Anda di halaman 1dari 11

1

FITRAH ATAU POTENSI MANUSIA DALAM AL QUR’AN (TAFSIR AL


AZHAR KARYA HAMKA)

A. Pengertian Fitrah Manusia Menurut HAMKA


Pengertian fitrah manusia sebagaimana yang telah ditegaskan HAMKA dalam
Tafsir Al-Azhar sebagai “rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia
yang belum dipengaruhi oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi
di dalam ini (Allah). (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7, h. 116) Pada dasarnya, fitrah
manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui agama
yang disyari’atkan padanya.
Fitrah merupakan anugerah Allah yang telah diberikan-Nya kepada manusia
sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia masih merupakan wujud ilmi, yaitu
berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudian akan berkembang setelah manusia
lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya. Dalam konteks
pendidikan fitrah dimaknai dengan potensi (kemampuan) dasar yang mendorong
manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas sebagai alat yang menunjang
pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Alat tersebut adalah potensi
jiwa (al- qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). (Hamka, Lembaga Hidup, h. 15)
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan guna menunjang
eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya bertujuan
membentuk peserta didik (manusia) yang beriman dan memelihara berbagai
komponen potensi yang dimilikinya, tanpa mengorbankan salah satu di antaranya.

B. Macam-Macam Fitrah Manusia Menurut HAMKA


Menurut HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar bahwa pada proses penciptaannya,
manusia merupakan makhluk Allah paling istimewa yang telah dianugrahkan
dengan berbagai fitrah yaitu fitrah akal, hati dan pancaindra.

1. Fitrah akal
Sebagaimana dikatakan bahwa akal memperoleh pengetahuan melalui
proses berpikir yang didahului dengan adanya sentuhan pancaindra terhadap
fenomena dan realitas yang diperkuat dengan berbagai bukti atau alasan tertentu.
Dengan proses ilmu pengetahuan tersebut, manusia dapat membuktikan
kebenaran agama, sekaligus memperkuat keimanannya. Namun demikian
kemampuan akal memiliki keterbatasan dalam menemukan kebenaran-
kebenaran, terutama ketika menyangkut persoalan yang bersifat metafisik
(ghaib) yang mesti didekati melalui iman (al-qalb). Sebagaimana firman Allah
SWT yaitu (1Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998),
h. 117)

َ‫ب َوَماَ اُْوتْيـتُ َْم ّم ََن الْع ْلمَ اََّل قَلْي ًل‬
َّْ‫ح م َْن اَْمرَ َر‬
َُ ‫الرْو‬
ُّ َ‫الرْوحَ قُل‬
ُّ َ‫ك َعن‬
ََ َ‫َويَ ْسـَلُ ْون‬
2

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Ruh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit.” (QS. Al-Isra: 85).
Dengan potensi akal, manusia dapat menciptakan aktivitas bagi kemajuan
peradabannya. Melalui kekuatan akal pula, manusia dapat dipandang mulia dan
berharga, serta sekaligus membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya.
(Hamka, Lembaga Hidup, h. 42) Agar produk akal bermanfaat bagi kehidupan
seluruh umat, hendaknya segala segala pekerjaan- pekerjaan yang engkau
(manusia) lakukan bertujuan untuk membuktikan hakikat kemanusiaan dan
menjunjung tinggi harkat martabat manusia lainnya.(Hamka, Ibid, h. 40)

2. Fitrah agama
Fitrah agama merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Dengan agama
manusia dapat menemukan kebenaran dari berbagai persoalan yang bersifat
metafisik. (Hamka, Lembaga Hidup, h. 39) Eksistensinya sekaligus menjadi alat
kontrol daya eksplorasi akal dan nafsu untuk senantiasa berkembang sesuai
dengan roh ajaran agamanya. Sebagai sumber kebenaran, fitrah akal dan fitrah
agama hendaknya berjalan secara harmonis dan saling melengkapi antara satu
dengan yang lain. Agama senantiasa memotivasi perkembangan akal. Sementara
melalui daya eksplorasi akal yang sesuai dengan fitrah-Nya, akan memperkuat
kebenaran ajaran agama yang diyakininya.

C. Fungsi Fitrah Manusia Menurut HAMKA


Menurut HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar bahwa pada proses penciptaannya,
manusia merupakan makhluk Allah paling istimewa yang telah dianugrahkan
dengan berbagai fitrah yaitu fitrah akal, hati dan pancaindra. Fitrah tersebut akan
berfungsi untuk membantu manusia (anak didik) untuk memperoleh ilmu
pengetahuan agama Islam dan membangun peradaban. Hal ini dengan tegas telah
disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Mulk ayat 23 yang berbunyi:

َ‫ل َما تَ ْش ُك ُرْون‬


ًَ ‫ار َو ْاّلَفِْٕـ َدةَ قَلْي‬
ََ ‫ص‬ َْ َ‫قُ َْل ُه ََو الَذ‬
َ ْ‫ي اَنْ َشاَ ُك َْم َو َج َع ََل لَ ُك َُم ال َس ْم ََع َو ْاّلَب‬
Artinya: Katakanlah “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati” Tetapi sedikit sekali bersyukur. (QS, al-Mulk:
23)
Menurutnya, ketika lahir potensi-potensi (fitrah) anak belum diketahui. Pada
masa ini seorang anak hanya membawa insting (gharizah), seperti menangis,
merasakan haus, lapar, dan lain sebagainya. Dengan perangkat pisik dan psikisnya,
potensi tersebut secara bertahap mengalami perkembangan kearah yang lebih
baik.(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid, 5, h. 312)
Proses manusia mengembangkan potensinya secara efektif dan efisien adalah
melalui pendidikan. Proses ini dimulai sejak manusia lahir sampai
3

perkembangannya mengalami kefakuman, yaitu dengan adanya kematian.(6Hamka,


Tafsir al-Azhar, Jilid, 6, h. 57) 6 Dari batasan ini terlihat bahwa bahwa sejauh
sebelum Barat mengemukakan prinsip long life education, Islam telah lebih dahulu
memproklamirkan prinsip ini. Dalam Al-Qur’an, penunjukan kata fitrah dinukilkan
Allah melalui firman-Nya:

َ‫اّلل‬
َ َ‫يل ِلَْلق‬ ََ ‫َاس َعلَْيـ َهاَۚ ََّل تَـْبد‬ ََ ‫اّللَ الَتَ فَطَََر الن‬ َ ‫ت‬
ََ ‫ين َحني ًفا َۚ فطَْر‬
َ ‫ك لل ّد‬
ََ ‫َۚفَأَق ْمَ َو ْج َه‬
‫ين الْ َقيّ َُم َوَٰلَك َن أَ ْكثَـََر النَاسَ ََّل يـَ ْعلَ ُمو َن‬ ََ ‫َٰذَل‬
َُ ‫ك ال ّد‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. ( QS. Ar-Rum:30).

HAMKA memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut di atas sebagai
“rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi
oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah). Pada
dasarnya, fitrah manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah)
melalui agama yang disyari’atkan padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang
telah diberikan-Nya kepada manusia sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia
masih merupakan wujud ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudia
akan berkembang setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi
dengan lingkungannya.
Pada konteks pendidikan fitrah dimaknai dengan potensi (kemampuan) dasar
yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas sebagai alat yang
menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Alat tersebut adalah
potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). (Hamka, Lembaga Hidup,
h. 15) Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan guna
menunjang eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya
bertujuan membentuk peserta didik (manusia) yang beriman dan memelihara
berbagai komponen potensi yang dimilikinya, tanpa mengorbankan salah satu di
antaranya.
HAMKA berpendapat bahwa jasad (jism) manusia merupakan tempat dimana
jiwa (al-qalb) berada. Meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi manusia, namun
tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa
manusia akan dapat memberikan makna tertentu.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 140)
Untuk itu, manusia hendaknya senantiasa memelihara jasad (jism) dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu jasad harus dilatih supaya tubuh kuat dan sehat. Begitu
juga dengan jiwa, agar memperoleh ketentraman dan merasakan sesuatu.
Perkembangan jiwa tersebut akan lebih baik dan memberikan makna bila
didukung oleh potensi akal. Dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi
4

terhadap fenomena dalam sebuah kesimpulan yang kemudian dapat dirasakan oleh
jiwa. Integritas tersebut hanya dimiliki oleh manusia yang berfikir merdeka dan
mempergunakan potensi akalnya secara maksimal.(Hamka, Filsafah Hidup,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 56-57.) Kemampuan manusia menggunakan
akalnya untuk berfikir merupakan puncak kemuliaannya sebagai makhluk Allah,
sekaligus membedakannya dengan makhluk-Nya yang lain. Tatkala dinamika akal
terkekang atau tertutup, maka manusia tidak akan mencapai kemajuan dalam
peradabannya. Bila ini terjadi, bearti pendidikan yang diterapkan telah menjatuhkan
peserta didik dari nilai- nilai kemanusiaannya yang hanif. Oleh karena akal lebih
banyak mengatur perbuatan dan peradaban manusia, maka eksistensi perlu
senantiasa disempurnakan dengan cara meningkatkan tingkat kecerdasannya dan
disirami dengan siraman al-hikmah. Dengan upaya ini, akal akan dapat
membedakan dan memilah perbuatan atau nilai baik dan buruk menurutnya dan
menurut ajaran agama yang diyakininya.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 45)

D. Pengembangan Fitrah Manusia Menurut HAMKA


Menurutnya, ketika lahir potensi-potensi (fitrah) anak belum diketahui. Pada
masa ini seorang anak hanya membawa insting (gharizah), seperti menangis,
merasakan haus, lapar, dan lain sebagainya. Dengan perangkat pisik dan psikisnya,
potensi tersebut secara bertahap mengalami perkembangan kearah yang lebih
baik.(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid, 5, h. 142) Proses manusia mengembangkan
potensinya secara efektif dan efisien adalah melalui pendidikan. Proses ini dimulai
sejak manusia lahir sampai perkembangannya mengalami kefakuman, yaitu dengan
adanya kematian. (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid, 6, h. 117) Dari batasan ini terlihat
bahwa bahwa sejauh sebelum Barat mengemukakan prinsip long life education,
Islam telah lebih dahulu memproklamirkan prinsip ini. Dalam Al-Qur’an,
penunjukan kata fitrah dinukilkan Allah melalui firman-Nya:

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. ( QS. Ar-Rum:30).

HAMKA memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut di atas sebagai
“rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi
oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini
(Allah).(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7, h.5516) Pada dasarnya, fitrah manusia
adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui agama yang
disyari’atkan padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang telah diberikan-Nya
kepada manusia sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia masih merupakan
wujud ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudia akan berkembang
setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya.
(Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 7, h. 5516)
5

Pada konteks pendidikan fitrah dimaknai dengan potensi (kemampuan) dasar


yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas sebagai alat yang
menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Alat tersebut adalah
potensi jiwa (al qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). (Hamka, Lembaga Hidup,
h. 15) Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan guna
menunjang eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya
bertujuan membentuk peserta didik (manusia) yang beriman dan memelihara
berbagai komponen potensi yang dimilikinya, tanpa mengorbankan salah satu di
antaranya.
HAMKA berpendapat bahwa jasad (jism) manusia merupakan tempat dimana
jiwa (al-qalb) berada. Meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi manusia, namun
tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa
manusia akan dapat memberikan makna tertentu.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 140)
Untuk itu, manusia hendaknya senantiasa memelihara jasad (jism) dengan sebaik-
baiknya. Oleh karena itu jasad harus dilatih supaya tubuh kuat dan sehat. Begitu
juga dengan jiwa, agar memperoleh ketentraman dan merasakan sesuatu.
Perkembangan jiwa tersebut akan lebih baik dan memberikan makna bila didukung
oleh potensi akal. Dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi terhadap
fenomena dalam sebuah kesimpulan yang kemudian dapat dirasakan oleh jiwa.
Integritas tersebut hanya dimiliki oleh manusia yang berfikir merdeka dan
mempergunakan potensi akalnya secara maksimal. (Hamka, Filsafah Hidup,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h. 56-57.)
Kemampuan manusia menggunakan akalnya untuk berfikir merupakan
puncak kemuliaannya sebagai makhluk Allah, sekaligus membedakannya dengan
makhluk-Nya yang lain. Tatkala dinamika akal terkekang atau tertutup, maka
manusia tidak akan mencapai kemajuan dalam peradabannya. Bila ini terjadi, bearti
pendidikan yang diterapkan telah menjatuhkan peserta didik dari nilainilai
kemanusiaannya yang hanif. Oleh karena akal lebih banyak mengatur perbuatan dan
peradaban manusia, maka eksistensi perlu senantiasa disempurnakan dengan cara
meningkatkan tingkat kecerdasannya dan disirami dengan siraman al-hikmah.
Dengan upaya ini, akal akan dapat membedakan dan memilah perbuatan atau nilai
baik dan buruk menurutnya dan menurut ajaran agama yang diyakininya. (Hamka,
Lembaga Hidup, h. 45.
Melalui pendidikan, peserta didik akan memperoleh ilmu pengetahuan yang
dapat dipergunakannya memilah nilai baik dan buruk, serta menciptakan berbagai
kebudayaan yang berfungsi mempermudah dan memperindah kehidupannya.
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan kebudayaan yang berfungsi
mempermudah dan memperindah kehidupannya. Pendidikan merupakan proses
menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang bermasyarakat dan berbudaya
dalam tata kehidupan yang berdimensi local, nasional, dan global. Dalam wacana
Islam, 38 pendidikan bukan sekedar proses transfer of knowledge, akan tetapi
merupakan petunjuk dan penangkal berbagai fenomena social, berikut ekses yang
dibawanya. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia akan dapat menetralisir
6

perkembangan fitrahnya yang hanif dari pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh
lingkungan di mana ia berada. (Hamka, Falsafah Hidup, h. 57) Agar peserta didik
mampu menetralisir berbagai pengaruh tersebut, maka peserta didik dituntut untuk
senantiasa menteladani kepribadian rasulu lah, sebagaimana dinukil Allah melalui
firman-Nya: (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 10, h. 63)

َ‫ب‬َ َ‫ف ْٱْل ُّم ّيۦنَ َر ُس ًوّلَ ّمْنـ ُه ْمَ يـَْتـلُواَ َعلَْيه َْم ءَايََٰتهَۦ َويـَُزّكيه َْم َويـُ َعلّ ُم ُه َُم ٱلْك َٰت‬ ََ ‫ُه َوَ ٱلَذى بـَ َع‬
َ ‫ث‬
َ‫ض َٰلَلَ ُّمبَن‬
َ ‫ْم َة َوإن َكانُواَ من قَـْب َُل لَفى‬ َ ‫ٱْلك‬ْ ‫َو‬
Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (al-Sunnah). Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS,
al-Jumu’ah: 2).
Islam merupakan agama ilmu yang senantiasa memotivasi untuk
mempergunakan segala potensinya “ memikir “ ayat-ayat Allah SWT guna mencari
pengetahuan semaksimal mungkin. Dengan ilmu, manusia akan dapat memahami
ajaran agamanya, mempertimbangkan nilai baik dan buruk, serta menata
peradabannya dengan baik, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama sebagai salah satu
tugas kekhalifahan di muka bumi. Di antara tujuan agama adalah memotivasi
umatnya mencari ilmu pengetahuan dan melaksanakan proses pendidikan. Ilmu
pengetahuan akan membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak,
mengenal Allah SWT, memperhalus akhlaknya, serta senantiasa berupaya mencari
dan mencapai keridhaan-Nya.(Hamka, Lembaga Hidup, h. 190) ujuan tersebut
seyogianya berjalan secara harmonis dan integral. Karena dengan tujuan tersebut,
manusia akan memperoleh keutamaan (al-hikmah) dalam hidupnya.

Sebagaimana yang dikemukan sebelumnya bahwa menurut HAMKA yang


dimaksud dengan fitrah dalam karya Tafsir Al-Azhar adalah sebagai “rasa asli (murni)
yang berada dalam jiwa setiap manusia yang belum dipengaruhi oleh faktor lainnya,
kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah).62 Pada dasarnya, fitrah
manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui agama yang
disyari’atkan padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang telah diberikan-Nya
kepada manusia sejak dalam alam rahim. Di sini, fitrah manusia masih merupakan
wujud ilmi, yaitu berupa embrio dalam ilmu Allah SWT, kemudian akan berkembang
setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan lingkungannya.
Pada konteks pendidikan fitrah dimaknai dengan potensi (kemampuan) dasar
yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas sebagai alat yang
menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Alat tersebut adalah
potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql).65 Ketiga unsur ini merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan guna menunjang eksistensi manusia. Oleh karena
itu, pendidikan Islam hendaknya bertujuan membentuk peserta didik (manusia) yang
7

beriman dan memelihara berbagai komponen potensi yang dimilikinya, tanpa


mengorbankan salah satu di antaranya. Kalau dibandingkan dengan pendapat para
pemikir muslim lainnya cendrung memaknainya sebagai potensi manusia untuk untuk
beragama (tauhid ila allah).
Menurut Zakiah Daradjat fitrah manusia adalah sebagai suatu wadah atau tempat
yang dapat diisi dengan kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang sesuai
dengan kedudukan dan tanggung jawab sebagai hamba khalifah di muka bumi.(Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.17) Ibnu Abbas,
Kaab bin Qurodli, Abu Said Al-Khuliy dan Ahmad bin Hambal menjelaskan Fitrah
adalah ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatan.
Hasan Langgulung mengartikan fitrah sebagai potensi-potensi yang dimiliki
manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan sebagai sifat-sifat
Tuhan yang tersimpul dalam Al-Qur’an dengan nama-nama yang indah (Asma’ul
Husna)(Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna,
1991).h. 21.)
Pendapat HAMKA dan para ahli lainnya terdapat kesamaan yaitu bahwa yang
dimaksud dengan fitrah manusia adalah potensi dasar yang dibawa oleh manusia sejak
lahir. Potensi ini akan dapat berkembang melalui jalan pendidikan yang dilalui oleh
manusia. Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud konsep fitrah manusia merupakan
potensi dasar seorang anak didik yang telah dibawa sejak lahir dan dapat
menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitasnya dan produktivitasnya serta
komitmen terhadap nilai-nilai Illahi dan Insani.
Pada diri seorang anak (manusia), terdapat tiga unsur keutamaan yang dapat
menopang tugasnya sebagai khalifah, Fi’ad- Ardh maupun Abdi Allah. Ketiga unsur
tersebut adalah akal, hati atau kalbu (roh) dan panca indra (penglihatan) dan
pendengaran yang terdapat pada jasadnya. Perbedaan dari ketiga unsur tersebut agar
membantu manusia atau peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan
membangun peradaban. Manusia dalam kehidupannya di muka bumi tidak terlepas dari
kekuasaan yang transendetal (Allah).
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki potensi
untuk beragama sesuai dengan fitrah yang diberikan kepadanya. Manusia lahir dengan
membawa fitrahnya, yang mencakup yaitu Fitrah Agama, intelek, sosial, ekonomi,
seni, kamajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai,
mengembangkan keturunan dengan itu semua manusia bisa hidup searah dengan tujuan
Allah yang menciptakannya. Jadi, fitrah manusia merupakan suatu faktor kemampuan
dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir dan berpusat pada potensi dasar
untuk berkembang. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh dan
menggerakkan seluruh aspek yang secara mekanisme satu sama lain saling
mempengaruhi menuju kearah yang lebih baik dan mencapai tujuan.
Menurut HAMKA bahwa manusia lahir telah membawa berbagai fitrah yaitu
fitrah akal, hati dan pancaindra. (1) Fitrah akal, yang memperoleh pengetahuan melalui
proses berpikir yang didahului dengan adanya sentuhan pancaindra terhadap fenomena
dan realitas yang diperkuat dengan berbagai bukti atau alasan tertentu. Dengan proses
8

ilmu pengetahuan tersebut, manusia dapat membuktikan kebenaran agama, sekaligus


memperkuat keimanannya. Namun demikian kemampuan akal memiliki keterbatasan
dalam menemukan kebenaran-kebenaran, terutama ketika menyangkut persoalan yang
bersifat metafisik (ghaib) yang mesti didekati melalui iman (al-qalb). Sebagaimana
firman Allah SWT yaitu;
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-
Isra: 85).
Dengan potensi akal, manusia dapat menciptakan aktivitas bagi kemajuan
peradabannya. Melalui kekuatan akal pula, manusia dapat dipandang mulia dan
berharga, serta sekaligus membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya. Agar
produk akal bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat, hendaknya segala pekerjaan-
pekerjaan yang manusia lakukan bertujuan untuk membuktikan hakikat kemanusiaan
dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia lainnya. (2) Fitrah agama. Fitrah
agama merupakan kebutuhan asasi setiap manusia.
Dengan agama manusia dapat menemukan kebenaran dari berbagai persoalan
yang bersifat metafisik. Eksistensinya sekaligus menjadi alat kontrol daya eksplorasi
akal dan nafsu untuk senantiasa berkembang sesuai dengan roh ajaran agamanya.
Sebagai sumber kebenaran, fitrah akal dan fitrah agama hendaknya berjalan secara
harmonis dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Agama senantiasa
memotivasi perkembangan akal. Sementara melalui daya eksplorasi akal yang sesuai
dengan fitrah-Nya, akan memperkuat kebenaran ajaran agama yang diyakininya.
Apa yang dikemukan oleh HAMKA, sebagaimana yang dipaparkan di atas
bahwa fitrah merupakan macam-macam potensi dasar yang dibawa manusia sejak
lahir. Menurut M. Quraish Shihab bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa
potensi beragama yang lurus. Manusia tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Fitrah
keagamaan itu akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh
jadi tidak diakui atau diabaikannya. Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan
Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya. Manusia
berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan
melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila
ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.(Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet. II;
Bandung, Mizan, 1996), h. 284-285.)
Tidak jauh berbeda dari yang dikemukan oleh HAMKA, Potensi-potensi yang
dibawa sejak lahir tersebut menurut Ibn Taimiah dalam Juhaja S. Praja selain fitrah
agama yaitu: (1)Daya intelektual (quwwat al-aql), yaitu potensi dasar yang memungkin
manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya,
manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya; (2) Daya ofensif (quwwat al-
syahwat), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-
obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah secara serasi dan seimbang; (3) Daya defensif (quwwat al-ghadhab)
yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang
9

membahayakan dirinya. (Ibn Taimiyah, dalam Juhaja, Epistimologi Ibn Taimiyah,


Jurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 h. No. 7)
Namun demikian menurutnya, di antara ketiga potensi tersebut, di samping
agama, potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (control) dua potensi
lainnya. Dengan demikian, akan dapat teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada
secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam Kitab dan ajaran-
ajarannya.
Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi ang dimilikinya itulah
yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. Menurut Ibn Taimiyah
dalam Nurchalish Madjid bahwa potensi (fitrah) dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu
sebagai fitrat al-gharizat dan fitrat almunazaalat.72 fitrat al-gharizat merupakan potensi
dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah (potensi) antara lain
adalah: nafsu, akal, dan hati nurani. Sedangkan fitrat al-munazaalat merupakan potensi
luar manusia. Adapun wujud fitrah ini adalah wahyu Ilahi yang diturunkan Allah untuk
membimbing dan mengarahkan fitrah al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya
ang hanif. Semakin tinggi tingkat interaksi antara fitrah algharizat dengan fitrah al-
munaazalat, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia (insani kamil). Akan
tetapi bila hubungan keduanya mengalami ketidak serasian, atau bahkan berbenturan
antar satu dengan yang lain, maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang
hanif.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka macammacam fitrah atau
potensi dasar yang dibawah oleh manusia sejak lahir
meliputi fitrah agama, daya intelektual (quwwat al-aql), yaitu potensi dasar yang
memungkin manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya
intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang
mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi
kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat
menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya, namun
demikian menurutnya, di antara ketiga potensi tersebut, di samping agama, potensi akal
menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (control) dua potensi lainnya. Dengan
demikian, akan dapat teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal,
sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam Kitab dan ajaran-ajarannya.
Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi ang dimilikinya itulah yang
akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Menurut HAMKA, Fitrah manusia merupakan potensi dasar seorang anak didik
yang berfungsi untuk menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitasnya dan
produktivitasnya serta komitmen terhadap nilai-nilai Illahi
an Insani. Pada diri seorang anak (manusia), terdapat tiga unsur keutamaan yang
berfungsi untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah, Fi’ad- Ardh maupun Abdi
Allah. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati atau kalbu (roh) dan panca indra
(penglihatan) dan pendengaran yang terdapat pada jasadnya. Perbedaan dari ketiga
10

unsur tersebut berfungsi untuk membantu manusia atau peserta didik untuk
memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradaban, memahami fungsi
kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.
Pendapat HAMKA, tentang fungsi fitrah searah atau tidak berbeda dengan apa
yang dikemukan oleh ahli mufasir seperti Ibn Manzhur (1992) yang mengatakan bahwa
fungsi fitrah adalah untuk mendorong manusia untuk melakukan serangkaian aktivitas
sebagai alat menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Alat tersebut
adalah potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). Ketiga ini merupakan
satu kesatuan yang saling berkaitan guna menunjang eksistensi manusia.. Dari uraian
di atas, penulis berpendapat sama dengan pandangan tersebut bahwa fitrah akal, hati
atau kalbu (roh) dan panca indra (penglihatan) dan jasad, berfungsi untuk membantu
manusia atau peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun
peradaban, memahami fungsi kekhalifahan, serta menangkap tanda-tanda kebesaran
Allah. Namun manusia dalam kehidupannya di muka bumi tidak terlepas dari
kekuasaan yang transendetal (Allah). Hal ini disebabkan karena manusia adalah
makhluk Allah yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrah yang
diberikan kepadanya.

KESIMPULAN
Fitrah manusia dalam Tafsir Al-Azhar karya HAMKA menunjukkan bahwa manusia
telah dibekali fitrah akal, hati dan pancaindra. Fitrah tersebut akan membantu manusia
(anak didik) untuk memperoleh ilmu pengetahuan agama Islam dan membangun
peradaban.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Hamka, Filsafah Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 10

Hamka, Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962

Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XV, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998

Hasan Langgulung. Kreativitas dan Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Husna, 1991.

Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta:Pustaka al-Husna,


1985.
11

Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1991.

Tafsir Al-Azhar, juz I sampai juz XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986

Shihab, Quraish, M, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

Wen Hartono, Skripsi; Konsep Fitrah Manusia Dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka
Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru,
2012.

Anda mungkin juga menyukai