Anda di halaman 1dari 18

MAPPING DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN
Sindrom Down adalah salah satu penyebab paling utama dari gangguan intelektual
serta gangguan berbagai macam masalah kesehatan termasuk masalah belajar dan ingatan,
Penyakit Jantung Bawaan (PJB), penyakit Alzheimer (AD), leukemia, kanker, dan penyakit
Hirschprung (HD). Kejadian Sindrom Down dipengaruhi oleh usia ibu dan memiliki angka
kejadian yang berbeda pada setiap populasi (antara 1 dari 319 sampai 1 dari 1000 kelahiran
hidup). Kemajuan terbaru dalam perawatan medis dan dengan dukungan social telah
meningkatkan harapan hidup untuk sindroma down. Di Negara maju, rentang hidup rata-rata
untuk populasi sindrom down adalah 55 tahun.1
Penyakit Sindrom Down sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr. Langdon Down
dari Inggris, tetapi baru pada awal tahun 60-an ditemukan diagnosis secara pasti yaitu dengan
pemeriksaan kromosom. Dahulu penyakit ini diberi nama Mongoloid karena penderita
penyakit ini mempunyai wajah seperti bangsa Mongol. Tetapi setelah diketahui bahwa
penyakit ini terdapat pada seluruh bangsa di dunia , dan sekitar 30 tahun yang lalu pemerintah
Republik Mongolia mengajukan keberatan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang
menganggap nama tersebut kurang etis, maka WHO menganjurkan untuk mengganti nama
tersebut dengan Sindrom Down.2
Anak-anak dengan DS memiliki fenotipe yang dikenali dengan baik, termasuk
karakteristik eksternal, masalah fisik spesifik dan gangguan intelektual dengan perkembangan
kognitif dan motorik yang tertunda. Berbagai kelainan yang menjadi ciri sindrom ini
diklasifikasikan sebagai fitur umum dan kraniofasial.3,4
1.1 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Mengerti dan memahami sindrom Down sebagai kelainan genetik

1.1.2 Tujuan Khusus


1. Menjelaskan etiologi sindrom Down
2. Menjelaskan klasfikasi sindrom Down
3. Menjelaskan genetika sindrom Down
4. Menjelaskan patofisiologi sindrom Down
5. Menjelaskan manifestasi umum sindrom Down
6. Menjelaskan meinfestasi dentokraniofasial sindrom Down
1.2 Manfaat
1.2.1 Sebagai bahan memperluas wawasan mengenai karakteristik pertumbuhan dan
perkembangan dentokraniofasial sindrom Down
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi sindrom Down
Etiologi sindrom Down adalah trisomi untuk semua, atau sebagian besar, kromosom 21.
Hasil
gabungan dari 11 survei yang tidak dipilih dengan total 784 kasus menunjukkan frekuensi
relatif dari jenis-jenis perubahan kromosom tertentu untuk sindrom Down sebagai berikut:
Trisomi 21 penuh (94%), trisomi 21/ mosaik normal, (2,4%), kasus translokasi (dengan
frekuensi yang hampir sama antara translokasi D/G, dan G/G) (3,3%). Distribusi kromosom
yang salah yang menyebabkan sindrom Down lebih mungkin terjadi pada usia ibu yang lebih
tua, seperti yang ditunjukkan pada angka kejadian sindrom Down pada persalinan cukup
bulan untuk usia ibu tertentu: 15 hingga 29 tahun, 1 dari 1500; 30 hingga 34 tahun, 1 dari
800; 35 hingga 39 tahun, 1 dari 270; 40 hingga 44 tahun, 1 dari 100; dan di atas 45 tahun, 1
dari 50. Meskipun kemungkinan umum untuk kambuhnya sindrom Down adalah 1%, tugas
utama dalam memberikan angka risiko kambuh kepada orang tua adalah untuk menentukan
apakah anak dengan sindrom Down adalah kasus translokasi dengan orang tua yang
merupakan pembawa translokasi dan dengan demikian memiliki risiko yang relatif tinggi
untuk kambuh. Kemungkinan menemukan translokasi pada anak dengan sindrom Down dari
ibu yang berusia kurang dari 30 tahun adalah 6% dari kasus-kasus seperti itu, hanya satu dari
tiga yang akan ditemukan memiliki orang tua pembawa translokasi. Oleh karena itu,
perkiraan probabilitas bahwa salah satu orang tua dari bayi dengan sindrom Down yang lahir
dari ibu yang berusia kurang dari 30 tahun adalah pembawa translokasi adalah 2%
berbanding 0,3% ketika bayi dengan sindrom Down lahir dari ibu yang berusia lebih dari 30
tahun. Setelah mengecualikan orang tua pembawa translokasi, risiko kekambuhan dapat
dinyatakan sekitar 1%. Ada juga saran bahwa kekambuhan trisomi yang berbeda setelah
trisomi 21 sebelumnya juga dapat meningkat. Meskipun angkanya rendah, namun cukup
untuk membenarkan diagnosis prenatal untuk kehamilan di masa depan. Risiko kekambuhan
untuk orang tua pembawa translokasi langka akan bergantung pada jenis translokasi dan jenis
kelamin orang tua. Mosaikisme biasanya menyebabkan fenotipe yang tidak terlalu parah.
Setiap tingkat kemampuan intelektual dari normal atau hampir normal hingga
keterbelakangan berat dapat ditemukan, dan ini tidak selalu berkorelasi dengan fenotipe
klinis. Pasien dengan ciri-ciri sindrom Down dan kinerja yang relatif baik cenderung
memiliki mosaik (yang tidak selalu mudah untuk ditunjukkan).1

2.2. klasfikasi sindrom Down


Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik.
Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga
kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe
ini. 4,5
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini
merupakan 4% dari total kasus. 4,5
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan
biasanya kondisi si penderita lebih ringan.4,5
Berikut merupakan klasifikasi tingkat keparahan anak dengan Sindrom Down. 4,5
1) Anak Sindrom Down Ringan
Anak down syndrome ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang
pembendaharaan katanya, Mengalami kesukaran berpikir abstrak tetapi masih
mampu mengikuti mengikuti kegiatan akademik dalam batas-batas tertentu. Pada
umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12
tahun.
2) Anak Sindrom Down Sedang
Anak down syndrome sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran
akademik. Mereka umumnya dilatih untuk merawat diri dan aktivitas sehari-hari.
Pada umur dewasa mereka baru mencapai tingkat kecerdasan yang sama dengan
umur 7 tahun.
3) Anak Sindrom Down Berat dan Sangat Berat
Anak down syndrome berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu
bertanggung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat
memelihara diri, tidak dapat membedakan bahaya atau tidak, kurang dapat
bercakap – cakap. Kecerdasannya hanya berkembang paling tinggi seperti anak
normal yang berusia 3 atau 4 tahun. Sifat pada kepala, muka dan leher : Mereka
mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pangkal
hidungnya pendek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam.

2.3. genetika sindrom Down


Dalam trisomi 21, kehadiran gen ekstra menyebabkan overexpression pada gen
yang terlibat sehingga meningkatkan produk-produk tertentu. Pada sebagian besar gen,
efek overexpression tersebut memiliki efek yang sedikit karena tubuh memiliki
mekanisme regulasi. Tetapi gen yang terlibat pada Sindroma Down tampaknya
merupakan pengecualian.6
Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang terkenal meyebutkan bahwa hanya
sedikit bagian dari kromosom 21 yang sebenarnya dibutuhkan untuk membuat efek pada
Sindroma Down, yang disebut sebagai critical region. Kromosom 21 memegang 200-
250 gen, tetapi diperkirakan hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri
pada Sindroma Down. 6
Adanya Down Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada
kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri utama
Sindroma Down, telah mendominasi penelitan Sindroma Down pada tiga dekade
terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4Mb ini dikelompokkan menjadi DSCR1
dan DSCR 2. 6
Menurut Davies et al. dalam Sommer dan Henrique-Silva DSCR1, yang sekarang
diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di overexpress dalam otak fetus
Sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan fungsional dengan kalsineurin A,
sebuah katalitik sub unit dari kalsium/ calmodulin –dependent protein phosphatase.
Menurut Fuentes et al. dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak
diekspresikan di otak dan jantung menunjukkan overexpression itu berhubungan pada
patogenesis Sindroma Down, terutama retardasi mental dan atau kelainan jantung.
Menurut Vidal-Taboada et al., dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), sedangkan
DSCR2 lebih banyak diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi,
seperti jaringan fetus, testis, dan sel kanker.
Gen-gen yang terlibat dalam Sindroma Down adalah:6
 Superoxide Dismutase (SOD1) -- overexpression menyebabkan penuaan dini dan
menurunnya fungsi sistem imun. Gen ini berperan dalam demensia pada tipe
Alzheimer
 COL6A1 -- overexpression menyebabkan cacat jantung.
 ETS2 -- overexpression menyebabkan abnormalitas skeletal.
 CAF1A -- overexpression menyebabkan detrimental pada sintesis DNA
 Cystathione Beta Synthase (CBS) -- overexpression menyebabkan gangguan
metabolisme dan perbaikan DNA
 DYRK -- overexpression menyebabkan retardasi mental.
 CRYA1 -- overexpression menyebabkan katarak.
 GART -- overexpression menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan DNA
 IFNAR – gen yang mengekspresiakn interferon, overexpression mempengaruhi
sistem imun dan organ sistem lainnya

2.4. patofisiologi sindrom Down


Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam
nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur
tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas.
Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk
untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam
urutan tertentu.7
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang,
merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang
kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1
kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai
dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada
setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma
normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga
pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog. 7
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah : 7
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar untuk
mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada
non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak
ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya
trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47
kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21). 7
Jika pada trisomi 21 karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada
kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan
yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua
cara:non-disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan
pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan Down syndrome mengalami non-
disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal. 7
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki
46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46 t(14 q 21q).
Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah
kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi
14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q).
Perkawinan laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier Down syndrome secara
teoritis menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. 7
Gambar 2. 1. Kromosomal yang tidak mengalami disjungsi pada meiosis. A, Kegagalan
kromosom untai ganda homolog untuk memisahkan diri sebelum sitokinesis selama
pembelahan meiosis pertama (panel sebelah kiri) mengakibatkan distribusinya hanya pada
salah satu gonosit sekunder (atau badan kutub pertama). Kegagalan dua untai kromosom
untai ganda untuk memisahkan diri sebelum sitokinesis selama pembelahan meiosis kedua
(panel sebelah kanan) menghasilkan distribusi hanya ke salah satu gonosit definitif (atau
badan kutub kedua). B, Kariotipe perempuan dengan trisomi 21 (dilingkari), yang
menyebabkan sindrom Down. 7
Gambar 2. 2. Kariotipe laki-laki dengan sindrom Down disebabkan oleh translokasi
kromosom 21 ketiga ke salah satu kromosom 14 (dilingkari). 7

2.5. meinfestasi umum sindrom Down


Umum
Hipotonia dengan kecenderungan untuk menjaga mulut tetap terbuka dan menjulurkan
lidah, diastasis rekti, hiperfleksibilitas sendi, perawakan yang relatif kecil dengan gaya
berjalan yang canggung, peningkatan berat badan pada masa remaja.5
Sistem Saraf Pusat
Kecacatan intelektual5
Mata.
Bercak pada iris (bintik Brushfield) dengan hipoplasia perifer pada iris; kekeruhan
lensa halus dengan pemeriksaan lampu celah (59%); kelainan refraksi, sebagian besar
miopia (70%); nistagmus (35%); strabismus (45%); saluran air mata tersumbat (20%);
katarak yang didapat pada orang dewasa (30% hingga 60%).5

Gambar 2. 3. Bintik-bintik brushfield (tanda panah) adalah cincin berbintik-bintik sekitar dua
pertiga dari jarak ke pinggiran iris. Relatif tidak ada pola di luar cincin. Bintik-bintik ini
ditemukan pada 20% bayi baru lahir normal, tetapi ditemukan pada 80% bayi dengan
sindrom Down. 7
Telinga
Kecil; lipatan heliks atas berlekuk-lekuk; terkadang menonjol; daun telinga kecil atau
tidak ada; gangguan pendengaran (66%) tipe konduktif, campuran, atau sensorineural;
akumulasi cairan di telinga tengah (60% hingga 80%).5
Leher
Pendek dengan lipatan kulit yang longgar. Tangan. Metakarpal dan falang yang
relatif pendek; hipoplasia midphalanx jari kelima (60%) dengan klinodaktili (50%),
lipatan tunggal (40%), atau keduanya; lipatan simian (45%); posisi distal triradius aksial
palmaris (84%); pola punggungan kulit lingkaran ulnaris pada semua digit (35%).5
Kaki
Celah lebar antara jari kaki pertama dan kedua, lipatan plantar antara jari kaki pertama
dan kedua, pola punggungan kulit bidang terbuka di area halus pada telapak kaki (50%).5
Panggul
Hipoplasia dengan flare lateral luar sayap iliaka dan sudut asetabular yang dangkal. 5
Jantung
Anomali pada sekitar 40%; defek bantalan endokard, defek septum ventrikel, duktus
arteriosus paten, defek septum aurikularis, dan arteri subklavia yang menyimpang,
dengan urutan frekuensi yang semakin menurun; prolaps katup mitral dengan atau tanpa
prolaps katup trikuspid dan regurgitasi aorta pada usia 20 tahun; risiko regurgitasi setelah
usia 18 tahun. 5
Kulit
Cutis marmorata, terutama pada ekstremitas (43%); kulit kering dan hiperkeratotik
seiring berjalannya waktu (75%); infeksi pada area perigenital, bokong, dan paha yang
dimulai sebagai bintil folikel pada 50% hingga 60% remaja. 5
Rambut
Halus, lembut, dan sering kali jarang; rambut kemaluan lurus pada masa remaja.
Gambar 2. 4. Rambut kulit kepala posterior dengan jenis yang lebih umum ditemukan pada
mikrosefali ringan, dalam hal ini, sindrom Down. Lingkaran parietal cenderung lebih ke
tengah dan ke belakang dari biasanya, berada di atas posisi ubun-ubun posterior. Hal ini
dianggap sebagai akibat dari otak yang lebih kecil dan lebih simetris dari biasanya pada usia
10 hingga 16 minggu, saat folikel rambut berkembang. (Dari Smith DW, Gong BT:
Teratologi 9:17, 1974. Hak Cipta © 1974. Dicetak ulang dengan izin dari Wiley-Liss, Inc,
anak perusahaan dari John Wiley & Sons, Inc) 7

2.6. meinfestasi dentokraniofasial sindrom Down


Otak
Mikrosefali, yang biasanya didefinisikan sebagai kepala kecil, diakibatkan oleh
pembentukan otak yang kecil (Gbr. 9-27). Baru-baru ini, telah diidentifikasi gen yang
berperan dalam mengatur pertumbuhan otak secara dramatis. Satu gen, ASPM
(ABNORMAL SPINDLE-LIKE MICROCEPHALYASSOCIATED), homolog dari gen
spindel abnormal Drosophila, mengalami mutasi pada bentuk yang paling umum dari
mikrosefali primer autosomal resesif pada manusia. ASPM memainkan peran penting
dalam neuroblas embrionik dalam fungsi gelendong mitosis normal, dan diekspresikan di
daerah yang berkembang biak di korteks serebral selama neurogenesis. 7-9

Gambar 2. 5. MRI yang menunjukkan kepala anak remaja dengan mikrosefali. kiri,
menunjukkan gambar yang diambil pada bidang sagital; kanan, menunjukkan gambar yang
diambil pada bidang koronal. 7
Kraniofasial
Gambaran kraniofasial yang paling umum ditemukan pada anak-anak dengan DS
adalah: hidung kecil, batang hidung yang rendah, langit-langit mulut yang sempit, pendek,
dalam dan tinggi, uvula bifid, rahang yang tidak berkembang, bibir sumbing, penutupan bibir
yang tidak sempurna, bibir hipotonik, lidah yang fisura, gerakan lidah yang tidak akurat dan
lambat serta perubahan pada erupsi gigi temporer dan permanen. 10-13

Gambar 2. 6. Brachycephaly,Craniosynostosis menghasilkan bentuk tengkorak yang berbeda,


tergantung pada jahitan mana yang terpengaruh, setelah penutupan dini masing-masing
jahitan, panah menunjukkan arah pertumbuhan yang dominan. 7
Brachycephaly dan dasar tengkorak, tulang frontal dan sinus paranasal berukuran
sangat kecil, yang menyebabkan penurunan ukuran sella turcica. Terdapat perataan dasar
tengkorak sebagai akibat dari hipoplasia vertikal struktur tengkorak. 5,7
Lidah
memberikan kesan besar yang tidak normal karena kelemahan otot dan posisi yang
anterior dan rendah di dalam mulut (makroglosia relatif). 9-14
Sindrom down memiliki kebiasaan bernapas melalui mulut , menunjukkan gigitan
yang terbuka dan otot-otot orofasial yang hipotonik, terjadi penutupan yang tidak
sempurna pada bibir. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam perkembangan
orofasial yang menyebabkan maloklusi dan malformasi kraniofasial seperti hipoplasia
pada bagian tengah wajah . 9-14
Karena adanya lidah yang menonjol dan hipotonisitas otot, anak-anak ini memiliki
masalah motorik oral (terlihat saat menelan, mengunyah, dan menghisap). Hipotonisitas
dikaitkan dengan kelemahan ligamen, yang mudah terlihat di seluruh tubuh. Hal ini
menyebabkan sendi yang hiperfleksibel, yang dapat membahayakan ligamen periodontal.
Kelebihan air liur pada komisura labial juga berhubungan dengan hipotonisitas otot dan
dapat menyebabkan iritasi, keretakan (angular cheilitis), ulkus aftosa dan kondisi infeksi
seperti kandidiasis.9-14
Craniosynostosis
Craniosynostosis, penutupan jahitan yang terlalu dini, mempengaruhi sekitar 1 dari
2500 anak. Jahitan, yang terjadi di mana dua tulang selaput bertemu, mengandung sel
progenitor yang akan memunculkan sel tulang baru, yaitu osteoblas. Ini adalah tempat
di mana pertumbuhan tulang membran terjadi. Craniosynostosis dapat disebabkan
oleh mutasi gen atau kelainan kromosom dan terjadi pada banyak sindrom, termasuk
sindrom down.7
Craniosynostosis juga dapat merupakan konsekuensi dari faktor lingkungan seperti
lingkungan intrauterin yang terbatas atau paparan teratogen, jahitan sagital dan
koronal paling sering terpengaruh, Penutupan pada satu jahitan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan pada jahitan lainnya, sehingga merusak otak dan tengkorak,
yang mengembangkan deformasi karakteristik tergantung pada jahitan yang ditutup.
Di sini, jahitan koronal telah ditutup, sehingga kepala tidak dapat tumbuh panjang,
dan sekarang otak yang sedang berkembang memaksa pertumbuhan di sepanjang
jahitan lainnya, hasilnya adalah kelainan bentuk tengkorak, dengan kemungkinan
perubahan fungsi neurologis, peningkatan tekanan intrakranial, dan ketidakmampuan
untuk memberi makan dan menutup mata, bersama dengan kelainan pernafasan dan
pendengaran. brachycephaly menggambarkan tengkorak yang lebar dan pipih;
(Gbr.2.6).7

Anomali oklusal
Keterbelakangan tulang-tulang wajah tengah sering terjadi, menyebabkan langit-langit
mulut yang lebih pendek pada dimensi anteroposterior. Kelainan oklusal yang paling
sering terjadi berasal dari variasi dimensi vertikal dan transversal (gigitan terbuka
anterior, gigitan silang posterior, dan pengurangan lengkung rahang atas). Anomali ini
menyebabkan masalah yang berkaitan dengan fungsi mulut (mengunyah, menelan dan
berbicara).15-18
Oredugba menemukan 51% maloklusi gigi kelas I dan 47% kelas III di antara 43
individu dengan DS dan hanya 5% kelas III pada kelompok kontrol (individu tanpa DS),
menyimpulkan bahwa kelas II memiliki insiden yang lebih tinggi pada individu dengan
DS dibandingkan dengan populasi umum. 15-18
Mushish dan Soares dkk. menyimpulkan bahwa kelas III lebih sering terjadi pada
individu dengan DS. Secara anatomis, sepertiga bagian tengah wajah kurang berkembang
tetapi mandibula mengikuti perkembangan normal (pseudo-progeny). Displasia wajah
tengah ini juga berkontribusi pada rahang atas yang sempit. 15-18
Pengukuran mandibula tidak berbeda secara signifikan dengan subjek normal. Namun,
ekspansi melintang dapat terjadi karena tekanan lingual. Perbedaan antar-maksila ini
mencegah terjadinya posisi interkuspal yang optimal, yang diperlukan untuk
menstabilkan mandibula dan tulang hyoid selama pengunyahan dan menelan. 15-18
Oliveira dkk. menemukan prevalensi gigitan silang posterior sebesar 31% dan gigitan
silang anterior sebesar 33% pada kelompok anak-anak DS dan Soares dkk.
mengidentifikasi gigitan silang posterior sebesar 39% dan gigitan silang anterior sebesar
26% dari sampel mereka. Gigitan silang anterior terutama disebabkan oleh defisiensi
anteroposterior perkembangan lengkung rahang atas, yang mengakibatkan gigitan silang
pada rahang bawah, yang memproyeksikan lengkung tulang rahang ke arah depan rahang
atas. 15-18
Gigitan terbuka anterior biasanya ditemukan pada anak-anak DS. Otot-otot mulut dan
wajah, khususnya lidah dan bibir, mengalami hipotonik. Dorongan lidah dan postur
tubuh dapat menghambat erupsi yang cukup untuk menyebabkan gigitan terbuka anterior
dan mempengaruhi bentuk lengkung gigi dan posisi gigi. Biasanya anak-anak ini
memiliki langit-langit yang tinggi, hipertrofi amandel, hipotonia dan obstruksi hidung,
yang menyebabkan mulut bernapas dan oleh karena itu gigitan terbuka anterior adalah
hal yang umum terjadi. Maloklusi berasal dari perubahan vertikal dan/atau horizontal dan
terjadinya pada pasien DS meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena
pembatasan pertumbuhan kraniofasial, disfungsi motorik oral, dan hipotonisitas orofasial
umum. Di sisi lain, perkembangan tulang yang tidak mencukupi yang terkait dengan
gangguan otot-otot wajah dapat menyebabkan kekuatan penutupan bibir yang lemah, air
liur dan kelainan oklusal. Semua faktor ini, terkait dengan lidah yang hipotonik dan
menonjol menyebabkan gangguan pernapasan dan ortodontik serta masalah bicara,
menghisap, mengunyah, dan menelan. 15-18
Gigi
Hipoplasia, penempatan yang tidak teratur, karies yang lebih sedikit dari biasanya,
penyakit periodontal. 15-18
Anomali gigi sangat umum terjadi, baik pada gigi sulung maupun gigi permanen dan
terjadi dengan insidensi lima kali lebih besar pada individu DS dibandingkan dengan
populasi umum. 15-18
Kelainan pada jumlah (lebih sedikit), ukuran (lebih kecil) dan morfologi serta waktu
perkembangannya (gigi terlambat) merupakan ciri khas dari sindrom ini. Pada gigi
sulung, gigi yang paling sering hilang adalah gigi insisivus lateral, sedangkan pada gigi
permanen, gigi molar ketiga, gigi premolar kedua dan gigi insisivus lateral, dalam urutan
ini, adalah gigi yang paling sering hilang. 15-18
Pasien dengan DS memiliki mineralisasi gigi yang lengkap, erupsi gigi yang tertunda
(enam sampai delapan belas bulan) perubahan urutan erupsi (terutama pada gigi sulung),
tingginya insiden gigi impaksi (gigi seri dan gigi taring) dan agenesis gigi. Mikrodontia,
hipoplasia email, hipodontia gigi sulung dan oligodontia adalah kelainan gigi yang paling
sering terjadi. Kelainan struktural termasuk taurodontia, gigi berbentuk pasak, fusi dan
geminasi. Gigi taring adalah yang paling terpengaruh dalam hal bentuk dan ukuran. 15-18

Gambar 2. 7. Anak laki-laki berusia 9 tahun dengan Ts21 standar: Penampilan wajah ([a dan
b] frontal dan [c] profil: Mikrosefali ringan, dahi menonjol, hipoplasia mid-facial, batang
hidung datar, hidung pendek yang terbalik, telinga kecil dengan seting rendah, mulut terbuka,
lidah menonjol, leher pendek); sefalometri lateral ([d] Maloklusi kelas III); intraoral ([e-i]
gigitan terbuka, gigi bercampur dengan erupsi gigi insisivus atas dan bawah permanen dan
molar 6 tahun, langit-langit sempit, gigi bebas karies); radiografi panoramik ([j] gigi
bercampur, tidak adanya kuncup gigi molar ketiga kanan atas, resorpsi tulang terpisah pada
daerah gigi insisivus bawah).18
Gambar 2. 8. Anak laki-laki berusia 9 tahun dengan Ts21 standar: Penampilan wajah ([a dan
b] frontal dan [c] profil: Mikrosefali ringan, dahi menonjol, hipoplasia mid-facial, batang
hidung datar, hidung pendek yang terbalik, telinga kecil dengan seting rendah, mulut terbuka,
lidah menonjol, leher pendek); sefalometri lateral ([d] Maloklusi kelas III); intraoral ([e-i]
gigitan terbuka, gigi bercampur dengan erupsi gigi insisivus atas dan bawah permanen dan
molar 6 tahun, langit-langit sempit, gigi bebas karies); radiografi panoramik ([j] gigi
bercampur, tidak adanya kuncup gigi molar ketiga kanan atas, resorpsi tulang terpisah pada
daerah gigi insisivus bawah).18
Taurodontisme
kelainan gigi yang paling umum terlihat pada pasien sindrom Down. Moraes dkk.
menyelidiki kejadian taurodontisme pada 49 subjek dengan sindrom Down dan
ditemukan pada 42 orang dengan 238 gigi yang terlibat (85,71%).5 Cuoghiet dkk.
mengevaluasi 105 pasien dengan sindrom Down dan 9,52% mengalami taurodontisme.
Anodontia sejati, atau ketiadaan gigi bawaan, dapat terdiri dari dua jenis, total dan
parsial. Hal ini jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan displasia ektodermal.
Anodontia false terjadi karena pencabutan semua gigi dan juga dikenal sebagai
anodontia pseudo. Partial anodontia/oligodontia/hipodontia yang sebenarnya
melibatkan satu atau lebih gigi dan gigi geraham ketiga, gigi seri lateral rahang atas,
dan gigi premolar kedua yang umumnya terkena. Pada pasien sindrom Down, Moraes
dkk. menyelidiki kejadian anodontia dan ditemukan pada 17 individu dengan 44 gigi
yang terlibat yang mewakili 39,2%.19-20
Hipodontia lebih sering terjadi pada rahang atas daripada rahang bawah pada anak-
anak sindrom Down. Gigi yang paling sering hilang secara kongenital pada hipodontia
adalah gigi insisivus lateral atas, gigi premolar kedua atas, gigi insisivus lateral bawah
dan gigi premolar kedua bawah dan paling banyak ditemukan pada populasi wanita.1
Hipodontia sering dikaitkan dengan kelainan lain termasuk perkembangan gigi yang
terlambat, morfologi gigi yang tidak normal, seperti mikrodontia, bentuk mahkota yang
mengerucut, hipoplasia email, terjadinya gigi supernumerary secara bersamaan. Cuoghi
dkk. mengamati 105 individu dengan sindrom Down, dari jumlah tersebut 17 individu
(16,19%) mengalami hipodontia. Andersson dkk. melakukan penelitian pada 26 anak
dengan sindrom Down dan hipodontia ditemukan pada 16 anak (61,5%).1 van
Marrewijk dkk. membagi kelompok 63 individu dengan sindrom Down menjadi
kelompok dengan dan tanpa hipodontia.6 Kelompok dengan hipodontia terdiri atas 38
subjek dan 47,4% mengalami kehilangan gigi baik di anterior maupun di posterior
rahang.19-20

REFERENSI :
1. Asim et al. Down syndrome: an insight of the disease. Journal of Biomedical Science
(2015) 22:41.
2. Irdawati, Muhlisin A. Sindrom Down pada anak ditinjau dari segi biomedik dan
penatalaksanaannya. ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 47-50.
3. Reed E.P. Medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-Hill
Companies. 44th ed. 2005. p 1670
4. Situmorang C. Hubungan Sindroma Down dengan umur ibu, pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, dan factor lingkungan. Jurnal Kedokteran Indonesia, Vol. 2 No.
1; Januari, 2011.
5. jones Kl, Jones Mc, Campo M Del. Smith’s Recognizable Patterns Of Human Malformation.
8th Ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Inc.; 2022.
6. Dey S. Genetics and Etiology of Down Syndrome.; 2012. doi:10.5772/736
7. SChoenwolf GC, Bleyl SB, Brauer P r., Francis-west P h. Larsen’s Human Embryology. Vol
12. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2015. doi:10.1088/1748-0221/12/09/P0900
8. Macho V, Coelho A, Areias C, Macedo P, Andrade D. Craniofacial features and
specific oral characteristics of Down syndrome children. Oral Health Dent Manag.
2014;13(2):408-411. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24984656.
9. Sjarif W. Deciduous teeth eruption in full and mosaic type of Down’s Syndrome patient.
Dent J (Majalah Kedokt Gigi). 2005;38(4):183. doi:10.20473/j.djmkg.v38.i4.p183-184
10. Doriguêtto PVT, Carrada CF, Scalioni FAR, et al. Malocclusion in Children and Adolescents
with Down Syndrome: A Systematic Review and Meta-Analysis. Vol 29.; 2019.
doi:10.1111/ipd.12491
11. Nasreddine G, El Hajj J, Ghassibe-Sabbagh M. Orofacial clefts embryology, classification,
epidemiology, and genetics. Mutat Res - Rev Mutat Res. 2021;787:108373.
doi:10.1016/j.mrrev.2021.108373
12. Desingu V, Adapa A, Devi S. Dental Anomalies in Down Syndrome Individuals: A Review.
J Sci Dent. 2019;9(1):6-8. doi:10.5005/jp-journals-10083-0902
13. SVSG N, Dasaraju R. Dental Concerns of Children with Cystic Fibrosis – An Overview. J
Dent Orofac Surg. 2016;01(03). doi:10.19104/jdos.2016.114
14. Yamaguchi T, Hosomichi K, Shirota T, Miyamoto Y, Ono W, Ono N. Primary failure of
tooth eruption: Etiology and management. Jpn Dent Sci Rev. 2022;58:258-267.
doi:10.1016/j.jdsr.2022.08.002
15. Alessandri-Bonetti A, Guglielmi F, Mollo A, Sangalli L, Gallenzi P. Prevalence of
Malocclusions in Down Syndrome Population: A Cross-Sectional Study. Med. 2023;59(9):1-
12. doi:10.3390/medicina59091657
16. Pelleri MC, Locatelli C, Mattina T, et al. Partial trisomy 21 with or without highly restricted
Down syndrome critical region (HR-DSCR): report of two new cases and reanalysis of the
genotype–phenotype association. BMC Med Genomics. 2022;15(1):1-12.
doi:10.1186/s12920-022-01422-6
17. Singh A, Bhatia HP, Sharma N. Coexistence of fusion and concrescence of primary teeth: in a
child with Down syndrome. Spec Care Dent. 2017;37(3):147-149. doi:10.1111/scd.12218
18. Severin E, Pǎun A, Baltag R, Stan A, Funieru C. Common, Rare, and Individual Oro-dental
Findings in People with Down Syndrome. J Int Oral Heal. 2016;8(10):964-968.
doi:10.2047/jioh-08-10-05
19. Stefanidis S, Dalben G da S. Pediatric Dentistry for Special Child. 1st ed. (Gupta PV, Hegde
AM, eds.). NEW DELHI,INDIA: JAYPEE THE HEALTH SCIENCES PUBLISHER; 2016.
20. Möhlhenrich SC, Schmidt P, Chhatwani S, et al. Orofacial findings and orthodontic treatment
conditions in patients with down syndrome – a retrospective investigation. Head Face Med.
2023;19(1):1-13. doi:10.1186/s13005-023-00362-5

Anda mungkin juga menyukai