Anda di halaman 1dari 49

Resume

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah:

Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Hertina, M.Ag

Oleh:

Muhammad Hasbiallah

PASCA SARJANA JURUSAN HUKUM KELUARGA KONSENTRASI


TAFSIR HADITS

UIN SUSKA RIAU 2019


FILOSOFI SUBSTANSI HUKUM

Manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk beribadah dan menghambakan diri
kepadaNya, sebagaimana yang termktub di dalam surat Adz Dzariat ayat 51. Pada
ayat tersebut terdapat kata ya’buduni, yang menurut Ibnu manzhur adalah bentuk kata
lain dari ibadah, dan maknanya penghambaan diri dengan kettundukan dan
kerendahan diri.

Sedangkan menurut Imam Ibnu Taimiyah, secara terminologi ibadah adalah


nama yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan diridhai Allah dalam bentuk
ucapan dan perbuatan lahir dan batin, seperti shalat puasa dan haji. Kebenaran dalam
pembicaraan, penunaian amanah, kebaktian kepada orang tua, hubungan kekeluargaan
dan sebagainya.

Adapun terwujudnya hakikat ibadah dapat terjadi dengan 3 hal:

a) Tidak menganggap apa yang berada di bawah kekuasaannya adalah miliknya


(surat ke 16 ayat 75)
b) Segala aktivitasnya berkisar tentang apapun yang di perintahkanNya dan
menjauhi apa yang di larangNya (surat ke 21 ayat 26-27)
c) Mengaitkan segala yang hendak dilakukannya dengan seizin tempat dia
mengabdi (surat ke 18 ayat 23-24)

Manusia adalah milik Allah, yang atas dasar tersebut, timbul kewajiban untuk
menerima segala ketetapannya, baik perintahNya, laranganNya, dan melakukan
segala aktivitas hanya demi ridha Allah, dan penghambaan diri kepadaNya adalah
suatu kebutuhan dharury.

Allah menciptakan manusia dengan membawa misi sebagai khalifah di bumi,


yang dimana diberikan kewenangan untuk memakmurkan bumi. Artinya, tujuan lain
dari penciptaan manusia adalah untuk mengemban amanah, dan beban ini hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan akal. Kemampuan akal digunakan untuk mengenal
Tuhan, yang prosesnya terjadi dengan diutusnya Rasul guna menyeru umatnya untuk
menghambakan diri kepadaNya. Akal berperan untuk memahami sesuatu dan
merasakan kehadiran Allah di dalam jiwa seseorang, dan disebut sebagai Qawwamah
Mutahayiah (potensi yang tersedia).
Akal berperan untuk mengontrol dua potensi lainnya, yaitu jasmaniyyah, yang
di dalamnya terdapat hawa nafsu dan ruhiyah.

A. FILOSOFI RUKUN ISLAM


Dalam ajaran islam ada lima tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang muslim

1. Persaksian dua kalimat syahadat

Syahadat diartikan ebagai persaksian, ikrar atau pengakuan secara sadar yang
diucapkan oleh seseorang yang akan masuk islam.

Seseorang yang akan bersaksi untuk masuk agama islam, seharusnya mengerti
terlebih dahulu tentang Allah sebelum dia mengucapkan syahadat, karna akan
mendorong untuk meyakini sepenuhnya sehingga dia berusaha belajar, memahami
islam dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari dengan keyakinan yang
mendalam.

Setelah syahadat Allah, seseoorang juga harus bersyahadat Rasul. Nabi ialah
manusia biasa yang mempunyai keistimewaan dan memperoleh akal tertinggi dari
Allah, yang disebut al-hadas (intuisi).

Secara naluriah, manusia dapat mengetahui perbuatan baik buruk dengan


akalnya. Tetapi akal manusia belum cukup mengetahui cara yang menunjukkan jalan
keselamatan dunia dan akhirat.maka dibutuhkan seorang manusia untuk
menyampaikan syari‟at Allah menuju jalan keselamatan. Dengan tugas utama:

a. Memberikan penjelasan kepada manusia untuk mengetahui Allah dan sifat-


sifat-Nya
b. Menyampaikan berita ancaman kepada yang tidak taat kepada Allah, dan
beriat gembira kepada yang taat pada Allah
c. Mengjarkan akhlak yang mulia yang berguna bagi manusia dan sesamanya
d. Mengajarkan tata cara mengagungkan Allah, menunaikan kewajiban dan
beribadah kepada-Nya
e. Menetapkan ketentuan-ketentuan pokokajaran islam, dan ketentuan-ketentuan
hukum yang mesti dipatuhi seseorang
f. Menjelaskan cara-cara menjalani kehidupan dunia.
2. Shalat

Shalat berarti meluruskan, meluruskan aktivitas manusia dari pelanggaran aturan


Allah. Shalat juga berarti hubungan, melakukan hubungan khusus dengan Allah.
Dengan shalat, hubungan manusia dengan Allah menjadi tersambung, sehingga
tersambung kesyurga, dan dengan meninggalkan shalat, hubungannya terputus
hingga tinggal di neraka. Ketika sholat , manusia harus melepaskan diri dari aktivitas
keduniaan dan konsentrasi bermunajat kepada Allah semata.

Disisi lain, shalat merupakan kebutuhan manusia itu sendiri karena memiliki
naluri cemas, berharap, sensitif dan lainnya sehingga butuh sandaran dan pegangan
hidup. Firman Allah surat ke 35 ayat 13-15 yang berbunyi :

۟ ۟ ِ ۟ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َّ
‫ٱستَ َجابُوا‬ ُ ُ‫ين تَ ْدعُو َن من ُدونهۦ َما َيَْل ُكو َن من قطْم ري إِن تَ ْدع‬
ْ ‫وه ْم ََل يَ ْس َمعُوا ُد َعآءَ ُك ْم َولَ ْو ََسعُوا َما‬ َ ‫َوٱلذ‬
َّ ‫ٱَّلِ ۖ َو‬
‫ٱَّلُ ُه َو‬ َّ ََ ِ‫َّاس أَنتُ ُم ٱلْ ُف َقَرآءُ إ‬ ٓ ‫ِر‬ ِ َ ‫لَ ُكم ۖ وي وم ٱلْ ِقيَٰم ِة ي ْك ُفرو َن بِ ِشركِ ُكم ۚ وََل ي نَ بِئ‬
ُ ‫ك مثْ ُل َخبي َََٰيَيُّ َها ٱلن‬ ُّ ُ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ َْ َ ْ

ُ ‫ٱْلَ ِم‬
. ‫يد‬ ْ ‫ِن‬ُّ َِ‫ٱلْغ‬

“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan
tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh
Yang Maha Mengetahui. Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah;
dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”.
(QS. Fatir 35:13-15)

Hikmah mendirikan shalat akan menumbuhkan kekuatan mental, menumbuhkan


daya tahan dan kepercayaan diri. Dampak positifnya, seseorang akan siap
menghadapi masalah apapun dan dapat mengatasinya dengan baik, sebagaimana
Rasul ketika ditimpa masalh langsung bergeas untuk shalat, dan setelah itu
membicarakannya denga istri dan para sahabat.

Shalat juga akan menumbuhkan kekuatan akhlak yang baik. Shalat akan menjadi
satu kekuatan yang mengembalikannya kearah yang benar.
Filsofi shalat juga menggambarkan pemahaman seseoorang tentang tata kerja
alam sebagai bukti kemajuan pemikiran manusia dalam memahami alam semesta dan
memahami sifat ketuhanan. Diantara hikmah shalat yang lain adalah :

a. Membina akhlak karimah sehingga manusia tidak lagi berkeluh kesah dan
kikir. Sebagaimana dalam surat ke 70 ayat 19-23 dan surat ke 29 ayat 45
berbunyi:

ِ َّ ِّ‫ إََِّل ٱلْمصل‬.‫ٱْلي ر منوعا‬ ِ َٰ ‫ٱْل‬


‫ين ُه ْم َعلَ َٰى‬
َ ‫ ٱلذ‬.‫ني‬
َ َ ُ ً ُ َ ُ َْْ ُ‫ َوإِ َذا َم َّسه‬.‫وعا‬
ً ‫ إِ َذا َم َّسهُ ٱلشَُّّر َج ُز‬.‫وعا‬
ً ُ‫نس َن ُخل َق َهل‬ ِ ِ
َ ْ ‫إ َّن‬
‫ص ََلِتِِ ْم َدآئِ ُمو َن‬
َ

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia


ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. yang mereka itu tetap
mengerjakan shalatnya. (Al-Ma‟arij 70:19-23)

َِّ ‫ٱلصلَ َٰوَة تَْن هى ع ِن ٱلْ َفحشآِء وٱلْمن َك ِر ۗ ولَ ِذ ْكر‬


ۗ ‫ٱَّل أَ ْكبَ ُر‬ َّ ‫ب َوأَقِ ِم‬
َّ ‫ٱلصلَ َٰوَة ۖ إِ َّن‬ ِ َ‫ك ِمن ٱلْ ِكَٰت‬ ِ ِ
ُ َ ُ َ َْ َ َٰ َ َ َ ‫ٱتْ ُل َمآ أُوح َى إلَْي‬
‫صنَ عُو َن‬
ْ َ‫ٱَّلُ يَ ْعلَ ُم َما ت‬
َّ ‫َو‬

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji
dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-'Ankabut 29:45)

b. Shalat bertujuan untuk mengingat Allah dan menentramkan hati.

3. Zakat

Zakat berarti tumbuh, kebaikan, sedekah, kesucian, bertambah, baik, dan


berkelebihan. Zakat adalah suatu pemberian yang wajib dikeluarkan menurut sifat-
sifat dan ukuran tertentu kepada mustahiq. Dengan berzakat menunjukkan
menisfetasi kecintaan dan ketakwaan kepada Allah serta penjelmaan dari akhlak
mulia kepada sesama.
Kewajiban berzakat adalah pokok ajaran islam dan selalu beriringan dengan
kewajiban mendirikan shalat. Sebagaimana Allah berfirman QS. Al-Baqarah : 110 :

ِ َ‫ٱللَ تِ ًَا ت َع ًَهٌَُٕ ت‬


ٔٔٓ ‫صٍز‬ ‫ٱنزك َٰٕج َ َٔ َيا تُقَ ِدّ ُيٕاْ ِِلََفُ ِس ُكى ِ ّيٍ خٍَز ت َِجدُُِٔ ِعُدَ َّ ه‬
َّ ٌَّ ِ‫ٱللِ إ‬ َّ ‫َٔأَقٍِ ًُٕاْ ٱن‬
َّ ْ‫صهَ ٰٕج َ َٔ َءاتُٕا‬

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.

Zakat adalah aktifitas manusia yang berhubungan dengan harta dan sebagai
lambing keharmonisan antara sesama manusia. Zakat memiliki nilai filosofis, yaitu :

a. .Penugasan manusia sebagai khalifah (istikhlaf)


b. Solidaritas sosial dan persaudaraan
c. Mengikis sifat kikir.

Memberikan ketenangan dan pengembangan harta kedengkian dan iri hati


dapat terjadi pada diri seseorang yang hidup dalam kemiskinan, dan dalam waktu
yang bersamaan terdapat orang kaya yang memberikan bantuan.

Selain itu, zakat juga sebagai usaha manusia untuk menggapai dua
kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Selain itu, hikmah
zakat adalah sebagai sumber keuangan bagi Negara dan masyarakat yang digunakan
untuk kepentingan umum.

4. Puasa

Puasa dalam bahasa arab disebut “shiyam atau shaum” yang berarti menahan
diri dari sesuatu, seperti makan, minum, berhubungan suami istri atau berbicara.
Secara terminologi, puasa adalah berniat menahan diri di siang hari dari segala hal
yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Sebagaimana Allah berfirman QS. Al-Baqarah : 183:

ٔ٨١ ٌَُٕ‫ة َعهَى ٱنَّذٌٍَِ ِيٍ قَث ِه ُكى نَ َعهَّ ُكى تَتَّق‬ َ ‫ٰ ٌََٰٓأ َ ٌُّ َٓا ٱنَّذٌٍَِ َءا َيُُٕاْ ُك ِت‬
ّ ِ ‫ة َعهٍَ ُك ُى ٱن‬
َ ‫ص ٍَا ُو َك ًَا ُك ِت‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Diantara hikmah puasa adalah :


a. Puasa dapat memberi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani,
antara kebutuhan dunia dan akhirat.
b. Puasa dapat membentuk kedisimplinan dalam semua aspek
c. Dengan berpuasa kekuatan fisik berkurang, dan diharapkan semakin tinggi
jiwa keikhlasan dan makin tinggi pula sifat keutamaan dan kesempurnaan.
d. Berpuasa dapat membiasakan diri untuk tetap bersabar dari semua persoalan
hidup yang dihadapi.
e. Puasa dapat menjaga diri dari perbuatan maksiat
f. Perintah puasa merupakan suatu amalan yang berat dan sukar
g. Puasa dapat menanamkan rasa kasih saying kepada fakir miskin, anak yatim
dan orang lain yang kekurangan

5. Haji

Secara etimologi haji berarti menyengaja, tujuan, kedatangan dan


pencegahan. Secara terminologi, haji berarti menyengaja datang ke tempat suci yang
sudah ditetapkan Allah pada waktu tertentu dengan mengerjakan aktivitas tertentu
dengan syarat yang sudah ditetapkan.

Allah berfirman QS. Ali Imran : 97

ٌَّ ِ ‫س ِث ٍٗل َٔ َيٍ َكفَ َز فَإ‬


َ ِّ ٍَ‫ع ِإن‬ َ َ‫ت َي ٍِ ٱست‬
َ ‫طا‬ ِ َُّ‫عهَى ٱن‬
ِ ٍ‫اس ِح ُّج ٱن َث‬ َ ْ‫ِفٍ ِّ َءا ٰ ٌَتُ َت ٍِّ َُٰت َّيقَا ُو ِإت ٰ َز‬
َ ِ‫ٍِى َٔ َيٍ دَ َخهَ ۥّ ُ َكاٌَ َء ِاي ُٗ ها َٔ ِ َّلل‬
٧٩ ًٍٍَِ َ‫ع ٍِ ٱن ٰعَه‬ َ ًُِ‫ٱللَ َغ‬ َّ

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;


barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam”.

Adapun hikmah haji adalah :

a. Perintah menunaikan haji merupakan menifestasi ketundukan manusia


kepada Allah semata, dengan meninggalkan segala kemewahan dan
keindahan kehidupan dunia.
b. Melaksanakan perintah haji merupakan bukti syukur seseorang atas harta
yang dititipkan Allah kepadanya.
c. Dengan menunaikan perintah haji, terwujud pertemuan dari berbagai bangsa,
suku, warna kulit, dan aneka perbedaan lainnya yang didasarkan kepada
kehendak Allah.

Kesungguhan Siti Hajar untuk mendapatkan air dengan bolak-balik tujuh kali
antara bukit Shafa dan Marwah, menunjukkan kesungguhan seorang ibu. Manusia
harus mengambil hikmah untuk selalu berjuang sungguh-sungguh untuk mencapai
keridhaan Allah. Tidak boleh putus asa dalam berusaha dan tidak boleh berhenti
sebelum mendapat ridha Allah.

Wukuf (berdiam/hadir) di Arafah adalah bukti nyata bahwa manusia hidup


secara berjama'ah. Momentum tersebut seharusnya jamaah mengejar arti penting dari
kehidupan dunia. Perjalanan hidup manusia di dunia berakhir pada kematian,
sehingga sisa hidup yang diberi- kan Allah agar senantiasa dimanfaatkan untuk
memchon ampun dan bertafakkur atas kebesaran dan kuasaan Allah.

Melempar Jumrah (batu kecil, kerikil, tugu) merupakan simbol untuk


memerangi setan sebagai musuh besar manusia sepanjang masa. Hikmahnya, agar
para jamaah yang berhaji tidak lagi akan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-
keinginan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Lemparan jumrah adalah simbol
bahwa manusia harus memusuhi setan, karena tidak ada yang akan dilakukan oleh
setan kecuali menjerumuskan manusia ke neraka jahannam.

B. Filosofi Hukum Tata Negara

Islam sebagai agama yang benar (Dienul Haq) sudah ada sejak manusia
pertama, yaitu Nabi Adam. Kebenaran agama Islam adalah untuk membangun suatu
umat yang dapat mengemban amanah agamanya. Setiap manusia harus membangun
jiwa-jiwa umat sebagai individu dan sekaligus sebagai jamaah untuk beramal secara
nyata.

Seorang muslim tidak mungkin membangun individu melainkan dia harus


berada dalam koridor jamaah (persatuan). Islam tidak mungkin berdiri melainkan
dalam jaringan jamaah yang terorganisasi rapi den terikat dengan kokoh, memiliki
sistem dar sasaran jamaah yang bergantung dalam waktu yang bersamaan kepada
setiap individu di dalamnya. Suatu persatuan memiliki struktur kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam Islam mutlak diperlukan. Pada masa kenabian, pemimpin
langsung ditunjuk oleh Allah melalui wahyu, yaitu para Nalbi dan Rasul. Dengan
berakhirnya periode kenabian, pemimpin ditunjuk melalui musyawarah atas dasar
kesepakatan, misalnya pengangkatan Khulafaurrasyidin

Al-Qurthubi dan fuqaha' lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil keharusan
mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara bagi manusia, mengakhiri
pertikaian, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum, mencegah
perbuatan keji dan lainnya yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan adanya
pemimpin. Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali
dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal yang wajib." Sebagaimana telah
dkemukakan, Rasul sebagai pemimpin ditunjuk langsung oleh Allah melalui wahyu.
Apabila dikaitkan dengan pengertian negara, maka kepemimpinan Rasul sudah
memenuhi unsur-unsur dalam suatu negara. Hal ini berarti bahwa di masa rasul
sudah ada negara yang kepala negaranya Rasul sendiri, rakyatnya bangsa Arab (yang
pada mulanya terdiri dari Muslim dan Yahudí), ada peraturan yang dipatuhi dan ada
pula kekuasaan Rasul yang dipatuhi oleh rakyatnya." Suatu negara memiliki tujuan
yang tertinggi yang pada umumnya dirumuskan dalam konstitusi.

Konstitusi dirumuskan untuk menjadi pedoman bersama dalam praktek


penyelenggaraan negara. Konstitusi memuat cita cita tertinggi, seperti kebebasan
(liberty), keadilan (equality), solidaritas kebangsaan (fraternity), dan kesejahteraan
hidup (prosperity) yang dirumuskan sebagni prinsip dasar atau tujuan bernegara."
Pada masa Rasul, konstitusi sebagai prinsip dasar negara, telah dirumuskan atas
persetujuan bersama antara Nabi Muhammad dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tidak lama sebelum beljau hijrah dari Mekah ke Yatsrib (nama kota
Madnah sebelumnya) pada tahun 622. Konstitusi tersebut dikenal dengan Piagam
Madinah, yang merupakan piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang
dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern.

Lahirnya Piagam Madinah merupakan inovasi penting selama abad-abad


pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama di antara
kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang
dituangkan dalam bentuk tertulis. Tradisi konstitusionalisme ini dilarjutkan oleh
khulafa' al-Rasyidin dimana sistem sirkulasi kekuasaan tidak dilakukan secara turun-
menurun, melainkan dilakukan melalui mekanisme demokratis dalam bentuk
pemilihan.

Piagam Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama dalam pengertian


modern, diakui oleh para imuwan. Hikmah adanya konstitusi yang dikenal dengan
Piagam Madinah pada masa Rasul adalah untuk suatu kesepakatan di antara warga
Negara dari hasil musyawarah. Kesepakatan yang dituangkan di dalam konstitusi
dibuat untuk menampung dan mengatasi kepentingan seluruh masyarakat dalam
negara.

Di Negara Madinah, nuansa negara pluralistiknya sangat kentara. Nabi


Muhammad menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama,
kelompok kaum mukminin yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin. Kedua,
kelompok munafiqin yaitu mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang
cenderung untuk memusuhi Islam. Ketiga, kelompok Yahudi. Untuk memperkokoh
persatuan dan kesatuan negara,

Nabi Muhammad memberlakukan Piagam Madinah untuk mengatur


kehidupan sosial penduduk Madinah. Piagam Madinah bukan ham konstitusi dalam
arti sekarang, tetapi ia bisa disebut sebagai konstitusi dalam perlindungan HAM yang
ber basis pluralitas. la mengatur hubungan antara Muhajirin- Anshar, hubungan dan
perjanjian antara kaum Mukminin dengan kaum Yahudi. Dalam piagam itu, Nabi
mengakui eksistensi agama Yahudi dan kepemilikan harta mereka. Dimuat pula
didalamnya hak dan kewajiban Nilai filosofi lainnya dari Piagam Madinah bahwa
sesama mukmin adalah bersaudara meskipun berbeda suku dan kaum. Hubungan
antar komunitas mukmin dengan non mukmin didasarkan pada prinsip bertetangga
secara baik dan saling membantu.

Demikian pula nilai filcsofi yang tertuang dalam Piagam Madinah, khususnya
prinsip kesederajatan, keadilan dan keterbukaan. Meskipun warga negara Madinah
heterogen (baik dalam agama, suku, ras dan golongan) kedudukan mereka adalah
sama. Mereka memiliki Negara Madinah menjadi tolak ukur dan rujukan sebagai
negara yang mampu menghadirkan keadilan.

Selain menetapkan konstitusi, terdapat pula lembaga musyawarah yang


bersifat internal umat Islam, yang antara lain memiliki hikmah untuk merealisasikan
tujuan-tujuan syariat terhadap berbagai kepentingan umat Islam. Di dalam literatur
fiqh lazim disebut dengan "Ahlu al-Halli wa al-'Aqdi". Ahlu al-Halli wa al-'Aqdi
diartikan "orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat". Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang
yang bertindak sebagai wakil ayat tersebut adalah Ahlu al-Halli wa al-'Aqdi sebagai
kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam masyarakat.
Abduh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah golongan Ahlu
al-Halli wa al-'Aqdi dari kalangan orang-orang muslim. Mereka itu adalah para amir,
para hakim, para ulama, para pemimpin militer, semua penguasa dan pemimpin.

Adapun pendapat para ahli takwil dan tafsir tentang Ulil Amri tidak
mengaitkarnya dengan Ahlu al Halli wa al-'Aqdi. At-Thabari dan Al-Razi
menafsirkannya, yaitu para pemimpin, para pemuka sahabat di masa Nabi, orang
yang ahli dalam ilmu dan fiqh, fukalha' dan ulama, para sahabat Rasul, para
pemimpin dan penguasa yang taat kepada Ailah dan Rasul serta memperhatikan
kemaslahatan umat Islam,khalifah yang empat, para ulama yang membuat fatwa
dalam hukum syaraiat dan mengajarkan agama kepada manusia, dan para imam yang
ma'shum. Sedangkan Ibnu Taimiyah menafsirkannya dengan para pembesar dan para
ulama yang menjadi panutan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kelompok Ahlu al-Halii wa al-
'Aqdi terdiri dari semua unsur masyarakat, para tckoh, para ahli dalam setiap bidang
ilmu, cendikiawan, yang tidak dibatasi profesi dan jumlah orangnya. Namun
demikian mereka harus memenuhi kriteria, yaitu berlaku adil dalam segala sikap dan
tindakan, berilmu pengetahuarn, memiliki wawasan dan kearifan (kebijakan).
Dengan kualifikasi ini diharapkan golongan Aitlu al-Halli wa al-'Aqdi dapat
menentukan siapa yang paling pantas menjadi pemimpin (kepala negara) menurut
syarat-syarat yang ditentukan dan mampu memegang jabatan itu untuk mengelola
semua urusan negara dan rakyat.

Kelompok Ahlu al-Halli wa al- 'Aqdi adalah mewakili rakyat dalam


melaksanakan hak pilih, yang berarti pula bahwa pilihan mereka adalah sama dengan
pllihan rakyat itu sendiri. Kesepakatan dari lembaga Ahlu al-Halli wa al-'Aqdi
dijalankan oleh umat dalam lingkup legislasi melalui ijmak. Hal ini karena para
tokoh yang duduk di lembaga Ahlu al-Halli wa al-'Aqdi itu dipilih umat untuk
mewakilinya dalam majelis perwakilan yang mewakil warga dalam urusan
sosial,ekonomi maupun politik.

C. Filosofi Hukum Waris

Hukum kewarisan ialah aturan-aturan tentang aturan orang-orang yang


dikategorikan ahli waris dengan meninggalnya seseorang, ahli waris yang berhak
menerima dalam setiap kasus, hak setiap ahli waris, teknik pembagian dan komposisi
harta warisan.

Aspek kajian dalam hukum kewarisan memiliki banyak dimensi, seperti


pewaris, ahli waris, jumlah yang diterima oleh ahli waris, harta warisan dan teknik
pembagian warisan. Secara filosofis, asal usul penetapan adanya ahli waris
mengandung dimensi keadilan yang hakiki. Dalam pandangan umum, orang yang
tidak adil adalah orang yang mengambil melebihi dari haknya dan orang yang
melanggar aturan hukum. Jadi adil itu dapat diartikan menurut hukum dan menurut
semestinya.

Keadilan dalam Islam merupakan perpaduan harmonis antara hukum dan


moralitas. Islam bertujuan untuk mengontrol kebebasan individu demi keselarasan
dan harmonisasi masyarakat yang terdiri dar individu itu sendiri. Hukum Islam
berperan mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif. Dalam hukum
kewarisan, filosofi (aksiologis) nilai keadilan tersebut, antara lain terlihat dari:

a. Dimensi keadilan terhadap asal usul adanya ahli waris

Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain disebabkan oleh dua
faktor, yaitu adanya hubungan darah dan hubungan perkawinan. Hubungan darah
ditentukan pada saat terjadinya peristiwa kelahiran. Hubungan darah ini bersifat
alamiah. Dengan berlakunya hubungan darah seorang anak dengan ibunya, berlaku
pula hubungan darah dengan orang-orang yang lahir dari ibu yang sama.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa hubungan kewarisan yang


bersifat alamiah ini terjadi antara anak dan ibu. Jika ibu meninggal lebih dahulu
maka anak adalah ahli warisnya, begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, nilai dan
dimensi keadilan yang terdapat diantara sesama ahli waris tersebut bersifat abadi dan
alamiah karena langsung dari keadilan Allah SWT.

Selanjutnya seseorang yang lahir mencari hubungan pula dengan laki-laki


yang telah menghamili ibunya sehingga dia lahir, atau disebut ayah. Seorang laki-
laki baru dapat dikatakan sebagai penyebab kehamilan seorang perempuan, bila
sperma laki-laki itu bertemu dengan ovum perempuan. Dengan adanya pertemuan
itu, menyebabkan terjadinya pembuahan yang menghasilkan janin di perut ibu. Inilah
sebab hakiki adanya hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan seorang
ayah.

Penyebab hakiki di atas tidak dapat diketahui, sementara hukum harus


didasarkan kepada sesuatu yang nyata. Sesuatu yang nyata yang dijadikan sebagai
pengganti sebab hakiki itu disebut mazinnah. Terhadap hubungan kekerabatan,
mazinnahnya adalah akad nikah antara sang ayah dan ibu. Ulama berbeda pendapat,
semata-mata akad nikah apakah sudah cukup untuk menentukan hubungan darah.
Dan mayoritas fukaha berpendapat bahwa semata-mata akad nikah belum menjamin
terjalinnya hubungan darah. Sahnya hubungan darah, selain didahului oleh akad
nikah yang sah, disyaratkan pula bahwa diantara keduanya sudah berhubungan
kelamin. Ulama Hanafi mengatakan bahwa semata-mata akad nikah yang sah, sudah
cukup untuk menetapkan hubungan kekerabatan.

Dimensi keadilan juga terdapat dalam menghitung jarak waktu antara


terjadinya perceraian dengan kelahiran sebagai batas akhir (maksimal) penentuan
hubungan darah. Abu Hanifah menetapkan bahwa maksimal masa hamil adalah dua
tahun. Syafi‟i berdasarkan hasil penelitiannya menetapkan maksimal masa hamil
adalah empat tahun. Pendapat kuat di kalangan ulama Maliki juga menetapkan empat
tahun. Ketentuan ini berlaku selama janda yang telah bercerai itu belum lagi dinikahi
oleh laki-laki lain.

Keadilan yang terkandung dengan adanya hubungan darah sebagai kunci


penetapan hubungan kewarisan, masih dapat dikaji secara mendalam melalui
legitimasi kesaksian atau pengakuan, namun intinya tetap tidak keluar dari adanya
hubungan darah. Bila dihubungkan dengan keadaan dewasa ini, alat bantu untuk
mencapai keadilan yang hakiki dapat dilakukan melalui peneriksaan di laboratorium.
Namun cara ini tentu memerlukan pemikiran lebih lanjut, karena tidak seorang pun
yang dapat memastikan apa yang ada dalam rahim.

Hubungan kewarisan juga dapat terwujud disebabkan adanya kelahiran yang


pernikahannya terjadi secara syubhat. Syubhat itu ada dua macam, yaitu syubhat
perbuatan dan syubhat akad. Syubhat perbuatan adalah hubungan kelamin yang
terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam keadaan tertentu yang masing-masing
mengira bahwa yang digaulinya adalah pasangannya yang sah. Sedangkan syubhat
akad adalah hubungan kelamin yang terjadi karena akad yang semula sah, tetapi
kemudian ternyata pasangan itu tidak sah dinikahinya. Kelahiran yang disebabkan
oleh hubungan kelamin secara syubhat, baik syubhat perbuatan maupun akad,
menyebabkan terjalinya hubungan kewarisan antara anak yang lahir dengan yang
membuahinya secara syubhat itu.

Hukum Islam juga membenarkan adanya hubungan darah atas dasar


pengakuan. Untuk sahnya pengakuan ini diperlukan beberapa persyaratan. Pertama,
ada orang yang hilang, dan ada pula pihak keluarga yang hilang. Kedua, dari segi
usia antara orang yang hilang dengan pihak keluarga yang kehilangan adalah pantas
berhubungan kerabat. Terakhir, kedua pihak sama-sama mengakui bahwa mereka
memang berhubungan kerabat. Hubungan darah (nasab) yang dijadikan dasar untuk
saling mewarisi sebenarnya termasuk di antara tujuan disyariatkannya hukum Islam.
Nasab merupakan satu di antara fondasi dasar yang kokoh dalam membina suatu
kehidupan keluarga yang bersifat mengikat antara mereka yang berhubungan darah.

Adapun tujuan mendasar dari sebuah pernikahan adalah untuk


melangsungkan hidup dan keturunan umat sebagai khalifah di bumi. Tujuan ini harus
didasari dengan pembinaan keluarga yang baik, yang dibentuk melalui ikatan yang
kuat dan menjamin kasih saying antara keluarga, dan Allah menjadikan hubungan
darah sebagai sarana utamanya.

Selain hubungan nasab, adanya hubungan kewarisan juga disebabkan


terjalinnya hubungan perkawinan. Ayat 12 surat ke-4 menyatakan adanya hak
kewarisan suami dan istri. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dan istri
didasarkan kepada dua ketentuan. Pertama. Bahwa antara keduanya telah
berlangsung akad nikah yang sah. Ketentuan kedua, bahwa di antara suami dan istri
masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat meninggalnya salah satu pihak.
b. Dimensi keadilan terhadap tingkat keutamaan di antara ahli waris

Hukum kewarisan islam mengakui adanya prinsip keutamaan dalam


kekerabatan. Adanya perbedaan tingkat keutamaan dalam kekerabatan ditegaskan
oleh Allah pada ayat 75 surat Al-Anfal. Hal ini menunjukkan bahwa hokum tersebut
tidak sewenang-wenang dan semata-mata berdasarkan pada kesenangan pribadi,
karena nilai keadilan yang melandasinya tidak ditentukan oleh pemikiran manusia,
dan itu pula yang menyebabkan dapat diberlakukan secara universal.

Adanya tingkat keutamaan dapat disebabkan oleh jarak yang lebih dekat
kepada pewaris antara seseorang dibandingkan dengan ahli waris lain. Keutamaan
juga dapat disebabkan oleh kuatnya hubungan darah. Keutamaan dalam hokum
kewarisan Islam lebih banyak ditentukan oleh jarak hubungan bila dibandingkan
dengan garis hubungan.

Adanya prinsip keutamaan terhadap hak kewarisan menyebabkan pihak


kerabat tertentu tertutup. Hal ini berarti bahwa hokum Islam menegnal adanya
lembaga hijab. Hijab berarti tertutupnya seseorang yang berhak menjadi ahli warus
disebabkan oleh ahli waris lain yang lebih utama darinya.

Hijab terduri dari 2 macam, yaitu hijab hirman dan hijab nuqshan. Hijab
hirman adalah tertututpnya seseorang ahli waris untuk menerima hak kewarisan
secara penih, dalam arti tidak memperoleh sesuatupun.

Rincian hijab menurut ahlu sunnah:

 cucu baik laki-laki atau perempuan ditutup oleh anak laki-laki-


 Kakek ditutupi oleh ayah
 Nenek ditutupi oleh ibu dan ayah
 Saudara kandung dititip oleh anak atau ccucu laku-laki
 Saudara seayah ditutup oleh saudara kandung laki-laki dan oleh ahli waris
yang menutup saudara kandung
 Saudara seibu ditutup oleh anak, cucu, ayah, dan kakek
 Anak saudara kandung ditutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh ahli
waris yang menutup saudara laki-laki seayah
 Anak saudara seayah ditutup oleh anak laki-laki saudara kandung dan oleh
ahli waris yang menutup anak saudara kandung
 Paman kandung ditutup oleh anak laki-laki saudara seayah dan oleh ahli
waris yang menutup anak laki-laki saudara seayah.
 Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh ahli waris yang menutup
paman kandung.
 Anak laki-laki paman kandung ditutup oleh paman seyah dan oleh ahli warisb
yang menutup paman seayah.
 Anak laki-laki paman seayah ditutup oleh anak laki-laki paman kandung dan
oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki paman kandung.

Hijab nuqshan adalah berkurangnya harta yang seharusnya diperoleh ahli


waris disebabkan adanya ahli waris lain. Prinsip keutamaan di antara sesama ahli
waris sebagaimana dikemukakan, memunculkan keadilan yang berimbang diantara
sesamanya, dan itu pula yang menyebabkan adanya aturan hijab dalam hokum
kewarisan Islam.

c. Dimensi keadilan terhadap halangan sebagai ahli waris.

Dua istilah yang perlu dibedakan adalah tertutup (hijab) dan halangan
(mamnu‟). Sebagaimana yang diketahui bahwa faktor penghalang kewarisan adalah
pembunuhan dan beda agama. Orang yang tertutup tetap berstatus sebagai ahli waris
karena hubungannya kepada pewaris tidak putus, meskipun tidak mendapat hak
kewarisan. Sedangkan orang yang terhalang tidak berstatus sebagai ahli waris karena
hubungannya kepada pewaris telah putus, baik disebabkan berbeda agama maupun
pembunuhan yang dilakukannya.Ahli waris yang terhijab tetap dipandang ada dan
dapat mempengaruhi ahli waris lain.

Nilai filosofis atau keadilan dari halangan sebagai ahli waris disebabkan
pembunuhan, adalah bahwa menerima hak kewarisan itu merupakan suatu
kenikmatan. Bila seseorang telah berbuat yang berakibat terbunuhnya orang lain
yang mempunyai hubungan kewarisan, kenikmatan dalam menerima kewarisan itu
dicabut dan pembunuh mendapat hukuman. Nilai keadilan yang terdapat dengan
terhalangnya pembunuh menerima hak kewarisan, karena pembunuhan itu sendiri
memutuskan hubungan darah/perkawinan.

Filosofi lain adalah untuk mencegah seseorang yang sudah ditentukan akan
berstatus sebagai ahli waris dan mendapat hak kewarisan agar tidak mempercepat
proses berlakunya hak kewarisan itu. Selain itu, pembunuhan adalah suatu kejahatan
dan kewarisan adalah suatu nikmat yang akan diperoleh sehingga terkesan saling
bertentangan.

Selain pembunuhan, beda agama juga termasuk sebagai penghalang


kewarisan. Dasarnya adalah hadits riwayat bukhari:

“Dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya Nabi SAW bersabda: seseorang muslim
tidak menjadi ahli waris dari orang yang bukan muslim, dan orang yang bukan
muslim tidak pula menjadi ahli waris dari orang muslim.”

Berbeda agama mengakibatkan tidak adanya wilayah di antara sesama


mereka. Seperti yang diterdapat dalam ayat 141 surat An-Nisa‟:

“.. dan Allah sekali-kali tidak akan membenci jalan kepada orang yang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.”

Maksudnya bahwa Allah tidak akan menjadikan bagi orang kafir jalan
terhadap orang-orang beriman. Hubungan antara kerabat yang berbeda agama
terbatas pada pergaulan dan hubungan baik saja, dan tidak menyangkut dengan
pelaksanaan agama.

Dalam hal orang muslim mewarisi dari yang bukan muslim terdapat
perbedaan pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang Islam juga tidak
mewarisi bagi pewaris bukan muslim atau murtad. Mengenai orang yang murtad,
ulama sepakat bahwa semua harta yang diperoleh selama murtad tersebut diserahkan
kepada Negara (baitul mal).

Dari beberapa konsep di atas terlihat bahwa dimensi keadilan dan


kemashlahatan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam halangan
sebagai ahli waris.

D. Filosofi Kepemilikan Harta, Wasiat dan Hibah

Kepemilkan adalah penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya dapat


melakukan sendiri tindakan bagi sesuatu yang dikuasainya, dan dapat menikmati
manfaatnya. Milik ini dibedakan menjadi dua, yaitu milik sempurna, yaitu
kepemilikan terhadap benda sekaligus manfaatnya, dan milik tidak sempurna, yaitu
kepemilikan terhadap bendanya saja atau manfaatnya saja.

Hak milik haklikatnya adalah pada Allah. Kepemilikan terhadap harta dalam
islam diatur dan diarahkan untuk kemaslahatan. Dalam fiqh muamalah, dikenal
beberapa cara untuk memperoleh hak milik atau cara berpindahnya hak milik. Cara
itu meliputi menguasai benda mubah yaitu harta yang buklan milik siapapun, aqad
(perikatan), penggantian milik dari orang yang telah meninggal dunia (kewarisan),
dan hak syuf‟ah (hak previlege dalam persekutuan). Aqad adalah perjanjian atau
perikatan yang menimbulkan kewajiban berprestasi pada suatu pihak dan bagi pihak
lainnya atas prestasi tersebut. Dari pengertian aqad ini, ada aqad yang tidak diberikan
tidak mewajibkan pihaknya untuk melakukan klontraperstasi, aqad yang demilkian
merupakan perbuatan hukum sepihak. Keinginan sepihak ini apabila menyangkut
pihak lainnya maka harus dipenuhi.

Hukum allah yang berhubungan dengan kepemilikan terhadap harta bertujuan


untuk kepentingan kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Kekayaan yang
diberikan allah kepada manusia tidak dapat dipandang secara otomastis sebagai
wujud ridho dan kecintaan allah.oleh sebab itu secara filosofis hakikat harta ialah;

1. Bahwa segala yang ada didalam alam iini adalah milik allah, harta benda baik
yang diciptakan allah secara langsung maupun tidak langsung hakikatnya
juga milik allah, maksud penciptaan harta yang bersumber dari alam itu
masih tetap seperti adanya dan berproses yang secara alami tanpa bercampur
tangan manusia. Oleh karena itu hakikat harta itu kepemilikan atau
kekusaannya hanya ditangan allah.
2. Sebagai konsekuensi bawha kepemilikan mutlak harta berada dalam
kekuasan allah maka posisi harta yang diperoleh manusia merupakan amanah
dan titipan allah. oleh sebab itu amanah yang dititipkan oleh allah hendaknya
dipergunakan dan di manfaatkan sesuai dengan yang di ridhainya. Akhirnya
harta yang dititipkan kepada manusia itu akan di pertanggung jawabkan
kelak di akhirat.
3. Islam menjadikan harta bagi manusia sebagai fitnah, sebagaimana firman
allah dalam surat ke-64 ayat 15 dan 16. Harta sebagai fitnah dan cobaan
maksudnya bahann ujiann dan cobaan dari allah untuk manusia dengan ujian
itu allah mengetahui dianatara hambanya yang taat dan yang durhaka
kepadanya. Menurut al-maraghi harta merupakan cobaan fitnah karena
kecintaan terhadap harta sering kali mengakibatkan perbuatan dosa dan
pelanggaran terhadap larangan allah, di dahulukan harta daripada anak
menurut ayat diatas karena harta merupakkan fitnah yang terbesar.
4. Harta adalah sebagai sarana untuk memperlancar dan mewujudkan
penghambaan diri kepada allah bukan untuk dicintai dengan melebihi
cintanya kepada allah. Dengan Harta kekayaan yang dianugrahkan allah
dimaksudkan untuk mengabdikan diri kepadanya.
5. Sebagai ajaran yang berdimensi sosial islam mendorong umatnya untuk
mencari rezeki yang halal dengan memperhatikan hak-hak sosial.artinya
secara teologis setiap orang dibenarkan memiliki harta tetapi juga memiliki
kewajiban terhadap orang lain.

Selain filosofi kepemilikan harta, wasiat dan hibah meupakan hal penting
yang terkait dengan harta kekayaan. Wasiat berasal dari bahasa arab yaitu isha‟ yang
berarti meberikan pesan; perintah pengampuan dan perwalian. Secara etimologi
wasiat juga berarti mejadikan menaruh kasih sayang menyuruh dan menghubungkan
sesuatu dengan yang lain.

Secara metodologis ijtihad adanya wasiat wajibah sudah valid. Berwasiat


kepada ahli waris yang tidak berhak mewarisi adalah wajib karena surat kedua al-
baqarah ayat 180 secara tegas menyatakan hal itu. Para mufassir tidak ada yang
mempersoalkan hal tersebut karena ayat kewajiban berwasiat itu sangat jelas dan
tegas qath‟i dilalah ditujukan pada pemilik harta.

Adapun hibah secara bahasa adalah bangun atau bangkit, karena pelaku
bangkit untuk melakukan kebaikan . hibah berati pemberian membebaskan dari
hutang, shadaqah athiyah dan imbalan. Pemberian dimaksudkan sebagai perwujudan
kasih sayang terhadap orang yang diberi hibah. Secara terminologis hibah, adalah
suatu pemberian sesuatu utnuk dimiliki tanpa ganti tertentu pada masa hidup tanpa
alasan tertentu. Hibah memiliki manfaat yang banyak diantaranya untuk kebaikan
saling tolong menolong dan berkasih sayang.

Pelaksanaan wasiat dan hibah terdapat batasan, yaitu tidak boleh melebihi
dari sepertiga harta nilai filosofinya agar harta yang ada pada seseorang dapat
distribusikan secara adil kepada ahli waris yangf dekat hubungan nasabnya atau
hubungan perkawinan dengan pewaris.

Wasiat wajibah adalah wasiat yang wajib dilaksanakan meskipun pewasiat


atau perwaris tdiak mengucapkannya. didunia islam wasiat wajibah diberlakukan
melalui peraturan perundang-undangan. Pada umumnya wasiat wajibbah
diperuntukan kepada cucu yang kematian orang tuanya lebih dahulu dari pewasiat
atau pewaris. Di indonesia wasiat wajibah di berikan kepada orang tua angkat dan
anak angkat. Undang-undang diberikan kewenangan untuk melaksanakannya melalui
infak wajib dan sedekah wajib.

Aspek ontologis wasiat dan hibah diawali dari tujuan penciptaan manusia,
yaitu untuk menghambakan diri kepada Allah semata. Al Qur‟an memberikan
penjelasan tentang misi manusia sebagai khalifah di bumi. Manusia pada dasarnya
memiliki fitrah tauhid, meskipun juga dijelaskan di ayat yang lain bahwamanusia
memiliki sifat negatif. Ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan manusia yang bias
menjadi sebaik-baiknya makhluk atau seburuk-buruknya. Sifat negatif di dalam Al
Qur‟an ditujukan sebagai bentuk sindiran dan peringatan agar manusia selalu berhati-
hati sehingga mendapatkan predikat takwa.

Kaitannya dengan wasiat dan hibah adalah di dalam memandang aturannya,


sepatutnya harus berlandaskan dengan tabiat dan karakter mulia manusia, karena
wasiat dan hibah tidak selamanya logis, tetapi juga dengan hati nurani, dan harus
dipandang berdasarkan status manusia yang sebagai khalifah dan pengelola di muka
bumi.

Mengenai epistimologi wasiat dan hibah, keduanya diambil dari Al Qur‟an


dan Sunnah yang dimana dua sumber tersebut merupakan syariat dan sebagai pokok
panduan yang tetap.

Adapun aksiologinya, terdapat prinsip yang menyatakan bahwa setiap


perbuatan tergantung pada niatnya (Al Umuuru bi Maqashidihaa) sebaigamana yang
disabdakan Nabi saw : “ semua amal-amal perbuatan disertai dengan niatnya”, dan
hadist ini menunjukkan bahwa niat merupakan barometer untuk meluruskan segala
aktivitas. Dari hal tersebut seyogyanya wasiat dan hibah tidak hanya dipandang dari
sisi materi namun juga holistic agar tercapainya hikmah.
EPISTIMOLOGI HUKUM ISLAM

Epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti


pengetahuan. Dan secara terminologinya adalah cabang filsafat yang secara khusus
membahas teori ilmu pengetahuan. Terdapat 3 pokok dalam kajian ini :

1. Sumber-sumber pengetahuan
2. Karakter ilmu pengetahuan
3. Validitas ilmu pengetahuan

Terdapat dua aliran epistimologi, yaitu idealisme ( suatu pemikiran yang


menekankan pentingnya peran akal) dan realism (menekankan kepada peran ilmu
pengetahuan itu sendiri).

A. Epistimologi Ilmu dalam Al Qur‟an

Berdasarkan aliran diatas, maka ditemukanlah metode ilmu pengetahuan, dan


tahapannya adalah penekanan hafalan, pengamatan langsung, dan hipotesis yang
mengarah kepada kebenaran.

Metode ilmiah merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan pengetahuan


yang disebut dengan ilmu, dan kata ilmu di dalam Al Qur‟an ditemukan sebanyak 854
kali. Ilmu dari sisi etimologi berarti kejelasan, dan menurut Al Qur‟an, ilmu
mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia.

Adapun metode ilmu pengetahuan di dalam Al Qur‟an secara khusus adalah:

 Observasi (pengamatan)
 Eksplorasi (pemaparan)
 Eksperimen (percobaan)
 Penalaran dan intuisi

Menurut Mudzakkir, cara menemukan kebenaran adalah melalui wahyu,


intuisi dan melalui proses penalaran. Dalam penalaran harus ada usaha aktif manusia
untuk memperoleh kebenaran dengan cara logik dan analitik. Logik berarti mengikuti
pola tertentu secara konsisten. Sedangkan analitik berarti suatu kegiatan berpikir
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu dengan menggunakan logika ilmiah. Kebenaran
yang diperoleh dari berpikir logika ialah:

a. Berdasarkan pada runtut logika (order of logic)


b. Kebenaran bersifat internal atau antar subyektif
c. Benar dalam arti right, tidak benar dalam arti wrong
Adapun kebenaran hasil dari penarikan kesimpulan secara analitik ialah:

a. Berdasarkan pada fakta atau sesuai dengan fakta (order of fact)


b. Kebenaran bersifat eksternal atau korespondensi
c. Benar dalam arti true, dan tidak benar dalam arti alse.
Dalam Islam, kebenaran yang dicapai manusia memiliki bobot nisbi atau
bersifat relatif. Sebaliknya, kebenaran hakiki dan absolut adalah milik Allah SWT
sebagai pencipta dan penguasa alam. Namun demikian, Allah telah memberikan ruang
ekspresi kepada para ahli hukum untuk meneliti dan menggapai kebenaran akademik
yang dapat dipertanggungjawabkar secara ilmiah.

Banyak teori tentang kebenaran. Ada yang menyebutkan bahwa kebenaran


merupakan fakta-fakta dari berbagai hubungan yang berdiri satu sama lain secara
harmoni sebagai subjek dan prediket yang serasi dan logis. Beberapa teori kebenaran
dapat diungkapkan, yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatis. Teori koherensi
adalah teori kebenaran tradisional dibangun oleh para pemikir rasionalis, seperti
Leibniz, Spinoza, Hegel dan Bradley.

Teori kebenaran korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling tua.


Pada mulanya, teori ini didasarkan pada teori pengetahuan yang dikembangkan oleh
Aristoteles. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui adalah sesuatu yang
dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal subjek. Dalam perjalanan waktu,
teori kebenaran korespondensi dikenal sebagai teori kebenaran yang mendasarkan diri
pada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu permyataan
dengan objek yang menjadi tujuan pemyataan tersebut.

Terakhir, Teori Kebenaran Pragmatis. Istilah pragmatisme berasal dari bahasa


Yunani, pragma, yang berarti tindakan. Pragmatisme secara etimologi berarti filasafat
atau aliran pemikiran tentang tindakan. Pada awal perkembangannya, pragmatisme
lebih merupakan suatu usaha untuk menyatukan ilmu per getahuan dan filsafat agar
filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Menurut
prinsip dan metode pragmatisme, untuk mengetahui kebenaran suatu ide atau
keyakinan harus diteliti konsekuensi praktis atau hasil tindakan yang merupakan
wujud ide atau keyakinan tersebut, apakah berfungsi dan memberikan manfaat atau
tidak. Tolak ukurnya adalah didasarkan pada kegunaan, efisiensi, dan kepuasan yang
dialami.

Secara pragmatis, dunia keilmuan memberikan proterensi kepada teori yang


bersifat umum (universal) dibanding dengan teori-teori sebelumnya. Dalam teori
kebenaran pragmatis, putusan atau preposisi benar jika putusan atau preposisi itu
memenuhi fungsinya. Dengan kata lainnya benar adalah apa yang berfungsi atau
bekerja. Teori kebenaran pragmatis ini merupakan salah satu yang ingin ditegakkan
dalam ilmu hukum normatif. Jika suatu peraturan perundang-undangan tidak
berfungsi, maka harus diteliti apa peyebabnya. Mungkin ada penormaan yang kabur
sehingga aturan tersebut tidak dapat diberlakukan. Mungkin juga ada konflik norma
yang bertentangan dengan aturan norma lebih tinggi yang telah ditetapkan dalam
undang-undang dasar, dan lainnya. Jika ini terjadi, maka aturan hukum tersebut harus
diamandemen atau diganti agar dapat berfungsi seperti yang dikehendaki.

Sebenarnya teori kebenaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, tidak


sekedar mengandalkan satu teori saja. Selain bersifat rasional, konsisten, dan
sistematis, juga harus telah teruji kebenarannya dan yang secara pragmatis terbukti
dapat berfungsi. Sifat-sifat inilah yang membentuk ilmu menjadi pengetahuan yang
dapat diandalkan, dan yang memungkinkan pengetahuan itu terhormat dalam deretan
pengetahuan-pengetahuan lain.

Adapun teori kebenaran mukhatti'ah menganggap benar atau salah hasil ijtihad
berdasarkan akumulasi perdebatan para mujtahid atau juris mengenai sebuah
peristiwa/gejala hukum. Sedangkan hasil ijtihad selebihnya dianggap keliru meskipun
secara akademik masih dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini, Rasul
mengatakan bahwa pelaku ijtihad yang benar hasil ijtihadnya mendapat dua pahala,
dan apabila hasil ijtihadnya keliru mendapat satu pahala.

Berbeda dengan teori kebenaran mushawwibah, teori kebenaran mukhatti'ah


tidak mengakui adanya pluralisme hukum, karena hanya terdapat hukum tunggal yang
diakui keberadaannya oleh Syâri' (Allah SWT). Menurut teori ini, sebelum para
mujtahid melakukan istinbath hukum Allah, sebagai Syari' telah menggariskan sebuah
ketentuan hukum tunggal bagi setiap kejadian atau peristiwa. Oleh sebab itu,
perbedaan pendapat para mujtahid tidak secara serta merta dapat mengindikasikan
terjadinya pluralisme hukum. Sebaliknya, hukum Allah yang melekat pada setiap
peristiwa atau gejala hukum tetaplah tunggal. Pemicu perbedaan adalah
mengimplementasi huku:m (tathbiq al-Ahkám) sesuai kemampuan para mujtalhid
yang tidak sama dalam bergumul dengan sumber-sumber utama hukum Islam (Al-
Qur'an dan Sunnah Rasul), dan dengan melihat realitas sosial masyarakat.

Berdasarkan kedua teori di atas, dapat dipahami bahwa keduanya sama-sama


mengapresiasi tingkat kebenaran akademik dari sebuah proses penelitian yang
dilakukan oleh para mujtahid. Perbedaan hasil kreativitas penelitian dan hasil ijtihad
dapat ditangkap oleh kedua teori kebenaran hukum Islam ini sebagai wacana
pemikiran (iniellectual discource) yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik dan ilmiah. Bedanya, menurut teori mushawwibah, kemunculan hukum
terjadi di saat para mujtahid melakukan penggalian hukum sehingga produk hukum
yang dihasilkan adalah bersifat majemuk, plural, bahkan antagonistik. Sedangkan
nenurut teori kebenaran mukhatti'ah, lahirnya ketentuan hukum sudah digariskan oleh
Allah sebelum para mujtahid melakukan istinbath hukum, sehingga produk hukum
menurut teori ini bersifat tunggal.

Pada kenyataannya, idealisme para mujtahid tidaklah berbeda, yaitu


merumuskan ketentuan hukum berdasarkan prinsip-prinsip umum teks wahyu untuk
merealisasikan kemaslahatan umat. Meskipun demikian, realitas perbedaan hasil
ijtihad dan penelitian hukum tidak dapat dielakkan, karena perbedaan sudut pandang
mujtahid dalam melihat kemaslahatan sebagai akhir dari proses terbentuknya hukum
sesuai peristiwa hukum yang terjadi. Dalam hal ini, perbedaan iklim lingkungan atau
perubahan sosial turut mengkondisikan hasil kreativitas istinbath hukum yang
dilakukan oleh para peneliti mujtahid. Secara prinsip, hakikat kebenaran itu adalah
milik Allah, baik kebenaran pada ayat-ayat qauliyah maupun pada ayat-ayat kauniyah.

B. Dialektika hukum positif dengan hukum alam perspektif hukum Islam.

Pertentangan antara para pemikir yang menyusun konsep dunia berdasarkan


ide apriori versus pemikir materialis selalu ada sepanjang sejarah. Ini menjadi
pertentangan yang khas antar mazhab-mazhab filsafat.
Aliran Positivisme yang muncul pada awal abad ke-19 didasari pada prinsip
bahwa hanya yang tampil dalam pengalaman saja yang bisa disebut benar. Konsep ini
diteruskan oleh aliran empirisme yang menyatakan bahwa apa yang jadi kenyataan
saja yang dianggap benar. Kenyataan tersebut diuji oleh ilmu pengetahuan. Maka
tugas filsafat adalah mengumpulkan dan mengatur hasil-hasil ilmu pengetahuan.

Hukum alam pada masa Yunani kuno dianggap berasal dari dewa yang
diketahui manusia lewat pewahyuan. Menurut para sofis Yunani, hukum alam itu
menguasai kehidupan manusia seperti makhluk hidup lainnya yang mengikuti
kecenderungan jasmani.

1. Hukum positif
Aliran positivisme mendasarkan kerja filsafatnya pada hal-hal yang empiris
sebagai respon atas keterbatasan hasil filsafat spekulatif seperti yang menonjol pada
aliran idealism Jerman, terutama Immanuel Kant. Aliran ini pada awalnya
dikembangkan oleh August Comte filsuf Prancis (1798-1857) yang menyatakan
bahwa perkembanga masyarakat berlangsung pada tiga stadium, teologis, filosofis,
dan, positif.

Dalam pengertian modern, positivism adalah aliran filsafat yang hanya


mengakui fakta-fakta dan fenomena positive yang bisa diobservasi. Ini merupakan
bentuk sikap ilmiah yang menolak berbagai spekulasi a priori. Berawal dari abad ke -
19, positivism merambah ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk ilmu
hukum. Pakar hukum positif mengatakan bahwa hukum positiflah yang berlaku.
Hukum ini adalah norma-norma yudisial yang dibangun oleh otoritas negara yang
memisahkan hukum dengan etika dan kebijaksanaan sosial. Keadilan diidentikkan
dengan legalitas (ketundukan pada aturan negara)

Positivisme hukum terbagi pada positivisme yuridis (hukum diolah sendiri


secara ilmiah) dan positivisme sosiologis.

Prinsip-prinsip hukum positivisme yuridis antara lain :

a. Hukum sama dengan undang-undang


b. Tiadanya hubungan mutlak antara hukum dengan moral
c. Hukum adalah sebuah closed logical system.
Teknik hukum adalah metode yang dipakai ahli hukum untuk menguasi
hukum positif secara rasional agar hukum itu bisa aplikatif pada tataran konkrit.
Rasionalisasi tersebut berlangsung dalam dua tahap. Pertama penyederhanaan
kuantitatif dan kedua penyederhanaan kualitatif.

Pada tahap penyederhanaan kuantitatif, kaedah-kaedah hukum dikurangi


dengan cara analisis yuridis (isi bahan hukum), konsentrasi logis (hukum dipandang
dalam lingkup ide umum tertentu), sistematik yuridis (bahan hukum diberi aturan),
penentuan terminologi, ekonomi yuridis (peraturan seminimal mungkin).

Sedangkan pada tahap penyederhanaan kualitatif, bahan hukum ditingkatkan


menjadi ide-ide dan institusi-institusi hukum dengan mencari aturan intern tata hukum
kemudian diolah secara menyeluruh sehingga menjadi satu kesatuan.

Berdasarkan metode ilmiah ini, ilmu hukum mempunyai sisi ilmiah yang
tinggi. Bahkan menutut Jhering, metode ini bukan saja berdaya untuk mengolah
hukum yang sudah ada, tetapi juga berdaya dalam menciptakan hukum baru.

Adapun positivisme sosiologis, berprinsip bahwa apa yang tampil dalam


pengalaman bisa disebut benar bila ada kenyataannya. Filsafat positivisme sosiologis
berangkat dari kepastian bahwa terdapat hukum-hukum perkembangan yang
menguasai roh manusia dan segala gejala hidup bersama secara mutlak.

Dalam positivisme sosiologis, hukum dipandang sebagai bagian dari


kehidupan masyarakat. Dalam teori hukum modern, positivisme menjelma menjelma
ke dalam yurisprudensi analitik dan dikenal dengan istilah positivisme analitik. Tokoh
utamanya adalah John Austin(1790-1859), seorang yuris Inggris. Ia berpendapat
bahwa hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk
berakal oleh makhluk berakal lain yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya.
Karekater utama hukum menurutnya terletak pada karakter imperatifnya. Dalam hal
ini peran penguasa sangat kuat. Sebuah perintah bisa menjadin hukum tidak hanya
melalui lembaga legislative, tetapi juga bisa dari instansi resmi pemerintah. Menurut
Austin, hukum buatan hakim adalah hukum positif dalam arti yang sebenarnya karena
hukum tersebut dihasilkan melalui kekuatan kekuasaan negara.

John Austin membedakan hukum menjadi dua, yaitu hukum Tuhan dan
hukum manusia. Hukum manusia dibedakan lagi menjadi hukum yang sebenarnya,
dan yang sebenarnya bukan hukum. Hukum yang sebenarnya adalah undang-undang
yang berasal dari kekuatan politik. Sedangkan hukum yang sebenarnya bukan hukum
adalah peraturan-peraturan yang berlaku pada kalangan tertentu, misalnya aturan
perusahaan. Ini disebut bukan hukum yang sebenarnya karena tidak berkaitan dengan
pemerintah.

Mengacu pada pandangan di atas, Huijbers menyatakan ada dua pandangan.


Pertama, bidang yuridis terbatas tempatnya, yaitu pada unsur negara. Kedua, hukum
mengandung arti kemajemukan karena ada hukum negara dan hukum selain negara.

Syarat hukum positif menurut Austin adalah adanya penguasa, adanya


perintah, adanya kewajiban untuk mentaati, dan ad anya sanksi bagi yang tidak taat
perintah. Teori Austin ini mendapat reaksi dari kaum realis Amerika yang disebut
positivisme pragmatis yang mempelajari hukum sebagai karya-karya dan fungsi-
fungsi, bukan yang tertulis.

Perbedaan positivisme analitik dengan positivisme pragmatis.

 Positivisme analitik memisahkan hukum dengan etika, sedangkan positivisme


pragmatis menempatkan etika melekat pada hukum. Tujuan akhir hukum
menurut Roscoe Pound, pendiri filsafat sosial Amerika adalah untuk
memuaskan keinginan semaksimal mungkin.
 Dalam positivisme pragmatis, hukum harus ditentukan oleh fakta-fakta sosial
yang artinya hukum selalu berubah sejalan dengan perubahan sosial.
Sedangkan dalam positivisme analitik, hukum bersifat kaku dan
mempertahankan kestabilan.

2. Hukum alam
Aliran hukum alam telah ada sejak zaman Yunani kuno. Ketika itu hukum
dianggap berasal dari dewa. Hukum alam merupakan cara segala yang ada sesuai
dengan aturan alam semesta. Menurut kaum sofis Yunani, Thomas Hobbes, dan yang
lain, hukum alam menguasai kehidupan manusia sebagaimana makhluk lainnya yang
mengikuti kecenderungan-kecenderungan jasmani.

Berbeda dengan hukum positif. Hukum alam diterima sebagai hukum yang
sifatnya tidak tertulis. Seiring perubahan sosial politik, gagasan tentang hukum alam
ikut berubah. Satu-satunya yang bertahan menurut Friedman adalah tuntutan pada
sesuatu yang lebih tinggi dari hukum positif. Objek tuntutan tersebut lebih sering
bersifat pembenaran baik terhadap yang pro kekuasaan maupun yang kontra.

Hukum alam digambarkan berlaku abadi sebagai hukum yang norma-


normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Adil, dari alam semesta, dan dari akal budi
manusia.

Pengakuan terhadap akal manusia sebagai bagian dari alam merupakan


landasan dari konsep kaum stoa tentang hukum alam. Kaum stoa mengembangkan
semboyan “hidup sesuai dengan alam”. Hal ini tiadak berarti dalam kesederhanaan
primitif. Sesuatu dikatakan sejalan dengan alam mana kala iya diperintah oleh prinsip
penuntunnya sendiri, yang bagi manusia adalah akal. Alam semesta itu sendiri
diperintah oleh akal sama dengan yang ada dalam diri manusia sendiri. Oleh
karenanya bagi siapa yang mendasarkan kehidupannya pada aturan akal maka akan
dapat menghadapi dunia dengan yakin.
Aliran filsafat stoa ini digagas oleh zeno (360-260SM). Zeno dan pengikutnya
menempatkan konsep alam dalam pusat sistem filsafat mereka. Dengan alam mereka
mengetahui prinsip yang mengatur dan meliputi seluruh alam, dan secara panteistik
mereka identifikasikan dengan tuhan. Menurut zao, seluruh alam ini terdiri dari suatu
subtansi, dan subtansi ini adalah akal. Para yuris romawi lebih mempertegas hukum
alam yang dikemukakan oleh kaum stoa ultianus meluaskan kekuasaan huku alam
kepada semua hewan. Ia membuat perbedaan antara kedua jenis hukum alam tersebut.
Kemajuan agama kristen dan perkembangan doktrin katholik menyebabkan
perubahan pada konsep-konsep yang lebih luas tentang hukum alam. Mereka
memisahkan hukum alam dari hubungannya yang erat dengan alam fisik, dan
melekatkannya kepada, corpus miticum, selanjutnya kepada kesatuan spritual yang
didasarkan atas karunia dan mencakup bumi dan langit.
Thomas aquinas (1225-1275) memberikan konsep tentang hukum alam yang
banyak mempengaruhi banyak gereja, bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga
hari ini. Ia membahas arti hukum dengan membedakan antara hukum yang
membedakan antara wahyu tuhan dan hukum yang dapat dijangkau dengan akal budi
manusia. Hukum yang diperoleh dari wahyu tuhan disebut ius divinum positivun
(hukum ilahi positif) sedangkan hukum yang diperoleh berdasarkan kegiatan akal
budi manusia terdiri dari tiga katagori, yaitu hukum alam, hukum bangsa-bangsa, dan
hukum fositif manusiawi.
Untuk menjelaskan hukum alam, thomas bertolak dari ide-ide dasar filsafat
aris toteles. Sebagaimana aris memandang alam sebagai satu kesatuan subtansi-
subtansi dengan wujud yang berbeda-beda. Terdapat bendamati, tumbuh-tumbuhan,
hewan, dan manusia. Subtansi ini terdiri dari dua bagian. Yaitu materi dan bentuk.
Aturan alam itu diteruskan dalam diri manusia sendiri, yaitu kemampuan
untuk mengenal yang baik dan yang buruk. Semua orang mengetahui tentang dasar
hidupmoral, bahwa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus dihindarkan.
Suatu yang baik berarti sesuai dengan alam, dan yang jahat tidak sesuai dengan
kecendrungan alam. Berdasarkan prinsip ini muncul aturan alam, bahwa setiap orang
mempertahankan hidupnya, laki-laki- dan wanita bersatu dalam perkawinan, orang
tua harus mendidik anaknya, manusia mesti mencari kebenaran tentang tuhan,
manusia harus membentuk hidup bersama dalam masyarakat, dan laiinya.
Hakikat tuhan itu diantaranya ialah budi ilahi yang mempunyai ide-ide
mengenai segala ciptaan. Budi ilahi praktis membimbing semua kearah tujuannya.
Alam dan manusia diciptakan oleh tuhan. Manusia dalam penciptaanya diberi
kemampuan untuk memehami apa yang baik dan yang buruk, dan kecendrungan
untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam. Oleh karenanya menrut
thomas, hukam alam dimaksudkan sebagai aturan hidup manusia sejauh didiktekan
oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia adalah suatu
partisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Filsafat hukum alam Thomas ini diperbaharui dan disesuaikan dengan
pandangan-pandangan baru era kini. Diantara aliran yang terkuat memperbaharui teori
hukum alam ini adalah aliran neothomisme. Menurut para ahli neothomisme, terdapat
hukum alam diatas hukum fositif. Hukum alam ini berakar dari suatu aturan alam
metafisis sebagaimana direncanakan tuhan. Hukum alam ditanggapi suatu hukum
yang memiliki kekuatan hukum yang ril dan dapat dikenal oleh akal budi manusia.
Massner membedakan antara hukum abdi yang ada pada tuhan sendiri dan
hukum alam moral yang merupakan cerminan hukum abdi dalam akal budi manusia.
Prinsip hukum tertinggi dalam moral adalah “berbuatlah yang baik, dan hidarilah
yang jahat”. Dari pprinsip tertinggi ini diturunkanlah prinsip-prinsip lain sebagai
norma kelakuan manusia.
Setiap manusia merupakan seorang yang sevara pribadi memiliki
kepentingannya sendiri. Kepentingan itu tidak boleh dirugikan dan dilalaikan. Dari
aspek ini berarti bahwa kepentingan pribadi melebihi kepentingan umum. Prinsip-
prinsip hukum alam yang mnyangkut hak-hak manusia menemukan dasarnya dalam
martabat manusia sebagai pribadi. Setiap orang perlu memperhatikan kedua
kepentinagan tersebut dalam menentukan kelakuannya yang tepat ditengah-tengah
masyarakat.
Berdasarkan prinsip di atas, berarti subsdiaritas mengandung suatu unsur
politik, karena hanya negara yang berkuasa untuk menilai, apakah suatu hal tertentu
dapat diurus pada tingkatnya sendiri atau tidak. Akibatnya, prinsip subsidiaritas baru
efektif bila pemerintah mengambil kebijakan pemerintah ntuk tidak segera
mencampuri terhadap hal-hal yang termasuk kehidupan pribadi, keluarga, ekonomi,
dan lainnya.
Sebagaimana dikemukakan bahwa hukum alam dalam arti sempit merupakan
bagian dari hukum alam moral, karena ciri-ciri hukum alam moral terdapat pada
hukum alam dalam arti sempit. Beda antar keduanya adalah:
a. Hukum alam dalam arti sempit menentukan hubungan manusia dengan
kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa hukum alam ini bukan hukum
alam moral yang menyangkut kehidupan batiniah.
b. Hukum alam dalam arti sempit menentukan secara rinci apa isi suatu kewajiban,
seperti menentukan sumbangan bagi kehidupan bersama dalam bentuk pajak.
c. Hukum alam dalam arti sempit memnganduk kekuasaan yang memaksa orang
untuk mentaatinya. Hukum semacam ini boleh diikuti dengan sanksi bagi orang
yang melanggar.
d. Hukum alam dalam arti sempit memberikan kekuasaan kepada instansi yang
berwibawa menjadikan sebagai undang-undang yang mengatur kehidupan sosial
masyarakat
Berdasarkan unsur-unsur diatas dapat dipahami bahwa hukum alam dalam arti
sempit adalah aturan hak-hak khusus, baik pribadi maupun masyarakat yang berakar
dalam kodrat manusia yang bertanggung jawab.
Selain massner, del vecchio dan francois geny (1861-1959) juga
mengemukakan teori-teori tentang hukum alam. Keduanya memberikan uraian yang
rinci dalam kaitannya dengan teori umum, karena bagianya hukum alam merupakan
penuntun penting menuju hukum positif.
Del veccio mengartikan hukum alam sebagai prinsip evolusi hukum yang
menuntun manusia, dan hukum yang mengaturnya menuju otonomi manusia yang
lebih besar. Sementara geny mengemukakan ide hukum alam berhadapan dengan
hukum positif. Idenya itu dimuat dalam donne-nya, yaitu donnerationel dan donne
ideal. Yang disebut pertama bersifat statis, terdiri dari sejumlah prinsip-prinsip akal,
yang ditafsirkan dengan cita-cita liberalisme barat. Sedangkan yang ke dua bersifat
dinamis, terdiri dari ide-ide dan nilai-nilai yang utama dalam masyarakat tertentu pada
waktu tertentu pula.

3. Dialetika
Menyusuri hukum alam berarti mengikuti sejarah manusia yang berjuang
menemukan suatu keadilan mutlak denganberbagai persoalan yang dihadapi. Sejak
ribuan tahun yang lalu, ide tentang hukum alam selalu saja muncul sebagai suatu
manifestasi usaha manusia merindukan adanya hukum yang lebih tinggi dari hukum
fositif. Pada saat tertentu, ide tentang hukum alam muncul dengan segala
kejayaannya, dan disaat lainnya diabaikan. Namun, bagaimanapun ia tidak pernah
mati.
Dalam perjalanan sejarahnya, hukum alam telah menjalankan dan menlayani
berbagai fungsi. Menurut friedmaan, di antara fungsinya adalah::
a. Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama pada saat hukum perdata romawi
kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional.
b. Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh pihak gereja dan kerajaan dalam
pergaulan antara mereka.
c. Hukum internasional ditegakkan berdasarkan keabsahan dan atas nama huku
alam.
d. Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi
kebebasan individu berhadapan dengan absolutisme.
e. Prinsip-prinsip hukum alam telah dijadikan senjata oleh para hakim amerika
ketika memberikan penapsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak
campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditunjukkan untuk
membatasi kemerdekaan ekonomi.

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak


teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikatagorikan kepada hukum
alam bermunculan dari masa kemasa. Istilah hukum alam ini ditangkap dalam
berbagai arti oleh berbagai kalangan pada masa yang berbeda. Sebagaimana dikutip
oleh Rahadjo menyebutkan bahwa:
a. Hukum alam itu merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum
dan pelaksanaanya .
b. Hukum alam sebagai dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga
agar jangan terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan
“dan yang seharusnya”
c. Hukum alam adalah sebagai metode untuk menemukan hukm yang sempurna.
d. Hukum alam adalah isi yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal.
e. Hukum alam adalah suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Sebagai tercermin pada butir-butir di atas, hukum alam dapat berupa metode,
dan dapat pula sebagai substansi. Hukum alam sebagai subtansi menurut norma-
norma. Dalam anggapan ini orang dapat menciptakan sejumlah besar peraturan-
peraturan yang dialirkan dari beberapa asas absolut, yan lebih dikenal dengan Hak
Asasi Manusia. Hukum alam subtansi ini memperoleh kritik yang tajam dan
mengalami kemunduran sejak abad ke-19, dan digantikan oleh aliran hukum
positivisme.
Selama kondisi tetap stabil, aliran hukum positivisme dapat berkembang dengan
baik. Akan tetapi segera aliran posittivis gagal dengan terjadi kegoncangan, seperti
halnya para separoh abad ke-19. Ia gagal karena tidak mampu memberikan tuntunan
ditengah terjadinaya gugatan terhadap kepercayaan-kepercayaan sosial dan moral
pada waktu itu. Aliran hukum positif juga gagal karena tidak mampu memberikan
bantuan guna menghindari penggunaan yang salah dari kekuasaan dan kemerdekaan
yang terjadi. Dengan mundurnya positivisme itu, maka hidup kembali hukum alam,
dan kemudian dikenal dengan sebutan kebangkitan doktrin hukum alam.
Sebagaimana dikemukakan bahwa selama kondisi stabil, positivisme hukum
dapat berkembang dengan baik dan dapat menemukan identitasnya, positivisme
hukum sebagai sebuah pendirian lugas yang menyatakan bahwa tidak benar bila
hukum-hukum adalah reproduksi atau pemenuhan ketentuan moral.
Dalam teori klasik hukum alam disebutkan bahwa terdapat prinsip-prinsip
prilaku yang menunggu untuk ditemukan oleh akal, yang harus diikuti oleh hukum
ciptaan manusia jika dikehendaki sebagai valid. Hal ini terjadi karena klaim adanya
prinsip-prinsip faktual mengenai prilaku yang benar yang dapat ditemukan secara
rasional. biasanya tidak dikemukakan suatu doktrin tersendiri melainkan sejak awal
disajikan, dan dipertahankan dalam waktu yang lama sebagai bagian dalam konsep
umum tentang alam. Dalam banyak hal, pandangan ini merupakan anti tesis atas
konsep umum alam yang membentuk kerangka pemikiran sekuler modern.
Doktrin hukum alam adalah bagian dari sebuah konsep kuno mengenai alam,
dimana dunia dapat diamati tidak sekedar sebuah panggung keteraturan, dan
pengetahuan tentang alam bukan sekedar pengetahuan mengenai suatu keteraturan.
Atas dasar ini, setiap jenis wujud yang ada, bukan hanya sedang mempertahankan
wujudnya melainkan bergerak menuju suatu keadaan optimum sebagai tujuan akhir.

Dewasa ini hukum alam yang rinci seperti masa klasik dan pertengahan tidak
lagi dianggap abadi, karena kedinamisan kehidupan manusia. Namun prinsip itu tetap
ada dengan lebih umum, seperti keadilan, kejujuran, kesopanan, dan sebagainya.
Prinsip itu memiliki kestabilan, tetapi juga sebagai suatu kelonggaran untuk berubah
sesuai perkembangan zaman.

Banyak para ahli tidak bersedia menerima adanya dua macam hukum (hukum
positif dan hukum alam), yang satu telah menjadi undang-undang, dan yang lain
difikirkan sebagai hukum dasar yang lebih kuat dari undang-undang. Oleh karena itu,
para ahli senantiasa melembagakan atau memformulasi prinsip-prinsip hukum dengan
memasukkannya dalam undang-undang dengan mengadopsinya dalam kerangka yang
rasional. Dengan ini pula sebenarnya banyak pemikir menolak positivisme hukum,
tetapi sekaligus juga mengakui bahwa hukum yang benar adalah hukum positif.

Para positivis memandang bahwa prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam


hukum alam sebagai prinsip regulatif belaka, yaitu sebagai pedoman bagi
terbentuknya hukum, dan bukan sebagai prinsip konstitutif dari hukum. Artinya,
bahwa prinsip-prinsip tersebut memang harus diindahkan pada saat undang-undang
dibentuk.

Namun jika undang-undang yang ada, bertentangan dengan prisip-prinsip


hukum alam, maka undang-undang tersebut tetap sah berlaku. Dengan kata lain,
menurut para positivisme hukum cenderung menganut prinsip kepastian hukum,
dibandingkan dengan para ahli hukum alam yang lebih memperhatikan prinsip
keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Akal, betapapun diagungkan, hanyalah suatu tebakan yang hampir tidak dapat
menggantikan kebenaran. Menurut David Hume (1711-1776) bahwa akal adalah
menjadi budak nafsu dan tidak akan pernah dapat berpretensi apapun selain mengabdi
dan mentaati nafsu-nafsu.

Pernyataan Hume di atas tidak hanya merusak fondasi-fondasi hukum alam,


tetapi juga menyatakan secara tidak langsung bahwa secara esensial akal merupakan
budak nafsu manusia yang dengan sendirinya mengilhami perbuatan-perbuatan
manusia. Akal sendiri tidak mengajarkan cara untuk berbuat, tetapi ia didikte oleh
nafsu. Kritikan terhadap hukum alam ini memuncak dalam karya Hume dengan judul:
Treatice on Human Nature.

Hukum alam juga merupakan hukum akal, karena dibangun oleh akal untuk
mengatur alam, disamping dialamatkan dan diterima oleh sifat rasional manusia. Ia
juga disebut hukum eternal (lex aeterna) karena telah ada sejak awal adanya dunia,
tidak diciptakan dan abadi. Akhirnya, dinamakan hukum moral karena
mengekspresikan prinsip-prinsip moralitas.

Hukum alam sebenarnya tidak dapat universal untuk segala waktu dan
keadaan, karena akal manusia akan berbeda di antara sesamanya. Ihering telah
menolak hukum alam untuk semua bangsa dan waktu karena tidak lebih baik dari
pada pemikiran bahwa penyembuhan medis harus sama untuk semua orang.
Masyarakat berbeda satu sama lain, baik dalam bentuk, karakter dan sosialnya. Oleh
karenanya hukum bagaimanapun juga merupakan produk lokal, tidak dapat diterapkan
kepada mereka secara merata. Masa depan dan kenyataan-kenyataan sosial dalam
masyarakat modern menentukan konsep-konsep hukum sehingga hukum tidak dapat
berubah.

Di sisi lain, hukum alam merupakan sumber terpenting dari material hukum.
Hukum alam sebenarnya terdiri dari prinsip-prinsip material hukum, yang tidak
bergantung pada kemauan manusia, tetapi berasal dari alam sendiri, dan merupakan
dasar hukum positif. Prinsipprinsip ini harus diterapkan kepada kehidupan sosial
melalui pembentukan teknis hukum dan pembentukan yuridis hukum.

Alam telah menuntun dan membimbing manusia untuk berlaku adil, dan
mendorong untuk menggunakan fikirannya agar tidak mengabaikan hal-hal yang
sensitif tentang manusia, sehingga keadilan akan berkembang di antara sesama
manusia. Alam juga memberikan akal budi yang tepat untuk membolehkan apa yang
baik dan mencegah sesuatu yang jahat. Oleh sebab itu, sangat tepat bahwa hukum
yang sebenarnya adalah akal budi yang baik, yang merupakan kaedah sejati dari
semua perintah dan larangan. Siapapun yang mengabaikan hukum alam, dengan
sendirinya tidak akan terwujud keadilan.

Selanjutnya Messner menilai bahwa hukum positif sebagai hukum yang secara
langsung berdasar pada hukum alam. Atau dapat juga sebagai hukum yang secara
tidak langsung berdasar pada hukum alam, yaitu sejauh hukum itu dapat berlaku dari
kekuasaan negara yang disahkan oleh hukum alam. Jadi, hukum positif yang secara
langsung berdasar pada hukum alam mewajibkan dalam batin. Menurut Messner,
termasuk juga hukum positif yang secara tidak langsung berdasar. pada hukum alam
mewajibkan dalam batin juga. Dalam hal ini, ia berbeda dengan Aquinas yang
beranggapan bahwa hukum yang terakhir ini merupakan ciptaan manusia belaka.

Bila terjadi pertentangan antara hukum positif dan hukum alam, menurut
Messner, hukum positif kehilangan berlakunya. Hal ini berarti bahwa hukum
semacam itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, dan akibatnya sanksi batin juga
lenyap

Hubungan antara hukum alam dan hukum positif, pada umumnya adalah
bahwa hukum alam “membantu hukum positif dengan menentukan apa yang patut.
Lagipula hukum alam memainkan peranan dalam menggabungkan hukum positif
dengan prinsip-prinsip kepentingan umum.

4. Perspektif Hukum Islam

Filsafat hukum mengambil pand angan hukum yang bersifat teleologis, yang
menyatakan bahwa adanya hukum adalah untuk memenuhi maksud tertentu. Tidak
dapat disangkal bahwa setiap sistem hukum diorientasikan untuk mencapai tujuan
tertentu yang menuntut pelaksanaan. Hukum Islam adalah sistem ketuhanan yang
dinobatkan untuk menuntun umat manusia menuju kedamaian di dunia dan di akhirat.
Urusan dunia ini oleh penentu hukum dipandang dari kerangka kepentingan dunia
lain, yang lebih baik dan abadi. Ini membuktikan perbedaan antara hukum Islam dari
hukum yang dibuat manusia yang hanya membicarakan kepentingan dunia belaka.
Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat ini benar-benar
terefleksikan dalam setiap hukum-hukum-Nya. Jadi, rahmat merupakan inti syari'ah
dengan konsekuensi bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kekuatan akal semata
dicela oleh Allah. Mengatur dengan kekuatan akal bukan tujuan syari'ah, sedangkan
keadilan merupakan tujuan utama.

Keadilan menurut hukum Islam adalah perintah yang lebih tinggi, karena tidak
hanya memberikan kepada setiap orang akan haknya, tetapi juga sebagai rahmat dan
kesembuhan qalbu. Berlaku adil dianggap sebagai langkah taqwa setelah beriman
kepada Allah.88 Oleh sebab itu, hukum Islam merupakan pernyataan Allah, dan usaha
untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan
memberikan keadilan kepada setiap orang. Jadi, perintah dan keadilan merupakan
tujuan mendasar bagi hukum Islam. Bila diperhatikan positivisme hukum, bahwa
perintah merupakan tujuan utamanya. Ia tidak menilai lebih rinci, apakah suatu
perintahtersebut bersifat adil atau tidak. Di sisi lain, hukum alam, seperti diuraikan
oleh Friedmann, merupakan sejarah manusia mencari keadilan mutlak, dimana ke
gagalannya merupakan bukti bagi definisidefinisi yang bertentangan, dan pandangan-
pandangan yang berbeda, dalam hal 1ni, menyebabkan keadilan tidak dapat dicapai.

Teori dan konsep keadilan sebenarnya sudah dibicarakan sejak Plato hingga ke
pemikir sekarang. Kelsen berusaha mereduksi berbagai doktrin keadilan menjadi dua
bentuk dasar, yaitu rasionalistis dan metafisis. Tipe rasional sebagai tipe yang
berusaha menjawab pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya
dalam suatu pola ilmiah atau quasi ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan,
tipe rasional berdasarkan pada akal. Pola ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan tipe
metafisik merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain di balik
pengalaman manusia. Pola ini diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey, bahwa
keadilan tidak dapat didefinisikan. Ia merupakan idealisme yang tidak rasional.

Menurut Friedmann, semua usaha dalam rangka untuk menemukan standar


keadilan yang mutlak adalah gagal, kecuali dengan dasar-dasar agama. Agama
merupakan unsur wahyu dan keimanan tertinggi. Prinsip-prinsip yang ditentukan oleh
Tuhan harus dipercayai sebagai bagian dari keyakinan agama seseorang.

Keadilan mutlak hanya ada pada hukum Islam yang didasarkan kepada wahyu,
dan memuat prinsip-prinsip keadilan abadi. Seseorang yang hidup menurut hukum
Islam, harus berbuat adil, tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang
lain dan alam sekitarnya. Allah berfirman dalam surat ke-42 ayat 17:

َ ‫ق َٔ ْان ًٍِزَ اٌَ هۗ َٔ َيا ٌُد ِْرٌكَ نَعَ َّم انسَّا‬


‫عحَ قَ ِزٌة‬ ِ ّ ‫َاب تِ ْان َح‬
َ ‫الل ُ انَّذِي أََزَ َل ْان ِكت‬
َّ

Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan)


neraca (keadilan). Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat?

Memang wahyu merupakan neraca untuk menimbang semua persoalan moral,


semua masalah tingkah laku yang baik dan yang buruk. Di satu pihak, akal dengan
berbagai variasinya memberikan berbagai definisi dan bentuk yang bertentangan
dengan keadilan, dan karenanya gagal mencapai keadilan itu sendiri. Sedangkan
wahyu dengan standar keadilannya yang mutlak, tidak hanya sekedar mencapai
keadilan mutlak tersebut, tetapi juga merupakan sumber yang abadi bagi keadilan.

Hukum Islam menyatukan hukum sebagai ”adanya" dengan hukum sebagai


”seharusnya". Yang ”ada” berarti stabilitas dalam hukum, sedangkan yang
”seharusnya” menggambarkan tujuan tertinggi hukum, yaitu keadilan mutlak. Oleh
sebab itu, hukum Islam meliputi hukum Yang menjadi kenyataan maupun yang
seharusnya, yaitu positivisme hukum dan hukum alam dalam pengertian ideal.

Keadilan dalam hukum Islam berarti keseimbangan antara kewajiban yang


harus dipenuhi dengan kemampuan puan untuk menunaikan kewajiban itu. Banyak
ayat yang menunjukkan keseimbangan dan keadilan dalam perintah Tuhan. Oleh
sebab itu, prinsip keadilan dalam prakteknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan
waktu. Bila terjadi perubahan, kesulitan menjadi kelonggaran, maka terbataslah
kelonggaran itu sekedar terpenuhinya kebutuhan yang bersifat primer atau sekunder.

Dalam teori hukum, positivisme dan idealisme digambarkan saling


bertentangan. Teori-teori idealistis disamping didasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan, juga berkaitan dengan hukum yang seharusnya, sementara teori positivistik
diilhami oleh pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan. Positivisme
analitik memfokuskan diri pada analisa-analisa hukum, dan hubungan-hubungan
hukum berdasarkan pada pembagian ketat, apa yang nyata dan apa yang seharusnya,
yang karenanya ia dipisahkan dari keadilan. Positivisme pragmatis memandang fakta
sosial sebagai unsur yang menentukan konsep hukum. Bagi positivisme analitik,
hukum berarti perintah dari penguasa, yang menyebabkan ia stabil. Sedangkan
positivisme pragmatik menganggap bahwa hukum tuntuk kepada masyarakat, yang
menyebabkan ia selalu berubah sesuai dengan setiap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa positivisme hukum merupakan
korban ketegangan dan konflik.

Selain itu, positivisme analitik dipisahkan dari keadilan dan etika, sementara
hukum alam hadir sebagai hukum yang ideal dan lebih tinggi untuk digunakan
sebagai standar keadilan. Akan tetapi karena hukum alam didasarkan kepada akal
yang selalu berubah, maka ia tidak dapat bertopang pada dirinya sendiri, yang
akhirnya mengalami kegagalan. Oleh karena ada pemisahan antara apa yang "nyata"
dengan apa yang "seharusnya”, maka tidak akan ada perdamaian atau titik temu antara
hukum positif dan hukum alam. Sedangkan hukum Islam mengkombinasikan hukum
sebagai ”adanya" dan hukum sebagai yang "seharusnya", sekaligus mempertahankan
perintah dan keadilan. Sebagai perintah Tuhan dan Penguasa Tertinggi, maka hukum
Islam adalah hukum positif. Oleh karena memberikan perhatian khusus kepada
keadilan, maka hukum Islam bersifat ideal. Jadi, dapat digambarkan secara tepat
sebagai hukum positif dalam bentuk ideal.

Dalam hukum Islam, positivisme dan idealisme dalam pengertian yang


sesungguhnya, tidak hanya sekedar dapat dikombinasikan, tetapi benar-benar
harmonis satu sama lain.

Hukum Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan. Hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah lantaran berubahnya
masa dan berlainnya tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, hukum Islam
hanya menetapkan kaedah dan memberikan pedoman umum. Penjelasan dan
rinciannya diserahkan pada hasil ijtihad.

Dengan menetapkan pedoman umum, hukum Islam benar-benar dapat menjadi


petunjuk yang universal, dapat diterima di semua tempat dan setiap saat. Setiap waktu
umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis besar hukum Islam,
sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan Allah tentang hukum dalam bentuk yang global dan simpel itu,
dimaksudkan agar dapat memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan
ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini,
maka hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa.

C. Sumber dan Metode Penetapan Hukum

Sumber hukum pertama dan utama adalah al-Qur'an. Sebagai sumber pertama,
berarti bila seseorang mencari suatu hukum atas suatu peristiwa, maka tindakan
pertama harus mencari jawaban penyelesaiannya dalam al-Qur'anv

Selama aturan hukumnya terdapat dalam al-Qur'an, maka tidak boleh mencari
aturan hukum lain di luar al-Qur'an, Kedudukannya sebagai sumber utama, berarti
bahwa Penggunaan sumber lain harus sesuai dengan al-Qur'an, dan tidak boleh berbu
at dengan hal-hal yang bertentangan dengan al-Qur'an. Kekuatan hujjah al-Qur'an
sebagai gumber pertama dan utama yang memerintah untuk mematuhi Allah, disebut
lebih 30 kali dalam al-Qur'an.

Al-Qur'an mulai diturunkan kepada Rasul pada 17 Ramadhan tahun ke-40 dari
kelahiran Rasul (surat ke-2 ayat 185 dan surat ke-8 ayat 4). Ayat pertama diturunkan
Allah adalah pada surat ke-96 ayat 1-5. Ketika itu Rasul sedang bertahanus di Gua
Hira'. Ayat terakhir adalah surat ke-5 ayat 3, yang diturunkan kepada Rasul ketika
beliau melakukan haji wada' di Arafah dalam tahun 10 H. Keseluruhan ayat al-Qur'an
berjumlah 6226, dan diturunkan dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari.

Turunnya Al Qur‟an secara bertahap secara filosofis adalah untuk memantapkan hati
Rasulullah dan para pengikutnya, yang dimana selama proses tersebut ada ikatan yang
kuat antara Allah dan RasulNya, dan setiap ayat hukum yang turun berkesesuaian
dengan jalan keluar dari persoalan hukum yang dihadapi ketika itu. Selain itu,
turunnya Al Qur‟an secara bertahap juga berbanding lurus dengan kondisi sosial
masyarakat pada saat itu yang sebagian besaranya tidak dapat membaca ataupun
menulis, dan hanya mengandalkan hafalan saja, yang hikmahnya adalah
terpeliharanya seluruh lafadz Al Qur‟an.
Tujuan diturunkannya Al Qur‟an kepada Rasul adalah sebagai bukti yang kuat
dan juga sebagai mukjizat, karena setiap pembawa risalah memerlukan pengakuan
yang formal dari umat, yang berbentuk sesuatu yang tidak mungkin dapat dilakukan
atau dikemukakan oleh umatnya, dan hal tersebut berupa mukjizat. Contohnya seperti
umat Nabi Musa yang terkenal dengan ilmu sihirnya, maka Allah memberikan Nabi
Musa tongkat yang dapat mengatasi kekuatan sihir umatnya. Begitu juga dengan Nabi
Muhammad yang diberikan mukjizat berupa Al Qur‟an, yang dimana masyarakat
Arab yang membanggakan keilmuan syair dan keindahan bahasanya tidak dapat
menandingi keindahan Al Qur‟an dari aspek apapun.

Al Qur‟an adalah sumber hidayah untuk membimbing manusia agar


menadapat kehidupan yang baik di dunia maupun akhirat, karena di dalamnya
mengandung ilmu pengetahuan dan aturan mengenai hubungan dengan Allah maupun
dengan sesama manusia. Al Qur‟an memiliki kerangka dasar, yaitu Aqidah dan
Syari‟ah. Aqidah adalah metode yang sifatnya tetap dan satu, tidak berubah sejak
Nabi Adam sampai manusia terakhir, yang membahas mengenai keesaan Allah,
sedangkan Syari‟ah adalah produk atau materi hukum yang bersifat praktis, dan
substansinya terdapat di dalam Al Qur‟an. Selain itu, yang termasuk ke dalam
kategori Syari‟ah adalah Akhlak, yang membahas mengenai aturan kehidupan
bermasyarakat.

Al Qur‟an sebagai sumber kebenaran dari Allah melalui RasulNya, yang


diberikan wewenang untuk menjelaskan isi Al Qur‟an dan menyampaikannya. Oleh
karena itu, ketaatan kepada Rasul bagi umatnya adalah bersifat mutlak, sebagaimana
ketaatan mereka kepada Allah. Dengan demikian sumber hukum kedua setelah Al
Qur‟an adalah Sunnah Rasul.

Fungsi Sunnah Rasul sebagai penegas, penjelas ayat ayat Qur‟an yang bersifat
global, dan perluasan hukum dari apa yang termaktub di dalam Al Qur‟an. Menurut
Syaltut, terdapat 4 fungsi Rasul, yaitu menyampaikan pesan Allah, sebagai Imam atau
pemimpin, sebagai seorang Qadhi yang menyelesaikan segala kasus hukum dan
sebagai manusia biasa yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
yang halal dan baik.

Ijtihad menjadi suatu sarana pembaruan hukum yang diperbolehkan jika tidak
bertentangan dengan Qur‟an dan Sunnah. Hal ini diperkuat dengan dalil hadits ketika
Rasul mengutus Mu‟adz bin Jabal untuk menjadi Qadhi di Yaman. Berdasarkan hadits
tersebut, Al Tanthawi menetapkan kriteria seorang mujtahid, yaitu :

 Memahami bahasa Arab


 Islam, dewasa, dan berakal
 Mengetahui ayat-ayat hukum dalam Al Qur‟an
 Mengetahui Sunnah Nabi saw
 Mengetahui Ijma
 Mengetahui ilmu Ushul Fiqh sebagai saran untuk menetapkan istinbath hukum
yang sah
 Mengetahui ilmu Maqashid al Syari‟ah

Terdapat 2 metode pemahaman dalam penetapan hukum Islam, yaitu :


1. Metode Lafziyah
Metode Lafziyah sering disebut sebagai metode Bayani. Ada 5 kajian dalam
penggunaannya, yaitu :
 aspek kejelasan maknanya, dan terbagi menjadi 2:
a) terang (Zhahir, Nash,Mufassar dan Muhkam)
b) tidak terang (Khafy, Musykil, Mujmal, dan Mutasyabih)

 aspek penggunaannya, yaitu :


a) hakikah: suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu
majaz: suatu lafaz yang digunakan bukan untuk maksud yang sebenarnya
b) sharih: lafaz yang terbuka makna dan maksudnya
kinayah: lafaz yang pemahamannya memerlukan lafaz lain untuk penjeas
c) takwil: memalingkan lafaz dari makna lahir kepada makna lain yang mungkin
dijangkau oleh dalil

 aspek kandungan pengertiannya, yaitu:


a) „Aam: lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut tanpa pembatasan
b) Khusus: lafaz dari segi bahasa hanya untuk satu pengertian (lawan „Am)
c) Takhsish: penjelasan tentang hukum pada lafaz „Am yang ditetapkan untuk
sebagian saja
d) Mutlaq: lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa yang
mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi
e) Muqayyad: Lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada
lafaz itu suatu sifat

 Aspek penunjukan atas hukum, yaitu :


a) Dilalah Lafziyah : dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada
sesuatu dalam bentuk lafaz
b) Dilalah Ghairu Lafziyah : dalil yang digunakan bukan dalam bentuk lafaz

 Aspek Shigat Taklif:


a) Amar : perintah untuk mengerjakan sesuatu
b) Nahyi : tuntutan untuk meninggalkan sesuatu

2. Metode Ma‟nawiyah

Metode ini disebut juga dengan metode ta‟lili (penentuan illat) dan metode istislahi
(pertimbangan kemaslahatan umat), dan aspeknya adalah :

 Qiyas : kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal nilainya
(hukum) karena alasan kesamaan, dan menentukannya dengan 2 metode, yaitu
metode yang bersifat Qath‟I (pasti) dan Zhanny (dugaan)
 Istihsan : memandang baik terhadap sesuatu, atau qiyas yang wajib beramal
dengannya karena illatnya berdasarkan pada pengaruh hukumnya, yang
dimana perbedaannya adalah qiyas atas dasar pengaruh hukum yang lemah,
sedangkan istihsan atas dasar pengaruh hukum yang kuat

Abu zahrah mengatakan bahwa pengertian istikhsan di atas mencakup semua


jenis istikhsan dan menunjukkan kepada asas dan isinya. Karna asas istikhsan itu
adalah penetapan hukum yang berbeda dari kaedah umum.

Sedangkan al-sarakhsi, seorang ulama hanafi yang terkemuka mengatakan


bahwa istihsan pada intinya adalah dua macam qiyas,

Pertama qiyas jaly (jelas) tetapi pengaruh nya dalam mencapai tujuan syariat
lemah, ,aka dinamakan dengan qiyas.
Kedua adalah qiyas khafy ( tersembunyi ) tetapi mempunyai pengaruh yang
kuat dan inilah sebenarnya istihsan.metode istihsan dikalangan hanafi berarti bahwa
setiap aturan yang mengandung arti dari kaedah umum. Termasuk berpaling dari
keumuman nas atau „illat qiyas atau dasar istinbath karena ada dalil yang kuat yang
mengharuskan perpalingan itu. Dalil tersebut bias berupa qiyas khafi atau nas ijma‟
atau keadaan darurat.

Istihsan dalam ushul fiqh hanafi dirinci kepada empat macam, yaitu sebagai
berikut :

1. Istihan dengan nas

Istihsan dengan nas seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang


dikehendaki oleh kaedah umum kepada hokum yang dikehendaki oleh nas, misalnya
makan pada siang hari dibulan ramadhan. Menurut qiyas dalam arti kaedah umum
orang yang makan itu adalah merusak atau membatalkan puasa. Jika makan siang
dibulan ramadhan itu karena kelupaan, maka kaedah umum itu tidak berlaku dan
berpaling pada nas.

2. Istihsan dengan ijmak

Istihsan dengan ijmak berarti meninggalkan qiyas, baik qiyas asal maupun
kaedah umum yang diisbathkan, jika ijmak itu menetpkan hukum yang berbeda
dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas, misalnya perjanjian untuk
memproduksi suatu barang. Perjanjian ini tidak boleh menurut qiyas, dan tidak boleh
menurut kaedah asal atau kaedah umum, karena merupakan jual beli tanpa barang,
akan tetapi ijmak umum dan uruf umat pada suatu masa dan tempat
membolehkannya. Ijmak dan uruf itu lebih diutamakan dari kehendak umum atau
qiyas.

3. Istihsan dengan darurat

Istihsan dengan darurat terjadi apabila qiyas menghendaki suatu hukum


terhadap suatu peristiwa, misalnya jika suatu benda najis masuk kedalam sumur maka
tidak bias diversihkan karena setiap air yang dituangkan kesumur menjadi najis pula
dengan najis yang sudah ada didalam sumur itu, ulama menetapkan bahwa sumur
dapat dibersihkan dari najis dengan menuangkan beberapa timba air kedalamnya.
4. Istihsan dengan qiyas khafy

Istihsan dengan qiyas khafy dilakukan karena adanya pertentangan antara dua
qiyas, apabila terjadi dua pertentangan itu maka yang diutamakan dari keduanya
adalah qiyas yang mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis „illat
yang diterapkan sebagai dasar qiyas. Misalnya sisa minuman burung buas seperti
elang garuda dan gagak adalah tidak najis. Qiyas menetapkan najis terhadap sisa
minuman burung buas itu, hukum itu ditetapkan dengan mengqiyaskannya kepada
binatang buas, dengan „illat bahwa dagingnya najis sehingga tidak boleh dimakan.
Akan tetapi jika di amati bahwa bukan hanya daging saja yang najis,
melainkan karena masuknya sesuatu kedalam sisa air minum tersebut. Najisnya sisa
minum itu karena masuknya air liur yang berhubungan dengan daging yang najis
kedalam air.inilah sifat yang mempengaruhi najisnya sisa air minum, bukan semata
mata karena najisnya daging binatang buas. Selama najis daging tidak berhubungan
dengan air melalui air liur, maka sisa minuman itu tetap tidak najis.

Dan ada pula yang menambah kepada istihsan dengan „uruf dan istihsan
dengan maslahat

Selain abu hanifah imam malik juga menggunakan istilah istihsan, istihsan
menurut imam malik didasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syariat,
hal ini berarti bahwa penggunaan istihsan adalah didasarkan kepada mengutamakan
tujuan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.

Istihsan menurut imam malik terbagi pada empat :

1. Istihsan dengan uruf

Imam malik mengatakan bahwa uruf dapat meninggalkan dalil yang umum,
misalnya, imam malik menolak sumpah dengan urf. Bila seseorang bersumpah tidak
akan masuk rumah maka orang itu tidk boleh masuk kedalam rumah siapapun,
termasuk masjid. Akan tetapi imam malik melakukan istihsan dengan mengkhususkan
umum lafaz itu dengan urf dan kebiasaan dalam praktek, oleh sebab itu menurut imam
malik tidak melanggar sumpahnya bila masuk masjid, karena masjid tidak ternasuk
rumah

2. Istihsan dengan maslahat


3. Istihsan dengan ijmak

4. Istihsan dengan rad al-harj wa al-musyaqqat

Istihsan sebagai metode penetapan hukum sangat dimungkinkan untuk dapat


menjawab peristiwa peristiwa yang membutuhkan aturan hukum dari masa ke masa.
Karna semakin berkembangnya zaman dan semakin berkembangnya teknologi akan
muncul persoalan persoalan baru dalam islam oleh karna itu istihsan menjadi salah
satu cara yang dapat menjawab segala permaslahan permasalahan yang terjadi n
dikalangan masyarakat.

C .Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah adalah suatu kebaikan yang tidak ada dalil tertentu yang
membatalkan atau membenarkan, dan sejalan dengan tujuan hukum Islam.Maslahat
Mursalah dapat dijadikan metode penetapan hukum apabila maslahat itu sesuai
dengan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadist serta ijmak.

Prinsip bahwa Maslahah merupakan tujuan pokok penetapan hukum Islam,


sebagaimana yang terdapat yang terdapat dalam surah ke-11 ayat 61 dan surah ke-2
ayat 30, Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain
Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-
Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya)."

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya


Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."

Sunnah Nabi sebagai sumber hukum kedua telah menunjukkan adanya


transparansi prinsip maslahah ini. Nabi mengajarkan para sahabat untuk dapat
menangkap prinsip maslahat dan mengoprasionalannya ketika terjadi suatu peristiwa
yang membutuhkan solusi hukum. Misalnya Umar menolak memberikan zakat untuk
muallaf, karena ia berpendapat bahwa zakat diberikan pada masa nabi untuk
mendekatkan dan melunakkan hati, jadi pada masanya Umar berpendapat Allah telah
meninggikan Islam, dan tidak diperlukan lagi muallaf, kebebasan diberikan kepada
muallaf tersebut baik menetap dengan Islam ataupun keluar dari Islam , jadi Umar
berpendapat memberikan zakat kepada muallaf , disyari‟atkan karena adanya „illat,
maka apabila „illat telah hilang, maka hukum aturan itu tidak dilaksanakan lagi.
Dalam kasus muallaf ini, Umar tidak lagi melihat adanya maslahat untuk meneruskan
pemberian zakat kepada muallaf yang pernah mendapatkan sebelumnya. Dan tindakan
umar ini sesuai denga nisi kandungan surah ke-9 ayat 60.

Maslahah Mursalah adalah salah satu teori hukum Islam atau bentuk
pemikiran filsafat hukum Islam. Teori ini muncul dari adanya prinsip maslahat yang
ditunjukkan oleh wahyu dan hasil ijtihad para sahabat.sebagai teori, tentu tidak
terlepas dari pro dan kontra.

Untuk memposisikan maslahah mursalah secara proporsional, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan:

1. Perlu ketelitian dalam menukil setiap pendapat yang berhubungan dengan


maslahah mursalah dengan cara menghimpun sumber dan menghindari sikap apriori
dan fanatik mazhab.

2. Meneliti metode istinbat dan hasil ijtihadnya secara komprehensif.

3. Perlu keseragaman persepsi tentang konsep atau rumusan maslahah.

4. Adanya maslahah tidak boleh lepas dari kriteria yang sudah disepakati dan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid.

Adapun kriteria maslahah itu harus sejalan dengan kehendak nas, dan tidak
berlawanan dengan nas dan ijmak, harus berstatus pasti atau degaan kuat. Maslahah
itu juga harus menempati posisi primer atau sekunder yang kedudukannya sama
primer.

Apabila dalam menyelesaikan peristiwa yang baru pada saat ini, maka
cendrung menggunakan pendekatan maqashid syari‟ah dan cendrung menggunakan
metode istislah.yang mana pendekatan maqashid ini tidak memerlukan penguasaan
bahasa Arab yang maksimal sebagaimana pendekatan kebahasaan, karena peristiwa
yang terjadi tersebut tidak terjadi pada masa nabi, sehingga tidak diungkap dalam nas,
dan tidak bisa dicari dalam nas tersebut, maka harus menggunakan metode istislah.

d. „Urf
uruf adalah bahasa arab yang berarti sesuatu yang dikenal kata yang sama
dengan urf adalah adat yang berarti pengulangan, kata urf atau ma‟ruf banyak terdapat
dalam alquran dengan pengertian yang berbeda.

Urf juga diartikan seseuatu yang dibiasaka manusia dalam urusan muamalah,
ibnu abid in mengartikan urf sebagai sesuatu yang sudah membudaya, ketetapan yang
dilakukan berulang kali dan diterima logika atau akal sesuai dengan tabiat yang sehat.

Adat adalah perbuatan dan perkataan yang digunakan secara berulang dengan
tidak menghubungkannya dengan akal. Akan tetapi, ibnu abiding mengatakan bahwa
„urf dan adat mempunyai arti yang sama. Abiding mengkategorikan pemakaian uruf
kepada tiga kelompok sebagai berikut :

1. Uruf am yang penggunaannya merata diseluruh masyarakat seperti perkataan


menginjakkan kaki untuk maksud datang

2. Uruf khas seperti istilah yang digunakan dalam masyarakat tertentu

3. Uruf sayr‟i seperti penggunaan kata shalat dan zakat untuk perbuatan yang
dimasudkan syara‟

e. Saddu al-Zari‟ah

Upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu peristiwa hukum


yang pada dasarnya dibolehkan. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari
perbuatan atau tindakan lain yang dilarang. Metode ini bersifat preventif. Artinya
segala sesuatu yang dibolehkan, tetapi akan membawa akibat yang terlarang, maka
hukumnya menjadi terlarang pula.

D. Metode Penetapan Hukum Berkesinambungan (Kontinu)

Kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa dan hasil ijtihad
yang dikeluarkan oleh mufti atau mujtahid. Namun hal ini tidak berarti bahwa hukum
akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber
utama hukum, yaitu al-Qur‟an dan hadits.

Ruang lingkup hukum Islam tidak sekedar hubungan antar manusia dan
manusia dengan benda, tetapi mencakup hubungan dengan Allah dan dengan alam
Urgensi bermusyawarah adalah berfikir secara maksimal pada setiap masalah
yang sedang dihadapi, dan kemudian memilih pandangan yang diajukan. Apabila
pendapat telah dikemukakan, maka sampailah pada suatu putusan. Setiap putusan
harus dilaksanakan dengan penuh tekad dan semangat serta bertawakal kepada Allah.

Pelaksanaan musyawarah itu bersifat komprehensif, baik dari segi alternatif


metode penetapan hukum yang digunakan maupun dari anggota musyawarah sebagai
peserta. Hasilnya dapat berupa kesepakatan sebagai putusan akhir untuk dilaksanakan
oleh setiap umat sesuai kebutuhan.

Perubahan hukum merupakan suatu kebutuhan masyarakat kebutuhan


masyarakat sepanjang masa. Perubahan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
terjadi secara konstan harus dibarengi dengan pembaruan di bidang hukum, sehingga
terdapat kesimbangan antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan
hukum.

Tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial kemasyarakatan


seharusnya dapat memberikan semangat para mujtahid untuk terus menemukan dan
mengembangkan konsep, proposisi atau bahkan teori-teori substansi sebagai wujud
kebenaran yang diyakini lahir dari sebuah rangkaian penelitian hukum Islam.

Al Qur‟an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa


oleh Nabi Muhammad Saw adalah untuk seluruh umat manusia, dimanapun mereka
berada. Oleh sebab itu, seharusnya Islam dapat diterima oleh setiap manusia di muka
bumi ini, tanpa ada konflik dengan keadaan di mana pun berada.

Untuk menghadapi kedinamisan masyarakat diperlukan metode penetapan


hukum yang berkesinambungan.

Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan sebagai


indikator istimewa masyarakat yang dipilih sebagai teladan bagi umat lain.
Musyawarah merupakan sifat yang harus dimiliki dari sekian banyak sifat
keteladanan.

Urgensi musyawarah adalah berpikir secara maksimal pada setiap masalah


yang sedang dihadapi, dan kemudian memilih pandangan yang diajukan. Setiap
putusan harus dilaksanakan dengan penuh tekad dan semangat serta menyerahkan
(bertawakkal) kepada Allah.
Adapun bentuk musyawarah, mekanisme dan implementasinya adalah
persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di
kalangan umat, situasi dan kondisi kehidupan pada waktu itu.

Anggota musyawarah terdiri dari para ahli yang sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Hal ini sejalan dengan petunjuk surat ke 4 ayat 59. Menurut
Muhammad Abduh, kata ulil amri pada ayat ini adalah Ahlu al Halli wa al Aqdi
sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan keahlian yang ada dalam
masyarakat. Mereka itu para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer,
semua pemimpin dan penguasa yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah
kebutuhan dan kebutuhan publik.

Menurut Rasyid Ridha, Ahlu al Halli wa al Aqdi adalah mereka yang


mendapat kepercayaan dari umat yang terdiri dari ulama, para pemimpin militer, para
pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik.

Pada masa Rasul, kelompok Ahlu al Halli wa al Aqdi adalah para sahabat,
yaitu mereka yang diberi tugas keamanan, pertahanan maupun urusan-urusan lain
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Setiap persoalan yang muncul, baik peristiwa yang membutuhkan aturan


hukum, tindakan, kebijakan maupun urusan-urusan tertentu lainnya, penyelesaiannya
diserahkan kepada kelompok musyawarah tersebut.

Dalam musyawarah itu, mereka itu, mereka tetap , menjadikan Al Qur‟an dan
sunnah Rasul sebagai rujuk pertama dan utama. Kemudian setiap peristiwa hukum
yang terjadi dan berkembang harus disesuaikan penyelesaiannya dengan metode
penetapan hukum yang telah ada.

Dengan demikian, pelaksanaan musyawarah ini bersifat komprehensif, baik


dari segi alternative metode penerapan hukum yang digunakan maupun dari anggota
musyawarah sebagai peserta. Hasilnya dapat berupa kesepakatan sebagai putusan
akhir untuk dilaksanakan oleh setiap umat sesuai kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai