Disusun oleh
dr. Raissa Hartanto
Pembimbing
Dr.dr. Trilaksana Nugroho,Mkes,FISCM, Sp.M(K)
ii
3.5.3.2. Angiografi...............................................................................30
3.5.3.3. Ultrasonografi.........................................................................31
3.6. Diagnosis Banding............................................................................................31
3.6.1. Trombosis sinus kavernosus.................................................................31
3.6.2. Oftalmopati tiroid..................................................................................32
3.6.3. Malformasi arteri vena..........................................................................33
3.7. Penatalaksanaan................................................................................................35
3.7.1. Terapi mata...........................................................................................35
3.7.1.1. Farmakologi.............................................................................35
3.7.1.2. Non Farmakologi.....................................................................35
3.7.2. Terapi bedah saraf.................................................................................36
3.7.3. Terapi radiologi intervensi....................................................................37
3.8. Prognosis...........................................................................................................39
BAB IV Ringkasan..................................................................................................40
Daftar Pustaka..........................................................................................................42
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Carotid Cavernous Fistula (CCF) atau fistula karotis kavernosa (CCF) adalah
interaksi abnormal antara arteri dan vena dalam sinus kavernosa, yaitu antara arteri
karotis dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh adanya trauma pada
dasar tengkorak, diklasifikasikan sebagai fistula langsung dan dural.1 Fistula karotis
kavernosa adalah salah satu lesi vaskular intrakranial yang paling awal yang diakui
dalam sejarah karena untuk gambaran klinis yang jelas seperti pulsating
exophthalmos.2 Hipertensi vena dan kongesti yang terjadi menimbulkan gejala khas
dari diplopia, penurunan ketajaman visual, proptosis, dan kemosis yang terlihat pada
pasien. Kebanyakan fistula bersifat unilateral, walaupun jarang terjadi secara
bilateral.3 CCF diklasifikasikan menggunakan klasifikasi Barrow. Tipe A CCF adalah
koneksi aliran tinggi langsung antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus. Tipe
B – D CCF adalah koneksi tidak langsung aliran rendah; faktor risiko termasuk
aterosklerosis, hipertensi, diabetes, dan penyakit kolagen.4
1
BAB II
ANATOMI SINUS KAVERNOSUS
Secara anatomi, sinus kavernosus merupakan ruang vena, suatu trabekula sinus
vena yang berlokasi antara selubung dari duramater dan bersebelahan dengan sela
tursika dengan arteri karotis interna dan beberapa saraf kranial melewatinya. Sinus
kavernosus merupakan pertemuan vena yang dibungkus oleh lapisan dura dan
berlokasi pada sisi medial fossa kranial media dan lateral dari daerah sellar. 10,11 Ciri
khas sinus kavernosus yaitu adanya hubungan yang erat antara aliran vena dengan
sejumlah nervus kranial. Segmen horizontal arteri karotis interna dan N. abdusen (N
VI) melintasi sinus vena ini. N. okulomotorius (N III), n. troklearis (N IV), n.
trigeminal (N V) cabang pertama dan kedua berhubungan erat dengan dinding lateral
sinus kavernosus (Gambar 1).6,7
Sinus kavernosus mendapat aliran darah dari vena serebral dan oftalmik superior,
pleksus pterigoid dan vena oftalmik inferior, berakhir di posterior pada sinus petrosal
superior dan inferior yang mengalir ke sinus transversa dan vena jugular interna
(Gambar 2).
2
Gambar 2. Hubungan sinus kavernosus dengan sinus dural lainnya dan vena pada kepala dan leher.9
Sinus kavernosus terbagi atas empat ruangan vena dengan parameter jarak daerah
kavernosus dengan arteri karotis. Yaitu :
• Medial
• Antero inferior
• Postero superior
• Lateral
Bagian medial dari sinus kavernosus ini terletak antara glandula hipofisis dan
arteri karotis interna. Daerah ini mempunyai lebar 7 mm, tetapi bisa tidak nyata
apabila arteri berliku-liku. Bagian antero inferior berada pada kelengkungan dibawah
kurva pertama dari portio intrakavernosus dan arteri karotis. Nervus abdusen
memasuki daerah ini setelah melewati keliling arteri sebelah lateral. Bagian postero
superior berada antara arteri karotis dan sebelah posterior, setengahnya adalah atap
dari sinus kavernosus. Percabangan arteri meningohipofisis dari arteri karotis interna
terjadi didaerah ini. Ketiga daerah diatas lebih besar dibandingkan dengan bagian
lateral dari sinus kavernosus. Bagian lateral lebih sempit, ketika nervus abdusen
melewati daerah ini, nervus ini melekat ke arteri karotis interna dan sebelah lateralnya
3
adalah dinding sinus. Daerah kavernosus dari arteri karotis dan nervus abdusen
berlokasi dekat dengan badan sinus kavernosus dan merupakan trunkus
okulosimpatis.3-5,10,11
Sinus kavernosus dinamakan seperti ini karena sinus ini membentuk suatu
struktur yang reticular (gambar 3). Sinus ini juga membentuk suatu garis melintang
dengan filamen yang menjalin. Sinus membentuk struktur iregular dimana lebih
besar bagian samping dibandingkan dengan bagian depan, dan terletak diatas sisi
tulang sphenoidalis, memanjang dari fissura orbitalis superior ke bagian apeks
(puncak) dari portio petrous dari tulang temporal. Masing-masing sinus terbuka
kesamping ke arah sinus petrosal. Pada dinding medial dari masing-masing sinus
berjalan arteri karotis interna, bergabung dengan filamen dari pleksus karotis.
Berjalan dekat dengan arteri ini adalah nervus abdusen, didinding bagian lateral
adalah nervus okulomotor (N III) dan nervus trochlearis (N IV), berjalan juga seiring
adalah nervus oftalmika dan nervus maksilaris yang merupakan divisi dari nervus
trigeminus (gambar 4). 3-5,10,11
4
Gambar 4. Anatomi sinus kavernosus (potongan memanjang).
5
superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat digerakkan kearah
bawah dan nasal.
3. N. ophthalmic, V1 cabang dari N. trigeminal (CN V); yang mengurus
sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan
sebagian mukosa hidung
4. N. maxillary, V2 cabang dari CN V; yang mengurus sensibilitas rahang
atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan mukosa
hidung.
- Horizontal
1. A. interna (dan plexus sympathetic). Terlihat juga bagian cavernosus dari
a. carotis interna.
2. N. abducens (CN VI); berfungsi menggerakkan otot mata ekstraokular
dan mengangkat kelopak mata, di mana saraf ini menginervasi m. rektus
lateralis. Kerja otot ini menyebabkan lirik mata kearah temporal.
Struktur dari bagian sinus dipisahkan dengan adanya aliran darah sepanjang
aliran sinus dengan mengaliri membran dari sinus. Sinus kavernosus menerima aliran
darah dari (gambar 5): 12
• Vena orbitalis superior melalui fissura orbitalis superior.
• Vena serebralis dari sinus sphenoidalis yang kecil dimana berjalan sepanjang
bagian bawah dari bagian sayap kecil tulang sphenoidalis. Ini juga
berhubungan dengan sinus transverse dengan memakai sinus petrosal
superior.
• Vena jugularis interna melalui sinus petrosal inferior.
• Pleksus vena melalui foramen vasalii, foramen ovale dan foramen Lacerum.
• Vena – vena angularis melalui vena ophtalmika.
6
Gambar 5. Sistem vena menuju sinus kavernosus.
Vena oftalmika superior dan vena oftalmika inferior sama sekali tidak
mempunyai katup. Vena oftalmika superior mulai dari sudut sebelah dalam dari
orbita berada pada bagian dalam dari vena yang dinamakan naso frontal yang
berhubungan dengan anterior dengan vena angular, bagian ini mengikuti posisi
yang sama seperti arteri oftalmika, dan menerima anak-anak cabang dari cabang
pembuluh yang membentuk sebuah rangkaian tunggal yang pendek. Bagian ini lewat
antara dua ujung dari m. rektus superior dan m. obliquus superior dan melewati
bagian medial dari fisura orbitalis superior dan berakhir pada sinus kavernosus. 6,7,13
Vena oftalmika inferior, berjalan mulai dari jaringan vena pada bagian depan
dari lantai orbita, bagian ini menerima vena dari M. rektus inferior, M. obliqus
superior, sakus lakrimali, dan kelopak mata yang berjalan ke belakang pada bagian
bawah dari orbita dan membagi dalam dua cabang. Salah satu dari vena tersebut
berjalan melewati fissura orbitalis superior dan bergabung dengan pleksus vena
pterigoid, dimana yang lain masuk tulang kranial melalui fissura orbitalis superior
dan berakhir pada sinus kavernosus. 6,7,13
7
Masing-masing sinus kavernosus mempunyai hubungan bilateral melalui sinus
intra kavernosus dan sinus basilar. Sinus intra kavernosus ada dua bagian, yaitu
bagian anterior dan posterior, yang bejalan menggabungkan kedua sinus melalui garis
tengah. Bagian anterior berjalan melalui bagian depan melalui hipofisis serebral dan
bagian posterior disamping hipofisis serebri yang akhirnya membentuk siklus sinus
kavernosus yang mengelilingi hipofisis (gambar 6).6,7,13 Dalam kerangka anatominya,
sinus kavernosus sangat sulit untuk pecah/ ruptur karena struktur trabekulanya, tetapi
studi terbaru menunjukkan sinus kavernosus adalah pleksus vena dengan ukuran yang
bervariasi, dimana sinus ini bercabang dan bersatu. 6,7,13
8
BAB III
CAROTID CAVERNOUS FISTULA
3.1. Definisi
3.2. Epidemiologi
CCF mewakili sekitar 12% dari semua fistula arteriovenosa dural. Tipe A lebih
sering terjadi pada laki-laki muda. Jenis B, C, dan D lebih sering terjadi pada wanita
yang lebih tua dari 50 tahun, dengan rasio perempuan : laki-laki sekitar 7:1. Tidak
ada latar belakang ras tertentu yang terbukti berkolerasi dengan kecenderungan untuk
pengembangan CCF. Hampir semua pasien dengan direct fistula carotid cavernous
9
mengalami komplikasi okular yang progresif jika fistula ini tidak diobati.
Peningkatan proptosis, kemosis konjungtiva, dan hilangnya penglihatan yang terjadi
selama beberapa bulan sampai tahun dengan oklusi vena retina sentral dan glaukoma
sekunder merupakan komplikasi okular yang paling parah. Laki-laki lebih mungkin
untuk pengembangan CCF karena insiden meningkat karena trauma sedangkan
wanita yang menopause lebih mungkin untuk pengembangan CCF dural yang
spontan. Carotid cavernous fistula merupakan kelainan yang umumnya karena
traumatik pada kepala atau wajah dengan gambaran klinis yang khas, kejadian akut
dan progresif. Sekitar 25% CCF terjadi secara spontan, terutama pada perempuan
berusia paruh baya hingga perempuan berusia tua, dan mungkin terkait dengan
aterosklerosis, hipertensi sistemik, penyakit kolagen vaskular, kehamilan, gangguan
jaringan ikat (misalnya, Ehlers-Danlos), dan trauma minor. Sekitar 75% CCF
diakibatkan oleh trauma serebral seperti kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian,
dan jatuh. Luka yang terjadi dapat berupa luka penetrans atau nonpenetrans dan
mungkin berhubungan dengan fraktur tulang wajah atau basis tengkorak. CCF
iatrogenik juga dilaporkan setelah pembedahan trans-sphenoidal hipofisis,
endarterektomi, operasi sinus ethmoidal, dan prosedur perkutaneus gasserian dan
retro-gasserian.16
3.3. Patogenesis
Carotid cavernous fistula terjadi karena robeknya dinding dari arteri karotis
interna intrakavernosus atau cabangnya baik traumatic ataupun spontan. Hal ini
menyebabkan sirkulasi yang pendek dari darah arteri ke vena dari sinus kavernosus.
Carotid cavernous fistula langsung (merupakan jenis carotid-cavernous fistula yang
paling sering, sekitar 70-90%) ditandai oleh adanya hubungan langsung antara
segmen intrakavernosus dari arteri karotis interna dengan sinus kavernosus. Fistula
ini biasanya mempunyai kecepatan aliran darah arteri yang kuat dan umumnya
10
disebabkan oleh robekan traumatik pada dinding arteri. 16 Adanya hubungan antara
arteri carotis dengan sinus cavernosus dapat dibagi menjadi dua: Direct Fistula yaitu
fistula secara langsung terhubung antara arteri carotis internus dengan sinus
kavernosus dan Indirect Fistula yaitu terbentuknya fistula pada sinus kavernosus
berasal dari arteri yang ada pada duramater.10,17
Direct fistula terjadi biasanya disebabkan karena trauma kepala, di mana arteri
karotis pars cavernosa robek dan pada umumnya mempunyai aliran tinggi sehingga
gejala yang ditimbulkan dapat timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah mengalami kecelakaan dan perlu penanganan segera untuk menghidari
komplikasi yang ditimbulkan berupa gangguan penglihatan yang semakin berat.18
Bentuk CCF direct mungkin iatrogenik, terjadi setelah berbagai prosedur diagnostik
dan terapeutik, bentuk tersebut berkembang setelah berbagai prosedur yang
melibatkan arteri karotis interna, termasuk endarterektomi, kateterisasi, dan
percobaan embolisasi dari meningioma sinus kavernosus.
11
3.4. Klasifikasi
12
Gambar 9. CCF Tipe A-D
13
biasanya menunjukkan gambaran tortuous corkscrew yang khas, yang
merupakan patognomonik dari dural carotid-cavernous fistula.18
Ketajaman penglihatan berkurang secara patologi dapat dijelaskan dengan
adanya disfungsi dari retina, penurunan tekanan perfusi di arteri
optalmika dan peningkatan tekanan vena. Akibatnya terjadi hipoksia
kronik pada sel-sel retina.18
Anamnesis
a. Pada CCF direk, gejala biasanya muncul beberapa hari atau
beberapa minggu setelah trauma dengan trias gejala proptosis
pulsatil, kemosis konjungtiva, dan adanya bruit.
b. Adanya riwayat trauma atau riwayat operasi
c. Riwayat aterosklerosis, hipertensi sistemik, penyakit kolagen
vaskular, Pseudoxanthoma elasticum, penyakit jaringan ikat
(misalnya, sindrom Ehlers-Danlos), atau kehamilan
d. Keluhan bisa berupa
Mata merah
Diplopia
Bruit (suara dengung atau desah)
Penurunan visus
Bulging pada mata
Nyeri pada kepala dan daerah orbita
Status ophthalmologi yang bisa ditemukan pada penyakit carotid
cavernosus fistula adalah:2 Proptosis, Edema kelopak mata , Pulsasi pada
mata (terlihat dan / atau teraba), Pulsating exophthalmos, Bruit pada mata
, Konjungtiva arterialisasi dan kemosis, Keratopati eksposure, Pelebaran
pembuluh darah retina, Udem diskus optikus, Perdarahan intraretinal ,
Vitreous hemorrhage, Retinopati proliferatif , Oklusi vena retina sentralis,
14
Peningkatan tekanan intraokular, Glaukoma neovaskular, Glaukoma
sudut tertutup.
15
Gambar 12. Mata kiri menunjukkan (A) injeksi konjungtiva, edema kelopak
mata, dan proptosis. (B) Vena konjungtiva melebar dan berliku.
16
Pada pemeriksaan fundus didapatkan pembengkakan diskus
optikus, dilatasi vena dan perdarahan intraretinal dan
gangguan aliran darah retina.
Gangguan penglihatan: kehilangan penglihatan yang terjadi
langsung disebabkan oleh kerusakan Nervus optikus akibat
trauma kepala. Kehilangan penglihatan yang terjadi
kemudian dapat terjadi karena keratopati eksposure,
glaukoma sekunder, oklusi vena retina sentralis, iskemik
segmen anterior.
3.5.2.1 Proptosis
Proptosis adalah salah satu dari tanda-tanda yang paling umum
diamati pada pasien dengan CCF direct, terjadi pada hampir
17
semua pasien jika fistula ini tidak diobati. Dalam sebagian besar
kasus, proptosis berkembang pesat di sisi fistula, menjadi jelas
dalam beberapa hari meskipun beberapa kasus telah diuraikan di
mana proptosis telah berlangsung beberapa bulan atau bahkan
bertahun-tahun setelah trauma kepala. Pada beberapa pasien,
proptosis terjadi tidak hanya pada sisi fistula, tetapi juga di sisi
yang berlawanan. Pada sekitar sepertiga kasus dengan proptosis
bilateral, proptosis ini berkembang secara bersamaan pada kedua
sisi. Pada akhirnya, mata sebelahnya menjadi hari terkena
dampak untuk beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
mata yang pertama.
18
melebar, bagian medial kelopak mata atas dapat jauh meregang
dan bengkak.
19
3.5.2.4 Arterialisasi dari konjungtiva dan episklera vena
Darah arteri dipaksa masuk dari anterior ke dalam vena orbital,
konjungtiva dan pembuluh darah episcleral menjadi melebar,
berliku-liku, dan penuh dengan darah arteri. Arterialisasi
pembuluh konjungtiva ini merupakan ciri dari suatu CCF.
Luasnya arterialisasi dari konjungtiva dan pembuluh darah
episcleral bervariasi. Ini mungkin meluas atau terbatas pada
hanya dua atau tiga pembuluh darah.
20
peningkatan denyut nadi tidak mempengaruhi hanya mata, tapi
juga Pembuluh darah dari kelopak mata, orbita, dan sering fossa
temporal. Peningkatan Pulsasi mata mungkin berkembang
secepat pada CCF yang baru terbentuk mulai mengalir ke
anterior. Hal itu mungkin terdeteksi dalam beberapa jam setelah
trauma dengan cara observasi, palpasi, atau cara lain.
Applanation tonometry adalah metode efektif untuk mendeteksi
peningkatan Pulsasi okular, bahkan ketika Pulsasi tersebut tidak
terlihat, dan pneumotonometer dapat digunakan untuk mengukur
pulsasi mata abnormal, yang mungkin 2-5 kali orang-orang dari
mata normal. Ketika high-flow CCF direct anterior ke orbit,
mungkin menimbulkan baik denyut okular yang terlihat dan
proptosis: pulsasi exophthalmos.
21
3.5.2.7 Bruit
Pada banyak pasien dengan CCF direct, gejala awal adalah bunyi
dengung, berdesir, atau menderu suara yang sinkron dengan
detak jantung. Bruit ini terutama sistolik pada waktu, dan
biasanya meningkat ketika jantung berdetak secara aktif,
misalnya, selama aktivitas. Bruit biasanya menurun pada
amplitudo ketika pasien sedang beristirahat atau ketika arteri
karotis interna yang terkena dampak kompresi, meskipun
kegagalan kompresi karotis untuk menghilangkan bruit terdengar
di mata tidak mengecualikan kemungkinan suatu CCF. Sebuah
bruit yang dihasilkan oleh CCF direct terbaik terdengar ketika
stetoskop ditempatkan di atas pada mata yang terkena.
3.5.2.8 Diplopia
Diplopia terjadi pada sekitar 60-70% pasien dengan direct CCF.
Diplopia ini mungkin disebabkan oleh disfungsi dari satu atau
lebih dari saraf motorik okular, otot-otot ekstraokular, atau
keduanya, dan tingkat keterbatasan gerakan mata bervariasi dari
keterbatasan ringan hanya dalam satu arah sampai oftalmoplegia
komplit. Ketika CCF direct disebabkan oleh trauma, saraf
motorik okular mungkin rusak pada saat cedera awal, khususnya
ketika cedera cukup parah untuk menyebabkan fraktur basal
tulang tengkorak.
22
ini, diplopia dan ophthalmoparesis mungkin belum muncul
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah berkembangnya
gejala dan tanda fistula lainnya. Dari tiga saraf motorik okular,
saraf abducens adalah paling sering dipengaruhi oleh CCF direct.
Meskipun paresis saraf abducens adalah yang paling umum
paresis saraf motorik okular yang terjadi pada pasien dengan
karotid-kavernosus fistula direct, baik oculomotor atau troklearis
paresis saraf dapat berkembang pada pasien tersebut, tidak hanya
dari trauma awal tetapi juga sebagai akibat langsung dari fistula
itu sendiri.
23
Gambar 17. Gambaran Funduskopi
3.5.2.10 Glaukoma
Glaukoma berkembang pada 30-50% pasien dengan direct CCF
dan dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda.
Penyebab paling umum adalah peningkatan episcleral tekanan
vena. Tekanan intraokular pada kebanyakan kasus biasanya agak
meningkat, tetapi beberapa pasien mengalami tekanan
intraokular sebesar 50-60mm Hg . Tekanan intraokular terlalu
tinggi dapat dikaitkan dengan berkembangnya oklusi arteri retina
sentral. Penyebab kedua glaukoma pada pasien dengan CCF
direct kongesti orbital, yang biasanya terjadi dalam hubungan
dengan proptosis berat dan chemosis. Glaukoma neovascular
terjadi pada beberapa pasien dengan CCF direct, Hal ini selalu
24
dikaitkan dengan bukti-bukti hipoksia retina kronis dan
neovaskularisasi retina.
25
Gambar 18. Gambaran (A) MRI, (B) MRA, (C) MRV dari carotid-
cavernous fistula.19
3.5.3.2. Angiografi
Pemeriksaan definitif dari carotid cavernous fistula ialah
arteriografi serebral dengan kateterisasi selektif dari arteri karotis
interna dan eksterna pada kedua sisi.19 Pada angiografi ditemukan
Rapid Shunting dari Interna Carotid Artery ke sinus kavernosus ,
Pembesaran pembuluh darah vena, Aliran retrograde dari sinus
kavernosus , biasanya mengalir ke dalam vena oftalmika.
26
atas) dan vena oftalmuka inferior (panah di bawah).19
3.5.3.3. Ultrasonografi
27
Gambar 21. Gambaran Color Doppler dari aliran vena oftalmika superior
pada pasien carotid-cavernous fistula.18
28
ketiga, metronidazol dan anti-stafilokokus (biasanya penisilin, namun di
daerah yang tinggi insiden Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA) terkadang diperlukan vankomisin).17
29
dengan TAO memerlukan penanganan bedah, seperti dekompresi orbital,
pembedahan strabismus dan pembedahan kelopak mata. Berbagai
tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati tidak menjadi lebih
berat.17
30
intraokuli. Apabila nidus terletak pada orbita bagian anterior, lesi ini
dapat terlihat sebagai massa subkutan, berwarna biru, dan berdenyut.16,17
3.7. Penatalaksanaan
3.7.1.1. Farmakologi
a. Beta blocker
31
0,5%, Metipranolol 0,3%, Carteolol 1,0%, Betaxolol
ophthalmic.16
32
Hubungan carotid-cavernosus dapat ditutup dengan embolisasi
intravaskular.
Embolisasi dan ligasi dari fistula yang berhubungan dengan arteri karotis
interna hampir tidak pernah dilakukan, karena morbiditas neurologis dari
embolisasi distal. Jalur yang digunakan biasanya melalui vena femoral
atau vena jugularis interna menuju sinus petrosus inferior atau superior
dan kemudian ke sinus kavernosus. Tetapi jika jalur ini gagal, variasi
jalur lain bisa digunakan, kebanyakan melibatkan kanulisasi dari vena
oftalmika superior atau inferior.18, Pendekatan melalui vena oftalmika
superior secara langsung pada banyak kasus. Prosedur ini dilakukan di
ruangan operasi dengan panduan fluroskopi, dimana pasien dalam
keadaan anastesi umum. Dilakukan insisi kulit curvilinier pada lipatan
kelopak mata atas atau pada sulkus superior dari kelopak mata atas bagian
nasal dengan bantuan mikroskop. Insisi diteruskan ke muskulus
orbikularis okuli. Septum orbita diidentifikasi dan dibuka dengan ujung
gunting yang tajam, sampai ter-expose lemak retroseptalorbita. Vena
oftalmika superior diidentifikasi dengan menggunakan blunt dissection.
33
Vena muncul berwarna merah kebiruan dengan ukuran diameter
bervariasi antara 3-8 mm. Vena tersebut dibersihkan secara hati-hati dari
lemak orbita disekelilingnya yang melekat sampai ter-expose 10-20 mm.
Dilakukan ligasi pada kedua ujung vena tersebut. Insisi kecil dilakukan
pada dinding vena antara dua ligasi tersebut. Mikrokateter dimasukkan
melalui insisi kecil tadi. Kemudian penempatan mikrokateter tersebut
menggunakan teknik two-person, dimana satu orang memegang kateter
dan satunya lagi memanipulasi ligasi sehingga kateter dapat lewat dan
membatasi perdarahan. Kateter diteruskan ke posterior dengan panduan
fluoroskopi sampai kesinus kavernosus, kemudian coil dilekatkan sampai
fistula tertutup. Setelah itu kateter dikeluarkan dan insisi dijahit.18
34
cabang ICA, pada kasus CCF direct. ketika CCF berasal dari cabang-
cabang ICA, transarterial embolisasi secara signifikan lebih sulit dan
mempunyai peningkatan risiko stroke akibat emboli refluks ke dalam
ICA.18,19 Dalam kasus ini, pendekatan transvenous digunakan, dan fistula
yang tersumbat baik menggunakan koil atau balon di sinus kavernosus.
Akses transvenous ke sinus kavernosus dapat dicapai dengan
menggunakan venous transfemoral melalui sinus pertrosus inferior atau
vena oftalmica superior. Apabila sinus petrosus inferior atau sinus vena
oftalmica superior tidak dapat dilakukan dapat memalui sinus petrosus
superior, pleksus basilar, dan pleksus pterigoideus. Dalam kasus di mana
pengobatan endovaskular tidak mungkin atau tidak berhasil, intervensi
bedah terbuka dapat dilakukan.18
3.8. Prognosis
Sebanyak 90% pasien dengan CCF direk ataupun indirek jika tidak
diobati akan mengalami kemunduran penglihatan. . 20 – 50% pasien dari CCF
tidak langsung dapat selesai secara spontan. Pasien dengan CCF dural jika tidak
diobati sebanyak 20 -30 % akan mengalami kemunduran pengelihatan. Sampai
saat ini tidak ada latar belakang ras tertentu yang terbukti berkorelasi dengan
kecenderungan untuk pengembangan CCF karena insiden meningkat karena
trauma sedangkan wanita yang menopause lebih mungkin untuk pengembangan
CCF dural yang spontan. Walaupun kejadian atau kondisi sensungguhnya pada
CCF tidak diketahui atau dikenali, perkiraan terbanyak menempatkan kasus ini
pada tingkat 5 -20 % dari semua cranial vascular malformation.
35
okular harus diperiksa pascaoperasi pada semua pasien, sebaiknya menggunakan
pneumotonometer. Tingkat perbaikan berhubungan dengan tingkat keparahan
tanda-tanda dan waktu munculnya fistula. Tanda dan gejala biasanya menghilang
dalam beberapa jam sampai dengan hari setelah penutupan dari carotid-
cavernosus fistula. Proptosis, chemosis, mata merah, oftalmoparesis biasanya
hilang sempurna dalam beberapa minggu sampai dengan bulan, dan kebanyakan
pasien menjadi normal atau mendekati normal dalam waktu 6 bulan. Kehilangan
penglihatan yang disebabkan oleh efusi koroid mengakibatkan penyembuhan
yang tidak sempurna dan kehilangan penglihatan akibat kerusakan retina (oklusi
vena retina sentral), biasanya kehilangan penglihatannya menetap.16,18
BAB IV
RINGKASAN
36
Carotid cavernous fistula terjadi karena robeknya dinding dari arteri karotis
interna intrakavernosus atau cabangnya baik traumatic ataupun spontan. Hal ini
menyebabkan sirkulasi yang pendek dari darah arteri ke vena dari sinus kavernosus.
Carotid cavernous fistula langsung (merupakan jenis carotid-cavernous fistula yang
paling sering, sekitar 70-90%) ditandai oleh adanya hubungan langsung antara
segmen intrakavernosus dari arteri karotis interna dengan sinus kavernosus. Fistula
ini biasanya mempunyai kecepatan aliran darah arteri yang kuat dan umumnya
disebabkan oleh robekan traumatik pada dinding arteri. Carotid-cavernous fistula
dibagi menjadi carotid-cavernous fistula langsung dan carotid-cavernous fistula tidak
langsung (dural) dengan tipe A-D.
37
Diagnosis banding dari carotid-cavernous fistula meliputi kelainan vaskular,
seperti trombosis sinus kavernosus, Oftalmopati tiroid maupun arteriovenous
malformation. Terapi termasuk terapi farmakologi, non farmakologi, pembedahan
dan intervensi radiologis. Tujuan tatalaksana farmakologi adalah untuk mengurangi
angka morbiditas dan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Obat-obat yang
digunakan untuk menurunkan produksi aqueous humor adalah beta-blocker, inhibitor
karbonik anhidrase (topikal atau oral), dan alpha2-agonis. Pada CCF direk
penatalaksanan non farmakologi adalah menutup fistula dari arteriovenous dengan
tetap menjaga patensi arteri karotis interna. Terapi optimal dari carotid-cavernous
fistula adalah penutupan dari hubungan abnormal dari arteri vena dengan menjaga
tetap utuhnya arteri karotis interna.
DAFTAR PUSTAKA
38
6. Koenigsberg RA, Do V, Jeffrey Rykken J, Schaefer PW, Coombs BD, Phillips
CD, Krasny RM (2015). Carotid-Cavernous Fistula Imaging.
http://emedicine.medscape.com/article/338870-overview - Diakses pada tanggal
9 Februari jam 22.55.
7. Syed A, Bell B, Hise J, Philip J, Spak C, Opatowsky MJ (2016). Bilateral
cavernous sinus and superior ophthalmic vein thrombosis in the setting of facial
cellulitis. Bayl Univ Med Cent. 29(1): 36–8.
8. Demerdash A, Tubbs RS (2020). The Cavernous Sinus. Dalam: Tubbs RS
(editor). Anatomy, Imaging and Surgery of the Intracranial Dural Venous
Sinuses. UK: Elsevier, pp. 135-148.
9. Benson JC, Rydberg C, DeLone DR, Johnson MP, Geske J, Brinjikji W et al
(2019). CT angiogram findings in carotid-cavernous fistulas: stratification of
imaging features to help radiologists avoid misdiagnosis. Acta Radiologica. 0(0):
1–8.
10. Castro LNG, Colorado RA, Botelho AA, Freitag SK, Rabinov JD, Silverman SB
(2016). Carotid-Cavernous Fistula: A Rare but Treatable Cause of Rapidly
Progressive Vision Loss. Stroke. 47: e207–e209.
11. Karna S, Jain M, Alam MS, Mukherjee B, Raman R (2017). Carotid cavernous
fistula with central retinal artery occlusion and Terson syndrome after mid-facial
trauma. GMS Ophthalmology Cases. 7: 1-3.
12. Kobkitsuksakul C, Jiarakongmun P, Chanthanaphak E, Ayudya SPSN (2016).
Noncavernous arteriovenous shunts mimicking carotid cavernous fistulae. Diagn
Interv Radiol. 22: 555–559.
13. Arian M, Kamali A, Tabatabaeichehr M, Arashnia P (2016). Septic Cavernous
Sinus Thrombosis: A Case Report. Iran Red Crescent Med J. 18(8): e34961.
14. Scott IU, Law SK, Roy Hampton, Plager SD (2019). Carotid-Cavernous Fistula
(CCF).
https://emedicine.medscape.com/article/1217766-overview#showall – Diakses
pada tanggal 9 Februari 2020 jam 21.38.
39
15. Ing E, Law S, Roy H (2016). Thyroid-Associated Orbitopathy.
http://emedicine.medscape.com/article/1218444-overview - Diakses pada tanggal
9 Februari 2020 jam 23.47.
16. Roybal CN, Kucukevciliglou M, Huckfeldt R, Elshatory Y, Thurtell MJ, Folk JC
(2016). Treatment of retinophaty and macular edema secondary to a carotid-
cavernous fistula. Retinal Cases & Brief Reports. 10: 225-228.
17. Aguiar GBD, Jory M, Silva JMDA, Conti MLM Veiga JCE (2016). Advances in
the endovascular treatment of direct carotid-cavernous fistulas. Rev Assoc Med
Bras. 62(1): 78-84.
18. Varshney S, Malhotra M, Gupta P, Gairola P, Kaur N (2015). Cavernous sinus
thrombosis of nasal origin in children. 7(1): 100-15.
19. Napitupulu NBY (2019). Carotid Cavernous Fistula. Laporan Kasus. Bandung.
20. Soebagjo HD (2019). Malformasi Vaskular. Dalam: Nurwasis, Komaratih E,
Fatmariyanti S (editors). Anomali Vaskular Mata Terkini. SUrabya: Airlangga
Univerisity Press, pp. 73-82.
40