1. Fitrah akal
Sebagaimana dikatakan bahwa akal memperoleh pengetahuan melalui
proses berpikir yang didahului dengan adanya sentuhan pancaindra terhadap
fenomena dan realitas yang diperkuat dengan berbagai bukti atau alasan tertentu.
Dengan proses ilmu pengetahuan tersebut, manusia dapat membuktikan
kebenaran agama, sekaligus memperkuat keimanannya. Namun demikian
kemampuan akal memiliki keterbatasan dalam menemukan kebenaran-
kebenaran, terutama ketika menyangkut persoalan yang bersifat metafisik
(ghaib) yang mesti didekati melalui iman (al-qalb). Sebagaimana firman Allah
SWT yaitu (1Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998),
h. 117)
َب َوَماَ اُْوتْيـتُ َْم ّم ََن الْع ْلمَ اََّل قَلْي ًل
َّْح م َْن اَْمرَ َر
َُ الرْو
ُّ َالرْوحَ قُل
ُّ َك َعن
ََ ََويَ ْسـَلُ ْون
2
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Ruh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.” (QS. Al-Isra: 85).
Dengan potensi akal, manusia dapat menciptakan aktivitas bagi kemajuan
peradabannya. Melalui kekuatan akal pula, manusia dapat dipandang mulia dan
berharga, serta sekaligus membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya.
(Hamka, Lembaga Hidup, h. 42) Agar produk akal bermanfaat bagi kehidupan
seluruh umat, hendaknya segala segala pekerjaan- pekerjaan yang engkau
(manusia) lakukan bertujuan untuk membuktikan hakikat kemanusiaan dan
menjunjung tinggi harkat martabat manusia lainnya.(Hamka, Ibid, h. 40)
2. Fitrah agama
Fitrah agama merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Dengan agama
manusia dapat menemukan kebenaran dari berbagai persoalan yang bersifat
metafisik. (Hamka, Lembaga Hidup, h. 39) Eksistensinya sekaligus menjadi alat
kontrol daya eksplorasi akal dan nafsu untuk senantiasa berkembang sesuai
dengan roh ajaran agamanya. Sebagai sumber kebenaran, fitrah akal dan fitrah
agama hendaknya berjalan secara harmonis dan saling melengkapi antara satu
dengan yang lain. Agama senantiasa memotivasi perkembangan akal. Sementara
melalui daya eksplorasi akal yang sesuai dengan fitrah-Nya, akan memperkuat
kebenaran ajaran agama yang diyakininya.
َاّلل
َ َيل ِلَْلق ََ َاس َعلَْيـ َهاَۚ ََّل تَـْبد ََ اّللَ الَتَ فَطَََر الن َ ت
ََ ين َحني ًفا َۚ فطَْر
َ ك لل ّد
ََ َۚفَأَق ْمَ َو ْج َه
ين الْ َقيّ َُم َوَٰلَك َن أَ ْكثَـََر النَاسَ ََّل يـَ ْعلَ ُمو َن ََ َٰذَل
َُ ك ال ّد
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. ( QS. Ar-Rum:30).
HAMKA memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut di atas sebagai
“rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi
oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah). Pada
dasarnya, fitrah manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah)
melalui agama yang disyari’atkan padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang
telah diberikan-Nya kepada manusia sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia
masih merupakan wujud ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudia
akan berkembang setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi
dengan lingkungannya.
Pada konteks pendidikan fitrah dimaknai dengan potensi (kemampuan) dasar
yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas sebagai alat yang
menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Alat tersebut adalah
potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). (Hamka, Lembaga Hidup,
h. 15) Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan guna
menunjang eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya
bertujuan membentuk peserta didik (manusia) yang beriman dan memelihara
berbagai komponen potensi yang dimilikinya, tanpa mengorbankan salah satu di
antaranya.
HAMKA berpendapat bahwa jasad (jism) manusia merupakan tempat dimana
jiwa (al-qalb) berada. Meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi manusia, namun
tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa
manusia akan dapat memberikan makna tertentu.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 140)
Untuk itu, manusia hendaknya senantiasa memelihara jasad (jism) dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu jasad harus dilatih supaya tubuh kuat dan sehat. Begitu
juga dengan jiwa, agar memperoleh ketentraman dan merasakan sesuatu.
Perkembangan jiwa tersebut akan lebih baik dan memberikan makna bila
didukung oleh potensi akal. Dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi
4
terhadap fenomena dalam sebuah kesimpulan yang kemudian dapat dirasakan oleh
jiwa. Integritas tersebut hanya dimiliki oleh manusia yang berfikir merdeka dan
mempergunakan potensi akalnya secara maksimal.(Hamka, Filsafah Hidup,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 56-57.) Kemampuan manusia menggunakan
akalnya untuk berfikir merupakan puncak kemuliaannya sebagai makhluk Allah,
sekaligus membedakannya dengan makhluk-Nya yang lain. Tatkala dinamika akal
terkekang atau tertutup, maka manusia tidak akan mencapai kemajuan dalam
peradabannya. Bila ini terjadi, bearti pendidikan yang diterapkan telah menjatuhkan
peserta didik dari nilai- nilai kemanusiaannya yang hanif. Oleh karena akal lebih
banyak mengatur perbuatan dan peradaban manusia, maka eksistensi perlu
senantiasa disempurnakan dengan cara meningkatkan tingkat kecerdasannya dan
disirami dengan siraman al-hikmah. Dengan upaya ini, akal akan dapat
membedakan dan memilah perbuatan atau nilai baik dan buruk menurutnya dan
menurut ajaran agama yang diyakininya.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 45)
HAMKA memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut di atas sebagai
“rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi
oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini
(Allah).(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7, h.5516) Pada dasarnya, fitrah manusia
adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui agama yang
disyari’atkan padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang telah diberikan-Nya
kepada manusia sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia masih merupakan
wujud ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudia akan berkembang
setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya.
(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7, h. 5516)
5
perkembangan fitrahnya yang hanif dari pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh
lingkungan di mana ia berada. (Hamka, Falsafah Hidup, h. 57) Agar peserta didik
mampu menetralisir berbagai pengaruh tersebut, maka peserta didik dituntut untuk
senantiasa menteladani kepribadian rasulu lah, sebagaimana dinukil Allah melalui
firman-Nya: (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 10, h. 63)
َبَ َف ْٱْل ُّم ّيۦنَ َر ُس ًوّلَ ّمْنـ ُه ْمَ يـَْتـلُواَ َعلَْيه َْم ءَايََٰتهَۦ َويـَُزّكيه َْم َويـُ َعلّ ُم ُه َُم ٱلْك َٰت ََ ُه َوَ ٱلَذى بـَ َع
َ ث
َض َٰلَلَ ُّمبَن
َ ْم َة َوإن َكانُواَ من قَـْب َُل لَفى َ ٱْلكْ َو
Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (al-Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS,
al-Jumu’ah: 2).
Islam merupakan agama ilmu yang senantiasa memotivasi untuk
mempergunakan segala potensinya “ memikir “ ayat-ayat Allah SWT guna mencari
pengetahuan semaksimal mungkin. Dengan ilmu, manusia akan dapat memahami
ajaran agamanya, mempertimbangkan nilai baik dan buruk, serta menata
peradabannya dengan baik, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama sebagai salah satu
tugas kekhalifahan di muka bumi. Di antara tujuan agama adalah memotivasi
umatnya mencari ilmu pengetahuan dan melaksanakan proses pendidikan. Ilmu
pengetahuan akan membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak,
mengenal Allah SWT, memperhalus akhlaknya, serta senantiasa berupaya mencari
dan mencapai keridhaan-Nya.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 190) ujuan tersebut
seyogianya berjalan secara harmonis dan integral. Karena dengan tujuan tersebut,
manusia akan memperoleh keutamaan (al-hikmah) dalam hidupnya.
unsur tersebut berfungsi untuk membantu manusia atau peserta didik untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradaban, memahami fungsi
kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.
Pendapat HAMKA, tentang fungsi fitrah searah atau tidak berbeda dengan apa
yang dikemukan oleh ahli mufasir seperti Ibn Manzhur (1992) yang mengatakan bahwa
fungsi fitrah adalah untuk mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas
sebagai alat menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Alat tersebut
adalah potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). Ketiga ini merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan guna menunjang eksistensi manusia.. Dari uraian
di atas, penulis berpendapat sama dengan pandangan tersebut bahwa fitrah akal, hati
atau kalbu (roh) dan panca indra (penglihatan) dan jasad, berfungsi untuk membantu
manusia atau peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun
peradaban, memahami fungsi kekhalifahan, serta menangkap tanda-tanda kebesaran
Allah. Namun manusia dalam kehidupannya di muka bumi tidak terlepas dari
kekuasaan yang transendetal (Allah). Hal ini disebabkan karena manusia adalah
makhluk Allah yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrah yang
diberikan kepadanya.
KESIMPULAN
Fitrah manusia dalam Tafsir Al-Azhar karya HAMKA menunjukkan bahwa manusia
telah dibekali fitrah akal, hati dan pancaindra. Fitrah tersebut akan membantu manusia
(anak didik) untuk memperoleh ilmu pengetahuan agama Islam dan membangun
peradaban.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al-Azhar, juz I sampai juz XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Wen Hartono, Skripsi; Konsep Fitrah Manusia Dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka
Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru,
2012.