Anda di halaman 1dari 11

Berdakwahlah Sesuai Kemampuan

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc April 19, 2012 Amalan 6 Comments 4,275 Views

Setiap kita punya kewajiban untuk berdakwah. Harus ada yang menunaikannya di suatu negeri. Jika
tidak ada yang menunaikan dakwah, maka semuanya berdosa. Jika sudah ada yang menunaikan,
maka yang lain gugur kewajibannya. Namun dakwah di sini sesuai kemampuan. Karena demikianlah
yang namanya kewajiban. Para ulama memberikan kaedah, Kewajiban itu tergantung pada
kemampuan. Demikianlah dalam dakwah.
Perintah untuk Berdakwah
Dakwah itu adalah suatu kewajiban. Jika sebagian telah menunaikannya, maka gugur bagi yang
lainnya. Kata Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam risalah beliau yang penuh faedah,
Para salaf mengatakan, telah disepakati bahwa amar maruf nahi munkar itu wajib bagi insan. Namun
wajibnya adalah fardhu kifayah, hal ini sebagaimana jihad dan mempelajari ilmu tertentu serta yang
lainnya. Yang dimaksud fardhu kifayah adalah jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka
yang lain gugur kewajibannya. Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya,
begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan amar maruf
nahi mungkar yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin beramar maruf nahi mungkar, wajib bagi
yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasulnya perintahkan tercapai
(Lihat risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjelasan firman Allah: Kuntum khoiro ummati ukhrijat
linnaas dalam Al Majmuatul Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhul Islam Ibni Taimiyah,
Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama,, Muharram, 1422, hal. 62-63).
Mengenai perintah untuk berdakwah sekaligus keutamaannya dijelaskan dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Taala berfirman,






Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali Imron: 110).




Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri? (QS.
Fushshilat: 33).






Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (QS. Luqman: 17).
Berdakwah Sesuai Kemampuan
Para ulama memberikan kaedah, Kewajiban itu berkaitan dengan kemampuan. Sebagaimana kata
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu Al Fatawa (3: 312),



Kewajiban yang mengenai individu itu bertingkat sesuai pada kemampuan, tingkat marifah
(pengenalan) dan kebutuhan

Kaedah di atas didukung oleh dalil-dalil berikut ini.

Allah Taala berfirman,





Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al Baqarah:
286).



Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya,
mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya (QS. Al Arof: 42).



Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al Hajj: 78).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Dan apa yang diperintahkan bagi kalian, maka lakukanlah semampu kalian (HR. Bukhari no. 7288
dan Muslim no. 1337).
Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu anhu, ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,




Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika
tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan
hatinya. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman (HR. Muslim no. 49).
Nasehat Ibnu Taimiyah





.



Setiap orang dari umat ini punya kewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai kemampuannya.
Jika sudah ada yang berdakwah, maka gugurlah kewajiban yang lain. Jika tidak mampu berdakwah,
maka tidak terkena kewajiban karena kewajiban dilihat dari kemampuan. Jika tidak ada yang
berdakwah padahal ada yang mampu, maka ia terkena kewajiban untuk berdakwah (Majmu Al
Fatawa, 15: 166).







Jika pelaku maksiat sudah semakin keras kepala dan tidak mau berubah menjadi baik, bahkan jadi
menyakiti orang yang melarang dari kemungkaran, maka gugurlah kewajiban mengingkari
kemungkaran dengan lisan dalam kondisi seperti ini. Namun tetap punya kewajiban mengingkari
kemungkaran dengan hati (Majmu Al Fatawa, 2: 110).



Siapa yang berada di negeri kafir dan ia telah merasa aman (untuk menjaga agamanya, pen),
namun ia sulit untuk berhijrah (ke negeri Islam), maka tidak wajib baginya melakukan hal yang ia
tidak mampu. Yang ia mampu saja yang ia lakukan (Minhajus Sunnah, 5: 122).

Ada pula faedah dari perkataan Ibnu Taimiyah di mana kita boleh saja mengakhirkan suatu
penjelasan pada umat kala mereka belum bisa menerima di awal-awal dakwah. Kata
beliau rahimahullah,





Suatu penjelasan dan dakwah pada suatu masalah bisa saja diakhirkan hingga waktu yang
memungkinkan sebagaimana Allah subhanahu wa taala mengakhirkan turunnya ayat dan penjelasan
hukum hingga waktu yang memungkinkan saat Rasul bisa menerima dan bisa menjelaskannya
(Majmu Al Fatawa, 20: 59).

Semoga dengan sedikit penjelasan ini semakin menyemangati kita untuk berdakwah sesuai
kemampuan kita. Semoga dengan mengenal keutamaan dakwah berikut ini kita semakin
bersemangat.

Dari Abu Masud Uqbah bin Amir Al Anshari radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,



Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala
orang yang mengerjakannya (HR. Muslim no. 1893). Bahkan pahala orang yang didakwahi tidak
berkurang sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,





Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala
orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga (HR. Muslim no.
2674).
Dari Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,


,



Sesungguhnya para malaikat, serta semua penduduk langit-langit dan bumi, sampai semut-semut di
sarangnya, mereka semua bershalawat (mendoakan dan memintakan ampun) atas orang yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR. Tirmidzi no. 2685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).[1]
Wa billahit taufiq was sadaad.

Diselesaikan @ Makkah Al Mukarromahm, KSA, Kamis, 27 Jumadal Ula 1433 H

www.rumaysho.com

[1] Tulisan di atas terinspirasi dari buku Qowaid wa Dhowabith Fiqh Ad Dawah inda Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1430 H, hal. 130-136.

Sumber : https://rumaysho.com/2389-berdakwahlah-sesuai-kemampuan.html

Kewajiban Berdakwah Atas Setiap


Muslim
Senin, 18 Juli 2016 - 09:30 WIB

Siapa melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya
dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya
ILUSTRASI

Ustad Mawardi degan medan dakwah yang berat

Terkait

MUI Terbitkan Pedoman Dakwah, Ini 4 Terobosannya


Jangan Mengucap Ya Allah Ketika dalam Kondisi Tertekan Saja
Dewan Dakwah Kirim 100 Dai Ramadhan ke Pedalaman
Pemimpin Kafir dan Bukti Kadar Keimanan
MELAKSANAKAN tugas dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Setiap pribadi muslim yang telah baligh dan berakal, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kewajiban untuk mengemban tugas dakwah. Setiap
individu dari umat Islam dianggap sebagai penyambung tugas
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam untuk menyampaikan dakwah.
Berdakwah adalah tugas mulia dalam pandangan Allah Subhanahu Wataala,
sehingga dengan dakwah tersebut Allah menyematkan predikat khoiru
ummah (sebaik-baik umat) kepada umat Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassallam.




Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. (QS: Ali Imron 110)
Di dalam ayat ini terkandung dua hal; pertama, mulianya umat Islam adalah
dengan dakwah. Kedua, tegak dan eksisnya umat Islam adalah dengan
menjalankan konsep amar maruf nahi munkar.
Apapun profesi dan pekerjaan seorang muslim, tugas dakwah tidak boleh dia
tinggalkan. Setiap muslim berkewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa dakwah adalah jalan hidup seorang mukmin yang
senantiasa mewarnai setiap perilaku dan aktifitasnya.






Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (QS:Yusuf : 108)
Dalam ayat diatas, seorang mukmin mengikuti tuntunan Rasulullah atas dasar
bashirah yaitu ilmu dan keyakinan. Ini artinya dakwah merupakan tuntutan
iman, yang jika seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah berarti ada
masalah dengan keimanannya.
Tentang ayat ini Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya; Allah berkata
kepada Rasulnya agar memberitahu umat manusia bahwa ini adalah
jalannya, tempat berpijak dan sunnahnya, yaitu mendakwahkan tauhid bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan menyeru kepada
Allah diatas ilmu dan keyakinan.
Apakah dakwah hanya kewajiban para ulama dan muballigh saja? Jawabnya
tentu tidak, karena dakwah adalah kewajiban atas setiap individu muslim
dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Adapun para ulama
denagn keilmuan yang dimiliki bertugas menyampaikan dan menjelaskan
secara rinci tentang hukum-hukum dan permasalahan seputar agama.
Di dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassallam memerintahkan setiap muslim untuk menghilangkan kemungkaran
sesuai dengan kemampuannya;

,
,
Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia
merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan
lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah
selemah-lemah iman. (HR. Muslim).*/Imron Mahmud
Rep: Admin Hidcom
Editor:
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom
untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik: dai, dakwah, islam, kemunkaran, mubaligh, nahi munkar

TUGAS DAKWAH

TUGAS DAKWAH
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari
Mengajak manusia menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya
menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah merupakan perkataan yang paling
baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:




Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri. [Fushshilat:33].
Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai
kemuliaan bahwa para dai mengemban tugas para nabi. Allah Azza wa Jalla memerintahkan
RasulNya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:



Katakanlah: Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik. [Yusuf:108].
Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti
Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini merupakan syarat diterimanya
ibadah.
IKHLAS DALAM DAKWAH
Seorang dai harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata
mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan
fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara,
atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas)
untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no.
52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].
Oleh karena itulah, Allah k memerintahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengatakan,
bahwa Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an
kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:


Katakanlah: Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur`an). Al Qur`an
itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. [Al Anam : 90].
Karena, jika Beliau Shallallahu alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan
umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi t berkata di
dalam tafsirnya: Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku
dan dakwahku kepada kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah
upahku, kecuali atas tanggungan Allah. [Taisir Karimir Rahman, surat Al Anam : 90].
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla berfirman:

Ataukah engkau meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang. [Ath
Thur : 40].
Dakwah dengan tanpa meminta upah, itu merupakan bukti kebenaran dakwah tersebut. Allah
Azza wa Jalla mengisahkan tiga rasulNya yang diutus bersama-sama, kemudian semuanya
diingkari oleh kaum mereka. Selanjutnya:


Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota dengan bersegera, ia berkata: Hai kaumku
ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak meminta upah (balasan) kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. [Yasin : 20-21].
Nabi-nabi zaman dahulu juga tidak meminta upah kepada kaum mereka. Allah Azza wa Jalla
memberitakan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, Nabi Syuaib -alaihimus
salam- berkata kepada kaumnya masing-masing:


Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Rabb semesta alam. [Asy Syuara ayat 109, 127, 145, 164, 180].
Maka fenomena pada zaman ini, yang sebagian mubaligh membuat tarif untuk tablighnya,
merupakan perkara yang menyelisihi syariat. Sebagian ada yang memasang tarif untuk
berceramah di kota yang dekat dengan Rp. 500.000,00 setiap jamnya. Jika bersama group
musiknya (rebana!) tarifnya meningkat menjadi 1.500.000,00. Semakin jauh tempat yang dituju
untuk berceramah, semakin tinggi pula tarifnya!
Seandainya yang disampaikan oleh para mubaligh itu merupakan kebenaran, maka memasang
tarif dalam dakwah itu merupakan kesalahan, apalagi jika yang disampaikan di dalam ceramah-
ceramah itu ternyata dongeng-dongeng, lelucon-lelucon dan nyanyian-nyanyian yang dibumbui
dengan nasihat-nasihat agama, maka itu merupakan kemungkaran, walaupun dinamakan
dengan nama yang indah. Karena hal itu bertentangan dengan jalan para nabi dalam
berdakwah.
Namun, jika seseorang berdakwah dengan benar dan ikhlas, kemudian dia diberi harta,
sedangkan dia tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, tujuannya hanyalah berdakwah,
baik dia mendapatkan harta itu atau tidak, maka insya Allah- menerimanya tidak mengapa.
Umar Radhiyallahu anhu berkata :
















Dahulu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku, kemudian
aku mengatakan: Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku, maka Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini,
sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka
ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!
[HR Bukhari, no. 14734].
Dengan demikian maka sepantasnya seorang dai juga memiliki pekerjaan dan usaha untuk
mencukupi kebutuhannya, sehingga dia tidak menggantungkan kepada umat. Karena
sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang ialah hasil keringatnya sendiri.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:






Tidaklah seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih baik daripada dia makan dari
pekerjaan tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, dia makan dari
pekerjaan tangannya [HR Bukhari, no. 2072].
Selain ikhlas, di dalam berdakwah wajib mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Sehingga seseorang berdakwah berdasarkan ilmu, hikmah dan kesabaran. Tidak berdakwah
dengan bidah dan kemaksiatan. Karena memang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
merupakan panutan terbaik bagi umat Islam dalam segala perkara, termasuk di dalam
berdakwah menuju agama Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:



Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu (umat
Islam, yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (pahala) hari Kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].
DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum
dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah hukumnya wajib. Hal ini
berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di
dalam Al Qur`an.


Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang maruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. [Ali
Imran:104].






Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. [An Nahl:125].



Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah,
sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan
janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb. [Al
Qashshash:87].




Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [Ali Imran:110].
Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat
tentang kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.
Perbedaan pendapat ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza
wa Jalla surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa di dalam firman Allah ( dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, jadilah kamu
semua demikian, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah
firman Allah Taala:


Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb-mu
adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. [Maryam:71].
Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, tetapi ditujukan kepada
umat semuanya, masing-masing orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.
2). Bahwa di sini untuk menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang
menyuruh (kepada yang maruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama,
orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama itu).[2]
Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan: Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju
(agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan
sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang
lain yang melakukannya. Inilah urusan amar maruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar
(melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah,
mengajarkan iman dan Al Qur`an.[3]
Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: Para ulama
telah menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu
kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para dai tinggal padanya. Karena sesungguhnya
setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka hukumnya
adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah melakukan dakwah, kewajiban itu
gugur dari orang-orang yang lain. Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu
menjadi sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung.
[4]
Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ain, sesuai dengan
kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata:
Allah Taala berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan
perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang maruf
dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak
mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang
khusus, yakni para mujahidin dan ulama Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada
sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas
setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah
disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [5], dia berkata,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia
tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu
selemah-lemah iman.
Dalam satu riwayat disebutkan :


Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji sawi. [6]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :




Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar kamu memerintahkan yang
maruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar
Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-
sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi kamu.
Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini.
Tirmidzi mengatakan: Hasan.[7] Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat
yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Quranil
Azhim, surat Ali Imran ayat 104.
KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU AIN?
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ain sesuai dengan
kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ain dalam
keadaan-keadaan tertentu.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: Dan terkadang kewajiban
(dakwah) itu menjadi fardhu ain, jika engkau berada di suatu tempat yang di sana tidak ada
orang yang menunaikannya selainmu.[9]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan: Di saat sedikitnya dai, di saat banyaknya kemungkaran-
kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti keadaan kita hari ini, dakwah menjadi
fardhu ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya.
Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz
rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju
agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah? Hanya Allah tempat mohon
pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]
________
Footnote
[1]. Lihat Ad Dakwah Ila Allah, hlm. 115-116, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari.
[2]. Hukmul Intima, hlm. 132.
[3]. Majmu Fatawa (15/166).
[4]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Duat, hlm. 16, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz, Penerbit Darul Wathan.
[5]. Beginilah yang tertulis di dalam Tafsir Ibnu Katsir, namun yang benar ialah dari Abu Said Al
Khudri sebagaimana tersebut di dalam Shahih Muslim, no. 49, Pen.
[6]. Hadits ini bukan lafazh lain dari hadits di atas, tetapi hadits lain riwayat Muslim, no. 50, dari
Abdullah bin Masud, Pen.
[7]. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan, hadits ini berderajat hasan dengan seluruh penguatnya.
Lihat Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin (1/283), no. Hadits 193.
[8]. Yakni dakwah, amar maruf dan nahi munkar merupakan fardhu ain sesuai dengan
kemampuan setiap orang, Pen.
[9]. Wujubu Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Duat, hlm. 17, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz, Penerbit: Darul Wathan.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2713-tugas-dakwah.html

Anda mungkin juga menyukai