Pada hari yang mulia ini, khatib menyeru kepada jamaah sekalian wabil khusus kepada diri
khatib pribadi untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah
dengan semaksimal mungkin. Takwa dalam artian menjauhi segala larangan yang
ditetapkan Allah swt dan menjalankan perintah-Nya. Karena dengan sifat takwa, kita akan
diberi solusi oleh Allah di setiap problematika hidup yang kita alami, juga akan ada rezeki
melimpah yang datang kepada kita tanpa kita sangka-sangka.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Rabu kemarin tanggal 14 Februari 2024 bangsa Indonesia telah mengadakan pesta
demokrasi dengan memilih pemimpin bangsa kita, presiden dan wakil presiden Indonesia
untuk masa jabatan 2024-2029. Kita juga memilih para wakil kita di lembaga legislatif
dengan banyak kontestan yang ikut serta. Tentunya tidak setiap orang di antara kita
memiliki pilihan yang sama.
Setiap orang di negara kita memiliki hak untuk menentukan kepada siapa suaranya
berpihak. Entah itu paslon 01, 02 atau 03. Setiap kita pasti memiliki alasan masing-masing
mengapa memilih paslon capres-cawapres tersebut. Sudah menjadi kewajiban kita
sebagai makhluk yang ditakdirkan berbeda untuk menghormati pilihan orang lain.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Islam memandang perbedaan sebagai rahmat dari Allah ta’ala agar kita semua saling
memahami karakter satu sama lain. Perbedaan ini tercermin dalam setiap pendapat dan
pilihan berbeda antar tiap-tiap individu, termasuk dalam menentukan pemimpin bangsa
kita dalam pemilu kemarin.
Baca Juga
Artinya: “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah, dan saling
memutuskan hubungan. Janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang
lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak
mendustakannya dan tidak menghinanya.” (HR Muslim).
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Dalam hal perbedaan yang diiringi dengan perdamaian, kita dapat meniru kisah antara
sayyidah Aisyah dengan sayyidina Ali, di kala keduanya berbeda dalam urusan politik.
Kisah ini diceritakan dalam buku ensiklopedia Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha
yang ditulis secara komprehensif oleh Syekh Alawi bin Abdil Qadir Assegaf.
Sebagaimana yang kita ketahui, pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, umat Islam terbelah
menjadi dua golongan, khususnya ketika di akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan
hingga terbunuhnya beliau dan digantikan oleh Ali.
Ali bin Abi Thalib yang sebelumnya berperan sebagai penengah antara pemberontak dan
Utsman, akhirnya dengan terpaksa dipilih sebagai khalifah oleh penduduk Madinah,
meskipun awalnya menolak. Pengangkatan Ali menimbulkan ketidakpuasan pada diri
sayyidah Aisyah, yang kala itu berada di Makkah.
Menurut sayyidah Aisyah, seharusnya pembunuh khalifah Utsman ditemukan dan diadili
dahulu, barulah Ali dipilih oleh masyarakat dalam kondisi damai dan tenang. Pendapat
Aisyah ini berbeda dengan masyarakat Madinah yang menimbang kepemimpinan tidak
boleh kosong dan harus tetap berjalan.
Sejak saat itu hubungan keduanya agak bersinggungan dalam perihal pandangan politik
hingga sayyidah Aisyah menuntut agar kasus pembunuhan Utsman dituntaskan hingga
kian hari keadaan antara pendukung sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah kian memanas dan
terjadilah peristiwa Perang Jamal atau Perang Unta.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Kendati keduanya pernah terlibat dalam perbedaan politik, akan tetapi pada hakikatnya
sayyidah Aisyah dan sayyidina Ali tidak ingin berperang, bermusuhan, apalagi saling
mencaci. Keadaan dan kondisi politiklah yang membuat keduanya terpaksa berbeda dalam
menentukan langkah, ditambah oleh dorongan pengikut mereka.
Bahkan diriwayatkan dalam Tarikh ath-Thabari dikisahkan keduanya pernah saling bertemu
di kala kondisi politik memanas dan Ali menyapa serta menanyakan kabarnya, “Wahai
Ummul Mu’minin, bagaimana kabar Anda?”
“Baik, Alhamdulillah.” Jawab ‘Aisyah
“Semoga Allah senantiasa mengampuni Engkau.” Ujar Ali mendoakan sayyidah Aisyah.
Selain itu, diceritakan pula dalam Tarikhul Madinah karya Ibnu Syabah bahwa sayyidah
Aisyah tidak pernah sama sekali ingin memakzulkan kepemimpinan Ali. Beliau murni hanya
ingin keadilan ditegakkan dan pelaku Utsman ditemukan.
Sayyidah Aisyah juga sangat objektif dan tidak emosional dalam bersikap pasca selesainya
peristiwa besar itu. Tatkala Syuraih bin Hani` datang kepada sayyidah Aisyah untuk
menanyakan bagaimana tatacara mengusap khuf atau sepatu, sayyidah Aisyah
merekomendasikan Syuraih agar bertanya kepada sayyidina Ali yang cukup mapan dalam
mengetahui praktik penyuciannya.
Begitupun dengan sayyidina Ali, dalam pandangan serta akal sehatnya ia pernah
menyebutkan, “Andai saja seorang perempuan dapat diangkat menjadi khalifah, maka yang
pantas menduduki jabatan tersebut tentu saja Aisyah.” (‘Alawy bin ‘Abdil Qadir, dkk, Aisyah
Ummul Mu’minin, [Saudi: Muassasash ad-Durar as-Saniyyah, 2013], hal. 281) .
Dari kisah ini, kita dapat melihat bagaimana keduanya tetap rukun, saling memuji dan
menjaga objektivitas meski memiliki pandangan politik yang berbeda. Kerukunan
antarkeduanya dapat kita jadikan teladan dan contoh dalam pesta demokrasi tahun ini.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,
Demikianlah kisah antara sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah serta penjelasan terkait
kerukunan yang harus dipelihara di kala setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-
beda. Semoga kita dapat menjaga kedamaian dan bangsa Indonesia seluruhnya selalu
berada dalam ketenangan, kemakmuran serta kemaslahatan.
َأ ُق ْو ُل َق ْو َهَذ ا َفأ ْسَتْغِفُر اللَه الَعِظْي َم َّن ُه. َب اَر َك الله َو َل ُكْم ْا لُقْر آ ْا لَعِظْي َو َنَفَع َو َّي اُكْم َما ْيِه ْن آ َي ِة َو ْك اْلَحِكْي
ِإ ِل ي ِم ِذ ِر ِب ِف ِم ِم ِن ي ِإ ِن ِفي ِلي
ُهَو الَغُفْو ُر الَّر ِح ْي م
Khutbah II
َو َأ ْش َهُد أ َّن َسِّيَد َن ا ُم َحَّمًد ا َعْبُد ُه َو َر ُسْو ُل ُه، َأ ْش َهُد أ ْن لآ إ َل َه َّلا اللُه َو ْح َد ُه َلا َش ي َك َل ُه. اْلَحْم ُد ِلَّلِه َو اْلَحْم ُد ِلَّلِه ُث َّم اْلَحْم ُد ِلَّلِه
ِر ِإ
َل َت ْص َأ َأ َل َن ُم َّم َل َّل َل َن َد َا
لَّلُهَّم َص ِّل َو َس ِّل ْم َع ى ِبِّي َنا َح ٍد َو َع ى ِلِه َو َح اِب ِه َو َم ْن ِبَع ُهْم ِب ِإ ْح َس اٍن ِإ ى َيْو ِم الِقَياَم ِة. ا ِذ ْي ا ِب ّي بع ُه.
ْد َف َز ُم ْو َن َل ُه َل َّن َه َو َم َل َك ُه َص ْو َن َع َل ُأ ُّي َأ َّم ُد َف َأ
ِإ الل اِئ َت ُي ُّل ى: َفَقا الل َتَعا ى. ِصْيُك َنْفِس ِب َتْق ى اللِه َفَق ا اْل َّتُق َو ْي َو ْم ْو ُسا َبْع َيا َها الَّنا
اللُهَّم اْغِفْر ْل ُمْؤ ِنْي َن. َا لَّلُهَّم َص َع َل َسِّيَد َن ا ُم َحَّم َو َع َل َأ َسِّيَد َن ا ُم َحَّم. ٰي َأ ُّي ها اَّل ْيَن آ َم ُنْو ا َص ُّلْو ا َع َل ْي َو َس ُمْو ا َتْس ْيًم ا، الَّن
ِل ِم ٍد ٍد ى ِل ِّل ى ِل ِه ِّل ِذ ِب ِّي
َل َا َا َأ ْل
ْا
اللُهَّم اْد َفْع َعَّنا لَبل َء َو لَو َب اَء َو الَّز ل َو لِمَحَن َو ُسْو َء. ْح ياِء ِم ْن ُهْم َو ل ْمَو اِت، َو ْا لُمْؤ ِم َناِت َو لُم ْس ِل ِم ْي َن َو لُم ْس ِل َم اِت
ْا َا ْا ْا َا ْا ْا
ِز
ْا لِفَت َو ْا لِمَحَن َم ا َظ َهَر ْن َها َو َم ا َبَطَن َعْن َب َل َن ا ْنُد و ْي ِسَّيا خ آ َّص ًة َو َس ا ْا لُبْل َد ا ْا لُم ْس ْي َن عاَّم ًة َي ا َر َّب لَعا ِم ْي َن
َل ْا
ِل ِم ِن ِئِر ِد ِإ ِن ِم ِن
َن َ ى ة َس ف لا َب َل لِ ْر ا ْج ا ا ّت ًَّح ح ا ا
َُربَ َّ نَ ا ِتآ انَ ىِ دُّ نْيَح ا نََة ً َوِف الْ خآ ِر ِ َح َس َن ة ً َوِق الا ّل ه. مّأ َرََنِ ا ْل قَّ قَ َوْرازُْق ناَ بَِاعُهَ و ََأِر ناَ ْل اطِ ب َطا ً ا واَ زُْق ناَ ِتنَاَب ُه
َو َا ْلَحْم ُد ّٰل َر اْلٰعَل ْي َن. َع َذ اَب الَّنا
ِم ِل ِه ِّب ِر
ْأ
ْا لَفْحش اِء َو ْا لُم ْنَك َو ْا لَبْغ َيِعُظُكْم َلَعَّل ُكْم َو َي َه ِإ َّن اللَه َي ُم ُر ْا لَعْد َو ْا ل ْح َس اِن َو ْي تاِء ِذ ْا لُقْر َى، ٍعَباَد اللِه
ِي ِر ْن ى َعِن ي ب ِإ ِب ِل ِإ
َأ ْذ ُك َت َذ َّك َن ْذُك
ْك ُر اللِه ْكَب ْر َل ْد
َو ِذ، َيِز ُكْم
ُك ْا
َو اْش ُر ْو ُه َع لَى ِنَعِم ِه، َو ا ُر وا اللَه لَعِظْي َم َي ْرُكْم، ُر ْو
Terpopuler
Hikmah
Kitab Nurul Lam’ah fi Khasais Yaumil Jum’ah, Ringkasan Keistimewaan Hari Jumat