Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

DOWN SYNDROME

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas 1


Dosen ampu : Roselina Tambunan, S.Kep.,M.Kep.,Ners.,Sp.Kom

Disusun Oleh :
1. Silvi Putri Yantika (1420119030)
2. Silvy Oktaviani (1420119039)

S1 KEPERAWATAN 2019
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
IMMANUEL BANDUNG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas merupakan bagian
dari anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan
pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Upaya perlindungan bagi anak dengan
disabilitas sama halnya dengan anak lainnya, yaitu upaya pemenuhan
kebutuhan dasar anak agar mereka dapat hidup, tumbuh,dan berkembang
secara optimal, serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat
diperoleh melalui upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial
(Kemenkes RI, 2015).
Pengasuhan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan masalah yang
dialami anak, sangat membutuhkan peran dari orang tua, keluarga, guru
sekolah dan perawat. Pengasuhan dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan
perkembangan pada anak berkebutuhan khusus. Masalah pada anak
berkebutuhan khusus yang sering terjadi antara lain tunarungu, tunagrahita
(Retardasi mental), tunanetra, tunadaksa, autisme (Praptono, 2017).
Down syndrome merupakan salah satu bentuk retardasi mental, salah satu
penyebab down syndrome adalah adanya kelainan genetik yang dapat terjadi
pada pria dan wanita, kelainan ini tidak selalu diturunkan kepada keturunan
berikutnya. Kelainan genetik yang merupakan hasil dari kelainan kromosom
yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 atau trisomy 21,
adanya abnormalitas kromosom menyebabkan retardasi mental atau
keterbelakangan mental yang terjadi pada penderita down syndrome (Yusuf &
Hanik, 2015).
Berdasarkan estimasi WHO (2016), kejadian anak lahir dengan down
syndrome terdapat 1 kejadian down syndrome per 1.000 kelahiran hingga 1
kejadian per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3.000
hingga 5.000 anak lahir dengan kondisi ini, WHO memperkirakan sekitar 8
juta anak lahir dengan menderita down syndrome. Selain itu di Indonesia,
insiden 1 dalam 600 sampai 1 dalam 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi
yang terkena mengalami abortus spontan selama kehamilan dini, dan
ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup.
Menurut data yang diperoleh berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) didapatkan bahwa tahun 2013, jumlah penderita down syndrome
mengalami peningkatan sejumlah 0,01% dibandingkan pada tahun 2010. Pada
tahun 2010, penderita down syndrome ini menempati posisi ketiga dengan
penderita terbanyak setelah tuna daksa dan tuna wicara yaitu sebesar 0,12%
dan pada tahun 2013 menduduki posisi keempat sebagai penderita terbanyak
yaitu sebesar 0,13%.. Pada tahun 2018 jumlah penderita down syndrome
mengalami peningkatan sejumlah 0,08% sehingga menjadi 0,21% (Riskesdas,
2018).
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat tahun 2015
menunjukan bahwa prevalensi down syndrome terbanyak terjadi di kota
Bandung (52,94%), dengan jenis kelamin laki-laki (55,89%) dan pada rentang
umur 0 – 5 tahun (25,87%). Distribusi proporsi tertinggi kejadian down
syndrome berdasarkan umur > 35 tahun (32%) dan berdasarkan umur ayah
adalah umur > 35 tahun (40%).
Anak down syndrome memiliki tiga karakteristik yang berbeda dengan
anak normal pada umumnya, yaitu memiliki taraf Intelligence Quotient (IQ)
rendah, keterbelakangan fisik, dan keterbelakangan mental. Berdasarkan
penampilan fisik penderita down syndrome secara umum sangat mudah
dikenali dengan wajah yang khas dengan mata sipit yang menyudut ke atas,
jarak antara kedua mata atau fundus mata berjauhan dengan tampak sela
hidung yang rata, kepala agak kecil, lalu mulut kecil dengan lidah yang
menjulur keluar, dan gambaran telapak tangan yang tidak normal terdapat satu
garis besar melintang (Soetjiningsih, 2016).
Komplikasi jika anak dengan down syndrome tidak tertangani dengan baik
akan menimbulkan antara lain : sakit jantung berlubang (mis: Defek septum
atrium atau ventrikel dan tetralogi fallot), mudah mendapat selesema, radang
tenggorok, radang paru-paru, kurang pendengaran, lambat/bermasalah dalam
berbicara, penglihatan kurang jelas, penyakit azheimer’s (penyakit
kemunduran susunan syaraf pusat) dan Leukemia (penyakit dimana sel darah
putih melipat ganda tanpa terkendalikan) (Nurarif, 2015).
Pada kasus dengan down syndrome dimasyarakat harus mendapatkan
penanganan dari tenaga kesehatan guna dalam meningkatkan derajat
kehidupan anak maupun keluarga. Perencanaan dan penatalaksanaan asuhan
keperawatan komunitas yang dapat dilakukan diantaranya meningkatan
kesehatan komunitas mengubah dan mengelola perilaku kesehatan cenderung
beresiko efektifan pemeliharaan kesehatan , efektifan manajemen kesehatan
diri dan menambah pengetahuan tentang penyakit down syndrome tersebut.
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat
masalah tersebut dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada anak dengan down syndrome ”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu berwawasan luas memahami konsep medis dan
melaksanakan asuhan keperawatan pada anak yang mengalami down
syndrome.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui definisi down syndrome.
b. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala down syndrome.
c. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab down syndrome.
d. Mahasiswa mampu mengetahui carrier down syndrome.
e. Mahasiswa mampu mengetahui factor pendukung kejadian down
syndrome.
f. Mahasiswa mampu mengetahui eradikasi down syndrome.
g. Mahasiswa mampu mengetahui patogenesis down syndrome.
h. Mahasiswa mampu mengetahui prevalensi down syndrome.
i. Mahasiswa mampu mengetahui tatakelola down syndrome.
j. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada anak
dengan down syndrome.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Medis
A. Definisi
Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan fisik dan
mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom yang
gagal memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Wiyani, 2014).
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik
dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom
untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Down syndrome adalah
abnormalitas kromosom yang ditandai dengan berbagai derajat retardasi
mental dan efek fisik yang berhubungan;dikenal juga sebagai trisomy 21
(Bernstein & Shelov, 2017).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Soetjiningsih (2016), anak dengan down syndrome seringkali
memiliki berbagai kelainan mental dan malformasi karena ada bahan
ekstragenetik dari kromosom 21. Fenotipnya bervariasi, tetapi umumnya
didapat gambaran konstitusional yang cukup bagi klinis untuk menduga down
syndrome seperti : derajat gangguan mental bervariasi antara ringan (IQ=50-
70), sedang (IQ=35-50), berat (IQ=20-35). Terjadi pula peningkatan risiko
kelainan jantung kongential sebesar 50% dan <1% akan kehilangan
pendengaran.
Adapun ciri fisik pada anak dengan down syndrome anatara lain
brakisefali, celah antara jari kaki pertama dan kedua, kulit berlebih di pangkal
leher, hiperfleksibilitas, telinga yang abnormal (letak rendah, terlipat, stenosis
meatus), protursi lidah akibat palatum kecil dan sempit, batang hidung datar,
jari kelima pendek dan bengkok kedalam, tangan pendek dan lebar, gemuk
dan garis transversal tunggal pada telapak tangan.
Beberapa bentuk kelainan pada anak dengan syndrom down :
1. Sutura sagitalis yang terpisah
2. Fisura parpebralis yang miring
3. Jarak yang lebar antara kaki
4. Fontanela palsu
5. Plantar crease jari kaki I dan II
6. Hyperfleksibikit
7. Peningkatan jaringan sekitar leher
8. Bentuk palatum yang abnormal
9. Hidung hipoplastik
10. Kelemahan otot dan hypotonia
11. Bercak brushfield pada mata
12. Mulut terbuka dan lidah terjulur
13. Lekukan epikantus (lekukan kulit yang berbentuk bundar) pada sudut
mata sebelah dalam.
14. Single palmar crease pada tangan kiri dan kanan
15. Jarak pupil yang lebar.
16. Oksiput yang datar.
17. Tangan dan kaki yang pendek serta lebar.
18. Bentuk/struktur telinga yang abnormal.
19. Kelainan mata, tanga, kaki, mulut, sindaktili
20. Mata sipit

C. Penyebab
Sindrom down merupakan cacat bawaan yang disebabkan oleh adanya
kelebihan kromosom 21, sindrom ini juga disebut Trisomi 21, karena terdapat
3 kromosom 21.
1. Non Disjunction sewaktu osteogenesis ( Trisomi )
Kelebihan kromosom 21 pada sindrom Down ”trisomi murni’ diduga
terjadi akibat non-disjunction yaitu proses dua buah kromosom pada
pembelahan sel gamet (meiosis), yang secara normal mengalami segresi
menuju kutub yang berlawanan (mengalami pembelahan yanag sekual),
tetapi menjadi abnormal pergi bersamaan menuju kutub yang sama.
Gangguan pembelahan pada sel gamet (meiosis) yang menyebabkan non-
disjunction ini berhubungan dengan usia ibu saat pembuahan (konsepsi)
dan akan menghasilkan pembentukan gamet-garnet dengan jumlah
kromosom aneuploid jumlah tidak normal. Kromosom anak berasal dari
bapak dan ibu yaitu masing-masing separuh. (23 kromosom) dari jumlah
kromosom normal. Karena ada gangguan pembelahan set telur ibu,
penderita sindrom Down yang mempunyai jumlah kromosom 47 diduga
mendapat jumlah kromosom 23 dari ayah dan 24 dari ibu. Resiko memiliki
anak dengan sindrom Down meningkat seiring dengan meningkatnya usia
ibu hamil.
Factor – factor pendukung yang menyebabkan terjadinya down syndrome
pada anak terjadi karena kelainan kromosom. Kelainan kromosom
kemungkinan disebabkan oleh :
a. Faktor Genetik
Keluarga yang mempunyai anak dengan down syndrome memiliki
kemungkinan lebih besar keturunan berikutnya mengalami down
syndrome dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak
dengan down syndrome.
b. Usia Ibu Hamil
Usia ibu hamil yang diatas 35 tahun kemungkinan melahirkan anak
dengan down syndrome semakin besar karena berhubungan dengan
perubahan endokrin terutama hormone seks antara lain peningkatan
sekresi androgen, peningkatan kadar LH (Luteinizing Hormone) dan
peningkatan kadar FSH (Follicular Stimulating Hormone).
c. Radiasi
Ibu hamil yang terkena atau pernah terkena paparan radiasi terutama
diarea sekitar perut memiliki kemungkinan melahirkan anak dengan
down syndrome.
d. Autoimun
Autoimun tiroid pada ibu yang melahirkan anak down syndrome
berbeda dengan ibu yang melahirkan anak normal.
e. Umur Ayah
Kasus kelebihan kromosom 21 sekitar 20-30 % bersumber dari
ayahnya.
2. Translokasi kromosom
Penyebab kelebihan kromosom 21 karena pewarisan adalah bila ibu atau
ayah mempunyai dua buah kromosom 21 tetapi terletak tidak pada tempat
yang sebenarnya, misalnya salah satu kromosom 21 tersebut menempel
pada kromosom lain (translokasi) sehingga pada waktu pembelahan sel
benih kromosom 21 tersebut tidak selalu berada pada masing-masing sel
belahan. Pada kasus-kasus translokasi robertsonian pada grup-D
(kromosom 13,14, dan 15), kira-kira 40% diturunkan dari salah satu orang-
tua (ayah atau ibu) yang memiliki kariotipe translokasi seimbang 45,-D,-
21,+ translokasi Robertsonian (D;21). Individu dengan translokasi
robertsonian grup-G (kromosom 21 dan 22), hanya kira-kira 7% yang
mempunyai pasangan orang tua sebagai pewaris, dan biasanya ibu adalah
sebagai pembawa (Soetjiningsih, 2016),
3. Kejadian Mosaik
Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang- orang ini
memiliki campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah
kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel,
campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang sama. Dalam mosaik
jaringan, satu set sel , seperti semua sel darah mungkin memiliki
kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel kulit,
mungkin memiliki trisomi 21

D. Carrier
Jika seorang pasien telah memiliki riwayat kehamilan dengan trisomi 21
sebelumnya, risiko kekambuhan pada kehamilan berikutnya meningkat
menjadi sekitar 1 persen di atas risiko dasar yang ditentukan oleh umur ibu.
Diagnosis translokasi kromosom 21 pada janin atau bayi baru lahir
merupakan indikasi untuk analisis kariotipe kedua orang tua. Jika kedua orang
tua memiliki kariotipe normal, risiko terulangnya adalah 2 sampai 3 persen.
Jika salah satu orangtua merupakan karier translokasi seimbang, risiko
terulangnya tergantung pada jenis kelamin orang tua pembawa dan kromosom
tertentu yang melebur.
Pentingnya riwayat keluarga sindroma Down tergantung pada kariotipe
dari orang yang terkena (probond). Jika proband memiliki trisomy 21,
kemungkinan kehamilan dengan trisomi 21 setidaknya meningkat untuk
anggota keluarga lain selain orang tua. Jika proband memiliki kromosom 21
translokasi atau jika kariotipe tidak diketahui, anggota keluarga harus
diberikan konseling genetik dan analisis kariotip. Resiko untuk memiliki anak
sindrom Down pada orang tua karier translokasi dan partial trisomi : tidak ada
hubungannya dengan usia ibu dan ayah.
1. Resiko berulang (reccurence risk) : 1%
2. Ibu kurang dari 30 tahun : 1.4 %
3. Ibu lebih dari 30 tahun
4. Ibu yang karier translokasi memiliki resiko berulang memiliki anak sindrom
Down lebih besar daripada ayah karier
5. Resiko berulang : 1.5% pada amniocentesis 1% kelahiran
6. Bila usia ibu >35 tahun, maka harus diperhitungkan pula resiko untuk
memiliki anak sindrom down yang meningkat
7. Tidak ada laporan mengenai pria sindrom Down yang menjadi ayah, tetapi
wanita sindrom down bisa memiliki keturunan dengan kemungkinan 50%
anaknya akan menderita sindrom Down pula (Bernstein & Shelov, 2017).

E. Faktor Pendukung Kejadian


Menurut Soetjiningsih (2016), factor – factor pendukung yang
menyebabkan terjadinya down syndrome pada anak terjadi karena kelainan
kromosom. Kelainan kromosom kemungkinan disebabkan oleh :
1. Faktor Genetik
Keluarga yang mempunyai anak dengan down syndrome memiliki
kemungkinan lebih besar keturunan berikutnya mengalami down
syndrome dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak dengan
down syndrome.
2. Usia Ibu Hamil
Usia ibu hamil yang diatas 35 tahun kemungkinan melahirkan anak
dengan down syndrome semakin besar karena berhubungan dengan
perubahan endokrin terutama hormone seks antara lain peningkatan
sekresi androgen, peningkatan kadar LH (Luteinizing Hormone) dan
peningkatan kadar FSH (Follicular Stimulating Hormone).
3. Radiasi
Ibu hamil yang terkena atau pernah terkena paparan radiasi terutama
diarea sekitar perut memiliki kemungkinan melahirkan anak dengan down
syndrome.
4. Autoimun
Autoimun tiroid pada ibu yang melahirkan anak down syndrome berbeda
dengan ibu yang melahirkan anak normal.
5. Umur Ayah
Kasus kelebihan kromosom 21 sekitar 20-30 % bersumber dari ayahnya.
F. Eradikasi
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit sindrom down
antara lain :
1. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan (lebih dari 3 bulan). Terlebih lagi ibu hamil yang pernah
mempunyai anak dengan Down syndrome atau mereka yang hamil di atas
usia 35 tahun harus dengan hati-hati dalam memantau perkembangan
janinnya karena mereka memiliki resiko melahirkan anak dengan Down
syndrome lebih tinggi. Down Syndrome tidak bisa dicegah, karena Down
Syndrome merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah
kromosom. Jumlah kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3.
2. Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat
menurunkan angka kejadian sindrom down. Dengan Gene targeting atau
Homologous recombination gene dapat dinon-aktifkan. Sehingga suatu
saat gen 21 yang bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom
down dapat di non aktifkan (Kemenkes RI, 2015).

G. Patogenesis
Kromosom adalah suatu struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan
protein lain. Mereka hadir di setiap sel tubuh dan membawa informasi genetik
yang diperlukan untuk sel itu berkembang. Gen merupakan unit informasi,
yang "dikodekan" dengan DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom
yang dapat diatur dalam 23 pasang. Dari 23 jumlah tersebut, 22 adalah sama
pada laki-laki dan perempuan; ini disebut "autosom." Pasangan ke 23 adalah
kromosom seks ('X' dan 'Y'). Setiap anggota dari sepasang kromosom
membawa informasi yang sama, dalam gen yang sama berada di tempat yang
sama pada kromosom. Namun, variasi dari gen ("allele") dapat terjadi.
(Contoh:"Alel" informasi genetik untuk warna mata adalah "gen" variasi
untuk biru, hijau, dll).
Sel manusia mengalami pembelahan dalam dua cara yaitu pertama adalah
pembelahan mitosis, dimana tubuh tumbuh dalam metode ini, satu sel
menjadi dua sel yang mempunyai jumlah dan jenis kromosom yang sama
dengan sel induk. Metode kedua pembelahan sel terjadi pada ovarium dan
testis "meiosis" dan terdiri dari satu sel membelah menjadi dua, dengan sel-
sel yang dihasilkan memiliki setengah jumlah kromosom sel induk. Jadi, telur
normal dan sel-sel sperma hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. Ini
merupakan gambaran satu set kromosom atau kariotip normal. Terdapat 22
pasang kromosom ditambah kromosom seks. XX berarti bahwa orang ini
adalah perempuan. Banyak kesalahan dapat terjadi selama pembelahan sel.
Pada meiosis, pasangan kromosom yang seharusnya berpisah dan pergi ke
kutub berlawanan saat pembelahan (disjunction) ,kadang-kadang satu pasang
tidak membagi, dan pergi ke satu kutub yang sama. Ini berarti bahwa dalam
sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain
akan memiliki 22 kromosom. Kejadian ini disebut "nondisjunction”. Jika
sperma atau telur dengan jumlah abnormal kromosom menyatu dengan
pasangan yang normal, dihasilkan telur yang dibuahi akan memiliki jumlah
kromosom abnormal. Pada sindrom down, 95% dari semua kasus disebabkan
oleh: satu sel memiliki dua sel kromosom 21, bukan satu, sehingga telur
dibuahi yang dihasilkan memiliki tiga kromosom 21. karena itu nama ilmiah,
trisomy. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90%
dari sel-sel abnormal adalah telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak
diketahui, tetapi pasti ada hubungannya dengan usia ibu. Penelitian saat ini
bertujuan mencoba untuk menentukan penyebab dan waktu dari peristiwa
nondisjunction.
Tiga sampai empat persen dari semua kasus trisomi 21 adalah karena
Translokasi Robersonian. Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di
kromosom yang terpisah, biasanya pada kromosom 14 dan 21. Ada penataan
ulang materi genetik sehingga beberapa dari kromosom 14 digantikan oleh
kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah kromosom normal,
terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa anak mungkin hanya terjadi
triplikasi pada kromosom 21 bukan pada keseluruhan kromosom, yang biasa
disebut dengan trisomi 21 parsial. Translokasi yang hasilkan dari trisomi 21
mungkin dapat diwariskan, jadi penting untuk memriksa kromosom orang tua
dalam kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat pembawa
(carrier). Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang- orang
ini memiliki campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah
kromosom normal dan lainnya memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel,
campuran ini terlihat berbeda dari jenis yang sama. Dalam mosaik jaringan,
satu set sel , seperti semua sel darah mungkin memiliki kromosom normal
dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel kulit, mungkin memiliki trisomi
21 (Bernstein & Shelov, 2017).

H. Prevalensi
Menurut data yang diperoleh berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) didapatkan bahwa tahun 2013, jumlah penderita down syndrome
mengalami peningkatan sejumlah 0,01% dibandingkan pada tahun 2010. Pada
tahun 2010, penderita down syndrome ini menempati posisi ketiga dengan
penderita terbanyak setelah tuna daksa dan tuna wicara yaitu sebesar 0,12%
dan pada tahun 2013 menduduki posisi keempat sebagai penderita terbanyak
yaitu sebesar 0,13%.. Pada tahun 2018 jumlah penderita down syndrome
mengalami peningkatan sejumlah 0,08% sehingga menjadi 0,21% (Riskesdas,
2018).
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat tahun 2015
menunjukan bahwa prevalensi down syndrome terbanyak terjadi di kota
Bandung (52,94%), dengan jenis kelamin laki-laki (55,89%) dan pada rentang
umur 0 – 5 tahun (25,87%). Distribusi proporsi tertinggi kejadian down
syndrome berdasarkan umur > 35 tahun (32%) dan berdasarkan umur ayah
adalah umur > 35 tahun (40%).

I. Tatakelola
1. Penatalaksanaan Keperawatan Mandiri
a. Memberikan terapi bermain
Anak yang mengalami kerusakan kognitif mempunyai kebutuhan
yang sama terhadap rekreasi dan olahraga seperti anak lainnya.
Namun, karena perkembangan anak yang lebih lambat, orang tua
kurang menyadari kebutuhan untuk memenuhi aktivitas tersebut.
Dengan demikian, perawat mengarahkan orang tua untuk memilih
permainan dan aktivitas olahraga yang sesuai. Jenis permainan
didasarkan pada usia perkembangan anak, walaupun kebutuhan
terhadap permainan sensorimotorik dapat diperpanjang sampai
beberapa tahun. Orang tua harus menggunakan setiap kesempatan
untuk memperkenalkan anak kepada banyak suara, pandangan, dan
sensasi yang berbeda.
Permainan yang sesuai meliputi suara musik yang bergerak,
mainan yang diisi, bermain air, menghanyutkan mainan, kursi atau
kuda yang dapat bergoyang, bermain ayunan, bermain lonceng, dan
bermain mobil-mobilan. Anak harus dibawa bermain keluar, misalnya
jalan-jalan ke toko makanan atau pusat pembelanjaan; orang lain harus
diberi semangat untuk berkunjung kerumah; dan anak seharusnya
berhubungan langsung, misalnya mendekap, memeluk, mengayun,
berbicara kepada anak dalam posisi menatap wajah (wajah-ke-wajah),
dan menaikkan anak diatas bahu orangtua.
Mainan dipilih berdasarkan manfaat rekreasi dan edukasionalnya.
Sebagai contoh, sebuah bola pantai besar yang dapat dikempeskan
merupakan mainan air yang baik;yang mendorong permainan interaktif
dan dapat digunakan untuk mempelajari keterampilan motoric,
misalnya keseimbangan, mengayun, menendan, dan melempar.
Boneka dengan pakaian yang dapat diganti dan jenis kancing yang
berbeda dapat membantu anak mempelajari keterampilan berpakaian.
Mainan musical yang dapat meniru suara hewan atau merespon dengan
frase sosial merupakan cara yang sempurna untuk mendorong bicara.
Mainan harus dirancang secara sederhana sehingga anak dapat
belajar memainkan mainan tersebut tanpa bantuan. Bagi anak yang
mengalami gangguan kognitif dan fisik berat, tombol elektronik dapt
digunakan untuk memungkinkan anak mengoperasikan mainan
tersebut. Aktivitas yang sesuai untuk aktivitas fisik berdasarkan pada
ukuran tubuh, koordinasi, kesegaran jasmani dan maturitas, motivasi,
dan Kesehatan anak
b. Edukasi pada orang tua
Diharapkan penjelasan pertama kepada orang tua singkat, karena
kita memandang bahwa perasaan orang tua sangat beragam dan kerena
kebanyakan orang tua tidak menerima diagnosa itu sementara waktu,
hal ini perlu disadari bahwa orang tua sedang mengalami kekecewaan.
Setelah orang tua merasa bahwa dirinya siap menerima keadaan
anaknya, maka penyuluhan yang diberikan selanjutnya adalah bahwa
anak dengan syndrome down itu juga memiliki hak yang sama dengan
anak normal lainnya yaitu kasih sayang dan pengasuhan dan edukasi
terkait dengan hygiene pada masalah gigi.
c. Intervensi dini
Pada akhir – akhir ini terdapat sejumlah program intervensi dini yang
dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan
lingkungan bagi anak dengan sindrom Down. Akan mendapatkan
manfaat dari stimulasi sensori dini, latihan khusus untuk motorik halus
dan kasar dan petunjuk agar anak mau berbahasa. Dengan demikian
diharapkan anak akan mampu menolong diri sendiri, seperti belajar
makan, pola eliminasi, mandi dan yang lainnya yang dapat membentuk
perkembangan fisik dan mental (Bernstein & Shelov, 2017).
2. Penatalaksanaan Kolaborasi
a. Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi
adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih
cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut.
b. Pemeriksaan Dini
1) Pendengaran
Biasanya terdapat gangguan pada pendengaran sejak awal
kelahiran, sehingga dilakukan pemeriksaan secara dini sejak awal
kehidupannya.
2) Penglihatan
Sering terjadi gangguan mata, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan secara rutin oleh dokter ahli mata
3) Pemeriksaan Nutrisi
Pada perkembangannya anak dengan sindrom Down akan
mengalami gangguan pertumbuhan baik itu kekurangan gizi pada
masa bayi dan prasekolah ataupun kegemukan pada masa sekolah
dan dewasa, sehingga perlu adanya kerjasama dengan ahli gizi.
4) Pemeriksaan Radiologis
Diperlukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa keadaan
tulang yang dianggap sangat mengganggu atau mengancam jiwa
(spina servikalis)
c. Pemberian obat
Berikut ini adalah obat- obatan yang dapat digunakan:
1) Obat- obat psikotropika (misalnya: tioridazin, [Mellaril],
haloperidol [Haldol] untuk remaja dengan perilaku yang
membahayakan diri sendiri.
2) Psikostimulan untuk remaja yang menunjukkan tanda-tanda deficit
perhatian/ hiperaktivitas( misalnya: metilfenidat [Ritalin])
3) Antidepresan (misalnya: fluoksetin [Prozac])
4) Obat untuk perilaku agresif (misalnya: karbamazepin [Tegretol])
(Bernstein & Shelov, 2017).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Jenis data komunitas
a. Data inti komunitas
Data inti komunitas yang dikaji terdiri dari :
1) Sejarah/riwayat (riwayat daerah ini, perubahan daerah ini)
2) Demografi (usia, karakteristik jenis kelamin, distribusi ras dan
distribusi etnis)
3) Tipe keluarga (keluarga/bukan keluarga, kelompok)
4) Status perkawinan (kawin, janda/duda, single)
5) Statistic vital (kelahiran, kematian kelompok usia dan penyebab
kematian)
6) Nilai-nilai dan keyakinan dan agama
b. Data subsistem komunitas
Data subsistem yang perlu dikumpulkan dalam pengkajian komunitas
meliputi :
1) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik : kualitas air, pembuangan limbah, kualitas udara,
flora, ruang terbuka, perumahan,, daerah hijau, musim, binatang,
kualitas makanan dan akses
2) Pelayanan Kesehatan dan Social
Pelayanan kesehatan dan social perlu dikaji di komunitas :
Puskesmas, Klinik, rumah sakit, pengobatan tradisional, agen
pelayanan kesehatan di rumah, pusat emergens, rumah perawatan,
fasilitas pelayanan social, pelayanan kesehatan mental, apakah ada
yang mengalami sakit kronis atau akut.
3) Ekonomi
Data yang perlu dikumpulkan terkait dengan ekonomi meliputi
karakteristik keuangan keluarga dan individu, status pekerja,
kategori pekerjaan dan jumlah penduduk yang tidak bekerja, lokasi
industry, pasar dan pusat bisnis.
4) Transportasi dan Keamanan
Data yang perlu dikumpulkan terkait dengan transportasi dan
keamanan meliputi alat transportasi penduduk dating dan keluar
wilayah, transportasi umum (bus, taksi, angkot, dll) dan
transportasi privat (sumber transportasi, transportasi untung
penyandang cacat). Layanan perlindungan kebakarab, polisi,
sanitasi dan kualitas udara.
5) Politik dan Pemerintahan
Data yang perlu dikumpulkan meliputi : Pemerintahan (RT, RW,
desa/kelurahan, kecamatan, dsb); kelompok pelayanan masyarakat
(posyandu, PKK, karang taruna, posbindu, poskesdes, panti, dll);
politik (kegiatan politik yang ada di wilayah tersebut dan peran
peserta partai politi dalam pelayanan kesehatan).
6) Komunikasi
Data yang dikumpulka terkait dengan komunikasi dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu :
(a) Komunikasi formal meliputi surat kabar, radio dan televise,
telepon, internet dan hotline
(b) Komunikas informal meliputi : papan pengumuman, poster,
brosur, pengeras suara dari masjid, dll.
7) Pendidikan
Data terkait dengan pendidikan meliputi sekolah yang ada di
komunitas, tipe pendidika, perpustakaan, pendidikan khusus,
pelayanan kesehatan di sekolah, program makan siang di sekolah,
akses pendidikan yang lebih tinggi.
8) Rekreasi
Data terkait dengan rekreasi yang perlu dikumpulkan meliputi:
taman, area bermain, perpustakaan, rekreasi umum dan privat,
fasilitas khusus.
c. Data persepsi
Data persepsi yang dikaji meliputi
1) Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat yang dikaji terkait tempat tinggal yaitu
bagaiman perasaan masyarakat tentang kehidupan bermasyarakat
yang dirasakan di lingkungan tempat tinggal mereka, apa yang
menjadi kekuatan mereka, permasalahan, tanyakan pada
masyarakat dalam kelompok yang berbeda (misalnya, lansia,
mereja, pekerja, professional, ibu rumah tangga, dll).
2) Persepsi Perawat
Persepsi perawat berupa pernyataan umum tentang kondisi
kesehatan dari masyarakat apa yang menjadi kekuatan, apa
masalahnya atau potensial masalah yang dapat diidentifikasi.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi :
1) Pemeriksaan fisik meliputi Keadaan umum
2) GCS
3) Tanda-tanda vital: nadi, suhu tubuh, tekanan darah, dan
pernafasan.
4) Pemeriksaan head to toe antara lain :
a) Kepala :
- Sutura sagitalis yang terpisah
- Fontanela palsu
b) Mata :
- Fisura palpebralis yang miring
- Terdapat bercak brushfield
- Terdapat lekukan epikantus
- Jarak pupil yang lebar
c) Telinga :
- Ukuran telinga yang abnormal (kecil)
- Letak telinga yang abnormal.
d) Mulut :
- Mulut terbuka.
- Lidah terjulur
- Bentuk palatum yang abnormal
e) Leher :
- Peningkatan jaringan sekitar leher.
f) Ekstremitas :
- Jarak yang lebar antara jari kaki ke 1 dan jari ke 2.
- Plantar clase jari kaki ke 1 dan ke 2.
- Hiperfleksibilitas.
- Kelemahan otot.
- Hipotonia.
- Tangan yang pendek dan lebar.
- Kaki yang pendek dan lebar.
g) Pengkajian fisik lainnya sesuai dengan usia pada anak yang
tidak menderita down sindrom
- Lakukan pengkajian perkembangan
- Dapatkan riwayat keluarga : Usia ibu atau anak lain dalam
keluarga dengan keadaan serupa
- Observasi manifestasi klinik: Tanda fisik, intelegensia,
anomali kongenital, masalah sensori, masalah pertumbuhan
dan perkembangan seksual
- Tes diagnostik: analisis kromosom

B. Diagnosa Keperawatan Komunitas


Adapun diagnosa keperawatan komunitas menurut NANDA, NIC-NOC
tahun 2015 antara lain yaitu :
1. Defisiensi kesehatan komunitas
2. Perilaku kesehatan cenderung beresiko
3. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan
C. Intervensi Keperawatan
N Data Diagnosa Hasil (NOC) Intervensi
o Keperawatan (NIC)
1 Definisi : Defisiensi Setelah 1. Manajemen
Terdapat masalah kesehatan dilakukan perilaku
kesehatan atau komunitas tindakan (4350)
factor risiko yang (00215) keperawatan 2. Modifikasi
dapat selama 2x24 jam perilaku
mengganggu diharapkan (4350)
kesejahteraan defisiensi 3. Skrining
pada suatu kesehatan kesehatan
kelompok komunitas dapat (6520)
Data subjektif : - teratasi dengan 4. Monitoring
Data objektif : Kriteria hasil : kebijakan
1. Tidak tersedia a. Derajat kesehatan
program kesehatan (7970)
untuk masyarakat 5. Konsultasi
meningkatkan meningkat (7910)
kesejahteraan b. Tingkat
bagi partisipasi
komunitas dalam
2. Tidak tersedia pelayanan
program perawatan
untuk keseatan
mencegah preventif
masalah c. Adanya
kesehatan buktinya
komunitas tindakan
3. Tidak tersedia perlindungan
program kesehatan
untuk masyarakat
mengurasi d. Adanya
masalah perilaku
kesehatan pemeriksaan
komunitas kesehatan
4. Tidak tersedai pribadi
program
untuk
mengatakasi
masalah
kesehatan
komunitas
5. Terjadi
masalah
kesehatan
yang dialami
komunitas
6. Terdapat
factor risiko
fisiologis
dan/atau
psikologis
yang
menyebabkan
anggota
komunitas
menjalani
perawatan
2 Definisi : Perilaku Setelah 1. Berikan
Hambatan kesehatan dilakukan Promosi
kemampuan cenderung tindakan kesehatan
dalam mengubah beresiko keperawatan (6710)
gaya (00188) selama 2x24 jam 2. Berikan
hidup/perilaku diharapkan Pendidikan
untuk perilaku kesehatan
memperbaiki kesehatan (5510)
status kesehatan. cenderung 3. Manajemen
Data subjektif : - beresiko dapat penularan
Data objektif : teratasi dengan penyakit
1. Menunjukkan Kriteria hasil : (8820)
penolakan a. Klien dan 4. Manajemen
terhadap keluarga lingkungan
perubahan berpartisipas (6484)
status i dalam 5. Peningkatan
kesehatan promosi system
2. Gagal kesehatan dukungan
melakukan b. Adanya (5440)
tindakan Perilaku 6. Membangu
pencegahan promosi n hubungan
masalah kesehatan yang
kesehatan c. Klien dan kompleks
3. Menunjukkan keluarga (5000)
upaya dapat
peningkatan melakukan
status Perawatan
kesehatan diri secara
yang minimal mandiri
4. Gagal d. Peningkatan
mencapai Koping
pengendalian keluarga
yang optimal. e. Partisipasi
keluarga
dalam
perawatan
secara
professional
f. Adanya
Dukungan
social
g. Perilaku
pemeriksaan
kesehatan
pribadi.
3 Definisi : Ketidakefektifa Setelah 1. Berikan
Ketidakmampuan n pemeliharaan dilakukan Pendidikan
mengidentifikasi, kesehatan tindakan kesehatan
mengelola, (00099) keperawatan (5510)
dan/atau selama 2x24 jam 2. Manajemen
menemukan diharapkan penularan
bantuan untuk ketidakefektifan penyakit
mempertahankan pemeliharaan (8820)
kesehatan kesehatan dapat 3. Identifikasi
Data subjektif : - teratasi dengan risiko
Data objektif : Kriteria hasil : (6610)
1. Kurang minat a. Keyakinan 4. Berikan
dalam kesehatan : Dukungan
meningkatka kemampuan terhadap
n perilaku yang caregiver
sehat dirasakan (7040)
2. Menunjukan untuk 5. Berikan
perilaku melakukan Dukungan
kurang b. Keyakinan keluarga
adaptif kesehatan : (7140)
terhadap perceived 6. Manajemen
perubahan untuk lingkungan
lingkungan mengontrol (6484)
3. Menunjukan c. Adanya
kurang Dukungan
pengetahuan social
tentang d. Partisipasi
praktik dasar tim
kesehatan kesehatan
4. Riwayat dalam
kurang keluarga
perilaku sehat
5. Gangguan
sistem
pendukung
pribadi
6. Tidak mampu
mengemban
tanggung
jawab untuk
memenuhi
praktek
kesehatan
dasar
7. Riwayat
gejala kronis,
Proses
penyakit yang
tidak diobati
8. Terbatasnya
penggunaan
lembaga dan
tenaga
layanan
kesehatan
9. Terbatasnya
tindakan
pencegahan
kesehatan
10. Kewajiban
mematuhi
keyakinan
budaya dan
keagamaan
DAFTAR PUSTAKA

Bernstein, Daniel & Shelov, Steven. 2017. Ilmu Kesehatan Anak untuk
Mahasiswa Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: EGC

Dinas Kesehatan JABAR. Profil Kesehatan Tahun 2015. Dinas Kesehat Provinsi
Jawa Barat. 2016; (Dinas Kesehatan JABAR):205.

Kemenkes.2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.

Nanda. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Praptono, dkk. 2017. Anak Berkebutuhan Khusus SPIRIT Edisi 1. Jakarta:


Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018

Soetjiningsih.2016. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

Wiyani, Novan Adri. 2014. Penanganan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

World Health Organization (WHO).2016. World Report on Disability.

Yusuf, Rizky Fitriyasari., & Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai