Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengertian anak berkebutuhan khusus Dalam buku Exceptional Children and


Youth, menurut William Cruickshank dan G. OrvilleJonhson (1958 : 3),
pengertian anak berkelainan: pada dasarnya anak berkelainan adalah
seseorang anak yang mengalami penyimpangan intelektual, phisik, sosial atau
emosional secara menyolok dari apa yang dianggap sebagai pertumbuhan
dan perkembangan normal, tentu saja yang bersangkutan tidak dapat
menerima manfaat maksimal dari program sekolah umum dan memerlukan
kelas khusus atau tambahan pengajaran dan berbagai layanan.

Secara sederhana, anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak


yang memerlukan layanan khusus untuk dapat menjalani aktivitas sehari-
hari dengan baik. Hal tersebut mencakup anak-anak yang mengalami
permasalahan maupun yang memiliki kelebihan terkait tumbuh kembang
yang kaitannya dengan intelegensi, inderawi, dan anggota gerak. Seperti yang
diungkapkan oleh Efendi (2006) bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan
suatu kondisi yang berbeda dari rata-rata anak pada umumnya. Perbedaan
dapat berupa kelebihan maupun kekurangan. Dari adanya perbedaanini, akan
menimbulkan berbagai akibat bagi penyandangnya. Heward menyatakan
bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak dengan karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik (Rejeki &
Hermawan,2010).

Dengan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan


khusus memiliki berbagai macam karakteristik didalamnya yang mana hal
tersebut menjadi pembeda anatara anak pada umumnya dengan anak
berkebutuhan khusus. Dengan perbedaan tersebut membuat anak dengan
kebutuhan khusus harus mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan potensi dan
kebutuhan yang mereka miliki.

Sebutan anak berkebutuhan khusus tidak selalu merujuk pada kecacatan


yang dialami, namun merujuk pada layanan khusus yang dibutuhkan karena
mengalami suatu hambatanatau kemampuan diatas rata-rata. Meskipun jenis
anak berkebutuhan khusus sangat beragam, namun dalam konteks
pendidikan khusus di Indonesia anak berkebutuhan khusus di kategorikan
dalam istilah anak tunanetra, anak tunarungu, anak tunagrahita, anak
tunadaksa, anak tunalaras, dan anak cerdas dan bakatistimewa. Semua anak
dengan kebutuhan khusus mempunyai berbagai macam karakteristik, salah
satunya adalah anak dengan hambatan intelektual atau Tunagrahita.

Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan keterlambatan


perkembangan mental anak dan memiliki tingkat IQ dibawah rata-rata IQ anak
pada umumnya (Wiyani, 2014). Anak tunagrahita dapat diklasifikasikan
berdasarkan tingkatan intelegensi dengan dasar intelegensi normal
manusia dengan Skala Binet berkisar antara 90-110. Adapun klasifikasi
berdasarkan tingkat intelegensi adalah Ringan (IQ 65-80), Sedang (IQ 50-65),
Berat(IQ35-50),Sangatbera yang memiliki tingkat berat atau sangat berat,
mereka memiliki karkateristik lebih khusus dimana mereka akan kesulitan
untuk menjalani aktivitas sosial sehari-hari. Anak dengan hambatan
downsyndrom berkaitan dengan disabilitas intelektual.

Down Sindrom adalah kelainan pada genetik yang paling gampang


diidentifikasi dan paling sering terjadi. Down sindrom biasa dikenal dengan
kelainan genetic trisomy, yaitu terdapat penambahan kromosom di kromosom 21
(Irwanto et al., 2019). Down sindrom ialah gangguan pada genetik semenjak bayi
dilahirkan, terjadi pada tahap terbentuknya embrio (cikal bakal bayi) yang
disebabkan oleh kesalahan pada pembelahan sel disebut nondisjunction embrio
yang pada biasanya membuat dua salinan pada kromosom 21, Down Sindrom
menghasilkan salinan 3 pada kromosom 21 , hal ini menyebabkan bayi memiliki
47 kromosom tidak 46 kromosom seperti bayi yang normal. (Kemenkes RI,
2019). Anak yang memiliki hambatan downsyndrom mengalami suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya
abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi
pembelahan.Sehingga pada kondisi tersebut membuat seorang anak dengan
hambatan downsyndrom mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari seperti anak pada umumnya.

Setiap penyandang sindrom Down mempunyai keterbelakangan yang berbeda


skalanya, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekuatan atau kelebihan
bakat pada setiap individu. Anak downsyndrom dapat melakukan kegiatan
seperti anak lainnya meski tentunya lebih lambat daripada anak yang bukan
penyandang downsyndrom . Downsyndrom tidak bisa disembuhkan namun
dengan dukungan dan perhatian maksimal anak anak dengan hambatan
downsyndrom dapat tumbuh kembang dengan bahagia dan optimal dan
mempunyai angka kelangsungan hidup yang panjang. Maka dari itu anak dengan
hambatan downsyndrom berhak mendapatkan layanan terbaik guna
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Hal ini juga termasuk
pada melatih kemandirian dirinya dalam mengurus diri yang mana hal tersebut
masuk dalam kategori bina diri.

Kemandirian merupakan perilaku yang dapat memberikan banyak


pengaruh positif, sebab kemandirian pada anak akan tampak ketika anak akan
melakukan aktivitas sederhana sehari-hari. Kemandirian dapat dibangun dan
ditanamkan dengan dukungan dari orangtua, guru dan orang dewasa yang
berada di lingkungannya. terdapat sejumlah hasil penelitian mengungkapkan
bahwa kemandirian anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh orangtuanya, yang
bermula dari proses tumbuh kembang anak (Sunarty, 2016). Setiap individu tentu
memerlukan kemandirian dalam mengurus diri hal tersebut merupakan sebuah
kewajiban yang harus setiap individu miliki.

Menurut Sari & Rasyidah (2020) kemampuan anak tunagrahita dalam self-
help atau menolong diri sendiri tidak dapat begitu saja seperti anak normal dengan
meniru orang tua atau orang lain, namun harus mempelajari secara khusus dalam
bentuk mata pelajaran di sekolah. Setiap sekolah yang menangani anak tunagrahita
memiliki kurikulum khusus untuk mempelajari kemandirian. Ada beberapa factor
yang membuat sebuah kemandirian tidak tercapai dengan baik, seperti halnya
gangguan pada motoric halus anak, sehingga anak mengalami keterbatasan dalam
mencapai sebuah kemandirian, misalnya dalam hal mengurus diri mengikat tali
sepatu.

Menurut Susanto (2011 : 164) motorik halus adalah gerakan halus yang
melibatkan bagian-bagian tertentu saja yang dilakukan oleh otot-otot kecil saja,
karena tidak memerlukan tenaga akan tetapi memerlukan koordinasi yang cermat.
Semakin baik gerakan motorik halus membuat anak dapat berkreasi, seperti
menggunting kertas dengan hasil guntingan yang lurus, menggambar gambar
sederhana dan mewarnai, menggunakan kilp untuk menyatukan dua lembar kertas,
menjahit, menganyam kertas serta menajamkan pensil dengan rautan pensil. Namun,
tidak semua anak memiliki kematangan untuk menguasai kemampuan ini pada tahap
yang sama. Seperti halnya anak dengan hamabatan Downsyndrom memiliki
kelemahan dalam perkembangan motoric halusnya sehingga hal berdampak pada
kemampuan bina diri anak.

Melalui hasil observasi yang telah dilakukan di SD Guntung Paikat yang telah
dilakukan terdapat subjek dengan hambatan downsyndrom yang mana hambatan
tersebut masuk dalam hambatan intelektual, didapati bahwa anak memiliki kesulitan
dalam melatih kemandiriannya sehingga anak memerlukan perhatian khusus untuk
dapat melakukan kegiatan bina diri dengan baik termasuk dalam hal mengurus diri
mengikat tali sepatu. Adapun penyebab anak mengalami kesulitan dalam mengikat
tali sepatu dikarenakan tingkat kemandirian yang sangat rendah sehingga harus
selalu dibantu ketika mengikat tali sepatu. Selain itu, motoric halus yang bermasalah
juga menjadi alas an mengapa anak mengalami kesulitan dalam mengikat sepatu.
Sehingga perlu adanya media yang membantu anak untuk melatih morik halusnyanya
dan mengembangkan kemandiriannya dalam mengurus diri termasuk mengikat tali
sepatu. Setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan
sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak, seperti halnya
dengan anak berkebutuhan. Pada Anak Berkebutuhan Khusus penggunaan media
pembelajaran sangat diperlukan.Oleh karna itu pembelajaran yang digunakan bagi
anak berkebutuhan khusus yaitu yang bisa digunakan untuk menyalurkan pesan yang
diajarkan, sehingga merangsang, perhatian, perasaan serta kemampuan siswa
sehingga bisa mendorong proses pembelajaran. Dalam menyalurkan pesan yang
diajarkan, uru memerlukan sebuah perantara agar pesan dapat tersampaikan dengan
baik. Oleh karena itu guru membutuhkan media yang efektif serta efisien(Laksana
dwi Sigit, 2016).Sehingga dengan adanya kondisi diatas peneliti tertarik
menggunakan sebuah permainan bernama busy page mengikat tali sepatu. Media
tersebut berupa sebuah gambar yang memiliki lubang dan berbambar seperti sepatu
dan ada tali sepatu sebagai pelengkap permainan dengan warna menarik sehingga
anak dapat memasukkan tali sesuai dengan lubang yang ada pada gambar. Dengan
begitu diharapkan media ini dapat membantu anak dalam meningkatkan
kemandiriannya.

Penggunaan media dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Vena dan Nur Ika (2018) yang menggunakan lacing shoes sebagai
media pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan mengikat tali sepatu .Dengan
demikian, berdasarkan dengan permasalahan yang ada diatas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Mengikat Tali
Sepatu Anak Dengan Hambatan Downsyndrom Dalam Melalui Media Permainan
Edukasi Busy Page Di Sd Guntung Paikat Banjarbaru”
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah penelitian ini
yaitu: Apakah media permainan busy page dapat meningkatkan kemampuan
mengikat tali sepatu pada anak dengan hambatan downsyndrom di SD Guntung
Paikat?

C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Apakah media permainan busy page dapat
meningkatkan kemampuan mengikat tali sepatu pada anak dengan hambatan
downsyndrom di SD Guntung Paikat.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis. Manfaat
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah menambah ilmu
pengetahuan tentang pemberian layanan kemandirian untuk meningkatkan bina diri
anak dengan hambatan downsyndrom dalam mengikat tali sepatu.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru
Sebagai referensi bacaan dalam pemberian layanan permasalahan bina diri anak
dengan hambatan downsyndrom.
b. Bagi masyarakat dan orang tua
Sebagai referensi bacaan dan solusi kegiatan dalam penanganan permasalahan
bina diri anak dengan hambatan downsyndrom.
c. Bagi Sekolah
Diharapkan melalui penelitian ini dapat menjadi bahan kajian untuk
mengembangkan kemampuan bina diri anak dengan hambatan downsyndrom.
d. Bagi Peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti lain dalam menambah
referensi dan memberikan latihan untuk meningkatkan kemampuan bina diri
anak dengan hambatan downsyndrom secara lebih lanjut.
E. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian ini maka diberikan batasan
pengertian terhadap istilah-istilah yang dipakai sebagai berikut :
1. Downsyndrom
Down syndrome merupakan kelainan genetik yakni terbentuknya kromosom 21.
Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom yang saling
memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Anak-anak down syndrome menderita
berbagai deficit dalam belajar dan perkembangan. Mereka cenderung tidak
terkoordinasi dan kurang memiliki tekanan otot yang cukup sehingga sulit bagi
mereka untuk melakukan tugas-tugas fisik dan terlibat dalam aktivitas bermain
seperti anak-anak lain. Anak-anak down syndrome juga mengalami deficit
memori, khususnya untuk informasi yang ditampilkan secara verbal, sehingga mereka
sulit untuk belajar di sekolah. Mereka juga kesulitan untuk mengekspresikan
pemikiran dan kebutuhan mereka dengan jelas secara verbal tetapi disamping
kesulitan-kesulitan itu mereka sebagian besar dapat membaca, menulis, dan
mengerjakan tugas-tugas aritmatika sederhana apabila mereka menerima pendidikan
yang tepat dan dukungan yang baik.
2. Bina diri
Activity of Daily Living (ADL) atau aktivitas kegiatan harian dalam dunia Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dikenal dengan istilah bina diri. Bina diri mengacu
pada suatu kegiatan yang bersifat pribadi, tetapi memiliki dampak dan berkaitan
dengan human relationship. Istilah Activity of Daily Living (ADL) atau aktivitas
kegiatan sehari-hari yang lebih familiar dalam dunia Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) dikenal dengan istilah bina diri. Keterampilanketerampilan yang
diajarkan atau dilatihkan dalam bina diri menyangkut kebutuhan individu yang harus
dilakukan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain bila kondisinya memungkinkan. Seperti
halnya menggunakan sepatu bertali secara mandiri.
3. Permainan busy page

Permainan busy page merupakan sebuah media pembelajaran yang berbasis


permainan edukatif dengan berbagai macam pilihan bentuknya. Seperti gambar
sepatu, yang mana pada bentuknya tediri dari gambar berlubang persis seperti sebuah
sepatu pada gambar. Hal ini dapat membuat anak tertarik untuk belajar dan melatih
dirinya dalam mengikat tali sepatu untuk melatih motoric halus serta kemandiriannya
dalam mengurus diri. Permainan ini cukup mudah dan aman digunakan bagi anak
dengan hambatan downsyndrom serta sangat mudah dan praktis dibawa kemana saja
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Anak dengan hambatan Downsyndrom


1. Pengertian Downsyndrom
Anak dengan hambtan downsyndrom termasuk dalam kategori anak
dengan hambatan intelektual. Hal ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Amin dalam (Taufiq, dkk 2018) bahwa jika dilihat
dari tingkat IQ, maka anak down syndrome termasukkedalam
klasifikasi tunagrahita sedang. Dikarenakan memiliki kisaran IQ
antara 40-54.
Down Sindrom adalah kelainan pada genetik yang paling gampang
diidentifikasi dan paling sering terjadi. Down sindrom biasa dikenal
dengan kelainan genetic trisomy, yaitu terdapat penambahan
kromosom di kromosom 21 (Irwanto et al., 2019). Down sindrom
ialah gangguan pada genetik semenjak bayi dilahirkan, terjadi pada
tahap terbentuknya embrio (cikal bakal bayi) yang disebabkan oleh
kesalahan pada pembelahan sel disebut nondisjunction embrio yang
pada biasanya membuat dua salinan pada kromosom 21, Down
Sindrom menghasilkan salinan 3 pada kromosom 21 , hal ini
menyebabkan bayi memiliki 47 kromosom tidak 46 kromosom seperti
bayi yang normal. (Kemenkes RI, 2019).
Kromosom yang ekstra ini menyebabkan berlebihnya jumlah protein
pada protein tertentu sehingga menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan normal pada tubuh serta menyebabkan perubahan pada
perkembangan di otak yang telah tertata sebelumnya. Selain itu,
kalainan ini menimbulkan keterlambatan pada perkembangan fisik,
ketidakmampuan dalam belajar, penyakit pada jantung, serta leukimia
atau kanker darah (Irwanto et al., 2019).
Down syndrome pertama kali ditemukan pada tahun 1886 oleh
Dr.John Langdon Down. Hal ini didasari oleh penemuan kelainan
pada anak yang ditimbulkan oleh kelanan pada mental dan
keterlambatan pada pertumbuhan fisik seorang anak.
Sehingga melalui beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
downsyndrom merupakan bagian dari anak dengan hambatan
intelektual atau Tunagrahita. Dalam kategori sedang.
2. Klasifikasi Anak Downsyndrom
Menurut Irwanto Dkk, 2019 Berdasarkan kromosom dan kelainan
struktur, Downsyndrom terbagi menjadi 3 yaitu ;
a) Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering
terjadi pada penderita Sindrom Down, di mana terdapat
tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian
trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita Sindrom
Down.
b) Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan
kromosom 21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan
menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini
dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini
terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita Sindrom Down.
Pada beberapa kasus, translokasi Sindrom Down ini dapat
diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang
ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala
yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
c) Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di
mana hanya beberapa sel saja yang memiliki kelebihan
kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Sindrom
Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah
kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir
dengan Sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi.
Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita
Sindrom Down.
Down Sindrom disebabkan oleh kelainan pada susunan
kromosom ke 21, dari jumlah 23 kromosom pada manusia.
Pada manusia yang normal, terdapat 23 kromosom
berpasangan sehingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita
Down Sindrom kromosom berjumlah 47 dikarenakan pada
kromosom 21 jumlahnya ada 3(trisomi). Tidak hanya
nondisjunction , Down sindrom juga disebabkan oleh anaphase
lag yang merupakan kegagalan kromatid atau kromosom pada
saat bergabung pada salah satu nucleus anak dibentuk pada saat
pembelahan sel, ini disebabkan oleh terlambatnya pergerakan
dari anafase. Kromosom akan menghilang jika kromosom
tersebut tidak masuk kedalam nucleus sel anak. Hal ini terjadi
saat mitosis maupun meiosis.(Irwanto et al., 2019)
Hall mengatakan bahwa Down Sindrom disebabkan karena
kromosom ekstra di pasangan kromosom 21, dapat diambil
bentuk 4 pola yaitu duplikasi trisomi,mosaic dan translokasi.
(Irwanto et al., 2019)
Duplikasi merupakan bagian kromosom 21 (46, XX,dup(21q))
tipe ini amat jarang ditemui. Duplikasi cenderung
menimbulkan gen yang bertambah di kromosom 21. Pada
trisomi 21 (47,XX,+21) yaitu bentuk dari Down Sindrom yang
terbanyak ditemukan. Kejadian ini ditimbulkan karena
kesalahan pada saat sel membelah dengan demikian ada 3
kromosom 21 di setiap sel tubuh. Pada mosaik (46,XX atau
47,XX+21) ada sel yang mempunyai kromosom ekstra serta
terdapat juga yang tidak. Derajat gangguan makin kecil yang
ditimbulkan jika sedikit juga sel yang terpengaruh. Pada Down
sindrom familial atau translokasi robertsonian kejadian ini
terjadi karena lengan panjang pada kromosom 21 tergabung
pada kromosom lainnya, umumnya menempel pada kromosom
14(45, XX, t(14;21q)) ataupun menempel dalam kromosom 21
hal ini dikenal dengan isokromosom, pada kejadian tersebut
salah satu baik ayah ataupun ibu memiliki materi kromosom
ini, dimana urutannya tidak normal dengan demikian perlu
diberikan konseling terkait topik genetika. (Irwanto et al.,
2019)
Sehingga adanya pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa penyebab utama downsyndrom adalah kelainan
kromosom yang terjadi pada tubuh manusia dengan ditandai
pada kelainan perkembangan dan fisik yang dapat terlihat sejak
bayi baru lahir.
3. Karakteristik anak downsyndrom
Berdasarkan kerangka hukum yangberlaku di Indonesia, penyandang
disabilitassindrom downdiklasifikasikan sebagai kelompok tuna
grahita dan lambat belajar.Dimanasindrom downmerupakan satu
studietiologi dari ketunaan tersebut. Meskipun dalam penanganannya
sering kali disamakankarena terdapat karakteristik visual danmotorik
yang sama, namun terdapat pula pengelompokan berdasarkan
kelainanjasmani yang disebut tipe klinis, sepertisindrom down.
Menurut Irwanto Dkk, 2019 Anak Sindrom Down dapat dikenali dari
karakteristik fisiknya.
Beberapa karakteristik fisik khusus, meliputi:
a) bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan
orang normal (microchephaly) dengan area datar di bagian
tengkuk.
b) ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat
(rata-rata usia 2 tahun).
c) bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk
lipatan (epicanthal folds).
d) bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia)
sehingga tampak menonjol keluar.
e) saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat
menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
f) garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian
crease)
g) penurunan tonus otot (hypotonia)
h) jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung
dan jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah
mengalami hidung buntu.
i) tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak
mencapai tinggi dewasa rata-rata.
j) dagu kecil (micrognatia)
k) gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam
urutan yang tidak sebagaimana mestinya.
l) spot putih di iris mata (Brushfield spots)
adapun menurut andi, (2022) Karakter non-fisik oleh beberapa
literatur dikaitkan langsung dengan tumbuhkembang individu
dengan sindrom down,dimana mereka memiliki ciri-
ciriketerlambatan perkembangan, gangguan kognisi atau
retardasi mental dari ringan hingga berat, gangguan komunikasi
biasanyaterjadidari segi Bahasa ekspresif yangcenderung lebih
lambat dari pada bahasareseptif, adaptasi dan keterampilan
sosial,termasuk juga masalah kemandirian.

Sehingga menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa


downsyndrom merupakan sebuah kelainan pada fisik maupun
intelegensi seorang anak yang mempunyai ciri khas dan sangat
mudah terdeteksi sedini mungkin .

4. Faktor penyebab downsyndrom


Menurut mirwati dalam ( hera dan rahna 2022) ada beberapa faktor
yang menyebabkan lahirnya anak dengan kelainan down syndrome
dan salah satu faktor yang paling umum adalah usia melahirkan
seorang ibu yang terlampau tua yaitu berkisar di usia 35 hingga 40
tahun ke atas. Semakin tua usia seorang ibu maka semakin besar pula
kemungkinan melahirkan anak berkelainan down syndrome.
Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan
anak dengan down syndrome pernah mengalami radiasi di daerah
sebelum terjadi konsepsi. Viru Mengakibatkan rekombinasi genetik
yang membuat DNA manusia dikendalikan oleh virus. Risiko untuk
mendapat bayi dengan down syndrome didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil
pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil
pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat bayi dengan
down syndrome (Livingstone, 2006). Usia ayah juga dapat membawa
pengaruh pada anak down syndrome. Orang tua dari anak dengan
down syndrome mendapatkan bahwa 20 – 30 % kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak
setinggi dengan usia ibu (Soetjiningsih, 1995). Sehingga Faktor
tersebut mengakibatkan adanya abnormalitas pada kromosom 21 yang
terjadi akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan
diri saat terjadi pembelahan.
Kelainan down syndrome merupakan salah satu penyebab seseorang
menderita tunagrahita atau orang yang memiliki kemampuan intlektual
di bawah rata-rata. Tuna grahita dibedakan menjadi tiga tahapan:
ringan, sedang, dan berat. Karakteristik anak dengan kelainan
tunagrahita ringan yaitu ia masih lancar berbicara, tetapi memiliki
masalah terhadap perbendaharaan kata-katanya karena mereka sedikit
sulit untuk berfikir abstrak dan mereka masih dapat mengikuti
pelajaran baik di sekolah biasa maupun sekolah khusus. Kemudian ada
anak dengan kelainan tunagrahita sedang yaitu mereka hampir tidak
bisa mempelajari pelajaran akademik, perkembangan bahasa mereka
juga lebih terbatas dibandingkan dengan penderita tunagrahita ringan,
dan mereka hampir selalu bergantung pada orang lain. Kecerdasan
mereka cenderung lambat dan mereka baru mendapatkan kecerdasan
setara anak usia 7-8 tahun ketika mereka dewasa. Terakhir yaitu anak
dengan kelainan tunagrahita berat. Mereka sepanjang hidupnya akan
selalu bergantung kepada orang lain, dan untuk aktivitas sehari-hari
seperti makan, pergi ke kamar mandi, dan berpakaian, harus selalu
dibantu oleh orang lain Hidayah, 2011 dalam (sudinia 2017).
B. Bina diri
1. Pengertian bina diri
Dalam Putri (2014), ada beberapa istilah Bina diri , istilah tersebut antara
lain adalah activities of daily livingyang disingkat dengan ADL,
mengurus diri atau merawat diri (self-care), dan menolong diri (self-
help).Kirk mengemuka-kan bahwa self caredimaksudkan sebagai
keterampilan awal yang diajarkan orang tua kepada kehidupan anak
sedini mungkin, sebagai usaha memandirikan mereka. Keterampilan
ini termasuk, makan, mobilitas, perilaku toilet dan membasuh/ mencuci
serta berpakaian (1986:136)Menolong diri sendiri atau mengurus diri
sendiri menurut Astiti (1995:21-22) dalam bahasa Inggeris dikenal
dengan istilah self helfatau self care.Menolong diri sendiri tidak langsung
diwariskan dari alam, melainkan anak tunagrahita sedang dan berat harus
mempelajarinya dengan usaha yang keras, dan dilakukan berulang-ulang
serta terprogram. Kemampuan menolong diri sendiri meliputi:
makan dan minum, kebersihan dri, berpakaian dan rias diri,
keselamatan diri dan orientasi ruang. Buchwal merinci ADL
(activities of daily living)sebagai beriku: berpakaian, makan, kebersihan,
penampilan, dan kebelakang.Self-help skillsMenurut Wallin dan Harbor
adalah keterampilan yang deperuntuk-kan untuk mencapai atau mendapatkan
kemandirian dalam banyak aspek kehidupan. Mengajarkan kemampuan
ini akan mem-bantu anak agar tidak tergantung kepada orang
yang ada di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari (2004:1)
Lebih lanjut Wallin dan Harbor menguraikan keterampilan menolong
diri sendiri adalah Berpakaian. Melepas atau memakai kaus kaki,
melepas atau memakai baju, melepas atau memakai celana, melepas atau
memakai sepatu, melepaskan atau memasang kancing, menaik-kan atau
menurunkan resleting, dan mengikat tali sepatu.Self-helpskillsmenurut
Yuli dan Carr adalah kemampuan menolong diri sendiri yang diajarkan
kepada anak tuna-grahita antara lain adalah: kebersihan, menggosok
gigi, makan, berpakaian dan menggunakan toilet. Mengajarkan
kemam-puan menolong diri sendiri kepada anak tunagrahita
membutuhkan waktu dan usaha (1980:116).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari bina
diri hamper sama yaitu agar anak dengan hambatan intelektual dapat
melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa bantuan orang lain.
2. Ruang lingkup bina diri
menurut Inderajati Sidi dalam (Kusnawan Dkk, 2022 ) Bina Diri mencakup
komponen kemampuan sebagai berikut:
a. Merawat diri, seperti makan, minum dan kebersihan.
b. Mengurus diri, seperti berpakaian dan berhias.
c. Menolong diri, seperti menjaga keselamatan dan mengatasi bahaya.
d. Berkomunikasi, seperti berkomunikasi lisan, tulisan, isyarat dan gambar.
e. Adaptasi, seperti dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat

Adapun menurut Sujarwanto ruang lingkup dalam bina diri adalah sebagai
berikut. :

a. Membersihkan diri dan merapihkan diri semua ini adalah cara bagaimana
anak merawat kebersihan, kesehatam, dan kerapihan dirinya sendiri.
b. Makan dan minum Setiap makhluk hidup membutuhkan makan dan
minum, ajan tetapi dalam kehidupan sehari-hari bagaimana seorang anak
mengetahui tata cara makan yang baik seperti apa. Begitupun anak down
syndrome perlu di ajarkan bagaimana tata cara makan yang baik.
c. Berbusana Anak berkebutuhan khususpun juga perlu diajarkan bagaimana
tata cara berbusana dan memakai pakaian nya sendiri tanpa bantua orang
tua dan orang lain. Berdasarkan pendapat mengenai ruang lingkup bina
dir
3. Mengikat Tali Sepatu
Mengikat tali sepatu merupakan sebuah bagian dari bina diriMengurus diri.
Menurut Wikasanti, 2014 dalam kehidupan ini, kecakapan hidup sangat
diperlukan sebagai dasar untuk membangun kemandirian, mempertahankan
hidup, memecahkan berbagai problema, dan berkontribusi secara positif di
berbagai sektor kehidupan. Itulah sebabnya, pendidikan yang bertujuan
untuk mengembangkan kecakapan hidup sangat penting diberikan kepada
siswa.
Pada kenyataannya masih sangat banyak anak dengan hambtan intelektual
memerlukan bantuan dalam mengurus dirinya, sehingga perlu adanya sebuah
program bina diri yang sesuai dengan kebutuhan anak seperti halnya
mengurus diri mengikat tali sepatu.
Pada kasus yang ada dilapangan, didapati bahwa anak mengalami hambatan
dalam menguruh diri memakai sepatu bertali. Maka dari itu adanya proses
latihan bina diri sangat penting bagi anak guna mencapai sebuah
kemandiriannya.
Sudrajat dan Rosida (2013:1-2) berpendapat bahwa kemampuan
keterampilan hidup bagi siswa tunagrahita tidaklah mudah seperti apa yang
dilakukan anak normal pada umumnya. Oleh karen itu, bagi siswa
tunagrahita mereka perlu berusaha keras terus menerus berlatih dengan
Latihan bina diri yang telah disusun secara sistematis dari materi sederhana
sampai materi yang kompleks dalam meningkatkan kemandirian mereka.
Selaras dengan pengertian tersebut jelas diketahui bahwa pelatihan bina diri
tidak dapat terpisahkan dengan dunia pendidikan terutama siswa dengan
hambatan intelektual. Sehingga sangat penting bagi siswa dapat melakukan
kegiatan mengurus diri seperti mengikat tali sepatu.
Memakai sepatu bertali merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh
setiap siswa disekolah. Dengan begitu siswa akan bertanggung jawab atas
kerapian terhadap dirinya sendiri. Sehingga hal ini tentu mendasari perlunya
kebisaan dalam mengikat tali sepatu. Tentunya dengan adanya pembelajaran
mengikat tali sepatu menjadi salah satu usaha dalam mencapai program bina
diri terhadap siswa downsyndrom yang ada di SD Guntung Paikat
Banjarbaru.
C. Media Permainan edukatif busy page
1. Pengertian permainan busy page
Permainan busy page merupakan sebuah media pembelajaran yang berbasis
permainan edukatif dengan berbagai macam pilihan bentuknya. Seperti
gambar sepatu, yang mana pada bentuknya tediri dari gambar berlubang
persis seperti sebuah sepatu pada gambar. Hal ini dapat membuat anak
tertarik untuk belajar dan melatih dirinya dalam mengikat tali sepatu untuk
melatih motoric halus serta kemandiriannya dalam mengurus diri. Permainan
ini cukup mudah dan aman digunakan bagi anak dengan hambatan
downsyndrom serta sangat mudah dan praktis dibawa kemana saja.
D. Penelitian yang relavan
Dalam kajian pustaka ini, penelitian ini perlu melakukan tinjauan terhadap
penelitian dan literatur penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan
judul penelitian yang akan diteliti yaitu:
1. Penelitian sri Ayu Rahmawati (2021) yang berjudul “Pengaruh Media
Busy Book Terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak” hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahwa media busy book berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan motorik halus anak di Kelompok A TK ABA
Ngabean 2 Tempel, Sleman. Hal tersebut dibuktikan dengan perubahan
skor yang diperoleh dari kesembilan subyek pada pelaksanaan pre test dan
post test. Jumlah nilai ratarata dari kesembilan subyek pada saat pre test
sebesar 7,6 dengan presentase nilai sebanyak 41%. Setelah diberi
perlakuan dengan menggunakan media busy book, nilai terendah dari
kesembilan subyek yakni dengan jumlah skor 9 dan nilai tertinggi 12.
Jumlah nilai rata-rata dari kesembilan subyek pada saat post test sebesar
11 dengan presentase nilai sebanyak 59%.
2. Penelitian Vena dan Nur Ika (2018) yang berjudul “Pengaruh Penggunaan
Media Lacing Shoes Modifikasi Terhadap Keterampilan Motorik Halus
Anak Kelompok A Tk Al-Qur’an Suryalaya Kecamatan Sumenep” Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Apabilai nilai sig. Statistik uji wilcoxon <
alpha (0,05) atau |Zhitung |> |Ztabel (1,96)| maka Ho ditolak. Berdasarkan
Tabel 5, diperoleh nilai sig = 0,000 < alpha (0,05) sehingga diputuskan
untuk menolak Ho. dan disimpulkan bahwa terdapat ada Pengaruh media
lacing shoes modifikasi terhadap leterampilan motorik halus anak
kelompok A TK Al-Qur’an Suryalaya Kecamatan Sumenep.
E. Kerangka Berfikir
Media permainan edukatif busy page merupakan sebuah media yang
dirancang khusus untuk melatih anak dalam meningkatkan kemampuan bina
diri mengikat tali sepatu. Walaupun media ini sederhana akan tetapi media ini
mempunyai pola serta warna yang menarik minat belajar siswa. Mengingat
pada karakteristik anakdengan hambatan downsyndrom yang mengharuskan
sebuah media pembelajaran yang sesuai dengan inteletual yang anak miliki.
Sehingga media ini dapat mendorong rasa keingintahuan anak terhadap proses
mengikat tali sepatu. Selain itu, media ini sangat praktis dan dapat digunakan
dalam waktu yang panjang. Bahan yang terdapat dalam media juga cukup
praktis dan dapat dibawa kemana saja.
Berdasarkan kerangka pikir tersebut, berikut dikemukakan diagram
kerangka pikir.

Memerlukan media yang


Siswa dengan Kemampuan dalam sesuai dalam upaya
hambatan bina diri mengikat meningkatkan kemampuan
downsyndrom tali sepatu rendah bina diri

Kemampuan mengikat
Penerapan media Identifikasi dan
tali sepatu
busy page perancangan media busy
menggunakan media
page
busy page

Siswa dengan hambatan Downsyndrom memiliki kesulitan dalam melaksanakan


kemampuan bina diri mengikat tali sepatu. Kemampuan siswa dalam mengikat
sebuah benda masih sangat rendah.sehingga upaya yang dilakukan selama ini adalah
guru membantu siswa dalam memkai sepatu bertali. Upaya yang dilakukan selama
ini hanya berupa bantuan dari orang sekitar untuk siswa dapat memakai sepatu
bertali. Dengan demikian media permainan busy page ditujukan peneliti agar dapat
membantu siswa dalam belajar memahami cara mengikat tali sepatu dengan mudah
dan benar untuk siswa dengan hambatan downsyndrom di SD Guntung
paikat.tentunya peneliti berharap bahwa media busy page dapat menjadi solusi
terhadap permasalahan yang dialami siswa selama ini.

H. Hipotesis sementara

Berdasarkan latar belakang dan kajian teori yang telah dipaparkan diatas, maka
hipotesis yang digunakan adalah : “Media Busy page dapat meningkatkan
kemampuan mengikat tali sepatu anak dengan hambatan Downsyndrom di SD
Guntung Paikat.”
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif menurut Sujarweni dalam Alwi
(2020) adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data
berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin
diketahui. Penggunaan pendekatan kuantitatif pada penelitian ini untuk
mengetahui kemampuan mengikat tali sepatu anak dengan hambatan
downsyndrom di SD Guntung Paikat.
b. Desain Penilitian
Desain yang digunakan dalam penelitiain ini menggunakan Single
Subject Research (SSR), dengan desain eksperimen yang dipakai dalam
penelitian ini adalah A-B-A. Yuwono (2020) memaparkan desain A-B-A
merupakan salah satu pengembangan desain dasar A-B, desain A-B-A ini telah
menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara variable terikat dan variable
bebas.
Langkah dalam desain A-B-A, mengumpulkan data perilaku sasaran pada
kondisi awal (A1) sampai data stabil dengan keadaan alami belum mendapatkan
intervensi atau perlakuan apapun. Setelah data stabil pada kondisi awal (A1)
lalu intervensi atau perlakukan (B) diberikan. Pengumpulan data pada kondisi
intervensi dilaksanakan secara terus menerus sampai data mencapai
kecendrungan arah dan level data yang jelas. Setelah itu masing-masing kondisi,
yaitu kondisi awal (A1) dan intervensi (B) diulang kembali pada subjek yang
sama pada kondisi akhir (A2) dan dalam fase ini dapat diketahui kemampuan
persepsi visual pada anak tunagrahita setelah diberi intervensi.
c. Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam
mengikat tali sepatu melalui media permainan busy page pada anak dengan
hambatan downsyndrom melalui prosedur sebagai berikut:
1. Besline 1 (A1)
Pengukuran kemampuan perilaku pada tahap ini dilakukan sebanyak empat
sesi sebelum diadakan intervensi yang setiap harinya dilakukan satu sesi
selama enam puluh menit. Pengukuran dilakukan di dalam kelas pada jam
awal pelajaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan tes
kinerja dengan mencoba mengikat sepatu bertali secara langsung. Peneliti
akan melihat respon anak ketika disuruh memasang sepatu bertali. Setelah
melaksanakan proses tes tersebut, data yang didapatkan dicatat kemudian
dipresentasikan sebagai hasil untuk melihat kemampuan mengikat tali sepatu
yang dimiliki oleh subjek. Data hasil yang telah dipresentasikan tersebut
dimasukkan pada format data atau format instrument.
2. Sesi intervensi (B)
Pada tahap intervensi, dilaksanakan penerapan penggunaan media busy page
dalam meningkatkan kemampuan mengikat tali sepatu terhadap subjek
penelitian. Setiap penggunaan media diberi interval waktu antara lain:
Memakai sepatu bertali selama 15 menit, lalu berlatih menggunakan media busy
page selama 30 menit.
Langkah sesi intervensi (B) sebagai berikut :
1) Tahap pertama, subjek diberi media busy page berupa gambar sepatu
dan tali sepatu yang sudah terpasang dengan baik. Kemudian peneliti
mencoba memberikan contoh melepas ikatatan pada tali sepatu dan
mengikatknya kembali secara pelan-pelan dan rinci. Selanjutnya,
peneliti mencoba menyuruh siswa meniru apa yang sudah peneliti
lakukan tadi.
2) Tahap kedua, subjek mengikuti intruksi yang telah dilakukan dengan
cara melepas pengikat pada tali sepatu dan mengikatnya kembali
dengan benar tetapi tetap didampingi oleh peneliti.
3. Besline 2 (A2)
Tahap Baseline-2, dilakukan pengulangan terhadap kemampuan anak dalam
mengikat tali sepatu setelah adanya intervensi. Peneliti melakukan
pengulangan dengan meletakkan sepatu bertali dihadapan anak dan menelaah
bagaimana respon anak dalam mencoba mengikat sepatu bertali. Tahap ini
dilakukan hingga arah atau level baseline-1 stabil. Dengan test dan prosedur
dapat ditarik kesimpulan atas keseluruhan penelitian yang telah dilakukan,
sehingga dapat mengetahui penggunaan media busy page dapat memberikan
pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap peningkatan mengikat tali sepatu
pada subjek penelitian yang didapat dari pengolahan data yang dikumpulkan
selama penelitian.
D. Variebel Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah media busy page sedangkan variabel
terikat penelitian ini adalah kemampuan mengikat tali sepatu anak dengan
hambatan downsyndrom di SDN 1 Guntung Paikat.
E. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN 1 Guntung Paikat yang beralamat Jl. Kemuning,
Loktabat Selatan, Kota Banjarbaru. Dengan waktu penelitian bulan maret-mei
2024.
F. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah tunggal, yaitu seorang anak Downsyndrom yang
mengalami hambatan dalam mengikat tali sepatu. Sebab alasan itu penelitian ini
dilaksanakan menggunakan Single Subject Research (SSR). Data yang diperoleh
ini diberikan oleh guru tata usaha, guru kelas, dan orangtua siswa di SDN 1
Guntung Paikat.
Adapun identitas diri dari subjek penelitian yang akan diteliti yaitu :
1. Nama Inisial : H
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. TTL : Banjarmasin, 15 Juni 2016
4. Agama : Islam
5. Alamat : Banjarbaru
G. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data atau keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian,
peneliti perlu melakukan langkah – langkah pengumpulan data yang disebut teknik
pengumpulan data sebagai berikut.
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengambilan data dengan terjun secaralangsung ke
lapangan dengan mengambil data secara langsung (Suranto,2019). Penelitian ini
menggunakan teknik observasi terhadap anaktunagrahita ringan dengan
menggunakan pencatatan observasi secaralangsung yang dilakukan pada waktu
yang telah ditentukan.Prosedur yang digunakan melalui kegiatan observasi
langsung untuk mencatat data variabel terikat pada suatu kejadian atau perilaku
yang terjadi. Pencatatan data yang digunakan adalah pencatatan magnitude
(besaran nilai dari kemampuan yang anak lakukan). Artinya,
pencatatandilakukan dengan observasi langsung untuk melihat kemampuan
anaktunagrahita ringan dalam melakukan aktivitas motorik halus.
a. Diarahkan pada tujuan tertentu, melainkan secara sistematis dan terencana.
b. Melakukan pencatatan data sesegera mungkin.
c. Diusahakan data didapatkan sedapat mungkin.
d. Hasilnya harus diperiksa kembali dan diuji kebenarannya.
Keempat hal tersebut menuntut adanya panduan observasi yang dipersiapkan
secara sitematika. Penelitian ini menggunakan lembar observasi berupa
instrumen penelitian yang berisi tentang tahap-tahap kegiatan mengikat tali
sepatu anak dengan hambatan downsyndrom.
b. Tes Performa / Kinerja
Sukardi (2009) mendefinisikan pengertian suatu tes yakni tidak lain merupakan
satu set stimulasi yang diberikan kepada subjek atau objek yang akan diteliti.
Sedangkan Menurut Arikunto (2003) tes adalah serentetan pertanyaan atau
latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Pada
penelitian deskriptif kualitatif data kuantitatif dapat dimanfaatkan untuk
memberikan dukungan keterangan secara deskriptif. Hal ini didasarkan atas
data kuantitatif yang berupa skor atau nilai kemampuan anak diperoleh dengan
cara mengetes siswa. Tes yang diberikan terkait melepas tali sepatu, mengikat
tali sepatu pada sepatu bertali dengan baik dan benar.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu bentuk kegiatan atau proses dalammenyediakan
berbagai dokumen dengan memanfaatkan bukti yang akurat berdasarkan
pencatatan dari berbagai sumber. Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai
penguat dalam penelitian. Peneliti mengumpulkan beberapa data dokumentasi
subjek yang menjadi sasaran penelitian dengan menggunakan dokumen hasil
identifikasi dan assesmen, dokumentasi berupa foto-foto kegiatan.
Pengumpulan data ini akan menjadi bukti kongkrit dalam memberikan
keterangan yang akurat dalam penelitian ini.
H. Teknik Analisis Data

Anda mungkin juga menyukai