Anda di halaman 1dari 48

Potensi Dasar Manusia dan Tugas Manusia dalam 

Islam
Pengertian Potensi Manusia
Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah
terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara
maksimal.

Potensi-Potensi Dasar Manusia dalam Islam


Allah menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan
kepada  makhluk lainnya. Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan
Allah atasnya, baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal (potensi
yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal utama bagi manusia
untuk melaksanakn tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan
didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab
dengan sempurna.

Potensi Internal (Ialah potensi yang menyatu dalam diri manusia itu sendiri), terdiri dari
:
A.  Potensi Fitriyah
Ditinjau dari beberapa kamus dan pendapat tokoh islam, fitrah mempunyai  makna  sebagai
berikut :

1. Fitrah berasal dari kata (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan” secara etimologi  fitrah
berarti kejadian asli, agama, ciptaan, sifat semula jadi, potensi dasar, dan kesucian
2. Dalam kamus B. Arab Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai,
kejadian asli.
3. Dalam kamus Munjid kata fitrah diartikan sebagai agama, sunnah, kejadian, tabi’at.
4. Fitrah berarti Tuhur yaitu kesucian
5. Menurut Ibn Al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fatir artinya menciptakan, maka fitrah artinya
keadaan yang dihasilkan dari penciptaannya itu

Apabila di interpretasikan lebih lanjut, maka istilah fitrah sebagaimana dalam Ayat Al-qur’an,
hadits ataupun pendapat adalah sebagai berikut :

1. Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam ini bersesuaian dengan
kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah). Hal ini
berlandaskan dalil Al-qur’an surat Adz-Dzariyat (51:56)
2. Fitrah Allah untuk manusia merupakan potensi dan kreativitas yang dapat dibangun dan
membangun, yang memilliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga
kemampuannya jauh melampaui kemampuan fisiknya. Maka diperlukan suatu usaha-usaha
yang baik yaitu pendidikan yang dapat memelihara dan mengembangkan fitrah serta
pendidikan yang dapat membersihkan jiwa manusia dari syirik, kesesatan dan kegelapan
menuju ke arah hidup bahagia yang penuh optimis dan dinamis. Ini sesuai dengan Al-Qur’an
surat Ar-Rum ayat : 30 yaitu :

ِ ‫يل لِ َخ ْل‬
ِ ‫ق هَّللا‬ َ َّ‫ط َرةَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬
َ ‫اس َعلَ ْيهَا ال تَ ْب ِد‬ ْ ِ‫ين َحنِيفًا ف‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
ِ ‫ك لِل ِّد‬
ِ َّ‫ين ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
‫اس ال يَ ْعلَ ُمون‬ َ ِ‫َذل‬
jُ ‫ك ال ِّد‬
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Pada ayat ini Allah telah menciptakan semua makhluknya berdasarkan fitrahnya. Surat ini telah
menginspirasikan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan
baik dan  dan lurus.

Fitrah berarti ikhlas. Maksudnya manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satunya adalah
kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Berkaitan dengan makna ini.
Ada hadits yaitu : “Tiga perkara yang menjadikannya selamat adalah ikhlas, berupa fitrah
Allah, di mana manusia diciptakan darinya, sholat berupa agama, dan taat berupa benteng
penjagaan” (HR. Abu Hamdi dari Mu’adz)

Dengan demikian, pada diri manusia sudah melekat (menyatu) satu potensi kebenaran
(dinnullah). Kalau ia gunakan potensinya ini, ia akan senantiasa berjalan di atas jalan
yang lurus. Karena Allah telah membimbingnya semenjak dalam alam ruh (dalam
kandungan).

B.  Potensi Ruhiyah

Ialah potensi yang dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak
dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari roh ini
sendiri pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan. Potensi ini terdapat pada surat Asy-Syams ayat 7
yaitu :
ٍ ‫َونَ ْف‬
‫س َو َما َس َّواهَا‬
Artinya : dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)
 
kemudian Asy-Syams ayat 8 :
‫فََأ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬
Artinya : maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

Di dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan jalan kebaikan
(kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Menurut Ibn ‘Asyur kata ‘nafs’ pada surat Asy-
Syams ayat ke-7 menunjukan nakiroh maka arti kata tersebut menunjukan nama jenis, yaitu
mencakup jati diri seluruh manusia seperti arti kata ‘nafs’ pada surat Al-infithar ayat 5 yaitu :

ْ ‫ت َوَأ َّخ َر‬


‫ت‬ ْ ‫ت نَ ْفسٌ َما قَ َّد َم‬
ْ ‫َعلِ َم‬
Artinya : maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.

Menurut Al-Qurthubi sebagian ulama mengartikan ‘nafs’ adalah nabi Adam namun sebagian lain
mengartikan secara umum yaitu jati diri manusia itu sendiri.

Pada arti kata ‘nafs’ ini terdapat tiga unsur yaitu :

1. Qolbu : menurut para ulama salaf adalah nafs yang terletak di jantung
2. Domir : bagian yang samar, tersembunyi dan kasat mata
3. Fuad   : mempunyai manfaat dan fungsi

Dengan demikian, dalam potensi ruhaniyyah terdapat pertanggungjawaban atas diberinya


manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi
fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu,
jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas,
dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.

Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang
sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah dan
qadar-Nya yang umum

C.    Potensi Aqliyah 


Potensi Aqliyah terdiri dari panca indera dan akal pikiran (sam’a basar, fu’ad). Dengan potensi
ini, manusia dapat membuktikan dengan daya nalar dan ilmiah tentang ‘kekuasaan’ Allah. Serta
dengan potensi ini ia dapat mempelajari dan memahami dengan benar seluruh hal yang dapat
bermanfaat baginya dan tentu harus diterima dan hal yang mudharat baginya tentu harus
dihindarkan. Potensi Aliyah juga merupakan potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia
agar manusia dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil dan mapu berargumen
terhadap pemilihan yang dilakukan oleh potensi ruhiyah.

Allah berfirman dalam  Al-qur’an surat An-Nahl ayat 78 : 

َ‫صا َر َواأل ْفِئ َدة‬ َ ‫َوهَّللا ُ َأ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن بُطُو ِن ُأ َّمهَاتِ ُك ْم ال تَ ْعلَ ُم‬


َ ‫ون َش ْيًئا َو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َواأل ْب‬
َ ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكر‬
‫ُون‬
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.           

Ayat ini menurut Tafsir Al-maraghi mengandung penjelasan bahwa setelah Allah melahirkan
kamu dari perut ibumu, maka Dia menjadikan kamu dapat mengetahui segala sesuatu yang
sebelumnya tidak kamu ketahui. Dia telah memberikan kepadamu beberapa macam anugerah
berikut ini :

1. Akal sebagai alat untuk memahami sesuatu, terutama dengan akal itu kamu dapat
membedakan antara yang baik dan jelek, antara yang lurus dan yangs esat, antara yang
benar dan yang salah
2. Pendengaran sebagai alat untuk mendengarkan suara, terutama dengan pendengaran itu
kamu dapat memahami percakapan diantara kamu
3. Penglihatan sebagai alat untuk melihat segala sesuatu, terutama dengan penglihatan itu
kamu dapat mengenal diantara kamu.
4. Perangkat hidup yang lain sehingga kamu dapat mengetahui jalan untuk mencari rizki
dan materi lainnya yang kamu butuhkan, bahkan kamu dapat pula meilih mana yang
terbaik bagi kamu dan meninggalkan mana yang jelek.

Menurut An-Nawawi menafsirkan ayat ini bahwa agar kamu (manusia) menggunakan ni’mat
Allah itu untuk kebaikan, maka kamu mendengar akan nasihat Allah, dan melihat tanda-tanda
Allah dan memikirkan kebesaran Allah

Selain ayat tersebut, surat Al-Israa ayat 36 juga menjelaskan tentang potensi ini yang berbunyi :

ِ ‫بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱلر‬ 


‫َّح ِيم‬
ٓ ٰ ‫ُ ُأ‬
‫ان‬j
َ j َ
‫ك‬ َ ‫لُّ ْولِئ‬jj‫ص َر َو ۡٱلفَُؤ ا َد ك‬
‫ك‬ َ َ َ‫ك ِب ِهۦ ِع ۡل ۚ ٌم ِإ َّن ٱلسَّمۡ َع َو ۡٱلب‬
َ َ‫س ل‬
َ ‫ف َما لَ ۡي‬ ُ ‫َواَل تَ ۡق‬
‫سُٔواٗل‬
‍ۡ ‫َع ۡنهُ َم‬
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Pada ayat ini Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah janganlah kamu
mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya, atau kamu katakana
kamu mendengarnya padahal kamu tidak mendengrnya, atau kamu katakana bahwa kamu
mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan
meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal itu secara keseluruhan, sehingga inti dari
ayat ini adalah bagaimana kita mengolah potensi yang terdapat dalam ayat ini dengan sebaik-
baiknya karena ketika kita menggunakan potensi ini, maka cara kita menggunakannya akan
mendapat pertanggungjawaban kelak di akhirat dan Allah melarang sesuatu tanpa
pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu dengan dzan (dugaan) yang
bersumber dari sangkaan atau ilusi. 

Termasuk dalam surat Al-‘Araf tentang potensi Aqliyah ini pada ayat 179 yang berbunyi :

‫ُون بِهَا َولَهُ ْم َأ ْعي ٌُن‬ ‫ْأ‬


َ ‫س لَهُ ْم قُلُوبٌ اَل يَ ْفقَه‬ ِ ‫َولَقَ ْد َذ َر نَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِم َن ْال ِج ِّن َواِإْل ْن‬
َ ‫ضلُّ ُأولَِئ‬
‫ك‬ jَ ‫ُون ِبهَا ُأولَِئ‬
َ ‫ك َكاَأْل ْن َع ِام بَلْ هُ ْم َأ‬ َ ‫ان اَل يَ ْس َمع‬ jٌ ‫ُون بِهَا َولَهُ ْم َءا َذ‬
َ ‫ْصر‬ ِ ‫اَل يُب‬
‫ون‬َ ُ‫هُ ُم ْال َغافِل‬
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan
manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Dalam ayat ini, kekuatan dan kesuksesan bersumber dari-Nya, aktifitas akal dan juga ruh
berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menyembunyikan sesuatu apa
pun dari-Nya, melainkan dalam setiap kesempatan dan keadaan senantiasa memohon
taufik dari-Nya dan menjadikan Allah sebagai penolong-Nya dan tidak mencari penolong
selain-Nya. Sehingga dapat kita ketahui bahwa akal merupakan potensi yang besar yang
iberikan oleh Allah sehingga kita bisa melaksanakan tugas sebagai ciptan-Nya dengan baik
dan benar.

D.    Potensi Jasmaniyyah

Ialah kemampuan tubuh manusia yang telah Allah ciptakan dengan sempurna, baik rupa,
kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana pada firman Allah Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4 yaitu

‫ان فِي َأحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬


َ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن َس‬
Artinya : sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya

Kata insan dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali. Penekanan kata insan ini adalah lebih
mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan
untuk memangku jabatan khalifah dan memikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka
bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu, persepsi,
akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan mampu menghadapi segala
permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di samping itu, manusia juga dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari makhluk lain dengan berbekal potensi-potensi tadi. Dan dalam surat ini manusia
diberikan oleh Allah potensi jasmani.

Potensi ini juga terdapat disurat At-Taghabun ayat 3 yang berbunyi :

‫ص َّو َر ُك ْم فََأحْ َس َن ص َُو َر ُك ْم َو ِإلَ ْي ِه ْال َمصي ُر‬ ِّ ‫ض بِ ْال َح‬


َ ‫ق َو‬ َ ْ‫ت َو اَأْلر‬ َ َ‫َخل‬
ِ ‫ق السَّماوا‬
Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Dia membentuk rupamu dan
membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah kembali(mu).

Oleh karena itu, patutnya manusia sebagai ciptaan Allah yang sangat mulia dan banyak
keutamaan, agar mempergunakan potensi jasmaninya dengan baik sebagai modal utama untuk
menjalankan tugas sebagai ciptan-Nya.
Potensi Eksternal

Disamping potensi internal yang melekat erat pada diri manusia, Allah juga sertakan potensi
eksternal sebagai pengarah dan pembimbing potensi-potensi internal itu agar berjalan sesuai
dengan kehendak-Nya. Tanpa arahan potensi eksternal ini, maka potensi internal tidak akan
membuahkan hasil yang diharapkan. Potensi eksternal ini dibagi menjadi dua yaitu :

A.    Potensi Huda

Ialah petunjuk Allah yang mempertegas nilai kebenaran yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya
untuk membimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Allah SWT berfirman pada surat Al-
Insaan ayat 3 :

‫ِإنَّا هَ َد ْينَاهُ ال َّسبِي َل ِإ َّما َشا ِكرًا َوِإ َّما َكفُورًا‬


Artinya : Sesungguhnya Kami telah menunjukinnnya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan
ada pula yang kafir.

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah, telah menunjuki ke jalan yang lurus, ada
yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Maka dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan
lewat Nabi Muhammad SAW manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan mana pula jalan yang
sesat Allah. Dari perkataan “Sabil” yang terdapat dalam ayat ini tergambar keinginan Allah
terhadap manusia yakni membimbing manusia kepada hidayah-Nya sebab Sabil lebih tepat
diartikan sebagai petunjuk” dari pada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan
kebangkitan Rasul yang disebutkan dalam kitab suci. 
            Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan dan pikiran. Tuhan
hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kewujudan Nya melalui penglihatan terhadap
diri (ciptaan) manusia sendiri dan melalui penglihatan terhadap alam semesta, sehingga
pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.

Akan tetapi memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagian
manusia ada yang bersyukur tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi
mukmin yang berbahagia, ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan
pilihannya.

Dan maksud dari ayat ini juga telah dijelaskan bahwasanya kami (Allah) telah menjelaskan
kepadanya (manusia) jalan hidayah dengan menutus rasul-rasul kepada manusia (ada yang
bersyukur) yaitu menjadi orang mukmin (dan ada pula yang kafir) kedua lafal ini, yakni
Syakiraan dan Kafuuran merupakan haal dari maf’ul; yakni Kami telah menjelaskan jalan
hidayah kepadanya, baik sewaktu ia dalam keadaan bersyukur atau pun  sewaktu ia kafir sesuai
dengan kepastian Kami.

Sehingga ketika manusia tidak menggunakan potensi eksternal ini yaitu, hidayah dengan baik,
maka ia tidak dapat menjalankan tugas sebagai ciptan-Nya dengan baik. Potensi eksternal ini
juga terdapat dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 38 :

َ ‫ قُ ْلنَا ا ْهبِطُوا ِم ْنهَا َج ِميعًا فَِإ َّما يَْأتِيَنَّ ُكم ِّمنِّي هُ ًدى فَ َمن تَبِ َع هُ َد‬:‫ال هللاُ تَ َعالى‬
‫اي‬ َ َ‫ق‬
‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوالَ هُ ْم يَحْ َزنُون‬
ٌ ‫فَالَ َخ ْو‬
Artinya : “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Pada ayat ini dijelaskan dalam konteks potensi eksternal yaitu, ketika seseorang mengikuti
dan menjalankan   yaiu petunjuk Allah maka bagi orang tersebut niscaya tidak ada
kekhawatiran ataupun kesedihan hati.

B.    Potensi Alam

Alam semesta adalah merupakan potensi eksternal kedua untuk membimbing umat manusia
melaksanakan fungsinya. Setiap sisi alam semesta ini merupakan ayat-ayat Allah yang
dengannya manusia dapat mencapai kebenaran.

Hal ini terdapat dalam firman Allah surat Al-Imraan ayat 190 dan 191 yang berbunyi :

ِ ‫ت ُأِلولِي اَأْل ْلبَا‬


‫ب‬ ٍ ‫ار َآَليَا‬ ِ َ‫ف اللَّي ِْل َوالنَّه‬ ْ ‫ض َو‬
ِ ‫اختِاَل‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬ َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ ِ ‫ِإ َّن فِي َخ ْل‬
ِ ‫ُون فِي َخ ْل‬
‫ق‬ َ ‫ين يَ ْذ ُكر‬
َ ‫ُون هَّللا َ قِيَا ًما َوقُعُو ًدا َو َعلَى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكر‬ َ ‫) الَّ ِذ‬190(
)191( ‫ار‬ ِ َّ‫اب الن‬
َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬ َ َ‫اطاًل ُسب َْحان‬
ِ َ‫ت هَ َذا ب‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬
َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬ َ ‫ال َّس َم‬
jِ ‫اوا‬
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Pada ayat ini ditafsirkan bahwa memikirkan penciptaan Allah terhadap makhluk-Nya,
merenungkan kitab alam-alam semesta yang terbuka, dan merenungkan kekuasaan Allah yang
menciptakan dan menggerakan alam semesta ini, merupakan ibadah Allah kepada diantara
pokok-pokok ibadah, dan merupakan zikir kepada Allah diantara dzikir-dzikir pokok.
Seandainya ilmu-ilmu kealaman yang membicarakan desain alam semesta, undangan-undangan
dan sunnahnya, kekuatan dan kandungannya, rahasia-rahasianya dan potensi-potensinya
berhubungan dengan dzikir dan mengingat Pencipta ala mini, dari merasakan keagungan-Nya
dan karunia-Nya niscaya seluruh aktifitas kelimuannya itu akan berubah menajdi ibadah kepada
Sang Pencipta alam semesta ini, akan luruslah kehidupan ini, dan akan terarah kepada Allah
Ta’ala

            Pada ayat ini juga ditafsirkan bagaimana  Allah Ta’ala tidak menampakkan hakikat alam
yang mengesankan keculai pada hati yang selalu berdzikir dan beribadah. Mereka yang selalu
ingat kepada Allah pada waktu berdiri, duduk dan berbaring, sembari memikirkan penciptaan
langit dan bumi serta pergantian siang dan malam maka, mereka adalah yang terbuka
pandangannya terhadap penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang. Dan yang
seperti itulah, ketika mereka menggunakan potensi internal (akal dan hati) yang seimbang
dengan potensi eksternal yaitu potensi Alam.

Ayat lain yang mendukung potensi eksternal ini yaitu surat Al-baqarah ayat 21-22 :

‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُ ُد ْوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ َخلَقَ ُك ْم َو الَّ ِذي َْن ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْو َن‬
‫ض فِ َراشا ً َو ال َّس َما َء بِنَا ًء َو َأ ْن َز َل ِم َن ال َّس َماء َما ًء فََأ ْخ َر َج بِ ِه‬ َ ْ‫اَلَّ ِذيْ َج َع َل لَ ُك ُم اَأْلر‬
‫ت ِر ْزقا ً لَّ ُك ْم فَالَ تَجْ َعلُ ْوا ِهللِ َأن َداداً َو َأنتُ ْم تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
ِ ‫ِم َن الثَّ َم َرا‬
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana Allah memerintahkan beribadah pada hambaNya,
dengan menggambarkan latar belakang, seputar penciptaan, fungsi bumi dan langit, kemakmuran
akibat yang ditimbulkan bumi dan langit, dan rizki dibalik penciptaan itu. Namun, manusia
terhalangi pandangannya sehingga merasa bahwa langit dan bumi seisinya itulah yang bisa
diandalkan sebagai tempat berpijak, tempat bergantung dan sumber rizki. Padahal semua itu dari
Allah swt. Artinya, Allah Ta’ala-lah yang mengerjakan semua itu, menciptakan semua itu dan
memanage semuanya. Berarti tidak benar beribadah, kecuali hanya untukNya dan kepadaNya.

Allah-lah yang berhak disembah, sehingga manusia hanya menyembah kepadaNya. Ibadah
hanya sah bagi hamba, dan tertuju kepada Pencipta hamba. Karena itu sang hamba harus
mengenal Penciptanya, dimana, Allah bertajalli melalui ciptaanNya. Tajallinya Allah bukan
penyatuan WujudNya dengan wujud makhlukNya yang disebut dengan pantheisme. Tetapi,
Tajallinya Allah adalah penampakan yang disaksikan oleh Jiwa Terdalam dari para hambaNya,
dan karena itu, seperti dalam hadits, “Siapa yang mengenal jiwanya maka ia mengenal
Tuhannya.”

Secara lebih jelas, keistimewaan dan kelebihan manusia, diantara-nya berbentuk daya dan bakat
sebagai potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan dengan
pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ
tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal,
bakat, fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk
bisa menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sekaligus
menempatkannya sebagai makhluk yang berbudaya.

Di luar itu manusia juga dilengkapi unsur lain, yaitu kalbu. Dengan kalbunya ini terbuka
kemungkinan manusia untuk menjadi dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan,
kenikmatan beriman dan kehadiran ilahi secara spiritual.

Sebagai makhluk ciptaan, manusia pada dasarnya telah dilengkapi dengan perangkat yang
dibutuhkan untuk menopang tugas tugas pengabdiannya. Sudah cukup persyaratan yang ia
miliki, sehingga manusia merupakan makhluk yang ‘layak mengabdi’

Perpaduan daya daya tersebut membentuk potensi, yang menjadikan manusia mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta mampu meghadapi tantangan yang mengancam
kehidupannya. Dengan menggunakan akalnya, manusia dapat berkreasi membuat berbagai
peralatan guna mempertahankan diri dari gangguan musuh dan alam lingkungannya. Selain itu
manusia juga mampu berinovasi dan berkarya dalam meningkatkan kualitas hiduppnya.
Manusiapun dapat mempertahankan kelangsuangan generasinya dari kepunahan, melalui
kemampuan nalar dan kreatifitasnya

Dr. Abdul Mujib, M.Ag menuturkan potensi-potensi dasar manusia adalah sebagai berikut :

1.   Al-Fithrah

Fitrah merupakan citra asli manusia yang berpotensi baik atau buruk di mana aktualisasinya
tergantung pilihannya. Fitrah baik merupakan citra asli primer sedangkan yang buruk sekunder.
Sekalipun potensi fitriyah manusia itu merupakan gambaran asli yang suci, bersih, sehat dan baik
namun dalam aktualisasi dapat mengaktual dalam bentuk perbuatan buruk, sebab fitrah manusia
itu dinamis yang aktualisasinya sangat tergantung keinginan manusia dan lingkungan yang
memengaruhinya.

2.  Struktur Manusia

Struktur manusia terdiri dari enam yaitu jasmani, rohani, nafsani, kalbu, akal, hawa nafsu.

1. Ciri-ciri jasmani yaitu :

a. Bersifat materi yang tercipta karena adanya proses (tahap)


b. Adanya bentuk berupa kadar dan bisa disifati
c. Ekstetensinnya menjadi wadah roh
d. Terikat oleh ruang dan waktu
e. Hanya mampu menangkap yang kongkret bukan yang abstrak
f. Substansinya temporer dan hancur setelah matib

2.   Ciri-ciri rohani yaitu :

a. Adanya di alam arwah (immateri)


b. Tidak meiliki bentuk, kadar dan tidak bisa disifati
c. Ada energy rohaniah yang disebut al-amanah
d. Ekstitensi energi rohaniah tertuju pada ibadah
e. Tidak terikat oleh ruang dan waktu
f. Dapat menangkap beberapa bentuk konkret dan abstrak
g. Substansinya abadi tanpa kematian
h. Tidak dapat dibagi karena merupakan satu keutuhan

3.    Ciri-ciri nafsani yaitu :        

a. Adanya di alam jasad dan rohani terkadang tercipta dengan proses bisa juga tidak
b. Antara berbentuk atau tidak
c. Memiliki energy rohaniyah dan jismiyyah
d. Ekstitensi energy nafsani tergantung ibadah dan gizi (makanan)
e. Ekstitensi realisasi atau aktualisasi diri
f. Antara terikat atau tidak oleh ruang dan waktu
g. Dapat menangkap antara yang konkret dan abstrak
h. Antara dapat dibagi-bagi atau tidak

4.  Ciri-ciri kalbu yaitu :

a. Secara jasmaniyyah berkedudukan di jantung


b. Daya yang dominan adalah emosi (rasa) a
c. Bersifat Dzawqiyyah (cita rasa) dan hadsiyah (intuitif) sifatnya spiritual
d. Mengikuti natur roh yang ketuhanan atau ilahiyyah
e. Berkedudukan pada alam super sadar atau dasar manusia
f. Intinya religiositas, spiritualitas, dan transedensi
g. Apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang tenang
(Nafs Mutma’innah)

5.   Ciri-ciri akal yaitu :

a. Secara Jasmaniyyah berkedudukan di otak (al-dimagh)


b. Daya yang dominan adalah kognisi (cipta) sehingga adanya intelektual
c. Mengikuti antara natur roh dan jasad
d. Potensinya bersifat istidhlaliyyah 9argumentatif) dan aqliyah (logis) yang bersifat
rasional
e. Berkedudukan pada alam kesadaran manusia
f. Intinya isme-isme seperti : humanism, kapitalisme, dan lain-lain.
g. Apabila mendominasi jiwa maka akan terwujud jiwa yang labil (Nafs Al-lawwamah)

6.   Ciri-ciri hawa nafsu yaitu :

a. Secara jasmaniyyah terdapat di perut dan alat kelamin


b. Daya yang dominan adalah konarsi (karsa) atau psikomotorik
c. Mengikuti natur ajsad yang hayawaniyyah baik jinak maupun buas (bahimiyyah dan
subu’iyyah)
d. Bersifat hisiyyah (indrawi) yang sifatnya empiris
e. Kedudukannya terdapat pada alam pra/ bawah sadar manusia
f. Intinya adalah produktivitas, kreativitas dan komsumtif
g. Apabila mendominasi jiwa maka akan terwujud nafs al-ammarah
 

3.      Al-Hayyah (Vitality)

Yaitu merupakan energi, daya, tenaga atau vitalitas manusia yang karenanya manusia dapat
bertahan hidup. Al-hayyah dibagi menjadi dua yaittu, nyawa (al-hayya) dan fisik (at-thaqat atau
al-jismiyyah) sehingga adanya fungsi organ.

1. 4.      Al-Khuluq

Akhlaq yaitu kondisi batiniah (dalam) bukan kondisi lahiriah (luar) individu yang mencakup al-
thab’u dan a-sajiyyah.

1. 5.      Al-Thab’u (Tabiat)

Citra batin individu yang melekat (al-sukun). Menurut Ikhwan Al-Shafa tabiat adalah daya dari
daya nafs kuliyyah yang menggerakan jasad manusia.[14]

1. 6.      Al-Sajiyyah (bakat)

Yaitu kebiasaan (‘aadah) individu yang berasal dari hasil integrasi antara karakter individu
(fardiyyah) dengan aktifitas-aktifitas yang diusahakan (Al-Muktasab). Dalam terminology
psikologi  bakat yaitu akapasitas kemampuan yang bersifat potensial. Bakat ini bersifat karakter
(tersembunyi dan bisa berkembang) sepanjang hidup manusia dan dapat diaktualisasikan
potensinya.

1. 7.      Al-Sifat (sifat-sifat)

Ciri khas individu yang relative menetap secara terus-menerus dan konsekuen yang diungkapkan
dalam suatu deretan keadaan sifat-sifat totalitas yaitu deferensiasi, regulasi dan integrasi

1. 8.      Al-‘Amal (perilaku)

Tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam bentuk perbuatan nyata.

 Potensi Negatif Manusia

Pada realitanya, tidak semua potensi manusia hanya bernilai positif seperti yang kami jealaskan
sebelumnya. Manusia pun mempunyai potensi yang negatif. Hal ini sesuai dengan ayat al qur’an
yaitu seperti :

1. Melampaui batas QS (Yunus : 12)


2. Zalim (bengis, kejam, dll) QS (Ibrahim : 34)
3. Tergesa-gesa QS (Al-Isra’ : 11)
4. Suka membantah QS (Al-Kahfi : 54)
5. Berkeluh kesah dan kikir QS (Al-ma’arij : 19-21)
6. Ingkar dan tidak berterima kasih QS (Al-‘Adiyat :6)

II.2 Tugas Hidup Manusia dalam Islam

Manusia dalam pandangan agama Musa Asy’ari (Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-
qur’an) menunjukkan dengan jelas tentang betapa agama telah memberikan potret yang utuh,
apik dan komprehensif tentang sosok manusia melalui tiga istilah yang ada:

1. Insan dari kata ‘anasa’ yang mempunyai arti melihat,mengetahui dan meminta izin,
mengandung pengertian adanya kaitan kemamampuan penalaran. Kata ‘insan’ menunjuk
pada suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran
penalaran. Manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan
llingkungan yang ada.
Sejalan dengan pengertian ini, tugas manusia yaitu :

1. Untuk mengatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa
yang tidak diketahuinya QS (Al-Alaq 1-5)
2. Manusia mempunyai musuh nyata yang nyata yaitu setan QS (12:5)
3. Manusia sebagai makhluk yang memikul amanah dari tuhan QS (33:72)
4. Makhluk yang harus pandai menggunakan waktu untuk beriman dan beramal baik
QS (1-3
5. Sebagai makhluk yang hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang dia
kerjakan (53:39)
6. Punya keterikatan dengan moral dan sopan santun
7. Penggunaan kata ‘basyar’ yaitu manusia seperti apa yang tampak pada
lahiriyyahnya, mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum dari
bahan yang sama, semakin bertambah usianya, kondisi tubuhnya akan menurun,
menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya, pada kata ‘basyar’ ini
disebutkan 36 kali di Al-qur’an.
8. An-nas yaitu untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang
mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya yaitu :
1. Melakukan kegiatan peternakan QS (28:23)
2. Kemampuan untuk mengelola besi atau logam QS (52:25)
3. Kemampuan untuk pelayaran dan mengadakan perubahan social QS (2:164)
4. Kepatuhan dalam beribadah QS (2:21)

Al-Ghazali memandang manusia sebagai proses hidup yang bertugas dan bertujuan yaitu bekerja,
beramal shaleh, mengabdikan diri dalam mengelola bumi untuk memperoleh kebahagiaan abadi
sejak di dunia hingga di akhirat. Pada aspek keduniaan manusia berperan sebagai khalifah di
bumi dan aspek akhirat manusia sebagai ‘hamba’ atau ‘al-‘abdu’ Allah Ta’ala.

Seperti yang beliau katakna tentang tugas manusia yaitu “Segala tujuan manusia itu terkumpul
dalam agama dan dunnia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya
dunia. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau
memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.

Sehingga dapat kita ketahui bahwa manusia mempunyai dua peran sebagai tujuan diciptakan
oleh Allah Ta’ala yaitu :

1. Manusia sebagai ‘Abd Allah (Hamba Allah)

Manusia dalam kehidupannya di muka bumi ini tidak bisa terlepas dari kekuasaan yang
transdental (Allah). Hal ini disebabkan, karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi
untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Allah Ta’ala memperkenalkan dan menunjukkan
kepada manusia bagaimana tata cara yang harus dilakukannya dalam melakukan peribadatan,
sebagai bukti kepatuhan kepada Allah Ta’ala melalui perantara Al-qur’an. Pada aspek ini
manusia diharapkan mampu mengenal Khaliqnya lewat pengabdian yang ditunjukannya dalam
semua spek kehidupan. Dalil yang mendasari pada tugas manusia sebagai hamba Allah terdapat
di QS (51:56)

2. Manusia sebagai makhluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa yang diberikan
Allah di muka bumi. Hal ini karena manusia diciptakan dalam “citra Allah”, sehingga
selayaknya manusia disebut sebagai “mahkota ciptaan-Nya” atau sebagai “khalifah Allah
di bumi” yang mewakili Pencipta dalam ciptan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
QS (2:30)

Bila kita memperhatikan ayat tersebut, maka akan terlihat bahwa manusia bukan sekedar hiasan,
akan tetapi, jauh dari itu manusia diberi kekuasaan untuk memelihara ciptaan-Nya sehingga
dapat mengolah dan memakmurkan alam ini dalam rangka beribadah kepada Allah, dengan
begitu manusia terlihat berbeda dengan makhluk lainnya dalam kedudukan dan tanggung jawab.

Secara umum, para filosuf Islam sepakat dalam mengartikan kata khalifah dengan pengertian
mengganti. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan pengertian pengganti
tersebut.
 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

 Potensi-Potensi Dasar Manusia dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu potensi internal
yang meliputi fitriyah, ruhiyah, aqliyah dan jasmaniyah dan potensi eksternal meliputi
potensi huda (petunjuk) dan potensi alam.
 Potensi terbagi dua yaitu :

1. Potensi positif yang meliputi :


1. Bentuk manusia yang terdiri dari jasmaniyyah dan jasadiyyah, kedua potensi ini
terbentuk karena adanya proses
2. Fithriyyah yang terdiri dari diniyyah (agama) dan khairiyyah (kebaikan)
3. ‘Aqliyyah yang terdiri dari fuadiyyah dan qolbiyyah
4. Ruhiyyah
2. Potensi Negatif yang meliputi :
1. Melampaui batas
2. Zalim (bengis, kejam, dll)
3. Tergesa-gesa
4. Dan lain-lain

 Peran dan tugas utama manusia di muka bumi dibagi menjadi dua :

1. Manusia sebagai ‘aabid yaitu hamba Allah yang memiliki tugas mengabdi kepada Allah
dan bertanggung jawab di muka bumi
2. Manusia sebagai khalifah yaitu pemimpin di muka bumi. Manusia dilahirkan sebagai
khalifah yang harus mampu mengubah dunia menjadi alam ‘Abdiyah yang terang
benderang

 Urgensi Pendidikan Islam dalam menangani potensi-potensi dasar manusia dan tugas
manusia dalam Islam adalah dengan adanya pendidikan islam manusia dapat mengolah
atau mempergunakan potensi dasarnya dengan baik sehingga dapat menjalankan tugas
atau fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah di bumi dengan baik. Ketika manusia
mempergunakkan potensi dasarnya tanpa pendidikan islam maka manusia tidak dapat
menjalankan tugas atau fungsinya dengan baik dan akan terpacu kepada perbuatan
negatif.
 Agama islam menggambarkan bahwa kehidupan manusia itu diartikan untuk
mengembangkan potensinya terutama tiga potensi yang dimilikinnya yaitu potensi fisik
biologisnya, intelektual dan rohaninya, sosiologisnya. Ketika potensi ini harus
dikembangkan secara harmonis dan seimbang.

 
Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia
a.      Surat  Al an’am  ayat  79                          

       


     
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan”.
a)      Mufrodat
ُ ‫وجَّ ه‬         : aku
‫ْت‬ َ menghadapkan diri
‫ َف َط َر‬          : mewujudkan
‫حنِي ًفا‬           : yang 
َ benar
‫ِين‬ ْ
َ ‫ال ُم ْش ِرك‬      : orang-orang  yang  mempersekutukan
b)      Tafsir
Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan kaumnya,
Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan menggambarkan sikap
Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah
ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang
menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam bentuknya.
Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya
adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia seorang yang berserah
diri kepada Allah swt. semata.
Firman Allah: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus. “  (Q.S An Nisa': 125)
Dan firman-Nya
“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”  (Q.S. Luqman: 22)
c)      Aspek  Tarbawi
        Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.
        Selalu berserah diri dan  beribadah kepada Allah SWT.
b.      Surat Al-anbiya’ ayat 34-35

        


       


     
 
34. Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad);
Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?
35. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
a)      TAFSIR
Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik
bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kegembiraan orang-
orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam hidup abadi di
dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu akan mati sebagaimana mereka”.
Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)
Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang
maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena
sesungguhnya ajal sudah ditentukan”. Jadi, setiap yang bernyawa di muka bumi ini baik manusia, jin
maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan musibah-musibah
dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh akan melihat siapa yang bersyukur
dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit,
kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir
Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)
Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu
tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam
kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya. Mereka
menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua
karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat tercela
yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-hambaNya yang
beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari
kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak
pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu
mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu
daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan
bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “Kecuali
orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak
disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat;
firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami;
firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu
Katsir, surat Huud: 9-11)

b)      Asbabun Nuzul


Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang jelas),
akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil rahimahullah yang
mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”
Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang
mengatakan:“Diberitakan kepada  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat,
kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah
ayat ini.
c.       Surat QS An-nur ayat 27

      


    
       
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu,
agar kamu (selalu) ingat.
a)       Tafsir

Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah
orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah tanggaan.
Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan peribadi. Orang
keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang
patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba kurang.
Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah
bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau menjamu
orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak istimewa daripada
makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya
makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan isteri
dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena kenakalan anak. Orang
luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan tersendiri dalam rumahtangga itu
tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu menurut peraturan agama Islam
yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang yang merasa dirinya beriman kepada
Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak
dengan izinnya.
Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya,
ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan
penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan
pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba dalam
keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa memberitahu? Dan masuk saja
tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai
dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-
tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam
batas kesopanan?
Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun,
artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira
menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait yang empunya
rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam.
Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah
belum menyatakan suka menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.
d.      .QS Ar-ruum ayat 30

        


         
      
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

a)      Mufrodat

َ ‫ال َّن‬ 
‫اس‬ : Manusia
َ ‫وجْ َه‬  
‫ك‬ َ : Wajahmu
‫ َت ْبدِي َل‬             : Perubahan
ِ ‫لِل ِّد‬                : Wajahmu                                               
‫ين‬
 ‫َأ ْك َث َر‬                 : Kebanyakan
‫حنِي ًفا‬              
َ : Dengan lurus                                            
َ ‫ َيعْ َلم‬            : Mengetahui.
  ‫ُون‬
‫ت‬َ ‫ف ِْط َر‬              : Fitrah
b)      Tafsir
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah“al-dinu al-Qayyim”
agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa
pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
  Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu
untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
        Beriman kepada  Allah  SWT.
  Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan
dan  pengajaran.
        Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
        Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
        Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan .

Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
        Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql),
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
         Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an
dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
 Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-
potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan
(pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai
dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang
mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan
secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga
dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena
betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din
al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan
pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan
kepribadian yang baik.
            Dalam hadis lain disebutkan:

“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh
dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar
dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor
yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan
seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai
pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan
kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa
hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat
dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir
bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan
penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri
manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal
pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan
manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek
fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik
adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai
kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat –
kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada
tekanan/paksaan apapun juga.

Potensi Manusia Menurut Pandangan Islam


Iskandar Muda January 10, 2017 Pengetahuan
Manusia dengan kondisi apa pun sesungguhnya memiliki potensi luar biasa, tanpa terkecuali apakah ia
lahir dalam keadaan normal atau berkebutuhan khusus. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an: dan
sungguh benar-benar telah kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. (QS. At-Tin: 4).
            Buya Hamka menyampaikan bahwa sebaik-baik bentuk yang disampaikan dalam ayat ini bukan
hanya berkaitan dengan persoalan kondisi fisik, tapi meliputi seluruh potensi yang Allah berikan baik
potensi lahir maupun batin.
Melalui potensi inilah setiap manusia sesungguhnya dapat meraih keistimewaan dan kemuliaan dirinya
manakala potensi itu dapat dikelola dengan baik dan benar. Namun sebaliknya jika potensi tersebut tidak
diasah dan digunakan dengan sebaik-baiknya justru itulah yang membuat manusia jatuh dalam kehinaan.
            Potensi merupakan bekal yang dapat digunakan manusia untuk menghadapi dan mengatasi setiap
persoalan hidupnya. Dan tidak seorang pun manusia yang diciptakan Allah tanpa potensi yang memadai.
Itulah sebabnya dalam ayat lain kembali ditegaskan: Allah tidaklah memberi beban kecuali sesuai
kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 267).
            Maka hadirnya anak berkebutuhan khusus bukanlah aib atau petaka yang harus ditutupi apalagi
disesali. Karena mereka pun punya potensi yang tidak kalah dibandingkan dengan yang lain. Dan mereka
bukanlah makhluk kelas dua, mereka juga sejajar dengan kita serta memiliki hak yang sama. Kita hanya
perlu membantu agar mereka mampu menggali serta mengembangkan potensi yang mereka miliki.
            Prof. Dr. Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa setidaknya manusia
dianugerahi 5 potensi, antara lain:

Pertama, potensi insting. Dengan potensi ini manusia dapat memberi respon secara otomatis terhadap apa
yang dialaminya. Sehingga seorang anak dapat menangis ketika sedih, merintih ketika sakit, menjerit
ketika takut, mempertahankan diri ketika terancam atau tertawa saat merasa ada yang lucu. Potensi ini
tanpa harus dilatih, insya Allah sudah langsung dimiliki oleh setiap anak yang terlahir.
            Kedua, potensi indera. Bukan saja panca indera yang selama ini kita kenal tapi juga meliputi
indera keseimbangan dan kinestetik yang membuat manusia bisa berdiri, bergerak, berjalan dan
beraktivitas. Kemampuan indera ada yang dimiliki secara sempurna, tapi ada juga yang kurang sempurna.
Namun bukan berarti ketidaksempurnaan itu lantas menjadi suatu kelemahan, lantaran tidak sedikit
mereka yang tidak sempurna dalam satu sisi ternyata diberi keistimewaan pada sisi yang lain. Untuk itu
indera yang ada perlu dilatih agar bisa berfungsi secara maksimal.
            Berkenaan dengan ini tidak jarang kita temukan mereka yang tidak mampu melihat dengan
matanya tapi tetap bisa membaca bahkan di kala lampu sedang padam. Tidak memiliki kaki untuk
berjalan tapi bisa menjelajah ke seluruh dunia memperkenalkan produk dan jasanya meski lewat dunia
maya. Gagu dan sulit bicara tapi kata-katanya bisa menginspirasi seluruh manusia melalui tulisannya.
Inilah beberapa contoh yang nampak jelas di depan mata kita bahwa keterbatasan indera bukanlah
kelemahan bagi anak-anak kita.
            Ketiga, potensi akal. Dengan ini manusia bisa mengetahui mana yang baik dan benar.
Mengekplorasi banyak pengetahuan yang semula tidak diketahui, sehingga dapat mengembangkan
wawasan sekaligus menemukan cara dan solusi untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Tapi
potensi ini tidak muncul dengan sendirinya, perlu ada proses pembelajaran serta pelatihan untuk
menstimulasi perkembangan kemampuan akalnya secara bertahap.
            Proses pembelajaran tentu memerlukan waktu yang cukup panjang dan kesabaran, karena
jangankan yang punya keterbatasan, yang terlahir normal pun tetap memerlukan pembinaan dan
bimbingan yang intensif. Sikap mudah menyerah itulah yang sesungguhnya menjadi faktor terbesar
terjadinya kegagalan, bukan keterbatasan yang dimiliki oleh seorang anak.
            Keempat, potensi hati. Potensi ini menjadikan manusia bisa merasa dan berempati. Sehingga
dengannya manusia bisa menghormati, menghargai dan menunjukkan kepeduliannya terhadap kondisi
orang lain. Selain itu, hati juga bisa menjadi filter atas segala bentuk kebohongan, karena hati tidak bisa
berdusta.
Kemampuan dalam mengembangkan potensi hati dapat melahirkan kepercayaan, motivasi, spirit dan
penghargaan yang seringkali menjadi modal utama seseorang meraih kesuksesan melebihi potensi
intelegensi atau akal. Begitu banyak orang yang mempunyai intelegensi yang begitu tinggi, akhirnya
justru gagal karena minimnya kecerdasan emosional yang dimiliki.
           Kelima, potensi agama. Potensi ini akan membimbing seluruh potensi yang ada sehingga sesuai
dengan kehendak Allah, memberikan batas yang boleh dan dilarang, sekaligus membantu manusia
bangkit dari berbagai masalah yang dihadapi dengan keyakinan bahwa di balik segala kelemahan yang
dimiliki masih ada Allah Yang Maha Kuasa yang mampu menjadikannya mampu menghadapi segala
macam ujian dan tantangan. Tanpa potensi ini, seluruh potensi yang dimiliki seakan bisa menjadi tidak
berarti sehingga banyak orang mudah menyerah serta putus asa.
            Inilah sejumlah potensi yang bisa kita bangkitkan dari anak-anak kita dalam kondisi apapun
mereka. Jawaban atas kondisi mereka ada pada upaya kita bukan pada kenyataan keterbatasan yang
mereka alami. Allah telah memberikan setiap anak itu potensi, tinggal kita yang mau atau tidak untuk
berusaha menumbuhkan dan mengembangkannya. (AK)

Potensi Positif dan Negatif Manusia serta


Peleburnya – Ust. Abu Abdirrahman Al-
Hajjamy, MA.
June 22, 2014 Al-Aminiyah Leave a comment

POTENSI POSITIF DAN NEGATIF MANUSIA


SERTA PELEBURNYA
Sesungguhnya Setiap manusia mempunyai Potensi positif dan negatif yang telah diungkap oleh
Al-Qur’an. Di antara Potensi negatif manusia (sifat-sifat bawaan yang bersifat negatif) yang
disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa manusia amat aniaya serta mengingkari nikmat (QS.
Ibrahim: 34), manusia sangat banyak membantah (QS. Al-Kahfi: 54), dan manusia bersifat keluh
kesah lagi kikir (QS. Al-Ma’arij: 19) dan seterusnya.

Jika disimpulkan maka potensi negatif pada manusia sesungguhnya dapat memicu tumbuhnya
sifat-sifat yang tidak terpuji (sifat sayyiah) secara gradual (berkembang dan tumbuh perlahan-
lahan), asal muasal potensi negatif itu adalah sifat Bahimiyah (sifat-sifat binatang ternak),
kemudian muncul darinya berbagai macam maksiat dan dosa, seperti tamak, rakus, dan ambisi
nafsu perut juga biologis termasuk pula perbuatan zina, sodomi, pencurian, memakan harta
anak yatim, pengumpulan harta untuk melayani syahwat, serta jalan-jalan tanpa tujuan hanya
karena kesenangan semu belaka.

Sifat ini hakekatnya merupakan karakter orang kafir sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman,

﴾ ‫ون َك َما تَْأ ُك ُل اَأْل ْن َعا ُم َوالنَّا ُر َم ْث ًوى لَهُ ْم‬


َ ُ‫ُون َويَْأ ُكل‬ َ ‫﴿… َو الَّ ِذ‬
َ ‫ين َكفَرُوا يَتَ َمتَّع‬
“ … Dan orang-orang kafir mereka selalu bersenang-senang dan mereka makan seperti
makannya binatang ternak dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad : 12)

Jika sifat Bahimiyah ini mendominasi seseorang kemudian dibiarkan liar, maka akan muncul
mengiringi sifat pertama, yaitu oleh sifat Sabu’iyah (sifat-sifat binatang buas), yaitu sifat
amarah, dendam, agresifitas kepada orang lain dengan memukul, mencaci maki dan
membunuh, menzholimi serta menghambur-hamburkan kekayaan, dan seterusnya. Mereka
lupa bahwa setiap perbuatan akan ada balasannya. Itulah gambaran orang-orang kafir
sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla :

َ ُ‫ظا ِهرًا ِم َن ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوهُ ْم َع ِن اآْل ِخ َر ِة هُ ْم َغافِل‬


﴾ ‫ون‬ َ ‫ون‬
َ ‫﴿ يَ ْعلَ ُم‬
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum: 7)

Lantas jika keduanya telah menyatu, maka muncullah sifat berikutnya yang ketiga yaitu sifat
syaithoniyah (sifat-sifat setan), seperti sifat dengki, kezaliman, muslihat, tipu daya, anjuran
kepada kerusakan dan kemungkaran, juga termasuk di dalamnya kecurangan, kemunafikan dan
ajakan kepada bid’ah dan kesesatan.

Lalu terakhir, jika tiga sifat tercela di atas telah menguasai seorang manusia maka akan muncul
puncak kerusakan, kemaksiatan, kemungkaran dan dosa yaitu sifat Rububiyah (sifat-sifat
ketuhanan) pada dirinya seperti, kebanggan, ketinggian, kedudukan, keangkuhan dan
superprioritas atas seluruh makhluk bahkan dengan terang-terangan dan berani mengaku
dirinya sejajar dengan tuhan bahkan yang terparah adalah menganggap dirinya adalah Tuhan.
Al-Qur’an telah mengisahkan puncak kedurhakaan seorang manusia yang bernama Fir’aun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

﴾ ‫ص ٰى ثُ َّم َأ ْدبَ َر يَ ْس َع ٰى فَ َح َش َر فَنَا َد ٰى فَقَا َل َأنَا َربُّ ُك ُم اَأْل ْعلَ ٰى‬ َ ‫﴿ فَ َك َّذ‬
َ ‫ب َو َع‬
“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.Kemudian dia berpaling seraya berusaha
menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru
memanggil kaumnya.(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An-Nazi’at:
21-24)

Inilah faktor-faktor utama dari segala dosa serta sumber-sumbernya, kemudian memancarlah
beragam dosa dan kemaksiatan serta kedurhakaan kepada Ar-Rabb Ta’ala. Terkadang kita
terheran-heran kepada orang-orang yang melakukan suatu maksiat yang sangat besar dan
merupakan kekufuran tetapi sang pelaku tersebut tenang dan seakan-akan ia tidak melakukan
dosa dan kekufuran apapun, maka jawabnya adalah karena sifat-sifat negatif di atas telah
menguasainya dan terus mengakar sehinga menjadi karakter dirinya yang tak terpisahkan.

Adapun faktor utama dari munculnya sifat saiyyiah (tercela) tersebut tidak lepas dari tiga hal
utama, yaitu :

Pertama, kejahilan/kebodohan sehingga tidak dianggapnya suatu dosa dan pelanggaran yang
membuahkan pelakunya enggan untuk bertaubat hal ini terkadang terjadi hingga akhir
hayatnya.

Kedua, lemahnya iman dan yakinnya, walaupun tahu tetapi tetap dilanggar. Seperti yang terjadi
dengan iblis la’natullah ‘alahi. Sebab yang kedua ini terjadi karena adanya hubbu lighairillahi
(kecintaan pada selain Allah) sebab dari tidak ikhlas dalam beramal dan beribadah.

Ketiga, Lingkungan yang tidak kondusif serta berteman dan bersahabat dengan orang-orang
yang tidak baik. Lingkungan juga teman yang tidak baik sangat besar pengaruhnya pada
pembentukan karakter serta kebiasaan. Maka hati-hatilah dalam memilih lingkungan serta pilih-
pilihlah dalam bergaul.
OBAT ATAU PELEBUR POTENSI NEGATIF
Obat atau pelebur dari segala dosa serta faktor-faktor utama penyebab dosa-dosa tersebut
adalah segera bertaubat dengan menjalankan seluruh syaratnya, kemudian memperbanyak
amal-amal shalihah dengan penuh keikhlasan hanya mencari ridha Allah Ta’ala dan mengikuti
sunnah Baginda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan kedua hal tersebut
terjagalah amal-amal shalihah dari kerusakan dan kebathilan serta kesia-siaan.

Dengan demikian, maka belajar dan keinginan kuat untuk lebih baik adalah kuncinya, karena
tidak mungkin tanpa ilmu iman serta Islam kita akan menjadi baik. Allah Ta’ala berfirman,

ُ ‫ان هَّللا‬j
َ j‫ت ۗ َو َك‬ َ ‫الِحًا فَُأو ٰلَِئ‬j‫ص‬
ٍ ‫نَا‬j‫يَِّئاتِ ِه ْم َح َس‬j‫ ِّد ُل هَّللا ُ َس‬jَ‫ك يُب‬ َ َ‫﴿ ِإاَّل َمن ت‬
َ ‫اب َوآ َم َن َو َع ِم َل َع َماًل‬
ِ ‫َغفُورًا ر‬
﴾ ‫َّحي ًما‬
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)

Berkata Imam Al-Bukhari rahimahullahu ‘alaihi :

‫العلم قبل القول والعمل‬


“Ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan.” (Shahih Al-Bukhari)

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu ‘alaihi mengatakan,

‫من عبد هللا بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح‬
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak
kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar,
hal. 15, Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah: 2/383)

Kemudian untuk menjaga agar tetap istiqamah dan untuk memunculkan sifat-sifat
Mahmudah/terpuji yang lain yang akan mengapus sifat-sifat negatif tersebut adalah dengan
ikhtiyaru Ash-Shuhbah Ash-Shalihin (mencari teman yang Shalih). Sesungguhnya sejelak-jelek
orang dapat berubah menjadi manusia terbaik karena Shuhbah Shalihin dan sesungguhnya
seshalih-shalihnya seseorang dapat berubah menjadi manusia paling buruk karena salah dalam
bergaul. Terkait point ini sangatlah banyak hujjah dari Al-Quran dan hadits.

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:

‫ك ِإ َّما َأ ْن‬
ِ j‫ ُل ْال ِم ْس‬j‫ فَ َحا ِم‬، ‫ير‬j
ِ j‫خ ْال ِك‬ ِ j‫ل ْال ِم ْس‬j
ِ ِ‫اف‬jjَ‫ك َون‬ ِ j‫ ْو ِء َك َحا ِم‬j‫الس‬
َّ ‫ح َو‬ ِ ِ‫يس الصَّال‬ ِ ِ‫” َمثَ ُل ْال َجل‬
َ ‫ ِر‬jْ‫ير ِإ َّما َأ ْن يُح‬j
‫ق‬ ِ ‫افِ ُخ ْال ِك‬jَ‫ َون‬، ً‫ َوِإ َّما َأ ْن تَ ِج َد ِم ْنهُ ِريحًا طَيِّبَة‬، ُ‫ َوِإ َّما َأ ْن تَ ْبتَا َع ِم ْنه‬، ‫ك‬
َ َ‫يُحْ ِذي‬
“ .ً‫ َوِإ َّما َأ ْن تَ ِج َد ِريحًا َخبِيثَة‬، ‫ك‬ َ َ‫ثِيَاب‬
“Permisalan teman yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual minyak wangi dan
pandai besi. (Duduk dengan) penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak
wanginya, bisa jadi engkau membeli darinya, dan bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma
yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu,
dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Point terakhir, demi tersebarnya kebaikan di muka bumi ini serta demi mengembalikan umat
manusia ke jalan Allah Ta’ala, maka Allah Subnallahu wa Ta’ala telah menjadikan kewajiban
mengajak, berda’wah bagi setiap yang telah mendapat hidayah Allah. Selain kebaikan tersebar
dijagat raya ini, Allah-pun akan menjaga iman dan Islam kita hingga kembali keharibaan-Nya
kelak.

Semoga Allah Ta’ala dengan rahmat, karunia dan petunjuk-Nya memberikan kekuatan kepada
penulis dan kita semua untuk mengamalkannya. Aamiin…

Wallahu Ta’ala bish-shawab…

Potensi Manusia Menurut Agama Islam

Manusia menurut agama Islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam Al-
quran, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjuk kepada manusia. Kata yang
digunakan adalah basyar, insan atau nas, dan bani Adam.

Kata basyar diambil dari akar kata yang berarti 'penampakan sesuatu dengan baik
dan indah'. Dari kata itu juga, muncul kata basyarah yang artinya 'kulit'. Jadi,
manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit
binatang. Manusia dipilih Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan dipilih
sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi. Di antaranya ruh, akal,
dan jasmani.

Potensi Diri Manusia

Banyak sekali orang yang tidak mengetahui akan potensi di dalam dirinya. Dan,
banyak juga orang yang tidak mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan
dalam dirinya. Cobalah tanya pada diri kita sendiri atau pada orang-orang terdekat,
dan orang yang tersayang. Apa sih kelebihan kita?

Sebagian dari Anda pasti akan bingung untuk menjawab pertanyaan sederhana ini,
namun sulit menjawabnya. Untuk menjawab pertanyaan itu, ada sebagian orang
beranggapan bahwa “Kita tidak boleh sombong, jadi tidak boleh membanggakan
diri sendiri”.

Sifat sombong memang tidak boleh dan dilarang oleh semua agama. Kita pasti
pernah menjumpai rekan, teman, sahabat, atau mungkin pacar yang memiliki sifat
sombong. Di dalam agama Islam, jika Anda menjumpai seperti itu, maka bencilah
sifat orang itu, bukan membenci orangnya. Karena jika Anda membenci orangnya,
maka Anda akan membenci ciptaan-Nya, oleh karena itu dilarang.

Akan tetapi, jika Anda ditanya apa sih kekurangan dalam diri Anda? Anda pasti
langsung bisa menjawab karena yang Anda perhatikan dan tandai adalah
kekurangan Anda, bukan kelebihan Anda.

Sering sekali jika Anda memiliki kekurangan, bukannya Anda membalikkannya,


akan tetapi Anda semakin mempertahankannya. Seperti contoh, ada seorang yang
kekurangannya itu gugup pada saat berbicara di depan orang banyak. Tidak lama
kemudian orang tersebut terpilih sebagai ketua kelas.

Orang tersebut pun mau tidak mau harus akrab dengan berbicara di depan kelas.
Tidak mungkin orang tersebut harus menyuruh wakilnya terus menerus untuk
berbicara di depan kelas?

Oleh karena itu, balikkan kekurangan kita menjadi kelebihan kita. Tanamkan diri
Anda kata “tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini”, tentu saja selama Anda mau
berusaha dan berdoa. Untuk itu, kita harus mengetahui apa saja potensi yang ada
di dalam diri kita yang diberikan oleh Allah Swt. Dengan begitu, kita dapat
memanfaatkan potensi kita itu untuk hal-hal yang positif.

Potensi Manusia Menurut Agama Islam

Apabila kita merenungkan sejarah kehidupan manusia diawali sejak Nabi Adam dan
anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh
perkembangan zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi
yang diikuti dengan semakin beraneragamnya peradaban dari generasi ke generasi
silih berganti. Berikut ini beberapa potensi manusia menurut agama Islam yang
diberikan oleh Allah Swt.

1. Potensi Akal

Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta,


mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, faktor
subjektivitas manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.

2. Potensi Ruh

Manusia memiliki ruh. Banyak pendapat para ahli tentang ruh. Ada yang
mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang
lain memahami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan
batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki sedikit
ilmu pengetahuan. Biarlah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah swt berfirman:
Katakanlah, “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”.
(QS. Al-Isra: 85)

3. Potensi Qalbu

Qalbu di sini tidak dimaknai sekadar ‘hati’ yang ada pada manusia. Qalbu lebih
mengarah pada aktivitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah.
Kadang setuju kadang menolak.
Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut,
cinta, kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia
berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.

4. Potensi Fitrah

Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah tidak dimaknai melulu
sebagai sesuatu yang suci. Fitrah di sini adalah bawaan sejak lahir. Fitrah manusia
sejak lahir adalah membawa agama yang lurus. Namun, kondisi fitrah ini
berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses perkembangannya.
5. Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu yang berarti 'dorongan kuat
untuk berbuat kurang baik'. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya
dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini
berpotensi positif dan negatif.

Hakikatnya, nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi
negatif daya tariknya lebih kuat dari pada potensi negatif. Oleh karena itu, manusia
diminta untuk menjaga kesucian nafsnya agar tidak kotor.

Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada hal-hal yang baik dan
terpuji. Namun, karena manusia diberi akal, nafsu, dan syahwat, bisa jadi kedua
tipe akhlak tersebut ada pada diri kita. Tetapi karena manusia memiliki hawa nafsu,
maka dari itulah derajat manusia lebih tinggi dari pada malaikat, syetan, bahkan
semua makhluk ciptaan Allah.

Karena di dalam hadis, Nabi bersabda bahwa golongannyalah yang dapat


menyamakan derajat pahalanya dengan nabi-nabi sebelum Nabi. Itu karena
golongan Nabi Muhammad tidak melihat dan menjumpai nabinya, melainkan hanya
menjumpai apa yang telah ditinggalkan, yaitu Al-Quran dan Hadis.

Sebagaimana dalam Al-Quran yang isinya “Telah aku tinggalkan 2 perkara, di mana
jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat, yaitu kitabillah (Al-Quran) dan
sunnati Nabi (hadis Nabi)”. Sampai ada istilah manusia itu ada di antara setan dan
malaikat karena memiliki potensi berbuat baik dan berbuat buruk.

Sepanjang menjalani hidup, manusia pasti tidak akan luput dari perbuatan salah.
Akan tetapi, sebaik-baiknya manusia berbuat salah, harus ditobati. Sebagaimana
yang terdapat dalam hadits, yang artinya “Setiap anak turunnya nabi Adam pasti
melakukan kesalahan, sebaik-baiknya kesalahan, yaitu ditobati”.

Namun, jika perbuatan itu melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya, dapat
dikategorikan sebagai orang yang berakhlak tercela atau buruk. Yang mana kita
telah mengetahui orang yang melakukan perbuatan yang tercela atau buruk, Allah
selalu memberikan balasan yang jelek pula.

Seperti di dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 14

ٞ ‫ص ٱهَّلل َ َو َرسُولَهۥُ َويَتَ َع َّد ُح ُدو َدهۥُ ي ُۡد ِخ ۡلهُ نَارًا ٰ َخلِ ٗدا فِيهَا َولَهۥُ َع َذ‬
١٤ ‫ين‬ٞ ‫اب ُّم ِه‬ ِ ‫َو َمن يَ ۡع‬
yang artinya “Barang siapa yang menentang Allah, Rasul, dan melanggar aturan-
aturan-Nya, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan mereka kekal di
.”dalam neraka

Di dalam hadis Nabi bersabda bahwa di dalam neraka adalah sejelek-jeleknya


tempat kembali. Di dalam hadis juga diterangkan bahwa api yang ada di neraka itu
.berwarna hitam, itu karena saking panasnya di dalam neraka

Orang yang masuk ke dalam neraka adalah orang-orang yang berdosa, baik itu
dosa kecil maupun dosa besar. Di zaman sekarang, baik dosa kecil maupun dosa
besar, tingkat ketakutannya itu hampir tidak ada. Banyak orang yang
meninggalkan solat dengan sengaja, tidak berzakat, minum minuman yang
memabukkan atau dalam Al-Quran disebut khomr, pergaulan bebas antara laki-laki
.dan perempuan, dan masih banyak lagi

Itulah pekerjaan syetan yang selalu mengganggu anak turun Adam supaya mereka
banyak yang masuk ke dalam neraka. Dan, Allah pun telah meridhokan syetan
.untuk mengganggu sebanyak-banyaknya untuk dijerumuskan ke dalam neraka

Adapun syetan itu lebih pintar untuk menggoda anak Adam karena syetan telah
hidup berabad-abad tahun. Padahal dalam Al-Quran telah dijelaskan dalam surat
Bani Israil yang artinya, ”Dan janganlah kalian mendekati zina karena zina itu
.”adalah sejelek-jeleknya perbuatan

Tetapi jika kita sebaliknya, jika kita taat, maka kita akan dimsukkan ke dalam
surga. Seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 13 yang artinya, “Barang siapa yang taat
kepada Allah dan rasul, maka dia akan dimasukkan ke dalam surga, yang mana
.”mereka kekal selamanya di sana

Seperti kita telah ketahui bahwa surga adalah senikmat-nikmatnya tempat. Semua
orang pasti ingin ke sana. Orang-orang yang masuk ke dalam surga ini jelaslah
bukan orang-orang yang senang berbuat tercela. Mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat kebajikan dan ikhlas dengan niat karena Allah. Semoga informasi
.mengenai potensi manusia menurut agama Islam tersebut bermanfaat

PEMBAHASAN

A. Pengertian Potensi Manusia


Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah
terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara
maksimal.
Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an, ada tiga
kata yang menunjuk pada manusia,  yang  di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.
Kata basyar  diambil dari  akar  kata yang  berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan  indah’.
Dari  kata  itu juga, muncul kata basyarah yang  artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena
kulitnya tampak jelas  dan berbeda dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di
muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.

B. Macam-Macam Potensi Manusia


Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:
a.       Potensi Fisik (Psychomotoric)
Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan untuk menulis, kaki
untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat.
b.      Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)
Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak bagian kiri).
Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.
c.       Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)
Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak manusia
bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah, motivasi, dan
kesadaran diri.
d.      Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)
Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang berhubungan
dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk menemukan norma.
e.       Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)
Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri manusia dan
berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.1

1
Sedangkan apabila kita merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi Adam
dan anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh perkembangan zaman,
lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.
Beberapa potensi manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT :
a.       Potensi Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan
mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat melaksanakan  tugas-tugasnya sebagai
pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas manusia dapat mengarahkan manusia pada
kesalahan dan kebenaran.
b.      Potensi Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada
manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan
dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki
sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah SWT
berfirman:“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS. Al-
Isra’: 85)
c.       Potensi Qalbu
Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah pada aktifitas
rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang menolak.
Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih sayang, dan
keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.
d.      Potensi Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang
suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun,
kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.
e.       Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang
baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi
berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.
Melekatnya nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi negative
daya  tariknya lebih kuat dari pada potensi positif. Oleh karena itu manusia diminta
menjaga  kesucian nafsnya agar tidak kotor.
Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada hal-hal baik dan terpuji.   Namun,
karena manusia diberi akal, nafsu dan syahwat. Bisa jadi kedua tipe akhlak tersebut ada pada diri kita.
Tetapi karena manusia memiliki hawanafsu, maka dari itulah derajat manusia
lebih tinggi  daripada  malaikat,  syetan,  bahkan  semua  makhlukciptaan Allah.
C. Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia

a.      Surat  Al an’am  ayat  79                          

             

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan”.
a)      Mufrodat
ُ ‫وجَّ ه‬         : aku
‫ْت‬ َ menghadapkan diri
‫ َف َط َر‬          : mewujudkan
‫حنِي ًفا‬           : yang 
َ benar
‫ِين‬ ْ
َ ‫ال ُم ْش ِرك‬      : orang-orang  yang  mempersekutukan
b)      Tafsir
Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan kaumnya,
Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan menggambarkan sikap
Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah
ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang
menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam bentuknya.
Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya
adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia seorang yang berserah
diri kepada Allah swt. semata.

Firman Allah: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama
Ibrahim yang lurus. “  (Q.S An Nisa': 125)
Dan firman-Nya
“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”  (Q.S. Luqman: 22)
c)      Aspek  Tarbawi
        Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.
        Selalu berserah diri dan  beribadah kepada Allah SWT.

b.      Surat Al-anbiya’ ayat 34-35


‌              
         

34. Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad);
Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?
35. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
a)      TAFSIR
Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik
bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.2
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik
Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kegembiraan orang-
orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena mereka pun juga akan mati.
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam hidup abadi di
dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu akan mati sebagaimana
mereka”.3

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:


“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)
Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang
maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena
sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.4 Jadi, setiap yang bernyawa di muka bumi ini baik manusia, jin
maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan musibah-musibah
dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh akan melihat siapa yang bersyukur
dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit,
kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir
Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)
Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu
tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam
kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya. Mereka
menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua
karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.

4
Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat tercela
yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-hambaNya yang
beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari
kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak
pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu
mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu
daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.
FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan
bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “Kecuali
orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak
disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat;
firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami;
firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu
Katsir, surat Huud: 9-11)5

b)      Asbabun Nuzul


Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang jelas),
akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil rahimahullah yang
mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”6
Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang
mengatakan:“Diberitakan kepada  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat,
kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah
ayat ini.7

c.       Surat QS An-nur ayat 27


           
       

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu,
agar kamu (selalu) ingat.
a)       Tafsir

Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah
orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah tanggaan.
Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan peribadi. Orang
keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang
patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba kurang.
Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah
bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau menjamu
orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak istimewa daripada
makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya
makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.
Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan isteri
dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena kenakalan anak. Orang
luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan tersendiri dalam rumahtangga itu
tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu menurut peraturan agama Islam
yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang yang merasa dirinya beriman kepada
Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak
dengan izinnya.

7
Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya,
ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan
penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.
Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan
pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba dalam
keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa memberitahu? Dan masuk saja
tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai
dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-
tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam
batas kesopanan?
Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun,
artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira
menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait yang empunya
rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam.
Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah
belum menyatakan suka menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.8

d.      .QS Ar-ruum ayat 30


                
        

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

a)      Mufrodat

َ ‫ال َّن‬ 
‫اس‬ : Manusia

َ ‫وجْ َه‬  
‫ك‬ َ : Wajahmu
‫ َت ْبدِي َل‬             : Perubahan

ِ ‫لِل ِّد‬                : Wajahmu                                               


‫ين‬
 ‫َأ ْك َث َر‬                 : Kebanyakan
‫حنِي ًفا‬              
َ : Dengan lurus                                            

َ ‫ َيعْ لَم‬             : Mengetahui.


  ‫ُون‬
َ‫ف ِْط َرت‬              : Fitrah
b)      Tafsir
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah“al-dinu al-Qayyim”
agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa
pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
  Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu
untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
        Beriman kepada  Allah  SWT.
        Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan
dan  pengajaran.
        Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.
        Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
        Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.9

9
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
        Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql),
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
         Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an
dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
 Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-
potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan
(pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai
dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang
mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan
secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga
dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena
betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din
al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan
pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan
kepribadian yang baik.
            Dalam hadis lain disebutkan:

“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab
mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh
dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar
dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor
yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan
seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai
pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan
kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa
hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat
dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir
bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan
penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri
manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal
pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan
manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek
fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik
adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai
kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat –
kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada
tekanan/paksaan apapun juga.10

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia adalah mahluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Ia diberi berbagai
potensi oleh tuhan untuk dikembangkan dan digali agar manusia itu dapat menjadi insan kamil. Potensi
yang dimiliki oleh manusia ada beberapa diantaranya : potensi akal, potensi ruh, potensi qalbu, potensi
fitrah, dan potensi nafs.
Selain itu dalam Alquran telah diterangkan mengenai potensi manusia dalm Surah Al – An’am
ayat 79

             

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
tuhan”.
Jadi manusia harus bersyukur karena Allah telah memberinya berbagai potensi, dibandingkan
dengan mahluk selain manusia.

B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan baik dalam
penyusunan maupun penggunaan EYD yang kurang tepak. Maka dari itu kami mengharap saran yang
membangun agar penulisan selanjutnya akan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazâiri, Abû bakar Jâbir. 2003. Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. Madinah.
At-Thabary, Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far. 2000. Tafsir at-Thabari.Lebanon: Muassasah
Risâlah.
Salim Bahreisy & Said Bahreisy.1990. Terjemahan singkat Tafsir IbnuKatsir.  Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april 2013.
Al-Jauzî, Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad. 1404 H. Zadul Masir.Beirut: al-Maktab Al-Islami
As-Suyuthi, Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl.
Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm.
Al-Maragi, Ahmad Mustofa. 1993. Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk.
Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=2&SuratKe=74#Top.
Diakses , 7 april 2013.
Departemen RI, Al-Qur’an Bayan.  2009.  Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka.
HAMKA, Tafsir Al-Azhar.  1983. Jakarta: PT. Panji Mas.
Http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.

TIGA PERAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN


1.                         Peran dan Tanggungjawab Manusia

Membincangkan maslah peran dan


tanggungjawab manusia, erat hubungannya
dengan istilah khalifah seperti disebutkan
dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam
Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-
Qur’an, kata khalifah yang cukup dikenal di
Indonesia mengandung makna ganda. Di satu
pihak, khalifah dimengerti sebagai Kepala
Negara dalam pemerintahan seperti Kerajaan
Islam di masa lalu, dan di lain pihak pula
pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan”
di muka bumi.[2]
Yang dimaksud dengan “wakil Tuhan” itu-
masih menurut M. Dawam Raharjo- bisa
mempunyai dua pengertian; Pertama, yang
diwujudkan dalam jabatan pemerintahan
seperti kepala negara, kedua, dalam
pengertian fungsi manusia itu sendiri di
muka bumi.[3]
Adapun khalifah dalam tulisan ini lebih
condong kepada pengertian khalifah yang
kedua yaitu “wakil Tuhan” yang berhubungan
dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di
muka bumi yang mengemban amanat Tuhan.
Pembatasan ini dimaksudkan adalah untuk
tidak membatasi fungsi manusia yang hanya
tertumpu kepada kepemimpinan yang formal
atau kekuasaan. Sebab dalam mengemban
amanat tidak harus selalu dalam bentuk
kekuasaan atau menjadi pemimpin. Pada
dasarnya, semua manusia mempunyai kewajiban
untu menyampaikan kebenaran. Landasan
kajian ini adalah berdasar pada Firman
Allah yang artinya
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat:   
 “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi…”.[4]

Dan ayat yang artinya:


“Sungguh Kami telah tawarkan amanat
kepada langi, bumi dan gunung-gunung. Tapi
mereka enggan memikulnya, karena takut akan
mengkhianatinya. Tapi manusia (bersedia)
memikulnya. Ia sungguh zhalim dan bodoh
sekali”.[5]

Dari kedua ayat di atas dapat dipahami


bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang
diemban manusia berdasarkan amanat yang
diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan
merupakan amanat atau tugas mengelola bumi
secara bertanggungjawab, dan harus sesuai
dengan petunjuk dari yang memberikan tugas
tersebut dengan mempergunakan akal yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Menurut Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar –
mengutip pendapat al-Qurtubi- amanat yang
ditugaskan Allah kepada manusia sungguh
berat, hal ini terbukti pada penolakan
langit dan bumi serta gunung-gunung ketika
ditawarkan untuk memikulnya dan mengemban
amanat tersebut.[6]
Penawaran dan penolakan amanat tersebut
dipahami oleh banyak ulama dalam arti
kiasan atau majaz. Namun ada juga yang
memahami dalam arti yang sesungguhnya. M.
Quraish Shihab menyimpulkan pendapat
pertamalah yang lebih kuat.[7]
Dasar yang dipakai manusia ketika
bersedia menerima amanat tersebut adalah
karena ia diberi kemampuan atau potensi
oleh Allah yang memungkinkan mampu
mengemban amanat itu. Potensi yang dimaksud
bukan saja potensi untuk dapat menunaikan
amanat tersebut, tetapi potensi yang dapat
menunaikan amanat dengan baik dan
bertanggungjawab.[8] Sebab jika Allah
mengetahui ketiadaan potensi yang dimiliki
oleh manusia, niscaya Dia tidak akan
menyerahkan amanat yang berat tersebut
kepadanya. Tidak ubahnya seperti seorang
ayah yang menyerahkan sebilah pisau kepada
anak kecil, atau memerintahkan anak di
bawah umur untuk mengemudi kendaraan. Sang
ayah yang bijaksana baru akan menyerahkan
hal tersebut jika sang anak sudah mampu dan
mempunyai potensi untuk melaksanakan tugas
yang diberikan kepadanya.
 Dalam salah satu ayat al-Qur’an,
kemampuan atau potensi itu disimbolkan
dengan kemampuan dalam mengeja nama-nama
benda seluruhnya. Dengan inderanya, manusia
mengirimkan masukan informasi ke otaknya
yang merupakan pusat pengolahan data dan
pengetahuan. Pengetahuan yang demikian ini
disebut pengetahuan konseptual.[9] Hal ini
diisyaratkan dalam al-Qur’an yang artinya: 

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-


nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-
orang yang benar”.[10]

Dengan melalui pemahaman serta


penguasaan terhadap hokum-hukum kebenaran
yang terkandung dalam ciptaan-Nya –semua
yang ada di alam ini- seperti yang
terkandung dalam ayat di atas, maka manusia
dapat menyusun konsep-konsep serta
melakukan rekayasa membentuk wujud baru
dalam alam kebudayaan untuk kemaslahatan
umat manusia.[11]
Kemampuan lain yang diberikan Allah
kepada manusia adalah kemampuan untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk,
seperti terdapat dalam al-Qur’an yang
artinya:

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-


Nya) sesungguhnya Allah telah mengilhamkan
kepada jiwa itu (kemampuan untuk
membedakan) mana yang salah dan mana yang
benar”.[12]

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa


Allah telah memberikan potensi kepada
manusia untuk menelusuri jalan kedurhakaan
dan ketakwaannya. Ibn Asyur seperti yang
dikutip oleh M. Quraish Shihab memahami
kata alhamaha dengan anugerah Allah yang
menjadikan seseorang memahami pengetahuan
yang mendasar serta menjangkau hal-hal yang
bersifat aksioma bermula dengan
keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang
bermanfaat, seperti dorongan untuk
menghindari bahaya.[13]
Berdasar kedua ayat dia atas, cukup
beralasan jika Allah memberikan
tanggungjawab kepada manusia untuk menjadi
khalifah di muka bumi. Alasan tersebut
adalah adanya kualitas dan kemampuan
manusia  dalam berfikir, menangkap, dan
mempergunakan simbol-simbol komunikasi.[14]

2. Peran dan Tanggungjawab Manusia


                       

sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial

Peran dan tanggungjawab manusia yang


paling utama adalah bagaimana manusia mampu
memposisikan dirinya di hadapan Allah dan
kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui hal
tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu
maksud dan tugas diciptakan manusia itu,
seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an
yang artinya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin and


manusia kecuali agar mereka mengabdi
kepada-Ku”.[15]

   Term Abdi dan pengabdian merupakan


kata-kata yang biasa dipergunankan sehari-
hari. Tetapi dalam konteks al-Qur’an kata
‘abd –yang darinya bahasa Indonesia abdi
dan pengabdian itu berasal- mengandung
pegertian yang luas dan dalam secara  baik
secara teologis maupun filosofis.
Namun demikian, dalam tulisan ini tidak
akan dibahas secara detail konsep ‘abdi’
atau pengabdian secara komprehensif, 
layaknya tafsir tematik tentang konsep ‘Abd
dalam al-Qur’an. Sub bahasan ini akan
menjelaskan bahwa dalam al-Qur’an
pengabdian sebagai bentuk penghambaan tidak
berlaku dalam hubungan selain dengan Tuhan.
Prinsip yang terdapat dalam ayat di atas
adalah al-Qur’an tidak mengakui perbudakan
atau penghambaan manusia oleh manusia yang
lain, lembaga atau ciptaan-ciptaan Tuhan
lainnya. Sebab keengaanan manusia menghamba
kepada uhan, akan mengakibatkan ia
menghamba pada dirinya, hawa nafsunya.
Diantara bentuk peghambaan selain kepada
Allah dapat ditemukan dalam ayat al-Qur’an
yang artinya:

“Ketahuilah, bahwa sesunggunya kehidupan


dunia hanyalah permainan dan kelengahan,
serta perhiasan dan bermegah-megahan antara
kamu serta berbangga-bangga tentang harta
dan anak-anak, ibarat hujan yang
mengagumkan para petani tanam-tanamannya,
kemudian ia menjadi kering, lalu engkau
lihat dia menguning kemudian ia menjadi
hancur dn di akhirat ada azab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridha’an-
Nya. Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali
hanyalah kesenangan menipu.[16]

   Didapatkan kecenderungan manusia yang


terdapat dalam ayat di atas, yaitu mereka
tidak mampu membebaskan dirinya dari
perbuatan atau pengambaan terhadap gemerlap
kehidupan dunia, seperti kebanggaan atas
anak keturunan, berlomba-lomba dalam
menumpuk harta, gaya hidup mewah yang
berlebih-lebihan.
   Gaya hidup yang dijelaskan dalam ayat
di atas tadi menggunakan pendekatan matsal
atau perumpamaan. Metode ini digunakan agar
supaya lebih mengena, mudah dipahami,
karena pesan yang disampaikan sangat dekat
dan real dengan apa yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat.
   Adapun obyek yang dijadikan
perumpamaan dari gaya hidup demikian adalah
“air”. Air tersebut diturunkan dari langit
dan membasahi bumi, kemudian air tersebut
menumbuh-suburkan tanaman. Melihat tanam-
tanaman yang tumbuh subur tersebut, para
petani senang dan bergembira, mereka yakin
hal itu terjadi karenan jerih payah yang
telah mereka lakukan. Padahal kegembiraan
dan kesenangan petani tersebut dapat saja
sirna dengan sekejap mata, seolah-olah
tidak pernah terjadi apa-apa. Hal ini
disebabkan karena kegembiraan dan
kesenangan para petani tanpa diikuti rasa
syukur dan pengakuan bahwanya kenikmatan
tersebut datangnya dari Allah.
  Orang yang senantiasa mengejar
kesenangan duniawi pada dasarnya tidak
memahami peran dan tanggungjawabnya sebagai
hamba Allah. Dalam terminology teologi
Islam beribadah atau penghambaan memiliki
dua arti. Pertama, beribadah dalam arti
sempit yang disebut dengan ibadah mahdhah.
Ibadah yang masuk dalam lingkup ini seperti
shalat, puasa, haji, yang mengandung ritus
yang mutlak. Kedua, ibadah dalam arti yang
luas. Beribadah dalam arti ini adalah
mendedikasikan seluruh sikap dan tindakan
seseorang hanya kepada  Allah. Dalam al-
Qur’an disebutkan sebagai berikut, yang
artinya:

“......Jangan kamu mengabdi selain


Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-
kata yang baik kepda manusia, dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat……”.[17]

Ayat ini mengandung dua perintah ibadah


yaitu perintah menyembah Allah, dan kedua
adalah konsekuensi-konsekuensi dari
beribadah kepada Allah yaitu berbuat baik
kepada kedua orang tua, kerabat, orang
miskin, anak yatim, berbuat baik kepada
sesame.
Dari penjelasan tersebut, berarti bentuk
ketaatan seseorang kepada Allah dengan
menjalankan ibadah-ibadah vertikal harus
senantiasa disertai dengan ibadah-ibadah
sosial horizontal. Tidak cukup jika seorang
mukmin yang setiap hari melaksanakan shalat
lima waktu, berpuasa dan melaksanakan
ibadah haji, tetapi di lain kesempatan ia
menyakiti tetangga, menggunjing, menghardik
anak yatim, tidak memberi makan orang
miskin, memamerkan kebajikan (QS.al-Ma’un,
2,3,4,6). Perilaku negatif ini juga
diperkuat lagi oleh hadits yang menjelaskan
tentang orang muflis (orang yang bangkut)
pada hari kiamat nanti yang berbunyi:

‫ل‬
َ‫ا‬JJَ ‫َ ق‬‫لم‬ََّ‫َس‬ ‫ِ و‬‫ْه‬
‫لي‬ ََ
‫هَّللا ع‬
ُ ‫لى‬ ََّ
‫هَّللا ص‬
ِ ‫ل‬ َ‫َسُو‬ ‫ن ر‬ َّ‫ة َأ‬
ََ‫ير‬ َْ‫هر‬
ُ ‫ِي‬ ‫ْ َأب‬‫َن‬
‫ع‬
‫ل‬
َ‫و‬JJ‫س‬ َُ‫يا ر‬ َ ‫َا‬ ‫ِين‬ ‫ِسُ ف‬‫ْل‬ ‫ُف‬‫الم‬ْ ‫َالوا‬ ُ ‫ِسُ ق‬ ‫ْل‬‫ُف‬‫الم‬
ْ ‫ما‬ َ ‫ن‬ َ‫ُو‬‫در‬
ْ‫ت‬َ‫َأ‬
‫لى هَّللا‬
ُ َّJَ
‫ِ ص‬ ‫ل هَّللا‬
ُ‫و‬Jُ‫َس‬ ‫ل ر‬َ‫ا‬J Jَ‫َ ق‬ ‫اع‬J Jَ ‫مت‬َ ‫َاَل‬‫ه و‬ ُ‫َ َل‬‫هم‬ َْ‫ِر‬
‫ْ اَل د‬‫من‬
َ ِ‫هَّللا‬
‫ْم‬
َ ‫ و‬JJ‫ي‬َ ‫ِي‬ ‫ ْأت‬JJ‫ي‬ َ ْ‫من‬َ ‫ِي‬ ‫مت‬َّ‫ْ ُأ‬
‫ِن‬‫ِسُ م‬ ‫ْل‬
‫ُف‬ ‫الم‬ْ َ ‫لم‬َّJJ‫س‬ ‫ِ و‬
ََ ‫ه‬JJْ‫لي‬ََ
‫ع‬
‫َم‬
َ ‫ت‬Jَ‫د ش‬ ْJ َ ‫ِي ق‬ ‫ ْأت‬J‫ي‬
ََ‫ِ و‬ ‫ِه‬‫َات‬ ‫َك‬ ‫ِ و‬
‫َز‬ ‫ِه‬
‫َام‬ ‫ِي‬‫َص‬‫ِ و‬ ‫ِه‬ ‫ِص‬
‫َاَل ت‬ ‫ِ ب‬‫مة‬َ‫َا‬‫ِي‬
‫الق‬
ْ
‫َب‬
َ ‫ر‬JJ‫ض‬
ََ‫َا و‬ ‫هذ‬ َ َ‫دم‬َ َ‫َك‬‫َسَف‬ ‫َا و‬ ‫هذ‬َ ‫ل‬ َ‫ما‬َ َ ‫َل‬‫ََأك‬‫َا و‬ ‫هذ‬ َ َ‫ذف‬ََ‫َق‬
‫َا و‬ ‫هذ‬
َ
‫ِن‬
ْ ‫َا م‬ ‫ذ‬JJ‫ه‬ََ ‫ِ و‬ ‫ِه‬‫َات‬‫ن‬JJ‫س‬ََ ‫ْ ح‬ ‫ِن‬ ‫َا م‬‫ذ‬JJ‫ه‬ َ ُّ‫َص‬‫ْت‬‫َق‬‫َي‬‫د ف‬ُJJُ ‫ْع‬‫َق‬
‫َي‬‫َا ف‬ ‫ذ‬JJ‫ه‬
َ
ِ
‫ه‬JJْ ‫لي‬ََ
‫ما ع‬ َ َّ‫َص‬ ‫ْت‬
‫يق‬ ُ ‫ن‬ ‫َأ‬
ْ َ ‫ْل‬‫َب‬‫ه ق‬ُ‫ت‬ ُ‫َا‬
‫َسَن‬ ‫ْ ح‬ ‫َت‬‫ِي‬‫َن‬
‫ن ف‬ ‫ِ ف‬
ْ‫َِإ‬ ‫ِه‬
‫َات‬‫َسَن‬
‫ح‬
َ‫ِح‬ ‫ر‬JJُ‫َّ ط‬
‫ثم‬ُ ِ ‫ْه‬
‫لي‬ََ
‫َ ع‬ ‫ِح‬‫ُر‬‫َط‬ ‫ْ ف‬ ‫هم‬ُ‫يا‬َ‫َا‬ ‫َط‬
‫ْ خ‬ ‫ِن‬‫ذ م‬ َِ‫يا ُأخ‬ َ‫َا‬‫الخَط‬
ْ ْ ‫ِن‬
‫م‬
ِ‫َّار‬ ‫ِي الن‬ ‫ ف‬]18[ )‫رواه الترمذى‬

Artinya: Dari Abu Hurairah RA,


Rasulullah SAW bersabda: Apakah engkau tahu
apa itu orang yang bangkut? Para sahabat
menjawab: Orang yang bangkrut adalah orang
yang tidak mempunyai satu dirham dan tidak
mempunyai perhiasan”, Lalu Rasulullah
berkata: “Orang yang bangkrut dari umatku
adalah seseorang yang datang pada hari
kiamat dengan pahala shalatnya, puasanya,
zakatnya dan datang dengan dosa menghina,
menggunjing, memakan harta orang lain,
membunuh, memukul. Maka orang yang
demikian, nilai kebajikannya akan
dipindahkan kepada orang yang disakiti dan
dizalimi, dan jika nilai kebajikannya telah
habis, maka dosa mereka yang disakiti dan
dizalimi akan diberikan kepadanya, kemudian
ia akan dijebloskan ke dalam neraka.

Dialog antara Rasulullah dengan para


sahabat yang terdapat dalam hadits di atas
memberikan pengertian bahwa orang yang
“bangkrut” itu tidak saja terbatas pada
hal-hal yang berkaitan dengan praktek
ekonomi. Pelajaran yang dapat diambil
adalah bahwa seseorang yang tidak mampu
berperan dan bertanggungjawab dalam
kehidupan sosialnya dengan baik dapat
dikategorikan kepada orang-orang yang
“bangkrut”. Sehingga orang yang demikian
tidak akan mempunyai deposito kebajikan
sebagai bekal hidup diakhirat kelak.
 Dalam upaya menempatkan proporsi ibadah
vertical dan horizontal, Jalaluddin Rahmat
dalam bukunya Islam Alternatif  sedikit
mengecam seorang muslim yang merasa puas
hanya karena telah melaksanakan shalat,
puasa dan ibadah mahdhah lainya, padahal
ibadah-ibadah  sosial masih terbentang
luas. Melihat kondisi masyarakat Islam yang
demikikan, dalam buku tersebut diuraikan
bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam al-
Qur’an memberikan quota yang lebih besar
kepada ibadah yang bersifat sosial . Bahkan
menurutnya dengan mengutip pendapat
Ayatullah Khomeini, dalam al-Hukumah al-
Islamiyah, perbandingan antara ayat-ayat
ibadah dan ayat yang menyangkut kehidupan
sosial adalah satu berbanding seratus,
untuk satu ayat tentang ibadah, ada seratus
ayat yang menjelaskan tentang mu’amalah.
[19]
Dalam kehidupan masyarakat beragama pada
umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada
Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama.
Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat
formalistic, seperti yang tercermin dalam
ketentuan-ketentuan peribadatan.
Pemahaman yang teramat formalistic
terhadap agama, atau formalisme agama dalam
kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan
yang teramat kuat terhadap ketentuan-
ketentuan formal keagamaan saja, tetapi
mengabaikan kepekaan sosial dan moral.
Seakan-akan peribadatan kepada Tuhannya
hanya akan diterima jika seseorang memenuhi
ketentuan formalnya, meskipun realitas
sosial dan kepekaan moralnya rendah.
Akibatnya peribadatan terlepas dari kaitan
dengan realitas sosial dan moral.
Penjelasan di atas bukan ingin
mengatakan bahwa ketaatan dan kepatuhan
kepada ajaran agama dalam arti formalistic
tidak akan mempunyai dampak etis teologis
yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi
hendaknya selain mempunyai dampak etis dan
teologis, ibadah-ibadah tersebut harus
mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang
yang ahli ibadah kemudian hidup dengan
serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli
dengan masyarakat lingkungannya yang hidup
serba kekurangan, dapat saja memberikan
peluang kejahatan kepada orang lain dengan
tindak pencurian, perampokan dan bentuk
kejahatan lainnya. Semestinya, perlu
dipahami bahwa kepedulian sosial juga
merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan
oleh siapapun.

3. Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai


Khalifah fil Ardl

Dalam sub bahasan sebelumnya telah


dijelaskan bahwa antara peran dan
tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah
dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan,
keduanya mempunyai hubungan fungsional dan
korelatif. Manusia dalam perannya sebagai
makhluk sosial tidak terlepas dari perannya
sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah
yang artinya:
“ ….Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya…”[20]
Khalifah fil ardl dapat diartikan
pengemban amanat yang diberikan Allah
kepada manusia. Tugas manusia dalam rangka
mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang
terkandung dalam ayat di atas adalah
mengelola dan memakmurkan bumi dengan
menggali sumber daya alam yang ia miliki
untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan
yang dimaksud adalah kemampuan manusia
untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam
yang tersedia. Karena Allah menciptakan
kekayaan alam tidak lain diperuntukkan bagi
manusia (QS. Al-Baqarah:29).
Salah satu sumber daya alam yang dapat
dieksplorasi adalah “air”[21]. Secara umum
keberadaan air sangat banyak manfaatnya,
seperti dapat menyuburkan tanaman, untuk
keperluan hidup manusia seperti makan, dan
minum (QS. Yunus:24).
Pada zaman teknologi canggih sekarang
ini, potensi energi air tidak saja terbatas
pada fungsi untuk menyuburkan tanaman dan
keperluan hidup domestic manusia. Akan
tetapi dengan teknologi modern, air yang
sudah dibendung kemudian terbentuklah waduk
yang dapat menghasilkan energi potensial
air. Air dari waduk itu dialirkan ke bawah
untuk memutar turbin. Pemutaran turbin
dapat menghasilkan energi listrik. Apa yang
terjadi di sini adalah transformasi energi
potensial air menjadi energi listrik.[22]
Selain itu, potensi positif air dapat
dimanfaatkan sebagai pendukung utama sector
perikanan seperti budi daya ikan dan
binatang air dan laut lainnya. Manusia juga
juga dapat memanfaatkan potensi air sebagai
sarana pariwisata, seperti air terjun,
keindahan waduk, pantai dan lain
sebagainya.[23]
     Jadi manusia dapat memanfaatkan potensi
sejauh mana ia dapat menggali potensi
positif air tersebut. Air akan mendatangkan
kesejahteraan bagi orang banyak apabila
mampu memanfaatkan air sesuai ukurannya.
Begitu juga sebaliknya air dapat
mendatangkan malapetaka bagi kehidupan
manusia apabila mereka tidak mampu mengolah
air.
Potensi  positif air inilah yang harus
ditiru oleh manusia dalam hubungannya
dengan peran dan tanggungjawabnya sebagai
khalifah fil ardl. Mandat khalifah fil ardl
yang diamanatkan kepada manusia haruslah
bersifat kreatif dan inovatif, yang
memungkinkan manusia dapat mengolah serta
mendayagunakan sumber daya alam yang ada,
dan menciptakan sesuatu yang baru sesuai
dengan kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat.
Potensi positif air yang dapat
diteladani oleh manusia adalah sejauh mana
seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain
sebagaimana manusia yang banyak mengambil
manfaat dari air. Bukan sebaliknya
mendatangkan kerusakan, apalagi jika
kehadiran kita menjadi beban bagi orang
lain. Katakanlah seorang pemimpin akan
selalu mengemban amanat yang diberikan
kepdanya dengan penuh rasa tanggungjawab.
Semakin tinggi rasa tanggungjawab seorang
pemimpin, maka akan semakin terasa
kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Hadits Rasulullah berikut ini dapat
dijadikan referensi dalam memaksimalkan
peran dan tanggungjawab manusia sebagai
khalifah fil ardl:

َّ‫ة َأ‬
‫ن‬ ََ‫ر‬J ْ
‫بك‬ ‫ْ َأب‬
َ ‫ِي‬ ‫َن‬‫ة ع‬ ‫ر‬J ْ
ََ ‫بك‬ َ ‫ِي‬‫بنِ َأب‬ ْ ِ‫َن‬
‫ْم‬‫َّح‬
‫ر‬J J‫ِ ال‬ ‫ْد‬
‫َب‬‫ْ ع‬‫َن‬‫ع‬
‫ل‬
َ‫ا‬JJَ‫ْ ط‬‫من‬َ ‫ل‬َ‫ا‬JJَ
‫ٌ ق‬ ‫ْر‬
‫َي‬ ‫ِ َأيُّ الن‬
‫َّاسِ خ‬ ‫ل هَّللا‬
َ‫َسُو‬‫يا ر‬ َ ‫ل‬َ‫َا‬‫ُاًل ق‬
‫َج‬‫ر‬
‫ل‬
َ‫ا‬JJَ‫ْ ط‬‫من‬َ ‫ل‬َ‫َا‬‫ٌّ ق‬ ‫ََأيُّ الن‬
‫َّاسِ شَر‬ ‫ل ف‬َ‫َا‬ ‫ه ق‬ َُ
ُ‫ل‬ ‫َم‬
‫َ ع‬ ‫َسُن‬
‫َح‬‫ه و‬ ‫ُر‬
ُُ ‫ُم‬‫ع‬
‫ه‬
ُ‫ل‬َُ‫َم‬
‫ء ع‬َ‫َسَا‬‫ه و‬
ُُ‫ُر‬
‫ُم‬‫ ع‬]24[)‫رواه الترمذى‬

Artinya: Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah


dari Bapaknya, ada seorang yang bertanya
kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, siapakah
yang dikatakan sebaik-baiknya manusia
itu?”  Rasulullah menjawab: “Sebaik-baik
manusia adalah orang yang diberi umur
panjang dan dipergunakan untuk melakukan
amalan yang baik, dan seburuk-buruk manusia
adalah orang yang diberi umur panjang
tetapi diisi dengan amalan yang buruk”.
Selain motivasi optimalisasi peran dan
tanggungjawab manusia sebagai khalifah,
hadits di atas dapat juga dipahami bahwa
untuk mengukur seberapa banyak peran
seseorang dalam melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah fil ardl, dapat dilihat
dari bagaimana ia memanfaatkan nikmat umur
(hidup) untuk selalu berbuat kebajikan. Ada
bentuk pertanggungjawaban terhadap apa saja
yang telah ia lakukan untuk kesejahteraan
ummat. Begitu juga sebaliknya, seseorang
dapat dikatakan tidak melaksanakan perannya
sebagai khalifah fil ardl, selama
kehadirannya di dunia ini tidak
mendatangkan manfaat bagi orang lain,
bahkan dengan kehadirannya di tengah-tengah
masyarkat menimbulkan keresahan. Jika ia
tidak dapat melaksanakan perannya secara
maksimal, maka sudah tentu tidak dapat
mempertanggungjawabkan mandat yang
diberikan kepadanya.
Lebih jauh lagi, peran dan tanggungjawab
manusia sebagai khalifah tidak saja
terbatas pada kemampuan mengeksplorasi
sumber daya alam, tetapi bagaimana agar
hasil dari eksplorasi tersebut dapat
dijadikan bekal atau modal untuk melakukan
perubahan dan pengembangan masyarkat,
khususnya masyarakat Islam.
            Secara terminoligis menurut
Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat
Islam adalah suatu system tindakan nyata
yang menawarkan model pemecahan masalah
umat dalam bidang sosial, ekonomi dan
lingkungan dalam perspektif Islam.[25]
Dengan demikian, pengembangan masyarakat
Islam merupakan model empiris pengembangan
prilaku individual dan kolektif dalam
dimensi amal saleh (karya terbaik), dengan
tujuan untuk memecahkan permasalahan yang
timbul dalam masyarakat. Dari situlah lahir
beberapa perspektif dan alternative
(problem solving).

KESIMPULAN

Dari paparan di atas tadi, jelaslah


bahwasanya peran dan tanggungjawab manusia
baik sebagai hamba Allah dan makhluk sosial
serta sebagai khalifah fil ardl sangat
berat dan dan harus dipertanggungjawaban.
Namun demikian Allah memberikan amanah
tersebut kepada manusia dikarenakan adanaya
potensi manusia untuk melaksanakan mandat
tersebut. Sebagai hamba Alllah, manusia
sudah dibekali potensi tauhid di dalam
dirinya semenjak ia masih dalam rahim
ibunya. Sebagai makhluk sosial, fitrah
manusia tidak bisa hidup sendiri, satu sama
lainnya saling membutuhkan. Dan perannya
sebagai khalifah fil ardl, manusia dibekali
ilmu pengetahuan agar dapat mengekspolarasi
sumber daya alam untuk kesejahteraan umat,
bukan mengeksploitasinya.
Tolak ukur seseorang telah secara
maksimal melaksanakan ketiga peran dan
tanggungjawabnya tersebut, dapat dilihat
bagaimana upayanya dalam memanfaatkan umur
(nikmat) untuk senantiasa berbuat
kebajikan, baik hubungannya secara
vertikal, maupun sosial horizontal.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, ,Bandung : CV. Diponegoro,
2001.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka


Panjimas, 1988, cet. I, juz XXII.

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung:


Mizan, 2003, cet. XI.
Tanggungjawab manusia
1. 1. KONSEP KHALIFAH Manusia sebagai khalifah Khalifah adalah sebuah fungsi yg diemban oleh
manusia berdasarkan amanat yg diterimanya dari Allah Amanah itu pada intinya adalah mengelola Bumi
secara bertanggungjawab, dg mempergunakan akal yg telah dianugerahkan Allah kepadanya.
2. 2. MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH  Manusia adalah makhluk Allah. Karena makhluk Allah, maka
manusia adalah bagian dari alam  Manusia merupakan makhluk yg mulia. Manusia diciptakan dalam
bentuk yg sebaik-baiknya. Manusia dianugerahi akal  Dengan akal, manusia bisa berfikir, memilih,
mengembangkan kehidupannya  Kelebihan dan keistimewaan manusia itu menempatkan sebagai makhluk
yg terhormat dan memperoleh martabat yg tinggi diantara makhluk lainnya
3. 3. TUGAS MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas, yaitu mengolah
alam dengan sebisa mungkin, seoptimal mungkin, memperhatikan kesejahteraan bersama, dan menjaga
kekuasaan yg dimilikinya agar tidak merugikan, dengan berpegang teguh pada Tuhan dan RasulNya.
4. 4. TUGAS MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH Untuk mengurus, mengelola, memanfaatkan, dan
memelihara karunia Allah sebagai sumber penghasilan, dunia usaha, dan untuk kemaslahatan bersama,
maka IPTEK, keahlian dan ketrampilan merupakan persyaratan yg harus dimiliki
5. 5. Tugas Manusia Sebagai Hamba Allah Mengabdikan diri kpd Alloh dan beramal shaleh Tunduk,
patuh, taat kepada Allah Memelihara iman yang bersifat fluktuatif Tanggung jawab pada diri sendiri,
keluarga, lingkungan sekitar, maupun pada Allah SWT Menjaga kesucian agama dgn menegakkan
syari’at islam dgn cara berdakwah
6. 6. FAATHIR (35) : 39 39. Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa
yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir
itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.
7. 7. AL-ISRAA' (17) : 70 70. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
8. 8. AL-ISRAA’ (17) : 36 36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.
9. 9. Dalam satu riwayat dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda, ''Tidaklah seorang pun yang
keluar dari rumahnya, melainkan di pintunya ada dua bendera. Yaitu, bendera malaikat dan bendera setan.
10. 10. Jika ia keluar untuk urusan yang disukai Allah 'Azza wa Jalla, maka ia diiringi malaikat dengan
benderanya sampai kembali ke rumahnya.
11. 11. Dan jika ia keluar untuk urusan yang dimurkai Allah maka ia diiringi setan dengan benderanya sampai
kembali ke rumahnya.'' (HR Ibnu al-Jauzi).
12. 12. APA KATA AL-QURAN? Karena itu, dalam beberapa ayat al- Quran Allah SWT mengingatkan
orang-orang yang beriman agar tidak mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu musuh yang nyata
bagi manusia (QS al-Baqarah, 2: 208).
13. 13. APA LAGI PERINGATAN ALLAH? Allah SWT juga berfirman, ''Jangan sampai kamu (dapat)
ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu (Adam dan Hawa) dari surga.''
(QS al-A'râf, 7: 27).
14. 14. POTENSI SETAN: 1. Setan dari golongan iblis memiliki tentara di segala penjuru dan tempat. 2.
Mereka juga memiliki kemampuan menyusup ke dalam diri manusia. 3. Di mana pun berada, setiap
manusia tetap memiliki potensi untuk digoda setan. 4. Namun demikian, mereka sama sekali tidak punya
kekuatan untuk memaksa manusia.
15. 15. APA KATA IBLIS (SANG PEMIMPIN SETAN) Iblis, pernah bersumpah di hadapan Allah SWT:
''Karena Engkau telah menghukumku “tersesat”, Aku benar-benar akan (menghalangi) mereka (manusia)
dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian akan kudatangi mereka dari muka, belakang, kanan dan kiri. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).'' (QS al-A'raf, 7: 16-17).
16. 16. APA KATA RASULULLAH S.A.W.? Dalam satu hadis Rasulullah s.a.w. bersabda, ''Setelah kaum
Iblis (setan) mengetahui bahwa aku telah diutus dan umat telah berdiri, mereka merasa tak sanggup lagi
menyesatkan kaum muslimin supaya menyembah berhala.
17. 17. APA KOMENTAR IBLIS (SANG PEMIMPIN SETAN)? Aku tak peduli, apakah manusia itu masih
atau tidak lagi menyembah berhala. Aku akan menggoda mereka setiap saat melalui tiga cara, yaitu: (1)
supaya mereka mencari harta dengan jalan/cara tidak halal, (2) supaya mereka membelanjakan harta itu di
jalan yang tidak benar, dan (3) supaya mereka menahan harta itu tidak pada haknya.
18. 18. APA SIKAP KITA? 1. Setan akan berhasil atau tidak “menggoda” kita, semua bergantung pada diri
kita masing-masing, karena kita semua mampu untuk menghadapinya, kalau kita “mau”. 2. Siapkah kita –
dengan gagah berani -- untuk menghadapinya dengan sikap “sabar” dan “tawakkal”?

Anda mungkin juga menyukai