Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan

khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami

anak. Berkaitan dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus

adalah anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau beberapa

kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun

bersifat psikologis seperti autism dan ADHD (Desiningrum, 2016)

Pemahaman anak berkebutuhan khusus terhadap konteks, ada yang

bersifat biologis, psikologis, sosio-kultural. Dasar biologis anak

berkebutuhan khusus bisa dikaitkan dengan kelainan genetik dan

menjelaskan secara biologis penggolongan anak berkebutuhan khusus,

seperti brain injury yang bisa mengakibatkan kecacatan tunaganda. Dalam

konteks psikologis, anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari

sikap dan perilaku, seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak

slow learner, gangguan kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak

autis, gangguan kemampuan berbicara pada anak autis dan ADHD.

Konsep sosio-kultural mengenal anak berkebutuhan khusus sebagai anak

dengan kemampuan dan perilaku yang tidak pada umumnya, sehingga

memerlukan penanganan khusus.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia 2013, menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus

adalah:
“Anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan,baik fisik,
mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh
secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya”.
Allah sudah menentukan jenis bentuk manusia, serta bagaimana

kehidupan mereka didunia. Bentuk yang Allah ciptakan adalah sebaik-baik

penciptaan, sebagaimana Allah berfirman dalam QS At-Tin/95: 4:

      

Terjemahnya
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaikbaiknya.” (Kementrian Agama, 2015)
Kata Taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki qiwam,

yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Jadi, kalimat ahsan taqwim

berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan

manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Agama juga

memerintahkan kepada ibu untuk memperhatikan kesehatan fisiknya pada

saat mengandung karena hal ini pun mempunyai pengaruh yang cukup

besar dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Hal ini disebabkan

kesehatan ibu dapat mempengaruhi taqwim (bentuk fisik dan psikis) bayi

yang dikandungnya (Quraish Shihab, 2002)

Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus memiliki hak untuk

tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan

bangsa. Ia memiliki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang

tidak memiliki kelainan atau normal. Allah SWT memiliki maksud mulia

bahwasanya orangtua memiliki anak berkebutuhan khusus, dan manusia

harus meyakini hal tersebut dengan taat kepadaNya. Allah berfirman

dalam QS At Taghabun/64: 15.

      


  
Terjemahnya
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Kementrian Agama, 2015)

Ayat di atas meyebutkan harta dan anak-anak sebagai ujian. Ini kerena

ayat di atas mencukupkan penyebutan anak yang terpilih untuk mewakili

pasangan karena ujian melalui anak- anak lebih berani menuntut dan lebih

kuat. Ayat ini juga menerangkan bahwa anak adalah titipan dan amanah

dari Allah SWT yang harus senantiasa kita jaga semata-mata untuk

mendapatkan rahmatNya (Qurais Shihab, 2002)

2. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus

Faktor-faktor penyebab anak menjadi berkebutuhan khusus, dilihat

dari waktu kejadiannya dapat dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yaitu

kejadian sebelum kelahiran, saat kelahiran dan penyebab yang terjadi

setelah lahir.

a. Pre-Natal

Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum

proses kelahiran. Kejadian tersebut disebabkan oleh faktor internal

yaitu faktor genetik dan keturunan, atau faktor eksternal yaitu berupa

Ibu yang mengalami pendarahan bisa karena terbentur kandungannya

atau jatuh sewaktu hamil, atau memakan makanan atau obat yang

menciderai janin dan akibta janin yang kekurangan gizi.

b. Natal

Waktu terjadinya kelainan pada saat proses kelahiran dan menjelang

serta sesaat setelah proses kelahiran. Misalnya kelahiran yang sulit,

pertolongan yang salah, persalinan yang tidak spontan, lahir prematur,

berat badan lahir rendah, infeksi karena ibu mengidap Sipilis.

c. Pasca-natal
Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai dengan sebelum

usia perkembangan selesai (kurang lebih usia 18 tahun). Ini dapat

terjadi karena kecelakaan, keracunan, tumor otak, kejang, diare

semasa bayi.

3. Deteksi Dini Anak Berkebutuhan Khusus

Orangtua seringkali terlambat mengetahui bahwa anaknya

berkebutuhan khusus. Orangtua baru memeriksakan dan menerapkan

terapi pada anaknya ketika anak sudah berusia di atas 5 tahun sehingga

kebiasaan yang sudah terbentuk pada anak sukar untuk diubah dan

potensi-potensi anak menjadi tidak muncul. Untuk mencegah

keterlambatan tersebut, maka sebaiknya orangtua mengetahui terlebih

dahulu tugas perkembangan anak.

a. Tugas Perkembangan Bayi

1) Pertumbuhan fisik: berat badan, tinggi badan, pembentukan

tulang, pengendalian otot, pertumbuhan lemak, gigi, saraf.

2) Fungsi Psikologis: masuk dalam tahapan sensory motorik (Piaget),

terbentuknya trust (Erikson)

3) Perkembangan bicara dan pengertian (mulai mengucap satu

sampai beberapa kata, mengenal konsep sederhana)

4) Munculnya perilaku emosional dan sosialisasi (terbentuknya

attachment positif dengan caregiver, mulai tertarik dengan teman

dan mengenal sosialisasi sederhana)

5) Tumbuh minat bermain (mengamati dan melakukan berbagai

permainan dengan konsep trial-error dan belajar sosial)

6) Awal moralitas (hanya mengenal aturan melalui motor activity

(Piaget), perilaku responsive – cap baik/cap buruk (Kohlberg))


7) Permulaan penggolongan peran seks (mengenal peran seksnya,

menyadari dirinya perempuan atau laki-laki)

8) Keterampilan motorik: daerah kepala (kekuatan leher, koordinasi

dengan mata, telinga, mulut), tangan-lengan (fine-gross motor),

tungkai.

b. Tugas Perkembangan Masa Kanak-kanak Awal

1) Perkembangan fisik: proporsi tubuh mulai seimbang, posture

meninggi pada proximodistal, tulangotot (fine-grossmotor lebih

kompleks), lemak

2) Kebiasaan fisiologis (pola makan, pola tidur, pola bermain)

Pengembangan kognitif: meningkatnya pengertian/ konsep

(banyaknya perbendaharaan kosakata) Keterampilan Sosial: emosi

dan perilaku sosial/asosial, berteman, disiplin, peran seks, minat

Deteksi Dini

Deteksi awal anak berkebutuhan khusus dibutuhkan agar

penanganan dapat dilakukan sedini mungkin.

Berikut adalah beberapa langkah deteksi yang dapat dilakukan:

1) Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan, yaitu untuk mengetahui

atau menemukan status gizi kurang atau gizi buruk pada anak.

2) Deteksi dini penyimpangan perkembangan, yaitu untuk mengetahui

gangguan perkembangan anak (keterlambatan bicara dan berjalan),

gangguan daya lihat, dan gangguan daya dengar.

3) Deteksi dini penyimpangan mental emosional, yaitu untuk

mengetahui adanya masalah mental emosional, autisme dan

gangguan pemusatan perhatian serta hiperaktivitas.

4. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut IDEA atau Individuals with Disabilities Education Act

Amandements yang dibuat pada tahun 1997 dan ditinjau kembali pada

tahun 2004: secara umum, klasifikasi dari anak berkebutuhan khusus

adalah:

a. Anak dengan Gangguan Fisik:

1) Tunanetra, yaitu anak yang indera penglihatannya tidak berfungsi

(blind/low vision) sebagai saluran penerima informasi dalam

kegiatan sehari-hari seperti orang awas.

2) Tunarungu, yaitu anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya

pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi

secara verbal.

3) Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami kelainan atau cacat yang

menetap pada alat gerak (tulang, sendi dan otot).

b. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku:

1) Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam

penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-

norma yang berlaku.

2) Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu

anak yang mengalami kelainan suara,artikulasi (pengucapan), atau

kelancaran bicara,yang mengakibatkan terjadi penyimpangan

bentuk bahasa,isi bahasa,atau fungsi bahasa.

3) Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah

laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan

gejala utama tidak mampu mengendalikan gerakan dan

memusatkan perhatian.

c. Anak dengan Gangguan Intelektual:


1) Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan

dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh

dibawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas

akademik, komunikasi maupun sosial.

2) Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki

potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk

tunagrahita (biasanya memiliki IQ sekitar 70-90).

3) Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata

mengalami kesulitan dalam tugastugas akademik khusus, terutama

dalam hal kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau

matematika.

4) Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan

dan kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi

kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap

tugas (task commitment) diatas anak-anak seusianya (anak normal),

sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata,

memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

5) Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan

oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang

mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan

perilaku.

6) Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan

khusus yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.

B. Terapi Okupasi (Occupational Therapy)

1. Pengertian Terapi Okupasi


Terapi okupasi atau occupational theraphy berasal dari kata

occupational dan theraphy, occupational sendiri berarti aktivitas dan

theraphy adalah penyembuhan dan pemulihan. Eleonor Clark Slagle

adalah salah satu pioneer dalam pengembangan ilmu OT atau terapi

okupasi, bersama dengan Adolf Meyer, William Rush Dutton. Terapi

okupasi pada anak memfasilitasi sensory dan fungsi motorik yang sesuai

pada pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menunjang kemampuan

anak dalam bermain, belajar dan berinteraksi di lingkungannya. Terapi

okupasi adalah terapi yang dilakukan melalui kegiatan atau pekerjaan

terhadap anak yang mengalami gangguan kondisi sensori motorik (E.

Kosasih, 2012).

Terapi okupasi merupakan suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan

partisipasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah

ditemukan, dengan maksud mempermudah belajar fungsi dan keahlihan

yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal

yang perlu ditekankan dalam terapi okupasi adalah bahwa pekerjaan atau

kegiatan yang dilaksanakan oleh klien bukan sekedar memberi kesibukan

pada klien saja, akan tetapi kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan dapat

menyalurkan bakat dan emosi klien, mengarahkan ke suatu pekerjaan yang

berguna sesuai kemampuan dan bakat, serta meningkatkan prokdutivitas

(Kusumawati, F & Hartono, Y. 2010).

Terapi Okupasi adalah perpanduan antara seni dan ilmu

pengetahuan untuk mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar

kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan, serta mencegah

kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk penderita cacat

mental maupun fisik. (American Occupational Therapist Association).


Terapis okupasi membantu individu yang mengalami gangguan dalam

fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan

individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas

perawatan diri, aktivitas produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi

waktu luang. Tujuan dari pelatihan terapi okupasi itu sendiri adalah untuk

mengembalikan fungsi penderita semaksimal mugkin, dari kondisi

abnormal ke normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental,

dengan memberikan aktivitas yang terencana dengan memperhatikan

kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di dalam

keluarga maupun masyarakat (Nasir & Muhith, 2011)

2. Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi

Fungsi dan tujuan terapi okupasi terapi okupasi adalah terapan medis

yang terarah bagi pasien fisik maupun mental dengan menggunakan

aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan kembali fungsi

seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas

tersebut adalah berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan

disesuaikan dengan tujuan terapi. Pasien yang dikirimkan oleh dokter,

untuk mendapatkan terapi okupasi adalah dengan maksud sebagai

berikut.

a. Terapi khusus untuk pasien mental atau jiwa.

1) Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat

mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan

tanggalan orang lain dan masyarakat sekitarnya.

2) Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara

wajar dan produktif


3) Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan

bakat dan keadaannya

4) Membantu dalam pengumpulan data guna menegakkan diagnosis

dan penetapan terapi lainnya

b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang

gerak sendi, kekuatan otot, dan koordinasi gerakan.

c. Mengajarkan Aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan,

berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi,

dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang

bersih, dan lain-lain

d. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di

rumahnya, dan memberi saran penyederhanaan (silifikasi) ruangan

maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.

e. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan

kemampuan yang masih ada.

f. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien

sebagai langkah dalam pre-cocational training. Berdasarkan aktivitas

ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan

kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dari pasien dalam

mengarahkannya pada pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.

g. Membantu penderita untuk menerima kenyataan dan menggunakan

waktu selama masa rawat dengan berguna.

h. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke

keluarga.

Program terapi okupasi adalah bagian dari pelayanan medis untuk

tujuan rehabilitasi total seorang pasien melalui kerjasama dengan petugas


lain di rumah sakit. Dalam pelaksanaan terapi okupasi kelihatannya akan

banyak overlapping dengan terapi lainnya sehingga dibutuhkan adanya

kerjasama yang terkoordinir dan terpadu (Nasir & Muhith, 2011). Tujuan

terapi okupasi adalah mengembalikan fungsi fisik serta motorik baik

motorik halus maupun motorik kasar, mental, sosial, dan emosi, dengan

mengembangkannya seoptimal mungkin serta memelihara fungsi yang

masih baik dan mengarahkannya sesuai dengan keadaan individu agar

dapat hidup yang layak di masyarakat (Nurjatmika, 2012).

Tujuan terapi secara umum anak menghadapi masalah emosional yang

menekan batinnya, anak memperoleh tingkat keharmonisan dalam pikiran,

emosi, dan tingkah laku, anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri

sehingga sulit berkomunikasi dengan yang baik dengannya, anak

mengubah tingkah laku yang mempunyai akibat buruk, anak nyaman

untuk beradaptasi dengan lingkungan, kesempatan anak mengembangkan

dirinya (Cathryn dan David, 2012).

3. Jenis Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith, 2011, hlm. 263. Aktivitas dalam terapi

okupasi digunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis, terapi,

maupun rehabilitasi, dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat

mengerjakan suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat ditentukan

arah terapi dan rehabilitasi selanjutnya dari pasien tersebut. Adapun hal-

hal yang mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai

berikut.

a. Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai berikut.

1) Latihan gerak badan.

2) Olahraga.
3) Permainan.

4) Menjahit.

5) Kerajinan tangan.

6) Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi

7) Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)

8) Pekerjaan pre-vokasional

9) Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain)

10) Rekreasi (tamasya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dan

lain-lain).

11) Diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah,

televisi, radio atau keadaan lingkungan).

b. Karakteristik aktivitas. Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala

macam aktivitas yang dapat menyibukkan seseorang secara produktif

yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus

sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh karena itu

setiap aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus

mempunyai karakteristik sebagai berikut.

1) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang

jelas. Jadi bukan hanya sekedar menyibukkan pasien.

2) Mempunyai arti tertentu bagi pasien, artinya dikenal oleh atau ada

hubungannya dengan pasien

3) Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan

apa kegunaannya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.

4) Harus dapat melibatkan pasien secara aktif walaupun minimal


5) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien

bahkan harus dapat meningkatkan atau setidak-tidaknya

memelihara kondisinya

6) Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih

giat sehingga dapat Mandiri

7) Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.

8) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau

penyesuaian dengan kemampuan pasien.

4. Indikasi Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith, 2011, hlm. 266 ada beberapa indikasi

pada terapi okupasi yaitu:

a. Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena

kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasian

perkembangan psikososialnya.

b. Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam mengekpresikan perasaan

atau kebutuhan yang primitif.

c. Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau

kebutuhan yang primitif.

d. Ketidakmampuan menginterpresikan rangsangan sehingga reaksinya

terhadap rangsangan tersebut tidak wajar pula.

e. Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tersebut atau

seseorang yang mengalami kemunduran.

f. Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui

suatu aktivitas dari pada dengan percakapan.

g. Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara

mempraktikkannya dari pada dengan membayangkan.


h. Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.

5. Proses Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith (2011) Dokter yang mengirimkan pasien

untuk terapi okupasi akan menyertakan juga data mengenai pasien berupa

diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa yang perlu

diperbuat dengan pasien tersebut. Apakah untuk mendapatkan data yang

lebih banyak untuk keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah

pasien berada di unit terapi okupasi, maka terapis akan bertindak sebagai

berikut.

a. Koleksi Data.

Data biasa didapatkan dari kartu rujukan atau status pasien yang

disertakan ketika pertama kali pasien mengunjungi unit terapi

okupasional. Jika dengan mengadakan wawancara dengan pasien atau

keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data ini

diperlukan untuk menyusun rencana terapi bagi pasien. Proses ini

dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebutuhan.

b. Analisa data dan identifikasi masalah.

Dari data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara

tentang masalah dan atau kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa

masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.

c. Penentuan tujuan.

Dari masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar

tujuan terapi sesuai dengan prioritas, baik jangka pendek maupun

jangka panjangnya.

d. Penentuan aktivitas.
Setelah tujuan terapi ditetapkan, maka dipilihlah aktivitas yang dapat

mencapai tujuan terapi tersebut. Dalam proses ini pasien dapat

diikutsertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang akan

dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas

kelancaran pelaksanaannya. Dalam hal ini harus diingat bahwa

aktivitas tersebut tidak akan menyembuhkan penyakit, tetapi hanya

sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan mencoba

mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu

alasan-alasan mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut

sehingga dia sadar dan diharapkan akan mengerjakannya dengan aktif.

e. Evaluasi.

Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai

dengan tujuan terapis. Hal ini perlu agar dapat menyesuaikan program

terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien yang ada. Hasil

evaluasi yang didapatkan dapat dipergunakan untuk merencanakan

hal-hal mengenai penyesuaian jenis aktivitas yang akan dilakukan

setelah beberapa waktu melihat bahwa tidak ada kemajuan atau

kurang efektif terhadap pasien.

6. Pelaksanaan Terapi Okupasi

Menurut Nasir & Muhith (2011) ada beberapa pelaksaan dalam

terapi meliputi:

a. Metode. Terapi okupasi dapat dilakukan baik secara individual,

maupun berkelompok, tergantung dari keadaan pasien, tujuan terapi,

dan lain-lain.

b. Waktu. Okupasi terapi dilakukan antar 1-2 jam setiap sesi baik yang

individu maupun kelompok setiap hari, dua kali atau tiga kali
seminggu tergantung tujuan terapi, tersedianya tenaga dan fasilitas,

dan sebagainya. Sesi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu ½-1 jam

untuk menyelesaikan kegiatan-kegiatan dan 1- 1 ½ jam untuk diskusi.

Dalam diskusi ini dibicarakan mengenai pelaksanaan kegiatan

tersebut, antara lain kesulitan yang dihadapi, kesan mengarahkan

diskusi tersebut kearah yang sesuai dengan tujuan terapi.

c. Terminasi. Keikut sertaan seseorang pasien dalam kegiatan okupasi

terapi dapat diakhiri dengan dasar bahwa pasien:

1) Dianggap telah mampu mengatasi persoalannya

2) Dianggap tidak akan berkembang lagi

3) Dianggap perlu mengikuti program lainnya sebelum okupasi

terapi.

Anda mungkin juga menyukai