Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

Buku :

Dalam ilmu Biologi dan Embriologi fase pertumbuhan dan perkembangan embrio
merupakan pengetahuan tentang proses awal terbentuknya janin manusia, dimulai dari sel
tunggal sampai terbentuknya makhluk yang sempurna didalam perut ibunya. Jauh sebelum ilmu
sains modern berkembang, Al-Qur'an secara gamblang telah menjelaskan proses pertumbuhan
dan perkembangan serta fase atau tahapan yang terjadi dalam proses penciptaan janin manusia.
Padahal, proses ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang karena posisinya berada jauh
didalam tubuh manusia 32 dan tidak mungkin dijelaskan hanya dengan menduga-duga serta
perkiraan saja.Maka, ini sudah cukup menjadi bukti bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk bagi
manusia agar selalu memperhatikan ayat-ayat Allah dalam pengaplikasiannya didalam
kehidupan sehari-hari.Ayat-ayat didalam AlQur‟an ini haruslah disampaikan baik kepada peserta
didik, masyarakat, dan sebagainya. Terdapat beberapa surah yang menjelaskan tentang fase
perkembangan embrio dalam konteks yang samadengan ilmu sains menggunakan bahasa Al-
Quran.Fase perkembangan embrio atau proses penciptaan manusia pada umumnya merupakan
keturunan atau anak cucu Nabi Adam As yang prosesnya terjadi didalam rahim seorang ibu
(perempuan).

Al-Qur'an surah Az-Zumar (39) ayat 6 telah menjelaskan bahwa proses pertumbuhan dan
perkembangan manusia terjadi melalui tiga kegelapan dalam perut ibunya.

‫اج ۗ يَ ْخلُقُ ُك ْم‬


ٍ ‫اح َد ٍة ثُ َّم َج َع َل ِم ْنهَا َز ْو َجهَا َواَ ْن َز َل لَ ُك ْم ِّم َن ااْل َ ْن َع ِام ثَمٰ نِيَةَ اَ ْز َو‬ِ ‫س َّو‬ ٍ ‫َخلَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
ُ ۗ ‫ث ٰذلِ ُك ُم هّٰللا ُ َربُّ ُك ْم لَهُ ْال ُم ْل‬
‫ك ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۚ َو‬ ٍ ۗ ‫ت ثَ ٰل‬ ۢ
ٍ ‫فِ ْي بُطُ ْو ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ْم َخ ْلقًا ِّم ْن بَ ْع ِد َخ ْل‬
ٍ ٰ‫ق فِ ْي ظُلُم‬
‫فَا َ ٰنّى تُصْ َرفُ ْو َن‬
Artinya : “...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki
kerajaan. Tidak ada tuhan selain Dia; maka mengapa kamu dapat dipalingkan ?”

Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut bahwa manusia diciptakan dalam tiga
tahapan yang berbeda dalam perut ibunya.Ilmu sains modern yakni Biologi dan Embriologi
menjadikan hal ini sebagai pengetahuan dasar. Fakta tersebut diuraikan dengan bahasa bahwa
'kehidupan dalam rahim memiliki tiga tahapan: Pra-embrionik, dua setengah minggu pertema;
Embrionik, sampai akhir minggu kedelapan; dan fetus atau janin, dari akhir minggu kedelapan
sampai lahir.' Tahapan ini mengacu pada tiga tahapan yang berbeda dari perkembangan calon
bayi.Ringkasnya, ciri-ciri utama perkembangan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap Pra-embrionik : Tahap ini dimulai dari proses fertilisasi yang dalam Al-Qur'an
disebut Nuthfah sampai menjadi Zigot. Zigot kemudian mengalami pembelahan secara
mitosis menjadi morula ('alaqah) kemudian menempel pada dinding rahim (uterus).
2. Tahap Embrionik: Tahapan ini berlangsung selama lima setengah minggu, pada fase ini
bayi disebut dengan 'embrio'. Bayi mengalami perkembangan jumlah sel, memasuki fase
blastulasi, gastrulasi sampai membentuk 3 lapisan sel.
3. Tahap Fetus atau janin: Tahap ini berlangsung dari akhir minggu kedelapan sampai masa
kelairan. Bayi akan memiliki betuk seperti bayi manusia dan mengalami spesialisasi dan
diferensiasi yang lebih kompleks menuju kesempurnaan wujud bayi manusia

Hal 31-33 (2021)


Buku: Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah (Hal 162 – 164)

Dari tiga pokok bahasan


di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa Islam
merupakan sistem yang sangat
menjanjikan kebahagiaan.
Kenyataannya, tidak semua
manusia menerima Islam
dengan baik, bahkan banyak
yang antipati dan memusuhi. Padahal Islamlah yang menentukan nasibnya, konon sebagai
khalifah Allah di bumi, manusia diberi kelebihan yang makhluk lain tidak diberi.

Dilihat dari asal penciptaannya, manusia tersusun dari unsur bumi dan unsur langit.
Unsur bumi karena manusia diciptakan dari tanah. Unsur langit karena setelah proses penciptaan
fisiknya sempurna, Al- lah meniupkan ruh kepadanya. Dari dua unsur itu, berdasar fungsinya
manusia disimbolkan dengan tiga unsur utama yaitu hati, akal, dan jasad.

1. Hati

Rasulullah saw. mengatakan bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Bila daging itu baik,
baiklah seluruh jasad. Namun, bila daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Meskipun
hepar (hati secara fisik) sangat menen-tukan kesehatan tubuh, namun dilihat dari konteks
pembahasan ayat-ayat maupun hadits nabawi yang berbicara tentang qalb (hati) yang dimaksud
bukan hati fisis. la abstrak, termasuk unsur ruhani, yang merasakan haru, bahagia, suka, duka,
sedih, gembira, dan emosi lainnya. Hati yang berbolak- balik di antara berbagai perasaan itu.
Karena tidak berada di satu keadaan itulah kemudian ia dinamakan qalb. Berdasarkan
terminologi bahasa, qalb berasal dari qalaba yang berarti berbolak- balik. Dalam konteks
kekhali-fahan, di dalam hatilah tersimpan potensi besar untuk berniat dan bertekad.

2. Akal
Imam Ghazali memasukkan akal sebagai bagian dari hati, sehingga beliau memasukkan
tafakkur (kerja akal) dalam bab dzikr (yang merupakan kerja hati). Allah mengatakan bahwa
pemahaman merupakan pekerjaan hati.

"Mereka mempunyai hati, namun tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat


Allah)." (Al-A'raf: 179)

Akal juga bukan otak karena otak bahasa Arabnya dimagh, yang ini bersifat fisik.
Dengan demikian, akal pun abstrak. Akal termasuk karunia Allah yang terbesar bagi manusia
karena dengan akal inilah kemudian ia menjadi makhluk yang paling istimewa. Dengan akal itu
manusia dapat memahami berbagai hal yang Allah ajarkan kepadanya. Dalam konteks
kekhalifahan, akal memberi manfaat besar kepada manusia dalam bidang ilmu penge-tahuan
hingga ia dapat melakukan pengembangan dan inovasi.

Terlepas dari perdebatan tentang hakikat hati dan akal, yang jelas kita dapat merasakan
keberadaannya. Lebih penting lagi, adalah bagaimana meman-faatkan keduanya secara baik.
Dengan hati manusia bercita-cita, berobsesi, dan bertekad; dengan akal ia memperoleh ilmu yang
ia gunakan untuk merencanakan strategi demi mencapai tujuan.

3. Jasad

Jasad sangat mudah dikenali karena ia dapat kita lihat dan kita raba. Karena itu tidak ada
perbedaan tentang hakikat jasad ini. Yang terpenting bagi manusia adalah menggunakannya
sebagai pelaksana bagi apa yang telah ditekadkan oleh hati dan direncanakan oleh akal. Tanpa
jasad, tekad dan pengetahuan hanya akan menjadi impian dan teori yang kosong.

Hati, akal, dan jasad adalah anugerah Allah yang harus digunakan untuk menjalankan
amanah yang langit, bumi, dan gunung tak sanggup mengem-bannya. Amanah itu tidak lain
adalah ibadah dan khilafah. Yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana manusia menunaikan
amanah itu.
Jurnal :

Bagaimana cara mengelola ciptaan Allah di muka bumi, yang kita lakukan juga sesuai
perintah Allah yaitu “Membaca” seperti dalam surat Al Alaq ayat 1-5. Membaca ayat ayat Allah
mempunyai makna membaca ayat kauliyah yang ada dalam firman Allah seluruh isi Al Quran
dan ayat kauniyah yang ada dalam bentangan kejadian alam. Membaca ini akan menuntun
manusia menjadi lebih jelas dan detail mengetahui segala ciptaanNya. Membaca adalah melihat
dan menganalisis semua isi dan maknanya, yang kemudian disusun dengan metode tertentu yang
tersusun secara sistematis, yang kemudian terbentuk dalam kategori Ilmu yang secara simultan
melahirkan teknologi. Ilmu dan teknologi ini merupakan salah satu instrument manusia dalam
menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi.

Cara berikutnya adalah manusia di kewajiban untuk bekerja keras untuk mendapatkan rejeki
Allah SWT yang halal dan thoyib.

QS. Al-Ankabut ayat 17:

۟ ‫ق َوٱ ْعبُدُوهُ َوٱ ْش ُكر‬


َ‫ُوا لَ ٓۥهُ ۖ ِإلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬ ۟ ‫فَٱ ْبتَ ُغ‬
ْ ِ ‫وا ِعن َد ٱهَّلل‬
َ ‫ٱلرِّز‬

Artinya: “Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah.
Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan.” (QS al-Ankabut:17).

QS. Al-Jumu’ah ayat 10:

۟ ‫وا ِمن فَضْ ِل ٱهَّلل ِ َو ْٱذ ُكر‬


َ‫ُوا ٱهَّلل َ َكثِيرًا لَّ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬ ۟ ‫ُوا فِى ٱَأْلرْ ض َوٱ ْبتَ ُغ‬
۟ ‫صلَ ٰوةُ فَٱنتَ ِشر‬
َّ ‫ت ٱل‬ ِ ُ‫فَِإ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
ِ

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah:
10).

Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda sebagai berikut:

“Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik
baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau
menolaknya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian jelas bahwa manusia diciptakan di muka bumi dalam keadaan sempurna, yang
diberi amanah sebagai kholifah di muka bumi untuk mengelola secara baik untuk mencapai
kebahagian seluruh alam. Langkah terbaik untuk melaksanakannya dengan cara membaca dan
bekerja secara benar dan sistematik sesuai tuntunan ajaran yang tertulis dan petunjuk fenomena
alam sebagai sunatullah teratur.

https://fk.uii.ac.id/amanah-manusia-di-muka-bumi/
Jurnal: Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia) Ditulis oleh Redaksi Kamis, 14 Januari 2010
15:33

I. Mukadimah (Pendahuluan)

Allah SWT menciptakan manusia ke dunia mempunyai maksud tertentu, yakni selain agar
beribadah kepadaNya diamanatkan sebagai Khalifah Fil Ardhi sehingga tercipta masyarakat
yang tentram serta sejahtera. Akan tetapi tugas yang diamanatkan kepada Al-Insan (manusia)
sering kali dimanipulasikan sesuai kehendak hawa nafsu syaitan,sehingga fungsi sebagai
khalifah tidak dapat dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, jika setiap manusia
memahami akan maksud diciptakan Allah SWT ke dunia ini, maka segala gerak langkahnya
selalu disesuaikan dengan syariat dinullah. Tujuan diciptakan manusia secara argumen yang
ditegaskan Allah SWT seperti firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu." (QS.51:56). Dengan penjelasan firman Allah SWT
tersebut sudah jelas dan tegas apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia dalam kehidupan
sehar-hari, yaitu penghambaan secara totalitas kepada Al-Khaliq. Harus diakui dalam realita
kehidupan sehari-hari penyimpangan hampir tidak dapat dihindarkan dari perbuatan manusia,
karena dunia sekuler lebih dominan dibandingkan dengan hakekat kebesaran Allah SWT,sebagai
penguasa tunggal. Terjajahnya oleh bentuk kezaliman pada dasarnya terdapat peluang yang
dimiliki oleh manusia, yakni berupa da'fu iman (lemah iman). Terdapatnya da'fu iman jika
dibiarkan hidup pada diri seseorang akan memudahkan operasinya kelompok syaitan dengan
leluasa. Karena para syaitan mempunyai komitmen untuk menghancurkan umat manusia dengan
wasail (sarana) serta berbagai arah pengerti penegasan Allah SWT: "Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS.7:17). Perlu disadari
secara cermat, bahwa aktivitas syaitan seperti ditegaskan oleh Allah SWT melalui ayat di atas,
sebuah gerakan yang akan dijalankan secara istimariyah sampai pada suatu keberhasilan tertentu
yaitu menciptakan manusia mungkar.

II. Sifatul Insan

Hilangnya penyadaran manusia terhadap asal serta tujuan diciptakan oleh Allah SWT adalah
konsekuensi tidak ma'rifah (mengenal) terhadap dirinya. Sehingga menjadikan hidupnya tanpa
memperhatikan norma-norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kaitan ini perlu direnungkan
pepatah yang menyebutkan: "man a'rafa nafsah faqad a'rafa rabbah, maknanya "Barang siapa
mengenal dirinya niscaya mengenal Rabbnya." Maka sangat wajar jika di kalangan ummat
kurang menyadari hakekat untuk apa diri ini diciptakan dan harus bagaimana melakukan
aktivitas di dunia, karena tidak mengenal akan dirinya sendiri. Padahal manusia diciptakan lebih
mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya, yakni diberikan akal. Hanya masalahnya, akal itu
tidak difungsikan sebagaimana seharusnya sesuai dengan petunjuk dari Sang Khaliq.

Gambaran manusia yang tidak memfungsikan akal seperti aturannya telah ditegaskan Al-Quran:
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-
ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-
orang yang lalai." (QS.7:179).

Akal dalam arti yang sebenarnya akan mampu mengarahkan maupun mengondisikan dirinya,
jika setiap insan telah ma'rifah secara jujur. Ma'rifah seperti yang disinggung di atas, sebuah
tugas yang sepenuhnya tanggung jawab setiap insan, lebih-lebih keterkaitannya dengan Al-
Khaliq (hablum minallah).

Ketika akal berfungsi, maka reaksi pemahaman tentangakan penciptaan alam pun dapat
dikenalnya kemudian mengerti jalan yang harus ditempuh. Dan Allah SWT, memberikan dua
jalan yang disodorkan kepada manusia untuk dipilihnya seperti firmanNya: "Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS.90:10). Kemudian dua jalan yang dimaksud secara
transparan disinggung pada firman lain yaitu: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya (QS.91:8). Dua jalan yang tersedia ketentuan final adalah
diserahkan kepada setiap orang untuk memilihnya, dan tentunya akan membawa konsekuensinya
atas pilihannya itu.

III. Jalan Taqwa

Jika pilihan setiap manusia jatuh ke jalan ketaqwaan sudah dapat dibayangkan nilai akhir akan
sampai kepada sebuah kemenangan yang hakiki. Diraihnya suatu kemenangan melalui aktivitas
yang berat, tetapi atas dasar nilai-nilai ketaqwaan (ketaatan) itu, keberhasilan menyertainya.
Secara tegas Allah SWT menyatakan ketaqwaan seseorang akan sampai kepada kemenangan:
"Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan bertaqwa kepada Allah dan RasulNya dan takut
kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya maka mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan." (QS.24:52).

Untuk sampai ke arah kemenangan, sewajarnya setiap manusia mencari jalan dengan maksimal
yang disertai sesuai ketentuan syari'at Islam. Maka jawaban yang tepat mencapainya, ustadz Dr.
Abdullah Nasih Ulwan melalui sebuah kitab berjudul "Ruhaniyatud-Da'iah" memberikan cara
mencapai ketaqwaan. Bahwa terdapat beberapa marhalah (langkah) yang perlu dilalui untuk
menuju taqwa yaitu:

1. Mu'ahadah

Langkah awal yang harus dilakukan setiap orang merenungkan mu'ahadah (mengingat
perjanjian) terhadap Allah SWT, maupun terhadap dirinya sendiri. Aktivitas shalat yang
dijalankan sehari semalam jika dipahami dengan benar, adalah indikator janji kepada Allah
SWT, kemudian disebutnya al-ibadah ritual. Akan tetapi shalat yang dijalankan kurang dipahami
sebagai aspek perjanjian (bai'at) sehingga tidak mampu mengubah sikap dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam kaitan ini Dr.Abdullah Nasih Ulwan memberi metode cara mu'ahadah yakni
hendaklah seseorang mukmin berkhlwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk
mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: "Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu tidak
berjanji kepada Rabbmu setiap hari di saat kamu berdiri membaca "iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'in."

Janji itulah yang selalu keluar dari lisan maupun qalbu seorang muslim setiap melakukan shalat,
dengan demikian, seharusnya ditepati sehingga terhindar dari stempel munafik. Padahal Allah
SWT menekankan agar setiap orang menepati janji yang telah dibuatnya: "Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji...." (QS.16:91). Kurang memperhatikan dengan
perjanjian yang keluar dari lisan seseorang, jika tidak ditepatinya dapat menggugurkan jati diri
kemuslimannya.

2. Muraqabah
Makna muraqabah adalah terpatrinya perasaan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu
dan keadaan serta merasakan kebesaran-Nya di kala sepi ataupun ramai. Kuatnya kebersamaan
dengan Allah SWT dapat menumbuhkan sikap yang selalu berhati-hati dalam berbuat, artinya
akan senantiasa disesuaikan dengan aturan syariat. Jika keberadaan seperti ini berjalan secara
istimrariyah (berkesinambungan) sudah dapat dipastikan kelak akan lahir pribadi-pribadi yang
hanif.

Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika menjelaskan kata ihsan:
"Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika memang
kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu." Sikap seperti ini di jaman
modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat merusak sendi-
sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh akan mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul terkendali).

Pelaksanaan muraqabah dimulai ketika akan dimulai saat akan melakukan suatu pekerjaan dan di
saat mengerjakannya, hendaknya setiap orang mengoreksinya, apakah telah sesuai dengan
aturannya atau sebaliknya. Sehingga ketika sampai pada suatu waktu tertentu akan terlihat, lebih-
lebih bertemu dengan kegagalan. Mengapa terjadinya suatu kegagalan, padahal menurut
perasaan melakukannya secara maksimal. Inti muraqabah tercermin melalui firman Allah SWT:
"Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak
badanmu diantara orang-orang yang sujud." (QS.26:218-219).

3. Muhasabah

Jika merenungkan apa yang disampaikan Umar Al-Farq r.a., tentang makna muhasabah
(introspeksi diri) yaitu: "Hisablah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihisab (dinilai),
timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung
(hari kiamat)." Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari
amal kalian barang satu pun. Kesalahan yang sering terjadi di kalangan manusia melarikan diri
dari sikap muhasabah, sehingga melemahkan untuk meningkatkan prestasi ibadah, karena merasa
sudah berhasil. Lebih jauh lagi hakikat muhasabah seharusnya seorang mukmin memperhatikan
modal, keuntungan, dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau
menyusut. Yang dimaksud modal di sini adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala
perintah, larangan, tuntutan, dan hukum-hukumnya. Sedangkan pengertian laba adalah
melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan. Kemudian yang dimaksud kerugian adalah
melakukan perbuatan pelanggaran (dosa). Allah SWT memberikan acuan yang berkaitan dengan
muhasabah seperti firmanNya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS.59:18).

4. Mu'aqabah

Dalam setiap pekerjaan akan berhadapan dengan sebuah perbuatan kesalahan walaupun mungkin
ada yang bersifat sengaja atau karena alpa. Ketika berhadapan dengan perbuatan kesalahan yang
dilakukan secara sengaja perlu diambil sanksi (mu'aqabah). Namun ajaran Islam yang agung
telah memberikan uswah, walaupun perbuatan kesalahan karena alpa sebagai pendidikan adanya
tindakan mu'aqabah. Hal ini dapat dilihat dari riwayat, bahwa Uman bin Khatab ra., pergi ke
kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan shalat Ashar.
Maka beliau berkata: "Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah
shalat Ashar...kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang miskin."

Ibrah yang dapat diambil dari riwayat shahabat, Umar bin Khatab ra bahwa kesadaran untuk
mengakui kesalahan atas perbuatan dirinya kemudian diterapkan mu'aqabah secara konsekuen
akan membawa dampak positif. Dalam pengertian, dapat dijadikan panutan orang lain, lebih-
lebih jika dijadikan panutan oleh para elit kekuasaan. Sekaligus menerapkan aturan hukum
diterapkan kepada siapapun tanpa kecuali, bukan perilaku rejim yang menerapkan norma
kesewenangan. Pemberian sanksi diberikan atas dasar keadilan yang diberikan Allah SWT
setelah sebelumnya diberikan peringatan agar berjalan di wilayah Al-Haq: ".... Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.... (QS.2:195). Demikian juga di tempat
terpisah Allah SWT mengingatkan manusia supaya waspada yaitu: ".... Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.4:29).

5. Mujahadah

Kerja keras secara maksimal merupakan tahapan yang harus diupayakan untuk mencapai
keberhasilan. Karena sesuatu yang mustahil kesuksesan didapat tanpa melalui perjuangan dengan
sungguh-sungguh dan itulah kemudian disebugt mujahadah (optimalisasi). Secara terminologi
makna mujahadah yakni apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia
dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya,
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amalan-amalan sunnah lebih banyak dari
sebelumnya. Kemudian dalam kaitan ini, ia harus tegas, dan penuh semangat sehingga pada
akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat
pada dirinya.

Secara tersurat dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS.29:69).
Bentuk mujahadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW diperlihatkan ketika
menghadapi akhir ramadhan seperti sabdanya: "Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan
keluarganya bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang." (HR.Bukhari Muslim).

IV. Taskiyatun Nafs

Jika marhalah dalam mencapai ketakwaan dilaksanakan secara maksimal, maka akan melahirkan
orang-orang yang senantiasa mengadakan tazkiyatun nafs (pembersihan diri) setiap saat.
Tazkiyatun nafs sebagai konsekuensi logis tercapainya situasi ketakwaan kepada Allah SWT
yang merupakan cita-cita setiap mukmin.

Karena itulah Allah SWT menegaskan dalam kitab suci Al-Quran: "Dialah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayatNya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
(QS.62:2). Syamarah (buah) dari tazkiyatun nafs akan tampak dalam perilaku seseorang
diantaranya yaitu:

1. Selalu Bersyukur

Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah perbuatan mulia, tetapi
banyak diantara orang sulit melaksanakannya karena melupakan nilai nikmat yang sangat besar
telah diberikan oleh Allah SWT, kecuali orang-orang yang selalu mengadakan tazkiyatun nafs
terhadap dirinya sendiri. Sehingga menurut pandangan yang digariskan oleh Allah sWT dengan
bersyukur kepadaNya kenikmatan pun berlipat ganda seperti firmanNya: "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmatKu), maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih." (QS.14:7). Maka pengaruh dari
tazkiyatun nafs akan membekas pada seseorang dengan kegiatan selalu melakukan syukur
terhadap Allah SWT.

2. Bersabar

Sikap sabar pun hanya akan abadi dalam jiwa seseorang yang selalu dihidupi oleh tazkiyatun
nafs,sehingga melahirkan sikap di bawah monitor Al-Haq. Artinya sikap yang keluar ketika
menghadapi ujian maupun cobaan hidup akan dihadapi penuh kesabaran serta keimanan
kepadaNya. Di samping itu Allah SWT menyertai terhadap orang-orang yang mampu
mempergunakan pakaian kesabaran dalam menjalani kehidupan baik pada kondisi suka maupun
duka: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.2:153). Terutama dalam menghadapi
zaman yang serba materialistis disertai oleh budaya pembaratan, jika hilangnya pakaian
kesabaran, maka hidup akan terasa "gerah". Dan telah tampak bukti-bukti yang ada di hadapan
mata, betapa kekerasan disertai kriminalitas salah satu penyebabnya pengaruh sosial. Maka
orang di sebelah seberang membuat analisis akibat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
sehingga menimbulkan krisis moral maupun meningkatnya kriminalitas.

Apabila memperhatikan kondisi yang serba panas, terlihat dengan jelas bahwa nilai kesabaran
terlemparkan sejauh mungkin. Padahal, sabar sebuah ruh yang harus dijadikan pola hidup oleh
orang-orang beriman kepada Allah SWT, RasulNya maupun hari akhir.

3. Pemaaf

Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang mampu
menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh emosional sulit
orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap kesalahan pihak lain.
Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan hasil penataan dari keimanan
seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan dalam Al-Quran: "...dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan." (QS.3:134).

Begitu urgensinya seorang mukmin harus mampu menahan amarahnya disertai sikap suka
memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam
sabdanya: "Jangan engkau mudah marah." Maka diulangi beberapa kali, sabdanya: "Janganlah
engkau mudah marah." (HR.Bukhari,Muslim). Jelas sekali Islam memandang pentingnya untuk
memasyarakatkan pemaaf disertai berupaya mampu menahan amarah, bila sudah membudaya
maka niscaya akan diikuti orang di sekitarnya.

4. Ar-Rahim

Bentuk Ar-Rahim (kasih sayang) Allah SWT diciptakan agar dijadikan landasan hidup setiap
orang, sehingga terwujudnya masyarakat yang penuh damai. Hilangnya perasaan kasih sayang
yang kemudian diganti oleh pertikaian menjadikan dunia ini penuh malapetaka. Kalau unia diisi
hanya oleh perbuatan biadab dan menafikan nilai Ar-Rahim, jika yang terjadi demikian, kelak
Allah SWT menurunkan peringatan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS.30:41).

Sangat penting untuk menciptakan perasaan kasih sayang agar terhindar dari malapetaka yang
diturunkan oleh Allah SWT hanya karena ulah segelintir manusia. Karena pandangan itulah,
Allah SWT menegaskan perlu ditekankan kondisi kasih sayang seperti firmanNya: "Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi kasih sayang mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaanNya." (QS.48:29).

5. Al-Amin

Salah satu akhlak yang menonjol dalam perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Amin (terpercaya),
yang harus menjadi petunjuk oleh setiap umat Islam. Karena faktor kepercayaan akan mampu
menciptakan kondisi yang mendekatkan perilaku kebajikan dalam operasionalitas hidupnya.
Dalam menumbuhkan sikap Al-Amin sedikit banyak dipengaruhi oleh diyah (lingkungan) di
mana seseorang berada, karena itu perlu adanya orientasi keluar. Dalam pengertian, bergaullah
dengan lingkungan yang terhindar dari hilangnya wilayah Al-Amin, seperti Allah SWT
memberikan informasi: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang beriman." (QS.9:119).

Maka peran pergaulanlah dapat mempengaruhi perilaku seseorang, untuk itulah memperhatikan
lingkungan dalam dimensi hubungan sosial yang dapat menciptakan situasi aman tenteram
sejauh mana adanya upaya ke arah ke sana. Demikian pula, jiwa Al-Amin pada hakikatnya fitrah
yang melekat dalam jiwa seseorang, tetapi sering terabaikan untuk dimanfaatkan sesuai aturan
syariah. Jalan taqwa yang menjadi pilihan seseorang merupakan kesuksesan untuk meraih
kondisi tazkiyatun nafsi, kemudian terbangunnya ketenangan lahir batin.

6. Al-Falah

Puncak tazkiyatun nafsi yang sebelumnya telah melakukan aktivitas syukur hingga al-amin
sebagai syamarah (buahnya) adalah alfalah (kemenangan). Al-Falah yang diraihnya bukan hadir
tanpa melalui proses tadhiyah untuk meraihnya. Ketaatan/tsiqah kepada Allah SWT dan
Rasulullah SAW menyertainya: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan
takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat
kemenangan." (QS.24:52).

Kemenangan yang dijanjikan Allah SWT sekaligus sebagai cambuk untuk berada serta mampu
mempertahankan nilai ketaqwaan sampai akhir zaman. Ketika dimilikinya, tentu usaha untuk
mempertahankan al-falah dalam sikap yang sesuai dengan syari'atullah, jika melenceng akan
menjadi preseden kurang baik.

V. Al-Fujura

Sifatul insan yang bertentangan dengan sifat at-taqwa adalah al-Fujur (fasik), sehingga jalan ini
harus dihindarkan jangan sampai masuk ke ruang hati maupun pikiran seorang mukmin. Dimiliki
sifat fujur karena dominasi kecintaan kepada dunia secara berlebih-lebihan, sehingga kewajiban
kepada Allah SWT atau hukum-hukumNya diabaikan. Kelompok fasik ditegaskan Allah SWT:
"Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-
rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya
dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS.9:24).

Kefasikan yang melanda jiwa seseorang selain orientasi keduniaan lebih dominan, juga banyak
melakukan kemaksiatan lewat kehidupan sehari-hari, dengan melupakan untuk bertaubat
(perbaikan) sehingga berbuat penyimpangan terbiasa. Dengan lain perkataan, selalu
memproduksi penyakit atau mengotorinya (at-tadbiniyyah) syariat Islam. Jika demikian
kenyataannya, maka dominasi kefasikan akan membawa kerugian ummat manusia dunia maupun
akhirat kelak.

1. At-Tadbiniyyah

Aktivitas orang-orang fasik pada hakekatnya at-tadbiniyyah (mengotori) ketentuan Allah SWT
yang seharusnya mampu mengaktualisasikannya semata-mata untuk beribadah kepadaNya secara
kaffah. Bentuk nyata dari usaha at-tadbiniyyah terhadap hukum Allah SWT, akan tampak dari
aktivitas seseorang yang terkena penyakit fasik yaitu:

2. 'Ajuulan

Akibat kefasikan yang melanda hati dan pikiran, seseorang akan tampak dalam berperilaku
'ajuulan (terburu-buru), sehingga hasilnya kurang memuaskan, kemungkinan lain dapat
merugikan semua pihak. Betapa berbahayanya, orang yang di luar terkena getahnya, padahal
tidak mengetahui permasalahannya. Di samping itu, manusia mempunyai sifat tergesa-gesaan
seperti ditegaskan oleh Allah SWT: "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (QS.17:11).
Perbuatan yang dilakukan secara tergesa-gesa pada hakekatnya bentuk orang-orang yang
membelakangi sunnatullah dan ketidakmampuan menghadapi kesabaran. Sehingga ditempuh
jalan garis cepat, yang sebenarnya akan berhadapan dengan kerugian serta berbagai benturan.
Pada akhirnya tercipta kondisi yang tidak menentu dan kemudian lahirlah sikap ragu-ragu
terhadap langkah berikutnya.

3. Al-Maluu'a

Bentuk kefasikan yang lainnya dalam mengotori kebenaran al-Haq yaitu dimilikinya sifat keluh-
kesah dalam jiwa seseorang. Terjadinya al-maluu'a (keluh-kesah) dalam diri seseorang
merupakan sebuah rangkaian yang tidak terlepaskan dari hasil kefasikan, karenanya hidup selalu
merasa terasingkan. Jika hanya dipahami secara kasar orang mengatakan, bentuk keluh-kesah
(al-maluu'a) diciptakan oleh Allah jadi tidak perlu dipermasalahkan. Sebenarnya bukan
permasalahan yang jadi konteks di sini, namun menunjukkan bahwa kekuasaan Allah SWT
dalam menciptakan sesuatu. Termasuk pengertian al-maluu'a seperti firmanNya: "Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir." (QS.70:19). Sekaligus informasi, bahwa
Allahlah yang memiliki kekuasaan dan penguasa, karena manusia berhadapan dengan kondisi
keluh-kesah sekalipun tidak mampu meninggalkannya. Oleh karena mengapa bangga akan
kesombongan diri sendiri, tidakkah kita seharusnya memikirkan ayat-ayatNya.

4. Al-Qatuura

Bentuk perilaku kotor dalam bentuk lain yang ada pada jiwa orang-orang fasik yakni Al-Qatuura
(kikir), seolah-olah segalanya adalah milik dirinya sendiri baik harta maupun tahta sekalipun.
Padahal menurut aturan Allah SWT semuanya merupakan amanah yang harus dipenuhi
ketentuannya, seperti diberikannya harta, di dalamnya ada hak orang lain: "Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bahagian." (QS.51:19).

Walaupun manusia memiliki sifat kikir seperti dalam firmanNya: "Katakanlah: "Kalau
seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat
kikir." (QS.17:100). Akan tetapi tidak demikian, jika seseorang yang komitmen terhadap
keimanannya. Karena menyadari, bahwa rizki yang Allah SWT berikan sesungguhnya amanah
semata, yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali olehNya. Jika setiap umat menyadari asal-
usul rizki secara proposional, tentu akan melahirkan pribadi-pribadi yang abid (ahli ibadah)
seperti akhlak para salafus shalihin.

5. Al-Kafuuraa

Konsekuensi mengambil jalur kefasikan maka melahirkan penyakit al-kafuuraa (kafir) dengan
kata lain perkataan mengingkari terhadap kebenaran. Kelompok umat ini, pada hakekatnya
mengetahui adanya kebenaran, tetapi menutup hati untuk melakukannya (amal) karena kekafiran
yang terdapat di dalam dirinya. Sehingga Allah SWT memberikan informasi keberadaan orang-
orang kafir seperti diabadikan Al-Quran: "Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan
pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat."
(QS.2:67).

Makna al-kafuuraa secara lebih jauh dapat dipahami baik secara i'tiqadi (keluar dari Islam)
maupun kafir secara amali (pengamalan). Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang lebih
dominan kafir secara amali (pengamalan), walau pun hatinya masih Islam. Sehingga yang perlu
pemikiran lebih dalam, adanya usaha untuk mengembalikan ummat ke jalan ketaqwaan sekaligus
meninggalkan sikap kekafiran baik kafir i'tiqadi maupun kafir secara amali. Kekafiran yang
terdapat dalam jiwa seseorang baik secara i'tiqadi maupun kafir amali, pada hakekatnya akan
menempatkan dirinya pada suatu kerugian, sehingga aktivitas amaliyahnya tidak mendapat nilai
menurut pandangan Allah SWT, dalam Al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang
kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil,
maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah
orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali
tidak memperoleh penolong." (QS.3:21-22).

6. Al-Jahuula

Bentuk pengobatan lain sebagai konsekuensi jalan kefasikan seseorang, adalah terkena al-jahuula
(bodoh) terhadap kebenaran, kemudian merasakan pemilikan al-jahuula tidak dianggap lagi
sebagai penyakit yang dapat mengganggu hubungan dengan Allah sWT (hablum minallah)
maupun keterkaitannya dengan sesama manusia (hablum minannas). Efek itulah yang
selanjutnya dapat mengubah sikap kebaikan kepada kebatilan sebagai sarana jalan syaitan
laknatullah.

Sebagai diilustrasikan Allah SWT ketika menawarkan tanggung jawab untuk melaksanakan
amanat yang ditolak oleh gunung, langit maupun bumi tetapi manusia menerimanya, seperti
firmanNya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat
zhalim dan amat bodoh." (QS.33:72).
Al-jahuula pada dewasa ini lebih tampak tercermin melalui kebijakan yang diambil seseorang
untuk memilih antara kebenaran dan kebatilan, tetapi pilihannya justru kepada kebatilan, yang
sesungguhnya mereka mengetahuinya akan mendapat murka (azab) dari Allah SWT kenyataan
seperti ini, bukanlah sesuatu yang mengherankan, tetapi dalam zaman yang serba materialistis ini
kemungkinan bisa terjadi seketika. Bahkan kebenaran pun bisa dibeli dengan segepok uang!
Itulah realita yang sungguh ironis terjadi di jaman sekarang ini. Karena hilangnya kewaspadaan
pada tiap-tiap diri seseorang, kemudian hidupnya diliputi oleh ketergantungan yang bersifat
materi semata.

VI. Khatimah (Penutup)

Setelah menelusuri dua sifat Al-Insan antara at-Taqwa dan al-Fujuur yang masing-masing
memiliki konsekuensinya. Tentunya bagi pilihan jalan taqwa akan mendapat berbagai
keberuntungan, dan sebaliknya jika jalan al-fujuur yang menjadi alternatifnya pintu kesengsaraan
akan diraihnya. Pada akhirnya Allah sWT memberikan pilihan kepada setiap ummat untuk
mengambil sikap antara iman atau kafir dan harus dipertanggungjawabkan atas hasilnya kelak.

Konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Allah SWT tercermin melalui firmanNya, yang artinya:
"Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,
sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka." (QS.18:29).

Jalan taqwa adalah pilihan yang tepat bagi orang-orang beriman dalam menyelamatkan dirinya
untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (QS.2:201).

https://adoc.pub/marifatul-insan-mengenal-diri-manusia-ditulis-oleh-redaksi-k.html

KEISTIMEWAAN MANUSIA

Seperti dijelaskan di awal, manusia mempunyai keistimewaan yang tidak dimilikimakhluk lain.
Keistimewaan tersebut antara lain :

a. Segi Penciptaan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dinyatakan Allah sebagai sebaik-
baikpenciptaan, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik -baiknya.”
( At-Tin: 4)

Coba bandingkan organ tubuh kita dengan organ tubuh makhluk Allah yang lain,pastilah
kita akan melihat manusia lebih sempurna penciptaannya. Manusia memilikiorgan tubuh
yang lebih sempurna fungsinya dibandingkan organ tubuh pada makhlukciptaan Allah
lainnya. Coba perhatikan telapak tangan manusia, dengan lima jari dansistem ruas tulang
yang ada di dalamnya, manusia dapat mengerjakan perbuatan dari yang sangat berat
hingga yang sangat rumit sekalipun. Dari yang sangat kasar hingga yang sangat lembut
sekalipun
b. Segi Ilmu
Penciptaan otak manusia dengan segenap potensi yang terkandung di dalamnya,adalah
wujud kesempurnaan ciptaan Allah. Dengan otak tersebut manusia bisa menyerapilmu
dan sekaligus mengembangkannya. Semua itu terjadi karena manusia diberikelebihan
yang tidak dimiliki oleh hewan dan tumbuhan, yaitu berupa akal. Dengananalisis ilmu,
manusia bisa melakukan seleksi informasi, bisa menyimpulkannya,sekaligus
mengembangkannya. Maka budaya dan selera manusia dari waktu ke waktuterus
berkembang seiring ilmu yang dimiliki. Ini tidak dimiliki oleh binatang, merekamemiliki
perilaku, selera, dan perasaan yang tidak pernah berubah apalagi berkembang.Dari dulu,
misalnya binatang tidak punya rasa malu tidak pakai baju. Maka jika sekarangada
sebagian orang makin suka buka-buka baju tandanya ilmunya makin jongkok
(sepertibinatang?).Hewan hanya memiliki insting,sehingga segala gerak dan
perbuatannya hanyasekedar instinktif Bisa jadi hewan mampu dilatih untuk suatu hal
tertentu, namun itupunhanya sekedar insting bukan ilmu, sehingga ia tak akan mampu
mengembangkannya. Apalagi dibandingkan dengan tumbuhan yang tak diberi indera,
maka terbukti manusiaadalah satu-satunya makhluk yang bisa mencerna ilmu dan
teknologi secara baik.
c. Segi Kehendak Untuk Memilih
Kita sebagai manusia pastilah punya kehendak. Kita bisa memilih mana jalan yangbaik
dan mana yang sesat. Sekadar ilmu belum tentu bisa mengarahkan kepada kebaikan, yang
bisa mengarahkan orang pada kebaikan adalah kemauan dan kehendak yang kuatuntuk
mengamalkan ilmu itu dan menjadikan dirinya baik. Misalnya, seseorang yang
mengetahui bahwa mencuri itu perbuatan yang buruk, tapi ia tetap melakukannya

d. Segi Kedudukan/kemuliaan
Allah memberikan kedudukan yang tinggi kepada manusia diantara makhluklainnya di
bumi, yakni ia sebagai pemimpin atau khalifah di bumi ini, sehingga manusiabisa
memanfaatkan alam semesta ini untuk keperluan hidupnya. Sebagaimana firman Allah:
“Dialah (Allah) yang menjadikan segala hal yang ada di bumi ini untuk kamu.”
(Al-Baqarah: 29)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkanmereka dengan kelebihan yang lebih sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.”
(Bani Isr a’il: 70)

Dengan ilmu yang dimilikinya, manusia bisa memanfaatkan segala sesuatu di alamini
sehingga bermanfaat untuk kemakmuran bersama.

e. Segi Kemampuan Bicara


Jika kita perhatikan semua makhluk hidup yang diberi mulut, semuanya dapatberbicara
dengan bahasa masing-masing. Binatang-binatang berbicara dengan bahasamereka
masing-masing seperti yang disebut manusia sebagai mengembik, mengaum, berkicau
dan lain lain.

f. Segi Kesiapan Moral


Manusia dapat dibentuk menjadi baik atau buruk, bahkan bisa juga berperan
gandasebagaimana orang munafik. Ia bisa jahat melebihi syaitan, sekaligus bisa
menjadimakhluk baik melebihi malaikat. Dalam segi ini sangat tampak perbedaan
manusiadengan binatang. Binatang sulit atau malah tidak bisai dibentuk dengan sifat dan
karaktermereka yang bermacam-macam. Karenanya tidak ada ya binatang munafik?
Sedangkan manusia bisa saja melakukan dan bisa membentuk moralnya menjadi apaapun
yang diingin kan.

https://id.scribd.com/document/250195184/01-ma-rifatul-insan-docx
BAB II

Buku: Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah (Hal 165 – 167)

Siapa pun dan apa pun kedudukannya, manusia harus memahami hakikat diri dan
kehidupannya. Hal ini penting agar manusia dapat bersikap dan berlaku adil terhadap dirinya,
terhadap Penciptanya, terhadap sesama manusia, dan terhadap makhluk-makhuk lain. Beberapa
hakikat yang harus dipahami di antaranya adalah bahwa dirinya:

1. Makhluk
Sebagai makhluk, in diciptakan di atas fitrah Islam sebagaimana makhluk-makhluk yang
lain. Sebagai manusia, ia tidak akan pernah menjadi malaikat yang tercipta dari cahaya. Namun
ia juga bukan iblis yang tercipta dari api. Dilihat dari fisiknya, ia termasuk makhluk lemah,
memiliki banyak sekali keterbatasan dan kekurangan. la juga bodoh. Sepandai-pandainya
manusia, ia tetap tidak dapat mengetahui rahasia yang belum Allah bukakan untuknya. Ia juga
tidak dapat berdiri sendiri. Bahkan, untuk kelangsungan hidupnya saja manusia sangat
bergantung kepada pihak lain.

2. Mukarram

Betapa pun ia tercipta dari tanah liat atau air hina, akan tetapi Allah menghen-daki agar ia
menjadi makhluk yang mulia. Hanya berstatus sebagai manusia saja, orang sudah dipanggil al-
mukarram (yang dimuliakan). Ini menunjuk-kan kekuasaan Allah yang absolut. Dengan
kekuasaan-Nya, makhluk yang tercipta dari tanah itu mendapat tiupan ruh dari Allah swt. Di
samping itu Allah juga memberikan berbagai kelebihan padanya. Dalam hal penciptaan, ia
diciptakan dengan penciptaan yang paling sempurna. Akal merupakan kelebihannya yang paling
istimewa. Bukan hanya itu... Alam semesta ini pun Allah tundukkan untuknya.

3. Mukallaf

Makallaf artinya yang dibebani. Sebagai makhluk yang telah diistimewakan dengan
berbagai kelebihan, manusia tidak dibiarkan tanpa tugas dan tang-gung jawab. Nikmat
penciptaan dan berbagai- kelebihan itu harus disyukuri dengan melakukan ibadah secara benar
dengan segala ketundukan dan keikhlasan kepada Allah yang telah memberi nikmat-nikmat itu
kepadanya. Potensi besar yang diberikan kepadanya itu juga dimaksudkan agar ia mam-pu
mengelola bumi ini mewakili Allah mengatur kehidupan sesuai yang dikehendaki- Nya. Sebagai
khalifah ia tidak boleh bertindak sekehendaknya.

4. Mukhayyar

Kalau Allah menghendaki, manusia diciptakan tanpa akal dan pikiran sehingga ia tidak
dapat memilih apa yang hendak ia lakukan. Keistimewaan akal dan hatinya itu, manusia menjadi
makhluk pilihan hingga ia bebas memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Akal dan kebebasan
ini sebenar-nya adalah ujian. Bila ia menggunakan akal dan hatinya dengan baik, ia akan
beriman kepada Allah. Bila ia kemudian sombong dan menutupi nikmat itu, ia akan mengidap
kekafiran. Orang kafir adalah musuh Allah.

5. Majziy

Keberadaannya sebagai makhluk yang diberi kebebasan untuk memilih itu bukan tanpa
konsekuensi. Sesungguhnya nikmat- nikmat yang telah ia terima sejak awal penciptaan, berbagai
kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lain, dan tugas yang dibebankan kepadanya itu
akan diperhitungkan oleh Allah. Usainya keberadaan manusia di dunia, Allah akan memberikan
balasan secara adil dan proporsional di akhirat berupa surga atau neraka. Sebagian dari balasan
itu kadang diberikan di dunia. Satu kebaikan akan mendapat balasan sepuluh kali kebaikan atau
berlipat-lipat sebagaimana yang Allah kehendaki. Demikian pula yang buruk, ia akan mendapat
balasan yang setimpal.
jurnal :

Dengan demikian, surga adalah merupakan kediaman bagi para mukmin di alam akhirat
yang melibatkan aspek jasmani dan rohani yang bersifat kekal. Di dalam surga terdapat segala
bentuk nikmat yang dapat dibayangkan dan yang tidak dapat dibayangkan oleh akal manusia.
Dan demikian pula halnya neraka adalah merupakan tempat tinggal bagi orang-orang kafir dan
munafiq dan juga melibatkan aspek jasmani dan rohani. Penghuninya terdiri dari para pelaku
maksiat, kezaliman dan seumpama dengan itu. Neraka digambarkan sebagai tempat yang penuh
dengan kesengsaraan tanpa kesudahan dan pengurangan. Ia disimpulkan sebagai tempat yang
penuh dengan keburukan tanpa ada sedikitpun di dalamnya kebaikan.

https://media.neliti.com/media/publications/99975-ID-antara-surga-dan-neraka-menanti-
kehidupa.pdf

hadits :

‫ض َعفَاء‬ ُ ‫ي‬ َّ ‫ ف‬:‫ت الجنَّة‬ َّ ‫ ف‬:‫ت النَّار‬


ِ ‫ وقال‬.‫ي الجبَّارون وال ُمتَ َكبِّرُون‬ ِ ‫ «احْ تَ َّج‬:ً ‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه مرفوعا‬
ِ ‫ فقال‬،‫ت الجنَّة والنَّار‬
‫ي ِم ْلُؤ هَا‬ ‫ُأ‬
َّ ‫ ولِ ِكلَ ْي ُك َما عل‬،‫ وِإنك النَّار عذابي عذب بك من أشاء‬،‫ ِإنك الجنَّة رحْ َمتي َأرحم بك من أشاء‬:‫¶ فقضى هللا بَ ْينَهُ َما‬،‫»الناس ومسا ِكينُهُم‬.
ِ

Dari Abu Sa'id Al Khudri -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', (Nabi bersabda), "Surga dan
neraka saling beradu argumentasi, maka neraka berkata, 'Di dalamku ada orang-orang yang
angkuh dan sombong.' Dan surga berkata, 'Di dalamku ada orang-orang lemah dan miskin.' Lalu
Allah memutuskan/menengahi di antara keduany0a, 'Sesungguhnya engkau wahai Surga adalah
rahmat-Ku, denganmu Aku merahmati siapa saja yang Aku kehendaki. Dan sesungguhnya
engkau wahai Neraka adalah azab-Ku, denganmu Aku mengazab siapa saja yang Aku kehendaki.
Dan masing-masing (dari) kalian berdua, menjadi wewenang-Ku untuk memenuhinya (dengan
penghuninya)'.”

Maknanya :

Makna hadis ini adalah bahwa surga dan neraka saling beradu argumentasi di antara
mereka berdua. Masing-masing menyampaikan argumentasinya; dan hal ini termasuk salah satu
perkara gaib yang wajib kita imani meskipun dianggap mustahil oleh akal.

Maka surga mendebat neraka, dan neraka (juga) mendebat surga. Neraka beralasan
bahwa di dalamnya ada orang-orang yang angkuh dan sombong. Orang-orang angkuh (al-
Jabbārūn) adalah orang-orang yang kasar dan keras, sementara orang-orang sombong (al-
Mutakabbirûn) adalah orang-orang meninggikan dan mengangkat diri, merendahkan orang lain
dan menolak kebenaran; sebagaimana sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tentang
kesombongan: bahwa ia adalah “menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.

Maka orang-orang angkuh dan sombong, mereka itu adalah penghuni neraka, wal ‘iyażu
billāh. Bisa saja si penghuni neraka itu bersikap lembut kepada orang lain dan berperilaku baik,
namun ia angkuh dan sombong terhadap kebenaran, sehingga sikap lemah lembut dan kasih
sayangnya kepada manusia tidak berguna untuknya, ia tetap disifati dengan sifat keangkuhan dan
kesombongan, meskipun ia lemah lembut kepada orang lain; karena ia bersikap angkuh dan
sombong terhadap kebenaran.

Adapun surga, ia mengatakan bahwa di dalamnya terdapat orang-orang lemah dan fakir.
Mereka pada umumnya adalah orang-orang yang terbuka dan tunduk kepada kebenaran.
Sementara orang-orang angkuh dan sombong, umumnya tidak tunduk pada kebenaran.

Maka Allah menengahi di antara keduanya, lalu mengatakan kepada surga,


“Sesungguhnya engkau, Surga, adalah rahmat-Ku, denganmu Aku merahmati siapa saja yang
aku kehendaki.” Dan Ia mengatakan kepada neraka, “Dan sesungguhnya engkau, Neraka, adalah
azab-Ku, denganmu Aku mengazab siapa saja yang Aku kehendaki.” Lalu Allah -'Azza wa Jalla-
berfirman, “Dan masing-masing (dari) kalian berdua, menjadi wewenang-Ku untuk
memenuhinya (dengan penghuninya -penj).’”

Allah -'Azza wa Jalla- menjamin dan mewajibkan atas DiriNya untuk memenuhi surga
dan juga neraka, meskipun karunia dan rahmat Allah -Ta‘āla- itu lebih luas daripada kemurkaan-
Nya. Maka pada hari kiamat, Ia akan melemparkan siapa saja yang Ia lemparkan ke dalam
neraka, lalu neraka berkata, “Apakah masih ada tambahan?”; maksudnya: berikan, berikan dan
tambahkan lagi untukku. Lalu Allah meletakkan Kaki-Nya di dalam (neraka) –dalam riwayat
lain, “…Telapak kaki-Nya”. Maka (neraka) itupun menyusut dan menyatu padu antara satu
dengan yang lain akibat pengaruh Allah -'Azza wa Jalla- meletakkan Kaki-Nya, lalu (neraka)
berkata: “Qaṭṭun, qaṭṭun”, maksudnya: cukup, cukup. Dan begitulah ia dipenuhi.

Adapun surga, maka sesungguhnya surga itu luas, lebarnya seperti seluruh langit dan
bumi. Para penghuninya masuk ke dalamnya dan karunia yang berlebihan akan terus langgeng
untuk para penghuninya. Lalu Allah -Ta‘āla- memunculkan generasi manusia lain, lalu
memasukkan mereka ke dalam surga dengan karunia dan rahmatNya; karena Allah telah
menjamin untuk memenuhinya.

https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/3261

Anda mungkin juga menyukai