Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH STUDI ISLAM

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Studi Islam

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Asep Usman Ismail M.Ag.

Disusun oleh:

Ridwan Ibrahim 11190380000013

M. Muchtar coiruddin Murjaly 11190380000018

Alfiyah 11170360000012

Ulfah Nur Fuadatul Azkiah 11170360000026

PROGRAM STUDI ILMU TASAWUF

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫السالم عليكم ورحمة هللا و بركاته‬

            Puji syukur Alhamdulillah, Penulis panjatkan puji syukur kepada Allah Swt. karena
atas nikmat, hidayah, dan ma’unah-Nya, penulis dapat membuat makalah ini sesuai waktu
yang ditentukan. Tidak lupa shalawat serta salam semoga Allah tetap curah limpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, sampai kepada kita
selaku umatnya.

            Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Asep Usman Ismail, M.
Ag, selaku dosen mata kuliah Studi Islam, serta kepada teman-teman semuanya yang telah
mensuport baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama”.

            Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kesalahan,
baik penulisan maupun isinya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk memperbaiki makalah kedepannya.

            Akhir kata, penulis berharap semoga adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya  dan bagi pembaca pada umumnya.

‫و السالم عليكم ورحمة هللا و بركاته‬

Tangerang, 7 September 2020


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling Sempurna, Manusia sebagai makhluk
hidup Tuhan seperti makhluk-makhluk hidup yang lainnya juga. Dalam fungsinya sebagai
makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya,
misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan sebagainya, sedangkan secara
sosial manusia memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan
berinteraksi dengan masyarakat, makhluk lain dalam lingkungannya.
H. Moenawar Chalil, mendefinisiskan agama adalah cara atau adat
kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh,menuggalkan ketuhanan,
pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, sedangkan Prof. Dr. M. Driyarkarsa,
SJ mendefinisikan agama dengan mengganti istilash agama degan religi, religi
adalah ikatan atau pengikatan diri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Fitrah Manusia?
2. Bagaimana Hakikat Manusia itu?
3. Bagaimana Membangun Karakter Manusia menurut Para sufi?
4. Apa Keistimewaan dan Kelemahan Manusia?
5. Bagaimana Esensi Manusia Sebagai Mahluk Beragama?
6. Bagaimana Tanggung Jawab Manusia Dalam Mewujudkan Kehidupan
Agama?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup Tuhan seperti makhluk-makhluk hidup yang lainnya,
manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna sebagaimana firman Allah :

‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ٱإْل ِ ن ٰ َسنَ فِ ٓى أَحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬


Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik baiknya. Sebagai makhluk yang terbaik manusia memiliki dua fungsi yaitu
individu dan sosial.

Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk


memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan
sebagainya, sedangkan secara sosial manusia memerankan fungsinya sebagai
makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat, makhluk lain dalam
lingkungannya.
Allah Berfirman :

ؕ‌ۡ‫ارفُ ۡوا‌ؕ اِنَّ اَ ۡك َر َم ُكمۡ عِ ۡن دَ هّٰللا ِ اَ ۡت ٰقٮ ُكم‬ ُ ۡ‫يااَ ُّي َها ال َّناسُ ِا َّنا َخلَ ۡق ٰن ُكمۡ م ِّۡن َذ َك ٍر َّوا ُۡن ٰثى َو َج َع ۡل ٰن ُكم‬
َ ‫ش ع ُۡوبًا َّو َق َبٓا ِِٕٕٮ َل لِ َت َع‬
‫اِنَّ هّٰللا َ َعل ِۡي ٌم َخ ِب ۡي ٌر‬

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.1

Manusia lahir tanpa sesuatu sehingga tidak tahu akan sesuatu, kemudian
oleh Allah manusia diberikan panca indera, akal, hati, nafsu, dan ruh sebagai
potensi. Sebagaiman yang difirmankan dalam Al-quran.

1
Al- Hujrat 13
َ ٰ ‫ا َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل َّس ْم َع َوٱأْل َ ْب‬pvًٔ‫ون أُ َّم ٰهَتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُمونَ َش ْئـ‬
َ‫ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬pِِٔ‫ص َر َوٱأْل َ ْفٔـ‬ ِ ُ‫َوٱهَّلل ُ أَ ْخ َر َج ُكم ِّم ۢن بُط‬
Arti: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
2
.dan hati, agar kamu bersyukur
Dengan potensi tersebut manusia sedikit demi sedikit mengetahui
sesuatu, namun dengan keterbatasan akalnya manusia mempunyai kecenderungan
untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada di
dalam benaknya, akan tetapi semua keinginannya banyak yang tidak terjawab.
Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia gelisah dan kemudian
mencari pelampiasan dengan timbulnya tindakan-tindakan inrasionalitas.
Munculnya pemujaan terhadap benda merupakan butki adanya keingintahuan
manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
Rasa takut terhadap sesuatu itu menjadikan manusia memerlukan suatu aturan
atau pedoman yang bisa menjawab pertanyaan dan kegelisahan, dan ternyata
aturan dan pedoman yang dapat menjawab itu adalah agama.

2. Hakikat Manusia
manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang bukan tercipta secara
kebetulan. manusia digambarkan dengan menggunakan berbagai pensifatan: mulai
dari makhluk terbaik dan mulia, berakal dan kreatif, sehingga makhluk lemah tetapi
sombong, serta ceroboh sekaligus juga bodoh.3
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia adalah perkaitan antara hukum
badan dan ruh. badan dan ruh merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak
tergantung adanya oleh orang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua
substansi adalah substansi alam. sedang alam adalah makhluk. maka keduanya juga
makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, sebagaiamana firman-Nya:

َ‫ ثُ َّم َخلَ ۡقنَا النُّ ۡطفَة‬13 ‫ار َّم ِك ۡي ٍن‬ pٍ ‫ ثُ َّم َج َع ۡل ٰنهُ نُ ۡطفَةً فِ ۡى قَ َر‬12 ‫َولَقَ ۡد خَ لَ ۡقنَا ااۡل ِ ۡن َسانَ ِم ۡن س ُٰللَ ٍة ِّم ۡن ِط ۡي ِن‬
ؕ ‫َر‬‌َ ‫ض َغةَ ِع ٰظ ًما فَ َك َس ۡونَا ۡال ِع ٰظ َم لَ ۡح ًما ثُ َّم اَ ۡن َش ۡا ٰنهُ خَ ۡلقًا ٰاخ‬
ۡ ‫ض َغةً فَخَ لَ ۡقنَا ۡال ُم‬
ۡ ‫َعلَقَةً فَ َخلَ ۡقنَا ۡال َعلَقَةَ ُم‬
14 ‫سنُ ۡال ٰخلِقِ ۡي‬
َ ‫ك هللاُ اَ ۡح‬ َ ‫فَتَ ٰب‬
َ ‫ـر‬

2
QS An-nahl : 78
3
Siswanto, pendidikan Islam dalam perspektifnya Filosofi (Malang, Keben perdana, 2013), h. 16
artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang
melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang
(berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.4

kemudian Nabi Muhammad SAW mengulas ayat suci tersebut dengan sabda-
Nya yang artinya: sesungguhnya seseorang terkumpul kejadiannya dalam perut
ibunya empat puluh hari berupa mani, kemudian berupa segumpalan darah
selama itu juga, kemudian berupa segumpalan darah selama itu juga, kemudian
Allah SWT mengutus Malaikat yang diperintah mencatat empat kalimat dan
perintah: tulislah amalnya, tulislah rezekinya, tulislah ajalnya, dan nasib baik atau
sial (celaka), kemudian ditiup ruh kepadanya (HR.Bukhri). 5

bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besar, dapat dilihat dari
kedudukan yang ditempatinya. untuk mengetahui hal itu, perlu dirujuk kepada
penamaan yang disandangnya. demikian pula akan halnya manusia. peran ini
dapat dirujuk antara lain dari berbagai sebutan yang diberikan kepada manusia.
selaku makhluk ciptaan, manusia dianugerahipencipta-Nya dengan sejumlah
nama atau sebutan.6

setidaknya ada empat kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan


makna manusia, al-basar, al-insan, al-nas, dan bani Adam. meskipun kata tersebut
menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan
pengertian yang berbeda.7 perbedaan berikut dapat dilihat pada uraian berikut:

a. Al-Basyar
kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 36 kali dan
tersebar dalam 26 surah. secara etimologi, al-Basyar berarti kulit dan kepala,
wajah atau tubuh yang menjadi yang menjadi tempat tumbuhnya rambut.
menurut Quraish Shihab. kata Al-Basyar terambil dari akar kata yang pada

4
Q.s Al-mu’minum/12:14
5
muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara hadis shohih Bukhari Muslim (surabaya:PT Bina Ilmu,2005), h.944.
6
Jalaludin, Teologi pendidikan, (Jakarta:PT RajaFarindo Persada,2003),h. 19.
7
Siswanto , pendidikan Islam,h.17.
mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. dari akar kata
yang sama lahir kata al-Basyarah yang berarti kulit. manusia dinamai Basyar
karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang.dibagian lain
dari Al-Quran disebutkan bahwa kata basyar digunakan untuk menunjukkan
proses kejadian mansuai sebagai basyar melalui tahap-tahap hingga mencapai
kedewasaan.8
berdasarkan konsep al-Basyar, manusia tidak jauh bebeda dengan
makhluk biologis lainnya. dengan demikian kehidupan manusia terikat
dengan kepada kaidah prinsip kehiduoan biologis seperti berkembangbiak,
mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat
kematangan dan kedewasaan. manusia memerlukan makanan dan minuman
untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses
pelanjut keturunannya. 13 sebagai makhluk biologis, manusia juga mengalami
proses akhir secara fisik, yaitu mati. mati merupakan tahap akhir dari proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.
b. Al-Insan
Islam sebagai agama samawi paling belakangan muncul juga
menawarkan pandangan tentang manusia. manusia dalam bahasa Arab disebut
Al-nas atau al-insan. kata a;-insan dalam al-Quran disebut sebanyak 60 kali.
kata al-insan bersal dari kata al-uns yang berarti jinak, humoris, dan tampak.
dalm al-Quran al-insan sering juga dihadapkan dengan kata jin atau jan, yaitu
makhluk yang tidak tampak. kata al-insan dalam Alquran digunakan juga
menunjukkan manusia sebagai totalitass (jiwa dan raga). potensi tersebut
antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik dan
secara mental spiritual.9
perkembangan tersebut antara lain, meliputi kemampuan untuk
berbicara. menguasai ilmu pengetahuan melalaui proses tertentu, dengan
mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak
diketahui. kemampuan untuk mengenal tuhan atas dasar perjanjian awal di
dalam ruh, dalam bentuk kesaksian. 18 potensi untuk mengembangkan diri
bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insanimya.
8
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas perlbagai persoalan Umat,
(Bandung:Mizan,1996),h. 275
9
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani,Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia
(Bandung :PT Remaja Rosdakarya,2012),h.20-21.
integritas ini akan tergambar pada nilai iman dan bentuk amaliyahnya. dengn
kemampuan ini, manusia akan mampu mengemban amanah allah dimuka
bumi secara utuh. namun demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan
nilai insaniyah yang dimilikinya dengan berbuat kerusakan dibumi.
c. al-naas
kata al-nas dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 240 kali dan tersebar
dalam 53 surah. kata al-nas menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk
sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya.
dilihat dari kandungan maknanya, kata ini lebih bersifat umum dibandingkan
dengan kata al-insan.10
Dalam al-quran, kosa kata al-nas umumnya dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. manusia diciptakan sebagai makhluk
bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita., kemudian
berkembang menjadi suku bangsa untuk saling mengenal.21 kata al-nas juga
di jelaskan oleh Allah SWT untuk menunjukkan kepada manusia bahwa ada
sebagian yang beriman dan ada juga yang munafik.
d. bani adam
Dalam al-quran, kata bani adam dijumpai sebanyak 7 kali dan tersebar
dalam 3 surat. secara etimologi kata bani adam menunjukkan arti arti pada
keturunan Nabi Adam.11 namun yang jelas, menurut al-quran pada hakikatnya
adalah manusia berasal dari nene moyang yang sama, yajni Adam dan Hawa.
bersadarkan asal-usul yang sama, berarti manusia masih memiliki hubungan
darah, serta pertalian kekerabatan. dari ras manapun dia berasal. atas
kesamaan ini sudah semestinya manusia mampu menempatkan dirinyadalam
komunitas persaudaraan umat sejagat. persaudaraan antar sesama manusia
dengan merujuk kepada kesamaan asal-usul dan keturunan.12
Dalam konteks ayat-ayat al-quran yang mengandung bani adam,
manusia diingatkan oleh Allah SWT agar tidak tergoda oleh setan, menyuruh
manusia memakai pakaian yang berlebihan ketika beribadah dan mencegah
dari makan minum berlebihan, bertakwa, dan mengadakan perbaikan,

10
Siswanto , pendidikan Islam,h.21.
11
Novam Ardy Wyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter (Bandung: Alfabeta,20130,H.14.
12
Jalaludin Filsafat pendidikan Islam Telaah Dan Pemikirannya (Jakarta:Kalam Mulia,2011),82.
kesaksian manusia terhadap terhadap tuhan-Nya , dan terakhir peringatan agar
manusia menyadari bahwa setann itu merupakan musuh nyata.
3. Pengertian Agama
Agama dalam Bahasa Arab “ Addin” yang artinya kepatuhan, kekuasaan,
kecenderungan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan selamat. Agama bisa juga berasal
dari Bahasa Sangskerta gabungan “A” yang artinya tidak dan “ Gama” artinya kacau.
Agama juga merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris “Religion” atau religi yang
artinya kepercayaan dan penyembahan Tuhan.13
Apabila agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur
dalamya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta adalah
sebagai berikut :
H. Moenawar Chalil, mendefinisiskan agama adalah cara atau adat kebiasaan,
peraturan, undang-undang, taat atau patuh,menuggalkan ketuhanan, pembalasan,
perhitungan, hari kiamat, nasihat, sedangkan Prof. Dr. M. Driyarkarsa, SJ
mendefinisikan agama dengan mengganti istilash agama degan religi, religi adalah
ikatan atau pengikatan diri. 14
Dilihat dari aspek keduniawian, atau lebih tepat lagi dalam kehidupan
masyarakat, agama merupakan sumber nilai dari kekuatan mobolisasi yang sering
menimbulkan konflik dalam sejarah umat manusia.
Selanjutnya, dengan banyaknya definisi tentang agama yang dikekmukakan
oleh para ahli, seorang tokoh rasionalis Harun Nsution mengatakan bahwa agama
dapat diberi definisi sebagai berikut: 15
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia denga kekuatan ghaib yang
harus diaptuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia.
3. Mengingatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-
perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu system tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib.

13
(Aminuddin dkk, 2005, 12).
14
(Amiruddin dkk,2005, 35).
15
Abuddin Nata, 2005, 13
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber
pada suatu kekuatan ghaib.
7. Pemujaan kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia memalui seorang Rasul.

4. Perlunya Manusia Terhadap Agama


Secara naluriayah dan alamiah manusia mengakui bahwa ada kekuatan dalam
kehidupan ini diluar dirinya, dalam hal ini dapat dilihtat ketika manusia mengalami
kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan meminta
pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari
keadaan itu. Naluriyah ini membuktikan bahwa manusia perlu Bergama dan
membutuhkan Sang Khaliknya. Adapun latar belakang manusia membutuhkan
agama:16
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam kenyataannya bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan hal ini
ditegaskan dalam ajaran islam, bahwa agama itu adalah menjadi kebutuhan
fitrah manusia yang utama.
Bahwa setia anak yang dilahirkan memiliki potensi beragama, maka
kedua orangtuanyalah yang bertanggungjawab menjadikan anak tersebut
menjadi nasrani, yahudi, islam , keristen, hindu, maupun budha.
Dari Abu Hurairah z berkata, Rasulullah n telah bersabda:

َ ‫ َرانِ ِه أَوْ يُ َم‬p‫َص‬


‫ا تُ ْنتِ ُج‬p‫ َك َم‬،‫انِ ِه‬p‫جِّس‬ ْ ِ‫َما ِم ْن َم ُولُو ٍد إِالَّ يُوْ لَ ُد عَل َى ْالف‬
ِّ ‫ ِه أَوْ يُن‬pِ‫أَبَ َواهُ يُهَ ِّودَان‬pَ‫ ف‬،‫ َر ِة‬p‫ط‬
‫ْالبَ ِه ْي َمةُ بَ ِه ْي َمةً َج ْم َعا َء هَلْ تُ ِحسُّونَ فِ ْيهَا ِم ْن َج ْدعَا َء؟‬

“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna,
apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”

Hal ini terbukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi
agama yaitu dimana para manusia primitive, mereka tidak pernah mendapat

16
Abuddin Nata, 2005, 16
informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka dapat mempercayai adanya
Tuhan, meskipun yang mereka percayai itu masih terbatas pada khayalan.

Begitu juga dalam diri manusia sudah terdapat potensi beragama.


Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengambangan
dengan cara mengenalkan agama kepadanya.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia

Memang dalam diri manusia memiliki berbagai kesempurnaan, tetapi


dalam diri manusia juga memiliki kekurangan. Dalam pandangan islam sesuai
firman Allah dalam Al-quran, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan
sempurna, namun diperoleh pula manusia berpotensi positf dan negative,
sedangkan daya tarik kebutuhan lebih kuat dari pada kebaikan.

Terdapat sifat-sifat keburukan yang ada pada diri manusia antara lain
sombong, inkar, iri, dan lain sebagainya. Karena itu manusia dituntut untuk
menjaga kesuciannya, hal yang dapat dilakukan utnuk menjaga kesuciannya
dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama dan
disinilah letak kebutuhan manusia terhadap agama.

5. Esensi Manusia Beragama

Pada hakikatnya, setiap manusia diberkahi dengan akal yang membuatnya


mampu untuk mempertanyakan, menganalisa, dan mempelajari berbagai hal yang
terjadi di sekelilingnya. Agama-agama setelah Nabi Ibrahim, termasuk Islam, begitu
menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir dan menghadapi
berbagai kejadian dan persoalan hidup. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat yang
menekankan pentingnya mempergunakan akal untuk berpikir di dalam Al-Quran.

Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah "Iqra" yang
secara literal artinya membaca. Membaca merupakan kegiatan yang sangat berkaitan
dengan akal. Membaca disini mempunya makna lebih dari sekedar membaca tulisan,
apalagi mengingat Nabi Muhammad saat turunnya wahyu tidak bisa membaca
maupun menulis. Membaca disini, mempunyai arti yang lebih luas, yakni merasakan
dan memikirkan sehingga manusia mampu memaknai berbagai hal yang terjadi di
sekelilingnya dengan mempergunakan segenap indra yang dimiliki.

Dalam konsep keagamaan, tubuh manusia tak ayal seperti sebuah 'kendaraan'
bagi 'ruh' untuk melakukan perjalanan. Tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai
indra yang memungkinkan manusia untuk merasakan sakit dan nikmat - secara fisik,
mental, maupun emosional.

Menariknya, kehadiran fisik yang menjadi 'kendaraan' untuk melalui


perjalanan 'ruh' ini pula lah yang menjadi ujian bagi manusia. Disinilah akal kemudian
berperan untuk kembali meluruskan fungsi utama tubuh sebagai 'kendaraan' untuk
mencapai suatu tujuan dan bukan sebagai 'alat' untuk sekedar mengejar kenikmatan
duniawi semata

6. Tanggung Jawab Manusia Dalam Mewujudkan Kehidupan Beragama

Ada sebuah pertanyaan yang sangat penting untuk kita ajukan pada
masyarakat kita saat ini, mengenai peran dan fungsi agama ditengah kehidupan kita.
Sebagai masyarakat yang majemuk, bagaimana kita menempatkan agama, apakah
agama hanyalah sebuah kelompok yang memiliki keyakinan tertentu atau bagaimana
seharusnya kita mengartikan agama?

Kita harus jujur, agama sampai saat ini memiliki definisi yang masih sangat
kabur, tidak sinkron dengan realitas sosial yang terjadi di Masyarakat. Dalam
terjemahan bahasa Indonesia arti agama masih merujuk pada bahasa sansekerta , A-
Gama yang artinya tidak kacau. Kemudian apakah agama kemudian hanya kita
terjemahkan sebagai sesuatu yang tidak kacau?. Padahal realitas agama tidak hanya
sebatas itu, agama sebenarnya memiliki makna yang sangat luas, dalam kehidupan
beragama kita mendapati pembahasan mengenai nilai- nilai hidup, moral, etika dan
bahkan kemanusiaan yang utuh. Maka dari itu agama tidak bisa hanya kita maknai
sebagai sesuatu yang tidak kacau, pemaknaan seperti itu tidak hanya mempersulit
masyarakat untuk bisa memaknai arti agama dengan sebenar- benarnya , tapi juga
tentu mendangkalkan arti agama itu sendiri.
Lalu bagaimana seharusnya kita memaknai agama, pentingkah kita
meluruskan arti agama ? Agama dalam bahasa Arab adalah Din. Lalu masalahnya
adalah apakah arti Din tersebut ? apakah kita hanya akan memaknainya dengan
agama. ? . Tentu tidak, Din tentu memiliki makna khusus . Din sebenarnya berakar
dari kata Dain/ Dainun yang artinya adalah Hutang/ Tanggungan/ Tanggung jawab
yang harus dibayar atau dipenuhi . Jadi agama itu adalah sesuatu yang harus dipenuhi.

Pasti kita bertanya , mengapa agama adalah sesuatu yang harus kita penuhi ?
Sebab agama adalah realitas hidup, realitas diri kita, realitas alam. Jika kita tidak
memenuhi akan hak- hak agama maka kita pasti menafikkan realitas hidup ini.

Jika kita jabarkan, hak- hak agama adalah sebagai berikut :

1. Dalam hidup bersosial, kita seharusnya memenuhi tuntutan untuk beretika,


bermoral, dan memenuhi hak- hak hidup.

2. Manusia diwajibkan untuk bisa menjaga keharmonisan dengan alam, tidak


merusak alam, menjaga sikap dan prilaku, bertindak jujur dsb .

3. Kehidupan menuntut kita sebagai manusia untuk bisa bertindak benar,


menularkan cinta kasih dan saling menolong. dsb.

Itulah Hak- hak kehidupan. Jika manusia tidak memenuhi hak- hak kehidupan
tersebut maka manusia pasti celaka. Maka manusia berkewajiban untuk bertanggung
jawab/ membayar hutang atau tanggungan/ kewajiban moral tersebut. Jika manusia
mengabaiakan hutang atau tanggung jawab tersebut pasti kehidupan akan kacau.

Maka dari itulah agama dalam bahasa arab disebut sebagai Din yang berakar
dari kata Dain yang artinya tanggungan/ hutang, tanggung jawab ( moral ).

Setiap manusia yang hidup didunia ini diberi hutang atau tanggung jawab
yang harus dipenuhi, yaitu bertanggung jawab untuk menegakkan nilai- nilai
kebenaran, hak- hak hidup, memenuhi seluruh kewajiban- kewajiban sebagai
makhluk Tuhan. Dan siapa manusia yang mengabaikan kebaiakan dan kebenaran
maka dapat kita sebut sebagai manusia yang tidak memiliki Din / agama.
Kerusakan sosial dan segala kekacauan maupun permusuhan antar agama atau
segala konflik yang terjadi disebabkan karena manusia tidak bertanggung jawab /
memenuhi hutangnya sebagai makhluk Tuhan. Manusia mengabaikan kebenaran dan
keadilan, manusia mengabaikan agama .

Maka dari Itu beragama bukan hanya menjadi tanggungan sekelompok umat
atau tanggungan para pengikut nabi tertentu. Namun beragama adalah Tanggung
jawab Kemanusiaan.17

7. Memaknai Pendidikan Sufistik


Pendidikan yang sedang berkembang sekarang ini seharusnya berujuk pada
tujuan filosofi dan esensial dari tujuan pendidikan.
Landasan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) seharusnya tidak hanya menjadi landasan ideal dan pada dataran teori tetapi
bisa masuk dalam ranah aktualisasi dan realisasi dan membentuk karakter individu
setiap peserta didik.
Memberikan pendidikan yang bermakna dan bernilai edukatif harus menjadi
prioritas dalam proses pembelajaran, hal ini bisa dilakukan dengan mengaktifkan tiga
domain dasar dalam pendidikan mulai dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor.18
Pendidikan sufiistik masih dipahami dalam dataran kognitif dan jarang masuk
pada dataran afektif dan psikomotor. Sehingga karakter yang sering nampak dari
seorang peserta didik ialah hanya bisa memahami pada dataran formal tapi belum
masuk pada dataran filosofis trasendental dan bermakna.
Sehingga tidak jarang banyak guru yang mendidik lebih terjebak pada
pemahaman kognitif dan belum menyentuh aspek afektif dan psikomotorik
Membangun karakter peserta didik melalui pendidikan sufistik di zaman
modern ini menjadi urgensi dan sangat perlu, karena pendidikan sufistik akan
memberikan pengalaman spiritual dari setiap peserta didik untuk diajak menyelami
diri dalam dunia spiritualitas.
Ada tiga tahapan yang bisa diajarkan oleh guru dalam mengantarkan peserta
didik membangun karakter mereka, mengutip pendapat Imam Ghozali sebagai tokoh

17
Riduwan Adi Santoso, 2012
18
https://www.kompasiana.com/hamamburhanudin/550e17d1a33311b92dba8171/membangun-
karakter-melalui-pendidikan-sufistik
sufi kontemporer memberikan suatu keselamatan yang diinginkan semua jiwa melalui
beberapa tahapan.
Tahap pertama, pencari (al-murid) yaitu kesadaran seseorang sebagai makhluk
dan mengakui Tuhan sebagai pencipta. Kedua musafir (al-sair) ialah seorang hamba
yang tegak berjalan dengan Tuhan. Ketiga sampai (al-wasil) ialah hamba yang
mencapai pengetahuan sempurna Tuhan, dan pecinta bersukaria dengan yang disukai.
Tugas guru ialah mengajak peserta didik untuk mengenal Tuhannya menurut
perspektif mereka masing-masing, berangkat dari pemahaman itulah usaha guru
dalam membimbing dan mengarahkan tentang makna Tuhan dalam hati mereka.
Menanamkan akan arti pentingya taubat (repentance) adalah awal jalan dari
“kunci kebahagiaan”, sebab taubat berarti kembali dari keterasingan untuk mendekat
berdasar rasa keimanan dan keyakinan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah.
Taubah yang sempurna karena api penyesalan akan membiasakan sampah-
sampah dosa dan cahaya dari amal sholeh akan menghapus perlakuan setan.
Kajian pendidikan sufistik bisa mengantarkan peserta didik untuk membangun
karakter mereka, peserta didik diajak untuk berusaha memaknai hidup ini lebih arif
dan bijaksana, dan mencoba mengembalikan dimensi fitrah yang dimiliki oleh setiap
manusia yaitu mengoptimalisasikan potensi yang telah diberikan berupa akal fikiran
yang dinternalisasikan dengan hati (qolbu).
Dan tujuan akhirnya ialah membentuk karakter, pendidikan sufistik tidak
harus dipahami sebagai pendidikan yang mengajarkan untuk ”tarkut dunya”
(meninggalkan dunia) dan menuju akhirat.
Tetapi pembentukan karakter yang menyeimbangkan bagaimana seharusnya
Sberperilaku di dunia ini dan akan memberikan cerminan di akhirat kelak.
BAB III
KESIMPULAN

Manusia adalah Makhluk Allah SWT yang paling Sempurna , dan dalam ayat
Al-Qur’an juga dijelaskan tentang Kesempurnaan penciptaan Tersebut. Allah
Melengkapi Manusia Dengan berbagai Potensi yang Dapat Di Kembangkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Diantara Potensi-potensi Tersebut adalah
potensi Emosional, potensi Fisical, potensi Akal dan Potensi Spritual .Disamping
memiliki potensi Manusia juga memilki beerbagai karkteristik atau Ciri Khas yang
adapat membedakannya dengan Hewan yang merupakan wujud dari Sifat Hakikat
Manusia.

Agama Ini memang memiliki makna yang sangat luas, dalam kehidupan
beragama kita mendapati pembahasan mengenai nilai- nilai hidup, moral, etika dan
bahkan kemanusiaan yang utuh. Maka dari itu agama tidak bisa hanya kita maknai
sebagai sesuatu yang tidak kacau, pemaknaan seperti itu tidak hanya mempersulit
masyarakat untuk bisa memaknai arti agama dengan sebenar- benarnya , tapi juga
tentu mendangkalkan arti agama itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto, pendidikan Islam dalam perspektifnya Filosofi.2013, Malang, Keben perdana

muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara hadis shohih Bukhari Muslim surabaya:PT Bina
Ilmu,2005.

M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas perlbagai persoalan Umat,
(Bandung:Mizan,1996),

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam Integrasi Jasmani,Rohani dan Kalbu Memanusiakan
Manusia (Bandung :PT Remaja Rosdakarya,2012

Novam Ardy Wyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter Bandung:
Alfabeta,2013
Jalaludin Filsafat pendidikan Islam Telaah Dan Pemikirannya Jakarta:Kalam Mulia,2011

Jalaludin, Teologi pendidikan, Jakarta:PT RajaFarindo Persada,2003

Siswanto , pendidikan Islam

Amiruddin dkk,2005

Abuddin Nata, 2005

Riduwan Adi Santoso, 2012

https://www.kompasiana.com/hamamburhanudin/550e17d1a33311b92dba8171/membangun-
karakter-melalui-pendidikan-sufistik

Anda mungkin juga menyukai