Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Definisi dan Pengertian


Down Syndrome merupakan kumpulan gejala akibat dari abnormalitas
kromosom, biasanya kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama
meoisis sehingga terjadi individu dengan 47 kromosom (Gunarhadi, 2005).
Pendapat lain diutarakan oleh Jeffry (2005) yang menyatakan bahwa
Down Syndrome adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan Retardasi Mental serta
anomali fisik yang beragam.
Kedua pendapat diatas dilengkapi oleh Nicolosi et al (2004) yang
menyatakan bahwa Down Syndrome adalah keterbelakangan mental, mulai dari
yang ringan sampai berat, terkait dengan berbagai kelainan yang disebabkan
oleh represensi kromosom 21 yang ada 3 (yang seharusnya ada 2) dalam
beberapa atau semua sel).
Sedangkan Soetjiningsih (2002) berpendapat Down syndrome
merupakan kelainan yang terjadi pada pasien yang mengalami keterbelakangan
mental yang disebabkan oleh kelainan mental yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari dua kromosom
sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi) yang me
ngakibatkan pasien mengalami penyimpangan fisik.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konsisi Down syndrome
adalah suatu kondisi keterbelakangan mental karena adanya sindrom
keterbelakangan mental, mulai dari ringan sampai berat, terkait dengan berbagai
abnormalitas yang disebabkan oleh representasi kromosom 21 dimana orang
yang mengalami keterbelakangan mental dapat mempengaruhi bicara
B. Penyebab Gangguan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Down Syndrome
meliputi genetik, umur ibu, radiasi, infeksi, autoimun, dan umur ayah
(Soetjiningsih, 2002). Faktor tersebut antara lain:
1. Genetik
Pada Translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung
teori ini didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang
menyatakan bahwa ada peningkatan risiko berulang bila dalam
keluarga terdapat anak dengan sindrom Down. Bila terdapat
translokasi pada kedua orangtua, sebaiknya dilakukan studi familial
tambahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak.
Kalau orangtuanya adalah karier, anggota keluarga lainnya juga
harus diperiksa, sehingga akan teridentifikasi risiko sindrom Down.
Tipe nondisjuction juga diperkirakan berhubungan dengan genetik.
2. Umur Ibu
Setelah umur lebih dari 30 tahun, risiko sindrom Down
meningkat, dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama
pada tipe nondisjunction. Peningkatan insiden ini berhubungan
dengan perubahan endokrin, terutama hormon seks, antara lain
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar
hidroepiandosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara
tajam kadar LH (Luteinzing Hormone) dan FSH (Follicular
Stimulating Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama
menopause. Menurut Lidyana (2004) dalam Situmorang (2011)
mengatakan bahwa statistik menunjukkan bahwa diantara kaum
wanita berusia 20 tahun hanya 1 dari 2.300 kelahiran yang menderita
Down Syndrome. Pada wanita berusia 30 hingga 34 tahun, insidensi
sindrome Down 1 dari 750 kelahiran, sedangkan wanita berusia 39
tahun insidensi itu naik secara drastis sampai 1 dari 280 kelahiran.
Pada wanita berusia lebih dari 45 tahun, insidensi sindroma Down 1
dari 65 kelahiran. Menurut Susan et al, (2007) dalam Rahmawati
(2011) mengatakan bahwa risiko terjadinya kelahiran anak sindrom
Down dihubungkan dengan faktor usia ibu saat hamil yaitu akibat
terjadinya nondisjuction. Beberapa data tentang terjadinya
nondisjunction dihubungkan dengan usia ibu hamil
yaitu:
a) Pada usia 35 tahun terjadinya nondisjunciton: 1/400
b) Pada usia 40 tahun terjadinya nondisjunction: 1/110
c) Pada usia 45 tahun terjadinya nondisjunction: 1/35
3. Radiasi
Pengaruh radiasi masih kontroversial. Suatu literatur
menyebutkan bahwa radiasi meningkatkan predisposisi
nondisjunction pada sindrom Down ini. Sekitar 30% ibu yang
melahirkan anak sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah
perut sebelum terjadinya konsepsi, tetapi peneliti lain tidak
menemukan hubungan tersebut.
4. Infeksi
Virus diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya sindrom
Down, tetapi sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaimana virus
dapat menyebabkan terjadinya nondisjunction pada kromosom 21.
5. Autoimun
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan
tiroid diduga berhubungan dengan sindrom Down. Falklow, 1996,
secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid
pada ibu melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol
yang umurnya sama.
6. Umur Ayah
Penelitian sitogentik pada orang tua anak dengan sindrom Down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber
dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan ibu.
C. Karakteristik Gangguan
Anak dengan kondisi Down Syndrome mempunyai karakteristik umum
yang mudah kita kenal hingga karakteristik yang berhubungan dengan Terapi
Wicara.
1. Fisik
Individu dengan Down Syndrome ditandai oleh fitur wajah
mereka, luas tangan, pertumbuhan otot yang terlambat (Oliver,
2012). Anak Down Syndrome secara fisik terlihat berbeda dengan
anak normal. Menurut Selikowitz (2001) mengungkapkan bahwa
ciri-ciri fisik anak Down Syndrome yang dapat langsung terlihat
adalah sebagai berikut:
a. Wajah
Ketika dilihat dari depan, anak penderita Down Syndrome
biasanya mempunyai wajah bulat. Dilihat dari samping,
wajah cenderung mempunyai profil datar.
b. Kepala
Belakang kepala sedikit rata pada kebanyakan orang
penderita Down Syndrome. Ini sebagai Brachycephaly.
c. Mata
Mata dari hampir semua anak dan orang dewasa penderita
Down Syndrome miring sedikit ke atas.
d. Leher
Bayi-bayi yang baru lahir dengan Down Syndrome ini
memiliki kulit berlebihan pada bagian belakang leher, namun
hal ini biasanya berkurang sewaktu mereka bertumbuh. Anak-
anak yang lebih besar dan orang dewasa yang memiliki Down
Syndrome cenderung memiliki leher pendek dan lebar.
e. Mulut
Rongga mulut sedikit lebih kecil dari rata-rata, dan lidahnya
sedikit lebih besar. Kombinasi ini membuat sebagian anak
mempunyai kebiasaan untuk mengulurkan lidahnya.
f. Tangan
Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek.
Jari kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi
dan bukan dua seperti biasanya. Dengan kondisi tangan yang
seperti ini memungkinkan anak Down Syndrome mengalami
kesulitan dalam berpakaian.
g. Kaki
Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak
yang lebar antara ibu jari dengan telunjuk. Hal itu disertai
dengan suatu alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari
celah antar jari lalu ke belakang sepanjang beberapa
sentimeter.
h. Ukuran tubuh
Berat badan biasanya kurang daripada berat rata-rata. Panjang
tubuhnya sewaktu lahir juga lebih pendek. Semasa kanak-
kanak mereka tumbuh dengan lancar tetapi lambat. Sebagai
orang dewasa umumnya mereka lebih pendek dari anggota
keluaga yang lainnya. Tinggi mereka berkisar sekitar dibawah
tinggi rata-rata orang normal.
2. Oral
Individu dengan Down Syndrme memiliki permasalahan dalam
struktural oral, terdapat perbedaan dalam Oral Cavity yang terdiri
dari rongga mulut kecil, palatum yang tinggi, gigi yang tidak
beraturan dan lidah yang lebih besar (Oliver, 2012).
3. Kognitif
Retardasi Mental yang menyertai Down Syndrome akan
mempengaruhi kemampuannya untuk belajar di banyak bidang.
Retardasi Mental dapat memiliki dampak yang sangat besar pada
keterampilan komunikasi, karena begitu banyak pembelajaran bahasa
yang bergantung pada kemampuan kognitif atau berpikir seperti,
penalaran, memahami konsep dan mengingat (Kumin, 1994). Tingkat
kemampuan kognitif berkisar dari kecerdasan normal mendekati
gangguan intelektual berat dengan 80% dari populasi Down
Syndrome memiliki ganguan intelektual sedang (Oliver, 2012).
Menurut Owens (2010) dalam Oliver (2012) mengatakan bahwa
individu dengan gangguan intelektual sedang memiliki IQ antara 36-
51 dan menunjukan defisit dengan keterampilan bahasa kognisi,
reseptif dan ekspresif.
4. Motorik
Anak-anak dengan kondisi Down Syndrome menunjukkan
perkembangan motorik yang tertunda karena hipotonia, ligamen,
lemahnya keseimbangan, dan kurangnya postur kontrol yang
menyebabkan kesulitan beradaptasi dengan gravitasi dan lingkunga
sekitarnya (Jung, 2017).
5. Bahasa
Kemampuan kognitif yang mempengaruhi kemampuan bahasa yang
terdiri dari pemahaman dan penggunakan bahasa. Kesulitan dalam
aspek pemahaman menyebabkan kesulitan dalam mengembangkan
kemampuan bahasa. Individu dengan Down Syndrome memiliki
kemampuan bahasa reseptif lebih baik daripada kemampuan
ekspresif berupa fonologi, sintaksis, dan pragmatik (Martin dkk,
2009). Menurut Kumin (1994) mengatakan bahwa individu dengan
Down Syndrome memiliki kesulitan mengekspresikan keinginan,
karena kognitif, motorik, dan kesulitan lainnya, sebagai contoh
mereka sering kesulitan mengurutkan kata-kata untuk
mengekspresikan ide atau meminta penjelasan ketika mereka tidak
memahami sesuatu yang telah dikatakan.
6. Bicara
Produksi bicara anak dengan Down Syndrome mungkin berhubungan
dengan perbedaan dalam struktur dan fungsi oral (Martin et al,
2009). Perbedaan struktural termasuk rongga mulut kecil dengan
lidah yang relatif besar dan sempit, langit-langit melengkung tinggi.
Menurut Kumin (1994) megatakan bahwa Anak Down Syndrome
memiliki permasalahan pada artikulasi, kelancaran, pengurutan dan
resonansi.
D. Prevalensi Kasus
National Down Syndrome Society melaporkan terdapat 1 kasus Down
Syndrome setiap 691 kelahiran di United States (Schutz, 2014). Menurut Morris
& Wu (2013) mengatakan bahwa diperkirakan ada 37.090 orang dengan
sindrom Down di Inggris dan Wales pada 2011, 650 bayi dengan Sindrom Down
berusia 0-1 tahun; 2.673 usia 1-4 tahun (inklusif), 7.115 usia 5-18 tahun; 12.819
berusia19-40 tahun; 3.207 berusia di atas 55 tahun. Prevalensi populasi adalah
0,66 per 100 orang.
Menurut Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) jumlah kasus Down
Syndrome di Indonesia sampai Januari 2011 sekitar 350 ribu kasus dan
merupakan 15% dari jumlah kasus Down Syndrome di dunia (ISDI, 2011).
Sekitar 1-2% anak dilahirkan dengan kondisi Down Syndrome. Berdasarkan data
ini dapat disimpulkan bahwa diseluruh dunia termasuk Indonesia, tiap tahun ada
anak yang dilahirkan dengan kondisi Down Syndrome (Rina, 2016).

E. Prognostik Teoritik
Empat puluh empat kasus dengan sindrom Down hidup sampai 60 tahun,
dan 14% sampai umur 68 tahun. Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan
hidup penderita sindrom Down; yang terpenting adalah tingginya angka kejadian
penyakit jantung bawaan yang mengakibatkan 80% kematian, terutama pada 1
tahun pertama kehidupan. Keadaan lain yang lebih sedikit pengaruhnya terhadap
harapan hidup adalah meningkatkannya kejadian leukimia, yakni sekitar 15 kali
dari populasi normal. Timbulnya Alzheimer yang lebih dini pada kasus ini akan
menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. Anak dengan Sindrom Down
juga rentan terhadap infeksi (Soetjiningsih, 2002).

F. Metode Terapi
1. Metode Drill
a. Sumber
Metode Drill ini diambil dari buku Language Disorder from Infancy
through Adolescene oleh Paul, 2001.
b. Dasar Pemikiran
Metode Drill ini menekankan pada proses pengulangan dan prompt.
Apabila klien belum merespon dengan benar, maka terapis akan
melakukan pengulangan dan memberitahukan bagaimana cara merespon
dengan benar. Apabila klien mulai mampu merespon dengan benar,
terapis harus memberikan pujian atau hadiah.
c. Tujuan
Tujuan dari metode Drill adalah agar target yang menjadi materi terapi
oleh terapis dapat berjalan secara bertahap sehingga dapat meningkatkan
jumlah materi yang harus direspon dengan benar untuk mendapatkan
penguatan atau konsistensinya.
d. Langkah-langkah
Terapis mengintruksikan kepada klien tentang stimulus pelatihan dan
respon apa yang diharapkan oleh klinisi, seperti kata atau frase yang akan
diulang. Semua petunjuk pelatihan direncanakan dan dikendalikan oleh
klinisi. Klinisi akan melakukan pengulangan dan prompt dengan cara
meniru. Klien menirukan apa yang diucapkan oleh klinisi memberikan
contoh respon yang benar. Prompt yang digunakan secara bertahap akan
dihilangkan pada waktu yang ditentukan oleh klinisi. Jika respon klien
sesuai dengan yang diharapkan oleh klinisi, klien diperkuat dengan
pujian lisan atau dengan benda nyata, misalnya makanan atau mainan.
Bisa juga dengan motivasi lain, dengan cara memberikan kesempatan
pada klien untuk mewarnai sebuah gambar, jika respon klien mulai kuat
(konsisten).

2. Phonetic Placement
a. Sumber
Metode ini dikembangkan oleh Scripture (1923) dan Jackson (1927)
diambil dalam buku Clinical Management of Articulatory and
Phonologic Disorder karangan Weiss, E. C. & Brannan, M. E. G. (1987).
b. Dasar Pemikiran
Dasar pemikiran: menurut Scripture (1923) untuk dapat menggerakan
alat wicara secara benar, seseorang harus merasakan gerakan-gerakan
dan mendengarkan bunyi selagi memproduksi. Seseorang yang
mempunyai penyimpangan artikulasi harus mengembangkan
kemampuan menempatkan artikulator-artikulator tersebut pada posisi
apa saja yang diperlukan untuk tujuan bicara.
c. Tujuan
Tujuan dari metode ini adalah untuk mengajarkan latihan bicara yang
umum untuk melakukan dan menempatkan artikulator yang spesifik
guna memproduksi macam-macam bunyi wicara. Secara implisit tujuan
dari metode ini ialah memperbaiki bunyi-bunyi artikulasi. Dimana
dengan memproduksi bunyi secara satuan selanjutnya dikembangkan
menjadi suku kata, kalimat, dan persiapan untuk dialog (Sommes &
Kane, 1974, KPHA, Dispraksia, 2002)
d. Langkah-langkah
1) Tongue spatel untuk memanipulasi (menggerakan) atau menahan
artikulator pada tempatnya.

2) Memanipulasi artikulator dengan menggunakan jari terapis.

3) Memberi intruksi secara verbal dan memberi contoh.

4) Menunjukkan aliran udara dari mulut dan hidung.

5) Memberikan catatan berupa grafik, misalnya stectograph.

6) Merasakan aliran nafas dengan tangan atau melihat efek dari


aliran nafas pada selembar tissue.

7) Melihat cermin selagi memproduksi bunyi.

8) Merasakan getaran laring.

9) Observasi diagram, gambaran, atau gambar dari artikulator selagi


memproduksi bunyi-bunyi tertentu.

10) Observasi palatogram dari artikulator selagi memproduksi bunyi-


bunyi tertentu.

Anda mungkin juga menyukai