Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FIKIH DAKWAH

FAKTOR KEBERHASILAN SEORANG DA’I

Mata Kuliah : Fikih Dakwah


Dosen : Dr. Khairan, M.Ed.

Oleh:

Alvi Tangguh Prasetyo 19011195


Anan Abdul Hanan 19011015
Muhammad Sidik 19011226
Ilham Naufal Iskandar 19011010
Sulthon Ali 19011190
Syaiful Luthfi 19011201

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI ILMU USHULUDDIN (STIU) DARUL HIKMAH


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah adalah sebuah seruan kebaikan yang didasari oleh ajaran agama Islam, disana
seorang da’i benar-benar harus menguasai materi yang disampaikan, cara-cara
menyampaikan materi dakwahnya, sekaligus memahami bagaimana kondisi mad’u
nya. Dalam memahami kondisi perasaan, pikiran dan emosi mad’u maka diperlukan
kemampuan atau kecerdasan emosi, sehingga dakwah yang disampaikan oleh da’i
dapat menyentuh hati mad’u, diterima dengan kesadaaran, dan mampu membangkitkan
semangat keberagamaan.
Allah swt telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk melakukan
dakwah. Orientasi dakwah yang Allah perintahkan adalah menyeru dan mengajak
manusia kepada jalan Tuhan yaitu menjadi hamba-hamba Allah yang tunduk dan patuh
kepada Nya dengan cara-cara yang bijaksana (bil hikmah) dan memberikan nasehat-
nasehat dengan cara yang baik pula. Begitu pentingnya perintah untuk berdakwah ini
sehingga Rasulullah saw menekankan kepada umatnya untuk berdakwah walaupun
yang disampaikan hanyalah satu ayat al-Quran saja. Oleh karena itu dakwah adalah
bagian integral dari umat Islam yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi faktor keberhasilan seorang da’i dalam berdakwah?
2. Bagaimana seorang da’i menerapkan kecerdasan emosional dalam berdakwah?
3. Bagaimana pentinganya seorang da’i memiliki kecerdasan logika dan memiliki
argumentasi yang ilmiah?
4. Bagaimana pentingnya seorang da’i menjadi teladan bagi para mad’u?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui yang menjadi faktor kesuksesan seorang dalam berdakwah
2. Mengetahui dan memahami pentingnya kecerdasan emosional seorang da’i ketika
berdakwah
3. Mengetahui dan memahami pentingnya kecerdasan logika dan argumentasi ilmiah
seorang da’i ketika berdakwah
4. Mengetahui dan memahami pentinnya keteladanan seorang da’i ketika berdakwah
BAB II PEMBAHASAN

A. Kecenderungan Emosional yang Baik dan Cinta yang Bersumber dari Hati
a. Kecenderungan Emosional yang Baik
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh
psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of
New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya
penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan
sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan
kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosional
sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah
setiap saat.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koreksi
dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan
untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari. Dimana kecerdasan emosi juga merupakan kemampuan
untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan untuk membangun
produktif dan meraih keberhasilan.
Di dalam Al-Qur’an kecerdasan emosional sering dikaitkan dengan istilah qalb
(hati), terdapat beberapa jenis dan sifat qalb yang disebutkan dalam Al-Qur’an
diantaranya:
1. Qalbu yang damai atau bersih terdapat dalam QS Asy-Syu’ara ayat 89
َ ٰ ‫ا َِّل َمن اَت َى‬
َ ‫ّللا بِقَلب‬
‫سلِيم‬
Artinya: “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih”. (QS. Asy-Syu’ara:89)
2. Qalbu yang berfikir terdapat dalam QS An-Hajj ayat 46
‫ار َو ٰلكِن‬
ُ ‫ص‬َ ‫ض فَتَكُونَ لَ ُهم قُلُوب يَع ِقلُونَ ِب َها اَو ٰاذَان يَس َم ُعونَ ِب َها فَ ِانَ َها َّل ت َع َمى اّلَب‬
ِ ‫اَفَلَم َيسِي ُروا فِى اّلَر‬
ُّ ‫ت َع َمى القُلُوبُ الَتِي فِى ال‬
‫صدُو ِر‬
Artinya: “Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal)
mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dalam pelaksanaan dakwah yang terjadi sekarang ini bisa kita lihat bahwa
keberhasilan dari sebuah dakwah adalah dari bagaimana mad’u bisa memahami
materi dakwah yang disampaikan oleh da’i dan kemudian mereka bisa
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan suatu dakwah tidak
dilihat berapa IQ yang dimiliki oleh seorang da’i, namun dilihat dari bagaimana
seorang da’i menyampaikan dakwahnya dengan baik dan bisa diterima oleh mad’u.
Peran emosi juga sangat berpengaruh dalam pelaksanaan dakwah, jika da’i tidak
pandai-pandai dalam mengelola emosinya dalam berdakwah maka bisa dipastikan
dakwah tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar.

Menejemen emosi dalam berdakwah adalah sangat penting dan juga bisa menjadi
penunjang keberhasilan dalam pelaksanaan dakwah, manajemen emosi yang
lakukan adalah dengan adanya kesadaran bahwa kita ini membawa misi dakwah
dan mempunyai tujuan agar pesan-pesan dakwah bisa tersampiakan dengan baik
maka lebih baik jangan membawa-bawa keadaan atau problem pribadi saat
melakukan dakwah, dalam hal ini sebaiknya seorang dai menerapkan 3S (Senyum,
Salam, Sapa) atau ramah. Yang kedua harus Netral, maksudnya adalah saat
berdakwah start point yang dimulai harus berawal dari titik netral, dan berusaha
untuk sebaikbaiknya mengelola emosi dalam aktifitas dakwah yang dilakukan.

Ketika Rasulullah SAW berjalan bersama Anas ra, tiba-tiba ada seorang Badui
mengejar dan serta merta menarik serbannya dengan keras. Anas berkata, "Aku
melihat bekas tarikan serban kasar itu pada leher Rasul." Lalu Badui berkata,
"Wahai Muhammad, berilah aku dari harta Allah yang ada padamu. Rasul menoleh
sambil tersenyum lalu memerintahkan sahabat agar memberikan harta cukup
banyak kepadanya. Sikap Nabi ini menggambarkan betapa hebatnya kemampuan
beliau dalam mengendalikan emosi. Beliau disakiti, dihinakan di depan orang, dan
dimintai sedekah secara paksa, tetapi beliau tidak marah.

Allah SWT juga memerintahkan dalam Al-Qur’an untuk berdakwah dengan cara
yang baik yang dijelaskan dalam QS An-Nahl ayat 125:
َ ‫س ُن ِإ َن َربَكَ ه َُو أَعلَ ُم ِب َمن‬
‫ض َل‬ َ ‫ِي أَح‬
َ ‫سنَ ِة ۖ َو َجادِل ُهم ِبالَتِي ه‬ َ ‫س ِبي ِل َر ِبكَ ِبالحِ ك َم ِة َوال َمو ِع‬
َ ‫ظ ِة ال َح‬ َ ‫ادعُ ِإلَ ٰى‬
َ‫س ِبي ِل ِه ۖ َوه َُو أَع َل ُم ِبال ُمهتَدِين‬
َ ‫عن‬
َ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hikmah artinya tepat sasaran; yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya.
Termasuk ke dalam hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, berdakwah dengan
mendahulukan yang terpenting, berdakwah memperhatikan keadaan mad’u (orang
yang didakwahi), berbicara sesuai tingkat pemahaman dan kemampuan mereka,
berdakwah dengan kata-kata yang mudah dipahami mereka, berdakwah dengan
membuat permisalan, berdakwah dengan lembut dan halus. Adapula yang
menafsirkan hikmah di sini dengan Al Qur’an.

Yakni nasehat yang baik dan perkataan yang menyentuh hatinya (Emosional nya).
Termasuk pula memerintah dan melarang dengan targhib (dorongan) dan tarhib
(menakut-nakuti). Misalnya menerangkan maslahat dan pahala dari mengerjakan
perintah dan menerangkan madharrat dan azab apabila mengerjakan larangan.

b. Cinta yang bersumber dari hati


Dalam praktik dakwah seorang da’i harus menggunakan prinsip bahwa dia
berdakwah atas dasar cinta kepada sesama muslim, seorang da’i berdakwah karena
rasa cinta dan kasih sayangnya terhadap muslim yang lain supaya mereka sama-
sama berada di jalan yang benar yang di ridhai Allah SWT, sehingga dalam
praktiknya tidak ada kata-kata yang menyakiti, karena pada prinsipnya dakwah itu
merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek. Sehingga timbul rasa
saling menyayangi antara da’i dan mad’u dan tujuan dakwah pun bisa tersampaikan
dengan baik.
B. Logika yang Menarik dan Argumentasi yang Ilmiah
Tidak dapat kita pungkiri dalam perkembangan dakwah selain merujuk pada dalil Al-
Qur’an dan hadist. Perlu juga dikemas dengan logika yang tepat juga argumentasi yang
ilmiah. Hal ini sebagai metode dakwah yang perlu kita pahami agak orang yang
didakwahi dapat dengan mudah memahami pesan yang ingin disapaikan. Seperti
contohnya untuk mendakwahkan islam kepada orang non-muslim. Bisa saja kita
membacakan ayat alquran langsung atau hadist untuk menasehatinya. Namun ternyata
cara tersebut ialah kurang efektif, dikarenakan mereka orang non-muslim tidak
mempercayai dalil alquran dan hadist bahkan mereka cenderung maremehkannya.
Maka dakwah yang lebih tepat untuk mereka ialah melalui akhlak (perbuatan),
Kemudian bisa juga dengan logika logika yang menarik perhatian. Contoh :
kebanyakan non-muslim akan mempertanyakan apa yang orang muslim sembah,
mereka mengatakan kenapa harus menyembah Allah SWT yang tidak terlihat? Tidak
pernah kita Temui?, tidak memberi kita makan?. Tentu hal seperti ini sekilas sangat
masuk akal. Namun kita yang sudah Allah SWT berikan akal harus menjawab dengan
ilmu.
Kita dapat membantah argumentasi mereka dengan perumpamaan oksigen. Selama ini
kita semua sepakat bahwa seluruh manusia bernafas menghirup oksigen walaupun
wujudnya tak pernah terlihat namun faedahnya sampai detik ini dapat kita rasakan. Juga
sama halnya dengan listrik. Semua orang sepakat bahwa listrik dapat bermanfaat bagi
kehidupan, namun lagi lagi wujudnya tak dapat dilihat. Namun manfaatnya kita
rasakan, bahkan listrik dapat berbahaya jika disalah gunakan. Maka dapat kita
simpulkan bahwa benda yang tidak berwujud, tidak dapat dilihat belum tentu tidak ada.
Apalagi Allah swt yang tak dapat kita jelaskan secara detail tentang wujudnya.
Tentang hal ilmiah, ini juga merupakan terminologi yang sering dibenturkan oleh orang
orang non muslim untuk mengelabui kita. Seperti halnya mereka mengatakan bahwa
Al-quran ialah kitab suci yang tidak ilmiah, dikarenakan ada ayat-ayat yang belum
terbukti seperti halnya tentang kiamat, tentang masa depan, neraka surga dan lain-lain.
Namun argumentasi ini dapat kita patahkan yakni dengan surah al-Baqarah ayat 2 :
َ ‫ٰذَلِكَ ال ِكتَابُ َّل َري‬
َ‫ب ۛ فِي ِه ۛ هُدًى لِل ُمتَقِين‬
Artinya : ini (alquran) ialah kitab yang tidak ada keraguan didalamnya dan petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa.
Mengambil dari perkataan dari zakir naek, beliau mengatakan bahwa alquran 80%
sudah terbukti ilmiah dan 20% yang belum terbukti ilmiah dan 0% berita bohong.
Maka yang 20% ini seperti surga, neraka, kiamat ini merupakan rahasia Allah SWT.
Dan akal manusia belum mampu untuk mencapai ke level itu. Sama seperti penemuan
partikel terkecil yang teorinya ditemukan oleh Democritus abad ke-5 sebelum masehi.
Namun setelah beberapa waktu lagi muncul teori yang mengatakan bahwa partikel
terkecil bukanlah atom, melainkan Proton,Elektron dan juga neutron. Dari
perkembangan keilmuan inipun kita dapat menyimpulkan bahwa, perkembangan
keilmuan akan selalu meningkat dan akal manusia memiliki keterbatasan.
Allah SWT berfirman :
ً ‫لرو ُح مِ ن أَم ِر َربِى َو َما أُوتِيتُم ِمنَ ٱل ِعل ِم إِ َّل قَل‬
‫ِيل‬ ُّ ‫وح ۖ قُ ِل ٱ‬
ِ ‫لر‬ َ َ‫َويَسـَٔلُونَك‬
ُّ ‫ع ِن ٱ‬
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS Al-
Isra’ :85)
C. Keteladanan yang Dinamis
Dalam kamus besar bahasa Indoneisa kata “keteladanan” berasal dari kata teladan yang
berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan,
sifat, dan sebagainya), sedangan kata dinamis berarti cepat bergerak dan mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan dan sebagainya, jika kita gabungkan atau kaitkan 2
kata tersebut ke dalam satu makna atau arti dalam segi dakwah maka bisa kita artikan
Sifat atau perilaku seorang pendakwah atau Da’I dalam menyampaikan dakwah dengan
cara dapat menyesuaikan keadaan masyarakat sekitar sehingga hal ini menjadi kunci
sukses seorang pendakwah dalam berdakwah.
Ditengah masyarakat multikultural dengan berbagai permasalahnnya tentu
dakwah perlu di lakukan dengan baik agar mendapatkan kesuksesan. Ada beberapa
sikap yang perlu dilakukan dalam keadaan seperti ini adalah sikap membuka diri,
menerima jenis semua manusia meskipun keadaannya tidak sesuai dengan idealisme
kita. Harus di ketahui bahwa manusia berbeda tingkatannya, karena perbedaan
kemampuan, bakat dan keadaan sosial di satu sisi, terlebih dalam menghadapi
masyarakat yang mempunyai sifat yang berbeda-beda karena masih banyak masyarakat
yang masih awam yang terkadang jika menggunakan metode yang terkesan memaksa
maka hal tersebut bisa menjadi kegagalan dalam berdakwah dalam surah Al-Baqarah
ayat 256 Allah berfirman:
‫ام‬
َ ‫ص‬َ ‫سكَ بِالعُر َوةِ ال ُوث ٰقى َّل ان ِف‬
َ ‫اّلل فَقَ ِد است َم‬ َ ‫الرشدُ مِ نَ الغَي ِ فَ َمن يَكفُر بِال‬
ِ ‫طاغُو‬
ِ ٰ ِ‫ت َويُؤمِ ن ب‬ ُّ َ‫َّل اِك َراهَ فِى الدِي ِن قَد تَبَيَن‬
‫علِيم‬
َ ‫سمِيع‬ ٰ ‫لَ َها َو‬
َ ُ‫ّللا‬
Artinya :
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh)
pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.
Pada ayat di atas menjelaskan bagaimana kunci kesuksesan dalam berdakwah yaitu
dengan tanpa paksaan, maka dari itu salah satu sikapnya adalah menjadi pendakwah
yang dinamis namun tetap menjalankan syariat yang benar dengan begitu masyarakat
akan melihat seorang pendakwah sebagai suatu teladan menjadi suatu contoh yang
dapat ditiru oleh masyarakat sekitar dan masyarakat akan mendengarkan apa yang
disampaikan oleh Da’I tersebut.
Singkatya dalam berdakwah hendaknya kita harus menerima dan berbaur dengan
masyarakat dengan tetap menjadi seorang yang taat ibadah kepada Allah dibarengi
dengan sifat yang dinamis di tengah masyarakat, oleh karena itu dibutuhkan juga
wawasan yang luas wawasan yang senantiasa diperbarui sehingga tidak terlihat kaku
dalam menyampaikan dakwahnya atau berbaur dengan masyarakat yang di dakwahi
tetapi harus menjadi seseorang yang enak dilihat perilakunya dan disenangi oleh orang
yang didakwahi.
Jika kita masih bingung bagaimana menjadi teladan yang baik maka kita bisa mencotoh
Rasulullah dalam berdakawah.
Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 21

ٰ ‫ّللا َوال َيو َم‬


َ ٰ ‫اّلخِ َر َوذَك ََر‬
‫ّللا َكثِي ًرا‬ َ ‫ّللا اُس َوة َح‬
َ ٰ ‫سنَة ِل َمن َكانَ َير ُجوا‬ ُ ‫لَقَد َكانَ لَكُم فِي َر‬
ِ ٰ ‫سو ِل‬
Artinya :
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak
mengingat Allah.
Bisa kita ketahui Rasulullah dalam menyampaikan dakwahnya dengan sifat teladan
yang dinamis,misalnya dalam berdagang Rasulullah menerapkan sikap jujur dan
amanah sehingga Beliau disenangi orang dan hal itu bisa berdampak pada kesuksesan
dakwah,dalam mengembala kambing dan sebagainya yang dimana hal tersebut
merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sekitar pada masa itu hal ini merupakan
salah satu sifat keteldanan yang dinamis dan hal ini dapat menjadi kunci suksesnya
Rasulullah dalam berdakwah.
Maka dari itu dalam berdakwah hendaknya kita memiliki wawasan yang luas, tau dan
paham betul apa yang dibutuhkan masyarakat tanpa meninggalkan syariat dan adab kita
sebagai seorang muslim yang taat kepada Allah Ta’ala.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Mengelola emosi, peran emosi juga sangat berpengaruh dalam pelaksanaan
dakwah, jika da’I tidak pandai-pandai dalam mengelola emosinya dalam berdakwah
maka bisa dipastikan dakwah tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar. Orang
yang bisa mengendalikan emosinya juga temasuk orang yang bijak. Cara sederhana
seseorang bisa mengendalikan emosinya yakni seseorang hanya perlu tenang,
bersikap positif, fokus, selalu mengamalkan ajaran agama, hal tersebut bisa
membuat setiap orang bisa mengontrol emosi. Jika semua orang bisa mengontrol
emosi, maka hidupnya akan nyaman dan indah, serta tujuan berdakwah akan
tercapai. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh aspek dalam
hidup ini berhubungan dengan emosi, baik ketika kita senang, sedih, gembira,
ataupun marah, di semua sisi emosi manusia sangat menunjang. Sudah otomatis
prilaku manusia dihasilkan oleh kekuatan emosional.
2. Seorang da’i juga harus bisa memberikan logika yang menarik sehingga
memudahkan mad’u untuk memahami apa yang disampaikan oleh da’i dan itu
semua harus ditopang dengan argumentasi yang ilmiah tidak mengada-ngada dan
sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.
3. Dakwah yang paling baik adalah dakwah dengan cara memberikan contoh nyata
dalam kehidupan, seoarang da’i harus mampu menerapkan apa yang disampaikan
kepada mad’u supaya menjadi teladan yang baik di medan dakwah.

Anda mungkin juga menyukai