Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


SINDROM DOWN

Disusun Oleh:
Dewi Arista
(11.2016.294)

Pembimbing:
dr. Mustari, Sp.A

KEPANIRAAN KLINIK
STASE ILMU KESEHATAN ANAK RSUD TARAKAN
JAKARTA
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
KRIDA WACANA
2018
PENDAHULUAN
Sindrom Down adalah salah satu penyebab paling utama dari gangguan intelektual
serta gangguan berbagai macam masalah kesehatan termasuk masalah belajar dan ingatan,
Penyakit Jantung Bawaan (PJB), penyakit Alzheimer (AD), leukemia, kanker, dan penyakit
Hirschprung (HD). Kejadian Sindrom Down dipengaruhi oleh usia ibu dan memiliki angka
kejadian yang berbeda pada setiap populasi (antara 1 dari 319 sampai 1 dari 1000 kelahiran
hidup). Kemajuan terbaru dalam perawatan medis dan dengan dukungan social telah
meningkatkan harapan hidup untuk sindroma down. Di Negara maju, rentang hidup rata-rata
untuk populasi sindrom down adalah 55 tahun.1
Penyakit Sindrom Down sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr. Langdon Down
dari Inggris, tetapi baru pada awal tahun 60-an ditemukan diagnosis secara pasti yaitu dengan
pemeriksaan kromosom. Dahulu penyakit ini diberi nama Mongoloid karena penderita
penyakit ini mempunyai wajah seperti bangsa Mongol. Tetapi setelah diketahui bahwa
penyakit ini terdapat pada seluruh bangsa di dunia , dan sekitar 30 tahun yang lalu
pemerintah Republik Mongolia mengajukan keberatan kepada Badan Kesehatan Dunia
(WHO) yang menganggap nama tersebut kurang etis, maka WHO menganjurkan untuk
mengganti nama tersebut dengan Sindrom Down.2

DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, bentuk
kelainan kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang
seharusnya dua buah menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47
buah. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom.
Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan
perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi
fisiologi tubuh.3
Sindrom Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Sindrom Down dapat disebut juga penyakit Mongoloid. Sindroma Down merupakan kelainan
kromosom yang paling sering terjadi. Akibat proses tersebut, terjadi guncangan sistem
metabolisme di dalam sel. Kelainan kromosom itu bukan merupakan faktor keturunan.3,4
Anak yang menyandang sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan
kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan
mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali mengalami perkembangan tubuh yang
abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah, penyakit jantung bawaan, alzheimer,
leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain.5

EPIDEMIOLOGI
Sindrom Down merupakan suatu cacat pada anak yang paling sering terjadi di dunia,
disebabkan karena kelainan kromosom. Diperkirakan insidensinya 1.0 - 1.2 per 1000
kelahiran hidup. Pada tahun 2006, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di Amerika Serikat
(5429 kasus baru per tahun). Sindrom Down merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting. Di Indonesia prevalensi sindrom Down lebih dari 300 ribu jiwa. Sindrom Down
dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi
dari orang hitam. Meskipun orangtua dari segala usia mempunyai kemungkinan untuk
mendapat anak yang menderita sindroma Down, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk
ibu yang usianya di atas 35 tahun.6

ETIOLOGI
Pada tahun 1990, Epstein mempostulasikan beberapa penyebab kelebihan kromosom
21, yaitu:2
1. Penuaan sel telur wanita (aging of ova), bahwa ada pengaruh intrinksik maupun
ekstrinsik (lingkungan) dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis
menjadi non-disjunction. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan
yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi. Dan pada saat wanita menjadi tua kondisi sel telur tersebut kadangkadang
menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami
pembelahan yang salah.
2. Keterlambatan pembuahan (delayed fertilization), akibat penurunan frekuensi
bersenggama pada pasangan tua dan mungkin juga pada ibu-ibu yang sangat muda, telah
meningkatkan kejadian keterlambatan pembuahan, dimana saat itu terjadi penuaan ovum
pada meiosis II setelah ovulasi.
3. Penuaan sel spermatozoa laki-laki (aging of sperm) pematangan sperma dalam alat
reproduksi pria, yang berhubungan dengan bersenggama infrekuen, berperan dalam efek
ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
Angka kejadian anak yang lahir menjadi down syndrome dikaitkan dengan usia ibu saat
kehamilan:
1) 15-29 tahun - 1 kasus dalam 1500 kelahiran hidup.
2) 31-34 tahun – 1 kasus dalam 800 kelahiran hidup.
3) 35-39 tahun – 1 kasus dalam 270 kelahiran hidup.
4) 40-44 tahun – 1 kasus dalam 100 kelahiran hidup.
5) Lebih dari 45 tahun -1 kasus dalam 50 kelahiran hidup.

KLASIFIKASI
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik.
Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga
kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari
tipe ini.
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini
merupakan 4% dari total kasus.
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan
biasanya kondisi si penderita lebih ringan.5,6
Berikut merupakan klasifikasi tingkat keparahan anak dengan Sindrom Down.
1) Anak Sindrom Down Ringan
Anak down syndrome ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang
pembendaharaan katanya, Mengalami kesukaran berpikir abstrak tetapi masih
mampu mengikuti mengikuti kegiatan akademik dalam batas-batas tertentu. Pada
umur 16 tahun baru mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12
tahun.
2) Anak Sindrom Down Sedang
Anak down syndrome sedang hampir tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran
akademik. Mereka umumnya dilatih untuk merawat diri dan aktivitas sehari-hari.
Pada umur dewasa mereka baru mencapai tingkat kecerdasan yang sama dengan
umur 7 tahun.
3) Anak Sindrom Down Berat dan Sangat Berat
Anak down syndrome berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu
bertanggung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat
memelihara diri, tidak dapat membedakan bahaya atau tidak, kurang dapat
bercakap – cakap. Kecerdasannya hanya berkembang paling tinggi seperti anak
normal yang berusia 3 atau 4 tahun. Sifat pada kepala, muka dan leher : Mereka
mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pangkal
hidungnya pendek. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam.

PATOFISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian dalam
nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai struktur
tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai dengan jelas.
Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya untuk membentuk
untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul DNA yang tersusun dalam
urutan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang,
merupakan susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang
kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1
kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai
dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada
setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma
normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga
pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih besar untuk
mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah ada
non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan tidak
ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya
trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47
kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
Jika pada trisomi 21 karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada
kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan
yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua
cara:non-disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan
pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan Down syndrome mengalami non-
disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal.

Gambar 1. Kariotipe Trisomi 213


Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki
46 kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46 t(14 q 21q).
Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah
kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi
14q21q. Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t(14q21q).
Perkawinan laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier Down syndrome secara
teoritis menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome.7

MANIFESTASI KLINIS
Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang kurang
dari normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr atau kurang.
Secara fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma Down yaitu:1,8
• Sutura sagitalis yang terpisah
• Fisura palpebralis yang oblique
• Jarak yang lebar antara jari kaki I dan II
• “plantar crease” jari kaki I dan II
• Hiperfleksibilitas
• Peningkatan jaringan sekitar leher
• Bentuk palatum yang abnormal
• Tulang Hidung hipoplasia
• Kelemahan otot
• Hipotonia (Kaplan)
• Bercak Brushfield pada mata
• Mulut terbuka
• Lidah terjulur
• Lekukan epikantus
• “single palmar crease” pada tangan kiri
• ”single palmar crease” pada tangan kanan
• “Brachyclinodactily” tangan kiri
• “Brachyclinodactily” tangan kanan
• Jarak pupil yang lebar
 Tangan yang pendek dan lebar
• Oksiput yang datar
• Ukuran telinga yang abnormal
• Kaki yang pendek dan lebar
• Bentuk atau struktur telinga abnormal
• Letak telinga yang abnormal
Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya umur
anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan berkurang dengan
bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya karakteristik dengan frekuensi
yang tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala tersebut dianggap sebagai “cardinal
sign” dan petunjuk diagnostik dalam mengidentifikasi sindroma Down secara klinis. Tetapi
yang perlu diketahui adalah tidak adanya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan
patognomonik pada sindroma Down. Bentuk muka anak dengan sindroma Down pada
umumnya mirip dengan ras Mongoloid.8

Gambar 2. Manifestasi klinis pada Sindrom Down.8

Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh

Temuan Fisik

Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka
sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom
Down mempunyai ciri – ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi
jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan
dislokasi tulang pinggul (6%).9
Bagi penderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada telapak tangan, hanya satu
lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren.7-9
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent Quatio (IQ)
mereka sering berada antara 20-85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan
meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. Penderita
sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar
dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa
ingin tahu yang tinggi.
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak – anak
sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa.
Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak,
kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor
usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan
dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang
lanjut usia.
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang
rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang
lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena
fissure palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik – titik Brushfield,
kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma
nutans dan keratoconus. Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna,
pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi
serta kerusakan periodontal yang jelas.1,7
Hematologi

Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,


termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi
yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari
progenitor myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang
terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient
Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal
Myelopoiesis (TAM).7

Penyakit Jantung Kongenital

Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam
dua tahun pertama kehidupan.
Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular Septal Defects
(AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal
Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan
Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis(9%). Kira - kira 70% dari endocardial
cushion defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira – kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka.6

Atrioventricular septal defects (AVD)

Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan


anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap
embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary
venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya
berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan
pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shuntpada atrium dan
ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara
lain takipnu dan penurunan berat badan.
AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan ada salah satu, atau
kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan jantung pada
bagian superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi
intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan
terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta.
Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur
pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita
mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium primum pada
septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum
ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada
ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia.
Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti
dengan gagal jantung kongestif.6

Ventricular Septal defect (VSD)

Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects,
Transposition of Great Arteries (TGA).6

Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang
sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah
yang kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of
fallot. Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada
katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel
kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk
bekerja lebih kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah
ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua
ventrikel, akan menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan
menimbulkan gejala klinis berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal.
Keempat adalah pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang
minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang
atau berat, darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih
berat.6

Immunodefisiensi

Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia.6

Sistem Gastrointestinal

Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa
dan Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down
adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human
leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan
yang kuat antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.6,7

Sistem Endokrin

Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada


sistem endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah,
sekitar 8 hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat.
Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer,
autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah
sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya umur.6-8
Gangguan Psikologis

Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.
Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder
(ADHD), Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan
gangguan spektrum Autisme.9

Trisomi 21 mosaik

Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel – sel
trisomik yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh.9

DIAGNOSIS
Tidak ada kritera diagnosis khusus untuk sindroma Down. Namun, retardasi mental
merupakan gambaran yang menumpang tindih dengan sindroma Down. Sebagian besar orang
dengan sindroma ini mengalami retardasi mental sedang atau berat, hanya sebagian kecil
yang memiliki IQ diatas 50. Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6
bulan dan nilai IQ secara bertahap menurun dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga
sekitar 30 pada usia yang lebih tua. Penurunan intelegensi dapat nyata atau jelas: uji infantil
mungkin tidak mengungkapkan tingkat defek sepenuhnya, yang mungkin tertungkap ketika
uji yang lebih canggih digunakan pada masa kanak-kanak awal. 1 Derajat atau tingkat
retardasi mental diekspresikan dalam berbagai istilah. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) memberikan empat tipe
retardasi mental, yang mencerminkan tingkat gangguan intelektual antara lain: retardasi
mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Adapun kriteria diagnostik untuk retardasi
mental menurut DSM-IV antara lain :10

a. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata: IQ kira-kira 70 atau


kurang pada tes IQ yang dilakukan secara individual (untuk bayi, pertimbangan klinis adanya
fungsi intelektual yang jelas di bawah rata-rata)
b. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif sekarang (yaitu,
efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya
dalam kelompok kulturalnya) pada sekurangnya dua bidang keterampilan berikut:
komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
masyarakat, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan,
kesehatan, dan keamanan.
c. Onset sebelum usia 18 tahun

Penulisan didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan


intelektual:
a. Retardasi mental ringan : tingkat IQ 50-55 sampai 70
b. Retardasi mental sedang : tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
c. Retardasi mental berat : tingkat IQ 20-25 sampai 35-40
d. Retardasi mental sangat berat : tingkat IQ dibawah 20 atau 25
e. Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan kuat adanya
retardasi mental tetapi inteligensi pasien tidak dapat diuji oleh tes inteligensi baku.

Untuk gangguan kromosom dan metabolik, seperti sindroma Down, fragile X


syndrome, dan fenilketonuria (PKU) merupakan gangguan yang sering dan biasanya
menyebabkan sekurangnya retardasi mental sedang.13
Diagnosis Sindrom Down dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan
intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak
sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit
dan wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal
perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat
digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining.
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua
adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita
sindrom Down atau tidak.
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency
(NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah
cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom
Down dapat dikenal pasti dengan tehnik ini.
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang
disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan
hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi
bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung.

b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya
diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan pemeriksaan yang
berguna untuk diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi terutama sindroma Down, di
mana dengan mengambil sejumlah kecil cairan amniotik dari ruang amnion secara
transabdominal antara usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosentesis dianjurkan untuk semua
wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.

c. Chorionic villus sampling (CVS)


CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan
diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu
kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.

d. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)


PUBS adalah tehnik di mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah
lebih tinggi.

e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping sangat
penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom Down,
karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling genetik yang
tepat.
f. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)
FISH dapat digunakan untuk diagnosis cepat. Hal ini dapat berhasil di kedua
diagnosis prenatal dan diagnosis pada periode neonatal. Mosaicism yang tersembunyi untuk
trisomi 21 sebagian dapat menerangkan hubungan yang telah dijelaskan antara sejarah
keluarga sindroma Down dan risiko penyakit Alzheimer. Skrining untuk mosaicism dengan
FISH diindikasikan pada pasien tertentu dengan gangguan perkembangan ringan dan mereka
dengan Alzheimer onset dini.

g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan fisik.

h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial
bones dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk
menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan
sebelum anesthesia diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression. Penurunan
sudut iliac dan acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.

Diagnosa Banding Sindroma Down

Penyakit Angka Kelainan Keterangan Prognosis


kejadian
Trisomi 21 1 dari 700 bayi Kelebihan Perkembangan Biasanya bertahan
(Sindroma baru kromosom fisik & mental sampai usia 30-40
Down) Lahir 21 terganggu, tahun
ditemukan
berbagai
kelainan fisik
Trisomi 18 1 dari Kelebihan Kepala kecil, Jarang bertahan
(Sindroma 3.000 bayi kromosom telinga terletak sampai lebih dari
Edwards) baru lahir 18 lebih rendah, beberapa bulan;
celah bibir/celah keterbelakangan
langit-langit, mental yg terjadi
tidak memiliki sangat berat
ibu jari tangan,
clubfeet, diantara
jari tangan
terdapat selaput,
kelainan jantung
& kelainan
Saluran kemih.

Trisomi 13 1 dari Kelebihan Kelainan otak & Yang bertahan


(Sindroma 5.000 bayi kromosom mata yg berat, hidup
Patau) baru lahir 13 celah bibir/celah sampai lebih dari 1
langit-langit, tahun, kurang dari
kelainan jantung, 20%;
kelainan saluran keterbelakangan
kemih-kelamin mental yg terjadi
& kelainan sangat berat
bentuk telinga

PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat
mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan
sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik
maupun mentalnya.

MEDIKAMENTOSA

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya
kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita
semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta
pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisioterapi
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik kasar
untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan untuk tahap
perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan cara/gerakan yang tepat
(appropriate ways). Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down Syndrome
dapat menyebabkan pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu
posturnya, hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya,
sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur. Dapat dilakukan seminggu
sekali.
2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan
sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS tergantung
pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan tidak
memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan
koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
4. Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-bahan
pelajaran dari sekolah biasa.
5. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik
kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan
terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
6. Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy). Mengajarkan anak DS yang sudah
berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
7. Terapi alternatif. Penaganan yang dilakukan oleh orangtua tidak hanya penanganan
medis tetapi juga dilakukan penanganan alternatif. hanya saja terapi jenis ini masih
belum pasti manfaatnya secara akurat karena belum banyak penelitian yang
membuktikan manfaatnya, meski tiap pihak mengklaim dapat menyembuhkan DS.
Terapi alternatif tersebut di antaranya adalah :
Terapi Akupuntur. Dengan cara menusuk titik persarafan pada bagian tubuh
tertentu dengan jarum. Titik syaraf yang ditusuk disesuaikan dengan kondisi sang
anak.
Terapi Musik. Anak dikenalkan nada, bunyi-bunyian, dll. Anak-anak sangat
senang dengan musik maka kegiatan ini akan sangat menyenangkan bagi mereka
dengan begitu stimulasi dan daya konsentrasi anak akan meningkat dan
mengakibatkan fungsi tubuhnya yang lain juga membaik
Terapi Lumba-Lumba. Terapi ini biasanya dipakai bagi anak Autis tapi hasil
yang sangat mengembirakan bagi mereka bisa dicoba untuk anak DS. Sel-sel saraf
otak yang awalnya tegang akan menjadi relaks ketika mendengar suara lumba-lumba.
Terapi Craniosacral. Terapi dengan sentuhan tangan dengan tekanan yang
ringan pada syaraf pusat. Dengan terapi ini anak DS diperbaiki metabolisme tubuhnya
sehingga daya tahan tubuh lebih meningkat.
Terapi-terapi alternatif lainnya, ada yang berupa vitamin, supplemen maupun
dengan pemijatan pada bagian tubuh tertentu.

PROGNOSIS
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik.
Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan
jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis. Sebesar 44%
penderita sindroma Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun.
Meningkatnya risiko terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi
normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44
tahun.
Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar
85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih
dari 50 tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia
penderita sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan
meningkatkan mortalitas.
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan
adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi
pada saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media,
Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri
Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung.
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil
dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran,
visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak –
anak dengan sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan
kemampuan interpersonal.

PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi
ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down syndrome atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki resiko melahirkan anak dengan Down syndrome lebih tinggi. Down Syndrome
tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah
kromosom. Deteksi dini sindrom Down dilakukan pada usia janin mulai 11 minggu (2,5
bulan) sampai 14minggu. Dengan demikian, orangtua akan diberi kesempatan memutuskan
segala hal terhadap janinnya. Jika memang kehamilan ingin diteruskan, orangtua setidaknya
sudah siap secara mental.
Amniocentesis - Merupakan prosedur invasif di mana jarum melewati perut ibu
bagian bawah ke dalam rongga ketuban dalam rahim. Cairan ketuban yang cukup akan
dicapai mulai sekitar 14 minggu kehamilan. Untuk diagnosis prenatal, kebanyakan
amniocenteses dilakukan antara 14 dan 20 minggu kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) – dilakukan antara minggu 11-12 kehamilan. Dalam
prosedur ini, sebuah kateter dimasukkan melalui vagina melalui leher rahim dan masuk ke
dalam rahim ke berkembang ke plasenta di bawah bimbingan USG. Pendekatan alternatifnya
adalah transvaginal dan transabdominal. Penggunaan kateter memungkinkan sampel sel dari
chorionic vili plasenta. Sel-sel ini kemudian akan dilakukan analisis kromosom untuk
menentukan kariotipe janin.
Konseling genetik juga menjadi alternatif yang sangat baik, karena dapat menurunkan
angka kejadian sindrom down. Dengan biologi molekular misalnya Gene targeting atau
Homologous recombination gene dapat dinon-aktifkan. Sehingga suatu saat gen 21 yang
bertanggung jawab terhadap munculnya fenotip sindrom down dapat di non aktifkan.6-8

KESIMPULAN
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada kromosom nomor
21 sehingga kelainan ini disebut trisomi 21. Anak yang menyandang sindroma Down ini
akan mengalami keterbatasan kemampuan mental dan intelektual, retardasi mental ringan
sampai sedang, atau pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu, penderita seringkali
mengalami perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh yang relatif lemah,
penyakit jantung bawaan, alzheimer, leukemia, dan berbagai masalah kesehatan lain.
Diagnosis sindroma Down dapat ditegakkan melalui penelusuran riwayat penyakit dan
wawancara psikiatrik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (pemeriksaan sitogenik,
amniosentesis, interphase fluorescence in situ hybridization (FISH), ekokardiografi, dan
skeletal radiografi). Penderita sindroma Down ini biasanya bertahan sampai usia 30-40
tahun. Pada penderita sindroma Down biasanya ditemukan adanya kelainan jantung bawaan,
seperti defek septum ventrikel dan meningkatnya resiko terkena leukemia. Jika terdapat
kedua penyakit tersebut, maka angka harapan hidupnya berkurang, tetapi jika kedua penyakit
tersebut tidak ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa.
Daftar Pustaka
1. Asim et al. Down syndrome: an insight of the disease. Journal of Biomedical Science
(2015) 22:41.
2. Irdawati, Muhlisin A. Sindrom Down pada anak ditinjau dari segi biomedik dan
penatalaksanaannya. ISSN 1979-2697, Vol. 2 No. 1, Maret 2009: 47-50.
3. Fishler K, and Koch R. Mental Development in Down syndrome mosaicism.
American Journal of Mental Retardation 1991; 96 (3): 345-351.
4. Adkinson R.L, Brown M.D. Disorders of gender differentiation and sexual
development in Elsevier’s Integrated Genetics 2007. p 17-20.
5. Reed E.P. Medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-Hill
Companies. 44th ed. 2005. p 1670
6. Situmorang C. Hubungan Sindroma Down dengan umur ibu, pendidikan ibu,
pendapatan keluarga, dan factor lingkungan. Jurnal Kedokteran Indonesia, Vol. 2 No.
1; Januari, 2011.
7. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on
February 27th 2018.
8. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Available at
http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.html.
9. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the
United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:1565-
1571.
10. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.

Anda mungkin juga menyukai