TUMOR OTAK:
SUPRATENTORIAL DAN
INFRATENTORIAL
Edisi Pertama
Penulis:
Dewi Yulianti Bisri
Tatang Bisri
ISBN: 978-602-74799-1-3
© 2016
Diterbitkan oleh:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Jalan Eijkman No. 38 Bandung
Tatang Bisri
Guru Besar Anestesiologi
Doktor Anestesiologi
Spesialis Anestesiologi Konsultan Neuroanestesia & Critical Care
Konsultan Anestesi Obstetri
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
iii
iv
KATA PENGANTAR
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.......................................................... v
Daftar Isi................................................................... vii
Daftar Tabel............................................................... ix
Daftar Gambar.......................................................... xi
Daftar Singkatan....................................................... xii
Prinsip ..................................................................... 1
1.1 Airway………………………...........……………………. 2
1.2 Breathing………………………………………………….. 2
1.3 Circulation………………………………………………… 5
1.4 Drugs…………………………………………………….... 13
1.5 Environment………………………………………………. 23
Teknik ..................................................................... 38
2.1. Airway……………………………………………………. 38
2.2. Breathing…………………………………………………. 38
2.3. Circulation……………………………………………….. 38
2.4. Drugs……………………………………………………... 39
2.5. Environment……………………………………………... 40
1.1 Pendahuluan..…………………………………………… 41
1.2 Pertimbangan Umum..………………………………… 43
1.3 Fatofisiologi dan Gambaran Klinis........................ 44
1.4 Manajemen Anestesi Umum................................. 52
1.5 Pengelolaan Anestesi............................................ 62
1.6 Simpulan.……………………………………………….... 88
vii
BAB III. Anestesi untuk Operasi Tumor Infratentorial 91
3.1 Pendahuluan....……………………………………….... 91
3.2 Apakah pada saat prabedah pasien menunjukkan
adanya disfungsi saraf kranial atau batang otak? 93
3.3 Apakah ada peningkatan tekanan intrakranial?... 93
3.4 Bagaimana posisi pasien selama operasi?............ 93
3.5 Adakah resiko VAE yang signifikan? Adakah resiko
terjadinya PAE?................................................... 100
3.6 Adakah kemungkinan kehilangan darah yang
banyak?............................................................... 111
3.7 Akankah pembedahan memerlukan monitoring
SSP intraoperatif?................................................ 111
3.8 Teknik Anestesi.................................................... 112
3.9 Simpulan............................................................. 118
Indeks....................................................................... 141
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria Intubasi......................................... 2
Tabel 2. Ambang Aliran Kritis.................................. 7
Tabel 3. Efek Kardiovaskuler Obat Anestesi Inhalasi
dengan dosis 1-1.5 MAC pada orang sehat
dengan PaCO2 normal ................................ 19
Tabel 4. Cedera Sekunder pada Otak yang Telah
Cedera ....................................................... 44
Tabel 5. Volume dan Tekanan Cairan Serebrospinal 45
Tabel 6. Hubungan antara Tekanan Intrakranial dan
Mortalitas pada Cedera Kepala.................... 47
Tabel 7. Faktor yang berkontribusi pada Herniasi
Otak........................................................... 48
Tabel 8. Metoda untuk mengendalikan Hipertensi
Intrakranial................................................ 58
Tabel 9. Indikasi Pemasangan Monitoring Tekanan
Arteri Invasif............................................... 61
Tabel 10. Indikasi pemasangan CVP.......................... 61
Tabel 11. Evaluasi Neurologik Prabedah.................... 64
Tabel 12. Anjuran Induksi dan Rumatan Anestesi..... 68
Tabel 13. Pengaruh Anestetika Intravena pada CBF,
CMRO2 dan ICP.......................................... 80
Tabel 14. Pengaruh Anestetika Intravena pada Laju
Pembentukan, Resistensi Reabsorpsi CSF,
dan ICP...................................................... 81
Tabel 15. Pengaruh narkotik pada Laju Pembentukan
CSF, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP... 83
Tabel 16. Pengelolaan edema serebral intraoperatif.... 85
Tabel 17. Hipertensi Intrakranial dan Pembengkakan
Otak: Pencegahan dan Terapi..................... 85
Tabel 18. Konsep Retraktor Otak secara Kimiawi
(The Chemical Brain Retractor Concept)....... 85
Tabel 19. Bangun Cepat atau Lambat: Pro dan
Kontra........................................................ 86
Tabel 20. Check List sebelum Pasien Dibangunkan... 87
ix
Tabel 21. Resiko dan Keuntungan Posisi Duduk........ 97
Tabel 22. Keuntungan dan Kerugian Posisi Duduk.... 98
Tabel 23. Komplikasi yang dihubungkan dengan posisi
pasien pada operasi fossa posterior............ 99
Tabel 24. Monitor untuk menditeksi VAE.................. 104
Tabel 25. Komplikasi VAE.......................................... 107
Tabel 26. Terapi VAE................................................. 109
Tabel 27. Monitor untuk operasi Fossa Posterior....... 113
Tabel 28. Komplikasi Hipofisektomi Transspenoidal... 123
Tabel 29. Keuntungan dan Kerugian Operasi
Transspenoidal........................................... 123
Tabel 30. Masalah Anestesi pada Pasien dengan
Akromegali................................................. 124
Tabel 31. Pengelolaan DI........................................... 136
Tabel 32. Perbedaan DI, SIADH, dan CSW................. 139
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Gambar 1. Fungsi Otak dihubungkan dengan
PaO2, DO2, Aliran Darah Otak dan
Tekanan Perfusi Otak.......................... 7
Gambar 2. Interaksi antara Tingkatan dan
Lamanya Penurunan Aliran Darah
Otak pada Fungsi Otak........................ 8
Gambar 3. Luxury Perfusion.................................. 9
Gambar 4. Pengaturan aliran darah otak............... 12
Gambar 5. Hubungan Volume dan Tekanan
Intrakranial......................................... 46
Gambar 6. Posisi Prone......................................... 95
Gambar 7. Posisi Park-bench................................. 95
Gambar 8. Posisi lateral........................................ 96
Gambar 9. Posisi duduk........................................ 97
Gambar 10. Terapi VAE........................................... 110
xi
DAFTAR SINGKATAN
xii
I. Prinsip
Istilah ABCDE neuroanestesi merupakan singkatan dari
A (Airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Drugs), dan E
(Environment). Istilah ini merupakan hasil pemikiran
sendiri (Tatang Bisri) setelah banyak membaca dan
melakukan praktek neuroanestesi dan critical care.
Ketidaktepatan dalam melakukan tindakan ABCDE ini
dapat memperburuk keadaan pasien-pasien dengan
kelainan serebral, apakah pasien tersebut dilakukan
operasi otak atau operasi diluar otak. Oleh karena itu,
prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf
adalah mengatur Airway, Breathing, Circulation, Drugs,
dan Environment yang disebut sebagai ABCDE
neuroanestesi.
Bila pasien harus dioperasi/dianestesi, maka obat-
obat anestesi (D=drugs) harus bekerja sebagai anestetika
dan juga sebagai resusitator dan protektor neuron.
1
cairan adalah normovolemia, normotensi, iso-
osmoler, dan normoglikemia.
D: Drugs : hindari obat-obat dan teknik anestesi yang
meningkatkan tekanan intrakranial, berikan obat
yang mempunyai efek proteksi otak.
E: Environment : suhu mild hipotermia (350C, core
temperatur).
1.1. Airway
Jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu. Kenapa harus
bebas sepanjang waktu? Karena adanya hipoksia dan
atau hiperkarbia akan meningkatkan aliran darah otak
akibat terjadinya vasodilatasi serebral. Peningkatan
aliran darah otak akan meningkatkan volume darah otak
dan akhirnya akan meningkatkan tekanan intrakranial
dan edema otak. Peningkatan tekanan intrakranial dapat
menyebabkan terjadinya iskemia otak dan herniasi otak.
Oleh karena itu, selama anestesi/operasi jalan nafas
harus bebas dengan melakukan intubasi dengan pipa
endotrakheal non kinking.
Pada pasien trauma kepala, dibawah ini terlihat
tabel kriteria intubasi:
1.2. Breathing
Pernafasan adalah untuk mengambil oksigen dan
mengeluarkan CO2. Frekuensi nafas akan mempengaruhi
PaO2 dan PaCO2, yang berefek pada aliran darah otak.
Target PaO2 antara 100−200 mmHg. Ventilasi kendali
untuk mencapai PaCO2 25−30 mmHg pada operasi tumor
2
otak dan normokapnia (PaCO2 35 mmHg) pada cedera
kepala. Hindari PaCO2 < 20 mmHg karena: 1) sedikit
pengaruhnya pada aliran darah otak, 2) untuk mencapai
PaCO2 < 20 mmHg dibutuhkan ventilasi semenit yang
tinggi, sehingga tekanan vena sentral meningkat yang
akan mengganggu drainase vena serebral sehingga akan
menyebabkan peningkatan volume darah otak dan
tekanan intrakranial, dan 3) terjadi serebral
vasokonstriksi sehingga dapat terjadi iskemia serebral.
Hipoksia sering terlihat secara klinis dengan
adanya kegelisahan pada pasien, oleh sebab itu segera
berikan O2. Pada pasien cedera kepala berat sering harus
dilakukan intubasi sebab suatu penelitian menunjukkan
bahwa intubasi yang dilakukan dalam jam pertama
setelah cedera jika dibandingkan dengan setelah 1 jam
cedera akan menurunkan mortalitas dari 38% menjadi
22%. Walaupun tindakan intubasi akan menyebabkan
kenaikan tekanan intrakranial secara temporer, efek ini
minimal bila dibandingkan dengan perubahan akibat
hipoventilasi dan hipoksia. Keputusan kapan dan
bagaimana intubasi dilakukan menjadi sulit. Intubasi
sering diperlukan untuk menghilangkan obstruksi jalan
napas, proteksi aspirasi, mencegah hipoventilasi,
pemberian hiperventilasi untuk mengendalikan tekanan
intrakranial, dan memberikan paralisis pada pasien yang
memberontak (tidak diam) pada pemeriksaan untuk
diagnostik.
Beberapa klinisi menganjurkan semua pasien
dengan GCS < 8 harus diintubasi. Respirasi yang ireguler
dan tahipnoe dapat dijadikan sebagai tanda adanya
ancaman gagal napas, dan juga dipertimbangkan untuk
diintubasi (tabel 1).
Intubasi pasien cedera kepala merupakan suatu
tantangan. Teknik intubasi bergantung pada pentingnya
kontrol ventilasi. Hipoventilasi sebelumnya dan hipoksia
yang ada dapat menyebabkan turunnya saturasi O2
secara cepat selama periode intubasi, maka diperlukan
dinitrogenisasi yang optimal. Setiap obstruksi jalan
napas yang pada umumnya disebabkan oleh pangkal
lidah jatuh ke belakang, tetapi kadang-kadang bisa
3
disebabkan oleh darah atau trauma orofaring yang harus
segera dihilangkan. Penarikan mandibula, pemasangan
oropharyngeal airway (mayo) atau pembuangan
muntahan/debris sering memperbaiki patensi jalan
napas. Mulut sulit dibuka, hal ini mungkin disebabkan
spasme otot akibat trauma atau kerusakan sendi
temporo mandibular. Bila ada spasme otot sebaiknya
diberi pelemas otot.
Pemikiran bahwa suksinilkholin dapat
meningkatkan tekanan intrakranial menyebabkan
keraguan pemakaian suksinilkholin dan menganjurkan
awake intubation. Namun, dengan awake intubation
terjadi mengejan, merejan, maka tekanan intrakranial
akan meningkat lebih besar daripada bila kita berikan
suksinilkholin. Sebagai tambahan, jalan napas yang sulit
dan lambung penuh pada pasien cedera kepala
memerlukan kondisi intubasi yang cepat dan optimal.
Fraktur servikal terjadi pada 10% pasien cedera kepala
dan meningkat sampai 20% pada cedera kepala berat
maka intubasi harus dilakukan dengan pergerakan leher
yang seminimal mungkin. Bila pasien dalam keadaan
gawat, ada hipoventilasi, hipoksia, dan tidak
memungkinkan dilakukkan pergerakan leher, sebaiknya
dilakukan krikotirotomi. Di State University of New York
(SUNY), Brooklyn, dianjurkan cara krikotirotomi
emergensi sebagai berikut: Tempatkan kepala
hiperektensi (kecuali bila ada fraktur servikal), cari
membran krikotiroid, tusuk membran tersebut dengan
kateter vena nomor 14 sambil diaspirasi untuk tes
udara, bila trakhea ditemukan, masukkan kateter vena
45o ke arah distal, hubungkan kateter dengan konektor
pipa endotrakheal nomor 3,5 atau hubungkan dengan
ujung spuit 3ml dengan ujungnya disambung ke
konektor pipa endotrakheal nomor 7, hubungkan
konektor dengan sistim ventilasi.
Hipokapnia yang bisa dicapai dengan hiperventilasi
merupakan standar terapi. Hiperventilasi didefinisikan
bila frekuensi nafas ≥ 20 kali per menit. Dengan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah serebral, volume darah
intrakranial akan menurun dan tekanan intrakranial
4
akan menurun. Aliran darah otak berubah kira-kira 4%
(0,95−1,75 ml/100gr/menit) setiap mmHg perubahan
PaCO2 antara 25−80 mmHg. Level optimal dari hipokapni
adalah 25−30 mmHg. Bila < 25mmHg kemungkinan
terjadi serebral iskemia. Teknik hipokapnia adalah jalan
tercepat untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Efeknya selintas, tetapi pH cairan serebrospinal kembali
normal dalam 24 jam (teknik hipokapni untuk
menurunkan aliran darah otak hanya sampai 24 jam,
setelah itu pasien di normokapni).
1.3. Circulation
Pengendalian tekanan darah merupakan faktor yang
penting, karena saat induksi anestesi dapat terjadi
hipotensi. Harus diingat bahwa Tekanan Perfusi
Otak=MAP−Tekanan Intrakranial, sehingga jangan
sampai terjadi penurunan tekanan perfusi otak pada
saat induksi anestesi. Pada pasien yang sebelumnya
tekanan darahnya normal, lebih disukai sistolik sekitar
90−100 mmHg. Pada saat laringoskopi-intubasi,
pemasangan pin, sayatan kulit, membor tulang kepala,
atau saat ekstubasi dapat terjadi kenaikkan tekanan
darah. Saat-saat tersebut harus diperhatikan karena
peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah otak, volume darah
otak, tekanan intrakranial, edema otak, hiperemia, dan
perdarahan otak.
Faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena
serebral seperti batuk, mengejan, posisi Trendelenburg,
obstruksi vena besar di leher, tekanan pada abdomen,
tahanan pengembangan dada, positive end expiratory
pressure (PEEP), kanulasi vena jugularis interna, vena
jugularis eksterna, vena subclavia harus dihindari. Pada
sirkulasi harus diperhatikan posisi pasien yang akan
mengganggu aliran darah otak dan drainase vena
serebral, tekanan darah/tekanan perfusi otak, volume
darah dan kadar gula darah. Posisi yang tidak
menganggu drainase vena serebral adalah posisi head up
netral. Netral artinya kepala jangan miring kiri atau
5
kanan, jangan hiperekstensi, jangan hiperfleksi. Target
volume darah adalah normovolemia, iso-osmoler. Gula
darah normal.
Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri
serebral dan resistensi pembuluh-pembuluh serebral.
Aliran darah otak rata-rata sekitar
50−54_ml/100_gr/menit. Bila aliran darah otak <20
ml/100 gr/menit, elektroencefalografi (EEG)
menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6−9
ml/100 gr/menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Aliran darah
otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak.
Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan
arteri rata-rata (pada saat masuk) dengan tekanan vena
rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis
lymph/cerebral venous junction. Nilai normalnya
80−90_mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah
perbedaan tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial
pressure) dan tekanan intrakranial rata-rata yang diukur
setinggi foramen Monroe. Karena tekanan perfusi
otak=MAP−tekanan intrakranial, maka tekanan perfusi
otak akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri
atau kenaikkan tekanan intrakranial. Bila tekanan
perfusi otak turun sampai 50 mmHg, elektroensefalografi
(EEG) akan terlihat melambat dan ada perubahan-
perubahan ke arah serebral iskemia. Tekanan perfusi
otak kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar,
menunjukkan adanya proses iskemik yang berat yang
bisa reversible atau irreversible. Bila tekanan perfusi otak
kurang dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi
iskemik neuron yang ireversible.
Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak
kurang dari 50 mmHg akan mempunyai prognosa yang
buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya
tekanan perfusi otak adekuat, maka perlu tetap
mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk
mempertahankan tekanan perfusi otak normal, oleh
karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah
bila tekanan arteri rata-rata lebih besar
dari_130−140_mmHg.
6
Gambar 1. Fungsi Otak dihubungkan dengan PaO2, DO2,
Aliran Darah Otak dan Tekanan Perfusi Otak.
7
Gambar 2. Interaksi antara Tingkatan dan Lamanya
Penurunan Aliran Darah Otak pada Fungsi Otak
a. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada
MAP_50−150_mmHg. Pengaturan ini disebut autoregulasi
yang disebabkan oleh kontraksi otot polos dinding
pembuluh darah otak sebagai jawaban terhadap
perubahan tekanan transmural. Jika melebihi batas ini,
walaupun dengan dilatasi maksimal atau konstriksi
maksimal dari pembuluh darah otak, aliran darah otak
akan mengikuti tekanan perfusi otak secara pasif. Bila
aliran darah otak sangat berkurang (MAP<50 mmHg)
bisa terjadi serebral iskemia. Jika di atas batas normal
(MAP>150 mmHg), tekanan akan merusak daya
konstriksi pembuluh darah dan aliran darah otak akan
naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian, terjadilah
kerusakan sawar darah otak (blood-brain barier /BBB),
yang dapat menimbulkan terjadinya edema serebral dan
perdarahan otak.
8
Berbagai keadaan dapat merubah batas
autoregulasi, misalnya hipertensi kronis. Pada hipertensi
kronis autoregulasi bergeser ke kanan sehingga sudah
terjadi serebral iskemia pada tekanan darah yang
dianggap normal pada orang sehat. Serebral iskemia,
serebral infark, trauma kepala, hipoksia, abses otak,
diabetes, hiperkarbi berat, edema sekeliling tumor otak,
perdarahan subarakhnoid, aterosklerosis serebrovaskuler,
serta obat anestesi inhalasi juga mengganggu
autoregulasi. Karena pada cedera kepala autoregulasi
terganggu, adanya hipotensi yang tiba-tiba bisa
menimbulkan cedera otak sekunder.
Autoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat
sensitif terhadap cedera dan terganggu setelah cedera
otak, anestetika inhalasi, dan stimulasi simfatis. Efek
yang segera timbul pada autoregulasi adalah
menurunkan batas atas dari autoregulasi sehingga pada
tekanan darah sedikit di atas normal bisa terjadi
kerusakan sawar darah otak dan edema otak. Pada
daerah yang terganggu (iskemia, trauma atau neoplasma)
terjadi penekanan fungsi neuron, asidosis laktat, edema,
gangguan autoregulasi, dan kemungkinan juga gangguan
reaksi terhadap CO2.
9
perfusi otak akan menyebabkan penurunan aliran darah
otak secara proporsional. Bila reaksi terhadap CO2 juga
hilang, maka aliran darah betul-betul tergantung dari
tekanan darah. Keadaan ini disebut serebral
vasoparalisis. Bila tekanan perfusi adekuat, perfusi pada
daerah yang asidotik akan berlebihan dengan kebutuhan
metabolik dan saturasi oksigen vena tinggi, keadaan ini
disebut luxury perfusion. Akan tetapi, bila tekanan
perfusi turun, aliran darah akan berkurang, dan cepat
terjadi iskemia, seperti yang terjadi pada keadaan
hipotensi atau steal phenomena.
Bila stimuli vasodilatasi cerebral terjadi secara
global, aliran darah otak regional akan meningkat pada
daerah-daerah yang normal dengan mengorbankan
daerah-daerah yang mengalami vasomotor paralisis.
Keadaan ini disebut intracerebral steal, dan terjadi bila
asidotik fokal telah mempengaruhi reaksi terhadap CO2.
Hiperkarbia akan menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh yang normal dan konsekuensinya darah akan
diambil (steal) dari daerah yang dipasok pembuluh yang
sudah stenosis. Bila stimulus vasodilator tersebut
menyebabkan penurunan tekanan darah atau kenaikkan
tekanan intrakranial, aliran darah ke daerah yang ada
vasoparalisis akan lebih berkurang lagi.
b. PaCO2
Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95−1,75
ml/100_gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2 antara
25−80 mmHg. Jadi, jika dibandingkan dengan keadaan
normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2
80 mmHg dan setengahnya pada PaCO2 20_mmHg.
Karena hanya sedikit perubahan aliran darah otak pada
PaCO2 < 25 mmHg, malahan bisa terjadi serebral iskemia
akibat perubahan biokimia, maka harus dihindari
hiperventilasi yang berlebihan. Pada operasi tumor otak
dipasang pemantau kapnogram untuk mengukur end
Tidal CO2, umumnya dipertahankan end Tidal
CO2_25−30_mmHg yang setara dengan PaCO2 29−34
mmHg, tetapi pada cedera kepala akut PaCO2 jangan ≤
35 mmHg.
10
Mempertahankan jalan nafas yang adekuat adalah
sangat penting pada pasien bedah saraf. Bila ada
obstruksi, akumulasi CO2 akan meningkatkan aliran
darah otak, volume darah otak, dan tekanan
intrakranial. CO2 adalah serebral vasodilator kuat. Setiap
perubahan 1 mmHg PaCO2 antara 25−80 mmHg, maka
aliran darah otak berubah 4%, maka pada operasi tumor
otak PaCO2 dipertahankan antara 25−30 mmHg dengan
tujuan untuk menurunkan aliran darah otak. Tidak
dianjurkan PaCO2 <20 mmHg, karena akan terjadi
serebral vasokonstriksi berat dan untuk mencapai PaCO2
di level ini perlu dilakukan ventilasi yang akan
meningkatkan tekanan intratorakal, dengan akibat
terjadi gangguan drainase vena serebral yang akan
meningkatkan volume darah otak. Akan tetapi, pada
cedera kepala berat dalam 24 jam pertama aliran darah
otak turun sampai setengahnya, maka pada cedera
kepala berat tidak boleh dilakukan hipokapnia dan
PaCO2 dipertahankan dalam keadaan normokapnia.
c. PaO2
Bila PaO2<50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi
dan aliran darah otak akan meningkat. Suatu
peningkatan PaO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap
resistensi pembuluh darah serebral. Pada binatang
percobaan bila PaO2>450 mmHg terjadi sedikit
penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata.
Akan tetapi, pada manusia selama operasi otak PaO2
jangan melebihi 200 mmHg.
Bila PaO2<50 mmHg terjadi serebral vasodilatasi
dan aliran darah serebral akan meningkat. PaO2
dipertahankan antara 100−200 mmHg, tidak boleh >200
mmHg karena dapat terjadi vasokonstriksi serebral,
maka tidak dianjurkan diberikan O2 konsentrasi tinggi
yang akan menyebabkan peningkatan PaO2 >200 mmHg.
11
Gambar 4. Pengaturan aliran darah otak
b. Hematokrit
Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara
nyata. Bila hematokrit meningkat di atas nilai normal,
aliran darah otak akan menurun karena ada
peningkatan viskositas darah. Isovolemik atau
hemodilusi hipervolemia (hematokrit_33%) menunjukkan
peningkatan aliran darah otak tanpa ada gangguan
penghantaran oksigen.
12
c. Temperatur
Penurunan temperatur tubuh akan memperlambat
metabolisme serebral. Hal ini berarti menurunkan aliran
darah otak. Setiap penurunan temperatur 10C, aliran
darah otak menurun kira-kira 5%.
1.4. Drugs
Pemilihan obat dan keterampilan dokter anestesi
memegang peranan penting karena cedera sekunder
dapat terjadi akibat tindakan anestesi. Sebagai contoh,
yang merupakan kontraindikasi pada cedera kepala
berat adalah premedikasi dengan narkotik, nafas
spontan, neurolep analgetik, ketamin, halotan, N2O
bila ada aerocele, spinal anestesi. Harus dipakai obat
yang mempunyai efek proteksi otak, misalnya pentotal,
lidokain, isofluran, sevofluran.
13
merupakan akibat penurunan aliran darah otak dan
volume darah otak. Walaupun masih kontroversial, efek
ini digunakan untuk terapi peningkatan tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala, paling
tidak selama operasi otak dengan tujuan untuk
menghentikan atau mengendalikan peningkatan tekanan
intrakranial akut. Barbiturat menghilangkan efek
vasodilatasi serebral akibat N2O dan ketamin sehingga
dapat digunakan sebagai suplemen anestesi. Barbiturat
sering digunakan untuk obat neuroanestesi dengan
sejumlah alasan. Yang paling penting ialah barbiturat
mempunyai efek menurunkan CMRO2 dengan cara
menurunkan aktivitas sel neuron pada susunan saraf
pusat sehingga akan menurunkan aliran darah otak dan
tekanan intrakranial.
Peningkatan resistensi serebrovaskuler hanya
menurunkan aliran darah otak pada daerah yang
normal. Karena adanya vasomotor paralisis, pembuluh
darah dalam daerah yang cedera atau iskemik gagal
untuk bereaksi dan tetap dilatasi maksimal. Hasilnya
adalah shunting darah dari daerah yang normal ke
daerah iskemik (inverse steal) dan tidak ada
pengaruhnya terhadap dinamika cairan serebrospinal.
Efek depresi susunan saraf pusat (SSP) berkaitan
dengan besarnya dosis yang diberikan, yang
diperlihatkan oleh EEG yang melambat secara progresif.
CMR menurun secara maksimal sampai kira-kira 50%
normal, dan pada titik ini keadaan EEG datar. Dosis
barbiturat yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh
terhadap CMRO2. Barbiturat menurunkan aktivitas
radikal bebas dan kemungkinan mencegah cedera
selanjutnya terhadap daerah iskemik. Barbiturat juga
bekerja sebagai anti-konvulsan. Karena sifat ini,
barbiturat digunakan untuk proteksi otak.
Untuk neuroanestesia, pentotal merupakan
barbiturat yang paling sering digunakan. Metoheksital
dan tiamilal juga digunakan di negara-negara lain.
Pentotal dimetabolisme di hepar 10−25% per jam.
Pentotal umumnya diubah menjadi metabolit yang tidak
aktif, tetapi sejumlah kecil menjadi pentobarbital yang
14
bersifat long acting. Pentotal juga mempunyai hepatic
exctraction ratio (klirens dibagi aliran darah ke hati) yang
rendah dan eliminasi lebih bergantung pada enzim jika
dibandingkan dengan aliran darah ke hati. Lambatnya
eliminasi pentotal menyebabkan terjadinya akumulasi
obat bila diberikan dalam dosis besar.
Pentotal menurunkan tekanan intrakranial hanya
jika telah ada kenaikan tekanan intrakranial, dan pada
bedah saraf dipentingkan untuk mengurangi kenaikan
tekanan intrakranial akibat teknik anestesi, misalnya
pada saat laringoskopi-intubasi dan akibat obat anestesi
yang lain. Pentotal merupakan obat anestesi intravena
terpilih untuk anestesi operasi otak.
Proteksi otak harus dilakukan sebelum, selama
pemberian anestesi, dan setelah operasi selesai. Pada
umumnya, digunakan pentotal dengan dosis 1−3
mg/kgBB/jam. Mekanisme pentotal yang bekerja sebagai
protektor adalah dengan menurunkan CMRO,
memperbaiki distribusi aliran darah otak, menekan
kejang, menekan katekholamin yang menyebabkan
hiperaktivitas, anestesia, imobilisasi, hilangnya
termoregulasi, menurunkan tekanan intrakranial,
menurunkan edema serebral, menurunkan sekresi
cairan serebrospinal, pembersih radikal bebas, stabilisasi
membran, hambatan kanal calsium, serta mengubah
metabolisme asam lemak.
15
menyebabkan pelepasan histamin dan terjadi peningkatan
volume darah otak dan tekanan intrakranial. Sekarang d-
tubokurarin sudah tidak dipasarkan lagi. Bila pasien
sedang menerima fenitoin, kebutuhan dosis relaksan non-
depolarisasi akan meningkat dan lama kerja obat menjadi
sangat berkurang.
Dengan obat pelemas otot nondepolarisasi, aliran
darah otak dan tekanan intrakranial berubah secara
minimal bila dilakukan pernapasan kendali dan dicegah
terjadinya peningkatan PaCO2.
Vekuronium tidak menyebabkan pelepasan
histamin atau perubahan pada tekanan darah atau
denyut jantung. Pada kucing yang mengalami
peningkatan tekanan intrakranial, pemberian
vekuronium tidak menyebabkan kenaikkan tekanan
intrakranial lebih lanjut. Pada pasien penderita tumor
otak, vecuroniun tidak atau sedikit mempengaruhi
tekanan intrakranial.
Vekuronium tidak mempengaruhi dinamika cairan
serebrospinal atau tekanan intrakranial. Vekuronium
paling sedikit meningkatkan aliran darah otak atau
tekanan intrakranial jika dibandingkan dengan pelemas
otot yang lain, sehingga vekuronium (Norcuron)
merupakan obat pelemas otot terpilih untuk
neuroanestesi. Karena ada pemisahan dari efek
neuromuskuler dan efek otonom, stabilitas
kardiovaskuler dipertahankan pada dosis 8 kali ED95
(misal 0,4 mg/kgBB), tetapi bradikardi berat bisa terjadi
bila diberikan bersama-sama dengan narkotik. Perlu
diberikan atropin sebelumnya untuk mencegah
terjadinya bradikardi. Metabolisme terjadi di hepar,
tetapi pada gagal hepar hanya sedikit menambah
pemanjangan efek obat sebab pemulihan sering terjadi
pada distribusi daripada fase eliminasi. Metabolit yang
masih aktif diekresi melalui empedu. Dosis untuk
intubasi 0,1 mg/kg dan untuk infus 0,1 mg/kg/jam.
16
vasodilatasi, misalnya N2O atau anestetika inhalasi
volatil, opioid umumnya menyebabkan vasokonstriksi
dan menurunkan aliran darah otak. Sebaliknya, bila
digunakan obat yang bersifat vasokonstriksi, misalnya
barbiturat, atau bila opioid digunakan tanpa
penambahan obat lain, tidak ada atau sedikit efeknya
pada aliran darah otak sepanjang PaCO2 dipertahankan
dalam batas normal. Opioid tidak mempengaruhi
autoregulasi serebral dan respons terhadap CO2.
Efek pada metabolisme serebral juga dipengaruhi
oleh obat anestesi lain. Bersama dengan N2O, opioid
menyebabkan penurunan metabolisme serebral yang
terbatas, tetapi bila digunakan sebagai obat tunggal,
efeknya tidak jelas. Opioid tidak mempunyai efek
proteksi otak. Fentanil menurunkan metabolisme
serebral, dan tidak mempunyai efek positif yang sama
pada post ischemic metabolic state, seperti halnya
barbiturat dan hipotermia, tetapi tidak mempunyai efek
yang memperburuk.
Narkotik menyebabkan depresi napas,
mempengaruhi frekuensi napas, ritme, respon CO2,
volume semenit, dan tidal volume. Secara klinis, terlihat
adanya penurunan frekuensi napas, yang dikompensasi
dengan peningkatan volume tidal. Penurunan respons
CO2 menyebabkan hiperkapnia, yang meningkatkan
aliran darah otak dan volume darah otak Untuk pasien
yang mengalami penurunan komplians intrakranial,
narkotik akan menyebabkan keadaan yang ber-bahaya
karena ada peningkatan tekanan intrakranial yang akan
menurunkan tekanan perfusi otak. Orang tua, infant,
dan pasien penderita penyakit paru sensitif terhadap
obat-obat yang mendepresi napas sehingga pemakaian
narkotik pada pasien-pasien tersebut harus hati-hati.
Komplikasi yang serius dari pemakaian opiat pada
pasien bedah saraf adalah kekakuan otot. Umumnya,
kejadian dan intensitas kaku otot meningkat dengan
meningkatnya potensi, dosis, dan kecepatan pemberian
obat. Kekakuan otot akan menyebabkan sulitnya
melakukan ventilasi, terutama selama induksi anestesi.
Kekakuan ini bisa menyebabkan hipoventilasi dan PaCO2
17
akan meningkat. Sulitnya, ventilasi dan kekakuan otot
akan meningkatkan tekanan vena sentral, yang akan
menyebabkan pengurangan drainase vena intrakranial
sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan volume
darah otak dan tekanan intrakranial yang besar. Usaha
untuk mengurangi kekakuan otot dengan benzodiazepin
dan barbiturat kurang menolong. Yang paling baik
diberikan adalah pelemas otot sebelum pemberian opiat.
Narkotik mempunyai beberapa efek pada traktus
gastrointestinal. Yang paling sering muncul adalah mual-
muntah yang disebabkan oleh stimulasi langsung pada
chemoreceptor triger zone (CTZ), vestibular, gangguan
mobilitas gastrointestinal, penurunan mobilitas gaster,
peningkatan volume gaster, terjadinya muntah
menimbulkan risiko aspirasi, kenaikan tekanan darah,
dan tekanan intrakranial.
Pada anjing dan tikus, bila fentanil diberikan
bersama dengan N2O, menyebabkan penurunan aliran
darah otak dan cerebral metabolic rate for oxygen
(CMRO2). Pada biri-biri yang baru lahir yang tidak
dianestesi, fentanil dengan dosis 4,4mg/kg tidak
mengubah aliran darah otak atau CMRO2.
Fentanil 5µg/kg tidak mempengaruhi tekanan cairan
serebrospinal dan penurunan tekanan perfusi otak hanya
14±3%. Fentanil 3µg/kg dan sufentanil 0,6µg/kg dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (8±2 dan
6±1 mmHg) pada pasien penderita trauma serebral. Kedua
opioid menurunkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) sebesar 10−11 mmHg.
Bila tidak direncanakan untuk melakukan ventilasi
pascabedah, dosis sebaiknya tidak boleh lebih dari 6
µg/kg, baik dosis tunggal maupun ulangan, karena lama
kerja narkotik menjadi memanjang dan ada risiko
depresi napas sampai periode pascabedah. Selain itu,
dosis tinggi harus dihindari karena fentanil mempunyai
efek epileptogenik.
Anestetika Inhalasi
Pemilihan anestetika inhalasi pada umumnya menurut
efeknya pada sistem kardiovaskuler, tetapi pada bedah
18
saraf harus dilihat efeknya pada fisiologi otak. Semua
obat anestesi inhalasi menyebabkan peningkatan aliran
darah otak yang akan menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial. Autoregulasi terhadap tekanan darah akan
hilang bila diberikan halotan atau enfluran lebih dari 1
MAC. Pada dosis 1 MAC isofluran tidak mengganggu
autoregulasi. Obat anestesi inhalasi pada dosis tertentu
menyebabkan depresi SSP, yang diperlihatkan dengan
melambatnya EEG. Pada saat EEG menjadi isoelektrik
atau datar, berarti ada supresi maksimal terhadap fungsi
neuron. Karena metabolisme proporsional dengan fungsi,
saat ini merupakan minimum CMRO2, kira-kira 40−50%
dari normal.
a. Nitrous oksida
Kenyataan bahwa N2O dalam jangka waktu yang lama
dianggap mempunyai efek yang ringan pada fisiologi
serebral, membuat tercengang, karena pada tahun 1963
McDowall dkk., melihat adanya penurunan yang
reversible pada aliran darah otak bila udara
menggantikan N2O selama anestesi dengan halotan.
Selanjutnya, pada tahun 1968 Theye dan Michenfelder
menunjukkan bahwa N2O menimbulkan suatu
peningkatan metabolisme serebral pada anjing. Salah
perkiraan ini telah menyebabkan banyak kebingungan
dalam riset anestesiologi dan fisiologi serebral.
19
Ada sejumlah penelitian, baik pada binatang
maupun manusia, yang mengkonfirmasikan bahwa N2O
menimbulkan vasodilatasi serebral sebagai ekses dari
efek stimulasi pada metabolisme otak. Suatu
peningkatan pada metabolisme serebral telah
ditunjukkan pada tikus, kambing, dan anjing. Efek
vasodilatasi serebral ini terlihat pada kelinci, kucing,
tikus, anjing, babi, dan manusia.
Penelitian terhadap manusia dilakukan untuk
menganalisis aliran darah otak regional. Penelitian
tersebut menemukan adanya perubahan yang heterogen
yang bertendensi meningkat di korteks bagian anterior
dan menurun di korteks bagian posterior. Perubahan
antero-posterior ini berbeda dibandingkan dengan
perubahan yang ditimbulkan oleh vasodilator lain, seperti
CO2 yang menyebabkan perubahan aliran darah otak
yang seragam di semua bagian korteks. Peningkatan
aliran darah otak dengan N2O paling nyata terbukti
selama anestesi inhalasi. Terjadi peningkatan aliran darah
otak bila N2O ditambahkan pada anestesi dengan halotan.
Secara teoretis, perubahan aliran darah otak dengan N2O
bersifat sekunder terhadap perubahan CMR atau akibat
langsung pada pembuluh darah serebral.
Peningkatan kedalaman anestesi dari 0,5 ke 1 MAC
isofluran menyebabkan penurunan yang nyata pada
CMRglu, sedangkan bila ditambah 70% N2O (0,5 MAC)
pada 0,5 MAC isofluran (1 MAC total) CMRglu tidak
berubah. Tidak adanya perubahan CMR bila 0,5 MAC
N2O ditambah pada 0,5 MAC isofluran menunjukkan
bahwa efek N2O pada aliran darah otak bersifat langsung
dan juga oleh faktor lain, selain karena perubahan
metabolisme serebral.
Pada penelitian kelinci ternyata walaupun
reaktivitas CO2 tetap ada selama pemberian N2O,
hiperventilasi tidak mencegah vasodilatasi bila N2O
ditambahkan pada volatile anestesi. Walaupun N2O
secara jelas meningkatkan aliran darah otak dan CMR,
efek ini mungkin berbeda bila diberikan obat anestesi
intravena. Pada penelitian tentang pengaruh propofol
terhadap kera, ditemukan bahwa penambahan udara
20
dalam campuran udara respirasi dengan 60% N2O
tidak mempunyai pengaruh pada aliran darah otak
atau CMR. N2O adalah suatu vasodilator yang lebih
kuat daripada isofluran pada manusia. Pengaruh N2O
pada tekanan cairan serebrospinal pada pasien tumor
otak lebih penting daripada efek isofluran pada dosis
yang equipoten. Pada tahun 1974 sudah dibuktikan
bahwa N2O meningkatkan tekanan intrakranial pada
pasien yang mengalami penurunan komplians otak.
Pengaruh N2O terhadap autoregulasi belum pernah
dapat ditunjukkan.
Sebanyak 60% N2O meningkatkan aliran darah
otak ±100% dan meningkatkan CMRO2 20%. Pemberian
reserpin sebelum pemberian N2O tidak mengubah efek
N2O terhadap aliran darah otak dan CMRO2. Hal ini
menunjukkan bahwa efek N2O bukan karena hiperaktif
simfatis. Pada biri-biri, N2O meningkatkan aliran darah
otak dan CMRO2 tanpa adanya peningkatan
katekholamin plasma. Akan tetapi, peneliti lain
mengatakan N2O menyebabkan peningkatan aktivitas
simfatis, dengan menimbulkan kontriksi perifer dan
peningkatan norepinefrin.
Tidak seperti halnya gas anestesi yang lain, N2O
mempunyai sedikit pengaruh atau sedikit meningkatkan
CMRO2. N2O menyebabkan peningkatan aliran darah
otak, volume darah otak, dan tekanan intrakranial lebih
lemah jika dibandingkan dengan halotan karena mudah
dilawan dengan hipokarbia dan vasokonstriksi. N2O
adalah sebuah serebral vasodilator kuat, yang
meningkatkan aliran darah otak 100% atau lebih pada ½
MAC. Bila ditambah 1 MAC halotan, aliran darah otak
naik 3 kali lipat. Perubahan pada aliran darah otak
dikurangi oleh barbiturat, narkotik, dan hipokapnia. N2O
tidak mempengaruhi hemodinamika cairan serebrospinal.
Ada laporan peningkatan tekanan intrakranial yang
hebat bila digunakan N2O pada pasien dengan aerocele
atau sampai 5 hari setelah pneumo-encefalografi. Juga,
bila ada risiko emboli udara, N2O harus dihindari atau
diberikan secara hati-hati. N2O menyebabkan muntah
pada 90% pasien.
21
b. Isofluran
Konsep konvensional menyatakan bahwa obat anestesi
mengubah fungsi neuron. Oleh karena itu, obat anestesi
mengubah kebutuhan metabolisme dan sekunder
terhadap hal itu, transpor oksigen, dan glukosa pada
otak. Dengan kata lain, fungsi mengendalikan metabolisme,
dan metabolisme mengendalikan aliran darah.
Obat anestesi inhalasi (kecuali N2O) menyebabkan
penurunan CMR yang maksimal bila fungsi aktivitas sel
otak berhenti, dan dalam hal ini, EEG menjadi
isoelektrik. Depresi metabolisme yang progresif terjadi
dengan konsentrasi isofluran lebih besar daripada 1 MAC
sampai EEG menjadi isoelektrik. Metabolik depresi oleh
isofluran lebih kuat daripada oleh halotan pada dosis
yang equipoten.
Pada tahun 1972 Smith dan Wollmann
menunjukkan bahwa obat anestesi inhalasi mempunyai
karakteristik yang unik antara aliran darah otak dan
CMRO2. Walaupun kebanyakan obat anestesi menurunkan
CMR, obat-obat itu meningkatkan aliran darah otak dan
besarnya efek yang tidak berpasangan ini bergantung pada
besarnya dosis. Konsep tradisional ini ditentang karena
selama anestesi menggunakan halotan dan isofluran pada
tikus, mereka menemukan korelasi yang kuat antara CMR
dan aliran darah otak. Sebagai tambahan, untuk suatu
CMRglu yang identik, aliran darah otak lebih tinggi dengan
isofluran daripada dengan halotan.
Isofluran merupakan obat anestesi inhalasi terbaik
untuk neuroanestesi yang menurunkan CMRO2 50%
pada 2 MAC. Karena efek CMRO2 oleh isofluran terjadi
akibat penurunan fungsi neuron, bukan oleh toksisitas
metabolik, dosis isofluran yang lebih tinggi tidak
menimbulkan perubahan seperti pentotal. Hal ini tidak
mengherankan karena obat-obat ini tidak memberikan
keuntungan selama iskemia berat yang menimbulkan
EEG datar. Untuk incomplete global ischemia, seperti
yang terjadi pada teknik hipotensi, isofluran dan pentotal
memperbaiki hasil operasi. Untuk incomplete regional
ischemia, isofluran kurang efektif jika dibandingkan
dengan pentotal.
22
Isofluran, sebagai suatu vasodilator serebral, akan
mengambil darah dari daerah iskemia yang mengalami
vasomotor paralisis (steal phenomena). Sebaliknya,
pentotal merupakan suatu serebral vasokonstriktor yang
dapat mendistribusikan darah ke daerah yang sama
(inverse steal).
Dengan isofluran, aliran darah otak juga akan
meningkat, tetapi kurang jika dibandingkan dengan obat
anestesi inhalasi yang lain. Pada konsentrasi rendah
(0,5%), isofluran menurunkan aliran darah otak,
sedangkan pada konsentrasi 0,95% meningkatkan aliran
darah otak. Peningkatan tekanan intrakranial dengan 1%
isofluran ini dapat dihilangkan dengan hipokapnia atau
dengan barbiturat.
Autoregulasi terganggu oleh isofluran, tetapi tetap
berfungsi sampai 1,5 MAC. Respons terhadap hipokapnia
masih baik sampai 2,8 MAC, tetapi pada dosis ini
kenaikan PaCO2 gagal untuk mempengaruhi aliran darah
otak karena pembuluh darah otak sudah berdilatasi
maksimal. Dengan isofluran, aliran darah otak
meningkat, tetapi ada penurunan resistensi absorpsi
cairan serebrospinal. Dengan hiperventilasi, perubahan
tekanan intrakranial minimal. Peningkatan tekanan
intrakranial akibat isofluran berakhir setelah 30 menit,
tetapi akibat halotan/enfluran berakhir lebih dari 3 jam.
Isofluran menurunkan tekanan darah, terutama dengan
menurunkan resistensi perifer. Isofluran juga sering
digunakan untuk menurunkan tekanan darah, terutama
pada kasus operasi aneurisma. Dengan isofluran kadar
katekholamin meningkat, tetapi sangat kurang jika
dibandingkan dengan nitroprussid. Tidak ada hipertensi
rebound atau takifilaksis akibat isofluran. Bila terjadi
takikardi akibat isofluran, hal itu bisa diatasi dengan β-
bloker. Isofluran mempunyai efek serebral metabolik
depresi kuat sehingga mempunyai efek proteksi otak.
23
Suhu mild hipotermia (350C, core temperatur). Pada
operasi tumor otak hipotermia yang dilakukan hanta
permisif hipotermia yaitu sampai suhu 350C. Hipotermi
sering dilakukan pada subarachnoid hemorrhage akibat
pecahnya aneurisma serebral atau arteriovenous
malformation (AVM) dan cedera otak traumatik.
24
dan oksigenasi otak, mengurangi kadar lipid dan
kolesterol pasien cedera otak traumatik di area
perikontusio, serta mengurangi tekanan intrakranial
sebesar 3-10 mmHg.
Penggunaan hipotermia selalu terlambat pada saat
resusitasi awal, optimalisasi CPP/CBF, evakuasi bedah,
pemantauan ICP, pengendalian perdarahan pasien
cedera otak traumatik. Padahal cedera otak sekunder
dapat terjadi akibat temperatur, diperberat oleh demam,
dan dihambat oleh hipotermi. Panas setelah cedera otak
traumatik dapat menimbulkan hipertensi intrakranial dan
memperburuk prognosis.
Pada cedera otak traumatik dapat terjadi cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Kekuatan
mekanis dari luar dapat menimbulkan gangguan
menetap atau temporer berupa perubahan kesadaran,
gangguan fungsi kognitif, fisikal, psikososial.
Penyebabnya adalah kontusio otak, epidural hematoma,
perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikuler,
cedera robekan. Insult sekunder dapat berupa hipotensi
arterial, hipoxemia/hiperoxemia, hiperkapnia/ hipokapnia,
hiperglikemia/hipoglikemia, hipertermia, gangguan
keseimbangan air dan elektrolit, anemia, seizure. Cedera
sekunder dapat menyebabkan terjadinya iskemia seluler,
pembengkakkan neuron, edema vasogenik, dan
pembengkakkan otak dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan menurunkan tekanan perfudi otak
(cerebral perfusion pressure/CPP).
Terapi hipotermi telah digunakan pada pasien
dengan henti jantung, asfiksia perinatal, cedera otak
traumatik, oprasi jantung, bedah saraf, bedah vaskuler.
Komplikasi dari hipotermia dalam (profound/deep
hypothermia) adalah pneumonia, sepsis, disritmia
jantung, hipotensi, masalah perdarahan karena adanya
koagulopati. Komplikasi kardiovaskuler adalah depresi
miokardial, disritmia termasuk ventricular fibrilasi,
hipotensi, perfusi jaringan tidak adequat, iskemia.
Gangguan koagulasi berupa thrombositopenia,
fibrinolisis, disfungsi platelet, peningkatan perdarahan.
Gangguan metabolisme berupa melambatnya metabolisme
25
anestetika, memanjangnya blokade neuromuskuler,
meningkatnya katabolisme protein. Adanya komplikasi
menggigil akan meningkatkan konsumsi oksigen,
meningkatkan produksi CO2, desaturasi O2 arterial,
ketidakstabilan hemodinamik.
26
mungkin mempunyai efek menguntungkan dalam hal
penurunan ICP dan kemungkinan proteksi otak. Akan
tetapi, sampai saat ini penelitian klinis belum
membenarkan penggunaan hipotermi untuk proteksi
otak pada keadaan-keadaaan tersebut.
Untuk mencapai keuntungan maksimum, terapi
hipotermi harus diberikan sesegera mungkin, langsung
ke target suhu yang diinginkan dan diberikan dalam
jangka waktu lama. Pasien yang menunjukkan respons
terhadap teurapetik hipotermia adalah pasien usia muda
(<15 tahun) dan yang mengalami cedera kepala berat
dengan GCS 4 sampai 7 saat masuk ke rumah sakit.
Pada kasus stroke ikemik, hipotermia harus dikombinasi
dengan perfusi otak yang adekuat. Bukti keuntungan
hipotermi ringan tidak ada untuk carotid endarterectomy
(CEA) dan clipping aneurisma serebral.
Walaupun riset klinis tidak menunjukkan
perbaikan pada outcome, hipotermi ringan (32−350C),
dan hipotermi sedang (26−310C) telah digunakan untuk
prosedur jantung. Hal yang sama, hipotermia dalam
(deep hypothermia, suhu 18−250C) selama henti sirkulasi
juga digunakan pada repair penyakit jantung kongenital,
aorta torakalis pada dewasa, dan giant atau serebral
aneurisma kompleks.
Ada beberapa komplikasi serius dari hipotermia
yang membatasi efek menguntungkan dalam memelihara
fungsi neuron. Keadaan ini kebanyakan terjadi pada
hipotermia berat dan sedang. Komplikasi yang terjadi
dapat mengenai sistem kardiovaskuler, gangguan
koagulasi, perlambatan metabolisme obat, dan menggigil.
Komplikasi kardiovaskuler antara lain depresi
miokardium, disritmia, hipotensi, dan perfusi jaringan
yang tidak adekuat. Gangguan koagulasi antara lain
trombositopenia, fibrinolisis, dan disfungsi platelet.
Menggigil dapat menyebabkan desaturasi oksigen,
ketidakstabilan hemodinamik, peningkatan kebutuhan
oksigen dan produksi CO2.
Dalam dekade yang lalu penelitian menunjukkan
bahwa hipotermi ringan secara nyata menurunkan
cedera pada pasien dengan iskemia serebral. Ada resiko
27
sistemik yang nyata dan faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan sebelum dilakukan teknik hipotermi.
Hipotermi ringan (sampai suhu 34OC) mempunyai efek
proteksi otak.
Terdapat sejumlah laporan penelitian model
binatang percobaan pada iskemi serebral global untuk
melihat efek proteksi dengan penurunan temperatur
1−4OC. Untuk penurunan 3OC, ada penurunan cerebral
metabolic rate for oxygen (CMRO2) sebanyak 20%. Akan
tetapi, efek proteksi otak dengan hipotermia ringan
bukan primer pada efeknya menurunkan CMRO2, tetapi
juga pada mediator cedera iskemik (misalnya dengan
menurunkan pelepasan EAA). Hipotermia ringan untuk
beberapa hari setelah kliping aneurisma, subarachnoid
hemorrhage (SAH) atau cedera kepala secara nyata
mengurangi konsentrasi glutamat pada cairan
serebrospinal. Hipotermia ringan juga mempunyai
keuntungan lain dengan bekerja pada sintesa ubiqitin
dan aktivasi protein C-kinase atau dengan stabilisasi
membran dan mengurangi konsentrasi kalsium
intraseluler.
Peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan
CMRO2 yang menyebabkan ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan pasokan oksigen. Beberapa penelitian
klinis hipotermia ringan selama 24-48 jam setelah cedera
kepala berat memperbaiki outcome neurologis. Beberapa
pusat pendidikan anestesi menggunakan teknik
hipotermia ringan (33−35OC) pada operasi dimana jelas
ada resiko cedera iskemi susunan saraf pusat, misal
cliping aneurisma serebral.
Pengaturan temperatur pasien yang dirawat di ICU
adalah konsep “low normothermia” yaitu pasien
dipertahankan dalam temperatur 36oC. Pada penelitian
invitro menunjukkan bahwa hipotermia akan memelihara
ATP, mengurangi Ca influks, memperbaiki pemulihan
elektrofisiologis dari hipoksia sedangkan hipertermi akan
menghabiskan ATP, meningkatkan Ca influks dan
mengganggu pemulihan. Adanya demam pada pasien
neuro dan jantung akan memperburuk outcome, sebagai
contoh 90% pasien SAH akan mengalami hipertemi
28
selama perawatan di ICU dan dihubungkan dengan
buruknya outcome.
Penelitian pada pasien yang diberikan moderat
hipotermi (33oC) 11 dari 24 pasien meninggal akibat
herniasi yang disebabkan peningkatan ICP sekunder
setelah rewarming dan 10 dari 25 pasien (40%)
menderita pneumonia. Kalau keuntungan hipotermi
ringan terbatas pada mencegah hipertermi, keuntungan
yang lebih baik adalah mempertahankan pasien dalam
low normothermia.
Terdapat bukti-bukti neuroproteksi dari profilaksis
hipotermi ringan. Data yang baru yang membandingkan
normotermi dengan hipotermi (35,5−36,5 lawan 28−30oC)
pasien bypass kardiopulmonal, gagal menunjukkan
keuntungan dari hipotermi. Akan tetapi sampai bukti-
bukti empiris ada, dianjurkan untuk melakukan
hipotermi ringan intraoperatif.
Mekanisme proteksi otak dengan hipotermi adalah
menurunkan metabolisme otak, memperlambat
depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis
ion, menurunkan excitatory neurotransmisi, mencegah
atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap
perubahan biokimia.
Efek proteksi serebral dari hipotermia telah
diketahui dengan baik. Teknik yang aman dan efektif
untuk melakukan hipotermi, masih sulit ditentukan.
Untuk mencapai hipotermi ringan dengan pendinginan
permukaan tubuh berlangsung lambat karena adanya
vasokontriksi perifer dan pada umumnya gagal untuk
mendinginkan otak mencapai temperatur inti. Selain itu,
prosedur pendinginan permukaan tubuh sulit dengan
adanya fenomena rewarming afterdrop dan dapat
menyebabkan pembengkakan otak selama periode
rewarming. Hal ini ditambah dengan adanya efek buruk
akibat hipotermi pada seluruh tubuh, termasuk
terjadinya aritmia jantung, koagulopati, hemolisis,
disfungsi hepar dan renal dan penekanan fungsi imun.
Untuk menghindari komplikasi sistemik akibat
pendinginan seluruh tubuh (total body cooling) peneliti-
peneliti mencoba melakukan pendinginan secara selektif
29
hanya pada serebralnya saja. Alat-alat pendinginan
eksternal telah terbukti efektif dalam mendinginkan
secara selektif pada otak saja pada binatang kecil.
Sayangnya, tidak berhasil dilakukan pada binatang yang
lebih besar. Penelitian lain menunjukkan kelambatan
teknik ini yaitu ketidak mampuan mencapai bagian otak
yang dalam. Sebaliknya, extracorporeal cerebral bypass
hypothermia efektif untuk melakukan pendinginan otak
secara selektif, akan tetapi, teknik ini memerlukan
heparin yang menjadi sulit pada pasien trauma pembuluh
darah, embolisasai, edema serebral idiopatik dan telah
ditinggalkan karena tidak praktis dan tidak aman.
Satu penelitian dengan melakukan pendinginan
intravaskuler dikarenakan kegagalan mencapai
hipotermia ringan pada pasien cedera kepala berat.
Penelitian ini ditekankan pada kebutuhan mendapatkan
cara yang lebih aman, efektif untuk mencapai keadaan
serebral hipotermia. Mack melakukan katerisasi vena no
10 F melalui vena femoralis dan ujungnya mencapai vena
cava inferior. Dilakukan pendinginan dengan kecepatan
6,3(0,8)0C, dan temperatur otak 32,2(0,2)0C dicapai
dalam waktu 47,7 (6,32) menit.
Cedera otak akibat cedera merupakan penyebab
penting dari kematian dan disabilitas pada personil sipil
maupun militer. Dengan sistem pengorganisasian trauma
care dan critical care yang baik dan adekuat, mortalitas
dari cedera kepala berat telah menurun dari kira-kira
50% pada tahun 70-an menjadi 30% pada tahun 2001.
Lebih penting, penurunan mortalitas ini dihubungkan
dengan peningkatan proporsi yang hidup dengan fungsi
otak yang relatif normal. Bagaimanapun, pencapaian
yang luar biasa ini tidak diketahui secara luas.
Perbaikan ini dianggap disebabkan karena lebih
cepatnya transportasi pasien ke UGD, menghindari
terjadinya hipotensi dan hipoksia, metode resusitasi yang
lebih efektif, brain imaging yang segera, intervensi bedah
yang segera, ICU yang baik, dan pemantauan serta
pengelolaan tekanan intrakranial.
Beberapa dari cedera neurologis dapat terjadi pada
saat terjadinya kecelakaan dan mungkin bersifat
30
ireversibel. Tetapi, kemudian terjadi proses biokimia
yang memperburuk outcome. Menghambat atau melawan
proses ini menjadi target neuroscientist dalam banyak
tahun. Sebagai data, terdapat lusinan penelitian klinis
dari obat seperti free radical scavenger, antagonis
glutamat, Ca chanel blocker yang mungkin mengurangi
cedera pada otak pasien dengan cedera kepala.
Walaupun telah dipelajari tentang patofisiologi cedera
otak dan faktor-faktor yang mempengaruhi outcome,
tidak ada satupun obat yang terbukti efektif. Pendekatan
non-farmakologi untuk pengobatan pasien dengan cedera
otak trauma difokuskan pada pencegahan hipertensi
intrakranial dan mempertahankan perfusi otak yang
adekuat.
Penelitian klinis multisenter dari hipotermia pada
pasien dengan cedera kepala berat telah dilaporkan oleh
Clifton dkk, walaupun mengecewakan, menggambarkan
hasil yang penting. Penelitian Clifton dimulai tahun
1994 dengan harapan ada bukti definitif keuntungan
hipotermi pada pasien cedera kepala. Akan tetapi, pada
bulan Mei 1998, penelitian tersebut dihentikan oleh
board keamanan dan pemantauan pasien setelah
dilakukan pada 392 pasien dari 500 pasien yang
direncanakan, karena ternyata terapi hipotermi tidak
efektif. Pendinginan pasien dengan target suhu
kandung kencing 330C dalam 8 jam setelah cedera dan
dipertahankan hipotermi selama 48 jam tidak efektif
dalam memperbaiki outcome klinik pada 6 bulan
kemudian. Dalam kenyataannya, pasien yang berumur
> 45 tahun.
Mild hypothermia : temperatur inti tubuh 32-340C
dapat memproteksi tubuh efek inflamasi setelah cedera
otak, henti jantung, atau acut miokardial infark. Tujuan
terapi hipotermi pada keadaan–keadaan tersebut adalah
untuk mengurangi cedera iskemi yang disebabkan
karena proses biokimia.
Mekanisme proteksi dari hipotermi belum
dimengerti dengan jelas. Pada iskemi serebral akibat
stroke atau henti jantung, hipotermi mengurangi
metabolisme otak dan kebutuhan oksigen dan
31
menurunkan kadar excitatory amino acids (EAA).
Hipotermi juga menghambat infark miokard pada acute
myocardial infarct (AMI), kemungkinan dengan
mekanisme yang sama.
Hipotermia ringan mungkin rentang terapi yang
paling aman dan paling efektif, bahkan bila diberikan
dalam jangka waktu lama, hipotermia ringan tidak
menimbulkan komplikasi seperti hipotermi moderat
(28-320 C). Sebaliknya, hipotermi moderat dapat
menimbulkan terjadinya aritmia jantung, fibrilasi
ventrikel, koagulopati, dan infeksi.
Terapi hipotermia mempunyai efek dalam
menurunkan metabolisme otak, menurunkan pelepasan
EAA, pencegahan apoptosis, mengurangi disfungsi
mitokhondria, mengurangi produksi radikal bebas,
mengurangi oksidatif DNA, mempertahankan ATP,
menurunkan Ca influx, memelihara sintesa protein dan
sawar darah otak, mencegah peroksidasi lipid,
mengurangi pembentukan edema, memodulasi respons
inflamasi dan kematian sel secara apptotik. Terapi
hipotermi dapat mengendalikan tekanan intrakranial.
32
Bagaimana cara melakukan penurunan suhu?
Pengelolaan tradisional hipertermi setelah cedera otak
traumatik (COT) adalah dengan memberikan
antipiretik, selimut pendingin, ice packs, dan beberapa
kasus blokade neuromuskuler. Ada kekurangan dari
evaluasi literatur tentang efektivitas antipiretik
tradisional seperti asetaminofen, paracetamol, aspirin,
dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
untuk hipertermia akibat COT. Data terbatas
mendukung bahwa walaupun sering diberikan
antipiretik untuk mengobati hipertermi setelah COT,
ternyata tidak mampu (insufficient) mengobati pireksia.
Satu penelitian menunjukkan bahwa paracetamol
tidak bisa menurunkan suhu pada 20% anak untuk
mengobati hipertermia setelah COT. Acetaminophen
juga jarang berhasil dalam mengobati hipertermia pada
pediatrik COT. Antipiretik hanya efektif hanya pada 7%
pasien dewasa yang panas pada COT.
Induksi hipotermi dapat dilakukan dengan
pendinginan permukaan (surface cooling), endovascular
cooling, selective head cooling. Surface cooling dapat
dilakukan dengan kantong es, helm, vests, mattresses,
intravenous cooling, intravascular cooling devices,
selective brain cooling (pharyngeal). Pendinginan
intravena dilakukan dengan memberikan 20−30 mL/kg
larutan kristaloid (40C), diberikan lebih dari 30 menit
dan dengan teknik ini risiko terjadinya pneumonia
kecil.
Surface cooling dilakukan dengan selimut dingin
dan kantong es merupakan metode yang sangat
sederhana, dan butuh 3 jam untuk mencapai target
suhu, kebutuhan obat pelumpuh otot dan intubasi
untuk melawan vasokonstriksi dan menggigil.
Endovascular cooling membutuhkan waktu yang lebih
singkat untuk mencapai temperatur target, tidak
diperlukan pelumpuh otot dan intubasi dan
pengendalian menggigil. Head cooling adalah selective
head cooling dengan hipotermia sistemik ringan dan
diberikan pada neonatal ensephalopati.
33
Berapa cepat hipotermia harus dicapai?
Untuk penggunaan hipotermia sebagai neuroprotektif
dalam pencegahan kerusakan iskemik, itu diperlukan
untuk melakukan hipotermi sesegera mungkin setelah
insult dan mempertahankannya pada level terendah
yang aman.
Induksi hipotermi sangat segera pada pasien
dengan cedera otak traumatik berat (Very early
hypothermia induction in patient with severe brain
injury/the NABIS: Hypothermia II). RCT, penelitian klinis
multisenter, menyertakan 232 pasien cedera otak
traumatik berat (119 pasien dilakukan hipotermia
terapeutik dalam 2,5 jam setelah cedera, 113 pasien lagi
normotermia), umur 16−45 tahun, segera didinginkan
sampai 330C, dipertahankan untuk 48 jam dan
dihangatkan dengan kecepatan 0,50C setiap 2 jam.
Penelitian ini tidak mengkonfirmasikan kegunaan
hipotermia sebagai strategi neuroprokteksi yang utama
pada pasien dengan cedera otak traumatik berat.
34
Bagaimana memulihkan ke normotermi (rewarming)?
Pasien dengan hipertensi intrakranial diketahui
mempunyai refleks meningkatkan ICP selama rewarming
yang cepat. Menggigil selama rewarming akan
meningkatkan konsumsi oksigen dan harus dihentikan
dengan pemberian sedasi dan pelumpuh otot. Alat
penghangat adalah pemanas cairan, sikuit humidifier,
selimut air panas, forced air warming blankets (paling
cepat), lampu pemanas infrared. Rewarming dilakukan
bila ICP <20 mmHg (stabil untuk 48 jam). Dianjurkan
rewarming yang lambat lebih dari 12 jam dengan
kecepatan 0,10C/jam, ada yang menyarankan rewarming
dengan kecepatan 10C setiap 3−4 jam, 10C/hari, 0,50C
dalam 2 jam. Rewarming yang lambat 0,250C/jam
memberikan proteksi yang maksimal.
Bagaimana hasilnya?
Bukti klinis tentang hasil dari terapi hipotermia masih
kontroversial. Limabelas persen perbaikan outcome 6
bulan pada 46 pasien yang mana temperatur tubuhnya
diturunkan sampai 320C selama 48 jam yang dimulai
dalam 6 jam setelah cedera.
Penelitian lain menunjukkan perbaikan outcome
yang signifikan secara statistik sebanyak 38% pada 46
pasien dengan GCS 5−7 diantara 82 pasien yang
didinginkan sampai 320C. Walaupun terbatas, bukti
terbaik yang tersedia mendukung bahwa terapeutik
hipotermi dapat mengurangi risiko mortalitas dan
memperbaiki neurologik outcome, terutama bila
dipertahankan dalam waktu lebih dari 48 jam dan bila
digunakan pada pasien yang berespon baik terhadap
tindakan standar untuk mengendalikan ICP tanpa
menggunakan dosis tinggi barbiturat.
Satu sistematik review dari 18 penelitian yang
terdiri dari 13 RCT dan 5 penelitian observasional.
Terapeutik hipotermia 32−340C, efektip dalam
mengendalikan hipertensi intrakranial. Sebagai
kesimpulannya adalah tangguhkan menunggu hasil
penelitian multisenteer yang besar yang mengvaluasi
efek terapeutik hipotermia pada hipertensi intrakranial
35
dan outcome, terapeutik hipotermia harus dimasukkan
sebagai opsi terapi untuk mengendalikan hipertensi
intrakranial pada pasien dengan cedera otak traumatik
yang berat.
Sebaliknya, terapi dengan hipotermia dengan suhu
tubuh mencapai 330C dalam 8 jam setelah cedera, tidak
efektif untuk memperbaiki outcome pada pasien dengan
cedera kepala berat. Penelitian Clifton dkk., dimulai pada
tahun 1994, akan tetapi pada bulan Mei 1998,
penelitiannya dihentikan oleh Patient Safety and
Monitoring Board, setelah melakukan penelitian pada 392
dari 500 pasien yang direncanakan, disebabkan
terapinya tidak efektip. Satu Cochrane Database
Systematic Review tahun 2009 dengan kriteria seleksi:
penelitian RCT dengam hipotermia maksimal sampai
350C dan dilakukan minimal 12 jam. Dilakukan pada 23
penelitian dengan total 1614 pasien. Tidak ada bukti
bahwa hipotermia menguntungkan untuk terapi cedera
kepala.
Tidak konsistennya efek hipotermia terapi pada
cedera kepala berat pada penelitian-penelitian
sebelumnya mungkin disebabkan karena induksi
hipotermi terlalu terlambat setelah cedera. Satu
penelitian melakukan pendinginan segera (early cooling)
dalam 2−2,5 jam setelah cedera dengan suhu 33°C dan
dipertahankan selama 48 jam dan dibandingkan dengan
normotermia sebagai kontrol. Penelitian ini tidak
mengkonfirmasikan kegunaan hipotermia sebagai suatu
strategi neuroproteksi utama pada pasien dengan cedera
otak traumatika berat.
Untuk dapat melakukan terapi hipotermia
diperlukan unit khusus, personil yang berpengalaman
dan protokol pelaksanaannya.
36
Japanese trial (clinical trials: NCT00134472).
Peneltian RCT tentang terapi hipotermia untuk pasien
cedera kepala berat di (Maekawa T, et al). Mereka
membagi sampel dalam dua kelompok yaitu kelompok
normotermia 35−370C dan hipotermia ringan 32−340C
dan dipertahankan selama 72 jam. Pengambilan
sampelnya sudah selesai tapi belum dipublikasikan.
Polar RCT
Prophylactic Hypothermia Trial to Lessen TBI (POLAR-RCT)
dilakukan di Australian and New Zealand Intensive Care
Research Centre. Penelitian dilakukan pada 500 pasien dan
sampai saat ini masih mengumpulkan pasien. Suhu tubuh
diturunkan sampai 330C selama 3 hari. Rewarming
dilakukan dengan kecepatan 0,170 C/jam. Penelitian ini
dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah propilaksis
early hypothermia memperbaiki outcome pada 6 bulan
setelah cedera otak traumatik?
The Eurotherm3235Trial
European Society of Intensive Care Medicine study of HT
(32-35°C) for ICP reduction after TBI (the
Eurotherm3235Trial).
37
II. Teknik Anestesi
2.1. Airway
Untuk membebaskan jalan nafas, maka pada oprasi
otak, pasien harus diintubasi dengan pipa
endotrakheal non kinking, sebesar mungkin yang bisa
masuk. Setelah disamakan suara nafas di paru kiri
dan kanan, fiksasi dengan kuat, kalau perlu
digunakan 3−4 plester. Oropharyngeal airway dipasang
sesuai ukurannya, dari ujung bibir ke angulus
mandibula, dan bagian pangkal yang keras terletak
diantara gigi atas dan gigi bawah. Harus memakai
yang pas ukurannya karena kalau ujung bagian dalam
menekan pharyng dalam jangka waktu lama, maka
pascabedah pasien akan mengeluh sakit tenggorokan,
terjadi batuk-batuk yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Monitoring bahwa pipa endotrakheal ada
di jalan nafas dengan cara melihat pergerakan dada,
mendengarkan suara nafas, melihat embun pada pipa
endotrakheal dan melihat gambaran capnograph.
2.2. Breathing
Lakukan ventilasi kendali, jangan sampai pasien
bernafas spontan saat operasi dan hal itu dapat dicapai
dengan memberikan pelumpuh otot rokuronium atau
vekuronium konitnyu denan target train of four (TOF) 0-
1. Ventilasi untuk mencapai PaO2 jangan melebih 200
mmHg dengan cara memberikan oksigen dengan
air/udara, kalau tidak ada dapat oksigen dicampur
dengan N2O. Ventilasi untuk mendapatkan PaCO2
normokapnia (35 mmHg) atau sedikit hipokapnia 30−35
mmHg pada cedera otak traumatika dan pada tumor bisa
sampai PaCO2 30 mmHg (end Tidal CO2 24 mmHg).
Monitoring saturasi dengan oximetri dan monitoring
PaCO2 dengan capnograph.
2.3. Circulation
Hindari lonjakan tekanan darah. Tekanan darah boleh
naik atau turun sampai 20% dari awal. Teknik
induksinya dengan cara sebagai berikut: mula-mula
38
berikan fentanyl 1−3 ug/kg pelan-pelan jangan sampai
pasien batuk, lalu berikan propofol 2−2,5 mg/kg atau
pentotal 5 mg/kg, setelah refleks palpebra negatif, coba
ventilasi dan kalau aman berikan pelumpuh otot
rocuronium atau vecuronium. Berikan lidokain 1−1,5
mg/kg 20 detik sebelum laringoskopi intubasi. Ventilasi
dengan oksigen dan anestetika sevofluran atau isofluran
jangan lebih dari 1,5 MAC karena dosis lebih dari 1,5
MAC dapat menghilangkan autoregulasi serebral.
Tekanan darah terus di stat atau paling tidak ukur
setiap menit. Berikan ulangan pentotal atau propofol
setengah dosis induksi 30 detik sebelum laringoskopi.
Posisi head up normal untuk menghidari gangguan
drainase vena serebral. Target cairan normovolemi,
normoglikemia, isoosmoler. Jadi berikan NaCl 0,9% atau
Ringerfundin. Batasi penggunaan RL karena
hipoosmoler. Jangan diberikan cairan yang mengandung
glukosa. Jangan lupa sebelum induksi ganti kehilangan
cairan akibat puasa.
Monitoring tekanan darah dengan tekanan darah non
invasif atau invasif dan monitoring volume cairan dengan
CVP.
2.4. Drugs
Berikan obat yang mempunyai efek proteksi otak dan
tidak berefek meningkatkan ICP. Pilihan anestetika
intravena untuk induksi adalah pentotal, propofol atau
etomidate. Untuk rumatan dapat diberikan pentotal
kontinyu atau propofol kontinyu. Pelumpuh otot dengan
rokuronium atau vekuronium yang dapat diberikan
untuk fasilitas intubasi dan kontinyu untuk mencapai
TOF 0−1. Narkotik analgetik pilihan adalah fentanyl.
Anestetika inhalasi dapat dengan isofluran atau
sevofluran tapi jangan diberikan dengan dosis lebih dari
1,5 MAC karena dapat menghilangkan autoregulasi
serebral. Bila anestesi kurang dalam dapat diberikan
propofol atau pentotal. Kedalaman anestesi dapat dilihat
dengan PRST score (dengan melihat tekanan darah/blood
pressure (P), heart rate (R), sweat (S), tears (T) dan
bispectral index (BIS).
39
2.5. Environment
Suhu inti ditargetkan 350C di kamar operasi dan dapat
dicapai cukup dengan pengaturan suhu kamar operasi
serta pemberian cairan infus yang disimpan di kamar
operasi. Pengukuran temperature inti dilakukan di
faring. Pada periode prabedah dan pascabedah dapat
dilakukan pengukuran suhu inti di membran timpani.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Neuroanestesi dan Critical care: Cedera Otak
Traumatika. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran; 2012
2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Olah
Saga Citra 2012
3. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesi, ed
2, Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, 1997.
4. Bisri DY, Bisri T. Terapi Hipotermi setelah Cedera
Otak Traumatik. JNI 2014;3(3)
5. Bisri T. Penentuan jugular bulb oxygen saturation
(SJO2) dan cerebral extraction of oxygen (CEO2)
sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik
anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi
Universitas Padjadjaran, Pebruari 2002
40
2.1. Pendahuluan
Berdasarkan pada Central Brain Tumor Registry of the
United Sates (CBTRUS), 51.400 kasus baru tumor otak
dan susunan saraf pusat (SSP) primer baik ganas atau
jinak telah didiagnosa di Amerika Serikat pada tahun
2007. Diperkirakan bahwa tumor-tumor ini bertanggung
jawab untuk 12.740 kematian setiap tahunnya. Pada
dewasa yang paling sering adalah glioma (36%),
meningioma (32,1%), dan adenoma hipofise (8,4%). Kira-
kira setengah dari tumor-tumor ini bersifat ganas.
Kebanyakan dari tumor otak (>80%) adalah tumor
supratentorial. Untuk semua tumor otak primer, umur
median untuk diagnosis tersebut adalah 57 tahun. Dari
tahun 1985 sampai 1999, kejadian tumor otak primer
meningkat kira-kira 1,1% per tahun. Kejadian pasti
tumor otak akibat metastasis tumor dari tempat lain
tidak diketahui, akan tetapi, pada umumnya salah
penaksiran. Kira-kira 25% pasien yang meninggal akibat
kanker, terdeteksi adanya metastasis ke SSP pada saat
autopsi. Untuk 5 sumber paling umum dari tumor otak
metastasis (payudara, colorectal, ginjal, jantung dan
melanoma), 6% dari pasien mengalami komplikasi ini
41
dalam waktu 1 tahun dari diagnosis tumor primernya.
Jadi 5 kanker ini menyebabkan 37.000 kasus metastasis
tumor otak per tahun di Amerika Serikat. Sebaliknya,
kira-kira 10% pasien dengan kanker paru datang ke
dokter akibat keluhan dari tumor otak. Belum ada data-
data seperti ini di Indonesia.
Anestesi untuk bedah saraf memerlukan
pengetahuan mengenai prinsip dasar dari
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada
dinamika intrakranial (neurofarmakologi). Kebanyakan
prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena
adanya lesi massa. Prosedur supratentorial termasuk
operasi untuk tumor, hematoma, trauma, dan
vaskuler. Walaupun gambaran patofisiologis berbeda
untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan
anestesinya hampir sama.
Umumnya tumor otak lebih banyak mengenai laki-laki
daripada wanita. Distribusi dari keseluruhan tumor otak
dan tumor SSP menunjukkan bahwa kebanyakan
merupakan tumor supratentorial (36%) dan hanya 6,5%
merupakan tumor infratentorial.
Di Rumahsakit Dr. Hasan Sadikin Bandung,
penelitian Mutivanya Inez M, Dewi Yulianti Bisri, dan
Achmad Adam tentang “Insidensi Tumor Supratentorial
berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Hasan
Sadikin Tahun 2012-2013” yang dipublikasikan di
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Oktober 2015,
menemukan bahwa jenis tumor supratentorial
terbanyak adalah meningioma dan lokasi tumor
supratentorial paling banyak adalah pada sisi kiri otak
secara umum, atau pada lobus frontal secara spesifik.
Selama periode penelitian tersebut, terdapat 168
pasien tumor supratentorial. Berdasarkan jenisnya,
tumor dikelompokkan secara garis besar menjadi
glioma (14,88%), tumor kranial dan paraspinal
(0,60%), tumor meningen (70,24%), tumor pada region
sella (10,12%) dan tumor metastasis (4,17%).
Berdasarkan letaknya, tumor dikelompokkan secara
garis besar menjadi sisi kanan (35,12%), sisi kiri
(36,90%), region sellar (13,69%), sisi tengah (4,16%)
dan bilateral (10,12%).
42
2.2. Pertimbangan Umum
Dalam sudut pandang pasien, masalah yang
dihubungkan dengan tumor supratentorial adalah akibat
dari penekanan yang bersifat lokal dan umum, sedangkan
masalah untuk ahli bedah adalah selama pembedahan
jaringan otak dapat rusak akibat retraksi dan mobilisasi.
Anestesi untuk tumor supratentorial memerlukan
pengertian patofisiologi penekanan lokal atau tekanan
yang bersifat umum berupa peningkatan tekanan
intrakranial, regulasi dan pemeliharaan perfusi
intraserebral, bagaimana mencegah terjadinya cedera
sekunder pada otak (tabel 1); efek anestesi pada tekanan
intrakranial (intracranial pressure/ICP), perfusi dan
metabolisme otak, dan opsi terapi untuk menurunkan
ICP, pembengkakan dan tegangan otak perioperatif.
Pertimbangan dan masalah tumor otak adalah
akibat dari efek massa lokal dan efek umum akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Pembedahan harus
dilakukan dengan menghindari tekanan retraksi
sehingga selain pasien tidak bergerak juga harus
didapatkan otak yang slack.
Pertimbangan umum anestesia adalah menghindari
cedera sekunder (tabel 1). Oleh karena itu, pengertian
tentang patofisiologi ICP, CPP, efek anestetika pada ICP,
CPP, dan metabolisme otak (CMRO2) serta opsi terapi
untuk menurunkan ICP, pembengkakkan otak sangat
vital.
Tantangan operasi tumor supratentorial adalah
adanya perdarahan intraoperatif, kejang, emboli udara
(terjadi pada elevasi kepala, posisi duduk, atau masuk ke
sinus venosus), pemantauan fungsi otak, pascabedah
segera bangun atau diventilasi. Patologi intrakranial
dapat dipersulit dengan adanya kelainan ekstrakranial
misalnya penyakit kardiovaskuler dan pulmonal,
fenomena paraneoplastik dengan metastasis, dan efek
kemoterapi dan radiasi.
43
Tabel 4. Cedera Sekunder pada Otak yang Telah Cedera
Intrakranial Sistemik
Peningkatan tekanan Hiperkapnia/hipoksemia
intrakranial Hipotensi/hipertensi
Epilepsi Curah jantung rendah
Vasospasme serebral Hipoglikemia/hiperglikemia
Herniasi: falx, tentorium, Osmolalitas <280 atau > 320
foramen magnum, kraniotomi. mOsm/L
Midline shift: robekan pembuluh Menggigil/hipertermia
darah otak
44
terutama cairan serebrospinal dan darah. Otak mampu
berkompensasi bila ada massa dan masih mampu
mempertahankan homeostasis bergantung dari volume
massa dan kecepatan pertumbuhannya dimana kurfe
ICP-volume bergeser kekiri untuk perkembangan massa
yang cepat. Mekanisme homeostasis termasuk early
(kapasitas terbatas) terjadi pergeseran darah intrakranial
ke ekstrakranial, late (kapasitas lebih besar) cairan
serebrospinal berpindah, dan exhaustion, terjadi
peningkatan ICP yang cepat, sirkulasi serebral terganggu
dan terjadi herniasi otak sebagai tahapan akhir bila tidak
ada kompensasi lebih jauh.
Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (86%), darah
(4%) dan cairan serebrospinal (10%). Cairan
serebrospinal dibentuk dengan kecepatan konstan, 80%
atau lebih dibuat di pleksus koroideus, sisanya dibuat di
parenkim otak. Fungsi cairan serebrospinal adalah
untuk proteksi, sokongan, dan regulasi kimia otak.
Produksi cairan serebrospinal kira-kira 0,35-
0,4_ml/menit atau 30_ml/jam atau 500-600 ml/hari.
Absorpsinya bergantung pada perbedaan tekanan cairan
serebrospinal dan vena. Absorpsi tersebut terjadi melalui
villi khorialis. Beberapa obat anestesi mempengaruhi
produksi dan absorpsi cairan serebrospinal. Adanya
darah pada cairan serebrospinal dapat menyumbat
granulasio-arahnoid sehingga mengganggu absorpsi
cairan serebrospinal dan menyebabkan terjadinya
hidrosefalus. Volume dan tekanan cairan serebrospinal
berbeda pada anak dan dewasa.
45
Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg. Tekanan
ini tidak selalu konstan bergantung pada pulsasi arteri,
respirasi, dan batuk. Peningkatan volume salah satu
komponen (otak, darah atau cairan serebrospinal) akan
dikompensasi dengan penurunan volume komponen
yang lainnya.
Volume intrakranial selalu konstan. Bila volume
bertambah, misalnya karena ada hematom, untuk
mengurangi volume, cairan serebrospinal dan darah juga
akan berkurang, keluar dari ruangan intrakranial
sehingga tekanan intrakranial akan tetap normal. Bila
batas kompensasi dilewati, tekanan intrakranial akan
meningkat.
46
selintas. Yang paling sering terjadi yaitu takikardia dan
atau aritmia ventrikel.
Peningkatan tekanan intrakranial, selain
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas, juga bila
pasien bertahan hidup, keadaan neuropsikologis sering
lebih buruk daripada penderita tanpa kenaikkan tekanan
intrakranial.
47
Bila autoregulasi intact, maka bila MAP menurun
terjadi dilatasi arteriol serebral dan volume darah otak
(cerebral blood volume/CBV) akan naik. Peningkatan CBV
akan meningkatkan ICP dan akhirnya CPP turun
(sirkulus vitiosus). Sebaliknya, bila MAP naik, maka CPP
akan naik dan ICP turun melalui efek vasokonstriksi
serebral (sirkulus positif).
Hipokapnia dapat menimbulkan vasokonstriksi,
mengurangi CBF, CBV, dan ICP, menyebabkan
hiperventilasi menjadi alat yang disukai untuk
mengendalikan serebral hiperemia akut, peningkatan
ICP, dan pembengkakan otak intraoperatif. Akan tetapi,
penurunan CBV memicu terjadinya iskemia serebral.
Peningkatan tekanan intrakranial yang nyata
mempunyai efek yang berbahaya yaitu terjadinya iskemia
dan herniasi otak. Tekanan perfusi otak (cerebral
perfusion pressure/CPP) adalah MAP (tekanan arteri
rerata/mean arterial pressure/MAP–ICP, maka apabila
terjadi kenaikan ICP lebih besar dari MAP, sebagai
akibatnya akan terjadi penurunan CPP. Bila ICP
meningkat, otak menjadi iskemi. Efek penting kedua dari
peningkatan ICP adalah terjadinya herniasi otak.
Herniasi dapat melintasi meningen, turun ke kanalis
spinalis, atau melalui kraniotomi. Herniasi dapat dengan
cepat menimbulkan perburukan neurologik dan
kematian. Beberapa faktor yang berkontribusi pada
herniasi otak terlihat pada tabel dibawah ini. Elemen-
elemen yang dapat meningkatkan volume darah otak,
seperti hipertensi, hiperkarbia dan hipoksia adalah
merupakan faktor yang dapat diterapi dan harus
dihindari perioperatif.
48
Pasien dengan tumor otak menunjukan variasi
gejala klinik bergantung pada tipe tumor dan lokasinya,
misalnya adanya kejang, hilangnya pendengaran dan
penglihatan, hemiparesis, numbness atau ataksia,
pandangan ganda atau sakit kepala. Penyakit
supratentorial pada umumnya dihubungkan dengan
masalah pengelolaan peningkatan ICP, sedangkan tumor
infratentorial dihubungkan dengan adanya efek massa
pada struktur vital pada medulla oblongata dan
peningkatan ICP akibat obstruksi hidrosefalus.
Tumor supratentorial (meningioma, glioma, dan lesi
metastase) dapat diperkirakan mengubah dinamika
intrakranial. Permulaannya, bila lesinya kecil serta
pertumbuhannya lambat, kompensasi terjadi dengan
penekanan kompartemen cairan serebrospinal dan vena
serebral yang berdekatan untuk mencegah kenaikkan
tekanan intrakranial. Dengan bertumbuhnya lesi,
mekanisme kompensasi habis dan pertumbuhan tumor
lebih jauh akan meningkatkan tekanan intrakranial
secara progresif. Kompartemen intrakranial dapat
berkompensasi sampai suatu titik tertentu.
Sekali mekanisme kompensasi terlewati, ICP akan
naik dengan cepat, diikuti dengan gangguan sirkulasi
serebral dan akhirnya herniasi otak, umumnya sufalcine
(“midline shift’) atau tentorial. Konsep ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
49
imaging (MRI) prabedah, rupanya akibat akibat faktor
sekresi dari peningkatan permeabilitas vaskuler dekat
jaringan tumor otak. Pembuluh darah otak mempunyai
struktur spesifik dengan adanya tight junction. Pada
pembuluh darah sekitar tumor, endotel pembuluh darah
ini berubah menjadi seperti pembuluh darah diluar otak
yang mana tight junction hilang dan diganti oleh adanya
fenestra. Perubahan inilah yang menyebabkan sekresi ke
jaringan interstitial otak bertambah sehingga terjadi
edema perivaskuler.
Edema peritummor ini terutama jelas pada tumor
yang tumbuh dengan cepat, dan umumnya berespon
baik terhadap terapi kortikosteroid dan dapat menetap
atau rebound setelah operasi eksisi tumornya, oleh
karena itu, terapi kortikosteroid tetap diteruskan selama
operasi dan pascabedah. Daerah sekeliling tumor yang
besar mengalami iskemia akibat penekanan jaringan
peritumor pada pembuluh darah otak. Aliran darah otak
menurun sampai 1/3 dibandingkan dengan jaringan
otak normal. Terapi dengan steroid seperti
dexamethasone akan dengan cepat menurunkan edema
sekeliling tumor tersebut.
50
2.3.5. Perfusi Intraserebral dan Cerebral Blood Flow
(CBF)
Aliran darah otak diatur pada level arteriol serebral, yang
bergantung pada perbedaan tekanan pada dinding
pembuluh darah (akibat dari tekanan perfusi
otak/cerebral perfusion pressure/CPP) dan PaCO2 (yang
bergantung pada ventilasi) (gambar 2). Autoregulasi CBF,
dominan pada homeostasis ICP, mengatur CBF tetap
konstan pada perubahan CPP atau MAP, melalui
mekanisme perubahan tonus vasomotor serebral
(misalnya resistensi serebrovascular/cerebrovascular
resistence/CVR). Autoregulasi normal pada CPP 50-150
mmHg dan terganggu pada berbagai keadaan patologik
intrakranial (misalnya adanya darah dalam CSF, trauma,
tumor) dan patologik ekstrakranial (misalnya hipertensi
kronis). Autoregulasi juga dipengaruhi oleh anestetika,
oleh karena itu selama memberikan anestesi pada pasien
dengan kelainan serebral harus diperhatikan bahwa
jangan menggunakan obat yang mengganggu
autoregulasi.
Bila CPP tidak adekuat, perfusi jaringan akan
menurun bila batas bawah autoregulasi dibawah 50
mmHg (bila autoregulasi intact). Iskemia terjadi bila bila
level CBF dibawah 20 mL/100g jaringan/menit (gambar
3, 4 dan tabel 2) bila CPP tidak dipulihkan (dengan
meningkatkan MAP atau menurunkan ICP) atau
kebutuhan metabolisme serebral diturunkan (dengan
cara mendalamkan anestesi atau hipotermi).
Peningkatan ICP akan menyebabkan penurunan
CPP, dalam keadaan paralel, MAP meningkat melalui
respons otonom sistemik, sebagai hasilnya terjadi
circulus vitiosus (gambar 5) terutama dalam keadaan
adanya gangguan homeostasis intrakranial, karena
relaksasi pembuluh darah serebral akan meningkatkan
volume darah otak (cerebral blood volume/CBV), jadi
akan meningkatkan ICP. Sebagai tambahan, suatu
penurunan akut dari CPP atau MAP bertendensi untuk
meningkatkan ICP (disebut sebagai kaskade vasodilatori).
Penurunan PaCO2 menyebabkan vasokonstriksi, yang
akan menurunkan CBF, CBV, dan ICP. Sebaliknya
hiperkapnia meningkatkan ICP dan keadaan ini harus
51
dicegah pada periode perioperatif. Hal ini membuat
hiperventilasi merupakan cara yang sangat berguna
untuk mengendalikan hiperemia intraserebral dan
peningkatan ICP, seperti disimpulkan dibawah ini:
52
Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek
hormonal. Beberapa tumor harus dieksisi, lainnya hanya
paliatif dengan dekompresi, pemasangan ventriculo-
peritoneal shunt (VP-shunt), atau radioterapi. Edema
hebat disekeliling tumor sering terjadi pada tumor
malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering
khas dengan tingginya shunting aliran darah dalam
tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga
hal ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada
penekanan dan efek tekanan yang nyata oleh tumor, dan
selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi herniasi
tentorial. Karena itu pertimbangan prinsip untuk
anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.
Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak,
dan astrositoma yang kurang agresif dapat diangkat
secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa
tumor, misalnya meningioma yang berdekatan dengan
struktur penting atau tumor basis. Kebanyakan
malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan
otak normal dan hanya partial debulking yang mungkin
dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis.
Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal,
pengangkatan tumor yang lengkap dapat dilakukan
dengan lobektomi.
Meningioma merupakan suatu tantangan bagi
anestetist dan dokter bedah saraf, karena jinak dan bisa
sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan.
Meningioma bisa mencapai ukuran besar sebelum
menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskular yang bisa
menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat
dilakukan pembedahan. Beberapa konveksitas
meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak,
anestetist harus mempersiapkan terhadap kemungkinan
adanya perdarahan yang banyak ketika tulang diangkat.
Bahaya ini juga terdapat pada operasi ulangan (redo
craniotomy) untuk meningioma reccurent. Dalam keadaan
ini, juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah
harus dipasang monitor tekanan vena sentral (central
venous pressure/CVP). Tumor yang lebih besar dan
vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah
perdarahan. Kadang-kadang pasien menunjukkan adanya
53
edema otak setelah tumor direseksi semuanya. Dalam
keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus
diventilasi pascabedah untuk menjamin bahwa edema
otak yang telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau
hiperkapnia, serta adanya resiko episode apneu yang tiba-
tiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita
waspada terhadap adanya hematoma pascabedah. Pada
keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah
menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi.
Bila pembengkakan otak terjadi setelah operasi tumor,
steroid harus diteruskan pascabedah. Di beberapa center
memberikan tambahan bolus deksametason 12–16 mg
perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk
beberapa hari pertama pascabedah. Daerah yang iskemik
atau trauma pada tempat operasi seperti halnya darah
dalam ventrikel akan merupakan predisposisi terjadinya
konvulsi, karena itu berikan antikonvulsi.
Jadi sasaran anestesiologis adalah:
- Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor.
- Pasien tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian
tanda vital.
- Menjamin tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure/CPP) yang adekuat.
- Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan
untuk pemeriksaan neurologis.
- Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan
nafas yang membahayakan pada periode pascabedah.
54
Anamnesa
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus
tentang penyakit SSP. Gejala kenaikan ICP harus
ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan
defisit neurologis fokal akibat efek penekanan lokal dari
tumor. Perdarahan otak atau cerebrovascular accident
sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis.
Telaahlah dengan hati-hati hasil operasi intrakranial
atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan
pertimbangkan kemungkinan pneumocephalus residu
atau interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obat–obatan yang lalu dengan
lebih menekankan perhatian kita pada obat–obatan yang
mempunyai efek pada periode preoperatif. Terapi obat–
obatan pada pasien bedah saraf dapat menyebabkan
penurunan volume intravaskuler. Manitol dan diuretik
lain yang digunakan prabedah untuk mengurangi edema
serebral, dapat menimbulkan hipovolemia dan gangguan
keseimbangan elektrolit yang bisa menyebabkan
terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi
anestesi. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk
menurunkan edema serebral, akan meningkatkan kadar
glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan
menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang
dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan insufisiensi
kardiovaskuler dengan adanya stres bedah. Obat anti
hipertensi dapat merubah volume intravaskuler. Trisiklik
antidepresan dan levodopa telah nyata dapat memicu
terjadinya hipertensi intraoperatif dan disritmia jantung.
Benzodiazepin, phenotiazin dan butirophenon dapat
berperan terjadinya hipertensi perioperatif.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik prabedah ditujukan pada jalan nafas,
paru, sistim kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien–pasien
dengan penyakit sertaan, pemeriksaan ditujukan
terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien–
pasien bedah saraf sering somnolen dan asupan oral
yang tidak adekwat yang dapat menyebabkan keadaan
hipovolemi. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat
55
diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemi
ringan atau sedang umumnya dapat ditolerir dengan
baik, tetapi hipovolemi yang nyata harus dikoreksi
sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat
kesadaran dan setiap defisit sensoris/motoris harus
dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar
operasi sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan
tanda-tanda kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala,
mual, muntah, midriasis unilateral, pupil edema, palsi
occulomotor atau abduscen. Bila ICP meningkat lebih
jauh, kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan
disfungsi respirasi dan jantung. Adanya pernafasan
Cheyne–Stokes atau bradikardi disertai hipertensi
merupakan tanda penekanan batang otak.
Tujuan dari penilaian neurologis adalah untuk
mengerti tentang tipe dan beratnya proses intrakranial.
Hal ini penting sebab pengelolaan anestesi akan
tergantung pada volume intrakranial. Untuk
mendapatkan penilaian yang tepat pertanyaan–
pertanyaan dibawah ini harus ditanyakan.
1. Bagaimana keadaan pasien? Gejala kenaikan
tekanan intrakranial termasuk sakit kepala,
mual, muntah, penglihatan kabur, dan somnolen.
Gejala penekanan lokal dari tumor misalnya
adanya kejang, dan defisit neurologis fokal.
2. Dimana lokasi tumor?
3. Apa diagnosa tumornya?
4. Apakah ada bukti adanya kenaikan ICP?
5. Apa terapi yang telah diberikan?
6. Apakah pasien pernah dilakukan kraniotomi
sebelumnya?
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel
darah, kimia serum dan koagulasi harus dilakukan.
Hiperventilasi dan diuresis akan menurunkan kadar K
serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila
kadar glukosa serum >200 mg% diperlukan terapi
insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai
56
normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan
osmotik. Osmolaritas serum harus diukur pada pasien
dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala sering
EKGnya abnormal, maka pemantauan EKG prabedah
harus dilakukan, untuk melihat perubahan selama
operasi dan anestesi. Pemeriksaan radiologis prabedah
untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan
serta lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift. Mid-
line shift 0,5 cm pada magnetic resonance imaging (MRI)
atau CT-scan atau gangguan dari jaringan otak pada
sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.
Pengelolaan Obat
Sekali diagnosa dibuat dan direncanakan untuk tindakan
pembedahan, tujuan prinsip pemberian obat adalah untuk
mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif
untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan
komplians otak pada pasien tumor ganas dan meningioma.
Dosis umum deksametason adalah 4 mg 3x sehari
bersama-sama dengan hidrogen reseptor antagonis.
Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari.
Rentang normal terapeutik adalah 40–100 umol/l.
Premedikasi
Sedasi prabedah merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan penurunan kesadaran, jadi pasien lethargi tidak
memerlukan premedikasi. Bila premedikasi diperlukan,
misalnya pasien yang sadar dan cemas dapat diberikan
ansiolitik seperti benzodiazepin (diazepam, lorazepam
atau midazolam). Diazepam 5–10 mg atau lorazepam 1–2
mg atau midazolam 5 mg dapat diberikan 1–2 jam
prabedah peroral. Diazepam dan lorazepam mempunyai
paruh waktu yang cukup panjang dan bisa
memperlambat bangun pascabedah, karena itu mungkin
lebih baik dengan midazolam jang diberikan intravena,
intramuskuler atau oral.
Bila ada keraguan tentang level kesadaran pasien,
pasien dapat diberikan sedasi atau analgesi di kamar
bedah dibawah pengawasan spesialis anestesi dan
57
diberikan setelah terpasang jalur vena. Narkotik harus
dihindari karena meningkatkan resiko muntah dan
hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP.
Akan tetapi, bila akan memasang alat pantau invasif
pada saat prainduksi (CVP, jalur arteri) dosis kecil
narkotik dapat dipertimbangkan untuk menghindari rasa
tidak nyaman ketika menusukkan jarum untuk
memasang alat pantau invasif tersebut.
Diuretik
Dehidrasi otak dan penurunan ICP yang cepat dapat
diperoleh dengan pemberian osmotik diuretik mannitol
(0,25–1 gr/kg intravena yang mulai berefek dalam waktu
10–15 menit dan berakhir kira-kira 2 jam) atau loop
diuretik furosemid (0,5–1 mg/kg atau 0,15–0,3 mg/kg
58
intravena bila dikombinasikan dengan mannitol).
Disebabkan karena mannitol pertama-tama menimbulkan
efek peningkatan ICP (efek dari vasodilatasi akibat
mannitol), maka mannitol harus diberikan perlahan-
lahan (10 menit atau lebih) disertai manuver lain untuk
menurunkan ICP (misalnya hiperventilasi atau
pemberian steroid). Mannitol harus diberikan secara
hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Pada pasien ini, peningkatan selintas volume
intravaskuler dapat mempresipitasi gagal jantung kiri.
Furosemid merupakan obat yang lebih disukai dalam
mengurangi ICP pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler. Kombinasi mannitol dengan furosemid
lebih efektif dalam menurunkan ICP dan brain bulk
daripada mannito sebagai obat tunggal, akan tertapi
lebih besar menimbulkan dehidrasi dan gangguan
keseimbangan elektrolit sehingga diperlukan
pemantauan elektrolit intraoperatif dan penggantian
kalium bila memang diperlukan.
NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik merupakan osmotik diuretik lain yang
baru-baru ini sedang diteliti lagi. Terapi NaCl hipertonik
mungkin lebih efektif daripada diuretik lain pada kondisi
klinis tertentu, misalnya pasien dengan hipertensi
intrakranial yang refrakter atau yang memerlukan
debulking otak atau untuk mempertahankan volume
intravaskuler. NaCl hipertonik juga dapat digunakan
sebagai suatu alternatif atau tambahan pada pemakaian
mannitol intraoperatif. Data yang telah dipublikasikan
memberikan harapan, akan tetapi, ada beberapa akibat
yang merugikan akibat pemberian NaCl hipertonik.
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak
tetapi memerlukan beberapa jam atau hari sebelum
penurunan ICP terlihat. Pemberian steroid prabedah
sering menimbulkan perbaikan neurologis sebelum
terjadi penurunan ICP, hal ini mungkin karena
perbaikan dari sawar darah otak (blood-brain
barriere/BBB) yang sebelumnya abnormal.
59
Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi volume otak dengan
menurunkan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF)
dengan cara vasokonstriksi serebral. Setiap 1 mmHg
perubahan PaCO2, CBF berubah 1–2 ml/100gr
jaringan/menit. Hiperventilasi hanya efektif bila
reaktivitas terhadap CO2 dari pembuluh darah otak
masih intact. Faktor yang mempengaruhi reaktivitas
terhadap CO2 adalah iskemia, trauma, tumor, dan
infeksi. Obat anestesi inhalasi berbeda-beda
pengaruhnya pada reaktivitas CO2 pembuluh darah otak,
oleh karena itu penting sekali pemilihan obat anestesi
inhalasi yang tepat (paling kecil mempengaruhi
reaktivitas CO2 dan autoregulasi adalah sevofluran).
Target PaCO2 untuk operasi tumor otak adalah 30–
35 mmHg (hasil analisa gas darah). Pada keadaan PaCO2
kurang dari 25–30 mmHg dapat menimbulkan iskemia
otak akibat vasokonstriksi serebral.
60
2.4.3. Monitoring
Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah
EKG, tekanan darah noninvasif, arteri line, FiO2, pulse
oksimetri, temperatur, nerve stimulator, kateter urin.
Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5
ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit
jantung iskemik. Jalur arteri (arteri line) digunakan
bukan saja untuk memantau tekanan darah dari
denyut–ke denyut jantung, tetapi juga untuk analisa gas
darah serta dapat juga menolong melihat status volume
pasien: (tekanan nadi = tekanan sistolik – tekanan
diastolik). Untuk melihat CPP, transduser arteri line
ditempelkan ke level sirkulus Willisi setinggi meatus
akustikus eksterna. Indikasi monitor arteri terlihat pada
tabel di bawah ini:
61
Monitoring ICP untuk operasi supratentorial masih
kontroversial. Walaupun beberapa praktisi menasihatkan
untuk digunakan secara rutin, tetapi praktisi yang lain
menunjukkan tidak adanya penelitian yang
menyebutkan keuntungan penggunaan monitor ICP.
Tetapi pada pasien dengan resiko peningkatan ICP yang
hebat (ukuran tumor >3 cm dengan mid line shift atau
edema yang nyata) akan menguntungkan jika dipasang
monitor ICP.
Sebagai tambahan pada pemantauan rutin,
pengukuran tekanan darah intra-arterial, gas darah arteri,
CVP, diuresis dianjurkan untuk semua bedah saraf yang
besar. Suatu kanula arteri yang dipasang sebelum induksi
anestesi untuk memantau secara kontinu tekanan darah
dan untuk memperkirakan CPP. Pemeriksaan gas darah
penting untuk menilai adekuatnya ventilasi. Disebabkan
karena kebanyakan pasien bedah saraf dehidrasi
prabedah, dan kemudian intraoperatif diberikan diuretika,
pengukuran preload dan urine output penting
dilaksanakan. Kateter pada atrium kanan akan
merefleksikan preload dan hal itu digunakan untuk
melihat defisit cairan prabedah dan kecepatan infus
intraoperatif. Pemantauan ICP prabedah jarang digunakan
untuk operasi tumor supratentorial. Suatu pemantauan
bulbus vena jugularis dapat untuk secara kontinu CEO2
(SaO2–SjvO2) menyebabkan dapat menarik kesimpulan
tentang adekuatnya perfusi serebral global.
62
gangguan bicara), ukuran dan reaktivitas pupil, 2) Catat
terapi dan efek sampingnya (terutama obat antiepleptik),
3) review diagnosis radiologik untuk gejala kenaikan ICP
(efek massa, midline shift, herniasi temporal atau frontal,
berkurang atau tidak adanya CSF sekeliling batang otak,
hilangnya ruangan subarachnoid).
Keadaan umum pasien dilihat dari 1) sistem
kardiovaskuler karena perfusi dan oksigenasi otak
bergantung dari sistem kardiovaskuler; patologi
intrakranial akut mempengaruhi fungsi paru dan
jantung dan dalam keadaan yang paling buruk dapat
terjadi neurogenic pulmonary edema (NPE); masalah pada
operasi supratentorial (meningioma, tumor metastasis)
adalah perdarahan, 2) sistem respirasi; hiperventilasi
untuk menurunkan CBF, CBV, ICP dan tegangan otak,
40% tumor metastasis ke otak berasal dari paru, 3)
sistem lain: paraneoplasti atau khemoterapi-radiasi
terapi sindrom (hipercalcemia, aplasia, kardiotoksisitas
dari khemoterapi), sistem renal, perubahan endokrin
(proses intrakranial,adenoma hipofise, atau terapi
steroid), traktus gastrointestinal (mual, muntah, steroid,
iritasi mukosa). Profil koagulasi harus normal dengan
menghentikan aspirin 7 hari dan clopidogrel 10 hari
prabedah. Faktor koagulasi, Hb, jumlah trombosit,
natrium, kalium, calcium harus diperiksa.
Perencanaan pembedahan harus kita ketahui, baik
pendekatan bedah dan lama pembedahan dengan
perhatian ditujukan pada posisi pasien (supine, prone,
lateral, duduk) dan tipe tumor. Meningioma dengan
kombinasi besarnya tumor, lokasi yang sulit.
63
Tabel 11. Evaluasi Neurologik Prabedah
Anamnesa Kejang
Peningkatan TIK: sakit kepala, mual, muntah,
penglihatan kabur.
Defisit neurologik fokal: defisit motoris atau
sensoris.
Hidrasi: asupan cairan, diuretik
Obat: steroid, antiepilepsi, serta efek sampingnya.
Penyakit sertaan.
Pemeriksaan Status mental, level kesadaran
Fisik Papil edema, Cushing’s respons (hipertensi,
bradikardi)
Ukuran pupil, gangguan bicara, skor GCS, defisit
fokal
Pemeriksaan Besar dan lokasi tumor (dekat pembuluh darah
Radiologik: besar atau daerah eloquent)
(CT-scan atau Efek massa: midline shift, herniasi frontal atau
MRI) temporal, sisterna CSF basal tidak ada,
hidrosefalus.
64
neurotransmitter dari neuron dengan efek ceiling pada
saat burst supresi EEG. Anestetika intravena adalah
vasokonstriksi serebral, sehingga akan menurunkan
CBF, CBV, dan ICP. Autoregulasi, reaktivitas pembuluh
darah otak terhadap CO2 tetap utuh. Berlawanan dengan
anestetika volatil, propofol menekan efek stimulasi
serebral dari N2O.
Anestetika volatil (isofluran, sevofluran, desfluran)
menurunkan CMRO2, berefek vasodilatasi serebral
(desfluran>isofluran>sevofluran). Pada minimum alveolar
concentration (MAC) <1-1,5 pada otak yang normal, CBF
menurun bila dibandingkan dengan keadaan bangun,
tapi autoregulasi tetap intact. Diatas 1-1,5 MAC, terjadi
peningkatan CBF yang besarnya bergantung dosisnya
dan terjadi gangguan autoregulasi. Tetap adanya
reaktivitas terhadap CO2 menyebabkan dapat
dilakukannya kendali hipokanik terhadap vasodilatasi.
Harus dicegah adanya kombinasi adanya patologi
intrakranial dengan anestetika volatil yang tinggi, karena
akan menghilangkan rekativitas pembuluh darah otak
terhadap CO2.
N2O adalah suatu stimulan serebral sehingga akan
meningkatkan CMRO2, CBF dan kadang-kadang ICP
terutama bila dikombinasikan dengan anestetika volatil.
Untuk otak yang normal, vasodilatasi serebral akibat N2O
dapat dilawan dengan hipokapnia atau anestetika
intravena, tapi anestetika inhalasi offer no attenuating
efek. Pada 1 MAC, CMRO2 dan CBF lebih tinggi pada
gabungan N2O dengan volatil daripada volatil sendiri.
Opioid meningkatkan ICP selintas bila diberikan
dengan dosis besar. Akan tetapi, opioid berefek
vasodilatasi serebral langsung dan refleks vasodilatasi
setelah turunnya MAP ini yang meningkatkan ICP
selintas. Opioid menurunkan CMRO2 tanpa
mempengaruhi autoregulasi dan reaktivitas terhadap
CO2.
Pengaruh succinylcholin terhadap ICP masih
kontroversial, tapi fascikulasi dapat meningkatkan ICP.
Succinylcholin dapat digunakan pada difficult intubation
dan untuk rapid sequence induction pada pasien dengan
cedera otak. Pelumpuh otot lain tidak mempengaruhi ICP.
65
Obat antihipertensi seperti nitrogliserin, nitroprusid,
hidralazin menyebabkan vasodilatasi serebral.
66
secara lambat setelah kranitomi sampai diseksi tumor
selesai. Efek menurunkan ICP berlangsung cepat dan
berakhir setelah 2–3 jam dan memindahkah sekitar 90
mL air pada efek puncaknya. Masalah akibat pemberian
mannitol adalah hipernatremia dan akut hipervolemia,
sehingga harus hati-hati paada pasien dengan penyakit
jantung. Kehilangan urine akibat pemberian mannitol
diganti dengan cairan kristaloid isotonik.
Drainase CSF dapat dilakukan dengan tusukan
langsung ventrikel lateral oleh dokter bedah atau
pemasangan kateter lumbal prabedah prabedah.
Herniasi otak akut bisa terjadi kalau ICP naik, drainase
CSF lumbal harus digunakan secara hati-hati dan hanya
bila dura dibuka dan paling tidak pasien dihiperventilasi
ringan. Pengeluaran 10–20 mL CSF efektif mengurangi
tegangan otak, dan bila diperlukan bisa sampai 50 mL.
Gunakan kaskade vasokonstriktif. Peningkatan
tekanan arteri rata-rata akan meningkatkan CPP dan
menurunkan CBV akibat vasokonstriksi.
Hindari faktor-faktor lain yang menyebabkan
vasodilatasi serebral atau hipotensi, misalnya
hipovolemia, hipoksia, posisi (head-down, fleksi leher
ekstrem yang akan menurunkan drainase vena serebral,
rotasi kepala pada 1 sisi dan trombosis vena jugularis
disisi yang lain akan menyebabkan pembengkakan otak),
dan anestetika volatil > 1,5 MAC.
67
Ketamin menyebabkan peningkatan denyut
jantung, tekanan darah dan ICP serta menimbulkan
gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai
pada neuroanestesi. Induksi yang lancar lebih penting
dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien
dipreoksigenasi lalu diberikan pentotal 3–5 mg/kg atau
propofol (1,25–2,5mg/kg) intravena, diikuti dengan
fentanil 3–5ug/kg dan pelumpuh otot. Harus diikuti
dengan ventilasi melalui sungkup muka untuk menjamin
patensi jalan nafas dan hiperventilasi. Neuromuskular
blokade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1–0,15
mg/kg) atau rocuronium (0,6–0,8 mg/kg) intravena, lalu
dihiperventilasi melalui sungkup muka dengan oksigen
100% atau O2–isofluran konsentrasi rendah (0,5%).
Lidokain intravena (1,5 mg/kg diberikan 90 detik
sebelum laringoskopi/intubasi) dan ½ dosis obat
anestesi intravena (pentotal 2–3 mg/kg) untuk induksi
diberikan ½ menit sebelum dilakukan intubasi. Setelah
induksi, dilakukan ventilasi kendali untuk
mempertahankan PaCO2 antara 30–35 mmHg.
68
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan
ketidakstabilan kardiovaskuler. Kombinasi narkotik
(fentanyl 5 ug/kg atau sufentanyl 0,5–1 ug/kg) dan dosis
kecil pentotal dapat mengendalikan ICP serta
kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi adekwat harus
dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan
hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan
kenaikan CBF.
69
umumnya menghasilkan dinamika intrakranial yang
lebih stabil. Disebabkan karena operasi intrakranial
berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan
tekanan darah dan frekwensi nadi, lebih baik diatasi
dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan menaikkan
konsentrasi anestetika inhalasi, supaya pasien lebih
cepat bangun.
N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan
pneumocephalus (trauma atau postcraniotomi) atau
emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis
narkotik dan isofluran serta bangun dari anestesi dengan
tenang.
TIVA dapat dilaksanakan dengan propofol dan
fentanyl. Setelah induksi, propofol dimulai dengan 200
ug/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan
infus, fentanyl 2 ug/kg/jam. Teknik ini akan
memberikan anestesi yang stabil dan pasien cepat
bangun, serta kejadian mual muntahnya rendah. Setiap
teknik anestesi ini menyebabkan keadaan anestesi yang
baik, tetapi seni memberikan anestesi, pengalaman–
pengalaman dan pengetahuan anestetist akan menolong
supaya tidak terjadi pemberian obat yang berlebihan
atau kurang. Jika pasien sulit bangun pascabedah, salah
satu kemungkinannya adalah ekses obat anestesi.
Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak
(operasi, perdarahan, iskemia), gangguan elektrolit,
hipotermi.
Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang
penting. Hipokapni akan menurunkan ICP sebelum dura
dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat anestesi
inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama
operasi. Optimal hiperventilasi adalah untuk mencapai
PaCO2 25–30 mmHg. Jika peningkatan ICP masih
merupakan masalah, mungkin menguntungkan untuk
menurunkan PaCO2 menjadi 20–25 mmHg. PaCO2 harus
dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya PaCO2 4–8
mmHg lebih tinggi dari EtCO2. Penurunan lebih besar
dari PaCO2 tidak menunjukkan adanya perubahan yang
nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim dapat
memberi pengaruh yang buruk pada metabolisme
seluler, menyebabkan pergeseran ke kiri kurve disosiasi
Oxy–Hb, atau terjadi vasokonstriksi maksimal.
70
Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat–
saat kritis. Juga bisa menurunkan ICP dengan rileksnya
dinding dada, yang akan menurunkan tekanan
intrakranial dan terjadi drainase vena serebral yang baik.
Pemilihan obat harus berdasar pada lamanya operasi
dan pengaruh obat pada hemodinamik serta ICP. Untuk
kebanyakan operasi supratentorial dipilih norcuron/
esmeron/atracurium.
Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9%.
Pemberian cairan dibatasi selama induksi anestesi dan
dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil
dan produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi
volume dan nilai hematokrit tidak menunjukkan
perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak
500–1000 cc.
Meningioma, karakteristik dengan adanya
vaskularisasi yang banyak. Sering ada hubungan yang
berlebihan antara sirkulasi carotis eksternal dan
internal, maka tulang tengkorak sangat vaskuler. Bisa
terjadi masalah pembekuan akibat dari tipe tumornya,
atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus
disseminated intravascular coagulation (DIC) telah
dilaporkan terjadi pada pasien dengan tumor serebri
primer, juga sering terjadi edema serebri pascabedah.
Cara-cara mengurangi kehilangan darah:
- Teknik hipotensi kendali
- Embolisasi selektif prabedah.
71
daripada dengan nitroprusid. Pada awalnya tekanan
sistolik dipertahankan antara 70–80 mmHg pada pasien
yang normotensi dan pada level yang lebih tinggi pada
pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat,
tekanan darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat
dalam menurunkan tekanan darah ini, harus
diperhatikan tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure/CPP) adekwat.
Darah dan cairan harus diberikan untuk
mempertahankan kestabilan sirkulasi tanpa ada edema
serebral pascabedah. Disebabkan bahaya dari gangguan
pembekuan, maka fresh frozen plasma/FFP dan
trombosit harus diberikan setelah jumlah perdarahan
mencapai 2 liter bila perdarahan terus berlangsung.
Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya, karena
untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini secara
nyata tidak mungkin untuk mengobati kadaan ini pada
pasien bedah saraf karena kebutuhan heparin dan
penggantian cairan secara masif.
Anestetika Inhalasi
Umumnya bersifat vasodilator. Halotan menyebabkan
serebral vasodilatasi secara konsisten dan sebaiknya
dihindari pada pasien dengan kenaikkan ICP.
Sebaliknya, isofluran, tidak menaikkan ICP pada 1,0 dan
1,5 MAC, walaupun pada CBV tidak jelas. Obat yang
baru yaitu sevofluran mempunyai efek yang sama seperti
isofluran dengan perbedaan sevofluran tidak
menyebabkan takikardia. Reaktivitas CO2 tetap
dipertahankan dengan isofluran dan sevofluran.
N2O:
Pada penelitian dengan profilaksis dan terapi barbiturat
pada post iskemik, menunjukkan tidak adanya proteksi
otak dengan N2O, hal ini dihubungkan dengan
peningkatan kebutuhan metabolisme serebral terhadap
oksigen. Kombinasi N2O/O2 dan isofluran lebih buruk
daripada O2/nitrogen dan isofluran pada pasien dengan
iskemia inkomplit. Pemberian isofluran/O2 akan
memperbaiki outcome daripada N2O/O2, walaupun
N2O/O2 + isofluran tidak memperburuk outcome bila pH
dapat dikendalikan.
72
Pada tahun 1938 C.D. Courville mempublikasikan
“The pathogenesis of necrosis of the cerebral gray matter
following Nitrous oxide anesthesia”, suatu artikel yang
menunjukan foto vacuola pada neuron cortical pada
pasien yang meninggal setelah diberikan N2O. Enam
puluh tahun kemudian, Jevtovic-Todorovic dan ko-autor
mempublikasikan bukti yang menunjukkan bahwa N2O
menyebabkan vakuolisasi dari endoplasmik retikulum
dan mitokhondria neuron pada singulate posterior dan
korteks retrospenial tikus. Apakah kita akan melakukan
hal seperti sekarang apabila laporan Courville mendapat
perhatian yang lebih serius ?
Mekanisme kerja N2O adalah antagonis reseptor
NMDA, dan seperti halnya antagonis NMDA lainnya, N2O
telah menunjukkan mengurangi kerusakan akibat
pelepasan glutamat yang banyak. Akan tetapi, tidak
beruntung, sebab NMDA juga mengaktifkan neuron
inhibisi, blokade NMDA menyebabkan inhibisi pelepasan
GABA, jadi ada disinhibisi menyeluruh. Hal ini mungkin
suatu komponen mekanisme yang mana N2O, seperti
NMDA antagonis lainnya (ketamin, phencyclidine,
dextrorphan, MK-801) dapat menyebabkan kerusakan
saraf.
Pada pasien dengan defisensi asam folat,
pemberian tunggal N2O dapat menyebabkan degenerasi
medulla spinalis. Pemberian N2O menyebabkan
peningkatan plasma homocystein, yang dapat
meningkatkan koagulasi, menurunkan flow-mediated
vasodilatasi dan meningkatkan miokardial iskemia
pascabedah, hal-hal itu semua dapat menyebabkan
masalah yang kompleks saat pemulihan di neuro ICU.
Hyperhomocysteinemia yang lama merupakan suatu
faktor resiko terjadinya penyakit serebrovaskuler.
Pertanyaan tentang efek N2O pada neuroproteksi
sebagai obat anestesi utama telah dilakukan berbagai
penelitian. Setelah Arnfred dan Secher menunjukkan
bahwa pentotal mempunyai waktu survival lebih dari
dua kali pada tikus yang hipoksia sedangkan N2O akan
mengurangi survival, ditemukan bahwa penambahan
N2O sesungguhnya akan menghilangkan protektif efek
dari pentotal pada model yang sama. Dua tahun
73
kemudian, Baughman dan ko-autor menemukan bahwa
0,5 MAC N2O yang ditambahkan pada 1 MAC atau 0,5
MAC isofluran akan menghilangkan efek proteksi otak
isofluran. Sugaya dan Kitani selanjutnya melaporkan
bahwa N2O mengurangi efek proteksi isofluran dalam
memelihara protein sitoskeletal neuron yang sangat
penting selama iskemia forebrain pada otak. Lebih baru
lagi, Jevtovic Todorovic dan ko-autor menemukan bahwa
N2O menyebabkan dosis non toksik ketamin menjadi
dosis toksik pada tikus.
Bukti-bukti dari penemuan klinis dan laboratoris
menghasilkan adanya efek neurotoksik langsung dari
N2O didukung dengan penemuan yang mana N2O
mempengaruhi pemulihan elektrofisiologis dari hipoksia
berat tanpa mempengaruhi parameter biokimia seperti
konsentrasi ATP, influks Ca, efluks K, dan influks Na.
Disamping neurotoksisitas langsung, N2O
meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial bila digunakan secara tersendiri,
akan tetapi pengaruh ini bervariasi bila N2O digunakan
sebagan tambahan anestetik, dengan atau tanpa
hipokapnia, dengan atau tanpa penekanan EEG.
Ada sejumlah penelitian, baik pada binatang
maupun manusia, yang mengkonfirmasikan bahwa N2O
menimbulkan vasodilatasi serebral sebagai ekses dari
efek stimulasi pada metabolisme otak. Suatu
peningkatan pada metabolisme serebral telah
ditunjukkan pada tikus, kambing, dan anjing. Efek
vasodilatasi serebral ini terlihat pada kelinci, kucing,
tikus, anjing, babi, dan manusia.
Penelitian terhadap manusia dilakukan untuk
menganalisis aliran darah otak regional. Penelitian tersebut
menemukan adanya perubahan yang heterogen yang
bertendensi meningkat di korteks bagian anterior dan
menurun di korteks bagian posterior. Perubahan antero-
posterior ini berbeda dibandingkan dengan perubahan yang
ditimbulkan oleh vasodilator lain, seperti CO2 yang
menyebabkan perubahan aliran darah otak yang seragam
di semua bagian korteks. Peningkatan aliran darah otak
dengan N2O paling nyata terbukti selama anestesi inhalasi.
Terjadi peningkatan aliran darah otak bila N2O
74
ditambahkan pada anestesi dengan halotan. Secara
teoretis, perubahan aliran darah otak dengan N2O bersifat
sekunder terhadap perubahan metabolisme otak atau
akibat langsung pada pembuluh darah serebral.
Peningkatan kedalaman anestesi dari 0,5 ke 1 MAC
isofluran menyebabkan penurunan yang nyata pada
CMRglu, sedangkan bila ditambah 70% N2O (0,5 MAC)
pada 0,5 MAC isofluran (1 MAC total) CMRglu tidak
berubah. Tidak adanya perubahan CMR bila 0,5 MAC
N2O ditambah pada 0,5 MAC isofluran menunjukkan
bahwa efek N2O pada aliran darah otak bersifat langsung
dan juga oleh faktor lain, selain karena perubahan
metabolisme serebral.
Pada penelitian kelinci ternyata walaupun
reaktivitas CO2 tetap ada selama pemberian N2O,
hiperventilasi tidak mencegah vasodilatasi bila N2O
ditambahkan pada anestetika volatil. Walaupun N2O
secara jelas meningkatkan aliran darah otak dan
metabolisme otak, efek ini mungkin berbeda bila
diberikan obat anestesi intravena. Pada penelitian
tentang pengaruh propofol terhadap kera, ditemukan
bahwa penambahan udara dalam campuran udara
respirasi dengan 60% N2O tidak mempunyai pengaruh
pada aliran darah otak atau metabolisme otak. N2O
adalah suatu vasodilator yang lebih kuat daripada
isofluran pada manusia. Pengaruh N2O pada tekanan
cairan serebrospinal pada pasien tumor otak lebih
penting daripada efek isofluran pada dosis yang
equipoten. Pada tahun 1974 sudah dibuktikan bahwa
N2O meningkatkan tekanan intrakranial pada pasien
yang mengalami penurunan komplians otak. Sebanyak
60% N2O meningkatkan aliran darah otak ±100% dan
meningkatkan CMRO2 20%. Pemberian reserpin sebelum
pemberian N2O tidak mengubah efek N2O terhadap aliran
darah otak dan CMRO2. Hal ini menunjukkan bahwa
efek N2O bukan karena hiperaktif simfatis. Pada biri-biri,
N2O meningkatkan aliran darah otak dan CMRO2 tanpa
adanya peningkatan katekholamin plasma. Akan tetapi,
peneliti lain mengatakan N2O menyebabkan peningkatan
aktivitas simfatis, dengan menimbulkan konstriksi
perifer dan peningkatan norepinefrin. N2O menyebabkan
75
muntah pada 90% pasien. Simpulannya: Selama anestesi
jangan diberikan N2O.
Isofluran
Isofluran, sesuai dengan dosisnya akan menekan
metabolisme dengan kuat sama seperti barbiturat. Tidak
ada depresi metabolisme lebih jauh lagi bila EEG sudah
isoelektrik. Keadaan ini dapat terjadi pada konsentrasi
isofluran 3%. Gambarannya sama dengan bila diberikan
dosis besar barbiturat.
Walaupun ada laporan yang baik, ada juga yang
negatif. Jadi, keadaanya belum jelas. Perbedaan ini
mungkin dihubungkan oleh kenyataan bahwa isofluran
tidak dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, dapat terjadi steal phenomena, juga
mengurangi aliran darah pada iskemik penumbra.
Keuntungan proteksi otak isofluran dibandingkan
dengan pentotal adalah lebih kecilnya efek penekanan
isofluran terhadap hemodinamik serta cepat pulihnya
isofluran. Tetapi peneliti lain mengatakan efek
vasodilatasi dan penekanan miokard akibat dosis tinggi
pentotal kurang jika dibandingkan dengan dosis 2 MAC
isofluran yang membuat EEG isoelektrik.
Berdasarkan laporan pertama, isofluran
menyebabkan penurunan yang besar dari CMRO2 pada
konsentrasi klinis. Oleh karena itu, dapat diperkirakan
bahwa isofluran mempunyai efek proteksi otak selama
pembedahan. Isofluran menghambat excitotoxicity akibat
akumulasi glutamat pada ruangan ekstraseluler selama
iskemia, sebagai antagonis reseptor glutamat karena itu
mengurangi masuknya kalsium ke dalam sel, suatu
GABA agonis, berdasarkan hal-hal tersebut isofluran
dapat mengurangi kematian sel.
Isofluran menekan aktivitas listrik otak pada titik
isoelektrik pada dosis klinis (< 2 MAC). Cadangan energi
otak dipelihara sesuai tingkatan depresi metabolisme
sama dengan barbiturat. Beberapa penelitian
menyokong efek proteksi otak isofluran, tetapi
penelitian yang lain gagal menunjukkan efek yang
nyata atau tidak ada perbedaan jika dibandingkan obat
anestesi yang lain. Nehls dkk., menunjukkan efek
76
proteksi barbiturat, tetapi tidak dengan isofluran pada
babon yang dioklusi arteri serebri medianya.
Sebaliknya, bila tekanan darah sama, efek proteksi otak
sama antara barbiturat dan isofluran.
Bukti-bukti klinis menyokong efek proteksi otak
isofluran. Pada pasien karotidendartectomi, aliran darah
otak regional yang EEG-nya menunjukkan iskemi
(ischemic treshold), secara nyata lebih rendah dengan
isofluran (8-10 ml/100 gr/menit daripada yang
ditunjukkan halotan (18-20 ml/100 gr/menit).
Simpulannya : dapat diberikan Isofluran dengan
konsentrasi 1 vol%.
Sevofluran
Sejak diperkenalkannya Sevofluran, telah diketahui
bahwa Sevofluran mempunyai gambaran yang
menguntungkan untuk neuroanestesi. Sebagai
contohnya, lebih cepatnya pemulihan dari Sevofluran
dibandingkan dengan isofluran, akan mempercepat
evaluasi neurologis pascabedah. Sifat ini menyebabkan
sevofluran merupakan obat terpilih untuk bedah saraf.
Akan tetapi semua obat anestesi inhalasi bersifat
vasodilatasi serebral sehingga kemungkinan akan
meningkatkan aliran darah otak,volume darah otak, dan
tekanan intrakranial. Tetapi pada penelitian-penelitian
terbukti efek vasodilator serebral sevofluran lebih kecil
daripada isofluran dan halotan (perbandingan
vasodilatasi serebral sevofluran: isofluran : enfluran:
halotan adalah 0.8 : 1 : 2 : 3) sehingga sevofluran lebih
dianjurkan untuk operasi bedah saraf. Penelitian-
penelitian menunjukan bahwa efek sevofluran pada
sirkulasi serebral adalah minimal dan lebih kecil
daripada isofluran. Juga sevofluran mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan TIVA.
Penelitian-penelitian tentang efek sevofluran pada
pembuluh darah serebral telah ditekankan pada
efeknya terhadap reaktivitas CO2, autoregulasi serebral,
diameter pembuluh darah, metabolisme serebral dan
aliran darah otak. Kemampuan pembuluh darah otak
untuk bereaksi terhadap perubahan PaCO2 penting
untuk neuroanestesi yang aman. Refleks terhadap CO2
77
ini tetap dipertahankan pada dosis Sevofluran sampai
1,3 MAC.
Hal yang sama, autoregulasi selama anestesi
dengan sevofluran tetap dipertahankan sampai 1,5 MAC
dengan metode yang menilai dinamika autoregulasi.
Sebaliknya, 1,5 MAC isofluran menghilangkan
autoregulasi serebral. Salah satu alasan penting untuk
perbedaan ini adalah penurunan efek dilatasi dari
sevofluran (sedikitnya 75%) dibandingkan dengan
isofluran pada pembuluh darah serebral.
Efek keseluruhan sevofluran pada metabolisme dan
aliran darah serebral bergantung pada keseimbangan
vasokontriksi yang sekunder terhadap penurunan
metabolisme dan efek vasodilatasi direk dari obat.
Kebanyakan penelitian pada manusia menunjukkan
suatu efek bersamaan dari penurunan utilisasi oksigen
serebral dan aliran darah sampai 40% pada dosis 1 MAC.
Sedikit, peningkatan tekanan intrakranial yang tidak
signifikan terlihat dengan sevofluran dan isofluran, tetapi
tekanan perfusi otak dipertahankan lebih baik dengan
sevofluran.
Stabilitas aliran darah otak secara empiris bernilai
khusus jika kondisi pembuluh darah otak tidak
diketahui. Aliran darah otak stabil bila sevofluran
didahului dengan pemberian obat anestesi intravena.
Sebaliknya, desfluran menyebabkan peningkatan aliran
darah otak yang nyata, mungkin sekunder terhadap
suatu peningkatan tekanan darah sistemik dan
vasodilatasi serebral. Lagipula, aliran darah otak stabil
selama induksi anestesi dengan sevofluran, tetapi
induksi intravena dengan propofol dapat menurunkan
aliran darah otak.
Simpulannya: bila ada sevofluran, lebih baik
menggunakan sevofluran daripada isofluran.
78
CMR. Sufentanil dihubungkan dengan peningkatan ICP,
mungkin bukan disebabkan karena efek langsung
menimbulkan vasodilatasi serebral akan tetapi karena
refleks vasodilatasi serebral akibat penurunan tekanan
darah). Bila ICP sangat tinggi dan tight brain dianjurkan
TIVA dengan pentotal 2-3 mg/kg/jam atau propofol 1-1,5
mg/kg/jam.
Obat anestesi intravena seperti barbiturat,
etomidat dan propofol menurunkan CBF dan
metabolisme serebral. Penurunan CBF disebabkan
karena penurunan CMRO2, dan karena CBF menurun
maka ICP akan menurun.
Karena penurunan CBF sekunder terhadap
penurunan CMRO2, maka pada pasien tanpa
metabolisme otak yang dilihat dari EEG, maka obat ini
tidak berefek pada CBF dan ICP. Lidokain menyebabkan
penurunan CMRO2 dan CBF dan digunakan untuk
mengurangi respons kardiovaskuler terhadap
laringoskopi dan intubasi.
Ketamin sebaiknya dihindari pada pasien dengan
kenaikkan ICP, sebab ketamin meninggikan CBF, CMRO2
dan ICP. Peningkatan CBF disebabkan karena
peningkatan tekanan darah akibat stimulasi simpatis
dan karena peningkatan PaCO2 pada pasien yang
bernafas spontan.
Barbiturat
Barbiturat merupakan obat anestesi pertama yang telah
diuji efeknya pada pembuluh darah otak. Tiopental
menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme
otak/CMRO2 paralel dengan isoelektrik pada EEG.
Perubahan CBF sekunder terhadap perubahan CMRO2
(penurunan aliran darah bergandengan dengan
penurunan metabolisme). Pada titik terjadi isoelektrik
EEG setelah pemberian tiopental, terjadi penurunan 50%
metabolisme otak tanpa adanya bukti toksisitas
metabolik serebral. Bila penggunaan barbiturat
ditujukan untuk proteksi otak, sering ditujukan untuk
menurunkan metabolisme otak. Penurunan MAP akibat
pemberian dosis tinggi tiopental yang dibutuhkan untuk
burst supresi EEG mungkin memerlukan vasopressor
79
untuk mempertahankan tekanan perfusi otak (cerebral
perfusion pressure/CPP) yang merupakan perbedaan
antara MAP dan ICP (CPP=MAP–ICP). Tiopental, kecuali
dalam dosis besar, tidak mengganggu autoregulasi dan
reaktivitas CO2 serebral. Dosis kecil tiopental tidak
mempengaruhi kecepatan pembentukan CSF (Vf) serta
tidak ada perubahan atau peningkatan pada resistensi
absorpsi (Ra). Hal in akan memprediksi tidak ada
perubahan atau peningkatan pada ICP. Dosis tinggi
tiopental menyebabkan penurunan Vf dan tidak ada
perubahan atau penurunan pada Ra dengan prediksi
penurunan ICP.
Sebagai akibat dari penurunan CBF dan CBV,
barbiturat menurunkan ICP. Barbiturat digunakan di
klinik untuk tujuan ini dan efektif bila cara lain untuk
menurunkan ICP telah gagal. Barbiturat menurunkan
spinal cord blood flow (SCBF). Autoregulasi pada SCBF
tetap intact dengan anestesi barbiturat (seperti yang
diperlihatkan dengan tiopental) dengan rentang
autoregulasi 60-120 mmHg.
80
Tabel 14. Pengaruh Anestetika Intravena pada Laju
Pembentukan, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP
Anestetika Intravena Vf Ra Prediksi efek
pada ICP
Tiopental
Dosis rendah 0 +,0* +,0*
Dosis tinggi - 0,-* -
Etomidat
Dosis rendah 0 0 0
Dosis tinggi - 0,-* -
Propofol 0 0 0
Ketamin 0 + +
Midazolam
Dosis rendah 0 +,0* +,0*
Dosis tinggi - 0,+* -,?*
Keterangan: Vf = kecepatan pembentukan CSF; Ra = resistensi terhadap absorpsi
CSF; ICP = intracranial pressure/tekanan intrakranial; 0=tidak ada
perubahan, - = menurun, * = efek tergantung dari dosis, ?= tidak
tentu.
Dikutip dari: Newfield P, Cottrell JE, ed. Handbook of neuroanesthesia, 4th ed;
2007
Etomidat
Etomidat, sama halnya seperti barbiturat, menurunkan
CBF dan CMRO2. EEG yang isoelektrik dapat dicapai
dengan etomidat dan sama seperti hanya tiopental, tidak
ada bukti adanya toksisitas serebral dengan metabolit
otak yang normal. Tidak ada penurunan lebih besar dari
CMRO2 setelah burst supresi EEG tercapai. Mioklonus
akibat etomidat mempunyai kerugian dengan kesalahan
interpretasi dengan kejang pada pasien bedah saraf.
Pemakaian etomidat yang lama dapat menekan respons
adrenocortical terhadap stres. Tetapi, hal ini bukan
menjadi masalah pada pasien tumor intrakranial karena
pasien ini sering menerima kortikosteroid. Kecilnya
depresi kardiovaskuler oleh etomidat dibandingkan
dengan tiopental menyebabkan obat ini menguntungkan
untuk induksi anestesi pasien trauma.
Reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan
dengan etomidat. Pengaruh etomidat terhadap
autoregulasi belum pernah dievaluasi. Dosis kecil
etomidat tidak menimbulkan perubahan pada Vf dan Ra
dan ICP. Dosis tinggi etomidat menyebabkan penurunan
dalam Vf dan tidak perubahan atau penurunan Ra
dengan prediksi penurunan ICP. Etomidat dapat
81
menurunkan ICP tanpa menurunkan CPP dan dengan
tujuan tersebut etomidat telah digunakan di klinik pada
pasien bedah saraf.
Propofol
Propofol menurunkan CBF dan CMRO2 sesuai dengan
dosisnya. Pada pasien bedah saraf yang hipovolemi, bila
mendapat dosis besar propofol, dapat terjadi penurunan
tekanan arteri rerata. Karena itu sebelum induksi dengan
propofol, volume intravaskuler harus dipulihkan atau
dipakai obat induksi yang lain. Infus kontinu propofol
dapat digunakan intraoperatif sebagai bagian dari teknik
TIVA. Kombinasi propofol dan narkotik (misalnya
remifentanil) terutama digunakan bila bila tidak
dilakukan monitoring evok potensial. Propofol juga
digunakan sebagai sedasi pada awake craniotomi dan
sebagai substitusi anestetika inhalasi pada akhir anestesi
umum untuk mempercepat bangun dari anestesi.
Autoregulasi dan respons terhadap CO2 tetap
dipertahankan selama pemberian propofol. Pada
dinamika CSF tidak ada perubahan pada Vf atau Ra
dengan efek pada ICP yang tidak dapat diprediksi.
Propofol menurunkan ICP. Disebabkan karena
menurunkan MAP, efeknya pada CPP harus betul-betul
dipantau. Efek propofol dalam menurunkan ICP
menyebabkan propofol digunakan di ICU untuk sedasi
pasien dengan kenaikan ICP. Propofol mempunyai
keuntungan pasien cepat bangun sehingga
memungkinkan dilakukan evaluasi neurologis. Di
kamar bedah, sedasi sedang dengan propofol tidak
meningkatkan ICP dibandingkan dengan tanpa sedasi
pada pasien dengan biopsi stereotaktik untuk tumor
otak. Selama kraniotomi untuk reseksi tumor otak, ICP
lebih rendah pada pasien yang menerima propofol-
fentanyl dibandingkan dengan pasien yang dianestesi
dengan isofluran-fentanyl atau sevofluran fentanyl.
Efek anti nausea propofol juga menguntungkan pada
pasien bedah saraf sebab banyak diantaranya yang
diberikan dosis narkotik yang sedang sampai dosis
besar, yang dihubungkan dengan tingginya kejadian
mual-muntah. Hal ini akan berbahaya karena nausea
82
menimbulkan retching dan muntah yang dapat
meningkatkan ICP.
Pengaruh pada metabolisme medula spinalis
adalah menurunkan metabolisme medula spinalis lokal
pada substansia alba dan substansia grisea seperti yang
ditunjukkan dengan pengurangan pemakaian glukosa.
Narkotik
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan secara
akurat karena laporan penelitian eksperimental yang
bertentangan. Dosis kecil narkotik mempunyai efek kecil
pada CBF dan CMRO2, sedangkan dosis besar secara
progresif menurunkan CBF dan CMRO2. Autoregulasi
dan reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan.
Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF
dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk fentanyl,
sufentanil dan alfentanil dapat menyebabkan kenaikkan
ICP pada pasen tumor otak dan cedera kepala.
Pengaruh pada dinamika CSF terlihat pada tabel
dibawah ini:
83
tidak menentu. Pada dosis besar, alfentanil tidak
menimbulkan perubahan pada Vf dan Ra dengan efek
pada ICP yang tidak dapat diprediksi. Dosis besar
sufentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf dan
tidak ada perubahan atau peningkatan pada Ra, dan
diprediksi pengaruhnya pada ICP tidak berubah atau
meningkat.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak
menimbulkan perubahan atau sedikit menurunkan ICP.
Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik dapat
meningkatkan ICP, misalnya pemberian bolus sufentanil
dapat menimbulkan peningkatan ICP yang selintas tapi
besar pada pasien dengan cedera kepala berat. Demikian
juga, pemberian bolus sufentanil dan alfentanil
meningkatan tekanan CSF pada pasien dengan tumor
supratentorial, hal ini karena autoregulasi yang
menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serebral
akibat penurunan MAP. Jadi, bila narkotik diberikan
pada pasien bedah saraf, harus diberikan dengan syarat
jangan terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan
secara titrasi, mempunyai efek yang kecil pada CBF dan
ICP. Bila diberikan dengan dosis besar untuk me-
reverse efek narkotik, pemberian naloxon dapat
menimbulkan hipertensi, aritmia jantung, dan
perdarahan intrakranial.
Benzodiazepin
Benzodiazepin, termasuk diazepam, midazolam, dan
lorazepam menyebabkan sedikit penurunan pada CBF
dan CMRO2 baik pada dosis kecil atau besar. Ceiling efek
terlihat pada parameter ini. Sama seperti halnya
barbiturat, penurunan CBF akibat benzodiazepin adalah
akibat sekunder dari penurunan CMRO2. Benzodiazepin
dikenal sebagai antikonvulsant dan digunakan di klinik
untuk tujuan ini. CBF dan autoregulasi tetap
dipertahankan dengan benzodiazepin. Midazolam tidak
menimbulkan perubahan pada Vf pada dosis rendah dan
penurubab Vf pada dosis besar. Ra tidak berubah atau
meningkat. Sedikit pengaruh benzodiazepin pada ICP,
84
tidak berubah atau sedikit menurunkan ICP. Midazolam
sering digunakan sebagai premedikasi pada
neuroanestesi, dengan sedikit dosis titrasi intravena, dan
sebagai ajuvant. Hindari pemberian dengan dosis besar,
disebabkan karena potensial sedasi yang
berkepanjangan. Fumazenil suatu antagonis
benzodiazepin meningkatkan CBF dan ICP bila
digunakan dalam dosis besar untuk melawan efek sedasi
midazolam. Flumazenil dapat mempresipitasi timbulnya
kejang.
85
Tabel 18. Konsep Retraktor Otak secara Kimiawi (The
Chemical Brain Retractor Concept)
Hiperosmolalitas ringan: beri Mannitol 0,5-0,75 g/kg atau NaCl 7,5%
2-3 mL/kg sebelum pengangkatan tulang kepala
Hiperventilasi ringan
Posisi kepala adekuat (10-20o)
Anestetika intravena (propofol)
Normotensi atau hipertensi ringan (MAP 100 mmHg)
Drainase CSF lumbal
Drainase vena: vena jugularis bebas
Hindari retraktor otak
86
pengisapan lendir dan ekstubasi untuk mengurangi
batuk, straining dan hipertensi. Adanya hipertensi saat
bangun dari anestesi dapat menimbulkan terjadinya
hematom intrakranial pascabedah.
Pada operasi tumor supratentorial diharapkan
pasien segera bangun dan diekstubasi pada ahir operasi
supaya dapat mengevaluasi hasil pembedahan dan
fungsi neurologis pascabedah. Keuntungan dan kerugian
antara segera bangun dan pasien dibiarkan tidur
pascabedah masih diperdebatkan. Faktor diluar obat
anestesi yang menyebabkan pasien lama sadar adalah
tumor intrakranial yang besar, prabedah sudah ada
penurunan kesadaran, komplikasi bedah (kejang, edema
serebral, hematoma, pnemosefalus, oklusi pembuluh
darah/iskemia), gangguan elektrolit, dan hipotermi.
Cara baru dalam mencegah hipertensi saat bangun
dari anestesi seraya pasien tetap akan sadar, adalah
dengan pemberian alpha–2 agonis dexmedetomidin yang
dimulai 10 menit sebelum ekstubasi, dengan dosis rerata
0,4 ug/kg/jam.
87
Tabel 20. Check List sebelum Pasien Dibangunkan
Prekondisi
• Kesadaran prabedah adekuat
• Kardiovaskular stabil, temperatur tubuh normal, oksigenasi
adekuat
• Tidak ada laserasi otak berat atau komplikasi selama
pembedahan
• Tidak ada cedera pada saraf kranial IX, X, XII
• Bukan operasi AVM besar
Persiapan
• Antisipasi kebutuhan analgesia, khususnya bila dipakai
remifentanil
• Prophilaksis seizure adekuat
• Pemberian steroid pada tumor malignan
• Pencegahan PONV pada pasien berisiko terjadinya PONV
tinggi
• Siapkan atau berikan antihipertensi untuk terapi hipertensi
saat ekstubasi
2.6. Simpulan
Tujuan utama anestesi untuk eksisi tumor serebral
adalah:
1. Memelihara daerah otak yang tidak cedera dengan
stabilias respirasi, kardiovaskuler, dan metabolik.
2. Menyeimbangkan autoregulasi serebral dan MAP
dan mempertahankan reaktivitas pembuluh darah
otak terhadap CO2.
3. Relaksasi otak dengan cara menurunkan CMRO2,
CBF, dan CBV, Hiperventilasi sedang dengan target
PaCO2 35 mmHg, anestetika inhalasi <1,5 MAC atau
anestetika intravena, rumatan CPP ketat, osmoterapi
atau drainase CSF.
4. Dapat segera bangun untuk dapat memfasilitasi
evaluasi neurologik dan diagnosa segera dan terapi
komplikasi.
5. Masalah pada operasi tumor supratentorial adalah
adanya iskemia atau herniasi serta banyaknya
perdarahan saat eksisi tumor. Penilaian status
neurologis prabedah, penentuan adanya kenaikan
tekanan intrakranial dan mengoptimalkan penyakit
sertaan harus dilakukan.
6. Dapat digunakan teknik anestetika intravena atau
inhalasi dengan pemilihan obat anestesi inhalasi
88
yang paling kecil meningkatkan aliran darah otak,
mempengaruhi autoregulasi, dan reaktivitas
terhadap CO2.
7. Pertahankan normotensi, normovolemia, dan slack
brain intraoperatif.
8. Tidak diperlukan analgesi opioid pascabedah yang
kuat untuk menghilangkan sakit pascabedah.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Penentuan jugular bulb oxygen saturation
(SJO2) dan cerebral extraction of oxygen (CEO2)
sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik
anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi
Universitas Padjadjaran, Pebruari 2002
2. Bisri T. Neuroanestesi dan Critical care: Cedera Otak
Traumatika. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran;2012
3. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Bandung: Olah
Saga Citra 2012
4. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesi, ed
2, Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, 1997.
5. Bendo AA, Luba K. Recent Changes in the
management of Intracranial Hypertension. Dalam:
Maccioli GA, ed. International Anesthesiology Clinics-
Current Issues in Anesthesiology. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2000: 38(4).
6. Bendo AA. Anesthetic management of patient with
supratentorial tumor. ASA Annual meeting, Orlando,
USA, 2002.
7. Cotrell JE. Brain protection in neurosurgery: Dos
and Don’ts. ASA Anual meeting, Orlando, USA, 2002.
8. Duffy C. Craniotomy for space occupying lesions.
Dalam: Gupta AK, Summors A, eds. Notes in
neuroanesthesia and critical care. London:
Greenwich Medical Media; 2001, 48-49.
9. Fransworth ST, Johnson JO. Supratentorial surgery.
Dalam: Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO,
Spiekerman BF, Yemen TS, eds. The
neuroanesthesia handbook. St Louis: Mosby; 1996.
89
10. Laycock JRD, Walters FJM. Anesthesia for
supratentorial tumor surgery. Dalam: Walters FJM,
Ingram GS, Jenkinson JL, eds. Anesthesia and
intensive care for the neurosurgical patients. 2nd ed,
London: Blackwell Scientific Publ; 1994, 196-211.
11. Mutivanya Inez M, Dewi Yulianti Bisri, Achmad
Adam. Insidensi tumor supratentorial berdasarkan
jenis dan letaknya di RSUP Hasan Sadikin tahun
2012-2013”. JNI Juni 2015
12. O’Rourke DK, Oldfield EH. Supratentorial masses:
surgical consideration. Dalam: Cottrell JE, Smith
DS, eds. Anesthesia and neurosurgery, 4th ed. St
Louis: Mosby; 2001, 275-95.
13. Schubert A. Clinical neuroanesthesia. Boston:
Butterworth-Heinemann; 1997,3-29.
14. Ravussin PA, Wilder-Smith OHG. Anesthesia for
supratentorial tumors. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE, eds. Handbook of neuroanesthesia. 3rd ed,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
1999,146-64.
15. Rajaraman V, Jackson CH, Branch CI, Petrozza PH.
Supratentorial and pituitary surgery. Dalam: Albin
MS, ed. Textbook of neuroanesthesia with
neurosurgical and neuroscience perspective. New
York: Mc Graw Hill; 1997.
16. Turner JM. Anaesthesia for surgery of supratentorial
space-occupying lesions. Dalam: Matta BF, Menon
DK, Turner JM, eds. Textbook of neuroanesthesia
and Critical care. London: Greenwich Medical
Media; 2000, 183-89.
17. Bruder NJ, Ravussin PA. Anesthesia for
supratentorial tumor. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE,eds. Handbook of Neuroanesthesia, 5th ed,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2012,115-35.
18. Bruder N, Ravussin PA. Supratentorial massess:
anesthetic consideration. Dalam: Cottrell JE, Young
WI, eds. Cottrell and Young Neuroanesthesia, 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 184-202
90
3.1. Pendahuluan
Fossa posterior atau ruangan infratentorial berisi pons,
medula (brain stem), dan serebelum. Dalam medula
terdapat serabut motoris dan sensoris utama, saraf
kranialis, pusat-pusat vital yang mengendalikan fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, sistim aktivasi retikuler
dan jalan keluar cairan serebrospinal (cerebrospinal
fluid/CSF) dari sistem ventrikuler serebri.
Tumor di daerah ini akan menekan dan
menyebabkan obstruksi CSF atau penekanan batang otak
pada stadium pertumbuhan tumor. Disebabkan karena
kecilnya ruangan fossa posterior, suatu space occupying
lession (SOL) atau sedikit edema akan menimbulkan
gejala neurologis. Masalah selama pembedahan adalah
adanya pengaruh pada fungsi pusat pernafasan dan
kardiovaskuler atau saraf kranial dimana efek ini kadang-
kadang menetap sampai periode pascabedah, sehingga
91
memerlukan perawatan intensif di ICU. Operasi pada
fossa posterior mungkin operasi tumor, aneurisma,
dekompresi saraf kranial. Obstruksi tumor pada aliran
CSF di ventrikel 4 dapat menyebabkan hidrosefalus.
Operasi pada fossa posterior sering mempunyai
banyak persyaratan, sulit, dan lama, sehingga
pengelolaan anestesia untuk kasus ini merupakan
tantangan. Anestesi untuk tumor fossa posterior sama
seperti anestesi untuk tumor supratentorial, hanya
ditambah dengan masalah-masalah khusus yang
berhubungan dengan posisi pasien, disfungsi saraf
kranial/disfungsi batang otak, monitoring neurofisiologi
intraoperatif, dan pencegahan serta pemantauan emboli
udara vena.
Hidrosefalus akibat sumbatan CSF merupakan
penyebab umum dari peningkatan ICP pada pasien
dengan lesi di fossa posterior yang dibuktikan dengan
pemeriksaan CT-san atau MRI-scan prabedah yang
terlihat sebagai obliterasi ventrikel 4 atau hilangnya
cerebelar fold. Hidrosefalus ini dapat diterapi dengan
drainase ventrikel, endoskopi ventrikel 3, atau
osmoterapi hipertonik dengan mannitol atau furosemid
pada saat prabedah dan selama pembedahan.
Masalah anestesi pada operasi fossa posterior
adalah adanya:
1) Emboli udara vena
2) Stimulasi batang otak, kemungkinan kerusakan
pusat vital dan saraf kranial,
3) Bahaya yang dihubungkan dengan posisi pasien.
4) Teknik monitoring intraoperatif.
Oleh karena itu, untuk pengelolaan anestesi
operasi fossa posterior, ada 6 pertanyaan yang harus
disiapkan jawabannya sebagai persiapan anestesi operasi
fossa posterior. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
1. Apakah pada saat prabedah pasien menunjukkan
adanya disfungsi saraf kranial atau batang otak?
2. Apakah ada peningkatan tekanan intrakranial?
3. Bagaimana posisi pasien selama operasi?
4. Adakah resiko venous air embolism (VAE) yang
signifikan? Adakah resiko terjadinya paradoxal air
embolism (PAE)?
92
5. Adakah kemungkinan kehilangan darah yang
banyak?
6. Akankan pembedahan memerlukan monitoring
susunan sarap pusat (SSP) intraoperatif?
93
dihindari dengan memposisikan pasien dengan hati-
hati dan mengganjal daerah yang rentan terhadap
tekanan.
Pengaturan posisi adalah suatu bagian penting dari
prosedur operasi dan harus diputuskan bersama-sama
antara spesialis anestesi dan spesialis bedah saraf.
Akses yang adekuat terhadap pasien termasuk jalur
vena, airway, monitor harus dipastikan bagus oleh
spesialis anestesi. Semua kemungkinan tekanan atau
tarikan harus diperiksa. Sebelum draping, spesialis
anestesi harus yakin bahwa pasien harus nyaman pada
posisi tersebut bila pasien bangun, dan harus mampu
mengakses seluruh peralatan monitor dengan gangguan
yang minimal pada lapangan operasi.
Posisi Prone
Pada posisi prone, dapat terjadi ulserasi kulit muka
akibat dari distribusi tekanan yang tidak rata ketika
menggunakan head rest, dan dapat terjadi kebutaan
akibat tekanan pada bola mata. Neuropati optik iskemik
dihubungkan dengan prosedur operasi yang lama pada
posisi prone walaupun tidak ada tekanan langsung pada
bola mata. Faktor risiko yang dihubungkan dengan
keadaan ini adalah kehilangan darah yang nyata,
anemia, dan hipotensi.
Posisi prone dapat menghindari masalah emboli
udara yang mungkin terjadi pada posisi duduk. Paling
ideal untuk lesi garis tengah cerebelum dan untuk
mendapatkan exposure ventrikel IV. Hati-hati terhadap
penyangga kepala, karena beratnya kepala pada orang
dewasa dapat menyebabkan nekrosis akibat tekanan
pada daerah frontal, dan kebutaan karena trombosis
arteri retina.
Telah dilaporkan adanya perubahan kardiovaskuler
pada posisi ini, termasuk penurunan curah jantung,
stroke volume, dan index jantung. Perhatian khusus
pada jalan nafas karena ada risiko tercabutnya pipa
endotrakhea. Penempatan lengan pasien di sisi tubuh
harus hati-hati supaya tidak ada penekanan pada
saraf.
94
Gambar 6. Posisi Prone
95
Gambar 8. Posisi lateral
96
Tabel 21. Resiko dan Keuntungan Posisi Duduk
Keuntungan Resiko
Bedah Memperbaiki akses ke hiatus Perdarahan
tentorial intrakranial
Menurunkan kehilangan Kuadriplegi
darah Pneumosefalus
Memperbaiki lapang pandang
Memelihara fungsi nerves
kranialis
Anestesi Memperbaiki akses ke pasien Embol udara
Memperbaiki ventilasi Hipotensi
Cedera akibat posisi
97
2. Lapangan operasi kering disebabkan karena efek
gravitasi yang menyebabkan perdarahan minimal
dengan drainase vena dan CSF yang baik.
3. Pasien lebih mudah diventilasi daripada posisi
telungkup.
4. Muka pasien mudah dilihat bila diperlukan
stimulasi nervus facialis.
98
resistensi perifer. Ada penurunan transport oksigen dan
oksigen arteri bersama dengan peningkatan yang nyata
dari perbedaan oksigen arteri dan vena. Stres sistem
kardiovaskuler lebih berat lagi bila ada penurunan
tekanan darah akibat perdarahan, emboli udara, PEEP,
atau manipulasi bedah. Oleh karena itu, pasien tua,
debil, penyakit kardiovaskuler tidak dianjurkan untuk
dilakukan operasi dalam posisi duduk.
99
3.5. Adakah resiko VAE yang signifikan? Adakah
resiko terjadinya PAE?
Emboli udara vena (Venous air embolism/VAE)
merupakan masalah khusus selama pembedahan yang
menggunakan posisi duduk, tapi juga bisa terjadi pada
posisi lateral atau prone. Insidensi kejadian VAE sebesar
25−60% selama pembedahan fossa posterior dengan
posisi duduk tersebut. Karena udara yang masuk akan
menuju ke sirkulasi pulmonal, maka terjadi peningkatan
tahanan pembuluh darah pulmonal, arteri pulmonalis,
dan atrium kanan. Sementara itu terjadi penurunan end-
tidal CO2 dan peningkatan PaCO2. Makin besar
perbedaan tekanan antara vena-vena otak dengan atrium
kanan dan tekanan vena sentral lebih rendah, makin
besar kemungkinan masuknya udara ke dalam vena
yang terbuka pada lokasi kraniotomi.
VAE dapat terjadi bila tekanan dalam vena yang
terbuka adalah subatmosfir. VAE yang nyata secara
klinis adalah bila tempat pembedahan >20 cm diatas
level jantung. Karena itu, VAE merupakan problem
utama pada operasi dalam posisi duduk, tapi bisa juga
terjadi, walaupun tidak sering pada pasien yang
dioperasi dalam posisi lateral atau prone.
Bila pembuluh darah yang terbuka tidak kolaps,
misalnya pada kasus dengan sinus venosus yang besar
seperti bridging vein atau vena epidural, risiko terjadinya
VAE meningkat. Banyak penelitian menunjukkan
kejadian VAE selama prosedur fossa posterior pada
posisi duduk adalah 40−50%. Untuk laminectomi cervical
dengan posisi duduk atau posisi lateral atau posisi prone
kejadian VAE kira-kira 10-15%.
Emboli udara masif menimbulkan perubahan
hemodinamik yang mengerikan, untungnya VAE jenis ini
sangat jarang terjadi. Yang lebih sering adalah udara
masuk dengan perlahan dan menimbulkan perubahan
hemodinamik dan respirasi yang minimal atau malahan
tidak ada. Bila udara masuk ke sirkulasi pulmonal,
resistensi vaskuler pulmonal dan tekanan arteri
pulmonal dan atrium kanan meningkat. Obstruksi
vaskular ini meningkatkan dead space ventilasi,
100
menyebabkan penurunan end-tidal CO2 (ET-CO2) dan
meningkatkan tekanan partial CO2 arteri (PaCO2) yang
khas pada VAE. Hipoksemia berkembang karena
sumbatan parsial pembuluh darah paru dan pelepasan
substansi vasoaktif lokal. Bila tidak diterapi, curah
jantung menurun sebagai akibat dari gagal jantung
kanan dan atau pengurangan pengisian ventrikel kiri.
VAE dapat terjadi bila tekanan pada vena yang
terbuka subatmosfir. Kondisi ini lebih mungkin terjadi
bila posisi luka diatas jantung, maka VAE merupakan
masalah pada posisi duduk, tapi juga dapat terjadi,
walaupun lebih jarang pada posisi lateral atau prone.
Bila pembuluh darah yang terbuka tidak kolaps,
seperti terjadi pada sinus venosus utama, misalnya vena
bridging dan epidural, risiko VAE akan meningkat.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kejadian VAE
selama operasi fossa posterior pada posisi duduk adalah
40−50% (rentang 0−70%). Untuk servikal laminektomi
dengan posisi duduk atau operasi dalam posisi prone
atau lateral, kejadian VAE sekitar 10−15%.
VAE terjadi dengan jumlah udara dan lama yang
bervariasi, sehingga efeknya juga bervariasi.
1. Emboli udara masif menimbulkan perubahan
hemodinamik yang tiba-tiba dan mendebarkan,
tetapi keadaan ini jarang terjadi.
2. Lebih sering udara masuk dengan perlahan-lahan
dan hampir tidak menimbulkan perubahan pada
respirasi dan hemodinamik yang membahayakan,
akan tetapi, meningkatkan tekanan jantung
kanan, meningkatkan dead space ventilasi, dan
hipoksemia. Bila udara masuk ke sirkulasi
pulmonal, maka terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah paru, tekanan arteri pulmonal,
dan tekanan atrium kanan. Bila tidak
dikendalikan, curah jantung akan menurun
sebagai akibat dari gagal jantung kanan dan atau
pengurangan pengisian ventrikel kiri. Obstruksi
vaskular ini meningkatkan dead space ventilasi
dan menyebabkan penurunan endtidal CO2
(ETCO2) dengan peningkatan PaCO2. Kedua
101
gambaran ini khas untuk VAE. Hipoksemia
berkembang akibat obstruksi parsial pembuluh
darah pulmonal dan pelepasan substansi
vasoaktip lokal.
102
dari kecepatan masuknya udara yang berarti jumlah
udara yang masuk. Pada manusia 100 ml udara yang
masuk akan berakibat fatal.
103
(TEE). Untuk kasus berisiko tinggi, minimal harus
dipantau Doppler dan endTidal CO2.
Standar monitoring untuk emboli udara adalah
yang sensitif dan kurang sensitif. Yang sensitif adalah
dopler, endtidal CO2, tekanan arteri pulmonal, aspirasi
udara dari kateter vena sentral. Yang kurang sensitif
adalah EKG, pulse oksimetri, tekanan darah, oesofageal
stetoskop.
Perubahan hemodinamik.
Pemantauan hemodinamik tidak memberikan peringatan
yang cukup pada kasus emboli udara masif disebabkan
karena perubahan hemodinamik terjadi tiba-tiba dan
katastropik.
CVP sebagai monitor VAE tidak sensitif dan mudah
digantikan dengan alat lain. Akan tetapi, sangat berguna
dalam mengkonfirmasi diagnosis dan terapi VAE melalui
aspirasi udara sisi kanan sirkulasi. CVP juga dapat
digunakan dalam membantu memposisikan Doppler
104
prekordial. Untuk memfasilitasi aspirasi udara dengan
cepat dipakai kateter CVP dengan lubang yang banyak.
Karena ada tendensi udara berkumpul di muara vena
cava dengan atrium kanan, maka paling besar
pengambilan udara bila orificium kateter ditempatkan
didaereah ini.
Tekanan arteri pulmonalis (PA pressure) sangat
berguna untuk diagnosis karena tekanan PA meningkat
pada VAE yang signifikan. Akan tetapi, tidak berguna
untuk terapi VAE. Sangat sulit untuk melakukan
aspirasi udara dari ujung distal kateter PA, dan terapi
aspirasi udara lebih efektif dengan kateter CVP. Untuk
diagnosis kateter PA tidak lebih menguntungkan
daripada pemantauan ETCO2.
105
ET nitrogen (ETN2) tidak rutin dilakukan, tetapi
sensitif dan spesifik. ETN2 lebih sensitif dan dapat
mendeteksi emboli udara yang besar lebih cepat daripada
ETCO2, tapi bila emboli udaranya kecil dan masuknya
perlahan, nilainya sama dengan ETCO2.
Transoesophageal Echocardiography
Transoesophageal Echocardiography (TEE) lebih sensitif
daripada Doppler, dapat mendeteksi 0,02 mL/kg udara.
Spesifitasnya bergantung kepada yang memantaunnya
dan kemampuannya untuk membedakan dengan emboli
lainnya (misalnya lemak atau trombus). TEE mahal,
memerlukan ekspertise khusus serta perhatian khusus.
Untuk alasan-alasan ini, TEE tidak digunakan secara
rutin. TEE dan Doppler transkranial dapat mendeteksi
adanya PAE.
106
Penggunaan PEEP untuk mencegah VAE pada
posisi duduk masih kontroversial. PEEP yang tinggi (>10
cmH2O) dibutuhkan untuk meningkatkan tekanan vena
pada kepala, dan hasil penelitian tidak konsisten apakah
PEEP menurunkan kejadian VAE. PEEP dapat
menurunkan aliran balik vena, curah jantung, dan MAP
yang terganggu pada VAE. Data eksperimental juga
menunjukkan bahwa penghentian PEEP akan memicu
shunting dari kanan ke kiri, maka secara umum tidak
dianjurkan melakukan PEEP.
Walaupun hipovolemia telah diusulkan sebagai
faktor predisposisi untuk terjadinya VAE, bukti efek
profilaksis dari loading volume dalam mengurangi
kejadian VAE dan PAE tidak cukup kuat untuk
membenarkan dalam penggunaan rutin, sasarannya
adalah hidrasi yang adekuat.
Hipoventilasi Kendali. Walaupun beberapa penelitian
mendukung bahwa hipoventilasi sedang mungkin
menurunkan resiko terjadinya VAE, hipoventilasi juga akan
meningkatkan aliran darah otak dan volume darah otak
yang dapat mengganggu lapangan pembedahan. Sampai
keuntungan hipoventilasi dapat dibuktikan, dalam praktek
gunakan hiperventilasi ringan.
Meskipun pendapat, anekdot, dan dokumen
kejadian VAE meningkat, tapi sedikit bukti bahwa posisi
duduk kurang aman dibandingkan dengan posisi lain.
Oleh karena itu, sulit mendebat bahwa posisi duduk
harus sungguh-sungguh ditinggalkan disebabkan karena
risiko VAE.
107
3.5.6. Terapi VAE
Apa yang harus dilakukan bila terjadi VAE, ditujukan
baik selama pembedahan berlangsung maupun
pascabedah. Segera informasikan kepada dokter bedah
bahwa telah terjadi VAE. Sementara itu N2O dihentikan
dan aliran oksigen dinaikkan.
Tujuan utama pengelolaan emboli udara adalah
mendeteksi emboli udara secara dini dan mencegah
aspirasi udara selanjutnya adalah untuk mencegah
terjadinya gejala yang hebat dan kematian. Kebanyakan
gejalanya bersifat ringan dan dengan terapi sederhana
dapat diatasi, tetapi kadang-kadang sampai perlu
merubah posisi pasien dari posisi duduk ke posisi
horisontal.
Bila gejalanya ringan: beritahu ahli bedah sarafnya
supaya mencegah terjadinya aspirasi udara lebih lanjut
misalnya dengan irigasi daerah luka operasi, naikkan
tekanan vena serebral yang akan mencegah aspirasi
udara lebih lanjut dan vena-vena yang terbuka akan
berdarah sehingga memudahkan ahi bedah mencari
kebocoran, lakukan ventilasi kendali, hentikan
pemberian N2O dan ventilasi dengan oksigen 100%,
lakukan aspirasi udara dari kateter vena sentral (pasien
dengan operasi fossa posterior harus selalu dipasang
kateter vena sentral).
Bila gejala berat: tempatkan pasien pada posisi
horisontal, isi volume (berikan cairan dengan cepat),
terapi bila ada aritmia jantung, bila henti jantung
lakukan resusitasi.
Pencegahan masuknya udara lebih lanjut dengan
mengingatkan ahli bedah supaya membanjiri lapangan
operasi dengan NaCl fisiologis dan pemasangan bone wax
untuk menutup perdarahan tulang. Juga dapat
dipertimbangkan penekanan vena jugularis bilateral
untuk mengurangi masuknya udara serta
pertimbangkan tempat masuknya udara lebih rendah
dari jantung.
Hilangkan obstruksi udara dengan mengaspirasi
udara melalaui kateter vena sentral. Aspirasi melalui
108
kateter multiorificium mempunyai angka keberhasilan
30−60%. Hentikan N2O bila anestesinya menggunakan
N2O.
Terapi suportif dengan memberikan Oksigen 100%,
berikan suport inotropik terutama yang memicu
kontraksi jantung kanan, naikan pemberian cairan, dan
terakhir pertimbangkan resusitasi kardiopulmonal (CPR).
Terapi VAE
1. Ingatkan dokter bedahnya untuk melakukan
irigasi lapangan operasi dengan salin.
2. Kalau digunakan N2O, segera tutup N2Onya.
3. Aspirasi melalui CVC.
4. Berikan suport kardiovaskuler bila diperlukan.
5. Modifikasi teknik anestesi bila diperlukan.
6. Minta asisten menekan kedua vena jugularis
untuk mengurangi masuknya udara.
7. Rubah posisi pasien kalau tindakan diatas gagal
dalam mencegah VAE.
109
Gambar 10. Terapi VAE
110
arteri coronaria dan otak. Kejadian PAE secara klinis
belum diketahui. Kira-kira 25% populasi mempunyai
probe-patent foramen ovale. Laporan kejadian VAE pada
kraniotomi kira-kira 40% (rentang 0−70%), karena itu,
risiko kemungkinan PAE pada pasien yang dioperasi
dengan posisi duduk harus dipertimbangkan.
PAE terjadi bila udara masuk ke sirkulasi vena dan
kemudian lewat melalui vaskular bed pulmonal atau
patent foramen ovale menuju ke daerah arteri dan
menjadi emboli ke pembuluh darah koroner. Seperti
diketahui, 25% populasi mempunyai probe patent
foramen ovale (PFO), dan angka kejadian PAE 45%.
Meskipun bukti klinis PAE perioperatif lebih jarang
dibanding dengan perkiraan yang diperhitungkan
berdasar atas angka kejadian VAE pada PFO, tetapi
komplikasi yang ditimbulkannya seperti iskemia myokar
atau iskemia cerebral sangat berat.
Bila udara masuk ke sirkulasi vena, ada risiko
bahwa udara masuk ke darah arteri melalui foramen
ovale atau vaskulatur paru dan terjadi emboli udara ke
arteri coronaria dan pembuluh darah serebral. Kira-kira
25% populasi mempunyai patent foramen ovale dan
kejadian VAE kira-kira 45%. Karena itu, kira-kira
10−15% dari pasien yang dioperasi dengan posisi duduk
berisiko untuk terjadi PAE.
111
batang otak yang mengatur fungsi respirasi dan
kardiovaskuler. Tumor fossa posterior dapat
menyebabkan abnormalitas saraf kranial, disfungsi
serebrum, dan hidrosefalus yang disebabkan obstruksi
ventrikel IV. Sebagai contoh, tumor atau operasi di
sekitar saraf glossofaringeal dan vagus (nerves kranial IX
dan X) dapat menyebabka disfagia dengan peningkatan
risiko aspirasi. Reseksi tumor di dasar ventrikel IV dapat
merusak pusat pernafasan dan pada perioda pascabedah
memerlukan ventilasi mekanis.
Manipulasi bedah sering menimbulkan
ketidakstabilan kardiovaskuler. Bila Nervus V (nerves
Trigeminal) distimulasi dapat terjadi bradikardi berat dan
hipertensi sedangkan bila N-IX dan X distimulasi bisa
terjadi bradikardi dan hipotensi. Disfungsi saraf
kranial/disfungsi batang otak dapat berupa adanya
disphagia, disfungsi laringeal, pernafasan iregular,
aritmia, perubahan level kesadaran. Abnormalitas ini
dapat terjadi selama operasi (dihubungkan dengan
traksi atau stimulasi saraf) atau pascabedah (sebagai
akibat dari trauma mekanis, edema, atau perdarahan).
Pemeriksaan Prabedah
Biasanya pasien dengan SOL pada fossa posterior sensitif
terhadap depresi respirasi karena narkotik, juga sensitif
terhadap sedatif dan trangulizer, maka premedikasi
dengan sedatif harus minimal. Obat-obat sedatif dan
depresi respirasi lebih baik dihindari sebelum pasien
betul-betul diawasi oleh spesialis anestesi. Pasien pada
umumnya menderita sakit kepala, muntah. Akan tetapi,
gejala tersebut sering berkurang dengan penggunaan
112
steroid. Mungkin diperlukan premedikasi dengan
antiemetik.
Persiapan Preoperatif:
Premedikasi
Tidak ada kontra indikasi premedikasi, bergantung pada
status fisik pasien, bukti adanya peningkatan ICP dan
level kecemasan pasien. Pasien yang tidak punya gejala
peningkatan ICP mungkin menguntungkan bila
diberikan premedikasi peroral dengan benzodiazepin
dosis kecil. Kalau pasien pasien pempunyai gejala
peningkatan ICP auat hidrosefalus dengan keluhan,
maka premedkasi berat harus dihindari. Obat anti
hipertensi diteruskan.
Teknik Anestesi
Tidak ada bukti bahwa salah satu obat atau teknik
anestesi lebih baik daripada teknik lainnya untuk
operasi fossa posterior. Perubahan hemodinamik yang
dihubungkan dengan posisi duduk dapat dikelola tanpa
memandang teknik anestesi yang digunakan.
Penggunaan N2O masih kontroversial, tapi
disebabkan karena adanya risiko VAE dan kemampuan
N2O memperbesar gelembung udara, beberapa praktisi
setuju bahwa N2O harus dihindari. Sebagai tambahan,
lapangan operasi mungkin dibawah vertex kepala
(misalnya operasi pineal) sehingga bisa terjadi residu
pneumocephalus.
Airway memerlukan perhatian khusus. Pada
kasus fossa posterior diperlukan fleksi dan rotasi leher
113
untuk mendapatkan lapangan operasi yang optimal.
Fleksi dapat menyebabkan puncak pipa endotrakheal
terdorong ke bronkhus atau menyebabkan kinking pipa
endotrakheal pada faring posterior. Dilakukan ventilasi
kendali untuk mendapatkan slack brain.
Operasi pada batang otak atau dekat batang otak
(misalnya operasi akustik neuroma) dapat menyebabkan
respon kardiovaskuler yang tiba-tiba, besar yang
merupakan tanda kemungkinan adanya kerusakan pada
batang otak. Stimulasi pada dasar ventrikel 4, formatio
retikuler medulari, saraf trigeminal menyebakan
hipertensi dan bradikardia. Bradikardi juga bisa terjadi
pada saat membuka dura, retraksi serebelum, irigasi
cairan dingin, stimulasi saraf trigeminal, atau saraf
vagus. Bila terjadi keadaan ini, ahli bedah saraf harus
diingatkan dan merekan dapat mencegah manipulasi
yang menimbulkan terjadinya respons tadi. Terapi
bradiaritmia dengan obat tidak diperlukan kecuali
kejadian tersebut berulang dan berat. Bradikardia
terjadinya tiba-tiba dan selintas dan saat akan diberikan
obat, stimulusnya sudah hilang dan obat menjadi tidak
perlu. Bradidisritmia merupakan sinyal adanya
kemungkinan manipulasi bedah yang membahayakan.
Bila terapi obat diperlukan dapat diberikan obat yang
bersifat bekerja singkat dan reversibel misalnya bolus
penilefrin atau efedrin. Siapkan atropin bila ada
bradikardi berat atau episode bradikardi yang lama.
Seperti halnya operasi intrakranial lainnya, bangun
dari anestesi harus segera, mulus dan hindari batuk,
straining dan peningkatan tekanan darah. Dapat
dilakukannya ekstubasi bergantung dari ada atau
tidaknya gangguan neurologik sebelumnya, besar dan
luasnya operasi, komplikasi intraoperatif, kemungkinan
adanya injury dan edema pada batang otak. Kecuali
sudah direncanakan tidak akan diekstubasi, maka harus
diusahakan membangunkan pasien untuk dapat
dilakukan evaluasi neurologik.
Ventilasi jangka panjang dan proteksi jalan nafas
mungkin diperlukan pada keadaan dimana penyakitnya
atau operasi menyebabkan disfungsi saraf kranial
motoris dan sensoris. Pasien dapat mempunyai kesulitan
114
menelan, bicara, proteksi jalan nafas, kersakan atau
edema dari pusat nafas akibat manipulasi intraoperatif
dapat menyebabkan hipoventilasi atau pola nafas yangg
tidak menentu.
Edema facial dan lidah yang berat dapat terjadi
pada posisi yang menyebabkan obstruksi vena atau
limpatik, maka pipa endotrakheal jangan diekstubasi
sampai edemanya hilang.
Edema paru dapat terjadi akibat VAE yang besar.
Walaupun edema paru umumnya respons terhadap
terapi suportif seperti pemberian oksigen dan diuretik,
ventilasi pascabedah kontinyu mungkin lebih baik
sampai seluruh evaluasi edema paru lengkap.
Pada periode pascabedah fosa posteriordapat terjadi
hipertensi dan dapat menimbulkan edema dan
perdarahan otak, maka harus dicegah dan diterapi
secepat mungkin. Komplikasi pascabedah dapat terjadi
komplikasi neurologis seperti penurunan level
kesadaran, paresis, defisit nerves kranial khusus seperti
gangguan penglihatan, paresis nerves fasialis, gangguan
menelan dan bicara. Bila terjadi PAE serebral dapat
diberikan terapi hiperbarik oksigen.
Udara dapat tertahan dalam ruangan cranium
setelah kraniotomi (pneumosefalus). Dalam beberapa
keadaan udara tersebut dapat diserap dalam beberapa
hari dan tidak diperlukan terapi khusus.
Anestesia
Selama membuka tulang tengkorak hindari pemakaian
N2O dan gunakan ventilasi kendali. Harus ada monitor
untuk mendeteksi emboli udara dan mendeteksi
kerusakan pusat-pusat vital dan nervus kranial.
Kebanyakan operasi tumor fossa posterior berdarah
banyak, sehingga perlu memasang jarum besar untuk
cairan infus dan transfusi.
Teknik anestesi yang baik untuk operasi otak
adalah mempertahankan CPP yang adekuat, relaksasi
otak yang baik, stabil kardiovaskuler baik tekanan darah
atau iramanya. Tindakan operator saat menempatkan
retraktor dekat batang otak dapat menimbulkan
perubahan irama jantung dan tekanan darah.
115
Stimulasi batang otak dan nervus kranialis
mempunyai efek dramatis. Hipertensi hebat terjadi
akibat stimulasi nervus kranialis V, daerah
periventrikuler substansia grisea, formatio retikularis,
nukleus traktus solitarius. Bradikardi terjadi akibat
stimulasi nervus vagus. Hipotensi terjadi akibat
penekanan medula oblongata dan pontine. Aritmia
ventrikuler dan supraventrikuler terjadi akibat stimulasi
batang otak.
Bangun dari anestesi harus tenang karena adanya
batuk dan mengejan akibat adanya pipa endotrakheal
dapat menimbulkan perdarahan intrakranial. Untuk
mencegah batuk dan mengejan dapat diberikan lidokain
1,5 mg/kg BB intravena.
Untuk menentukan apakah pasien dapat
diekstubasi atau tidak, tidak selalu mudah. Pada
umumnya jika pada periode prabedah pasiennya
komposmentis dan operasinya superfisial dan tanpa
banyak traksi pada batang otak maka diperkirakan
aman kalau dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Akan
tetapi, bila sebaliknya misalnya operasinya dalam,
banyak traksi pada batang otak, ada bahaya apnoe dan
penurunan sensorium dengan penurunan refleks jalan
nafas, pasien harus diekstubasi dan diventilasi sampai
bahaya tersebut dilalui.
Anesthetic Goals
• Mempertahankan CPP dan okasigenasi
• Memfasilitasi relaksasi otak (slack brain)
• Menjamin hemodinamik stabil
• Merencanakan monitoring hemodinamik yang
tepat
• Merencanakan emergence yang cepat.
• Menggunakan teknik yang kompatibel dengan
monitoring elektrofiiologik yang mungkin
diperlukan.
116
monitoring hemodinamik yang sesuai, segera bangun
setelah pembedahan selesai.
• Anestetika: hindari N2O
• Kendalikan hiperventilasi ringan
• Refleks Cardiovascular
• Monitoring Brainstem
• Terapi VAE
Untuk obat anestesi, sedapat mungkin dihindari
pemakaian N2O, terutama bila dilakukan pembedahan
dengan posisi duduk. Namun hal tersebut bukan
merupakan kontraindikasi mutlak. Bila tidak ada ‘air’,
maka untuk menurunkan fraksi oksigen digunakan
N2O/O2. Dilakukan hiperventilasi ringan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah refleks kardiovaskuler, monitoring
brainstem (idealnya), dan tindakan yang harus dilakukan
bila terjadi VAE.
117
Pascabedah
Komplikasi yang dihubungkan dengan operasi fossa
posterior adalah: harus dipikirkan adanya perdarahan
atau pembengkakan akut dari struktur-struktur fossa
posterior bila pasien tidak bangun dari anestesi.
Adanya vasospasme dan hidrosefalus akibat
obstruksi akut perlu dipertimbangkan setelah operasi
aneurisma serebral atau ventrikel IV. Bisa juga terjadi
epidural atau subdural hematoma akibat bridging vena di
dura akibat dekompresi yang cepat dari hidrosefalus
pada tumor fossa posterior.
Burr hole dan fiksasi pin bisa menyebabkan sumber
dari perdarahan supratentorial. Pneumocefalus sering
terjadi setelah operasi dengan posisi duduk. Pasien yang
manifest dengan gejala disfungsi nervus kranialis
umumnya karena pembengkakan dan retraksi selama
operasi. Kerusakan N IX dan X dapat dilihat dari
kehilangan kemampuan menelan dan batuk yang efektif
pascabedah, dan dapat terjadi aspirasi.
Bila selama operasi ada retraksi batang otak atau
diseksi dekat nervus kranialis, maka pada periode
pascabedah pipa endotrakheal tetap dipertahankan
sampai pasien betul-betul sadar dan mampu
menunjukkan refleks jalan nafas yang adekuat.
Trauma akibat posisi seperti disfungsi nervus
sciatic, nervus peroneal, pleksus brakhialis, atau aberasi
kornea.
Meningitis aseptis, adanya peningkatan suhu
tubuh, nuchal rigiditas ringan, pleosintesis CSF, lebih
sering terjadi setelah operasi fossa posterior daripada
operasi intrakranial lainnya.
3.9. Simpulan
Pembedahan fossa posterior merupakan tantangan bagi
anestesiologis dalam hal evaluasi prabedah, posisi,
pemilihan obat anestesi, monitoring, terutama untuk
memonitor dan mencegah VAE dan mempertahankan
fungsi neurologik. Pasien yang dilakukan operasi fossa
posterior bervariasi dari mulai infant dengan displasia
cranioservical sampai geriatri dengan metastasis tumor
118
serebelum. Implikasi anestesi dan bedahnya sangat
kompleks dan ditentukan oleh banyak faktor termasuk
penyakit penyerta, penyakit neurologis yang memerlukan
pembedahan, kebutuhan tindakan pembedahan,
keterbatasan pemantauan dan pilihan anestesinya.
Banyak komplikasi yang unik pada operasi fossa
posterior, berhubungan dengan anatomi dan posisi
pembedahan.
Daftar Pustaka
1. Bisri T. Penentuan jugular bulb oxygen saturation
(SJO2) dan cerebral extraction of oxygen (CEO2)
sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik
anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi
Universitas Padjadjaran, Pebruari 2002
2. Pederson DS, Peterfreund RA. Anesthesia for
posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell
JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 5th ed.
Philadelphia: Wolter Kluwer, Lippincott Williams &
Wilkins; 2012,136-47.
3. Goepfert C, Monsey CM, Tempelhoff R. ASA practice
guideline: prevention of postoperative visual loss and
prevention of postoperative neuropathies. Dalam:
Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of
Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Wolter
Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins; 2012,444-62.
4. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for posterior fossa
surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds.
Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia:
Wolter Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins;
2012,133-42.
5. Smith DS. Anesthetic management for posterior
fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds.
Cottrell and Young’ s Neuroanesthesia, 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 203-15
6. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesi.
edisi ke-2. Bandung: Universitas Padjadjaran 1997.
7. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins 2007.
119
8. Porter SS, Sanan A, Rengachary SS. Surgery and
anesthesia of the posterior fossa. Dalam: Albin MS,
ed. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical
and Neuroscience Perspectives. New York: The
McGraw-Hill Co;1997, 971-1008
120
4.1. Pendahuluan
Kelenjar hipofise mengsintesa dan menyimpan banyak
hormon yang langsung ikut serta dalam mengatur
homeostasis tubuh. Setiap kelainan patologis dari
kelenjar hipofise mempunyai efek besar pada tubuh. Bila
terapi medikal tidak berhasil, maka mungkin perlu
dilakukan tindakan pembedahan.
Dalam tambahan pada rintangan dalam pemberian
anestesi pada semua kasus bedah saraf, operasi hipofise
memberikan tantangan yang unik untuk dokter anestesi
karena pendekatan pembedahan dan efek dari hormon
yang disekresi oleh tumor hipofise. Pada naskah ini akan
dibahas anatomi dan fisiologi hipofise, klasifikasi tumor
hipofise, kondisi klinis akibat sekresi hormon yang
berlebihan yang diproduksi oleh tumor hipofise,
pengelolaan anestesi pasien ini mulai dari prabedah,
selama pembedahan, dan pascabedah, juga pembedahan
dan teknik anestesi yang spesial untuk operasi tunor
hipofise serta komplikasi yang mungkin terjadi.
Anatomi
Kelenjar hipofise teletak di dasar tulang tengkorak dalam
sella tursica tulang spenoidalis. Kelenjar hipofise pars
anterior (adenohipofise) merupakan bagian paling besar
(75%) dan kelenjar ini mendapatkan aliran darah yang
banyak dari hipotalamus. Pars posterior (neurohipofise)
bersatu dengan hipotalamus oleh pitutary stalk. Berat
normalnya 500-600 mg dan paling besar pada multipara.
Di bagian atas dipisahkan dari chiasma opticus oleh
diaphragma sella. Dinding lateral sella memisahkan
hipofise dari sinus cavernosus beserta isinya yaitu arteri
karotis interna dan nervus III, IV, V, dan VI. Disebabkan
121
karena rapatnya hubungan anatomi kelenjar hipofise
dengan struktur neurovaskuler yang penting, maka
sebagai komplikasi operasi dapat terjadi perdarahan
arteri dan vena serta kerusakan saraf kranial.
Fisiologi
Fungsi kelenjar hipofise dikendalikan oleh hipotalamus.
Terdapat dua bagian hipofise yaitu pars anterior
(adenohipofise) dan pars posterior (neurohipofise).
Hormon yang disekresikan oleh pars anterior dibagi atas
asidofilik (growth hormon, prolaktin) dan basofilik
(gonadotropin, ACTH, dan TSH). Pars posterior tidak
memproduksi hormon, akan tetapi, menyimpan dua
hormon yaitu vasopressin (ADH) dan oksitosin yang
dibuat di hipotalamus dan ditransportasikan ke
neurohipofise untuk dilepaskan.
Pendekatan Bedah
Saat untuk operasi adenoma hipofise tergantung dari
keagresifan ahli endokrin dan akhli bedah saraf. Akan
tetapi, pada umumnya intervensi bedah dilakukan untuk
apoplexi pituitari, makroadenoma pituitari, akromegali
aktif, suprasellar prolactinoma, sekresi ACTH aktif
khususnya pada dewasa, kegagalan pengobatan
sebelumnya untuk mengendalikan gejala dan
pertumbuhan dari adenoma.
Kurang lebih 90% adenoma hipofise dapat
dilakukan operasi transspenoidal dan sisanya
memerlukan kraniotomi frontalis (transkranial). Pilihan
tersebut berdasarkan pada anatomi lesi, ukuran sella,
pengapuran, ukuran dan pneumatisasi sinus.
Kraniotomi umumnya dilakukan bila tumor fibrosa
yang tidak umum atau tumor > 10 mm.
Dengan pendekatan secara transspenoidal maka kelenjar
hipofise dan gambaran patologisnya dapat dilihat secara
langsung. Operasinya dilakukan melalui septum nasalis.
Komplikasi pembedahannya adalah sebagai berikut:
122
Tabel 28. Komplikasi Hipofisektomi Transspenoidal
Perdarahan Meningitis/abses intrakranial
Kehilangan penglihatan Occulomotor palsy
Pemeriksaan Prabedah
Selain pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan pada
pasien bedah saraf, juga diperlukan evaluasi endokrin
secara detil, terapi hormon, serum Na, K, Ca, dan
glukosa, hasil pemeriksaan mata, CT-scan, MRI, dan
angiografi serebral. Semua informasi ini akan menolong
untuk menentukan pendekatan bedah, posisi pasien,
serta keperluan untuk monitoring khusus.
Adanya sakit kepala umumnya dihubungkan
IV
dengan makroadenoma atau kraniofaringioma dengan
ectensive suprasellar extension. Bila disertai papil
edema, mual muntah, dan sakit kepala, maka
merupakan tanda terdapatnya obstruksi ventrikel III dan
kenaikan ICP. Mungkin ada keluhan sakit pada tulang
kranium bila ada akromegali. Untuk pasien dengan
kenaikkan ICP, harus berhati-hati menanganinya pada
periode perioperatif (misalnya tidak ada sedasi prabedah,
kepala dalam posisi netral head up paling sedikit 100),
123
hiperventilasi pada saat induksi, dan pemberian
diuretika.
Bila ada keluhan nyeri, rasa kebal di muka atau
diplopia merupakan tanda adanya ekstensi lateral dari
tumor kearah sinus kavernosus, selain bisa terjadi
kerusakan saraf kranial juga kemungkinan perdarahan
dari sinus kavernosus atau arteri karotis interna. Tumor
yang mengsekresi GH dapat dihubungkan dengan
adanya dilatasi masif dari seluruh arteri intrakranial
dan kemungkinan adanya aneurisma giant cavernosus.
Emboli udara vena juga bisa terjadi ketika dilakukan
diseksi sekitar sinus cavernosus pada pasien dengan
posisi lapangan operasi lebih tinggi dibandingkan atrium
kanan. Bila terdapat kemungkinan kejadian tersebut,
perlu dipasang alat pantau pre kordial Dopler, end tidal
CO2 pemasangan kateter vena sentral serta menghindari
pemakaian N2O.
Pasien dengan akromegali jalan nafas harus betul-
betul dievaluasi, sebab bisa terjadi perubahan multipel
dan tulang dan jaringan lunak faring.
124
Makroglosia, hipertrofi bibir, epiglotis dan pita
suara, penebalan mukosa faring dan laring,
pemanjangan hipofaring, prognatism akan meyebabkan
125
tipis, mudah memar, stria abdominal, miopati proksimal,
penyembuhan luka buruk, depresi, hipertensi dan
hiperglikema.
Sistem Kardiovaskuler
EKG harus dilakukan secara rutin pada semua pasien.
Abnormalitas seperti gelombang T inverted dan high voltage
kompleks QRS sering ditemukan pada pasien penyakit
Cushing. Hipertropi ventrikel kiri, aritmia, dan penyakit
jantung iskemik sering ditemukan pada kedua kondisi ini
dan menyebabkan tingginya mortalitas perioperatif. Pasien
dengan chronic obstructive sleep apnoe (OSA kronis)
mungkin meningkat resiko terjadinya cor pulmonale.
Echocardiogram dapat digunakan sebagai alat untuk
menilai bila bila ada disfungsi jantung. Hipertensi terjadi
pada 30% pasien dengan acromegali dan 85% pasien
126
dengan syndroma Cushing dan harus dilakukan terapi
farmakologik prabedah.
Penilaian Endokrin
Diabetes melitus terjadi pada 25% pasien akromegali dan
60% pada pasien dengan sindroma Cushing. Sering
terjadi gangguan toleransi glukosa. Mungkin bisa
digunakan insulin selama periode perioperatif. Penting
untuk mengukur T4 dan TSH dan menormalkan fungsi
tiroid sebelum operasi untuk menghindari instabilitas
kardiovaskuler dan aritmia. Basal prolaktin dan kortisol
serum merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan
pada kebanyakan pasien yang dilakukan operasi hipofise
akan memerlukan pemberian glukokortikoid untuk
memberikan kemampuan melakukan efektif stres
IV
respons.yang adekuat.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium prabedah berupa
pemeriksaan blood count, urea dan elektrolit, calcium,
gula darah, golongan darah. Walaupun jarang terjadi
perdarahan yang banyak pada oprasi hipofise, tapi masih
mungkin terjadi bila terjadi kecelakaan pada arteri
karotis atau sinus venosus.
127
Pengelolaan Anestesi
Induksi dan pemeliharaan anestesi tidak khusus, tetap
memakai prinsip-prinsip ABCDE neuroanestesi. Pasien
tidak boleh bergerak saat dilakukan diseksi mikro dan
harus memungkinkan dapat dilakukannya bila
diperlukan test neurologik. Teknik anestesi bisa dengan
kombinasi intravena dan inhalasi.
Mungkin diperlukan memasang kateter lumbal ke
ruang subarakhnoid untuk membantu ahli bedah saraf
bila diperlukan visualisasi lebih jelas (dengan
memberikan Na Cl 0,9% kedalam ruang subarakhnoid).
Perlu dipasang CVP untuk menilai status volume karena
ada risiko diabetes insipidus pascabedah.
Premedikasi
Secara umum obat yang biasa dimakan seperti
antihipertensi, gagal jantung, bronkhodilator dan
antasid diberikan dengan pengecualian angootension
coverting enzym (ACE) inhibitor dan diuretika.
Pertimbangan khusus harus diberikan pada refluks
gastro-oesophageal dengan penggunaan H-2 reseptor
antagonis dan proton-pump inhibitor misalnya ranitidin
dan omeprazol. Pasien dengan diabetes mellitus harus
dilakukan pengukuran gula darah reguler dan dilakukan
pemberian insulin secara titrasi. Benzodiazepin dan
sedatif lain harus dihindari sebab tujuan dari operasi
tumor hipofise, seperti halnya operasi bedah saraf
lainnya, adalah pasien cepat bangun dan pulih dari egek
anestesi dengan target dapat dilakukan pemeriksan
neurologik dini.
Glukokortikoid Perioperatif
Semua pasien dengan penyakit Cushing memerlukan
penggantian glukokortikoid perioperatif, kecuali bila hasil
basal kortisol (diambil jam 8.00) dan test synacthen
normal. Berbagai cara telah dilakukan di setiap rumah
sakit, tapi umumnya diberikan 100 mg hidrokortison
pada saat induksi anestesi, dilanjutkan dengan 50 mg
sehari 2 kali pemberian pada hari pertama pascabedah,
kemudian pada hari kedua pascabedah diturunkan
menjadi 2 x 25mg, setelah itu pada hari ke-3 pascabedah
128
sampai dipulangkan menjadi 2 x20 mg, pagi dan malam
hari. Pasien dengan penyakit Cushing, mungkin
memerlukan pemberian hidrokortison sampai beberapa
Titik Kunci
Anamnesa • Ingat untuk menanyakan keluhan
penyakit jantung iskemik, peningkatan
tekanan intrakranial, fungsi tiroid
abnormal, dan OSA
Pemeriksaan • Airway
• Saraf Kranial
Radiologi • MRI hipofise (bila ada)
Laboratrium • Ureum & Elektrolit, Calsium, glukosa
darah, Full blood count, Basal prolactin
• TSH, T4
• Serum kortisol ingat glukocorticoid cover
Lain-lain • EKG
• Echocardiogram
• Laringkopi indirect
• Spirometri
Monitoring Pasien
Semua pasien harus dipasan pemantaua rutin seperti
IV
pulse oksimeter, EKG, temperatur dan kapnograph.
Dianjurkan dilakukan pemantauan tekanan darah
secara invasif dan jalur vena besar. Pasien dengan
akromegali, terutama dengan carpal tunnel syndrome,
mungkin mempunyai aliran darah ulnar yang terganggu,
maka penting dilakukan penilaian aliran darah arteri
radialis dan arteri ulnaris dengan test Allen sebelum
dilakukan kanulasi arteri radialis (bila aliran arteri
ulnaris tidak adekuat, pertimbangkan pemasangan di
arteri doralis pedis). Kulit yang fragil dan mudah lecet
129
merupakan penyulit saat pemasangan jalur vena dan
arteri pada pasien dengan penyakit Cushing. Kateter
vena sentral umumnya hanya diperlukan pada kasus
dengan gangguan kardiorespirasi berat.
Teknik Anestesi
Anestesi untuk operasi hipofise harus bertujuan untuk
memfasilitasi pembedahan, memelihara perfusi otak,
mencegah lonjakan tekanan darah dan cepat bangun
dari anestesia. Teknik dan obat mana yang akan
digunakan bergantung pada kondisi prabedah dan ko-
morbid yang ditemukan. Dapat diterima jika
menggunakan setiap teknik anestesi yang
menyenangkan untuk prosedur intrakranial, idealnya
dengan obat anestesi short acting fast emergence (SAFE)
sehingga memudahkan dilakukan evaluasi neurologis
pascabedah. Pertimbangan khusus harus dibuat karena
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Ventilasi
dengan bag mask mungkin sulit dilakukan pada pasien
dengan acromegali dan alat tambahan seperti intubasi
fiber-optic mungkin tepat bila diduga akan ada kesulitan
intubasi. Intubasi endotrakeal rutin dilakukan dengan
pipa endotrakheal non-kinking dan difiksasi pada daerah
yang berlawanan dengan lapangan operasi. Dipasang
tampon faring dan diberi label yang jelas bahwa pasien
tersebut dipasang tampon faring untuk mengingatkan
kita dan tampon diambil pada akhir operasi.
Propofol, sevofluran, desfluran, remifentanyl
termasuk dalam SAFE drugs dan sering digunakan
dalam neuroanestesi. Obat-obat ini short acting dan
berefek emergens yang cepat dan lancar yang penting
untuk dapat dilakukan evaluasi neurologis yang segera
pascabedah. Blokade neuromuskuler dengan obat
pelumpuh otot atracurium atau vecorunium harus
dimaintenen selama operasi karena pasien batuk atau
bergerak mempunyai efek buruk pada pembedahan.
Remifentaanil dan opioid short acting lainnya terutama
berharga pada periode pembdahan yang sangat sakit.
Obat ini harus diganti dengan long acting opioid untuk
menghindari nyeri pada saat pulih kesadaran.
Antiemetik harus rutin diberikan untuk mencegah
terjadinya post operative nausea dan vomiting (PONV).
130
Posisi
Bila dilakukan kraniotomi frontalis, posisi pasien supine,
kepala dipasang headrest, sedikit elevasi. Bila melalui
131
mengambil tulang, menembus sinus udara sphenoid,
dan mengambil dasar fosa pituitari. Tumor kemudian
diambil menggunakan mikroskop operasi. Pendekatan
tras-spenoidal merupakan tindak operasi hipofise yang
paling aman dan dihubungkan dengan lama perawatan
yang lebih singkat. Mortalitas dierkirakan 0,27% untuk
mikroadenoma dan 0,9% untuk makroadenoma. Lebih
jarang dilakukan operasi transkranial (bi-frontal
craniotomy) yang digunakan untuk tumor hipofise yang
besar atau kasus yang gagal dilakukan pendekatan
trans-spenoidal.
132
Titik Kunci
• Antisipasi kesulitan intubasi dan pertimbangkan apakah
intubasi dalam keadaan tidur atau saat bangun dengan
Monitoring
Pada umumnya monitoring rutin yang non invasif sudah
cukup baik untuk operasi spenoidal. Pemasangan
kateter arteri untuk pemantauan tekanan darah kontinu
serta mengambil sampel gas darah hanya pada keadaan
tertentu seperti pasien dengan penyakit jantung koroner,
aritmia, penyakit paru berat, atau bila kemungkinan
terjadi perdarahan hebat.
Emergens
Sebelum dilakukan ekstubasi jangan lupa mengambil
tampon faring. Lakukan pengisapan yang baik karena
kemungkinan ada darah yang masuk ke lambung,
sehingga perlu memasang pipa nasogastrik pada saat
setelah induksi anestesi.
Airway
Pasien yang mengalami operasi hipofise beresiko terjadi
obstruksi jalan nafas segera pada periode pascabedah.
Dokter anestesi harus memastikan bahwa tampon faring
telah diambil sebelum dilakukan ekstubasi dan ekstubasi
dilakukan setelaah pasien bangun untuk mencegah
kemungkinan terjadi aspirasi darah. Pasien dengan
acromegali dan ada riwayat OSA mungkin telah
133
menggunakan nocturnal CPAP prabedah. Pascabedah,
nasal CPAP akan tidak efektif karena adanya tampon
hidung. Selanjutnya, ada risiko bahwa dapat menyebabkan
udara masuk ke kranium (pneumocephalus) melalui defek
sekitar dasar pituitari. Walaupun normalnya hanya
menyebabkan sakit kepala, kalau udara dibawah tekanan
bisa terjadi tension pnemocephalus dan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan menurunkan level kesadaran.
Cara ini merupakan usaha terakhir dan dilakukan di ICU.
Resiko utama adalah terjadinya hipoksemia, oleh karena
itu perlu dipasang pulse oksimeter sepanjang malam dan
pasien diberi suplemen oksigen sampai beberapa malam
pascabedah.
Penilaian neurologik
Emergens dari anestesi harus smooth dan secara cepat
mengijinkan ahli bedah untuk melakukan penilaian
segera integritas saraf kranial, terutama saraf kranial II-
VI yang paling berdekatan dengan lapangan operasi.
Analgesia
Pasien umumnya mengeluh frontal headache
pascabedah. Sejarahnya telah digunakan kodein untuk
analgesia ascabedah, karena minimal efek samping.
Opiat yang lebih kuat mungkin digunakan terutama bila
dilakukan operasi transcranial. Sering terjadi POV, maka
secara ritin berikan anti PONV.
Titik Kunci
• Pasien yang mengalami oprasi hipofise, ada peningkatan
resiko obstruksi jalan nafas pada periode pascabedah.
Pertimbangkan suatu periode observasi di high care unit,
terutama untuk pasien dengan OSA.
• Mungkin diperlukan opiat kuat untuk periode pascabedah
dini, kemudian berikan kodein.
• Jangan lupa berikan antiemetik untuk PONV.
Problem Khusus
Suplemen hormon
Beberapa klinis percaya bahwa suplemen steroid perlu
dilakukan, alasannya adalah pengangkatan hipofise
134
akan menurunkan kemampuan berespons terhadap
stres perioperatif dan manipulasi atau pengangkatan
pars anterior hipofise akan mengganggu fungsi
135
Desmopressin asetat (DDAVP) 0,5-2 ug dapat
diberikan secara intravena atau subkutan setiap 6-12
jam (8 jam) atau melalui nasal dengan dosis 10-20 ug.
DDAVP dapat diberikan lebih sering bila DI sulit
dikendalikan. DDAVP kurang berefek vasopressor
dibandingkan dengan vasopressin dan lebih disukai
daripada vasopressin untuk pasien dengan penyakit
jantung koroner dan hipertensi.
Walaupun pernah dilaporkan intraoperatif DI akan
tetapi pada umumnya manifest pada periode pascabedah
dan suspek pada setiap pasien dengan poliuri. DI pada
umumnya sembuh sendiri dalam beberapa hari. Sekali
diagnosa DI ditegakkan, sasaran terapi cairan adalah
untuk mempertahankan volume intravaskuler dan
elektrolit yang normal. Cara pemberian cairan yang
sederhana adalah berikan rumatan cairan setiap jam
ditambah dengan ¾ jumlah urine per jam. Cara lain
berdasarkan kadar serum Na dengan rumus sebagai
berikut:
136
terus menerus (>20 meq/L). Hiponatremia dapat terjadi
pada pasien dengan cedera kepala akut. ADH dan
aldosteron dilepaskan sebagai jawaban terhadap stres
137
meningkatkan konsentrasi Na+ 6 meq/liter. Bila gejala
neurologis stabil, koreksi yang cepat harus dihindari
karena dapat terjadi fontin mielinolisis, maka dianjurkan
pemulihan serum sodium dengan kecepatan 2
mEq/L/jam. Pemberian NaCl hipertonik harus dengan
monitor kardiovaskuler karena dapat mempresipitasi
timbulnya edema paru dan perdarahan intraserebral.
138
Tabel 32. Perbedaan DI, SIADH, dan CSW
Faktor DI SIADH CSW
Etiologi Penurunan ADH Peningkatan Pelepasan brain
Nyeri Pascabedah
Keluhan yang paling sering adalah sakit kepala. Nyeri ini
umumnya hanya berlangsung singkat dan hanya 24 jam
pertama. Terapinya cukup dengan NSAID atau
parasetamol. Kebanyakan pasien tidak mengeluh nyeri,
hal ini mungkin karena hipofise mempunyai beta
endorfin dalam jumlah banyak yang dilepaskan saat
manipulasi bedah.
4.5. Komplikasi
Penekatan trans-spenoidal untuk operasi hipofise
dihubungkan dengan hanya 3,5% laju komplikasi, akan
tetapi, anestesiologist harus waspada terjadinya
komplikasi-komplikasi dibawah ini.
1) Perdarahan
Perdarahan dari kerusakan arteri karotis interna IV
atau vena dalam dinding sinus cavernosus jarang
terjadi. Tumor yang lebih besar dan ekstensi
suprasella paling sering terjadi komplikasi
perdarahan. Perdarahan vena mungkin memerlukan
tampon sedangkan perdarahan arteri dikurangi
dengan menurunkan tekanan darah secara
farmakologik menggunakan obat induksi intravena
atau alpha dan beta bloker. Kalau terjadi
perdarahan arteri, operasi selanjutnya haru
139
diundurkan (operasi dihentikan sampai tahap itu),
pasien ditransfer ke ICU untuk pemantauan, sedasi
dan ventilasi.
2) Kebocoran CSF
Hanya bisa didentifikasi bila tampon nasal telah
dicabut. Pasien mungkin mengalami sakit kepala,
rhinorrhoea atau mengeluh rasa asin di mulit dari
tetesan post nasal. Pemeriksan akan kemungkinan
CSF adalah positif untuk glukosa. Keluhan lainnya
adalah nyeri, leher kaku, photophobia dan demam
mewaspadai klinisi akan kemungkinan terjadinya
meningitis dan membutukan pemberian antibiotika
yang tepat. Kebocoran CSF yang menetap bisa
diatasi dengan membiarkan drain CSF tetap
terpasang untuk 4-48 jam supaya terjadi drainase
CSF.
3) Diabetes Insipidus
Neurogenic diabetes insipidus (DI) akibat dari
kerusakan sel-sel yang memproduksi ADH di fossa
poterior hipofise atau hipotalamus atau gangguan
pelepasan ADH dari sel-sel tersebut. Disebabkan
fungsi ADH adalah untuk retensi air pada tubulus
distalis dan colecting tubulus ginjal, DI khas dengan
adanya poliuri, haus, peningkatan osmolalitas
plasma, dan hipernatremia. Ini adalah salah satu
komplikasi yang paling sering dari operasi hipofise
dan mungkin mengenai 50% pasien pada 24 jam
pertama.
Untuk membedakan DI dari dari penyebab lain
poliuri pascabedah, dianjurkan bahwa secara rutin
dilakukan pemeriksaan gravitas spesifik urine dan
jumlah diuresis. DI didiagnosis bila ada poliuria
dengan urin spesifik gravity < 1.005 dan osmolaritas
rendah <300 mosm. Sekali diagnose telah
ditegakkan, maka strategi managemen pertama
adalah jalur infus harus lancar, monitoring ketat
elektrolit dan diuresis. Pada beberapa kasus,
berikan DDAVP (suatu sintetik analog ADH). Kondidi
140
ini umumnya sebentar dan sel-sel lain akan
mengambil alih produksi dan sekresi ADH.
Daftar Pustaka
IV
1. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesi.
edisi ke-2. Bandung: Universitas Padjadjaran;1997.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of
neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins;2007.
3. Griffiths S, Perks A. The hypothalamic pituitary axis
Part 2: Anesthesia for pituitary surgery. Anesthesia
Tutorial of the Week July 2010
141
4. Smith M, Hirssch NP. Pituitary diseases and
anesthesia. Br J Anaesth 2000;85:3-14
5. Lim M, William D, Maartens N. Anesthesia for
pituitary surgery. J Clin Neurosci 2006;13:413-18
6. Burton CM, Nemergut EC. Anesthesia and critical
care management of patient undergoing pituitary
surgery. Front Horm Res 2006;34:236-55
7. Razis PA. Anesthesia for surgery of pituitary
tumours. Int Anesthesiol Clin 1997;35:23-34
8. Jewkes D. Anesthesia for pituitary surgery. Curr
Anaesth Crit Care 1993;4:8-12
9. Bisri T. Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012
142