Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Perkembangan atau pertumbuhan anak ada yang mengalami

penghambatan atau penyimpangan baik pada fisik maupun mental, sehingga

perlunya suatu pendidikan khusus bagi anak-anak yang mengalami

keterbatasan tersebut. Tidak semua anak mengalami perkembangan yang

normal sesuai dengan usia rata-rata anak sebayanya. Beberapa anak

membutuhkan perhatian khusus karena memiliki kebutuhan khusus dalam

aspek perkembangannya (Koenarso dkk, 2017)

Berdasarkan undang-Undang perlindungan anak menyebutkan bahwa

anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang, bermain, beristirahat,

berekreasi, dan belajar dalam suatu pendidikan termasuk anak berkebutuhan

khusus, sehingga anak ini secara signifikan mengalami kelainan atau

penyimpangan fisik, mental, intelektual, sosial dan emosional dalam proses

perkembangannya (Marta, 2017).

Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang terdapat

perbedaan atau memiliki kelainan dibandingkan anak-anak pada umumnya,

kelainan tersebut dapat berupa fisik, mental, intelektual, sosial dan emosional.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan pada

dirinya, sehingga menyebabkan individu tersebut memiliki kebutuhan yang

khusus disesuaikan dengan karakteristik khusus yang mereka miliki (Daroni

ddk., 2018)
2

Penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus merupakan

kelompok minoritas terbesar di dunia, dimana 80% di antaranya berada di

negara-negara berkembang. Sepertiga dari jumlah penyandang disabilitas atau

berkebutuhan khusus adalah anak-anak (WHO, 2011 dalam Desriyani dkk.

2019). Anak bekebutuhan khusus ini terdiri dari berbagai macam kelainan,

sehingga salah satunya adalah anak yang mengalami down syndrome

(Desriyani ddk, 2019)

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta

yang terdiagnosis down syndrome di Dunia. Setiap tahun, 3.000-5.000 bayi

lahir dengan kelainan kromosom. Pada tahun (2010) 0,12 persen penduduk

Indonesia mengalami down syndrome, meningkat menjadi 0,13% pada tahun

2013. Sekitar 924 anak tinggal di Surabaya pada tahun 2019. Untuk statistik

ini, jumlah anak down syndrome usia 0-18 tahun dibagi dengan jumlah anak

down syndrome usia 0-17 tahun (Permatasari & Intan, 2020).

Data yang diperoleh berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

di dapatkan bahwa tahun 2013, jumlah penderita Down Syndrome mengalami

peningkatan sejumlah 0,01% dibandingkan pada tahun 2010, Penderita Down

Syndrome ini menempati posisi ke tiga dengan penderita terbanyak sesudah

tuna daksa dan tuna wicara yaitu sebesar 0,12% dan pada tahun 2013

menduduki posisi ke empat sebagai penderita terbanyak yaitu 0,13%. Pada

tahun 2013 terdapat 58 kasus dari 1000 kelahiran, Dengan frekuensi untuk

Down Syndrome 1 dari 700 kelahiran (Kemenkes,RI 2014)


3

Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan fisik dan

mental anak yang diakibatkan adanya kegagalan pada sepasang kromosom

(trisomy) 21 yang akan terpisah apabila terjadinya pembelahan (Febriany

dkk., 2018). Down Syndome merupakan suatu kelainan genetik yang terjadi di

dalam kandungan yang menyebabkan penderitanya mengalami

keterbelakangan perkembangan fisik dan mental. Normalnya seorang

manusia memiliki 23 pasang kromosom dari ayah dan ibunya atau 46

kromosom, namun pada penyandang down syndrome mereka mengalami

kelainan menjadi 47 kromosom, tetapi hingga saat ini belum diketahui secara

pasti penyebab down syndrome (Renawati dkk, 2017).

Penyebab anak down syndrome terdiri dari berbagai macam penyebab

yaitu karena faktor asupan obat atau kesalahan asupan saat kehamilan,

terpapar radiasi, kelainan kromosom saat pembuahan terjadi, dan karena umur

ibu di atas usia 30 tahun (Rahma & Indrawati, 2017)

Anak Down Syndrome biasanya kurang bisa mengkoordinasikan

antara motorik kasar dan halus. Contohnya kesulitan menggunakan pakaian

berkancing dan mengikat sepatu bertali sendiri. Selain itu anak down

syndrome juga kesulitan untuk mengkoordinasikan antara kemampuan

kognitif dan bahasa, seperti memahami manfaat suatu benda oleh sebab itu

anak down syndrome cenderung tidak banyak bicara dan kekurangan kosa

kata. Down Syndrome merupakan suatu sindrome genetik yang sering

dijumpai dan mudah untuk dikenali pada anak. Down Syndrome

menyebabkan penderita mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan,

kecacatan, kelemahan fisik sehingga mempunyai tingkat kemandirian yang


4

relatif rendah dibandingkan anak-anak normal pada umumnya (Raffi dkk,

2018).

Hal ini menunjukkan bahwa perlunya meningkatkan kemandirian

anak, khususnya perkembangan motorik halus pada anak yang mengalami

sindrom down. Anak down syndrome memiliki ciri motorik halus yang khas

dan ciri lain berdasarkan derajat hambatan yang dimilikinya yaitu Jari-jari

tangan kasar, kaku, otot-otot lemah, kondisi emosi sulit ditebak dan kurang

terkendali secara wajar, ketergantungan pada yang dewasa dan sering

menolak orang lain (Taiyeb, 2016).

Kemampuan motorik halus merupakan kemampuan seseorang dalam

berbagai gerakan tubuh yang membutuhkan pelemasan otot-otot halus dan

berbagai aktivitas jari-jemari (Muliar dkk, 2016). Menurut Yunia dkk (2017)

Perkembangan motorik halus dapat ditingkatkan melalui kegiatan

membentuk, dikarenakan anak akan mempelajari cara mengerakkan anggota

tubuh seperti gerak tangan, jari-jemari, mengkoordinasikan indra mata dan

aktivitas tangan

Hasil observasi di SLB Harapan Mulia anak Down Syndrome kurang

mampu mengkoordinasikan gerak motorik halusnya, Terlihat dari cara

mereka untuk makan dan minum yang menggunakan kekuatan telapak

tangan. Seharusnya sendok di pegang menggunakan jari-jari tangan namun

anak-anak Down Syndrome dengan cara mengenggamnya. Anak down

syndrome juga tidak mampu mengikat tali sepatu, sehingga mereka

membutuhkan bantuan para guru untuk mengikat tali sepatu jika terlepas.
5

Perkembangan motorik halus pada anak yang mengalami down syndrome,

diperlukan beberapa terapi, salah satunya terapi seni visual kolase (Irmayani

dkk, 2020)

Menurut (Qaharani, 2010) Kolase merupakan salah satu jenis seni

visual yang memiliki fungsi yang hampir sama dengan menggambar dan

melukis. Membuat kolase memiliki manfaat yang positif bagi anak antara lain

mengembangkan konsep diri dan harga diri, dan membantu anak

mengungkapkan perasaannya. Kolase merupakan karya seni yang dibuat

dengan cara merekatkan atau menempel bahan-bahan tertentu untuk

menghias kertas putih atau berwarna (Muharrar & Verayanti 2013 dlm

Mahardika, 2017).

Bahan kolase menjadi tiga macam, yaitu bahan-bahan alam (daun, ranting,

bunga kering, kerang, batu batuan), bahan-bahan olahan (plastik, serat

sintesis, logam, karet), dan bahan-bahan bekas (majalah bekas, tutup botol,

bungkus permen atau coklat dan lain-lain) (Khasanah & Ichsan, 2019).

Dengan adanya fasilitas terapi anak Down Syndrome diharapkan anak

mendapatkan terapi yang maksimal dan memiliki keterampilan sehingga

mampu hidup mandiri (Mulia & Kristi 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan hasil penelitian bahwa

keterampilan motorik halus siwsa setelah di berikan treatment seni kolase

lebih tinggi dari pada sebelum diberikan treatment ditandai dengan

peningkatan skor pada keterampilan memegang dan menempel pada subjek

dengan indikator berkembang sangat baik (BSB) (Irmayani dkk, 2020)


6

SLB Harapan Mulia adalah Sekolah Luar Biasa yang terletak di daerah

Jambi dengan jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA Jumlah siswa SLB

sebanyak 3 Orang dan hasil observasi menunjukan bahwa anak down

syndrome mampu melakukan terapi seni visual kolase dengan cara menglihat

atau meniru suatu objek yg mereka lihat menggunakan alat-alat yg terbuat

dari Potongan Kertas, Lem, Pola gambar, Dan biji – bijian yang disusun

dengan pola yg sudah di sediakan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Terapi Seni Visual (Kolase)

Terhadap Peningkatan Keterampilan Motorik Halus Pada Anak Down

Syndrome Di SLB Harapan Mulia’’

2 Permasalahan Penelitian

Bagaimana Penerapan terapi seni visual (kolase) terhadap peningkatan

keterampilan motorik halus pada anak down syndrome?

3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menerapkan Terapi terhadap terapi seni visual (kolase) terhadap

peningkatan motorik halus pada anak down syndrom.

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mendeskripsikan tingkat kemampuan motorik halus pada anak down

syndrome sebelum dan setalah diberikan terapi seni visual.


7

b) Menggambarkan penerapan terapi seni visual (kolase) pada anak sindrom

down.

4 Manfaat Penelitian

a) Bagi Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam peningkatan motorik halus

pada anak down syndrome.

b) Bagi pengembang ilmu dan teknilogi

Meningkatkan keluasan ilmu dan teknologi dalam meningkatkan motorik

halus pada anak down syndrome.

c) Bidang penelitian

Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur terapi

seni visual (kolase) pada anak down syndrome.


8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Down Syndrome

2.1.1 Definisi Sindrom Down

Sindrom Down merupakan kelainan genetik sejak bayi lahir yang

terbentuk sejak masa embrio yang disebabkan kesalahan dalam

pembelahan sel yang disebut non-disjunction yaitu embrio yang

menghasilkan lebih dari dua salinan kromosom 21 yang mana pada down

syndrome ini menghasilkan tiga salinan kromosom, akibatnya bayi

memiliki 47 kromosom bukan 46 kromosom pada umumnya. Kelainan

yang berdampak pada pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali

dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Langdon Down. Ciri-ciri tubuh

yang berbeda seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil,

hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid atau sering disebut

mongolisme. Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa

mengubah nama dari kelainan ini dengan merujuk nama penemu pertama

kali Sindrom ini dengan istilah “down syndrome” dan hingga kini kelainan

ini dikenal (Wardah, 2019, h.1).

2.1.2 Sejarah Singkat Sindrom Down

Pada tahun 1866, John Langdon Down, seorang dokter

berkewarganegaraan Inggris, menulis sebuah esai berjudul “Observation

on an ethnic classification of idiots” di mana ia mendeskripsikan


10

sekelompok anak dengan penampakan umum yang berbeda dari anak lain

yang mengalami retardasi mental dan selanjutnya disebut sebagai

mongolism atau mongolia idiocy. Istilah ini dibuat berdasarkan persepsi

bahwa anak-anak tersebut mempunyai karakteristik wajah yaitu berupa

lipatan epicantus yang sama dengan ras Blumenbach di Mongolia (Shin

dkk, 2009 dlm Irwanto, 2019)

Dengan berkembangnya penemuan teknik pemeriksaan kariotipe,

pada tahun 1959, Profesor Jerome Lejeune menemukan bahwa SD

disebabkan oleh ekstra kromosom pada kromosom 21 yang selanjutnya

disebut sebagai trisomi 21 (Menkes JH dkk, 2000 dlm Irwanto, 2019)

Gambar 2.1 Susunan kromosom trisomi 21

2.1.3 Insiden Sindrom Down

Insiden kejadian SD diperkirakan 1 di antara 800-1000 kelahiran.

Frekuensi kejadian SD di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran hidup.

Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan adalah 10 SD per 10.000

kelahiran hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini telah meningkat.

Insiden penderita SD dilaporkan meningkat di Finlandia yakni sebesar

1/364 kelahiran, Dubai 1/449, dan Belanda 1/625. Prevalensi SD


11

tergantung pada beberapa variabel sosial budaya (Sherman dkk, 2007 dlm

Irwanto 2019)

Di beberapa negara di mana aborsi merupakan tindakan ilegal seperti

Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensi SD lebih tinggi. Sebaliknya, di

Prancis, prevalensi SD rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena

persentase penghentian kehamilan yang tinggi pada anak dengan terdeteksi

SD. Di Belanda, data terbaru dari prevalensi SD adalah 16 per 10.000

kelahiran hidup. Di Inggris, prevalensi kehamilan bayi dengan SD telah

meningkat secara signifikan, namun belum ada perubahan secara

keseluruhan prevalensi kelahiran hidup dari SD (Sherman dkk, 2007 dlm

Irwanto, 2019)

Usia ibu saat hamil memengaruhi risiko melahirkan anak dengan

SD. Semakin meningkat usia ibu saat kehamilan, semakin besar risiko

melahirkan anak dengan SD (Sherman dkk, 2007 dalam Irwanto, 2019).

Pada saat usia ibu 20-24 tahun, risiko kejadian SD yaitu 1:1490,

usia 40 tahun sekitar 1:106, dan pada usia 49 tahun sekitar 1:11 kelahiran.

Walaupun demikian, sekitar 80% anak dengan SD lahir dari ibu yang

berusia kurang dari 35 tahun karena usia tersebut merupakan kelompok

usia subur (N Engl J Med, 1991 dalam Irwanto, 2019).

2.1.4 Klasifikasi Sindrom Down

Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, Sindrom Down

terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1) Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada

penderita Sindrom Down, di mana terdapat tambahan kromosom pada


12

kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari

semua penderita Sindrom Down.

2) Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21

melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom

yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13,

14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita Sindrom

Down. Pada beberapa kasus, translokasi Sindrom Down ini dapat

diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari

translokasi ini hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi

21.

3) Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di mana hanya

beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21).

Bayi yang lahir dengan Sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran

klinis dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang

lahir dengan Sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21

mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down

(Sommer dkk, 2008 dlm Irwanto, 2019)

2.1.5 Etiologi Sindrom Down

Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down.

Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang terjadi

pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang sering

dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan

ibu selama kehamilan. Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan

kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23


13

kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah 46. Pada

penderita Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi),

sehingga total menjadi 47 kromosom (Asim dkk, 2015)

Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa

kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi translokasi

Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain,

ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi

resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom lain (Asim dkk, 2015)

Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah

anaphase lag, yaitu kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk

bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel,

sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau pergerakan selama

anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel anak akan

menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis (Asim dkk,

2015)

Hal menuliskan bahwa Sindrom Down disebabkan oleh adanya

kromosom ekstra pada pasangan kromosom ke 21, yang dapat mengambil

bentuk salah satu di antara 4 pola, yaitu trisomi, translokasi, mosaik, dan

duplikasi.

Trisomi 21 (47, XX, +21) merupakan bentuk Sindrom Down yang

paling umum, meliputi 95% dari semua kasus, yang disebabkan oleh

kesalahan dalam pembelahan sel sehingga terdapat 3 buah kromosom 21

pada seluruh sel tubuh. Tipe ini sebenarnya tidak diwariskan walaupun

peluang untuk mendapat anak lain dengan Sindrom Down meningkat


14

menjadi 1 banding 100 pada populasi umum (Leshin dkk, 2002 dlm

Irwanto, 2019)

Translokasi Robertsonian atau Sindrom Down familial, meliputi 3-

4% dari seluruh kasus, di mana lengan panjang kromosom 21 menempel

pada kromosom lain, biasanya kromosom 14 (45, XX, t(14;21q), atau pada

kromosom 21 sendiri dan disebut iso kromosom (45, XX, t(21q,21q). Pada

tipe ini salah satu dari orang tua akan membawa materi kromosom dengan

urutan yang tidak lazim sehingga diperlukan konseling genetic (Leshin

dkk, 2002 dalam Irwanto, 2019)

Mosaik (46, XX atau 47, XX+21) merupakan bentuk yang jarang

di mana hanya terjadi sekitar 1-2% saja. Pada bentuk ini, terdapat sel yang

mengandung kromosom ekstra dan ada yang tidak. Semakin sedikit sel

yang terpengaruh, semakin kecil derajat gangguan yang ditimbulkan.

Duplikasi bagian dari kromosom 21 (46, XX, dup 21q) merupakan bentuk

yang sangat jarang. Duplikasi ini akan menyebabkan bertambahnya gen

pada kromosom 21 (Leshin dkk, 2002 dlm Irwanto, 2019)

2.1.6 Faktor Resiko Sindrom Down

Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat

meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis awal

dalam perkembangan zigot. Osit primer yang perkembangannya terhenti

pada saat profase meiosis I, tidak berubah pada tahap tersebut sampai

terjadi ovulasi. Di antara waktu tersebut, oosit mengalami non-disjunction

(Hernandez dkk, 1996 dlm Irwanto, 2019)


15

Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang

mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal

yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.

Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1) Infeksi virus

Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal

yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi

embriogenesis dan mutasi gen sehingga menyebabkan perubahan jumlah

maupun struktur kromosom.

2) Radiasi

Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada Sindrom

Down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down

pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.

Kecelakaan reaktor atom Chernobyl pada tahun 1986 dikatakan

merupakan penyebab beberapa kejadian sindrom down di Berlin.

3) Penuaan Sel Telur

Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan

menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa,

sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita

telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang akan dimatangkan

satu per-satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi.

Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang

menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh spermatozoa, sel

benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya


16

disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan frekuensi

bersenggama pada pasangan tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh

penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma

itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas

sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek ekstra kromosom 21

yang berasal dari ayah.

4) Usia ibu

Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi

dengan Sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari

35 tahun). Angka kejadian Sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun,

sebesar 1 dalam 400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30

tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin

seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar

hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan

konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon LH (Luteinizing

Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara mendadak

pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan

kemungkinan terjadinya nondisjunction (Hernandez dkk, 1996 dlm

Irwanto, 2019)

Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom dapat berupa

kromosom bebas yaitu trisomi 21 murni, bagian dari fusi translokasi

Robertsonian yaitu fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain,

ataupun dalam jumlah yang sedikit sebagai bagian dari translokasi


17

resiprokal yaitu timbal balik dengan kromosom lain (Jaruratanasirikul dkk,

2017)

Selain nondisjunction, penyebab lain dari Sindrom Down adalah

anaphase lag yang merupakan kegagalan dari kromosom atau kromatid

untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada

pembelahan sel sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan atau

pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel

anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis

(Jaruratanasirikul dkk, 2017)

2.1.7 Karakteristik Anak Sindrom Down

Menurut (Devlin dkk, 2008 dlm Irwanto, 2019) Anak Sindrom

Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa karakteristik

fisik khusus, meliputi:

1) Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang

normal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk.

2) Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata

usia 2 tahun).

3) Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan

(epicanthal folds).

4) Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga

tampak menonjol keluar.

5) Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat

menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak diterapi.

6) Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease).


18

7) Penurunan tonus otot (hypotonia).

8) Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan

jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah

mengalami hidung buntu.

9) Tubuh pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak

mencapai tinggi dewasa rata-rata.

10) Dagu kecil (micrognatia).

11) Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan

yang tidak sebagaimana mestinya.

12) Spot putih di iris mata (Brushfield spots).

13) Bentuk mata yang khas dengan adanya lipatan kecil yang menutupi

sudut bagian dalam mata inilah yang membuat John Langdon Down

menamakannya dengan istilah “mongolism”. Istilah ini kemudian

dinilai tidak pantas dan diganti dengan Sindrom Down pada tahun

1961.

2.1.8 Pertumbuhan Anak Sindrom Down

Beberapa penelitian terdahulu telah membahas tentang

pertumbuhan linier anak dengan Sindrom Down yang menunjukkan

pertumbuhan tertinggal mulai dari kehidupan prenatal.67 Cronk (1978)

meneliti 90 anak usia 0-36 bulan dengan Sindrom Down dan mendapati

bahwa rata-rata berat dan panjang badan saat lahir lebih rendah antara 0,5-

1,0 SD daripada kelompok kontrol. Pada usia 3 tahun, 30% anak dengan

Sindrom Down memiliki panjang badan kurang dari persentil ketiga, 60%
19

berada antara persentil ketiga dan kesepuluh, serta sisanya sebanyak 10%

tumbuh normal (Cronk dkk, 1978 dlm Irwanto, 2019)

Penelitian ini juga menghasilkan kurva pertumbuhan spesifik untuk

Sindrom Down, di mana panjang badan lebih pendek dan kecepatan

pertumbuhan lebih lambat terjadi pada waktu dan besaran yang bervariasi,

sehingga bila di-plot pada kurva NCHS, maka anak dengan Sindrom

Down tidak akan berada pada persentil yang sama. Pertambahan berat

anak dengan Sindrom Down lebih cepat daripada pertambahan tinggi

badannya sehingga sering terjadi overweight pada usia 36 bulan (Cronk

dkk, 1988 dlm Irwanto, 2019).

Pertumbuhan lambat dan kekurangan hormon gonad adalah salah

satu ciri khas Sindrom Down. Rata-rata kecepatan pertambahan tinggi

maksimal adalah 8,5 cm per tahun untuk laki-laki dan 7,3 cm per tahun

untuk perempuan. Usia rata-rata saat puncak kecepatan pertumbuhan

adalah 12,3 tahun untuk laki-laki dan 10,8 tahun untuk perempuan, lebih

rendah bila dibandingkan anak sehat (Huang dkk, 2007 dlm Irwanto, 2019)

Pada pola pertumbuhan Sindrom Down, terdapat penurunan kecepatan

pertumbuhan dari lahir hingga remaja, khususnya di usia sekitar 6 bulan

hingga 3 tahun dan saat masa pubertas. Anak dengan sindrom down

mencapai tinggi maksimal di usia yang relatif muda, yaitu 16 tahun untuk

laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan (Myrelid dkk, 2002 dlm Irwanto,

2019).

Individu dengan Sindrom Down memiliki sistem tulang dan otot

yang berbeda dengan individu normal. Untuk struktur oral, sistem tulang
20

dicirikan dengan ketiadaan atau pengurangan tulang pertumbuhan, rongga

mulut yang lebih kecil, dan posisi lidah yang lebih belakang. Perbedaan-

perbedaan ini dalam hal ukuran dan struktur lidah memengaruhi produksi

konsonan lidah. Lebih lanjut, otot wajah yang lemah membatasi

pergerakan bibir yang akan memengaruhi produksi dari konsonan bibir

dan huruf hidup yang bulat. Hipotonisitas umum yang memengaruhi

pergerakan lidah dan bibir akan terlibat dalam semua aspek pada produksi

bicara. Apabila terdapat salah satu dari faktor tersebut, maka akan

berdampak pada gangguan pergerakan motorik terkait bicara dan berefek

negatif pada kemampuan artikulasi dan fonatori pada anak dengan

Sindrom Down (Dennis dkk, 2002 dlm Irwanto, 2019).

Sistem saraf dari individu dengan Sindrom Down juga memiliki

ciri yang berbeda termasuk perbedaan anatomi pada sistem saraf pusat dan

perifer, ukuran dan berat yang lebih rendah, sulkus yang lebih kecil dan

sedikit, gyrus temporosuperior yang lebih sempit, neuron korteks yang

lebih sedikit, densitas neuron yang menurun, mielinisasi neuron yang

terlambat, struktur dendrit yang abnormal, dan gangguan membran sel.

Suatu hipotesis menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan ini terkait dengan

gangguan pada ketepatan, kecepatan, konsistensi, dan efisiensi dari

pergerakan saat bicara (Kimura dkk, 2003 dlm Irwanto, 2019)

Perawakan pendek merupakan tanda kardinal anak dengan SD.

Retardasi pertumbuhan sudah terjadi sejak masa prenatal. Setelah lahir,

penurunan kecepatan pertumbuhan paling banyak terjadi saat anak berusia

6 bulan sampai 3 tahun. Beberapa kondisi yang menyebabkan


21

terlambatnya pertumbuhan adalah penyakit jantung bawaan, defisiensi

hormon tiroid, penyakit celiac, obstuksi saluran napas atas, dan defisiensi

zat gizi akibat kesulitan makan. Pubertas muncul lebih awal dan terjadi

gangguan percepatan pertumbuhan (growth support). Penilaian tinggi

badan berdasarkan usia didapatkan sebagian besar memiliki perawakan

pendek sebesar 46,5% dan sangat pendek sebesar 24,4% anak, sedangkan

penilaian lingkar kepala hampir semua mikrosefal. Arah garis

pertumbuhan normal didapatkan pada 75,6% anak (Arifiyah dkk, 2017).

Batubara pada tahun 2006 memaparkan mengenai kurva

pertumbuhan anak-anak Sindrom Down di Indonesia, rata-rata minimum

untuk anak usia 6-12 tahun adalah 96-128 cm untuk anak perempuan dan

96-125 cm untuk anak laki-laki (Batubara dkk, 2005 dlm Irwanto, 2019).

Penelitian yang dilakukan oleh Kimura dkk (2003), pada anak SD Jepang

didapatkan hasil nilai tengah tinggi badan anak SD sebelum pubertas

adalah sekitar -2 SD lebih rendah dibandingkan anak normal. Percepatan

pertumbuhan terjadi pada 1 tahun lebih awal (Kimura dkk, 2003 dlm

Irwanto, 2019).

Faktor yang memengaruhi pertumbuhan anak dengan Sindrom

Down adalah faktor internal atau herediter, antara lain jenis kelamin, ras,

suku bangsa, serta faktor lingkungan yang meliputi lingkungan pranatal,

postnatal, dan faktor hormonal. Faktor hormonal yang berperan dalam

tumbuh kembang anak yaitu somatotron (growth hormon) berperan dalam

memengaruhi pertumbuhan tinggi badan dengan menstimulasi terjadinya

proliferasi sel kartigo dan sistem skeletal. Selain itu, hormon tiroid
22

berfungsi menstimulasi metabolisme tubuh, glukokortikoid menstimulasi

pertumbuhan sel interstisial dari testis untuk memproduksi testosteron dan

ovarium untuk memproduksi estrogen untuk menstimulasi perkembangan

seks (Kimura dkk, 2003 dlm Irwanto, 2019).

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Thiel (2002) menunjukkan

bahwa faktor nutrisi dapat berperan dalam menambah tinggi badan anak

SD. Penambahan Harrell’s formula yang terdiri atas HAP Caps, flaxseed

oil, dan N,N-dimethylglycine ke dalam diet anak SD, didapatkan hasil

peninggian tinggi badan pada anak-anak tersebut. Meskipun demikian,

American College of Medical Genetics menyatakan bahwa tidak

ditemukan bukti ilmiah manfaat suplementasi vitamin, mineral, asam

amino, hormon, maupun kombinasi enzim pada perkembangan mental

anak dengan SD (Thiel dkk, 2002 dlm Irwanto, 2019).

Grafik pertumbuhan standar tidak boleh digunakan untuk anak-anak

dengan Sindrom Down. Kurva pertumbuhan yang saat ini dipakai di

Indonesia adalah kurva pertumbuhan yang dibuat berdasarkan data anak

SD di Amerika Serikat oleh Cronk dkk (1988). Parameter pertumbuhan

seperti berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala dicantumkan pada

kurva pertumbuhan khusus anak SD. Beberapa grafik pertumbuhan

Sindrom Down telah dipublikasikan di Amerika, Sesilia, dan Belanda.

Grafik pertumbuhan yang sering digunakan di seluruh dunia adalah grafik

pertumbuhan Sindrom Down yang berasal dari Amerika (Cronk dkk, 1988

dlm Irwanto, 2019).


23

Pemeriksaan rutin setiap bulan pada anak Sindrom Down dapat

mengidentifikasi penyebab kelainan pertumbuhan serta risiko kelebihan

berat badan dan obesitas. Kurva pertumbuhan adalah sarana yang berguna

untuk memonitor pertumbuhan anak. Namun, pola pertumbuhan anak

Sindrom Down berbeda dengan populasi umum, oleh karena itu penting

untuk menggunakan kurva khusus untuk Sindrom Down (Dennis dkk,

2002 dlm Irwanto, 2019)

Evaluasi pertumbuhan anak dengan Sindrom Down mutlak diperlukan.

Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan dasar awal untuk mengukur berat

badan, panjang badan atau tinggi badan, lingkar kepala, dan menentukan

usia anak secara benar. Berikut adalah penjelasan langkah-langkah

sistematis untuk pengukuran antopometri dan menentukan usia anak

(Kimura dkk, 2003 dlm Irwanto, 2019).

2.2 Motorik Halus


2.2.1 Definisi Motorik Halus
Keterampilan motorik halus merupakan kegiatan yang menggunakan

otot halus pada tangan. Gerakan ini memerlukan kecepatan, ketepatan dan

keterampilan menggerakan. Keterampilan motorik halus biasanya

digunakan dalam kegiatan belajar di dalam ruangan (Susanto & Ahmad,

2015)

Motorik halus adalah gerakan yang hanya melibatkan bagianbagian

tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil, karena itu tidak begitu

memerlukan tenaga. Gerakan halus ini memerlukan koordinasi yang

cermat. Contoh gerakan halus misalnya: Gerakan mengambil sesuatu


24

benda dengan hanya menggunakan ibu jari atau menggunakan jari

telunjuk, Gerakan memasukan benda kecil kedalam lubang, Membuat

prakarya (menempel, melipat, menggunting, meremas), Menggerakan

lengan, siku, sampai bahu dan lain-lain. Melalui latihan-latihan yang tepat,

gerakan kasar dan halus ini dapat ditingkatkan dalam hal kecepatan dan

kecermatan. Sehingga secara bertahap seorang anak akan bertambah

terampil dan mahir melakukan gerakan-gerakan yang diperlukan guna

penyesuaian dirinya (Susanto & Ahmad, 2015)

Perkembangan motorik halus selalu didahului dengan

perkembangan motorik kasar anak. Setelah penguasaan motorik kasar

sudah memadai baru kemudian anak mempelajari gerakan motorik halus,

walaupun sebenarnya sejak usia dini anak juga sudah belajar motorik halus

yang harus melalui proses pelatihan. Keterampilan motorik halus

berkembang dengan pesat ketika anak menginjak usia 3 tahun. Kegiatan

motorik halus melibatkan gerak otot-otot kecil, seperti jari-jari tangan,

lengan, dan siku. Kegiatan yang dapat melatih keterampilan motorik halus

anak diantaranya yaitu: menggunting, melipat kertas, meremas, menempel,

menebalkan gambar, mewarnai gambar sederhana, mencoret-coret,

menyusun balok, dan meletakkan benda (Susanto & Ahmad, 2015)

Keterampilan motorik halus merupakan aktivitas yang melibatkan

penggunaan gerakan otot halus seperti kegiatan menggambar, menulis,

mengikat tali sepatu, dan Finger Painting atau melukis menggunakan jari.

Keterampilan motorik halus berkembang lebih lambat pada anak-anak

prasekolah (Danim & Sudarwan, 2010)


25

Meskipun anak akan bisa dengan sendirinya menguasai

keterampilan motorik halus, tapi bagi seorang pendidik juga harus

memberikan pembelajaran kepada anak untuk menguasai keterampilan

motorik halus tersebut secara terencana dengan melihat syarat lain yang

mendukungnya, adapun syarat tersebut yaitu sebagai berikut:

1) Readness yaitu kesiapan anak untuk belajar, baik secara fisik maupun

psikis. Secara fisik berarti anak sehat tidak sakit-sakitan dan mampu

berdiri dan berjalan menuju tempat belajar. Adapun secara psikis yaitu

anak tidak menangis jika ditinggal ibunya, tidak takut, dan tidak malu

untuk belajar.

2) Kesempatan untuk belajar, tidak semua anak memperoleh pembelajaran

yang baik.

3) Pemberian contoh yang baik, seperti mengajak anak untuk menengok

saudara atau tetangga yang sedang sakit.

4) Pemberian nasehat dan memotivasi

5) Memotivasi anak untuk belajar, dengan cara orangtua menyediakan

permainan yang sesuai dengan perkembangan usia anak.

6) Setiap keterampilan berbeda-beda, sehingga perlu mempelajari secara

khusus bagaimana keterampilan tersebut harus dikuasai, seperti

keterampilan memegang pensil dengan memegang sendok.

7) Keterampilan hendaknya diajarkan secara bertahap satu demi satu,

sesuai kematangan fisik dan psikis anak. Jika telah menguasai

keterampilan yang telah diajarkan baru memilih keterampilan lain.


26

Keterampilan tangan akan lebih cepat dikuasai daripada keterampilan

yang menggunakan kaki.

2.2.2 Tumbuh Kembang Motorik Halus

Meraih dan menggenggam menandai perkembangan awal mula

perkembangan motorik halus bayi. Selama dua tahun pertama kehidupan,

bayi memperhalus tindakan meraih dan menggenggam. Sistem

menggenggam bayi sangat fleksibel. Bayi membedakan genggamannya

pada objek tergantung pada ukuran dan bentuk objek dan ukuran tangan

mereka sendiri. Bayi menggenggam objek kecil dengan ibu jari dan jari

telunjuk atau jari tengah, sedangkan objek yang besar dengan seluruh jari

pada satu atau dua tangan.

Bayi 4 bulan sangat bergantung pada sentuhan untuk menentukan

bagaimana mereka akan menggenggam sebuah objek, sedangkan bayi 8

bulan lebih mungkin menggunakan penglihatan sebagai tuntunan.

Perubahan perkembangan ini terjadi karena penglihatan memungkinkan

bayi untuk menyesuaikan bentuk tangan sebelum meraih dan

menggenggam suatu objek. (Santrock, 2007 dlm Nurlaili, 2019).

Anak usia 3 tahun telah mampu membangun menara balok yang

tinggi, setiap balok ditempatkan dengan susunan yang bagus, tetapi sering

ketinggiannya itu masih miring. Ketika anak usia tiga tahun bermain

dengan gambar-gambar yang perlu dipasangkan (puzzle), mereka

cenderung masih gegabah dalam meletakkan potongan-potongan gambar

tersebut. Bahkan ketika mereka mengetahui ruang yang harus ditempati

potongan itu, mereka tidak mau meletakkannya. Mereka sering mencoba


27

memaksakan meletakkan potongan pada tempat yang kosong dan

meletakkannya dengan kasar. (Ahmad dan Hikmah, 2005 dlm Nurlaili,

2019). Anak usia ini sudah bisa memakai pakain sendiri, tetapi masih

kesulitan dalam memasukkan kancing lewat lubang kancing, buka tutup

resleting dan mengikat tali sepatu, menggambar, menggunakan pensil dan

crayon besar dan belajar menggunakan gunting untuk memotong kertas

(Seefeldt dan Wasik, 2008 dlm Nurlaili, 2019).

Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik halus anak menjadi lebih

matang. Anak usia 4 tahun kadang-kesulitan kesulitan dalam menyusun

menara balok yang tinggi sebab mereka berkeinginan menempatkan balok

dengan sempurna. Mereka berulang kali membongkar kembali susunan

balok karena dianggap belum memenuhi harapan (Santrock, 2007 dlm

Nurlaili, 2019). Anak juga dapat merangkai manik-manik jadi kalung

(meronce), mewarnai, melukis, menyobek dan melipat kertas, sudah

mampu memasukkan kancing baju lewat lubang kancing, memegang

gunting dengan benar, meronce dan latihan memegang pensil untuk

menulis (Seefeldt dan Wasik, 2008 dlm Nurlaili, 2019).

Pada usia 5 tahun, koordinasi motorik halus anak terus meningkat.

Tangan, lengan dan jari semua bergerakdi bawah perintah mata. Menara

sederhana tidak lagi menarik minat anak, mereka sekarang ingin

membangun sebuah rumah atau tempat ibadah lengkap dengan menaranya

(Ahmad dan Hikmah, 2005 dlm Nurlaili, 2019). Pada usia ini

pengendalian anak dalam menulis sudah membaik, huruf-huruf yang

ditulis sudah terlihat seperti huruf cetak yang sebenarnya. Dalam hal
28

menggunting kertas pun sudah terlihat lebih baik hasil guntingannya.

Bermain balok dengan ukuran balok-balok kecil mainan lego tidak lagi

dengan ukuran besar, secara bertahap mampu memasang lego menjadi 15

sampai 20 keping. Pada tahap ini menggambar dan melukis dengan

kerumitan yang meninkat merupakan tantangan bagi anak. Gambar

manusia tidak lagi hanya kepalanya, atau kepada dan badan saja, tapi

sudah ada mirip-mirip lengan, tangan, tungkai dan kaki. (Seefeldt dan

Wasik, 2008 dlm Nurlaili, 2019).

Pada usia 6 tahun, anak sudah dapat memalu, mengelem, mengikat

tali sepatu dan merapikan baju. Pada usia ini perkembangan motorik halus

anak terus meningkat.

Menurut (Permendikbud nomor 137 tahun 2014) dijabarkan

tentang standar tentang tingkat pencapaian perkembangan anak. Standar

tingkat. Pencapaian perkembangan motorik halus anak usia dini terdapat

pada tabel berikut:

Tabel 2.2.2 Tahapan perkembangan motorik halus anak usia dini

Usia Tingkat Pecapaian Perkembangan Anak

(1) Memiliki refleks menggenggam jari ketika telapak


3 Bulan tangannya disentuh.
(2) Memainkan jari tangan dan kaki.
(3) Memasukkan jari ke dalam mulut
(1) Memegang benda dengan lima jari
3-6 Bulan (2) Memainkan benda dengan tangan
(3) Meraih benda di depannya

(1) Memegang benda dengan ibu jari dan jari telunjuk


(menjumput)
6-9 Bulan
(2) Meremas
(3) Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang
lain
29

(1)Memasukkan benda ke mulut


(2)Menggaruk kepala
9-12 Bulan (3)Memegang benda kecil atau tipis (misal: potongan
buah atau biskuit).
(4)Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang
lain
(1)Membuat coretan bebas
(2)Menumpuk tiga kubus ke atas
12-18 Bulan
(3)Memegang glas dengan dua tangan
(4)Memasukkan benda-benda ke dalam wadah
(5)Menumpahkan benda-benda dari wadah
(1)Membuat garis vertikal atau horisontal
18-24 Bulan (2)Membalik halaman buku walaupun belum sempurna
(3)Menyobek kertas
(1)Meremas kertas atau kain dengan menggerakkan
lima jari
2-3 Tahun (2)Melipat kain/kertas meskipun belum rapi/lurus
(3)Menggunting kertas tanpa pola
(4)Koordinasi jari tangan cukup baik untuk memegang
benda pipih seperti sikat gigi, sendok
(1) Menuang air, pasir, atau biji-bijian ke dalam tempat
penampug (mangkuk, ember)
3-4 Tahun (2) Memasukkan benda kecil ke dalam botol (potongan
lidi, kerikil, biji-bijian)
(3) Meronce benda yang cukup besar
(4) Menggunting kertas mengikuti pola garis lurusnya
(1) Membuat garis vertikal, hoizontal, lengkuk
kiri/kanan, miring kiri/kanan, dan lingkaran
(2) Menjiplak bentuk
(3) Mengkoordinasikan mata dan tangan untuk
melakukan gerakan yang rumit
4-5 Tahun (4) Melakukan gerakan manipulatif untuk menghasilkan
suatu bentuk dengan menggunakan berbagai media
(5) Mengekspresikan diri dengan berkarya seni
menggunakan berbagai media
(6) Mengontrol gerakan tangan yang menggunakan otot
halus (menjumput, mengelus, mencolek, mengepal,
memelintir, memilin, memeras)
5-6 Tahun (1) Menggambar sesuai gagasannya
(2) Meniru bentuk
(3) Melakukan eksplorasi dengan berbagai media
dan kegiatan
(4) Menggunakan alat tulis dan alat makan dengan
benar
(5) Menggunting seuai dengan pola
(6) Menempel gambar dengan tepat
(7) Mengekspresikan diri melalui gerakan
30

menggambar secara rinci


Sumber: Permendikbud nomor 137 tahun 2014

2.2.3 Perkembangan Motorik Halus

Otot-otot kaki dan tangan, yang mengendalikan pergelangan dan

tangan. Jadi, penting bagi anak kecil untuk Perkembangan motorik halus

melibatkan otot-otot halus yang mengendalikan tangan dan kaki. Terkait

dengan anak kecil, anda sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada

kontrol, koordinasi, dan ketangkasan dalam menggunakan tangan dan

jemari. Meskipun perkembangan ini berlangsung serentak dengan

perkembangan motorik kasar, otot-otot dekat batang tubuh matang

sebelum berlatih menggunakan otot-otot besar saat terlibat dalam kegiatan

motorik halus. Penundaan pengembangan koordinasi motorik kasar

mungkin berdampak negatif pada perkembangan kemampuan motorik

halus. Tetapi begitu anak-anak bisa melakukan gerakan motorik halus,

guru prasekolah sebaiknya mendorong mereka terlibat dalam semua jenis

kegiatan manipulative sehingga mereka bisa belajar lalu menerapkan

kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan tangan dan jemari

dengan kontrol dan tangkas (J. Beaty & Janice, 2018)

Perkembangan keterampilan motorik merupakan faktor yang

sangat penting bagi perkembangan pribadi secara keseluruhan. Ada

beberapa alasan tentang fungsi perkembangan motorik bagi perkembangan

individu yaitu:

1) Melalui keterampilan motorik anak dapat menghibur dirinya dan

memperoleh perasaan senang. Seperti anak merasa senang dengan


31

memiliki keterampilan memainkan boneka, melempar, dan menangkap

bola atau memainkan alat-alat mainan yang lain.

2) Melalui keterampilan, motorik anak dapat beranjak dari kondisi tidak

berdaya pada bulan-bulan pertama dalam kehidupannya ke kondisi yang

bebas dan tidak bergantung pada orang lain.

3) Melalui keterampilan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya

dengan lingkungan sekolah.

4) Melalui perkembangan motorik anak dapat bermain atau bergaul

dengan teman sebayanya

5) Perkembangan keterampilan motorik sangat penting bagi

perkembangan atau kepribadian anak (LN & Syamsu, 2013)

2.2.4 Karakteristik Motorik Halus

Kemampuan motorik merepresentasikan keinginan anak.misalnya,

ketika anak melihat mainan dngan beraneka ragam, anak mempersepsikan

dalam otaknya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi tersebut

memotivasi anak untuk melakukan sesuatu, yaitu bergerak untuk

mengambilnya. Akibat gerakan tersebut, anak berhasil mendapatkan apa

yang diinginkannya, yaitu mengambil mainan yang menarik baginya (LN

& Syamsu, 2016)

Teori tersebut menjelaskan bahwa ketika anak dimotivsi untuk

melakukan sesuatu, mereka dapat menciptakan kemampuan motorik yang

baru, kemampuan baru tersebut merupakan hasil dari banyak faktor yaitu

perkembangan sistem syaraf, kemampuan fisik yang memungkinkannya

untuk bergerak, keinginan anak yang memotivasinya untuk bergerak, dan


32

lingkungan yang mendukung memperoleh kemampuan motorik (LN &

Syamsu, 2016)

Berikut ini merupakan karakteristik perkembangan motorik halus

anak usia dini yaitu sebagai berikut: Mampu memegang gunting, Mampu

melipat dan meremas kertas, Mencuci tangan sendiri, Membentuk benda

dari plastisin. Membangun jembatan dengan balok, Memasukkan biji-

bijian dalam botol, Menggambar bentuk manusia, Memegang kertas

dengan satu tangan dan mempergunakan gunting untuk memotong

selembaran kertas.

2.2.5 Faktor Yang Mempengaruhi

Faktor-faktor yang mempercepat atau memperlambat

perkembangan motorik halus anak antara lain sebagai berikut:

1) Faktor Genetik

Individu mempunyai beberapa faktor keturunan yang dapat menunjang

perkembangan motorik, missal otot kuat, syaraf baik, dan kecerdasan yang

menyebabkan perkembangan motorik individu tersebut menjadi baik dan

cepat.

2) Faktor Kesehatan pada Periode Prenatal

Janin selama dalam kandungan dalam keadaan sehat, tidak keracunan,

tidak kekurangan gizi, tidak kekurangan vitamin dapat membantu

memperlancar perkembangan motorik anak.

3) Faktor Kesehatan dan Gizi

Kesehatan dan gizi yang baik pada awal kehidupan pasca melahirkan akan

mempercepat perkembangan motorik.


33

4) Rangsangan

Adanya rangsangan, bimbingan dan kesempatan anak untuk

menggerakkan semua bagian tubuh akan mempercepat perkembangan

motorik.

5) Perlindungan

Perlindungan yang berlebihan sehingga anak tidak ada waktu untuk

bergerak, misalnya anak ingin naik tangga tidak boleh akibatnya akan

menghambat perkembangan motorik halusnya.

6) Kelainan

Individu yang mengalami kelainan, baik fisik maupun psikis, sosial dan

mental biasanya akan mengalami hambatan dalam perkembangannya

(Rudiyanto & Ahmad, 2016)

2.2.6 Tujuan Dan Fungsi Motorik Halus

1) Tujuan Perkembangan Motorik Halus

Pada saat berkembangnya keterampilan motorik, meningkat pula

tingkat kecerdasan, kekuatan dan gerakan. Peningkatan kecepatan yang

paling besar terjadi pada masa kanak-kanak, dan kemudian menurun pada

saat menjelang usia puber. Keterampilan motorik yang cenderung

memperlihatkan perbaikan yang terbesar adalah keterampilan yang

dipelajari di sekolah, kelompok bermain yang dibimbing mupun dalam

kegiatan liburan. Keterampilan ini misalnya menulis, menggambar,

melukis, menari, dan kegiatan yang berkaitan dengan olah raga. Dengan

demikian, anak memperoleh keterampilan dan kecakapan lebih besar dan


34

lebih baik melalui bimbingan disekolah dari pada yang dipelajarinya

melalui teman sebayanya.

2) Fungsi Perkembangan Motorik Halus

Fungsi keterampilan motorik halus yaitu sebagai alat untuk

mengembangkan keterampilan gerak kedua tangan, sebagai alat untuk

mengembangkan koordinasi kecepatan tangan dengan gerakan mata, dan

sebagai alat untuk melatih penguasaan emosi (Rudiyanto & Ahmad, 2016).

2.2.7 Cara Mengembangkan Motorik Halus

Untuk mengembangkan keterampilan motorik halus anak, guru

dapat menetapkan metode-metode yang menjamin anak tidak mengalami

cedera. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan lingkungan yang aman

dan menantang, bahan dan alat dipergunakan dalam keadaan baik, serta

tidak menimbulkan rasa takut dan cemas dalam menggunakannya.

Metode yang digunakan adalah metode kegiatan yang memacu

semua kegiatan motorik yang perlu dikembangkan anak, untuk kegiatan

motorik halus anak dapat diberikan aktivitas menggambar, melipat,

membentuk, meronce, dan sebagainya.

Perkembangan motorik halus anak sudah dapat dikatakan dengan

baik apabila setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan dan

minatnya. Perkembangan fisik motorik yang normal merupakan salah satu

faktor penentu kelancaran proses belajar baik dalam bidang pengetahuan

maupun keterampilan. Oleh karena itu, perkembangan motorik sangat

menunjang keberhasilan belajar peserta didik. Sesuai dengan

perkembangan motorik anak yang sudah siap untuk menerima pelajaran


35

keterampilan, maka sekolah perlu memfasilitasi perkembangan motorik

anak secara fungsional.

Belajar keterampilan motorik halus dianggap telah terjadi dalam

diri seorang anak apabila anak telah memperoleh kemampuan dan

keterampilan yang melibatkan penggunaan tangan seperti menggambar,

menulis, melipat, meremas dan menggunting dengan benar. Untuk belajar

memperoleh kemampuan keterampilan tersebut anak tidak hanya cukup

dengan latihan dan praktik, tetapi juga memerlukan kegiatan belajar

berdasarkan pengamatan. Aktivitas latihan perlu dilaksanakan dalam

bentuk praktik yang berulang-ulang oleh siswa dengan pengamatan guru.

Sehingga siswa dapat memahami bagian yang keliru dan dapat segera

melakukan melakukan perbaikan. Akan tetapi, dalam praktik hendaknya

dilibatkan pengetahuan ranah akal anak.

Contoh Perkembangan keterampilan motorik halus diantaranya

yaitu: Keterampilan-keterampilan motorik halus melibatkan otot kecil

yang memungkinkan fungsi-fungsi seperti menggenggam dan

memanipulasi objek- objek kecil, Menulis, menggambar, melipat,

meremas dan mengenakan pakaian, Munculnya tindakan meraih dan

menggenggam menandai pencapaian signifikan dalam kemampuan anak

untuk berinteraksi dengan lingkungannya (Upton dkk, 2012)

2.2.8 Strategi Motorik Halus

Meskipun anak mungkin dapat melakukan aktivitas motorik kasar

dengan baik, dalam melakukan aktivitas motorik halus belum tentu

demikian. Strategi pengembangan motorik halus mencakup


36

1) Menggunting, Menggunting hendaknya dimulai dari menggunting lurus

dekat tepi kertas, baru kemudian menggunting lurus ditengah kertas,

2) Memotong, Memotong hendaknya anak diajarkan memotong

bentukbentuk yang mudah misalnya memotong bentuk-bentuk geometri

seperti bujur sangkar, empat persegi panjang, segitiga dan sebagainya,

3) Melipat kertas, Melipat kertas anak diajarkan untuk membentuk burung,

perahu kertas, kipas, dan lain sebagainya.

Disaat usia 6 tahun, perkembangan motorik halus anak lebih

sempurna dan terkoordinasi dengan baik, seiring bertambahnya berat dan

kekuatan badan anak. Mereka terlihat sudah mampu mengontrol dan

mengkoordinasikan gerakan anggota tubuhnya seperti tangan. Otot-otot

tangan sudah mulai kuat sehingga dapat beraktivitas dengan baik.

Motorik halus memerlukan koordinasi yang cermat, melalui

latihan-latihan yang tepat, gerakan motorik halus dapat ditingkatkan dalam

hal kecepatan, keluwesan, dan kecermatan. Sehingga secara bertahap

seorang anak akan bertambah terampil dan mahir melakukan gerakan-

gerakan yang diperlukan guna penyesuaian dirinya.

Gerakan-gerakan organ tubuh anak akan menjadi lincah dan

terampil seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Untuk

memperoleh keterampilan tersebut anak cukup dengan latihan dan praktik.

Belajar keterampilan fisik motorik halus dianggap telah terjadi dalam diri

seorang anak apabila anak telah memperoleh kemampuan dan

keterampilan yang melibatkan penggunaan tangan.


37

Keterampilan gerak motorik halus pada anak-anak usia empat

tahun mengalami kemajuan ketika mereka bisa mengkoordinasikan antara

tangan dan mata. Seperti Mewarnai, melukis, dan menyobek serta melipat

kertas memikat anak-anak dalam usia ini tatkala mereka mengembangkan

peningkatan kendali atas otot-otot halus mereka.

Keterampilan motorik halus melibatkan kelompok otot-otot halus

dalam fungsi meraih, memegang, melempar, menulis, menggambar,

mewarnai dan melipat.Pencapaian kemampuan-kemampuan tersebut

kemudian mengarah pada pembentukan keterampilan. Keterampilan yang

dipelajari dengan baik akhirnya akan menimbulkan kebiasaan (Syah &

Muhibbin, 2012)

2.3 Media Kolase


2.3.1 Definisi Media Kolase
Media dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk

membawa informasi dari suatu sumber kepada penerima. Jika dikaitkan

dengan pembelajaran, media diartikan sebagai alat komunikasi yang

digunakan dalam proses pembelajaran untuk membawa informasi berupa

materi ajar dapi pendidik kepada peserta didik, sehingga peserta didik

tertarik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran (Usep, 2016)

Kolase berasal dari bahasa Perancis, yaitu "Coller" yang berarti

lem/tempel, jadi bisa dikatakan Kolase adalah sebuah teknik menempel

unsur-unsur yang berbeda (bisa berupa kain, kertas, kayu, dan lain-lain) ke

dalam sebuah frame sehingga menghasilkan sebuah karya seni yang baru.

Secara umum kolase adalah teknik menggabung beberapa objek menjadi


38

satu. Tidak hanya asal jadi, tapi objek–objek itu harus mampu bercerita

untuk menciptakan kesan tertentu. Kolase merupakan perkembangan lebih

lanjut dari seni lukis. Di mana pada awal abad ke-20 para perupa sering

menambahkan (menempelkan) unsur-unsur yang berbeda ke dalam lukisan

mereka seperti potongan-potongan kain, kayu ataupun kertas koran, namun

memang ada perbedaan yang sangat signifikan antara seni kolase dan seni

Lukis, Kolase ialah gambar yang dibuat dari potongan kertas atau material

lain yang ditempel (Usep, 2016)

Hasil pemaparan diatas dapat peneliti simpulkan bahwa media kolase

adalah alat untuk menyampaikan pembelajaran melalui kegiatan

menempel supaya lebih mudah untuk dipahami oleh peserta didik.

2.3.2 Kelebihan Kolase

Menurut Ika (2017) kelebihan melakukan kegiatan kolase diantaranya

adalah:

1) Melatih Konsentrasi

kegiatan menempel ini membutuhkan konsentrasi serta koordinasi mata

dan tangan. Koordinasi ini sangat baik untuk merangsang pertumbuhan

otak dimasa pertumbuhan dan perkembangan anak.

2) Mengenal Warna

Kolase terdiri dari berbagai warna seperti: merah, kuning, hijau, putih dan

lain-lain, anak dapat belajar mengenal warna melalui kegiatan kolase.

3) Mengenal Bentuk

Selain warna, beragam bentuk pada kolase bermacammacam seperti

bentuk geometri, hewan, tumbuhan, kendaraan dan lain sebagainya.


39

Dengan kegiatan seperti ini anak akan lebih mudah dalam mengenal

bentuk.

2.3.3 Bahan-bahan Yang Diperlukan Dalam Membuat Kolase

Adapun bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan kolase seperti:

Biji-bijian, Daun, Kapas, Ampas Kelapa (Suryanto, 2013)

1) Biji-bijian

Biji-bijian ini banyak jenisnya, bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Biji-

bijian (jagung, kacang hijau, kacang merah, kedelai) ini hendaknya

dikeringkan terlebih dahulu supaya teksturnya tidak berubah.

2) Daun

Daun meimiliki banyak jenis dalam penelitian ini peneliti menggunakan

daun pisang, sebelum digunakan daun pisang dikeringkan terlebih dahulu

supaya mudah untuk di tempel ke pola yang sudah disiapkan.

3) Kapas

Kapas adalah serat halus yang menyelubungi beberapa jenis biji, sebelum

kapas digunakan untuk pembelajaran kapas-kapas tersebut dibentuk

menjadi lingkaran supaya anak mudah untuk menempelkan.

4) Ampas Kelapa

Ampas kelap adalah sisa dari kelapa yang sudah diampil santannya,

menggunakan ampas kelapa ini sebelumya di keringkan terlebih dahulu

supaya tidak berbau dan mudah untuk ditempel.

2.3.4 Langkah-langkah Pembuatan Kolase


40

Menurut (Nidaul Munafiah et al, 2018) Adapun tahapan pembuatan

kolase sebagai berikut:

1) Siapkan pola gambar.

2) Siapkan beberapa bahan yang ingin di tempelkan kepola tersebut seperti

kapas, biji-bijian, ampas kelapa dan lain-lain.

3) Berikan lem pada pola yang yang telah disediakan kemudian rekatkan

bahan yang telah disiapkan ke pola tersebut.

2.3.5 Kisi-kisi Lembar Observasi

Sub
Variabel Indikator Skor Deskripsi Skor
Variabel
Anak mampu mengambil dan
memegang tiga/lebih bahan
Mampu
2 kolase dengan kelima jarinya.
Memegang
Dan biji-bijian dengan jari
telunjuk dan ibu jari.
Anak kurang mampu mengambil
dan memegang tiga atau lebih
Memegang Kurang
bahan kolase dengan kelima
Bahan Mampu 1
jarinya namun belum mampu
Kolase Memegang
memegang dengan jari telunjuk
dan ibu jari.
Anak belum mampu mengambil
Tidak dan memegang bahan kolase
Mampu 0 dengan jarinya dan belum dapat
Memegang memegang dengan jari telunjuk
dan ibu jari.
Kemampuan Anak mampu memberi lem pada
Motorik bahan dengan rapi,
Halus Mampu menempelkan bahan sesuai
2
Menempel dengan pola gambar dan mampu
menyelesaikan tempelan tepat
Menempel waktu.
Bahan Anak kurang mampu memberi
Kolase lem pada bahan dengan rapi,
Kurang
menempel sesuai dengan pola
Mampu 1
gambar dan hampir
Menempel
menyelesaikan tempelan tepat
waktu.
Tidak 0 Anak tidak mampu memberi lem
41

pada bahan dengan rapi namun


belum dapat menyelesaikan
Mampu
tempelan sesuai pola gambar dan
Menempel
belum mampu menyelesaikan
tempelan tepat waktu.
Menurut Fitri 2017 Tes ini diperuntukkan pada tahap awal dan tahap akhir

penelitian kisi-kisi instrumen tersebut dilihat dalam tabel 2.3.5 di bawah

ini.

2.4 Asuhan Keperawatan Sindrom Down


2.4.1 Pengkajian
Menurut (SDKI, 2016) Pengkajian keperawatan anak dengan masalah

tumbuh kembang dapat menggunakan indikator berikut :

1) Ditemukan adanya ketidakmampuan atau kesulitan melakukan tugas

perkembangan sesuai dengan kelompok usia dalam tahap pencapaian

tumbuh kembang.

2) Adanya perubahan pertumbuhan fisik (berat/tinggi badan) yang tidak

sesuai dengan standar pencapaian tumbuh kembang.

3) Adanya perubahan perkembangan saraf yang tidak sesuai dengan

tahapan perkembangan, seperti gangguan motorik, bahasa, dan adaptasi

sosial.

4) Adanya perubahan perkembangan perilaku, seperti hiperaktif, gangguan

belajar dan lain lain.


42

5) Adanya ketidakmauan atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri

atau kontrol diri dalam beraktivitas sesuai dengan usianya.

Proses pengkajian bersifat komprehensif dalam lingkup yang berbasis

dimensi kebutuhan biofisik, psikososial, perilaku, dan pendidikan.

Pengkajian terdiri dari atas evaluasi komprehensif mengenai defisit dan

kekuatan yang berhubungan dengan keterampilan adaptif: Komunikasi,

perawatan diri, interaksi sosial, penggunaan sumber- sumber di komunitas,

pengarahan diri, pemeliharaan kesehatan dan keamanan, akademik

fungsional, pembentukan keterampilan bersantai dan rekreasional, dan

bekerja. Pengkajian mempertimbangkan pengaruh latar belakang kultural

dan bahasa, perhatian, dan kesukaan anak. Pengkajian fisik meliputi

pengukuran pertumbuhan (tinggi badan dan berat badan yang diidentifikasi

pada grafik pertumbuhan) dan evaluasi infeksi saat ini, status masalah-

msalah kongenital saat ini, fungsi tiroid, perawatan gigi, ketajaman

pendengaran dan penglihatan, masalahmasalah nutrisi dan makan, dan

masalah ortopedik. Pengkajian fisik juga meliputi pemantauan kondisi

sekunder yang berkaitan dengan diagnosis spesifik, seperti memantau

hipotiroidisme dan depresi pada orang yang mengalami sindrom down.

Pengkajian anak dengan sindrom down menurut (SDKI, 2016) adalah

sebagai berikut, Yang terdiri dari :

1) Anak ke Jumlah anak yang banyak dalam keluarga dengan keadaan

sosial ekonomi cukup, akan mengakibatkan kurangnya perhatian dan

kasih sayang yang diterima. Belum ditambah lagi bila jarak kelahiran

antara anak yang satu dengan anak yang lain teralu dekat.
43

2) Agama Pengajaran agama harus sudah ditanamkan pada anak- anak

sedini mungkin, karena dengan memahami agama akan menuntun

umatnya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan.

3) Penanggung jawab

(a) Nama orang tua sebagai penanggung jawab.

(b) Pendidikan Ayah/Ibu.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh

kembang anak karena dengan pendidikan yang lebih baik, maka

orangtua dapat menerima informasi tentang kesehatan anaknya.

(c) Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga yang memadai, dapat menunjang tumbuh

kembang anak karena orangtua dapat menyediakan segala kebutuhan

anak.

(d) Alamat

Adanya alamat tempat tinggal akan memudahkan jika sewaktu-

waktu dibutuhkan untuk berbagai kepentingan. Maka dari itu,

oangtua sebaiknya mulai mengenalkan alamat tempat tingal mereka

kepada anak.

4) Riwayat Kesehatan Anak Masa Lalu

Riwayat kesehatan anak masa lalu, berhubungan erat dengan riwayat

kesehatan ibu pada masa sebelum terjadinya kehamilan maupun saat


44

hamil. Dikarenakan, gizi ibu hamil sebelum terjadinya kehamilan

maupun sedang hamil.

5) Riwayat Parental (Riwayat Kesehatan Ibu)

Riwayat Kesehatan Ibu berhubungan erat dengan terpenuhi atau

tidaknya gizi ibu hamil sebelum terjadinya kehamilan maupun sedang

hamil. Menghambat pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru

lahir, BBLR mudah terkena infeksi, abortus, dan lain-lain.

6) Riwayat Kelahiran

Bayi baru lahir harus bisa melewati masalah transisi, dari suhu sistem

yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya,

ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan

mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Masa prenatal yaitu masa

antara 28 minggu dalam kandungan sampai 7 hari setelah dilahirkan,

merupakan masa awal dalam proses tumbuh kembang anak, khususnya

tumbuh kembang otak. Trauma kepala akibat persalinan akan

berpengaruh besar dan dapat meninggalkan cacat yang permanen.

7) Riwayat Kesehatan Keluarga

Dalam keluarga bila ada yang menderita sakit menular dapat

menularkan pada bayinya. Juga faktor genetik merupakan modal dasar

mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang.

8) Riwayat Tumbuh Kembang

Dengan mengetahui ilmu tumbuh kembang, dapat mendeteksi berbagai

hal yang berhubungan dengan segala upaya untuk menjaga dan

mengoptimalkan tumbuh kembang anak baik fisik, mental, dan sosial,


45

juga menegakkan diagnosis dini setiap kelainan tumbuh kembang dan

kemungkinan penanganan yang efektif serta mencegah dan mencari

penyebabnya.

9) Riwayat Imunisasi

Dengan pemberian imunisasi diharapkan anak terhindar dari

penyakitpenyakit tertentu yang bisa menyebabkan kecacatan dan

kematian. Dianjurkan anak sebelum umur 1 tahun sudah mendapat

imunisasi lengkap.

10) Pola Kebiasaan Sehari-hari

(a) Nutrisi/Gizi

Pemberian nutrisi pada anak harus cukup baik dari segi kuantitas

maupun kualitasnya seperti: protein, lemak, karbohidrat dan mineral

serta vitamin.

(b) Eliminasi BAB/BAK

Anak umur 1,5-2 tahun berhenti mengompol pada siang hari. Usia

2,5- 3 tahun berhenti mengompol pada malam hari. Anak perempuan

lebih dulu berhenti mengompol. dicari penyebabnya. Toilet training

(latihan defekasi perlu dimulai, supaya evakuasi sisa makanan

dilakukan secara teratur, sehingga mempermudah kelancaran

pemberian makanan).
46

(c) Istirahat dan tidur

Anak yang sudah mulai besar akan berkurang waktu istirahatnya.

Karena kegiatan fisiknya mulai meningkat, seperti bermain. Namun,

kebutuhan tidur anak sebaiknya tetap dipenuhi antara 2 hingga 3 jam

tidur siang dan 7 hingga 8 jam pada saat malam hari.

(d) Olahraga dan Rekreasi

Olahraga akan meningkatkan sirkulasi, aktivitas fisiologi dan mulai

perkembangan otot-otot.

(e) Personal Hygiene

Personal Hygiene menyangkut cara anak membersihkan diri. Upaya

ini dapat dilakukan anak dengan mandi 2x sehari, keramas 3x

seminggu, potong kuku 1 kali seminggu, membersihkan mulut dan

gigi.

(f) Tanda-tanda vital

Tanda vital meliputi suhu, tekanan darah, nadi, dan respirasi.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada anak dengan

retardasi mental menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(SDKI, 2016), adalah sebagai berikut:

1) Defisit perawatan diri.

2) Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan efek

ketidakmampuan fisik.

3) Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri.


47

4) Kesiapan peningkatan koping keluarga.

5) Defisit pengetahuan berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif.

6) Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan

perkembangan.

7) Isolasi sosial berhubungan dengan keterlambatan perkembangan.

8) Risiko cidera berhubungan dengan perubahan fungsi kognitif.

9) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan individu

dalam hubungan sosial.

10) Ketidakberdayaan berhubungan dengan penurunan fungsi intelektual.

2.4.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.4.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

1. Defisit perawatan a. Perawatan diri: a. Bantuan perawatan


diri kebersihan diri:
Setelah dilakukan
Definisi tindakan keperawatan Kebersihan
Ketiadaan atau diharapkan perawatan Tindakan keperawatan:
kurangnya informasi diri: kebersihan secara 1. Pertimbangkan budaya
kognitif yang mandiri, dengan anak saat
berkaitan dengan kriteria mempromosikan
topik tertentu hasil: aktivitas perawatan diri
2. Pertimbangkan usia
Gejala dan Tanda 1. Mencuci tangan (5) anak saat
48

Mayor Objektif 2. Mempertahankan mempromosikan


1. Tidakmampu kebersihan mulut (5) aktivitas perawatan diri
mandi/mengenakan 3. Memperhatikan kuku 3. Tentukan jumlah dan
pakaian/makan/ke jari tangan (5) tipe terkait dengan
toilet/berhias 4. Memperhatikan kuku bantuan yang
secara mandiri. kaki (5) diperlukan
2. Minat melakukan 5. Mempertahankan 4. Fasilitasi anak untuk
perawatan diri penampilan yang rapi menggosok gigi dengan
kurang. (5) tepat
6. Mempertahankan 5. Monitor kebersihan
kebersihan tubuh (5) kuku, sesuai dengan
kemampuan merawat
Keterangan: diri anak
(5) : Tidak terganggu 6. Monitor integritas kulit
anak
b. Perawatan diri: 7. Jaga ritual kebersihan
makan 8. Dukung orangtua/
Setelah dilakukan keluarga berpartisipasi
tindakan keperawatan dalam ritual menjelang
diharapkan perawatan tidur yang biasa
diri:makan secara dilakukan dengan tepat
mandiri, dengan 9. Berikan bantuan
kriteria sampai anak benar-
hasil: benar mampu merawat
diri secara mandiri
1. Menggunakan alat
makan (5) b. Bantuan perawatan
2. Menaruh makanan diri:
pada alat makan (5)
3. Menaruh makanan di Pemberian makan
mulut (5) Tindakan keperawatan:
1. Posisikan anak dalam
Menghabiskan posisi makan yang
makanan (5) nyaman.
2. Dukung anak untuk
makan di ruang makan.
3. Berikan alat - alat yang
bisa memfasilitasi anak
untuk makan sendiri.
4. Gunakan cangkir
dengan pegangan yang
besar, jika diperlukan.
5. Gunakan alat makan
dan gelas yang tidak
mudah pecah dan tidak
berat, sesuai
kebutuhan.
6. Berikan penanda
49

sesering mungkin
dengan pengawasan
ketat, dengan tepat.
2. Gangguan tumbuh a.Perkembangan a.Bimbingan Antisipatif
kembang anak: Usia Anak
berhubungan Pertengahan Tindakan keperawatan:
dengan efek 1. Bina hubungan saling
ketidakmampuan Setelah dilakukan percaya
fisik tindakan keperawatan 2. Instruksikan klien
diharapkan mengenal perilaku dan
Definisi perkembangan anak: perkembangan dengan
Kondisi individu usia anak pertengahan cara yang tepat
mengalami gangguan adekuat, dengan 3. Bantu klien
kemampuan kriteria hasil: memutuskan
bertumbuh dan 1. Bermain bagaimana masalah
berkembang sesuai berkelompok (4-5) dipecahkan
dengan kelompok usia 2. Mengembangkan 4. Bantu klien beradaptasi
persahabatan (4-5) dengan adanya
Gejala dan Tanda 3. Menunjukkan perubahan peran
Mayor Objektif kreatifitas (4-5) 5. Jadwalkan kunjungan
1. Tidak mampu 4. Menunjukkan terkait dengan
melakukan kemampuan pada perkembangan situasi
keterampilan atau tingkat mampu di dan strategi yang tepat
perilaku khas sekolah (4-5) 6. Jadwalkan peninjauan
sesuai usia kembali untuk
2. Pertumbuhan fisik Keterangan: mengevaluasi
terganggu (4) : Sering keberhasilan atau
Gejala dan Tanda menunjukkan kebutuhan penguatan
Minor Objektif (5) : Secara Konsisten 7. Libatkan keluarga
1. Tidak mampu menunjukkan maupun orang orang
melakukan terdekat klien jika
perawatan diri b.Perawatan diri: memungkinkan
sesuai usia Aktivitas Sehari-hari
2. Afek datar b. Manajemen perilaku
3. Respon sosial Setelah dilakukan 1. Komunikasikan
lambat tindakan keperawatan harapan bahwa anak
4. Kontak mata diharapkan perawatan dapat tetap mengontrol
terbatas diri: aktivitas sehari- perilakunya
5. Nafsu makan hari secara mandiri, 2. Konsultasikan dengan
menurun dengan kriteria hasil: keluarga dalam rangka
6. Lesu 1. Makan (5) mendapatkan informasi
2. Memakai baju (5) mengenai kondisi
3. Ke toilet (5) kognisi dasar anak
4. Mandi (5) 3. Atur batasan bersama
5. Berpakaian (5) anak
6. Kebersihan (5) 4. Tahan diri dari
7. Kebersihan mulut mendebat atau
(5) melakukan tawar
50

menawar pada anak


Keterangan: untuk menetapkan
(5) : Tidak terganggu batasan perilaku
5. Gunakan suara bicara
yang lembut dan
rendah
6. Jangan memojokkan
anak
7. Hindari mendebat anak
8. Acuhkan perilaku yang
tidak tepat
9. Berikan penghargaan
apabila anak dapat
mengontrol diri.
c. modifikasi perilaku:
keterampilan sosial
1. Bantu anak
mengidentifikasi
masalah dari kurangnya
keterampilan sosial
2. Dukung anak untuk
verbalisasi perasaannya
berkaitan dengan
masalah interpersonal
3. Bantu anak untuk
mengidentifikasi hasil
yang diinginkan dalam
suatu hubungan
interpersonal
4. Bantu anak untuk
mengidentifikasi
kemungkinan tindakan
dan konsekuensi dari
hubungan
interpersonal/sosialnya
5. Identifikasi
keterampilan sosial
yang spesifik yang
akan menjadi fokus
latihan
6. Bantu anak untuk
mengidentifikasi
langkah-langkah dalam
berperilaku dalam
rangka mencapai
keterampilan sosial
7. Bantu anak bermain
peran dalam setiap
51

langkah berperilaku
8. Sediakan umpan balik
bagi anak jika mampu
menunjukkan
kemampuan
keterampilan sosial
yang ditargetkan
d.Dukungan
Pengasuhan
1. Mengkaji tingkat
penerimaan caregiver
terkait dengan perannya
untuk menyediakan
perawatan
2. Mengakui tingkat
ketergantungan anak
terhadap caregiver,
sesuai dengan
kebutuhan
3. Membuat pernyataan
positif pada caregiver
terhadap upaya yang
telah dilakukan
4. Menyediakan dukungan
untuk pengambilan
keputusan caregiver
5. Monitor interaksi
keluarga dalam
permasalahan berkaitan
dengan anak
6. Menyediakan informasi
mengenai anak sesuai
dengan apa yang
menjadi keinginan anak
7. Mengajarkan caregiver
mengenai pemberian
terapi bagi anak sesuai
dengan keinginan anak
8. Diskusikan mengenai
keterbatasan yang
dimilki caregiver
kepada anak
9. Memberikan dukungan
kepada caregiver selama
anak menunjukkan
kemunduran
e.Peningkatan
Perkembangan: Anak
52

1. Bangun hubungan
saling percaya dengan
anak
2. Lakukan interaksi
personal dengan anak
3. Identifikasi kebutuhan
unik setiap anak dan
tingkat kemampuan
adaptasi yang
diperlukan
4. Bangun hubungan
saling percaya dengan
orang tua
5. Ajarkan orang tua
mengenai tingkat
perkembangan normal
dari anak dan perilaku
yang berhubungan
6. Demonstrasikan kepada
orangtua mengenai
kegiatan yang
mendukung tumbuh
kembang anak
7. Bantu integrasi anak
dengan kelompoknya
8. Yakinkan bahasa tubuh
sesuai dengan bahasa
verbal
9. Dukung anak untuk
berinteraksi dengan
teman-temannya
melalui keterampilan
bermain peran
10. Sediakan aktivitas
yang mendukung
interaksi diantara anak
anak
11. Dukung anak
untuk mengekspresikan
diri melalui
penghargaaan yang
positif atau umpan balik
yang baik.
12. Peluk anak dan
nyamankan anak saat
anak merasa sedih
13. Bangun suasana
yang aman bagi anak
53

untuk belajar dan


bereksplorasi
14. Ajarkan anak
untuk mencari bantuan
dari orang lain ketika
anak memang
memerlukan bantuan
15. Bantu anak untuk
belajar mandiri
16. Sediakan
kesempatan bermain
puzzle
17. Ajarkan anak
untuk menuliskan
nama/mengenali huruf
awalnya/mengenali
namanya,sesuai
kebutuhan
18. Rencanakan
pembelajaran dengan
mendukung anak
menebak apa yang akan
terjadi dan berikan
kesempatan anak untuk
memberikan pilihan
yang memungkinkan,
dan sebagainya
19. Berikan
kesempatan dan
mendukung aktivitas
motorik
20. Monitor
pemberian regimen
pengobatan,sesuai
dengan kebutuhan
f. Latihan kontrol
impuls
1. Pilih strategi pemecahan
masalah yang tepat
sesuai dengan tingkat
perkembangan anak dan
fungsi kognitif
2. Bantu anak untuk
mengidentifikasi
masalah atau situasi
yang membutuhkan
tindakan yang menguras
pikiran
54

3. Ajari anak untuk


melakukan tindakan
“berhenti dan berfikir”
sebelum bertindak
secara impulsif
4. Bantu anak
mengidentifikasi akibat
dari suatu tindakan serta
keuntungan/kerugiannya
5. Bantu anak untuk
memilih tindakan yang
paling menguntungkan
6. Bantu anak untuk
mengevaluasi hasil dari
serangkaian tindakan
yang sudah dilakukan
7. Beri dukungan positif
terhadap usaha yang
berhasil
8. Bantu anak untuk
mengevaluasi
bagaimana hasil yang
tidak sesuai bisa
dihindari dengan
menggunakan pilihan
perilaku yang berbeda
g. Pendidikan orangtua:
Keluarga yang
membesarkan anak
1. Pahami hubungan
antara perilaku orang
tua dan tujuan yang
sesuai dengan usia anak
2. Rancang program
pendidikan yang
didadasarkan pada
kekuatan keluarga
3. Libatkan orang tua
dalam desain dan isi
yang ada dalam
program pendidikan
4. Identifikasi factor-
faktor personal yang
berdampak pada
keberhasilan program
pendidikan (misalnya,
nilai-nilai budaya
pengalaman negatif
55

dengan penyedia
layanan sosial, hambatn
bahasa, komitmen
waktu, masalah
penjadwalan,
perjalanan dan
kurangnya minat)
5. Identifikasi adanya
pemicu stress keluarga
(misalnya, depresi
orangtua, kecanduan
narkoba, alkohol,
kesadaran/ kecakapan
berbahasa, tingkat
pendidikan yang
rendah, kekerasan
dalam rumah tangga,
konflik perkawinan,
percampuran keluarga
setelah perceraian, dan
hukuman yang
berlebihan pada anak-
anak)
6. Identifikasi tugas
perkembangan atau
tujuan yang sesuai
untuk anak
7. Identifikasi mekanisme
pertahanan yang
digunakan oleh
sebagian besar
kelompok usia
8. Fasilitasi diskusi
orangtua terkait metode
disiplin yang ada,
seleksi, dan hasil yang
diperoleh
9. Ajarkan orangtua
mengenai fisiologis,
emosional, dan
karakteristik perilaku
normal anak
10. Berikan sumber
informasi online, buku,
dan literatur yang
dirancang untuk
mengajarkan orangtua
mengenai pengasuhan
56

anak
11. Berikan orangtua
bahan bacaan dan
materi lainnya yang
akan membantu dalam
melakukan peran
pengasuhan
12. Anjurkan orangtua
pentingnya diet
seimbang, makan tiga
kali sehari, dan
makanan ringan bergizi
13. Tinjau masalah
keamanan dengan
orangtua
14. Diskusikan cara
yang dapat digunakan
orangtua untuk
membantu anak dalam
mengelola kemarahan
15. Bantu orangtua
mengidentifikasi
kriteria evaluasi untuk
rawatan sehari hari dan
pengaturan sekolah
16. Identifikasi dan
mengajarkan orangtua
mengenai cara
menggunakan berbagai
strategi dalam
mengelola perilaku
anak
17. Motivasi orangtua
untuk mencoba strategi
berbeda dalam
mengasuh anak
18. Gunakan teknik
bermain peran akan
teknik pengasuhan dan
keterampilan
komunikasi
Sumber: Bulechek, Gloria, M. dkk. 2016., Moorhead, Sue, dkk. 2016

dan SDKI, 2016.

2.4.4 Implementasi Keperawatan


57

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang

dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Tindakan

dilakukan sesuai dengan yang telah direncanakan, mencakup kegiatan

mandiri dan kolaborasi. Dengan rencana keperawatan yang dibuat

berdasarkan diagnosis yang tepat, intervensi diharapkan dapat mencapai

tujuan dan hasil yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan

status kesehatan klien (Padila, 2012).

2.4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan proses kontinu yang terjadi saat anda melakukan

kontak dengan anak. Setelah melaksanakan intervensi, kumpulkan data

subjektif dan objektif dari klien, keluarga. Selain itu juga meninjau ulang

pengetahuan tentang status terbaru dari kondisi, terapi, sumber daya,

pemulihan, dan hasil yang diharapkan. Jika hasil telah terpenuhi, berarti

tujuan untuk klien juga telah terpenuhi. Bandingkan perilaku dan respon

klien sebelum dan setelah dilakukan asuhan keperawatan (Perry & Potter,

2019)
58
59

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Rancangan penelitian ditetapkan dengan tujuan agar penelitian dapat

dilakukan dengan efektif dan efisien. Jenis penelitian ini adalah deskriptif

dengan desain Studi Kasus untuk meningkatkan motorik halus pada anak

dengan sindrom down dengan terapi seni visual (kolase).

3.2 Subjek Studi Kasus

Subjek studi kasus yang diambil dalam penelitian ini adalah Anak

sindrom down di Sekolah Harapan Mulia Jambi. Subjek penelitian dalam

penelitian ini sebanyak 1 orang. Dengan Kriteria Inklusi:

1) Anak penyandang sindrom down

2) Tidak sedang dalam keadaan sakit infeksi seperti, batuk, flu, dll.

3) Berumur 5-6 tahun

4) Bersedia menjadi responden

5) Belum pernah menerapkan terapi seni visual

3.3 Fokus Studi Kasus

Fokus studi kasus ini adalah penerapan terapi seni visual (kolase)

terhadap peningkatan motorik terhadap 1 (satu) anak sindrom down.

3.4 Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadi kesalahan dalam pengertian, maka penulis

menggunakan definisi operasional sebagai berikut:


60

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

1 Penerapan Penerapan terapi seni Lembar a. Kemampuan Motorik


Terapi Seni visual (kolase) adalah observasi Halus meningkat
Visual terapi yang seni visual b. Kemampuan Motorik
(Kolase) menggunakan susunan (kolase) Halus kurang
Terhadap kertas, dan biji-bjian meningkat
Peningkatan yang disusun menjadi c. Kemampuan Motorik
Motorik sebuah gambar yang Halus tidak
Halus Pada bertujuan untuk meningkat
Anak Down peningkatan motorik
Syndrome halus pada anak
sindrom down di SLB
Harapan Mulia Jambi.
Tabel 3.4 Definisi Operasional

3.5 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret s.d April 2022 di Sekolah Luar

Biasa Harapan Mulia Jambi.

3.6 Pengumpulan Data

Menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2018), Metode pengumpulan data

merupakan cara yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian. Cara

pengumpulan data tersebut meliputi wawancara, observasi, tes, dokumentasi.

3.6.1 Wawancara merupakan metode dalam pengumpulan data dengan

mewawancarai secara langsung dari responden yang diteliti, metode ini

memberikan hasil secara langsung, dan dapat dilakukan apabila ingin

tahu hal-hal dari responden secara mendalam serta jumlah responden

sedikit.
61

3.6.2 Observasi merupakan cara pengumpulan data penelitian dengan

observasi secara langsung kepada responden yang dilakukan penelitian

untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti.

3.6.3 Studi dokumentasi merupakan metode mengumpulkan data dari dokumen

catatan atau laporan dari sekolah luar biasa harapan mulia.

3.7 Teknik Pelaksanaan Penelitian

1) Pengambilan data dengan meminta surat pernyataan izin pengambilan

data dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garuda Putih Prodi D-III

Keperawatan yang kemudian di kirim Ke Kepala Sekolah Luar Biasa

Harapan Mulia. Setelah data anak autis usia 5-6 tahun dari Kepala

Sekolah Luar Biasa Harapan Mulia.

2) Pembuatan izin penelitian dengan meminta surat pernyataan izin

penelitian dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Garuda Putih Prodi D-

III Keperawatan yang kemudian di kirim ke Kepala Sekolah Luar Biasa

Harapan Mulia. Setelah mendapat surat tembusan dan mendapatkan izin

dari Kepala Sekolah Luar Biasa Harapan Mulia.

3) Memilih subjek yang akan dilakukan dari pengambilan data anak

sindrom down usia 5-6 tahun di Sekolah Luar Biasa Harapan Mulia.

Selanjutnya subjek dan didampingi dengan pendampingnya diberi

penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian untuk

dimintai kesediaan menjadi responden, jika bersedia akan dilanjutkan

dengan pengisian Informed consent.

4) Melakukan penilaian meggunakan lembar observasi terhadap

kemampuan motorik anak.


62

5) Menerapkan terapi seni visual (kolase) diterapkan selama 1 minggu

dalam waktu 15-30 menit.

6) Melakukan penilaian kembali terhadap motorik anak.

7) Analisis data.

8) Membuat laporan hasil.

3.8 Penyajian Data

Data yang sudah dirangkum, ditafsirkan dan dijelaskan untuk disajikan

dalam bentuk tabel dan dinarasikan. Penyajian data yang sudah ditafsirkan

dan dijelaskan berbentuk uraian teks dan disertai kesimpulan.

3.9 Etika Penelitian

Menurut Nursalam (2013). Prinsip etika dalam

penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu

prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.

3.9.1 Prinsip manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

2) Bebas dari eksploitasi

Partipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkkan dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

pertisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,

tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apapun.


63

3) Risiko

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada tiap tindakan.

3.9.2 Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

1) Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak

memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak,

tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya, jika mereka menjadi klien.

2) Hak untuk mendapat jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to

full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.

3) Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpatisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent

juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan untuk

pengembangan ilmu.

3.9.3 Prinsip Keadilan (right to justice)

1) Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlukan secara adil baik sebelum,selama dan sesudah


64

keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila

mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

2) Hak dijaga kerahasiaannya (just to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan

rahasia (confidentiality).

Anda mungkin juga menyukai