Anda di halaman 1dari 32

PERAN DAN FUNGSI PENGHULU DAN KUA

Upaya Mewujudkan Layanan yang Profesional, Bersih dan Akuntabel

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

DIDI SUMARDI, SAg.

NIP. 197312221999031001

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Utara

Tahun 2021
ABSTRAK

PERAN DAN FUNGSI PENGHULU DAN KUA

Upaya Mewujudkan Layanan yang Profesional, Bersih dan Akuntabel

Oleh: Didi Sumardi, SAg.

Kantor Urusan Agama sebagai perpanjangan tangan Kementrian Agama memiliki

banyak peran yang sangat krusial. Pada dasarnya semua organisasi memerlukan

adanya strategi dalam pelayanan, dengan adanya strategi di sebuah organisasi atau

instansi pemerintahan maka di harapkan semua kinerja pelayanan yang sudah di

rencanakan dapat sesuai rencana. Karena kinerja merupakan unsur penggerak serta

perwujudan determinasi diri agar dalam mengerjakan suatu pekerjan itu dilakukan

tidak setengah-setengah, tetapi dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang

dimiliki dalam arti kata sesorang harus profesional dalam bekerja agar pekerjaan

dapat diselesaikan dengan tepat waktu serta bisa menjalankan peraturan-peraturan

yang telah ditetapkan oleh instansi pemerintahan.

Kata Kunci : Penghulu, KUA, Undang-undang Perkawinan, layanan publik,

administrasi pencatatan nikah, layanan yang profesional, bersih, dan akuntabel


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan ke hadhirat Allah S.W.T. yang atas

berkat rahmat dan hidayah-Nya tulisan ini dapat selesai disusun dengan baik.

Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan ke haribaan Nabi Besar

Muhammad S.A.W. yang diutus sebagai teladan dan rahmat bagi sekalian alam.

Tulisan ini berjudul “Peran dan Fungsi Penghulu dan KUA: Upaya

Mewujudkan Layanan Nikah yang Profesional, Bersih dan akuntabel.

Tulisan ini dapat terselesaikan berkat arahan dan bimbingan berbagai pihak.

Untuk itu Penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada

mereka semua yang telah membantu dan memfasilitasi sehingga tulisan ini dapat

diselesaikan dengan baik.

Tulisan ini bertujuan ikut sumbang saran dan diskusi ilmiah dalam rangka

perbaikan Kementerian Agama di masa mendatang, terlebih lagi sebagai otokritik

dalm rangka perbaikan diri sendiri. Harapan yang lebih luas, tulisan ini dapat

menjadi informasi ilmiah dalam memperkaya khazanah keilmuan pada umumnya.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan

kelemahan. Untuk itu kritik yang membangun sangatlah diharapkan demi

kesempurnaan karya karya mendatang.

Akhirnya, hanya kepada Allah-lah penulis memohon petunjuk dan

pertolongan. Semoga sekelumit tulisan ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca,

terutama demi perbaikan Kementerian Agama tercinta sebagai tempat Penulis

mengabdi dan mencitra diri.

Kotabumi, Mei 2021

Penulis

Didi Sumardi, SAg


NIP. 197312221999031001
DAFTAR ISI

Judul ........................................................................................................ i

Abstrak ………………………………………………………………………………………………… ii

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………… iii

Daftar isi ……………………………………………………………………………………………… iv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar belakang ................................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................ 4

C. Tujuan dan Manfaat……………........................................................... 5

1. Tujuan Penulisan ………………………………………………………............. 5

2. Manfaat Penulisan ……………………………………………………………...… 5

D. Sistematika Penulisan ...................................................................... 6

BAB 2 KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENELITIAN ….................... 7

A. Kerangka Teoritis …………….............................................................. 7

B. Kerangka Berfikir ............................................................................ 13

C. Metodologi Penelitian ……………………………………………………............. 13

BAB 3 PEMBAHASAN……………….............................................................. 15

A. Deskripsi Masalah …………….............................................................. 15

B. Analisis Masalah …........................................................................... 19

BAB 5 KESIMPULAN ................................................................................ 25

A. Kesimpulan ...................................................................................... 25

B Saran dan Penutup .......................................................................... 26


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat

negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini

pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah

diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta

menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan

dan kreativitasnya.1

Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini melalui berbagai

kegiatan yang rasional dan realistis dirasakan kurang memadai dan masih

memerlukan berbagai penyempurnaan. Hal tersebut terkait dengan tingginya

kompleksitas permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan. Masih

banyaknya tingkat penyalahgunaan wewenang, praktek Kolusi Korupsi dan

Nepotisme (KKN), dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur

negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yangmasih jauh dari

harapan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif dan

terintegrasi dalam upaya mendorong peningkatan kinerja birokrasi aparatur negara.

Tuntutan untuk menciptakan pemerintahan yangprofesional, bersih dan akuntabel

merupakan amanah reformasi dan tuntutan seluruh rakyat Indonesia.

Landasan utama pelayanan publik mengacu pada Undang-undang No. 25

tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang berasaskan pada: kepentingan umum,

adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya keseimbangan hak dan

kewajiban, profesional, partisipatif, persamaan dalam perlakuan/tidak diskriminatif,

1 Ryaas Rasyid, Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah Dalam Pembangunan


Administrasi di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 139.
1
keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan,

ketepatan waktu dan kecepatan, udahan dan keterjangkauan. Tujuannya agar

supaya ada batasan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban

dan kewwenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraaan pelayanan

publik dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam

mendapatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam prakteknya, pelayanan

publik ini masih sering terjadi kesenjangan yang muncul antara penilaian masyarakat

terhadap mutu pelayanan.

Kementerian Agama sebagai penyedia jasa layanan publik berusaha

memenuhi tuntutan tersebut dengan sebutan Program Penyempurnaan Proses

Bisnis. Melalui KMA Nomor 153 tahun 2009 tentang Reformasi Birokrasi di

Departemen Agama menyebutkan bahwa program penyempurnaan proses birokrasi

bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efsiensi kerja melalui

penyederhanaan dan pembakuan proses bisnis; Prinsip Program Proses Bisnis adalah

berbasis pada akuntabilitas jabatan/pekerjaan; dan Penyempurnaan proses kerja

untuk meningkatkan efektivitas dan efsiensi melalui penyederhanaan, transparansi,

pemberian janji layanan serta orientasi pada pemangku kepentingan (stakeholders).

Dalam KMA Nomor 118 Tahun 2010 tentang Percepatan Layanan Unggulan

(Quick Wins) Kementerian Agama dinyatakan bahwa maksud dari layanan unggulan

tersebut untuk mewujudkan layanan yang berkualitas dan memenuhi hak-hak dasar

masyarakat yang memerlukannya dengan cara lebih baik, cepat, mudah, baru dan

murah (better, faster, easier, newer, and cheaper) , sedangkan tujuannya

membangun kepercayaan masyarakat dalam waktu singkat terhadap citra

Kementerian Agama. Jenis layanan unggulan ini yaitu: Pendaftaran Haji, Penerimaan

Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pencatatan Nikah, Sertifkasi Guru dan Dosen dan

Pemberian Beasiswa.
Sebagai layanan unggulan, layanan atau pencatatan nikah menjadi nilai

utama penjamin mutu dari sasaran strategi nasional yang diberikan oleh

Kementerian Agama. Dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknisnya, serta

peningkatan sarana dan prasarana harus menjadi perhatian Kantor Urusan Agama

yang selanjutnya disingkat KUA Kecamatan adalah unit pelaksana teknis pada

Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan secara operasional dibina oleh Kepala

Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota.2 KUA kecamatan berkedudukan di

kecamatan yang di pimpin oleh kepala KUA/Penghulu.

KUA sebagai perpanjangan tangan Kementerian Agama memiliki banyak

peran yang sangat krusial. Peran tersebut dapat kita ketahui dari pelayanan yang

diberikan KUA, yaitu: 1) Administrasi (Pendaftaran, Pengesahan, dan Pencatatan

Nikah dan Rujuk), 2) Pendaftaran dan Penerbitan Akte Ikrar Wakaf, 3) Bimbingan

Perkawinan pra nikah bagi pasangan calon pengantin, 4) Pembinaan Kemasjidan, 5)

Pembinaan Syariah, 6) Pembinaan Pangan Halal, 7) Pembinaan Zakat, 8) Pembinaan

Wakaf, 9) Penyelenggaraan Bimbingan Manasik Haji.

Penghulu berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam melakukan kegiatan

kepenghuluan pada Kementerian Agama. Tugas pokok penghulu adalah melakukan

perencanaan kegiatan kepenghuluan/pengawasan pencatatan nikah/rujuk,

pelaksanan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk,

munakahat dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta

pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan penghuluan .3

Dalam hal pencatatan perkawinan, sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam

agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus

dicatat. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akad nikah sangat diperlukan di dunia

2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.
3 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, No: PER/62/M.PAN/6/2005. Tentang Jabatan
Fungsional Penghulu Dan Angka Kreditnya, pasal 4.
modern seperti sekarang ini, seseorang yang menikah tanpa dicatat, maka nikahnya

tidak sah sesuai undang-undang yang berlaku, dalam hal Pencatatan perkawinan

tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 4 Pegawai Pencatat Nikah diberi

tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau

pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. untuk

melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan

kepenghuluan.5

Sebagai output dari layanan perkawinan atau pernikahan ini, memberikan

legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam

sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga ditentukan

salah satunya adalah bahwa pernikahan itu, selain sesuai dengan dengan tuntutan

syariat Islam (bagi orang Islam), juga mendapatkan kekuatan dan jaminan hukum.

Maka, pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar warga

negara, terutama sebagai upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam

memperoleh hak-hak keluarga seperti hak pengakuan keluarga, hak tumbuh

kembang, hak waris dan lain-lain.

Penghulu sebagai pelaksana tugas teknis pencatatan nikah yang

berkedudukan di KUA, juga harus mendapat perhatian terpenting dalam dukungan

teknis, kompetensi dan performance-nya sebagai pejabat fungsional yang langsung

melayani langsung masyarakat. Untuk tujuan inilah tulisan ini diarahkan, dengan

harapan dapat dijelaskan betapa vital peran dan fungsi Penghulu sebagai pejabat

fungsional, dan KUA sebagai institusi atau lembaga Kementerian Agama terdepan

dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel.

B. Perumusan masalah

4 Kompilasi Hukum Islam, bab 2 pasal 5.

5 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No 208 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Penyesuaian/Inpassing, Uji Kopetensi Dan Penetapan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu,
hlm. 4.
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana gambaran layanan publik, khususnya yang dilakukan KUA dan

penghulu dalam layanan pernikahan?

2. Upaya apa saja yang harus dilakukan bagi KUA dan penghulu dalam rangka

mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel ?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan

1. Tujuan Penulisan

Dari paparan rumusan masalah di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk :

a. Menjelaskan gambaran umum layanan publik, khususnya yang

dilakukan KUA dan penghulu dalam layanan pernikahan.

b. Menjelakan upaya apa saja yang perlu dan harus dilakukan Penghulu

dan KUA dalam rangka mewujudkan layanan nikah yang profesional,

bersih dan akuntabel.

2. Manfaat Penulisan

Tulisan ini mengangkat sekaligus mengapresiasi peran penghulu KUA dalam

upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih dan akuntabel.

Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Sumbangan informasi ilmiah terutama dalam kajian pelaksanaan tugas-

tugas aparatur negara dalam melayani kebutuhan dan aspirasi warga

negara sehingga menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya;

b. Sebagai bahan informasi dalam penyempurnaan perumusan kebijakan

negara, baik aspek kebutuhan layanan masyarakat maupun kebutuhan

struktur dan sarana bagi pegawai negara;

c. Sebagai otokritik bagi segenap pejabat negara, khususnya Kementerian

Agama, dalam rangka dialektika ilmiah dan praksis di lapangan untuk

memperbaiki performance-nya dalam melayani masyarakat.


D. Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri atas empat tahap pembahasan yang terkait

secara sistematis antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah

pendahuluan yang berisi uraian latar belakang tulisan ini dilakukan, pokok

masalah yang berupa pertanyaan-pertanyaan inti, tujuan dan manfaat tulisan,

serta sistematika pembahasan urut logis dari tulisan ini.

Bab kedua menjelaskan tentang kajian teori-teori yang mendukung,

terutama konsep-konsep layanan publik yang didefinisikan sebagai profesional,

bersih dan akuntabel, kerangka berpikir yang digunakan dan metodologi

penulisan.

Bab ketiga membahas inti permasalahan, yaitu upaya mewujudkan layanan

nikah yang profesional, bersih dan akuntabel.

Diawali dari deskripsi masalah yang menjelaskan realitas penghulu

dan KUA serta layanannya di lapangan, terutama layanan nikah sebagai layanan

pokok, dan dilanjutkan dengan analisis masalah kenapa fakta-fakta itu bisa

terjadi diiringi dengan menjembatani dengan nilai-nilai ideal yang seharusnya

dalam layanan nikah dan kebutuhan teknis bagi penghulu sebagai pelaksananya.

Bab ke empat sebagai pentutp, berisi tentang kesimpulan tulisan,

disertai saran dan penutup.


BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENELITIAN

A. Kajian Teoritis

Dalam teori negara demokrasi, warga negara menjadi unsur terpenting

dalam pembentukan negara, sehingga penyelenggaraan negara harus digunakan

sebesar-besar untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya.

Pemerintah sebagai penyelenggara negara mempunyai kewajiban memenuhi

dan menyejahterakan kehidupan warga negaranya melalui berbagai layanan publik

berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang berbentuk peraturan dan perundang-

undangan yang dibuat secara demokratis.

Dalam layanan publik modern, birokrasi negara bertujuan untuk

mengembangkan manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik kepada

masyarakat secara bermutu, akuntabel, mudah, murah, cepat, patut dan adil kepada

seluruh masyarakat guna menujang kepentingan masyarakat dan kemudahan

kegiatan usaha, serta mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi :

1. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan berdasarkan

pada prinsip cepat, pasti, mudah, murah, patut dan adil;

2. Mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip good governance dalam

setiapproses pemberian pelayanan publik khususnya dalam rangka

mendukung penerimaan keuangan negara seperti perpajakan, kepabeanan

dan penanaman modal;

3. Meningkatkan upaya untuk menghilangkan hambatan terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik melalui deregulasi, debirokratisasi, dan

privatisasi;
4. Meningkatkan penerapan sistem terpadu dalam pelayanan;5.

Melaksanakan pemantapan koordinasi pembinaan pelayanan publik dan

pengembangan kualitas aparat pelayanan publik;

5. Meningkatkan optimalisasi dalam pemanfaatan teknologi informasi

pelayanan publik;

6. Mengintensifkan penanganan pengaduan masyarakat;

7. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan

kotadalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui

mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk

di masing-masing wilayah;

8. serta mengembangkan mekanisme pelaporan berkala capaian kinerja, baik

penyelenggaraan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah kepada

publik.

Secara umum, penilaian kualitas layanan menurut konsumen (masyarakat)

didasarkan pada indikator-indikator berikut :

1. Tangibles, yaitu kualitas layanan berupa sarana fisik seperti perkantoran,

kualitas bahan dokumen-dokumen, ruang tunggu, komputerisasi, dan lain-

lain;

2. Reliability , yaitu kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan

yang terpercaya;

3. Responsiveness, yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan

pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan

konsumen;

4. Assurance, yaitu kemampuan dan keramahan, serta sopan santun pegawai

dalam meyakinkan kepercayaan konsumen;


5. Empathy , yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap

konsumen.6

Maka pelayanan prima menjadi nilai ideal dalam perbaikan di bidang

administrasi negara sebagai wujud pemenuhan hak-hak warga negara yang

diberikan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Untuk itu, upaya reformasi

birokrasi dan tata kelola penyelenggaraan negara terus diupayakan, bahkan menjadi

prioritas utama dalam program kerja Kabinet. Reformasi birokrasi adalah suatu

proses dan prosedur birokrasi publik, dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk

mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.

Sasaran perubahan tersebut adalah proses dan prosedur, lembaga, serta

sikap dan tingkah laku. Visinya adalah memantapkan birokrasi yang profesional dan

memiliki integritas yang tinggi dan mampu menyediakan dan memberikan

pelayanan yang bermutu dan mendukung manajemen pemerintahan yang

demokratis untuk mewujudkan good governance. Aspek perubahan di dalamnya

antara lain mencakup (8) delapan area, yaitu culture set dan mind set , birokrasi

yang berintegritas dan berkinerja tinggi; organisasi yang tepat ukuran dan fungsi;

proses kerja yang jelas, efektif, efisien terukur, yang menunjang prinsip good

governance; sumber daya manusia, aparatur yang memiliki integritas, netral,

kompeten, capable, professional, kinerja tinggi dan sejahtera; regulasi yang

kondusif, tepat dan tidak tumpang tindih; pengawasan untuk mewujudkan

pemerintahan yang bebas KKN; akuntabilitas untuk meningkatkan akuntabilitas

kinerja birokrasi; dan pelayanan publik untuk memberikan pelayanan yang

excellent .

Program percepatan layanan unggulan (quick wins) ini ditujukan untuk

membangun kepercayaan masyarakat dalam waktu singkat, terutama terhadap citra

Kementerian Agama melalui penyelenggaraan layanan yang berkualitas. Kultur baru

6 Sutopo dan Adi Suryanto, Pelayanan Prima (Jakarta: LAN, 2003), hlm. 67
yang dikehendaki dari pelayanan birokrasi negara adalah yang memenuhi kriteria:

profesional, bersih dan akuntabel. Ketiganya menjadi kata kunci perbaikan layanan

publik modern di berbagai bidang. Profesional berasal dari Bahasa Inggris

( profession) berarti pencaharian. Profesional berarti bermata pencaharian dari

suatu keahlian.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia profesional diartikan sebagai hal-hal yang

berkaitan dengan profesi dan atau memerlukan kepandaian khusus untuk

menjalankannya; sedangkan profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tidak tanduk

yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.

Profesional artinya menurut pada keahlian jabatannya. Menurut Robert G.

Murdick dan Joel Ross, profesionalisme didasarkan pada kriteria: knowledge

(pengetahuan), competent application (aplikasi kecakapan), social resposibility

(tanggung jawab sosial), self-control (pengendalian diri) dan community sanction

(sanksi masyarakat atau sosial).3 Dengan demikian, profesionalisme berarti

kemampuan, keahlian dn keterampilan serta pengetahuan seseorang yang cukup

tinggi untuk keberhasilan bidang tugas dan kegiatan tertentu.

Dalam Islam, sikap dan sifat profesional didasarkan pada prinsip dan norma-

norma kenabian ( prophetic mission values) yang dicontohkan Rasulullah S.A.W.

dalam menunjukkan integritas seseorang, yaitu: shiddiq (keyakinan dan

kepercaayaan diri), amanah (terpercaya, kredibel), tablig (komunikatif dan

informatif), serta fathanah (kompetensi dan intelegensi).

Predikat profesional dilekatkan kepada seseorang apabila memiliki

pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang lebih tinggi dalam melaksanakan

profesinya. Untuk menjadi profesional, seseorang harus mempersiapkan diri terlebih

dahulu melalui pendidikan yang tepat, pengalaman yang cukup dan

penggemblengan mental yang memadai.


Padanya harus ada watak kerja sebagai pemberi jasa profesi yang

mencitrakan dan merefleksikan integritas diri yang berkarakter, memiliki

kompetensi dan pemahaman yang luas serta kesadaran akan pengabdian profesi

untuk melayani sebaik-baiknya. Dalam administrasi negara, pegawai berdasarkan

profesi ini diangkat dalam jabatan-jabatan fungsional, salah satunya adalah Jabatan

Fungsional Penghulu.

Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep

good governance (pemerintahan yang baik), yaitu pelayanan publik yang berasaskan

pada kepentingan umum, adanya kepastian hukum, adanya kesamaan hak, adanya

keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan dalam

perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan

khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan dan

keterjangkauan. Konsep bersih sangat terkait dengan penetapan tarif/biaya layanan

yang tanggung masyarakat, pelaporan keuangan, ketepatan penggunaan dana

dengan sasaran, dan transparansi penganggaran.

Akuntabilats adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi

publik atau pelayanan yang dilakkukan ole pemerintah sudah sesuai dengan norma

dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan apakah pelayanan publik tersebut

mampu mengakomodir kebutuhan yang sesungguhnya. Dengan demikian

akuntabilitas birokrasi terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah

yang tugas utamanya adalah melayani masyarakat harus dipertanggungjawabkan

secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. 7

Akuntabilitas pelayanan publik menunjukkan seberapa besar tingkat

kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau normanorma

eksternal yang ada di masyarakat. Faktor yang mempengaruhi akuntabilitas

7 Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa Transisi, cet.
1 (Yogyakarta: Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan Pustaka Belajar, 2005),
hlm. 2.
pelayanan publik adalah faktor-faktor yang bisa menghambat atau menggagalkan

terciptanya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Faktor-faktor

tersebut meliputi: etika pelayanan, budaya paternalisme, dan kontrol publik. Dengan

memfokuskan pada kasus pelayanan pernikahan dan akta nikah ditemukan fakta

bahwa akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya masih jauh

dari harapan dan banyak yang harus disempurnakan di sana sini. Hal ini terlihat dari

akuntabilitas hukum di mana pelayanan tidak sepenuhnya mengikutiperaturan yang

berlaku, jika terkait dengan tarif/biaya petugas cenderung mengabaikan peraturan

yang ada. Penarikan biaya administrasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya dan

belum berfungsinya kontrol publik terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Adapun pemberian solusi semata-mata harus melengkapi persyaratan yang kurang

dan tidak menggunakan kebijakan lain seperti jika terdapat kekurangan persyaratan

maka dapat disusul kemudian hari. Sedangkan akuntabilitas profesional sudah cukup

bagus di mana sumber daya organisasi harus dikonsentrasikan untuk kegiatan

pelayanan. Jika petugas yang bersangkutan tidak ada maka akan dibantu oleh

petugas yang lain.

Secara umum, ada tiga dimensi akuntabilitas:

Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu

mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi

legislative dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Mandat elektoral yang kuat

memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjaminkredibilitasnya,

disamping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.

Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat

waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan

yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan

bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam
menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Hasil dari akuntabilitas

fnansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan

dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi

penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan

stakeholders untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang

telah disepakati sebelumnya. Akuntabilitas Administratif, merujuk pada kewajiban

untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja

otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian,

akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik. Mereka

adalah yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi

teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat

digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.8

Reformasi birokrasi ini tentu saja menjadi misi penting di lingkungan

Kementerian Agama dalam segala layanannya. Layanan nikah sebagai layanan

utama di Kementerian Agama dilaksanakan melalui Bimbingan Masyarakat Islam

yang pelaksana teknisnya adalah KUA secara institusi dan Penghulu sebagai person-

nya. Keduanya sangat berperan dalam keberhasilan layanan Kementerian Agama

terutama dalam layanan nikah. Untuk kepentingan ini tulisan ini diarahkan, untuk

mengetahui seberapa vital Penghulu dan KUA dalam layanan nikah.

B. Kerangka Berfikir

Kemenag –Bimas Islam-Renstra-Program Payanan Pencatatan Nikah KUA

8 Ibid., hlm. 12.


C. Metode Penulisan

Tulisan ini bersifat deskriptif analitid, yaitu berupaya memberikangambaran

yang jelas tentang pokok persoalan dan menganalisisnya secara

metodologis. Penulis mencoba menganalisis isi (content analysis) dari sumber-

sumber tulisan dan kajian yang ada dengan diolah secara filosofis dan reflektif.9

Metodenya lebih bersifat studi pustaka yang bahan utamanya tulisan-tulisan

yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti, baik buku, dokumen,

koran, jurnal, maupun tulisan elektronik yang tersebar di internet dalam

berbagai website yang dapat dipercaya. Data-data yang terkumpul dianalisis

dengan dua cara berpikir, yaitu induktif dan deduktif sekaligus. Berpikir induktif

dengan cara menganalisis data-data tentang pelayanan publik di bidang

pernikahan, peraturan perundang-undangan, dan hasil pengamatan sehingga

dapat dikemukakan suatu gambaran umum. Berpikir deduktif dengan cara

menganalisis data-data tentang realitas pelayanan nikah apa adanya menjadi

kesimpulan dan karakteristik khusus yang tidak bisa dipersamakan dengan yang

lain, baik karena sifatnya maupun karena tempatnya.10

9 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif , ed. 3, cet. 7 (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996), hlm.
159
10
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hlm.36.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Masalah

Ada dua elemen penting dalam layanan nikah di Kementerian Agama: penghulu dan

KUA, penghulu sebagai person pegawai negara dan KUA sebagai institusi pelayan

negara. Secara normatif, Penghulu adalah jabatan fungsional dalam Rumpun

Keagamaan, berkedudukan sebagai pelaksana teknis dalam melakukan kegiatan

kepenghuluan pada Kementerian Agama. Diberi kuasa oleh pemerintah untuk

mengawasi pelaksanaan Undang-undang perkawinan, serta mencatat perkawinan

menurut perundang-undangan yang berlaku, mempunyai tanggung jawab dan

peranan khususnya dalam pelayanan kepada masyarakat di bidang munakahat.

Lebih lanjut, profesionalisme penghulu seperti yang dijabarkan dalam Peraturan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 yang di

antara tugasnya: melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan

pencatatan nikah/rujuk, penasehatan dan konsultasi nikah/masalah rumah tangga,

pelayanan fatwa hukum munakahat, bimbingan hukum muamalah dan evaluasi

kegiatan kepenghuluan11.

Peningkatan mutu profesionalisme penghulu harus berorientasi kepada mutu kerja.

Sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang diberi tugas, tanggung jawab,

wewenang dah hak secara penuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku terutama melakukan pengawasan nikah dan rujuk menurut Agama Islam.

Perhatian khusus pada kompetensi dan kecakapan ini meliputi : Fungsi dan tugas

KUA adalah Pencatatan Nikah dan Rujuk, mengurus dan membina Masjid, Zakat,

Wakaf, Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan sesuai

dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan peraturan yang

berlaku.12

___________________________
11
asal 4 Permenpan Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Petunjuk Jabatan Fungsional Penghulu
dan Angka Kreditnya.

12
KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi KUA Kecamatan Pasal 3
Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan

administratif terkait dengan tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan, maka menjadi kebutuhan mendesak adanya pengembangan

kompetensi petugas dan payung hukum yang jelas agar dalam pelaksanaan tugas

tidak menyimpang dari tata aturan hukum dan pelayanan prima terhadap

masyarakat dapat tercapai. Di lapangan, pelayanan pencatatan pernikahan yang

diselenggarakan KUA banyak menghadapi berbagai kendala, terutama KUA yang

berada di daerah yang menghadapi tantangan demografis dan nilai-nilai tradisi yang

ada di masyarakat. Secara umum, kendala yang dihadapi KUA tersebut secara

substantif adalah sebagai berikut :

1. Demografi wilayah tugas dalam kecamatan yang relatif lebih luas dengan

kondisi alam yang sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain

sementara jumlah penduduk masih sedikit.

2. Kondisi kantor yang masih jauh dari laik bahkan didapati masih menyewa

sehingga belum mempunyai kedudukan kantor tetap. Selain itu kondisi sarana

dan prasarana penunjang juga masih sangat minim sehingga menjadi kendala

dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat, seperti pada pelaksanaan kursus

calon pengantin yang dilaksanakan oleh KUA.

3. Jumlah pegawai pelaksana yang ada di tiap KUA dirasakan sudah ideal, akan

tetapi masih sering dijumpai banyak KUA yang berisi pegawai-pegawai yang

hanya absen datang, istirahat kemudian absen pulang, sehingga komposisi

jumlah pegawai sudah “ideal” akan tetapi masih jauh sekali dari ideal sebuah

kantor, bahkan ada KUA yang pegawainya hanya datang dan pulang tanpa

menyelesaikan satu tugas pun dalan satu hari tersebut.


4. Terbatasnya sarana teknologi dan sistem informasi yang ada di KUA,

dikarenakan gagap teknologi dan kurang perduli dari pegawai untuk melengkapi

kebutuhan kerjanya sendiri, padahal semakin cepatnya perkembangan

teknologi dan kebutuhan informasi yang cepat di masyarakat sehingga

berakibat tidak dapat diimbangi KUA untuk memenuhi kebutuhan itu. Dan

akhirnya masyarakat modern yang serba cepat dan instan, efisiensi biaya dan

kepraktisan, seperti pendaftaran nikah online belum dapat KUA berikan atau

kemungkinan masih ada juga pegawai yang belum memahami tersebut

samasekali, termasuk juga di dalamnya dalam layanan keterbukaan informasi

yang bersifat elektronik.

5. Keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) di satu sisi sangat

membantu tugas pelayanan masyarakat, di lain pihak mereka adalah pihak ke-3

yang menjadi alasan mahalnya biaya pernikahan.

Bagi KUA yang jumlah pegawainya belum memadai memang membantu

terlayaninya pengawasan nikah, apalagi jika jarak antar desa di kecamatan

tersebut yang relatif berjauhan. Di sisi lain, belum layaknya/ketidak jelasan

honor/upah/gaji yang diterima P3N sehingga dengan sangat terpaksa diambil

dari biaya perkawinan yang dibayar oleh calon pengantin.

6. Terbatasnya biaya operasional KUA yang kadang dijadikan alasan, padahal harus

diakui bahwa ada penambahan anggaran untuk KUA pada setiap tahunnya.

Pada tahun 2018, sudah mencapai Rp. 30.000.000,- (dua puluh empat juta

rupiah)an pertahun dibandingkan pada tahun 2013 yang masih berkutat di

angka Rp. 20.000.000,- an pertahun. Biaya ini digunakan untuk belanja ATK,

cetak blanko, perawatan kantor atau sewa kantor bagi yang belum memiliki dan

kegiatan lainnya termasuk transportasi dan listrik. Jika melihat begitu

banyaknya tugas yang diemban KUA sebagaimana termaktub dalam PMA

Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama,
memang dana yang ada dirasakan tidak dapat memenuhi kebutuhan

operasional kantor, seperti pada tugas verifikasi tanah wakaf, pengukuran arah

kiblat dan pendataan rumah ibadah, sosialisasi, pembinaan kelompok keluarga

sakinah serta kegiatan lintas sektoral yang semuanya itu mengharuskan adanya

perjalanan dinas, akan terasa sekali kurangnya anggaran yang dialokasikan

tersebut, yang sebenarnya dengan mendapatkan Tunjangan Kinerja pegawai

diwajibkan menyelesaiakan pekerjaannya dengan anggaran dan waktu yang

sesingkat-singkatnya.

Penghulu sebagai Pegawai Negeri Sipil, terikat pada aturan main yang telah

ditentukan oleh Pemerintah yang tertuang dalam berbagai produk hukum yang ada.

Sebagai PNS tentunya berlaku ketentuan yang sama dengan PNS pada dinas instansi

lain baik dalam hal pelaksanaan tugas, hak dan kewajiban dan pertanggungjawaban

serta sanksi jika melakukan pelanggaran, sebagaimana secara umum tertuang dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Agama. Dalam keduanya,

diatur tentang hari kerja senin sampai dengan jumat dengan ketentuan wajib

memenuhi jam kerja 7,5 (tujuh koma lima) jam per-hari. Di lapangan, Penghulu tidak

sama dengan guru, dosen atau jabatan fungsional lain dalam pelaksanaan tugasnya.

Hal ini sering terjadi karena masyarakat menghendaki pelayanan di luar dari waktu

yang sudah ditentukan mereka sendiri. Permintaan pelaksanaan pelayanan dalam

hal pencatatan perkawinan sering kali pada hari Sabtu dan Minggu dan jam yang

sudah mereka tentukan bahkan masih terjadi pelaksanaan pencatatan dilaksanakan

pada malam hari di kediaman mempelai. Kondisi tersebut dimungkinkan terjadi

karena memang terdapat ketentuan yang mengatur sebagaimana termaktub dalam

PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi : “atas permintaan calon

pengantin dan persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA”.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 yang menentukan tarifatas jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebesar Rp.

600.000,- (enam ratus ribu rupiah) dan dipertegas dengan edaran Irjen Kemenag RI

Nomor : IJ/1261/2012 tanggal 13 Desember 2012 butir (3) yang berbunyi agar tidak

menerima biaya pencatatan nikah lebih dari Rp. 600.000,- dan juga Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pasal 12 B ayat (1)

yang membahas tentang gratifikasi.

Tradisi pernikahan di masyarakat sebagai peristiwa sakral dan penting dalam

siklus kehidupan manusia, tidak hanya terkait peristiwa keagamaan biasa, tapi juga

menyangkut nilai-nilai tradisi dan budaya yang hidup dan dilestarikan. Peristiwa

nikah juga cermin dari prestise dan status sosial. Untuk itu, peristiwa nikah

dipersiapkan dengan seksama, dengan upacara-upacara adat tertentu bahkan di

tempat tertentu yang dihadiri keluarga besar, tokohtokoh sosial, dan relasi-relasi

terpenting dalam pergaulan. Kompleksitas gambaran tersebut harus dihadapi

Penghulu dan KUA dengan segala pelayan primanya demi memenuhi tuntutan

masyarakat (users dan stakeholders).

B. Analisis Masalah

Dari deskripsi masalah di atas, banyak upaya yang harus dilakukan dalam

upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional, bersih, akuntabel, terutama

pada sosok penghulu sebagai pelaksana langsung, dan KUA sebagai institusi yang

berhadapan langsung dengan masyarakat.

Vitalnya kedua unsur tersebut sangat menentukan kualitas layanan yang prima dan

memuaskan.

Peningkatan mutu profesionalisme penghulu harus berorientasi pada mutu

kerja. Sebagai Pegawai Pencatat Nikah, penghulu harus memiliki keahlian dan

keterampilan khusus kepenghuluan dan memiliki sifat mandiri.


Ketaatannya pada hukum dan prosedur, ditentukan oleh pemahamannya

tentang peraturan perundangan-undangan, baik yang bersifat materiil, juga yang

bersifat teknis yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya. Latar belakang

dalam disiplin ilmu yang dimiliki jelas harus menjadi dasar rekrutmen pegawai

penghulu di tingkat kebijakan, lebih bisa disederhanakan lagi jangan asal comot.

Bimbingan dan peningkatan kemampuan teknis melalui Diklat dan Bimtek menjadi

kebutuhan yang simultan dalam pembinaan karir penghulu.

Sebagai profesi, penampilan (performance) penghulu dituntut memiliki

kemampuan sebagai berikut :

1. Kemampuan keahlian (spesialisasi) berbasis pendidikan yang sistematis

dalam penanaman nilai-nilainya yang panjang;

2. Kemampuan konseptual, yaitu keterampilan penghulu dalam memadukan

seluruh kegiatan kepenghuluan agar kegiatannya mencapai sasaran yang

ditetapkan;

3. Kemampuan teknis dan prosedur, berkaitan dengan tata cara penerimaan

pemberitahun kehendak nikah, pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran

data, penetapan dan pengumuman kehendak nikah, analisis dan mengelola

tanggapan masyarakat tentang nikah, administrasi dan pengarsipan

dokumen nikah, pemilihan dan penetapan metode dalam penasihatan nikah

dan konseling, analisis kasus dan problematika rumah tangga.

4. Kemampuan sosialisasi (human relationship) yang langsung berhadapan

dengan masyarakat yang majemuk, seperti: kerja sama, kepedulian dalam

memakai pandangan, pemikiran dan perasaan orang lain, kemampuan efektif

dalam komunikasi dengan stakeholders layanannya.

5. Kemampuan manajerial. Walaupun bukan sebagai pengambil kebijakan,

fungsi manajemen dan administrasi harus dimiliki, terutama karena

berkaitan dengan tugasnya dalam penetapan tujuan (objective setting),


koordinasi (coordinating), perencanaan kegiatan (planning), pelaksanaan

kegiatan (executing), perorganisasian (organizing), pemberian dorongan

( pursuading), penilaian pekerjaan (evaluating) serta pengendalian dan

pengelolaan sumber-sumber (managing).13

______________________________________
13
Dann S. Sugandha, Pengantar Administrasi Negara (Jakarta: C.V. Intermedia, 1992), hlm.
38.
6. Kemampuan kreasi dan inovasi. Penghulu dituntut mencipta dan

mengembangkan ide-ide baru, baik yang bersifat ilmu pengetahuan yang

berkaitan dengan tugas pokoknya, sampai kepada metode-metode dan

pendekatan dalam melayani masyarakat pengguna (users)

Penghulu yang bersih dicerminkan dari pelayanan nikah yang sesuai undang-

undang tanpa pelanggaran, tanpa tekanan dan bebas suap, gratifikasi, tarif

biaya sesuai ketentuan, dan pelaporan yang transparan. Tujuan ini harus bisa

tercapai karena berbagai tunjangan biaya operasional yang memadai,

tunjangan jabatan, tunjangan jasa dan sarana pendukung seperti kendaraan

operasional sudah dilengkapi oleh pemerintah. Terlebih dalam pelaporan,

dukungan teknis bagi penghulu seperti sistem administrasi yang berbasis

teknologi informasi (IT) menjadi keharusan bukan hanya topeng sehingga

KUA bisa beroperasi dalam model layanan nikah terkini.

Kementerian Agama sebagai bagian dari Pemerintah selalu mendapatkan

penilaian dalam layanannya. Tingkat kepuasan layanan Kementerian Agama yang

disurvei Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya dalam indeks Kepuasan Layanan Haji

tahun 2018 menunjukkan value 85,23 dengan predikat sangat memuaskan.

Bagaimana dengan pelayanan di KUA ?

Dalam menilai pelayanan publik tersebut, terdapat beberapa ukuran atau dimensi

dalam menyelenggarakan suatu pelayanan publik antara lain :

1. Tampak nyata ( fasilitas fisik, peralatan, tenaga kerja)

2. Daya uji (dapat diandalkan dan akurat)


3. Daya tanggap (kemauan untuk membantu)

4. Keterampilan ( keahlian dan pengetahuan yang sesuai)

5. Keramahan (sopan santun, perhatian dan persahabatan)

___________________________________________________

14
https://haji.kemenag.go.id/v3/content/ini-dia-indeks-kepuasan-jemaah-haji-indonesia-2018hasil-
survey-bps
6. Kredibilitas (ketulusan, kepercayaan dan kejujuran)

7. Kemanan (bebas dari resiko, bahaya)

8. Akses (Kemudahan dihubungi dan didekati)

9. Komunikasin (memberikan pengetahuan kepada pelanggan dan mau

mendengarkan)

10. Pengertian (mau mengenal kebutuhan pelanggan).

Ukuran-ukuran inilah yang harus dipakai oleh KUA dalam melayani public dan

menjadi prosedur operasi yang terstandarkan.

Luasnya lingkup kerja dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi KUA

memang menjadi problem laten pemerintah, seperti minimnya ketersediaan SDM

yang mumpuni, sarana pra-sarana yang kurang memadai, tingkat kesejahteraan

yang belum ideal, akses lokasi dengan jarak tugas yang tidak semuanya ideal, dan

lain-lain. Namun demikian, keterbatasan kondisi itu, saat ini telah dimulai membuka

kepada ruang perbaikan untuk peningkatan pelayanan publik melalui penggunaaan

teknologi informasi, seperti layanan administrasi nikah berbasis IT yang dikenal

dengan SIMKAH (Sistem Informasi dan Manajemen Nikah) ada SIMKAH DESKTOP

dan juga SIMKAH WEB, dalam pengadministrasian perwakafan dengan SIWAK

(Sistem Informasi Wakaf), SIMAS (Sistem Informasi Masjid), dan yang terbaru adalah

SIMBI (Sistem Informasi Bimas Islam) serta aplikasi lain yang dibutuhkan.

Dengan upaya yang terus menerus dibangun ini, maka stereotype yang

sudah lama disematkan pada KUA akan berkurang atau bahkan hilang. Ini tentu

menjadi tantangan bagi seluruh aparatur Kementerian Agama, khususnya KUA,


untuk bisa menjawab tuntutan publik. Satu hal paling fundamental adalah

bagaimana agar publik tahu dan tertarik untuk melihat berbagai kebijakan strategis

Kementerian Agama yang mulai menggunakan teknologi informasi untuk

meningkatkan pelayanan publik semakin baik, khususnya pelayanan administrasi

nikah.

Dengan demikian, upaya yang harus dilakukan KUA dalam layanan yang

profesional, bersih dan berwibawa, beberapa usulan solusi yang implementatif di

antaranya :

1. Penyempurnaan di tingkat kebijakan, terutama dalam hukum materiil

perundang-undangan, peraturan pelaksana, petunjuk pelaksanaan dan

petunjuk teknisnya, kepegawaian, penganggaran dan sebagainya;

2. Pemenuhan kebutuhan pegawai berdasarkan SDM dan analisis beban kerja;

3. Bekerja berdasarkan Standard Operational Procedure (SOP) bukan hanya

pelaporannya saja yang sudah sesuai SOP;

4. Kesadaran bekerja tidak hanya diawasi atasan;

5. Tidak bergantung pada orang lain akan selesainya tugas/kinerja

6. Peningkatan sarana prasarana kantor dan penghulu;

7. Pembinaan administrasi yang simultan dan berkelanjutan;

8. Standardisasi pelaporan data dan keuangan;

9. Aplikasi sistem pelaporan data dan keuangan;

10. Penyediaan sarana dan sistem informasi,

11. seperti telepon dan internet;

12. Optimalisasi Sistem Informasi dan Manajemen

13. Nikah (SIMKAH);

14. Penyediaan layanan pendaftaran dan pengumuman nikah online;

15. Penyediaan balai nikah yang memadai dan representatif.


16. Integrasi sistem informasi nikah dan kependudukan dengan stakeholders lain

terutama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan Pengadilan

Agama.

Secara keseluruhan, seluruh elemen Kementerian Agama harus

mengoptimalkan peran hubungan masyarakat serta pengelola informasi dan

dokumentasi di setiap satuan kerja agar memahami terhadap setiap perubahan

sosial dan publik yang sedang berlangsung. Hal ini berangsur-angsur akan merubah

pandangan masyarakat secara timbal balik terhadap Kementerian Agama. Dengan

memanfaatkan dan mengoptimalkan semua lini informasi yang dimiliki disemua

level, Kementerian Agama pasti bisa dengan mudah membagi informasi untuk

menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Semakin massif upaya image building

dilakukan, maka akan membawa dampak langsung dan tidak langsung bagi

terwujudnya Kementerian Agama yang profesional, bersih dan akuntabel.

Indeks kepuasan Layanan Nikah di KUA tahun 2018 bahwa skor indeks kepuasan

masyarakat sebesar 80,23.

15 Alhamdulillah ...
15
http://www.nu.or.id/post/read/104758/tingkat-kepuasan-masyarakat-terhadap-layanan-kua2018
BAB IV KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Deskripsi dan analisis pada bab-bab terdahulu telah memberi gambaran peran dan

fungsi KUA dan Penghulu dalam upaya mewujudkan layanan nikah yang profesional,

bersih dn akuntabel. Dari paparan pembahasannya di atas, dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Keberhasilan layanan nikah sebagai layanan publik yang profesional, bersih

dan akuntabel sangat tergantung pada dua pelaksana langsungnya yaitu:

Penghulu dan KUA. Penghulu yang profesional dan bersih, ditunjang dengan

KUA yang dikelola dengan transparan dan akuntabel, akan menjadikan

layanan nikah sebagai produk layanan unggulan di Kementerian Agama yang

menjadi citra dan kepuasan masyarakat sebagai penggunanya. Apalagi

peristiwa nikah mengandung nilai yang sakral dan tradisi yang menjadi

prestise masyarakat dalam hubungan sosial dan keagamaan.

2. Peran dan fungsi penghulu dan KUA sebagai garda terdepan (avant garde)

Kementerian Agama harus dilakukan dengan berbagai upaya. Mulai dari

perekrutan baru, Peningkatan mutu profesionalitas penghulu dengan

berbagai pendidikan yang berjenjang dan terstruktur, baik jangka pendek

(Diklat) dan jangka panjang (pendidikan formal, beasiswa studi lanjutan)

harus dilakukan. Bimbingan teknis yang berkala dan jangan asal tunjuk untuk

meningkatkan performa penghulu juga menjadi kebutuhan dasar dalam

menjaga integritas penghulu yang bersih dan berwibawa. Penghargaan yang

cukup dengan peningkatan kesejahteraan, tunjangan dana operasional dan

jasa juga menjadi kebutuhan asasi dalam peningkatan kinerja penghulu.

Peningkatan mutu manajemen KUA juga menjadi kunci keberhasilan layanan

nikah di masyarakat. Dukungan sarana prasarana,biaya operasional,

dukungan SDM kepegawaian dan administrasi yang baik dan terencana,


penyempurnaan tingkat kebijakan, dukungan sistem dan teknologi informasi

serta koordinasi di berbagai lini menentukan wajah KUA dan Kementerian

Agama pada umumnya dalam layanan public yang profesional, bersih dan

akuntabel.

B. Saran dan Penutup

1. Kepada rekan-rekan penghulu mari kita laksanakan tugas yang

diamanahkan oleh pemerintah dengan penuh rasa tanggung jawab.

2. Setiap melayani masyarakat mari kita layani sesuai dengan maksud dan

tujuannya, serta mempedomani kepada peraturan dan

perundangundangan yang berlaku.

3. Kepada penghulu di setiap tingkatan, mari kita giatkan Program Pujangga

serta kita aktifkan kegiatan Kajian Agama, dalam upaya untuk

meningkatkan pemahaman dan Khazanah intelektual seorang penghulu

dalam melaksanakan tugas, agar kita mampu hadir di tengah-tengah

masyarakat sebagai seorang ulama, tokoh dan seorang profesional serta

ahli di bidangnya.

Sebagai penutup, tulisan kecil ini tentu saja hanya menggunakan

data-data dan waktu yang terbatas. Diperlukan kajian yang lebih komprehensif dan

mendalam terutama yang bersifat lapangan (grounded research) yang lebih intensif

untuk menemukan fakta-fakta dan solusi yang lebih baik. Kajian lanjutan dalam

rangka koreksi dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan.

Penulis juga minta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat

kesalahan atau penyampaian yang kurang pas.


DAFTAR PUSTAKA

Dann S. Sugandha, Pengantar Administrasi Negara (Jakarta: C.V.


Intermedia, 1992).

http://www.nu.or.id/post/read/104758/tingkat-kepuasan-masyarakat-
terhadap-layanan-kua-2018

https://haji.kemenag.go.id/v4/v3/content/ini-dia-indeks-kepuasan-
jemaah-hajiindonesia2018-hasil-survey-bps

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No 208 Tahun 2017


Tentang Pedoman Penyesuaian/Inpassing, Uji Kopetensi Dan Penetapan Kebutuhan
Jabatan Fungsional Penghulu.

KMA No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi KUA Kecamatan
Pasal 3

Kompilasi Hukum Islam.

Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif , ed. 3, cet. 7 (Yogyakarta:


Rakesarasin, 1996

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016


Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, No:


PER/62/M.PAN/6/2005. Tentang Jabatan Fungsional Penghulu Dan Angka Kreditnya.

Ryaas Rasyid, Desentralisasi Dalam Menunjang Pembangunan Daerah


Dalam Pembangunan Administrasi di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.

Sutopo dan Adi Suryanto, Pelayanan Prima, Jakarta: LAN, 2003.

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 1982.

Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa


Transisi, cet. 1 (Yogyakarta: Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dengan
Pustaka Belajar, 2005.

Anda mungkin juga menyukai