya ingat dari Wechsler ini terdiri dari
short dan long term verbal dan non verbal memory.
7) Test of verbal (Kemampuan Bahasa)
Antara lain aphasia screeing test, token test, non sensory center comprehensive
examination for aphasia.
8) Test of conceptual reasoning skills
Antara lain category test dan trail making test.

6
IV. Asesmen Perilaku
Pendekatan perilaku dalam asesmen terpusat pada mengidentifikasikan perilaku
spesifik klien atau sistem lingkungan yang mungkin memerlukan perubahan.
Misalnya, jika bekerja dengan klien yang mengalami kecemasan, asesor perilaku
dapat bertanya:
 Situasi spesifik apakah yang menyebabkan perasaan cemas?
 Perilaku macam apa yang muncul ketika merasa cemas?
 Apakah kondisi lingkungan tertentu berhubungan dengan perubahan-perubahan
dalam parahnya rasa cemas?
 Bagaimana klien biasanya menanggulangi rasa cemas?
Asesmen perilaku merupakan pendekatan situasi spesifik, di mana variasi spesifik
dalam keadaan lingkungan dengan teliti dan periksa untuk menentukan peranan mereka
terhadap pemfungsian klien. Asesmen perilaku dapat juga dilihat sebagai pandangan
konseptual yang di dalamnya, pengaruh resiprokal tindakan orang dan konteks-konteks
lingkungan, mendapat penekanan. Secara tipikal asesor perilaku akan berusaha untuk
mengidentifikasikan hubungan antara interpersonal klien dan lingkungan fisiknya dan
perilaku yang mencerminkan permasalahan klien dalam kehidupannya.
Adapun landasan penggunaan asesmen perilaku adalah perspektif perilaku di mana
pemfungsian manusia dilohat sebagai produk dari interaksi yang terus menerus antara
pribadi dan situasi. Orang membentuk kehidupannya sendiri melalui perilakunya,
pemikiran dan perencanaan, serta emosinya.2
B. Klasifikasi Diagnostic
Digunakan oleh para psikiater. Diagnose yang tepat dibutuhkan untuk penanganan,
pemahaman penyebab gangguan jiwa, dan komunikasi penyebab gangguan jiwa, dan
komunikasi dengan sesama professional. Berdasarkan PPDGJ dan DSM-5 untuk
membuat diagnose multitaksial. Terdapat 5 aksis dalam DSM: aksis 1: gangguan
mental atau perkembangan, aksis 2:gangguan kepribadian, aksis 3: gangguan fisik,
aksis 4: stress psikososial. Aksis 5: fungsi psikologis, sosial, pekerjaan, 3 yaitu sebagai
berikut:
a. Aksis I :

2
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Psikologi Klinis, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2012), hlm. 129-153

3
Dikutip dari, https://www.universitaspsikologi.com/2018/04/asesmen-psikologi-klinis-
pengertian-contoh.html pada 3 okt 2019 jam 09.59.

7
1. Gangguan klinis (F10-F19: Gg. Mental dan perilaku = zat adiktif, F30-F39:
gangguan suasana perasaan(afektif/mood),dll)
2. Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis
b. Aksis II :
1. Gangguan kepribadian (F60: gangguan kepribadian paranoid, F60.1: gangguan
kepribadian schizoid, dll)
2. Retardasi mental
c. Aksis III : Kondisi medic umum
d. Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan (masalah pendidikan, masalah
pekerjaan masalah ekonomi dll)
e. Aksis V : Penilaian fungsi secara global (100-91: gejala tidak ada, berfungsi
maksimal, tidak ada masalah yang tak tertanggulangi, 50-41: gejala berat
(serious), disabilitas berat dll)
Catatan:
a) Antara aksis I, II, III tidak selalu harus ada hubungan etiologic atau pathogenesis.
b) Hubungan antara “Aksis I-II-III” dan “Aksis IV” dapat timbale balik saling
mempengaruhi.4
a. Aksis I
F00-F09 : gangguan mental organic (+simtomatik)
F10-F19 : Gg. Mental & perilaku = zat psikoaktif
F20-F29 : skizofrenia, Gg. Skizotipal & Gg. Waham
F30-F39 : gangguan suasana perasaan (afektif/mood)
F40-F48 : Gg. Neurotic, Gg. Somatoform & Gg. Terkait stress
F50-F59 : sindrom perilaku = Gg. Fisiologis/fisik
F62-F68 : perubahan kepribadian = non organic, Gg. Impuls, Gg. Seks
F80-F89 : Gg. Perkembangan psikologis
F90-F98 : Gg. Perilaku & emosional onset kanak-kanak
F99 : gangguan jiwa YTT
Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinis
Z 03 : tidak ada diagnosis aksis I
R 69 : diagnosis aksis I tertunda
b. Aksis II

4
Rusdi Maslim, Diagnosa Gangguan Jiwa PPDGJ-III dan DSM-5, (Jakarta: PT. Nuh
Cahaya, 2013), hlm. 11-13

8
F60 : gangguan kepribadian khas
F60.0 : gangguan kepribadian paranoid
F60.1 : gangguan kepribadian skizoid
F60.2 : gangguan kepribadian dissosial
F60.3 : gangguan kepribadian emosional tak stabil
F60.4 : gangguan kepribadian histrionik
F60.5 : gangguan kepribadian anankastik
F60.6 : gangguan kepribadian cemas (menghindar)
F60.7 : gangguan kepribadian dependen
F60.8 : gangguan kepribadian khas lainnya
F60.9 : gangguan kepribadian YTT
F61 : gangguan kepribadian campuran dan lainnya
F61.0 : gangguan kepribadian campuran
F61.1 : gangguan kepribadian yang bermasalah
Gambaran kepribadian maladaptive
Mekanisme defense maladaptive
F70-F79 : retardasi mental
Z 03.2 : tidak ada diagnosis aksis II
R 46.8 : diagnosis aksis II tertunda
c. Aksis III
Bab I A00-B99 penyakit infeksi dan parasit tertentu
Bab II C00-D48 neoplasma
Bab IV E00-G90 penyakit endokrin, nutrisi, & metabolic
Bab VI G00-G99 penyakit susunan saraf
Bab VII H00-H59 penyakit mata dan adneksa
Bab VIII H60-H95 penyakit telingan dan proses mastoid
Bab IX I00-I99 penyakit sistem sirkulasi
Bab X J00-J99 penyakit sistem pernapasan
Bab XI K00-K93 penyakit sistem pencernaan
Bab XII L00-L99 penyakit kulit dan jaringan subkutan
Bab XIII M00-M99 peny. Sistem musculoskeletal dan jar. Ikat
Bab XIV N00-N99 peny. Sistem genitourinaria
Bab XV O00-O99 kehamilan, kelahiran anak dan masa nifas
Bab XVII Q00-Q99 malformasi congenital, deformasi, kel. Kr
9
Bab XVIII R00-R99 gejala, tanda dan temuan klinis-lab. Abn
Bab XIX S00-T98 cedera, keracunan dan akibat kausa ekst.
Bab XX V01-Y98 kausa eksternal dari morb. Dan mortalitas
Bab XXI Z00-Z99 faktor => status kesehatan dan pelayanan kesehatan
d. Aksis IV
Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Masalah pendidikan
Masalah pekerjaan
Masalah perumahan
Masalah ekonomi
Masalah akses ke pelayanan kesehatan
Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/criminal
Masalah psikososial dan lungkungan alam
e. Aksis V
GLOBAL ASSESSMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE
100-91 : gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak
tertanggulangi
90-81 : gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah
harian yang biasa
80-71 : gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial,
pekerjaan, sekolah dll
70-61 : beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi,
secara umum masih baik
60-51 : gejala sedang (moderate), disabilitas sedang
50-41 : gejala berat (serious), disabilitas berat
40-31 : beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi,
disabilitas berat dalam beberapa fungsi
30-21 : disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi
hampir semua bidang
20-11 : bahaya menciderai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam
komunikasi dan mengurus diri
10-01 : seperti diatas  persisten dan lebih serius
0 : informasi tidak adekuat.
10
C. Wawancara Klinis
Wawancara terkadang menjadi satu-satunya metode yang digunakan oleh seorang
klinikus untuk asesmen klinis, wawancara biasa digunakan bersama-sama dengan
metode lain. Wawancara dan observasi dianggap sebagai alat asesmen utama asesmen
klinis. Menurut Goldenberg (1983), wawancara adalah pertemuan yang bersifat
percakapan yang diinisiasikan dengan penuh pertimbangan antara dua orang atau
lebih yang melibatkan komunikasi verbal maupun non verbal dimana seseorang
berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai tentang orang lain.
Wawancara dalam setting klinis, lebih daripada setting yang lain , sangat dipengaruhi
oleh sikap pemeriksa terhadap kliennya. Dari sudut klien, percakapan dengan
pemeriksa dapat ia rasakan secara berbeda-beda, misalnya sebagai suatu keadaan yang
dapat membebaskannya dari suatu penderitaan. Ini disebabkan klien memandang
pemeriksa memiliki keahlian. Atau klien juga dapat merasakan suatu pemeriksaan
klinis sebagai suatu bahaya, suatu kewajiban, dimana ia terancam untuk
membeberkan kelemahannya yang selama ini selalu ia tutupi.5
Terdapat tiga tipe wawancara :
a. Intake interview
Wawancara yang dimaksudkan untuk mempertemukan kebutuhan klien dan
pelayanan yang didapat. Lingkupnya dapat berkembang, yang paling dasar adalah
mengapa ia datang ke institusi psikologi? Tepatkah?.
b. Diagnostic interview
Suatu bentuk permainan detektif ilmiah, mencari tanda-tanda melalui penalaran
deduktif, dan membuat kesimpulan, sampai pada penyimpulan tentatif yang secara
keseluruhan dapat digolongkan ke dalam label diagnostika.
Pada wawancara ini pewawancara berusaha untuk mengungkap data yang dapat
diduga menampilkan (1) tanda dan simtom gangguan yang termasuk psikiatrik
seperti skizofrenia, (2) faktor-faktor psikologis yang mungkin sebagai penyebab
atau mengembangkan gangguan saat ini, (3) reaksi-reaksi terhadap gangguan yang
dapat mengganggu kooperasi klien melaksanakan program penanganan.
c. Crisis Interview

5
Suprapti Slamet, Pengantar Psikologi Klinis, ( Jakarta:UI Press,2015), hlm. 108.

11
Wawancara yang bersifat interaksi action-oriented dan pemecahan masalah,
dimana seorang klinikus sebagai narasumber, menghambat berkembangnya efek
masalah dan memudahkan pertumbuhan keterampilan klien.

Goldenberg mengemukakan ada empat tujuan umum wawancara psikologi klinis,


yaitu:
a. Memperoleh informasi tentang diri klien dan yang bersangkutan dengan hal itu.
b. Memberikan informasi sepanjang dianggap perlu dan sesuai dengan tujuan
wawancara.
c. Memeriksa kondisi psikologis atau memberikan diagnosis klien.
d. Mempengaruhi, mengubah, memodifikasi perilaku klien.6

6
Sutarjo A. Wiramiharja, Pengantar Psikologi Klinis, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), hlm. 100-
104.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Jenis jenis asesmen ada 4, yaitu:


1. Asesmen pengungsian intelektual
2. Asesmen Kepribadian
3. Asessmen Pemfungsian Neuropsikologis
4. Asesmen Perilaku

Klasifikasi Diagnostic digunakan oleh para psikiater. Diagnose yang tepat dibutuhkan
untuk penanganan, pemahaman penyebab gangguan jiwa, dan komunikasi penyebab
gangguan jiwa, dan komunikai dengan sesame professional. Berdasarkan PPDGJ dan DSM-5
untuk membuat diagnose multitaksial.
Wawancara terkadang menjadi satu-satunya metode yang digunakan oleh seorang
klinikus untuk asesmen klinis, wawancara biasa digunakan bersama-sama dengan metode
lain. Wawancara dan observasi dianggap sebagai alat asesmen utama asesmen klinis.
Goldenberg mengemukakan ada empat tujuan umum wawancara psikologi klinis, yaitu:
1. Memperoleh informasi tentang diri klien dan yang bersangkutan dengan hal itu.
2. Memberikan informasi sepanjang dianggap perlu dan sesuai dengan tujuan
wawancara.
3. Memeriksa kondisi psikologis atau memberikan diagnosis klien.
4. Mempengaruhi, mengubah, memodifikasi perilaku klien.

13
DAFTAR PUSTAKA

Wirramihardja. Sutardjo A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: PT. Refika Aditama.

Maslim. Rusdi. 2013. Diagnosa Gangguan Jiwa PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta: PT. Nuh
Cahaya.

Slamet. Suprapti. 2015. Pengantar Psikologi Klinis, Jakarta:UI Press.


https://www.universitaspsikologi.com/2018/04/asesmen-psikologi-klinis-pengertian

14

Anda mungkin juga menyukai