Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa
memiliki. Spritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Spritualitas adalah kepercayaan
akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran
yang menghubungkan kita langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai
sumber keberadaan kita.
Inti spiritualitas
Jika kita bisa menerima bahwa kita adalah makhluk spiritual yang hidup dalam tubuh
fisik, maka ;spiritualitas adalah tentang persatuan, kebenaran, tanggung jawab pribadi,
pengampunan, kehendak bebas, cinta dan kedamaian. Yang paling penting, spiritualitas adalah
tentang menciptakan realitas kita sendiri, mengalami realitas-realitas menjadi kebijaksanaan
yang hidup dalam hukum alam semesta sehingga kita dapat berkembang secara rohani dan
kembali ke Penciptaan Allah SWT.
Spiritual diri kita adalah diri sejati, bukan tubuh kita. Tubuh hanya sebagai kendaraan
bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman negatif dan positif dapat membantu jiwa kita
berkembang, kearah mana yang akan di tempuh dalam perjalanan hidup ini.
س َٰٓى َ ٍسآَٰء
َ ع َ سا َٰٓ ٌء ِمن ِن َ وا َخي ًْرا ِم ْن ُه ْم َو ََل ِن ۟ ُس َٰٓى أَن َي ُكون َ ع َ وا ََل َي ْسخ َْر َق ْو ٌم ِمن قَ ْو ٍم ۟ ََُٰٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن
ِ ْ سو ُق بَ ْع َد
ۚ ٱْلي َم ِن ُ ُس ٱِلِ ْس ُم ْٱلف َ ْب ۖ بِئ ۟ َو ََل تَنَا َب ُز
ِ َوا بِ ْٱْل َ ْلق سكُ ْم َ ُأَن يَ ُك َّن َخي ًْرا ِم ْن ُه َّن ۖ َو ََل تَ ْل ِم ُز َٰٓو ۟ا أَنف
َّ َو َمن لَّ ْم يَتُبْ فَأ ُ ۟و َٰٓلَئِكَ هُ ُم
َٱلظ ِل ُمون
‘yā ayyuhallażīna āmanụ lā yaskhar qaumum ming qaumin ‘asā ay yakụnụ khairam min-hum wa
lā nisā`um min nisā`in ‘asā ay yakunna khairam min-hunn, wa lā talmizū anfusakum wa lā
tanābazụ bil-alqāb, bi`sa lismul-fusụqu ba’dal-īmān, wa mal lam yatub fa ulā`ika humuẓ-
ẓālimụn’
“ Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)….
(QS 49: 11).
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dengki dan prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…..” (QS 49: 12).
Lebih dari itu manusia juga didasarkan akan latar belakang historis kejadiannya. Didasarkan
akan posisi, fungsi, serta perannya sebagai makhluk sosial. Makhluk hidup bermasyarakat.
Bukan makhluk individu yang hanya menggambarkan egoismenya. Al-qur’an mengingatkan: “
‘Hai manusia, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal..”(QS
49:13).
Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spirituallitas tidak hanya
terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup kawasan yang lebih luas.
Meliputi hubungan antar makhluk.
Rasulullah saw. bersabda: “ Kasih-sayangilah segala (apa) yang ada di bumi, maka
yang di langit akan mengasih-sayangimu..”
Pemikiran filsafat mengacu kepada upaya untuk mengungkapkan nilai-nilai hakiki. Padahal
nilai-nilai hakiki yang mutlak itu termuat dalam ajaran agama. Spiritualitas itu sendiri berada
pada hati nurani agama. Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid: “ jika seorang memahami
hati nurani agama, dialog antar agama menjadi mudah,”. Dengan nilai-nilai spiritualitas sejatinya
kedamaian hidup bisa diwujudkan. Spiritualitas hakekatnya adalah kepedulian lintas agama,
lintas ras, lintas bangsa, maupun lintas geografis. Jelasnya, spiritualitas merupakan kepedulian
paripurna yakni kepedulian lintas makhluk.
B. Mengapa manusia memerlukan spiritual(tuhan)
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat
43 sebagai berikut :
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
Dan Fir’aun berkata:‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu
selain aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad:ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang
tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan
diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada
dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut
cinta kepadanya.
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan.
Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga.
Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari
segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama
Allah.
2 Akhlak Mulia
Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak memiliki arti dien,
tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya.
Bagi seorang hamba yang memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan tingkah
laku atau tabia’at yang baik pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang memberikan manfaat
bagi diri dan lingkungannya. akhlak mulia itu bisa lahir dalam bentuk, diantaranya :
a. Tawadhu’
Tawadhu’ memeliki pengertian sifat rendah hati. Yaitu sifat yang tidak mau
membanggakan diri atas kelebihan dan keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya. Seorang
yang tawadhu’ menyadari bahwa apapun yan ia miliki; ilmu, kekayaan, jabatan, pangkat dan
lain-lain, merupakan anugerah dan amanah dari Allah. Itu semua justru dijadikan sebagai media
dalam rangka menyadari betapa maha besarnya dan maha kuasanya Allah.
b. Wara’
Yaitu sikap yang selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat merendahkan martabat
sebagai hamba Allah. Seorang yang memiliki sifat wara’ selalu berusaha menghindarkan diri
dari hal yang bersifat subhat, sebab itu akan menjadikan hijab bagi dirinya terhadap kebesaran
Allah yang Maha Mulia.
c. Ikhlas
Ikhlas merupaka perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seorang hamba hanya
diperuntukkan bagai Allah semata.Apapun katifitas kehidupannya dalam rangka mengarungi
lautan kehidupan, dimaknai sebagai ibadah kepada Allah Swt.
d. Sabar
Merupakan sikap yang tangguh dalam menghadapi problematika kehidupan. Orang yang
sabar tidak mudah putus asa serta yakin akan rahmat Allah dalam setiap peritiwa kehidupan yang
dialami, apapun itu bentuknya Firman Allah QS 94 : 5-6
e. Syukur
Yaitu penggunaan seluruh nikmat Allah oleh seorang hamba –baik dalam bentuk
pendengaran, penglihatan, hati, maupun yang lainnya- sesuai dengan tujuan penciptaanya Semua
anugerah yang diberikan Allah kepada manusia, terutama nikmat panca indera diberikan oleh
Allah memiliki tujuan. Pendengaran Allah berikan bertuajuan agar manusia dapat mendengarkan
pengajaran, perkatan yang baik. Begitu juga dengan nuikmat yang lain.
3. Tawakkal.
Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal. Allahlah sebagai penyebab
segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai seoarang hamba menayadari betapa didalamnya dirinya
tidak ada kekuatan. Sungguh pemilik kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa merupakan sikap
hidup yang mampu menghantarkan seseorang kepada ketenangan hidup.
Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan penyerahan yang tidak menafikkan sunnatullah
yang telah menjadi ketetapan Allah. Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan
berikhtiar, karena segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab akibat, walaupun
hal itu semua tidak akan mutlak, jika Allah berkehendak.
2. Prespektip Sisiologis
Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu sosiologi
terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang di kenal
sebagai ilmu Sosiologi Agama.
Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki
kelompok-kelompok keagamaan. Seperti misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll.
Sosiologi agama memang tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-
agama itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang
beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang
sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut.
Atas dasar itu kita juga dapat berbicara tentang wahyu sebagai variabel dari masyarakat
yang beragama, meskipun bukan itu yang menjadi titik tolaknya. Lain halnya dengan perspektif
teologi, jika dipandang dari sosiologi, agama tidak dilihat berdasarkan wahyu yang datang dari
atas, tetapi dilihat atas dasar pengalaman konkrit pada masa kini maupun pada masa lampau. Jadi
apa itu agama didasarkan pada pengalaman manusia.
Manusia dalam hidupnya senantiasa bergumul dengan ketidakpastian akan hari esok,
keberuntungan, kesehatan dsb. Manusia juga bergumul dengan ketidakmampuannya yaitu untuk
mencapai apa yang diharapkan, baik yang bersifat sehari-hari maupun yang ideal.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan manusia. ketidakmampuan ini terus dialami baik
oleh manusia primitif maupun modern. Misalnya, mengapa manusia harus mati, bagaimana
menghindari kematian, bagaimana menghindari bencana alam dsb. Dalam ketidakmampuan ini
manusia mencari pertolongan, juga kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar dunia, yang tidak
kelihatan/supranatural.
Dalam pencarian tersebut manusia terus mengalami tahap perkembangan, yaitu mulai
dari tahap anismisme, politeisme dan kemudian monoteisme. Pada tahap animisme manusia
percaya bahwa semua benda memiliki jiwa atau roh yang dapat memberi pertolongan kepadanya.
Sedangkan pada tahap politeisme yang dikenal sebagai tahap yang lebih tinggi dari
tahap animisme, di mana manusia telah mengenal konsep-konsep tentang tuhan/dewa yang
berada di luar sana. Namun tuhan/dewa tersebut banyak jumlahnya. Dan mereka mulai
menyembah tuhan-tuhan mereka sesuai dengan apa yang mereka yakini mampu memberi
pertolongan kepada mereka.
Tahap terakhir adalah monoteisme sebagai tahap yang tertinggi. Pada tahap ini manusia
memiliki konsep tentang tuhan/dewa yang esa, yang tidak terbagi-bagi dan merupakan sumber
segala sesuatu yang mampu menolong dan menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam mencapai hal tersebut di atas (kebahagiaan) manusia melakukan usaha non-
religius selama manusia masih mampu meraih kebahagiaan.
Namun, jika usaha ini gagal, maka manusia melakukan metode lain (animisme-
politeisme-monoteisme), yaitu dengan kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra,
namun yang diyakini ada dan dapat membantunya.
Bahkan keyakinan itu diwujudkan bukan saja pada saat dia mengalami ketidakmampuan
tadi, tetapi juga terus berperan dalam seluruh hidupnya. Yaitu melalui tahap-tahap tadi. Dan
inilah yang disebut agama dalam arti luas.
Jadi dalam perspektif sosiologi, sebenarnya agama adalah ciptaan manusia. Lebih jauh
lagi sebetulnya manusia menciptakan Tuhan bagi kepentingannya sendiri, yaitu untuk mengatasi
ketidakpastiannya, ketidakmampuannya dan keterbatasannya
3. Prespektip Filosofis
Pemaparan pertama mengenai konsep Tuhan dari filsafat teisme disampaikan oleh
Samuel Vincenzo. Secara sederhana, maka yang disebut dengan teisme adalah kepercayaan
terhadap Tuhan.
Dalam filsafat, diskusi akan Tuhan pada dasarnya sudah berkembang sejak lama. Bahkan,
permasalahan ketuhanan secara filosofis sudah muncul sejak filsafat itu sendiri ada. Socrates pun
dalam pemikirannya sudah mulai mempertanyakan mengenai kesalehan. Sehingga, teisme
sendiri, bukanlah suatu hal yang aneh. Sedangkan ateisme diyakini muncul sebagai respons dari
gereja.Sehingga, teisme sendiri, bukanlah suatu hal yang aneh
Terkadang, apabila kita membicarakan tentang kesalehan, maka yang terpikir oleh kita adalah,
pergi ke gereja setiap minggu, ibadah setiap hari, dan lainnya. Akan tetapi, pada dasarnya, hal-
hal tersebut tidak dapat menjelaskan kesalehan itu sendiri. Pada akhirnya muncul pula
pertanyaan-pertanyaan mengenai what is good?
Dalam hal ini, teisme yang dibahas adalah teisme yang condong ke kepercayaan terhadap
Tuhan secara personal. Teisme memercayai bahwa Tuhan dapat diketahui. Mereka tidak melihat
Tuhan sebagai suatu hal yang diciptakan. Sehingga, Tuhan bukanlah suatu konsep yang dibuat-
buat. Hal yang cukup menarik diangkat oleh Samuel adalah, banyak cendekiawan yang memilih
untuk menjadi seorang athteis.
Pada akhirnya, Samuel menyatakan bahwa diskusi soal Tuhan itu masih perlu
karena mereka percaya bahwa diskusi tentang teisme membawa ontologi, identitas, makna hidup,
moralitas, dan juga takdir. Tentunya, kelima hal tersebut memengaruhi kehidupan kita.
Berbeda dari Samuel, Kala Sanggurdi mencoba untuk menjelaskan bagaimana konsep
Tuhan dari filsafat ateisme. Sebelumnya, Kala dalam perkenalannya, menyatakan bahwa ia
adalah seorang pasca-teisme. Menurut Kala, membicarakan Tuhan bukan sekadar tentang
percaya atau tidak. Dalam mengonsepkan sesuatu yang sebesar Tuhan, maka akan muncul
banyak perdebatan.
Pada dasarnya, dalam teis, ada bayak sekali tanggapan mengenai Tuhan. Bahkan, varian-
variannya pun beragam. Politeisme mempercayai bahwa Tuhan itu banyak. Lalu, ada
monoteisme yang percaya bahwa Tuhan hanya ada satu. Panteisme menganggap bahwa
semuanya adalah Tuhan, Tuhan adalah semua.
Panenteisme percaya bahwa semua yang ada di dunia ini adalah bagian dari Tuhan. Bisa
jadi kaki, badan, bahkan jari kita merupakan bagian neuron dari Tuhan. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa banyak sekali konsep Tuhan yang diterapkan.
4. Prespektif Teologis
Dalam perspektif teologi agama dipandang sebagai sesuatu yang dimulai dari atas (dari
Tuhan sendiri melalui wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang menanamkan
kesadaran ini.
Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai penyataan, baik yang
dikenal sebagai penyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam,
penciptaan semua makhluk dsb. maupun penyataan khusus, seperti yang kita kenal melalui
firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi, bahkan melalui inkarnasi
menjadi manusia dalam dogma Kristen.
Penyataan-penyataan Tuhan ini menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan beragama
umat manusia. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia
tahu cara beribadah; memuji dan mengagungkan Tuhan.
Misalnya, bangsa Israel sebagai bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan
(monoteisme) adalah suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu
dalam kehidupan mereka.
Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil nabi Nuh kemudian Abraham dan keturunan-
keturunannya. Sehingga mereka dapat membentuk suatu bangsa yang beriman dan beribadah
kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk mengenai bagaimana harus menyembah dan
beribadah kepada Tuhan. Kita dapat melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat
terjadi karena Tuhan yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan) manusia tidak
dapat beriman, beribadah dan beragama.
Contoh lain, terjadi juga dalam agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada nabi
Muhammad. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad mengajarkan dan
menekankan monoteisme di tengah politeisme yang terjadi di Arab.
Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Melalui
wahyu yang diterimanya, Muhammad memiliki keyakinan untuk menobatkan orang-orang Arab
yang menyembah banyak tuhan/dewa. Dan melalui wahyu yang diturunkan Tuhan juga,
Muhammad mampu membentuk suatu umat yang beragama, beribadah dan beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Dapat disimpulkan bahwa agama dalam perspektif teologi tidak terjadi atas prakarsa
manusia, tetapi atas dasar wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia
tidak mampu menjadi makhluk religius yang beriman dan beribadah kepada Tuhan. Jadi
berbicara soal agama dalam perspektif teologi harus dimulai dengan wahyu Allah atau penyataan
yang Allah berikan kepada manusia.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme).
Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka
cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah
nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia
mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah
(hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain,
telah mantap.
Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan
konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jikakonsep ketuhanan yang
dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian
kejadiannya.