Anda di halaman 1dari 10

Penerapan Scaffolding dalam Kehidupan Sehari-hari pada Anak Usia Dini

yang Berkebutuhan Khusus

A. Latar Belakang
Reggio Amelia (Santrock, 2010) pernah berkata bahwa semua anak baik itu
dari orang tua tunggal (single parent) bahkan disabilitas pun harusnya mendapat
prioritas dari segi penerimaan. Anak-anak di dorong untuk belajar mencari dan
mengeksplorasi topik yang menarik untuk mereka. Berbagai macam cara atau
media yang digunakan untuk merangsang agar anak bisa belajar mengenal musik,
gerakan, menggambar, melukis, fotografi dan sebagainya. Selain itu,
mengeksplorasi juga dapat membantu anak untuk menumbuhkan rasa
menghormati, bermasyarakat, keragaman hingga memecahkan masalah. Dimana
dalam hal ini, orang tua tidak kalah pentingnya dalam membantu perkembangan
kognitif anak.
Pertumbuhan bayi ke anak-anak memang sedikit lambat atau tidak signifikan
perubahannya, namun dapat dilihat selain dari pertumbuhan fisik dimana lemak-
lemaknya berkurang, dapat juga dilihat dari kemampuan kognitif anak atau biasa
disebut dengan motorik. Dimasa ini anak-anak sudah mampu menggerakkan
tangan, mengkoordinasikan mata bahkan anak sudah belajar atensi, mengingat
hingga mulai belajar terampil berbicara. Namun, perlu diketahui bahwa
pertumbuhan dan perkembangan pada anak tidak semua sama karena manusia
diciptakan dengan sangat unik, banyak diantara anak dengan perkembangan yang
baik lainnya juga memiliki kesulitan, hambatan atau gangguan (Eviani, 2020).
Anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan
perkembangan dan kelainan yang dialami anak disebut dengan disability, anak
yang berkebutuhan memiliki kekurangan di salah satu dan beberapa kemampuan
baik itu secara fisik maupun bersifat psikologis. Istilah tersebut berkaitan dengan
kata normal dan abnormal, anak berkebutuhan khusus termasuk anak yang
memiliki tumbuh kembang yang abnormal yaitu terdapat penundaan tumbuh
kembang yang sudah terlihat sejak dini yang akan menjadi dasar anak tergolong
anak berkebutuhan khusus dimana kemampuannya tidak terlihat sesuai dengan
perkembangan seharusnya (Desiningrum, 2016).
Anak berkebutuhan khusus lebih mudah dikenali dari sikap dan perilaku,
seperti gangguan pada kemampuan belajar pada anak slow learner, gangguan
kemampuan emosional dan berinteraksi pada anak autis, gangguan kemampuan
berbicara pada anak autis dan ADHD. Anak dengan kebutuhan khusus (special
needs children) dapat diartikan secara simpel sebagai anak yang lambat (slow)
atau mangalami gangguan (retarded) yang sangat sukar untuk melakukan aktivitas
sebagaimana anak-anak pada umumnya (Desiningrum, 2016).
Mendeteksi anak dapat dengan menstimulasi sejak dini untuk mengetahui
perkembangan sesuai dengan usia perkembangannya agar dapat berkembang
secara optimal. Misalnya seorang anak pada usia satu tahun tugas perkembangan
motorik kasarnya adalah anak mampu berjalan sehingga tugas orang tua
memberikan latihan agar anak mampu berdiri tegak dan berjalan dengan
memberikan mainan yang bisa membantu berdiri dan bisa didorong agar anak
mau melangkahkan kakinya sekaligus melatih otot-otot kaki.
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut IDEA (Individuals with Disability Education Act Amandement)
(dalam Desiningrum, 2016) mengklasifikasikan anak berkebutuhan khusus
menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Anak dengan Gangguan Fisik
a. Tunanetra, merupakan gangguan fisik dimana anak indera penglihatan
yang tidak berfungsi sehingga aktivitas yang dilakukan selalu berhati-hati.
b. Tunarungu, merupakan gangguan fisik dimana indera pendengaran yang
kurang atau tidak berfungsi, sehingga kemampuan berkomunikasi secara
verbal tidak maksimal.
c. Tunadaksa, dimana mengalami kelaianan pada alat gerak seperti sendi dan
otot.
2. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
a. Tunalaras, yaitu anak yang sulit menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.
b. Tunawicara, yaitu gangguan komunikasi yang mengakibatkan kelainan
artikulasi dan kelancaran berbicara.
c. Hiperaktif, merupakan gangguan tingkah laku yang disebabkan oleh
disfungsi neurologis seperti 5tidak mampu mengendalikan gerakan dan
memusatkan perhatian.
3. Anak dengan Gangguan Intelektual
a. Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi
maupun sosial.
b. Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita
(biasanya memiliki IQ sekitar 70-90).
c. Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata mengalami
kesulitan dalam tugastugas akademik khusus, terutama dalam hal
kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau matematika.
d. Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan dan
kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi kecerdasan
(intelegensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task
commitment) diatas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk
mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
e. Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh
adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan
dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
f. Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang
tidak dimiliki manusia pada umumnya.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak Berkebutuhan Khusus
Faktor yang dapat mempengaruhi anak berkebutuhan khusus, jika dilihat dari
waktu kejadiannya maka dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu prenatal, peri-
natal, serta pasca natal.
1. Pre-natal adalah situasi dimana anak masih berada dalam kandungan atau
sebelum proses kelahiran. Banyak factor yang memprengaruhi hal ini dimulai
dari faktor genetik dan keturunan (internal) dan juga faktor kondisi
kandungan, makanan, obat-obatan yang dikonsumsi serta kondisi gizi janin
(eksternal).
2. Peri-natal atau sering juga disebut dengan natal, dimana kelainan terjadi
ketika proses kelahiran, menjelang, saat serta setelah kehiran. Misalnya saja
ketika kelahiran yang sulit, pertolongan yang salah, kelahiran yang tak
spontan, prematur, berat badan rendah.
3. Selanjutnya, masa pasca-natal dimana terjadinya kelainan setelah anak
dilahirkan sampai dengan sebelum usia perkembangan selesai (kurang lebih
usia 18 tahun). Ini dapat terjadi karena kecelakaan, keracunan, tumor otak,
kejang, diare semasa bayi.
Kesulitan yang dialami anak berkebutuhan khusus yaitu salah satunya adalah
kesulitan mempelajari hal baru. Fiati (2019) menemukan bahwa sebenarnya anak
berkebutuhan khusus memiliki intelegensi tingkat normal bahkan bisa di atas
normal, hanya saja mengalami kesulitan dalam berbahasa baik itu menulis,
mengeja, maupun menghitung. Solusi kesulitan belajar yang terjadi pada anak
berkebutuhan khusus yaitu factor internal, dimana memberi motivasi untuk
menjadi pendorong atau penggerak dan juga faktor eksternal dimana peran orang
tua atau guru mendidik dan memperhatikan kemajuan belajar.
Namun sayangnya menurut Listiani (2023), meskipun orang tua telah
menyadari sejak dini bahwa anaknya membutuhkan simpati lebih tapi karena
kurang informasi, sibuknya orang tua bekerja dan masih minimnya pakar yang
ahli dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa peran orang tua sebagai pembimbing, motivator, serta
fasilitator dapat mengembangan tingkat kepercayaan diri pada anak dan dinilai
bahwa bimbingan dari guru juga sangat efektif.
Salah satu perkembangan yang paling penting bagi anak yaitu ketika anak
mulai belajar bahasa. Berdasarkan Vygotsky, anak-anak menggunakan bahasa
tidak hanya untuk berkomunikasi secara sosial tetapi juga untuk membantu
mereka menyelesaikan tugas. Vygotsky (1962) selanjutnya percaya bahwa anak
kecil menggunakan bahasa untuk merencanakan, membimbing, dan memantau
perilaku mereka, bagi Vygotsky itu adalah alat pemikiran yang penting selama
tahun-tahun awal masa kanak-kanak (John Steiner, 2007).
D. Pengenalan Scaffolding
Scaffolding adalah salah satu teknik belajar dimana pendamping akan memberi
bantuan selama proses belajar anak hingga mencapai zone of proximal
development, dimana bantuan akan dikurangi ketika sudah mulai mampu bahkan
dihilangkan setelah berhasil melakukannya sendiri (Vygotsky). Bantuan yang
diberikan berupa petunjuk, peringatan, dorongan, mengurangi kesulitan atau
masalah dalam bentuk lain sehingga anak dapat menjadi pribadi yang mandiri.
Scaffolding sebenarnya adalah jembatan yang digunakan untuk membangun
apa yang sudah diketahui siswa untuk sampai pada sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Jika scaffolding diatur dengan benar, itu akan bertindak sebagai enabler,
bukan sebagai disabler (Benson, 1997). Pemanfaat scaffolding sangat banyak
contohnya memecahkan tugas yang sulit ke beberapa bagian kecil sehingga lebih
mudah untuk dikelolah ataupun belajar untuk melakukan pembelajaran kooperatif
dimana mampu melakukan bekerja sama atau berdiskusi dengan teman sebaya.
Namun yang perlu ditekankan yaitu pendamping harus mengetahui kemampuan
anak sebelum diberikan perlakuan sehingga dapat memastikan pengetahuan baru
dan relevansi dalam kehidupan anak (Libscomp, dkk, 2010)
Teknik scaffolding telah banyak diteliti dan terbukti efektif untuk membantu
perkembangan anak, salah satu penelitiannya yaitu dilakukan oleh Garcia, dkk
(2023) yang membuktikan bahwa teknik scaffolding sangat membantu terutama
pada masa pandemi ketika anak harus belajar dari rumah, dengan penerapan
teknik ini dimana dengan bantuan orang tua merancah pembelajaran melalui tatap
maya, bagaimana orang tua menurunkan tingkat stress akademik anak, dan
setidaknya dapat meminimalisir dampak buruk dari belajar jarak jauh.
Sebenarnya, ada dua langkah instruksi utama dalam scaffolding yang pertama
adalah bagaimana pendamping mengarahkan anak yang pada dasarnya telah tahu
menjadi kepahaman yang lebih dalam tentang materi baru kemudian, yang kedua
adalah pendamping memberi dukungan kepada anak disetiap langkah proses
pembelajaran. Dalam proses scaffolding yang tepat, akan ada ciri-ciri khusus yang
dapat diidentifikasi yang ada untuk memungkinkan fasilitasi membantu
pembelajar dalam menginternalisasi pengetahuan sampai terjadi penguasaan.
Pendamping harus mengetahui besaran bantuan yang diberikan, harusnya
besaran bantuan diberikan tergantung hasil belajar sebelumnya. Jika hasil
pembelajaran sebelumnya belum maksimal maka perlu diberikan intervensi lebih
lanjut berupa arahan-arahan yang lebih spesifik, begitu juga pembelajaran yang
berhasil dengan intervensi maka dia diberikan arahan yang kurang eksplisit pada
saat dia membutuhkan bantuan. Pemberian instruksi harus jelas dan spesifik
terhadap apa yang sedang dipelajari, perlu juga diketahui bahwa pendamping
harus memberi waktu yang cukup menerapkan arahan atau mencoba gerakan baru
sebelum memutuskan memberi intervensi tambahan yang dibutuhkan.
Ada enam intruksi umum yang pada scaffolding yaitu :
1. Berbagi tujuan tertentu, tujuan adanya pendamping yaitu menentukan tujuan
bersama dengan mendiskusikan kepentingan anak. Selain itu, juga penting
untuk mempertimbangkan teknik pemecahan masalah dengan melibatkan anak
agar memunculkan motivasi intrinsic. Sehingga, hal itu dapat mengendalikan
tingkat frustasi pada anak karena merasa minatnya telah divalidasi.
2. Pendekatan tugas utuh, yaitu fokus pada tujuan secara keseluruhan yang akan
dicapai. Namun perlu diketahui bahwa pendekatan ini hanya efektif jika
pembelajar tidak mengalami kesulitan ekstrim dengan salah satu keterampilan
komponen yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh tugas.
3. Pentingnya frequensi keberhasilan pada scaffolding, seringnya anak berhasil
dapat mengurangi frustasi pada anak. Keberhasil dapat dicapai ketika
pemberian bantuan tepat waktu dan efektif sehingga anak dapat melakukannya
sendiri, karena semakin sering anak berhasil maka akan semakin tinggi
motivasi dan tingkat efikasi diri yang terbangun pada anak yang membuat
usaha pembelajaran lebih produktif.
4. Niat-Membantu, inti dari proses scaffolding untuk memberikan bantuan kepada
membantu anak dengan kesulitannya saat ini. Dalam pemberian bantuan
langsung tugas saat ini, maka lingkungan belajar lebih produktif karena
informasi yang diberikan sesuai dengan fokus pembelajaran.
5. Tingkat bantuan optimal, apa yang dapat dilakukan anak harus disesuaikan
dengan tingkat bantuan yang harus diberikan orang tua. Dengan kata lain,
pendampingan hanya harus memperhatikan bidang tugas yang tidak dapat dia
selesaikan sendiri. Tidak ada intervensi yang harus dilakukan jika tugas saat ini
berada dalam kemampuan pembelajar. Namun, jika pembelajar tidak memiliki
keterampilan yang diperlukan, diperlukan demonstrasi.
6. Menyampaikan model pakar, model ahli dapat memberikan contoh eksplisit
tugas sebagai cara ahli menyelesaikan tugas. Teknik untuk menyelesaikan
tugas diungkapkan dengan jelas. Dalam demonstrasi implisit, informasi
tersebut diuraikan di sekitar model ahli.
Langkah pertama dalam scaffolding intruksional yaitu pemodelan, Lange,dkk
(2002) mendefenisikan modeling sebagai mengajar perilaku yang menunjukkan
bagaimana seseorang harus merasakan, berfikir atau bertindak dalam situasi
tertentu. Ada tiga jenis pemodelan, Pemodelan berpikir keras memberikan
substansi pendengaran pada proses berpikir yang terkait dengan suatu tugas.
Misalnya, orang tua mengungkapkan proses pemikirannya untuk memecah kata
yang tidak dikenal menjadi bagian-bagiannya sehingga dapat dibaca.
Pemodelan dengan suara keras melibatkan verbalisasi proses pemikiran atau
strategi pemecahan masalah sambil mendemonstrasikan tugas. Contohnya adalah
orang tua secara lisan menggambarkan proses berpikirnya saat dia
mendemonstrasikan cara yang benar untuk memegang benda dengan benar.
Terakhir, ada pemodelan kinerja yaitu tidak memerlukan instruksi verbal.
Misalnya, orang tua bisbol mungkin menunjukkan kepada anak cara membuang
sampah pada tempatnya (Lange,dkk, 2002). Selain pemodelan, orang tua
sebaiknya memberikan penjelasan. Penjelasan ini harus secara terbuka membahas
pemahaman pembelajar tentang apa yang dipelajari, mengapa dan kapan
digunakan, dan bagaimana digunakan (Lange, dkk, 2002).
Pada awalnya, penjelasannya rinci dan komprehensif serta sering pengulangan
memang harus dilakukan. Seiring kemajuan pelajar dalam pengetahuannya,
penjelasan mungkin hanya terdiri dari kata-kata kunci dan petunjuk untuk
membantu pelajar mengingat informasi penting. Misalnya, ketika orang tua
melatih anak-anak bagaimana cara menggunakan pakaian sendiri, maka orang tua
perlu membimbing anak-anak melalui pembelajaran denga mela5tihan bagaimana
awal menggunakan baju dengan benar. Orang tua mungkin harus mempraktekkan
atau mengulangi penjelasan menyeluruh ini berkali-kali selama latihan
terbimbing. Saat anak mulai memperoleh pengalaman, orang tua mungkin hanya
perlu mendorong anak dengan arahan dengan langkah-langkah yang harusnya
dilakukan oleh anak hingga tahap berhasil melakukannya sendiri.
Lange, dkk (2002) awalnya melibatkan anak-anak, terutama pada tahap awal
scaffolding. Teknik ini akan meningkatkan keterlibatan dan kepemilikan anak
dalam proses pembelajaran dan memperoleh pengalaman. Ini juga akan memberi
orang tua kesempatan untuk menekankan atau memperbaiki pemahaman pada
anak mengenai tugas yang benar. Hal ini membawa individu untuk memverifikasi
dan mengklarifikasi pemahaman anak. Saat anak mulai terbiasa dengan materi
baru, penting bagi orang tua untuk mengevaluasi pemahaman anak dan
memberikan umpan balik yang positif dan korektif.
E. Dampak Pengaplikasian Scaffolding di Kehidupan Sehari-hari Pada Anak
Berkebutuhan Khusus
Scaffolding dapat digunakan dalam berbagai situasi untuk membantu anak
mempelajari hal baru hingga mahir. Para ibu secara alami menggunakan
pendekatan ini ketika mereka mengajar anak-anak mereka bagaimana hidup dan
menikmati dunia mereka. Pada usia 0-8 tahun adalah usia yang sangat penting
karena dikenal sebagai masa golden age maka penting untuk memperhatikan
tumbuh kembang pada anak. Pada usia ini anak akan tumbuh lebih cepat dari segi
fisik termasuk perkembangan otak dan kecerdasan kognitif motoriknya.
Mengingat usia dini adalah usia penting sehingga pemberian pendidikan atau
pembelajaran pada anak harus tepat, karena usia ini anak belum mengetahui
fungsi ataupun bahaya dari sesuatu hal yang ada di sekitarnya. Alasan ini
mengapa anak membutuhkan pendampingan dari orang tua, pengasuh atau guru
yang mendampingi anak dalam kesehariannnya untuk mengeksplorasi dan
mengenal kondisi lingkungannya. Perlu diketahui bahwa anak usia dini akan lebih
banyak belajar melalui perilaku meniru atau disebut dengan modeling, biasanya
orang tua adalah figure pertama yang akan dijadikan model .
Dengan gaya meniru adalah salah satu gaya belajar yang mudah, karena
pendamping anak akan dengan mudah memberi contoh secara konkrit agar
berhasil mempelajari suatu hal yang baru. Selain itu, anak memiliki ingatan yang
kuat sehingga mengajari, melatih serta mempraktikkan suatu pengetahuan dan
keterampilan meski daya konsentrasi terhadap suatu hal yang dipelajari tidak kuat
lama selayaknya orang dewasa. Sebagaimana yang dijelaskan Sofia, dkk (2021)
bahwa orang tua atau pendamping merupakan faktor penunjang atau justru
sebaliknya menjadi penghambat dalam pengembangan anak usia dini.
Anak usia dini normal masih banyak yang mengalami kesulitan belajar apalagi
anak usia dini yang memiliki kebutuhan khusus, karena secara genetik telah
mengalami ketidaknormalan dan membutuhkan penanganan khusus sehingga
menurut beberapa penelitian bahwa penerapan teknik scaffolding terbilang efektif
untuk meningkatkan kemampuan kognitif yang akan membantu anak untuk
menjalani kesehariannya (Amanullah, dkk, 2022).
F. Tantangan dan Keuntungan Scaffolding
1. Tantangan
a. Sangat memakan waktu
b. Kurangnya profesional yang memadai
c. Potensi salah menilai zona perkembangan proksimal; kesuksesan
bergantung pada identifikasi area yang berada di luar tetapi tidak terlalu
jauh di luar kemampuan siswa
d. Memodelkan perilaku, strategi, atau aktivitas yang diinginkan secara tidak
memadai karena guru belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan,
kecenderungan, minat, dan kemampuan masing-masing siswa (seperti tidak
menunjukkan kepada siswa cara "mengklik dua kali" pada ikon saat
menggunakan komputer)
e. Manfaat penuh tidak terlihat kecuali instruktur dilatih dengan benar
f. Mengharuskan guru untuk melepaskan kontrol saat pemudaran terjadi
g. Kurangnya contoh dan tip khusus dalam buku teks edisi guru
h. Saat menilai manfaat scaffolding, penting untuk mempertimbangkan
konteks di mana Anda ingin menerapkan strategi dan teknik. Selain itu,
Anda harus mengenal peserta didik dan mengevaluasi kebutuhan khusus
mereka terlebih dahulu.
2. Keuntungan
a. Kemungkinan pengidentifikasi awal dari bakat
b. Memberikan instruksi individual
c. Jaminan yang lebih besar dari pembelajar memperoleh keterampilan,
pengetahuan atau kemampuan yang diinginkan
d. Memberikan instruksi yang berbeda
e. Memberikan efisiensi – Karena pekerjaan terstruktur, terfokus, dan
gangguan telah dikurangi atau dihilangkan sebelum inisiasi, waktu
tugas meningkat dan efisiensi dalam menyelesaikan aktivitas
meningkat.
f. Menciptakan momentum, melalui struktur yang disediakan oleh
scaffolding, siswa menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mencari
dan lebih banyak waktu untuk belajar dan menemukan sehingga
menghasilkan pembelajaran yang lebih cepat
g. Melibatkan pelajar
h. Memotivasi pembelajar untuk belajar
i. Meminimalkan tingkat frustrasi bagi pembelajar

Anda mungkin juga menyukai