Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlaq merujuk kepada amalan dan tingkah laku tulus yang tidak dibuat-buatyang
menjadi kebiasaan. Manakala menurut istilah Islam, akhlaq ialah sikapkeperibadian
manusia terhadap Allah, manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuaidengan suruhan dan
larangan serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.Ini berarti akhlaq merujuk
kepada seluruh perlakuan manusia sama ada berbentuklahiriah maupun batiniah yang
merangkumi aspek amal ibadah, percakapan,perbuatan, pergaulan, komunikasi, kasih
sayang dan sebagainya.Dalam makalah ini yang dibahas adalah akhlaq seorang muslim
kepada AllahSWT, yaitu tentang bagaimana seharusnya perilaku seorang muslim tehadap
AllahSWT. Sehingga nantinya seorang muslim akan menjadi seorang yang berakhlaq
muliakhususnya akhlaq kepada Allah SWT.
Dan adapun akhlaq kepada Allah yaitu menjalankan segala perintahnya danmenjauhi
segala larangannya. Jadi seorang muslim itu hendaknya taat terhadap apayang
diperintahkan oleh Tuhannya. Sehingga akhlaq orang muslim kepada AllahSWT yaitu
beriman dan taqwa kepada-Nya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian akhlaq terhadap Allah SWT

2. Mengapa kita harus mengabdi kepada Allah SWT

3. Mengapa kita harus memiliki rasa takut kepada Allah SWT

4. Mengapa kita takut kehilangan rahmat ALLAH SWT

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian akhlaq kepada ALLAH SWT

2. Memahami sebab harus mengabdi kepada ALLAH SWT

3. Mengetahui mengapa harus memiliki rasa takut kepada ALLAH SWT

4. Mengetahui mengapa kita harus takut kehilangan ALLAH SWT

1|P a ge
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlak Kepada Allah SWT

Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam yang harus dipegang oleh setiap
muslim, menurut Abdullah Ibnu Umar, orang yang paling dicintai dan paling dekat dengan
Rasulullah SAW pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.

Rasulullah SAW di utus kedunia ini dengan tujuan untuk menyempurnakan akhlak
manusia, Nabi bersabda :

َ ‫ِإنَّ َما بُعِثْتُ ِِلُت َِم َم َمك‬


‫َارم ْاِل َ ْخلَ ْق‬

Artinya : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Ahmad dan
Baihaqi)

Hal yang dapat membedakan antara manusia dan hewan terletak pada akhlaknya. Manusia
yang tak berakhlak sama halnya dengan hewan, hanya saja kelebihan manusia pandai
dalam berkata-kata.

Saat ini, krisis akhlak terjadi kerena sebagian orang tidak mau lagi mengamalkan tuntunan
agama yang mengajarkan untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Berbagai fenomena yang terjadi sangat mengkhawatirkan terkait dengan akhlak generasi
penerus bangsa, fenomena tersebut bisa kita simak berita yang dipublikasikan diberbagai
media, seringkali membuat kita miris mendengarnya, salah satu contoh merosotnya akhlak
manusia kepada Allah SWT, banyak orang yang tidak bersyukur atas kenikmatan yang
Allah berikan, marah akan taqdir yang telah Allah tetapkan, serta tidak melaksanakan
segala perintah dan larangan-Nya.

Krisis akhlak juga terjadi pada sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Contohnya memudarnya sopan santun kepada guru dan orang tua, nada bicara kepada
orang tua disamakan dengan berbicara sesama mereka, melontarkan kata-kata kotor
kepada orang lain bahkan kepada orang tua sendiri. Kurangnya Akhlak terhadap
lingkungan juga terjadi saat ini, diantaranya membuang sampah sembarangan,
pembakaran hutan liar, dan masih banyak lagi fenomena lainnya yang berakibat merusak
lingkungan.

Maka kedudukan akhlak dalam agama Islam ini sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan
seseorang ke dalam surga, beliau mengatakan: “Bertaqwa kepada Allah dan berakhlaklah
dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Berdasarkan fenomena yang terjadi di atas, krisis akhlak yang terjadi dimana-mana, bukan
saja kurangnya sopan santun kepada sesama manusia dan tidak menjaga kelestarian
lingkungan, tetapi juga kepada sang Khaliq yaitu Allah SWT, maka dari itu
penulis tertarik untuk menulis artikel dengan judul “Akhlak kepada Allah SWT,
Rasulullah SAW, sesama Manusia, dan Lingkungan sekitar”.

2|P a ge
1. Pengertian Akhlak

Kata “akhlak” secara bahasa diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat, tata karma, sopan santun, adab, dan tindakan. Sedangkan secara istilah akhlak
merupakan tingkah laku atau sikap seseorang yang sudah menjadi kebiasaan setiap
individu, dan kebiasaan tersebut selalu terlihat dalam perbuatan sehari-hari.

Dengan demikian pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur
yang sangat penting, yaitu sebagai berikut:

1. Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya.


2. Afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis
berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional kedalam bentuk perbuatan yang
konkret.

Konsep akhlak dalam Al-Qur’an, salah satunya dapat diambil dari pemahaman terhadap
surat Al-Alaq ayat 1-5 yang secara tekstual menyatakan perbuatan Allah SWT dalam
menciptakan manusia sekaligus membebaskan manusia dari kebodohan (‘allamal insana
malam ya’lam).

Menurut Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak
terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
medorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Lebih luas, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat
maka sifat itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah, dan bila yang muncul dari
sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk atau akhlakul
mazhmumah.

Didalam islam pengertian akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan
tindakan manusia diatas bumi yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan al-Hadist.

2. Akhlak Kepada Allah

Akhlak yang baik kepada Allah adalah ridha terhadap hukum-Nya baik secara syar’i
maupun secara takdir. Ia menerima hal itu dengan lapang dada dan tidak mengeluh. Jika
Allah menakdirkan sesuatu kepada seorang muslim yang tidak disukai oleh muslim itu, dia
merasa ridha, menerima, dan bersabar. Ia berkata dengan lisan dan hatinya: Aku ridha
Allah sebagai Rabbku. Jika Allah menetapkan hukum syar’i, ia pun ridha dan menerima.
Ia tunduk kepada syariat Allah Azza Wa Jalla dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Akhlak kepada Allah SWT dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Allah sebagai khaliq. Sekurang-
kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah SWT.

3|P a ge
Pertama, karena Allah SWT –lah yang menciptakan manusia. Dia yang menciptakan
manusia dari air yang dikeluarkan dari tulang punggung dan tulang rusuk, hal ini
sebagaimana di firmankan Allah ‫ ﷻ‬dalam surat At-Thariq ayat 5-7, sebagai berikut :

‫ب‬ ِ ‫ص ْل‬
ِ ِ‫ب َوالت َّ َرآئ‬ ُ ‫ َي ْخ ُر‬,‫ق‬
ُّ ‫ج م ِْن َبي ِْن ال‬ َ ‫اْل ْن‬
ٍ ِ‫ ُخلِقَ م ِْن َّمآ ٍء دَاف‬, َ‫سا نُ ِم َّم ُخلِق‬ ُ ‫ فَ ْل َي ْن‬.
ِ ْ ‫ظ ِر‬
Artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?. Dia
diciptakan dari air (mani) yang terpancar. Yang terpancar dari tulang sulbi (punggung) dan
tulang dada”.

Maka dari itu kita sebagai umat islam harus tunduk dan patuh atas segala perintah dan
larangannya, karna Allah-lah yang telah menciptakan kita.

Kedua, karena Allah SWT–lah yang telah memperlengkapkan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, akal fikiran dan hati, serta anggota badan yang kokoh dan
sempurna kepada manusia. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 78 :

َ‫صا َر َو ْاِل َ ْفئِدَة َ لَعَلَّكُ ْم ت َ ْشكُ ُر ْون‬ َ َ‫مِن بُطُ ْو ِن أ ُ َّم َها تِكُ ْم ََل ت َ ْعلَ ُم ْون‬
َ ‫ش ْيأ َ َو َجعَلَ لَكُ ُم السَّ ْم َع َو ْاِل َ ْب‬ ْ ‫َّللاُ أ َ ْخ َر َجكُ ْم‬
َّ ‫ َو‬.

Artinya : “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu apapun dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati
agar kamu bersyukur”.

Bersyukurlah kepada Allah karena telah diberikan kenikmatan penglihatan dan


pendengaran karna tidak semua orang diberikan kenikmatan tersebut.

Ketiga, karena Allah SWT–lah yang menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya. Firman Allah ‫ ﷻ‬dalam surat
Al-Jasiyah ayat 12-13 :

‫ت‬
ِ ‫اوا‬ َ ‫س َم‬ َ ‫ َو‬, َ‫ض ِل ِه َولَ َع َّلكُ ْم ت َ ْشكُ ُر ْون‬
َّ ‫س َّخ َر َل ُك ْم َّما ف ِْي ال‬ ْ ‫ي ْالفُ ْلكُ ِف ْي ِه ِبأ َ ْم ِرهِى َو ِلت َ ْبتَغُ ْوا‬
ْ ‫مِن َف‬ َ ‫س َّخ َرلَكُ ُم ْال َبحْ َر ِلت َجْ ِر‬ َّ
َ ‫َّللاُ الذِى‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَتَفَ َّك ُر ْون‬ َ
ٍ ‫ض َج ِميْعا ِم ْنهُ إِ َّن فِ ْي ذَا لِكَ َِليَا‬ َ ْ
ِ ‫ َو َما فِ ْي اِل ْر‬.

Artinya : “Allah lah yang menundukkan laut untuk mu agar kapal-kapal dapat berlayar di
atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu bersyukur. Dan Dia menundukan apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari -Nya.
Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang-orang yang berfikir.

Allah memberikan kenikmatan akal kepada manusia untuk berpikir tentang tanda-tanda
kebesaran Allah, memperhatikan dan merenungkan apa yang diciptakan dilangit dan
dibumi.

Keempat, Allah SWT–lah yang memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan


daratan dan lautan. Firman Allah ‫ ﷻ‬dalam surat Al-Israa’ ayat 70 :

َ ‫ت َوفَض َّْلنَا هُ ْم‬


ِ ‫علَى َكثِي ٍْر ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا ت َ ْف‬
‫ضي َْل‬ َّ ‫ َولَقَدْ ك ََّر ْمنَا بَنِى َءادَ َم َو َح َم ْلنَا هُ ْم ف ِْي ْالبَ ِر َو ْالبَ ْه ِر َو َرزَ ْقنَا هُ ْم مِنَ ال‬.
ِ ‫ط ِيبَا‬

Artinya : “(70). Dan sungguh, Kami telah muliakan anak-anak cucu Adam dan Kami
angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna”.

4|P a ge
Dari uraian diatas, kita memang benar perlu untuk berakhlak kepada Allah SWT. Karena
alasan-alasan di atas adalah tolak ukur yang tepat dan terdapat perintah Allah di dalamnya
bahwa kita sebagai seorang muslim memang diharuskan untuk berakhlak kepada Sang
Pencipta.

3. Bentuk akhlak terhadap Allah SWT

1. Menaati segala perintah-Nya

Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT
adalah dengan mentaati segala perintah-perintah–Nya. Allah SWT–lah yang telah
memberikan segala-galanya pada hambanya.

2. Beribadah kepada Allah

Melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya.


Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.

3. Berzikir kepada Allah

Mengingat Allah dalam berbagai kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam
hati.

4. Berdo’a kepada Allah

Memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan
pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan
kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu.

5. Tawakal

Tawakal untuk Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil
kerja atau menunggu dari suatu keadaan. Tawakal bukan berarti meninggalkan kerja
dan usaha, dalam surat Al-Mulk ayat 15 dijelaskan, bahwa manusia di syariatkan
berjalan di muka bumi utuk mencari rizki dengan berdagang, bertani dan lain
sebagainya.

6. Tawaduk untuk Allah

Yaitu hati yang rendah di hadapan Allah. Mengakui bahwa kita adalah makhluk yang
hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak jika hidup dengan
angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melakukan
ibadah untuk Allah.

7. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT

Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah
ridho terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika
ia dilahirkan baik dari keluarga yang berada maupun keluarga yang kurang mampu,
bentuk fisik yang Allah SWT berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada
hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin terhadap apaun yang Allah SWT
berikan padanya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan.

5|P a ge
Rasulullah SAW bersabda : “Sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena
segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia
bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan
jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal
terbaik bagi dirinya.” (HR. Bukhari).

B. MENGABDI HANYA PADA ALLAH SWT


“Allah tidak menciptakan bangsa Jin dan Manusia melainkan untuk mengabdi hanya
kepada Allah. Pengabdian atau ibadah itu ada dalam bentuk ritual sakral dan sosial
muamalah yang diisyaratkan di dalam firman-Nya "Dirikanlah shalat dan tunaikan
zakat". Shalat mewakili ibadah ritual sakral dan zakat mewakili ibadah sosial
muamalah”.

Ibadah adalah pengabdian dan setiap manusia diwajibkan untuk beribadah yang berarti
menbgabdi kepada Allah SWT. Kita sebagai hamba Allah SWT tidak luput dari segala
bentuk noda dosa dan dengan ibadah, noda dosa itu akan sirna dan luntur karena
hakekatnya ibadah kepada Allah SWT bagaikan “cleaner” atau pembersih.
Anak-anakku semuanya,
Jadi, Allah SWT menciptakan manusia itu untuk beribadah kepada-Nya. Ini isyarat dalam
firman Allah SWT dimana kita disuruh mengabdi kepada-Nya. Allah SWT menjelaskan
bahwa :
ِ ‫س ِإ ََّل ِل َي ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat : 56)

Dan di dalam pengabdian terkait erat dengan firman-Nya pula yang menjelaskan :
‫الزكَاة َ َوذَلِكَ دِي ُن ْالقَ ِي َم ِة‬ َّ ‫ِصينَ لَهُ ال ِدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص َلة َ َويُؤْ تُوا‬ ِ ‫َّللاَ ُم ْخل‬ ُ ُ ‫َو َما أ‬
َّ ‫مِروا ِإ ََّل ِليَ ْعبُد ُوا‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5)

Maka dengan kata lain bahwa kita sebagai hamba Allah SWT ialah punya tugas utama
yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Oleh karenanya disebut al ‘abid yaitu hamba-hamba
Allah yang berarti mengabdi kepada Allah SWT. Coba renungkan kembali, apakah
arti sebuah hamba jika tidak mengabdi? Jika disebut hamba berarti menghamba pada sang
empunya hamba. Dalam pengertian mengabdi disini ada istilah pengabdian secara khusus
dan umum, atau boleh disebut ritual dan sosial. Jika kita tau bahwa ada istilah ibadah ritual
yang sakral seperti shalat, puasa, zakat, haji dan ada dalam bentuk ibadah sosial seperti
bergaul dalam masyarakat secara umum, berkomunitas dan bersentuhan dengan mereka
dan segala urusan semua itu juga dalam bentuk pengabdian dimana kita dalam bentuk
pengabdiannya memunculkan akhlaqul karimah sehingga bisa dijadikan uswah di sekitar
kita yang melihatnya.

6|P a ge
Dalam Ibadah ritual sudah jelas memang disakralkan tetapi saat terkait ibadah sosial
banyak orang yang menganggap itu sebuah kehidupan biasa, padahal semua itu
hakekatnya ibadah sehingga ada istilah “waktu itu ibadah”. Maka saat kita pergi ke kantor
itu ibadah, saat kita berkomunitas itu ibadah, kemudian kita bertetangga itu ibadah, semua
masuk dalam kategori ibadah jika kita benar-benar dalam pengabdian dan ada di jalan
Allah SWT. Maka apapun yang kita lakukan bentuknya ibadah dan mendapatkan nilai di
sisi Allah SWT. Contoh, saat kita di jalan kemudian kita lihat ada benda yang
menghalangi jalan yang dapat menyebabkan orang lain tersandung maka itu pun ibadah
dan mendapatkan nilai yang istimewa di sisi Allah SWT. Begitu juga saat kita menolong
orang, menasehati orang, bahkan jika kita berkelakuan baik dan dicontoh oleh orang lain
seperti jujur, sopan satun itupun bentuk ibadah. Oleh karenanya, hakekat ibadah itu
dimana saja dan kapan saja kita menjadi hamba Allah SWT. Jadi bukan sebatas di masjid ,
di musholah dan melakukan ritual tertentu karena itu adalah ibadah ritual. Sedangkan
ibadah yang diimplementasikan dalam kehidupan ialah perwujudan akhlaq kita sehingga
muncul akhlaqul karimah dalam diri kita. Sulit disebut orang ahli ibadah atau hamba Allah
SWT selama ia tidak berakhlaq dengan akhlaqul karimah karena misi Rasulullah SAW
ialah membangun akhlaq umat dalam bentuk akhlaqul karimah. Jadi, berakhlaqul karimah
dalam keseharian itupun bentuk ibadah yang disebut ibadah sosial, hal ikhwal sifat yang
ada dalam diri kita mewujud dalam bentuk akhlaqul karimah dan itulah sesungguhnya
orang yang disebut beragama yang mengabdi kepada Allah SWT, orang yang beribadah
dengan baik dan benar. Semoga kita semua selalu mendapatkan bimbingan dari Allah
SWT.

C. Menjadi Hamba Allah Swt yang Pandai Bersyukur

Pada dasarnya Allâh Swt telah banyak memberikan nikmat kepada manusia, mulai dari
nikmat kesehatan hingga nikmat berupa uang. Hanya terkadang kita lebih menghitung
nikmat yang nampak dihadapan kita saja, sehingga melupakan nikmat yang lainnya.
Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri nikmat yang terlihat kecil seperti nikmat
kesehatan jika hanya fokus pada nikmat lahir semata. Dari An Nu’man bin Basyir r.a
berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu
mensyukuri sesuatu yang banyak”. (Hadits Hasan Riwayat Ahmad No. 278)
Nikmat bukan hanya uang tapi kesehatan dan waktu senggang juga termasuk nikmat,
bahkan untuk sehat jika kita bayar butuh biaya yang teramat mahal, namun nikmat ini
seringkali kita abaikan. Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda,

Artinya :

“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu
senggang”. (Hadits Shahih Riwayat. Bukhari No. 6412)
Rizki tidak hanya identik dengan uang, andai kita seluruh manusia bersatu padu membuat
daftar nikmat Allâh Swt, niscaya kita akan mendapati kesulitan. Allâh SWT berfirman:

Artinya :

“(Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu
menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat
Allah)”. (QS. Ibrahim: 34)

7|P a ge
Kunci utama keberkahan atas kenikmatan pada diri kita ialah sikap syukur nikmat. Allâh
SWT berfirman:

Artinya :

(Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu


bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu”.(QS. Ibrahim: 7)
Dengan bersyukur, kita tentunya akan selalu merasa cukup dengan rizki yang diberikan
oleh Allâh SWT. Jangan lupa, kita juga harus mensyukuri nikmat usia, bahkan di sisa-sisa
usia kita. Bukankah sebaik – baik manusia adalah umurnya panjang dan baik amalnya, dan
seburuk-buruk manusia umurnya panjang jelek amalnya.

Alhamdulillah Allah telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita dan
kepada Allah kita akan kembali. Doa yang setiap hari baca ketika kita bangun tidur,
sebagai wujud rasa syukur atas nikmat usia, masih diberikan jatah hidup.

Usia adalah suatu nikmat, aset dan modal yang berharga tiada tara, hal ini patut
disyukuri. Ketika Allâh SWT masih memberikan usia panjang pada umatnya. Hal itu
menandakan bahwa kesempatan untuk memperbaiki diri masih terbuka lebar.

Marilah kita instrospeksi pada diri sendiri, apakah usia kita yang bertambah lama,
bertambah tua dan bertambah umur itu bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Karena kalau
kita menyadari, pada hakekatnya umur kita itu justru semakin berkurang dan otomatis
jatah hidup kita semakin sedikit.

Kalau umur kita semakin tua berarti sudah dekat waktu kita untuk menghadap Allâh
SWT dengan membawa amal yang kebaikan sesuai dengan tuntunan agama yang dibawa
oleh Allâh SWT dan Rasul-Nya. Allâh SWT berfirman:

Artinya :

“Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu
bertakwa”. (QS. Maryam : 63)
Kontrak kita kepada Allâh SWT di dunia ini antara 60 atau 70 tahun, andaikata lebih,
tentu tidak terlalu banyak, andaikata berkurang, Allâh SWT-lah yang maha tahu. Dari Abu
Bakrah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya :

“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-
jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (Hadits Shahih
Riwayat. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim, dalam Shahih Al-Jami’ No.3297)
Hal penting yang perlu diingat adalah sudah siapkah kita kalau dipanggil oleh Allâh
SWT. Apa oleh-oleh atau bekal yang nanti kita bawa kalau kita akan menghadap
kepada-Nya. Tentu tidak lain adalah amal kita pada waktu masih hidup di dunia. Allâh
SWT berfirman,

Artinya :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,

8|P a ge
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qasas: 77)

Setidaknya ada tiga cara agar kita menjadi hamba Allah yang mudah bersyukur dan tak
mudah mengeluh:

1. Membangun kesadaran bahwa apa yang diberikan Allah SWT adalah yang terbaik.
2. Berupaya belajar memaknai bahwa apapun yang diberikan Allah SWT adalah sesuatu
yang harus disyukuri.
3. Menyusun daftar nikmat dan derita yang telah kita terima apapun itu. Sempatkan
waktu untuk menuliskan beberapa nikmat, hal yang menyenangkan dan derita, hal
yang menyedihkan. Terus tulis dari hari ke hari. Apa yang terjadi? Ternyata
kenikmatan akan lebih banyak daripada penderitaan.
Semoga kita termasuk hamba Allah yang senantiasa bersyukur sehingga Allah SWT
akan menambah kenikmatan kepada kita. Harapannya kita juga termotivasi untuk
melakukan amal salih yang diridai Allah SWT. Sebgaimana dicontohkan oleh Nabi
Sulaiman AS dalam QS. An-Naml 19:

“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal
saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang saleh”.

D. TAKUT KEPADA ALLAH SWT

Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan
jabatan, hingga takut kepada Tuhan.

Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain
karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.

Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus,
angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya
mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.

Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir,
kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak
disukainya itu jika terjadi pada dirinya. Takut bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai
secara postif, demikian pula sebaliknya.

Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih
umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai
pengetahuan (ma’rifah).

Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini
seperti diisyaratkan oleh firman-Nya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-

9|P a ge
Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir
[35]: 28)

Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW
sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling
takut kepada Allah di antara kalian”.

Sedangkan takut dalam arti khauf cenderung dimaknai menghindar dan lari dari yang
ditakuti. Akan tetapi, khasyyah merupakan takut yang cenderung berpegang teguh kepada
ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti dan kepada kebesaran-Nya.

Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa
takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan
Rasul-Nya.

Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan
kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal
yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).

Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa
Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.

Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama.
Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-
sia belaka.

Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah
yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau
kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat
kelak.

Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT
itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk
selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.

Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak
takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki
rasa malu.

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan
teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
10 | P a g e
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan
generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.

Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah,
dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)

Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan
merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih
surga-Nya.

“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka
dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)

Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya,
sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan, atau takut tidak
memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.

11 | P a g e
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Seorang muslim yang baik itu memang diharuskan berakhlak yang baik kepada ALLAH
SWT.

Mencintai Allah SWT melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan
mempergunakan firmannya sebagai pedoman hidup dan kehidupan. Melaksanakan segala
perintah dan menjauhi segala larangannya. Mengharapkan dan berusaha memperoleh
keridhoan ALLAH SWT.

2. Saran

Kita sebagai manusia itu diciptakan atas kehendaknya, sehingga alangkah baiknya kita
bersikap santun (berakhlak) kepada sang khaliq sebagai rasa syukur kita. Sebab tujuan
utama dari beragama adalah untuk mengabdi kepada Tuhan.

12 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, (Sidoarjo : CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2012)

Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. Ilmu Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Syarah Aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah (Bogor: Pustaka
Imam Syafi’i, 2013)

Kasmuri, Selamat, dkk. Akhlak Tasawuf. Upaya \Meraih Kehalusan Budi dan
Kedekatan Ilahi. Cet. I ( Jakarta : Kalam Mulia, 2012)

Assegaf, Abd. Rahman, Studi Islam Konte-kstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah (Yogyakarta: Gema Media, 2005)

Abbudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karak-ter Mulia (Jakarta : Rajawali press, 2014) CM.
Hizboel Wathony
Ahad, 09 September 2018 / 28 Dzul Hijjah 1439 Hijriyah

Azizah Herawati, S.Ag.,M.S.I., Cahaya Ilmu, Satu Hari Satu Hadis

Damanhuri Zuhri “ Takut Kepada Allah SWT “

13 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai