Anda di halaman 1dari 19

HATI DAN JIWA DALAM ISLAM

• Qalbu atau hati adalah sesuatu yang lembut dan tidak tampak
oleh penglihatan manusia, tetapi keberadaanya dapat dirasakan
dan diyakini.
• Dalam Islam hati disebut dengan Qalbu yang memiliki dua
makna, yang pertama , inti dan kemulian sesuatu, manusia
dikatakan memiliki qalbu krn di dalam diri manusia ada sesuatu
yang paling inti dan mulia, yang kedua, sesuatu yang bolak-balik
dari satu arah ke arah yang lain
• Qalbu dalam Al-Quran dan Hadis bukan jantung yang ada di dada,
bukan pula akal yang didalam otak. Qalbu adalah unsur yang
tidak terindra, bersifat spiritual dan memiliki hubungan yang erat
antara jantung, otak, sistem indra dan sistem syaraf manusia.
• Qalbu terbagi menjadi 2 yaitu:Qalbu
jasmaniah yang berarti organ tubuh manusia,
Qalbu ruhaniah yang berarti sesuatu yang
berhubungan dengan perasaan batin dan tidak
kasat mata.
• Hati atau yg disebut dengan conscientia yang
berarti kesadaran, hati nurani jg diistilahkan
sebagai suara hati, suara batin atau kata hati,
jika didefinisikan hati nurani adalah kesadaran
moral yang tumbuh di dalam hati manusia dan
mempengaruhi tingkah laku seseorang. Juga
berkaitan dengan kesadaran diri
Hati Nurani Berdasarkan Al-Qur’an
• Dalam Al-Quran, kata qalb sendiri telah disebutkan sebanyak 132 kali.
Allah Azza Wa Jalla menjelaskan bahwa hati nurani (qalbu) manusia
itu mudah terbolak-balik, bisa menjadi tempat bersarangnya
penyakit, dan bisa pula sebagai tanda keimanan seseorang.
• Hati nurani (kalbu) manusia mudah berbolak-balik

Allah SWT menjelaskan bahwa hati nurani manusia itu mudah


berubah. Kadangkala di jalan yang benar dan adakalanya manusia
menjadi khilaf.
‫ارهُ ْم‬
َ ‫ص‬َ ‫َونُقَلِّبُ أَ ْف ِئ َدتَهُ ْم َو أَ ْب‬
“Dan Kami bolak-balikan hati mereka dan penglihatan mereka.” (QS.
Al-An’am: 110)
• Hati nurani (kalbu) manusia bisa menjadi tanda keimanan

• Hati nurani manusia juga bisa menjadi pertanda keimanannya. Seseorang yang ta’at
kepada Allah, hatinya akan bergetar bila mendengar ayat-ayat Al-Quran
dilantunkan.
 
‫ين ُجلُو ُدهُ ْم َوقُلُوبُهُ ْم إِلَى ِذ ْك ِر‬ ُ ِ‫ين يَ ْخ َش ْو َن َربَّهُ ْم ثُ َّم تَل‬ ِ ‫هَّللا ُ نَ َّز َل أَحْ َس َن ْال َح ِدي‬
َ ‫ث ِكتَابًا ُمتَ َشابِهًا َمثَانِ َي تَ ْق َش ِعرُّ ِم ْنهُ ُجلُو ُد الَّ ِذ‬
‫ك هُ َدى هَّللا ِ يَ ْه ِدي بِ ِه َم ْن يَ َشا ُء َو َم ْن يُضْ ِل ِل هَّللا ُ فَ َما لَهُ ِم ْن هَا‬ َ ِ‫هَّللا ِ َذل‬

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu Al-Qur’an) yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di
waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak
ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (QS. Az-Zumar: 23)
• Hati nurani (kalbu) manusia bisa mengeras
Seseorang yang terlena dengan nikmat duniawi, tamak harta, jarang berdizkir,
maka hatinya akan mengeras laksana batu. Mereka adalah orang-orang yang
disesatkan oleh Allah SWT dan tertutup qalbunya dari kebenaran.
 
َ ُ‫ق فَيَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ ْال َماء َوإِ َّن ِم ْنهَا لَ َما يَ ْهبِطُ ِم ْن َخ ْشيَ ِة هّللا ِ َو َما هّللا ُ بِ َغافِ ٍل َع َّما تَ ْع َمل‬
‫ون‬ ُ َّ‫ِم ْنهَا لَ َما يَ َّشق‬
“Kemudian hati-hati mereka menjadi keras setelah itu, maka ia pun laksana
batu, atau bahkan lebih keras lagi [ketimbang batu]. Padahal, sesungguhnya
di antara batu-batu itu ada yang mengalirkan sungai-sungai darinya.
Sungguh, di antaranya juga ada yang terbelah, lalu keluarlah mata air
darinya. Sungguh, di antaranya juga ada yang meluncur jatuh, karena takut
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa saja
yang kamu kerjakan.” (Q.s. al-Baqarah: 74)
• Hati nurani (kalbu) adalah sarang penyakit
Penyakit yang dimaksud disni bukanlah penyakit fisik.
Melainkan penyakit hati seperti dengki, iri, dendam,
sombong, dusta, dan sejenisnya. Penyakit –penyakit hati
seperti biasanya menimpa orang-orang munafik dan terlupa
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
َ ‫ َع َذابٌ أَلِي ٌم بِ َما َكانُوا يَ ْك ِذب‬O‫ضا َولَهُْم‬
‫ُون‬ ً ‫فِي قُلُوبِ ِهم َّم َرضٌ فَ َزا َدهُ ُم هَّللا ُ َم َر‬
 
“Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah
penyakit tersebut, dan mereka akan mendapatkan siksa yang
pedih akibat apa yang mereka dustakan.” (Qs. al-Baqarah: 10)
Tujuan Penciptaan Hati
• Sarana untuk mengetahui dan Mengenal Allah
SWT
• Untuk menerima dan memahami ilmu dan
kebijaksanaan
• Sarana untuk menemukan hakekat kebenaran
Konsep Penyucian Hati
• Untuk mensucikan hati haruslah melalui
“Riyadhah”:
a. Membersihkan dari pengaruh Materi
b. Mengamalkan segala bentuk ibadah, baik yang
wajib maupun yang sunnat
c. Menbebani hati dengan akhlak-akhlak yang
mulia dan menjauhkan diri dari perangai tercela
d. Membebani hati dengan amalan-amalan
Qauliyah
• Pada dasarnya, hati nurani menurut islam atau
qalbu adalah cerminan diri seseorang. Untuk
memeliharanya, hendaknya kita memperbanyak
berdzikir, mengingat Allah SWT, membaca Al-Quran,
meningkatkan iman, memperbaiki akhlak, menjauhi
hal-hal buruk yang sifatnya tidak memberikan
mudharat, serta berpegang teguh pada Rukun Iman
dan Islam, Sumber Syari’at Islam, sehingga bisa
memperoleh Kebahagian dunia dan akhirat.
JIWA
• Mendefinisakan jiwa bukanlah perkara yang mudah bahkan lebih sukar
daripada membuktikan adanya. Maka, wajar ketika ditemukan ada
perbedaan dalam memahami arti dari jiwa, karena perbedaan tersebut
sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang berbeda antara
para filosof dan kalangan Sufi.
• Metode analisis filosof lebih berpijak pada mantiq dan logika, sedangkan sufi
lebih mengedepankan akal dan intuisi, sehingga ini yang membuat
kesimpulan berbeda. Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu
pada substansi utama yang ada pada diri manusia, yang memiliki peran
sentral mengatur gerak dari tubuh dan memiliki daya dan cara kerjanya
sendiri. Tentu akan jauh lebih luas dari sekedar definisi jika melihat
bagaimana Al-Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang keberadaan jiwa.
• Kata jiwa berasal dari bahasa arab (‫نفس‬OO‫ ) لا‬atau nafs’ yang secara harfiah bisa
diterjemahkan sebagai jiwa
• Dalam Al-Qur’an kata jiwa diwakili dengan
kata nafs, meskipun makna nafs secara umum
bisa diartikan diri. Penggunaan kata nafs yang
berarti jiwa difirmankan Allah dalam Al-Qur’an
tidak kurang dari 31 kali, sedangkan kata nafs
yang bermakna diri difirmankan tidak kurang
dari 279 kali.
• Di dalam Al-Qur’an Allah Swt. membagi jiwa kepada tiga sifat (karakter),
yaitu nafs al-muthmainnah, nafs al-lawwamah dan  nafs amarah bi-su’.

•  Pertama, jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah)  adalah jiwa yang


sempurna yang tersinari oleh cahaya hati,sehingga ia tersterilkan dari
karakter-karakternya yang buruk, berakhlak dengan akhlak terpuji,
menghadap ke arah hati total, melangkah terus menuju ke arah yang
benar, menjauh dari posisi yang  kotor, terus menerus melakukan
ketaatan, berjalan menuju tempat yang luhur,sehingga Tuhannya
mengatakan kepadanya, “wahai jiwa yang tenang
(muthmainnah), kembalilah engkau kepada Tuhanmu dalam keadaan
rida dan diridhai, masuklah engkau ke dalam jajaran hamba-hamba-Ku
dan masuklah engkau ke surga-Ku.”
• Kedua, jiwa yang sadar (nafs al-lawwamah) adalah jiwa yang
tersinari oleh cahaya hati –sesuai dengan kadarnya sadarnya ia dari
kelalaian- lalu ia sadar. Dia memulai dengan memperbaiki
kondisinya dalam keadaan ragu diantara posisi ketuhanan dan
posisi makhluknya. Jiwa ini berada di sanubari. Ia ibarat pertahanan
yang menghalau setiap dosa yang menyerang dan memperkukuh
kekuatan kebaikan. Jika seseorang melakukan sebagian dosa, maka
kekuatan spiritual atau sanubari (nafs al-lawwamah) segera
memperingatkannya, mencela dirinya sendiri, lalu bertobat dan
kembali kepada Allah memohon keampunan dariNya.Sebagaimana
Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an, “Aku bersumpah dengan jiwa
yang banyak mencela diri (nafs al-lawwamah).”
• Ketiga, jiwa amarah (nafs al-amarah bi su’) –
menurut al-Jurjani- adalah jiwa yang
cenderung kepada tabiat fisik (thabi’ah
badaniyyah) dan memaksa hati untuk menuju
posisi kerendahan. Jiwa amarah merupakan
tempat keburukan dan sumber akhlak tercela
dan perbuatan-perbuatn buruk. Allah Swt.
berfirman, “sesungguhnya jiwa suka
menyuruh kepada keburukan,“
• Karakter ketiga jiwa tersebut –menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah-
berada dalam satu jiwa dan menyebar dalam sifat jiwa manusia.
• Namun sebagian menganggap bahwa kecenderungan kepada
keburukan itu adalah tabiatnya jiwa, sedang kecenderungan
kepada kebaikan itu adalah tabiatnya ruh. Terkadang dalam hal
ini terjadi benturan antar kecenderungan. Jika kecenderungan
kepada kebaikan menang, maka ruh berada dalam kemenangan,
serta taufiq dan dukungan Allah teraih oleh manusia. sebaliknya
jika kecenderungan keburukan menang, maka jiwa dalam
kemenangan, serta setan dan penghinaan Allah mengena pada
orang yang dikehendaki oleh-Nya untuk hina. Di sini terlihat ada
perbedaan antara ruh dan jiwa.
Perbedaan Jiwa dan Ruh

• “Ruh adalah ladang kebaikan, sebab ia sumber rahmat.


Sedangkan jiwa dan jasad adalah ladang keburukan,
sebab ia sumber syahwat. Watak ruh adalah berkehendak
pada kebaikan, sedangkan watak jiwa berkehendak
kepada keburukan dan hawa.  Jika ruh –menurut al-Hakim
at-Tirmidzi- bersifat kealamluhuran, kelangitan, halus
serta diciptakan dari campuran udara dan air, maka jiwa
adalah bersifat kebumian (ardhiyyah) yang kotor dan
diciptakan dari tanah dan api. Kebiasaan ruh adalah
ketaatan, sedangkan kebiasaan jiwa adalah syahwat dan
kesenangan duniawi.
• Perbedaan pada subtansinya. Jiwa dan ruh berbeda dari segi kualitas
dzatnya, jiwa digambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah
kualitas, naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, sedangkan
ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas
tinggi, bahkan digambarkan sebagai turunan dari dzat Ketuhanan
• Perbedaan pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai sosok yang
bertanggungjawab atas segala perbuatan kemanusiannya,
sedangkan ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas tinggi
• Perbedaan pada sifatnya, Jiwa bisa merasakan kesedihan,
kekecewaan, kegembiraan, kebahagian, ketentraman, ketenangan
dan kedamaian, sedangkan ruh bersifat stabil dalam kebaikan tanpa
mengenal perbandingan

Anda mungkin juga menyukai