OLEH:
Rifaldin
016.06.0048
PEMBIMBING
dr. I Ketut Sumandi, Sp.PD
Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul Pnemonia, Diabetes Melitus dan Acute Kidney Injury.
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan
tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang menjalani
kepanitraan klinik di RSUD Klungkung.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
DAFTAR BAGAN...................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................5
LAPORAN KASUS.................................................................................................5
2.1 Identitas Pasien..............................................................................................5
2.2 Anamnesis......................................................................................................5
2.3 Pemeriksaan Fisik..........................................................................................7
2.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................10
2.5 Diagnosis Kerja............................................................................................15
2.6 Terapi...........................................................................................................15
2.7 Follow Up....................................................................................................16
BAB III..................................................................................................................37
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................37
3.1 Definisi Pneumonia......................................................................................37
3.2 Klasifikasi Pneumonia.................................................................................37
3.3 Epidemiologi Pneumonia.............................................................................37
3.4 Etiologi Pneumonia......................................................................................38
3.5 Patofisiologi Pneumonia..............................................................................38
3.6 Pendekatan Diagnosis Pneumonia...............................................................40
3.7 Diagnosis Banding Pneumonia....................................................................41
3.8 Tatalaksana Pneumonia...............................................................................41
3.9 Komplikasi Pneumonia................................................................................44
3.10 Prognosis Pneumonia.................................................................................44
3.11 Definisi Diabetes Mellitus………………………………………………..45
ii
3.12 Etiologi Diabetes Mellitus………………………………………………..45
3.13 Faktor Risiko Diabetes
Mellitus…………………………………………..46
3.14 Kriteria Diagnosis Diabetes
Mellitus……………………………………..47
3.15 Patofisiologi Diabetes Mellitus……………………………………….
…..47
3.16 Tatalaksana Diabetes
Mellitus…………………………………………....49
3.17 Komplikasi Diabetes Mellitus……………………………………...….....52
3.18 Definisi Acute Kidney Injury (AKI)………………………………..
……..55
3.19 Klasifikasi Acute Kidney Injury (AKI)…………………………….
……..55
3.20 Epidemiologi Acute Kidney Injury (AKI)………………………….
……..58
3.21 Etiologi Acute Kidney Injury (AKI)………………………………………
58
3.22 Patofisiologi Acute Kidney Injury (AKI)
………………………………….60
3.23 Diagnosis Acute Kidney Injury (AKI)
…………………………………….64
3.23 Tatalaksana Acute Kidney Injury (AKI)………………………………….68
3.23 Komplikasi Acute Kidney Injury (AKI)……………….
………………….70
3.23 Prognosis Acute Kidney Injury (AKI)
…………………………………….72
BAB IV..................................................................................................................73
PEMBAHASAN....................................................................................................73
BAB V...................................................................................................................75
iii
PENUTUP..............................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................76
DAFTAR TABEL
iv
Tabel 3.11 Komplikasi dan penanganan pada
AKI……………………………….71
DAFTAR BAGAN
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
A. Pneumonia
Infeksi saluran nafas bawah masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan. World Health Organization (WHO) melaporkan infeksi saluran nafas
bawah sebagai infeksi penyebab kematian paling sering di dunia dengan hampir
3,5 juta kematian per tahun. Pneumonia dan influenza didapatkan sebagai
penyebab kematian sekitar 50.000 estimasi kematian pada tahun 2010 (Wunderink
RG, 2014).
Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia berdasarkan tempat didapatkannya dibagi
dalam dua kelompok utama yakni, pneumonia komunitas (community aqquired
pneumonia, CAP) yang didapat di masyarakat dan pneumonia nosokomial
(hospital aqquired pneumonia, HAP) (Dahlan Z. 2009).
Pneumonia komunitas (PK) atau community-acquired pneumonia (CAP)
masih menjadi suatu masalah kesehatan utama tidak hanya di negara yang sedang
berkembang, tetapi juga di seluruh dunia. PK merupakan salah satu penyebab
utama kematian di dunia dan merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 di
Amerika Serikat. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34
per 100.000 penduduk pada pria dan 28 per 100.000 penduduk pada wanita.
Sementara itu, menurut Riskesdas 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari
10 penyebab kematian utama di Indonesia, yaitu sebesar 2,1% (Sajinadiyasa GK,
2011).
Pneumonia tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat,
mengingat penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di
1
Indonesia. Untuk itu, diagnosis yang tepat, pemberian terapi antibiotika yang
efektif, perawatan yang baik, serta usaha preventif yang bermakna terhadap
penyakit ini perlu dilakukan agar berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada
pneumonia.
B. Diabetes Mellitus
2
darah tinggi terjadi sebelum usia 70 tahun. WHO memproyeksikan diabetes akan
menjadi penyebab kematian ke tujuh di tahun 2030 (WHO, 2017).
Diabetes mellitus itu sendiri merupakan penyakit kronis yang akan diderita
seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saat
dapat menimbulkan komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Komplikasi
akut meliputi Ketoasidosis diabetik (KAD), Sindrom Hiperglikemi Hiperosmolar
(SSH), Hipoglikemi, sedangkan untuk komplikasi kronis dibagi menjadi dua yaitu
makrovaskular (penyakit kardiovaskular, hipertensi) dan mikrovaskular (neuropati
diabetic, gastropati diabetic, nefropati diabetic, ulkus kaki diabetic) yang
membutuhkan tindakan atau tatalaksana segera mungkin sehingga sangat
diperlukan program pengendalian dan penatalaksanan Diabetes Mellitus
khususnya Tipe-2.
Penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari 5 pilar yaitu edukasi, diet,
latihan fisik, kepatuhan obat, selain itu juga termasuk pencegahan diabetes
mellitus dengan pemantauan kadar gula darah. Oleh karena itu, sebagai dokter
muda, kita harus mampu mengetahui dan memahami seluk beluk tentang Diabetes
Mellitus dari definisi hingga tatalaksana pada pasien, agar ketika sudah menjadi
dokter nantinya ilmu-ilmu yang sudah kita dapatkan di Rumah Sakit Pendidikan
dapat kita terapkan dengan baik pada pasien kita kelaknya.
3
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin
(KDIGO, 2012).
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal
akut (GGA) atau acute renal failure (ARF) merupakan salah satu sindrom dalam
bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan
insidens. Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit
didapatkan karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan
bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.
Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas
kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat
terdiagnosis .Beberapa laporan di dunia menunjukkan insidens yang bervariasi
antara 0,5- 0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU),
dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga
80% (Lameire N, 2006).
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup dan pengobatan penyakit yang
mendasari sangatlah penting pada pasien dengan AKI. AKI merupakan penyakit
life threatening disease, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta
keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap
pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan
akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat
membantu memperbaiki kualitas hidup penderita (KDIGO, 2012).
4
BAB II
LAPORAN KASUS
RSUD KLUNGKUNG
2.2 Anamnesis
Telah dilakukan anamnesis secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 15-10-2021
a. Keluhan Utama :
Penurunan Kesadaran
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Klungkung diantar oleh keluarganya
pada tanggal 13 Oktober 2021 pukul 06.30 wita dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak saat waktu subuh pada saat dirumah, saat tiba
di IGD pasien dalam keadaan kejang. Kejang dirasakan terus menerus
disertai wajah sebelah kiri pasien berkedut. Selain itu pasien mengalami
5
mual dan muntah berisi air. Demam, batuk, dan sesak disangkal. Pasien
sebelumnya memiliki riwayat gagal jantung kongestif (CHF),
Hipertention Heart Disease (HHD), Diabetes Melitus dan Epilepsi
Sekunder yang diserita sejak lama (pasien tidak mengingat dengan pasti
awal mula penyakitnya muncul). BAB normal dan BAK perlu dibantu.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan yang sama : (+)
Riwayat hipertensi : (+)
Riwayat penyakit jantung : (+)
Riwayat diabetes melitus : (+)
Riwayat epilepsi : (+)
Riwayat gastritis : (-)
Riwayat penyakit ginjal : (-)
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat TBC Paru : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat alergi obat-obatan : disangkal
Riwayat lainnya : (-)
d. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (+) Anak kandung
Riwayat jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat lainnya : disangkal
e. Riwayat pengobatan
Candesartan 1x4 mg
Vitamin B complex 2x1 mg
Lantus dan Apidra
Phenytoin 3x100 mg
6
Aspilet 1x 80mg
f. Riwayat sosial
Riwayat merokok : (-)
Riwayat alkohol : (-)
Konsumsi obat-obatan terlarang : (-)
Riwayat masalah pada perkawinan : (-)
Riwayat mengalami kekerasan fisik : (-)
Riwayat gangguan tidur : (-)
Riwayat mencederai diri sendiri : (-)
Riwayat trauma dalam kehidupan : (-)
Riwayat konsultasi psikolog / psikikiater : (-)
g. Riwayat gizi
Pola makan teratur 3x sehari
d. Status Generalis
7
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat isokor (3mmx3mm),
refleks pupil (+/+).
Telinga Otorea (-/-), nyeri tekan tragus dan
mastoid (-/-), discharge (-/-), serumen (-/-)
Hidung Bentuk normal, tidak ada nafas cuping
hidung, septum deviasi (-/-), discharge (-/-),
serumen (-/-)
Tenggorokan Uvula di tengah, tonsil T1-T1 tidak
hiperemis, faring hiperemis (-)
Mulut Bentuk normal, bibir pucat (-), sianosis (-),
lidah kotor (-), tidak terdapat karies, gusi
berdarah (-), oral hygine buruk
Leher Bentuk leher normal, pergerakan leher
bebas, kelenjar tiroid tidak membesar,
trakea di tengah, JVP 3+5 cm H2O.
Kelenjar getah bening Kelenjar getah bening di preaurikular,
retroaurikular, submandibula, submental,
supraklavikula dan aksila tidak teraba
pembesaran
Thorax Normochest, tidak ada lesi, tidak ada jejas,
gerakan simetris saat statis dan dinamis,
tidak terdapat retraksi suprasternal.
Pulmo Inspeksi Gerakan simetris saat statis dan dinamis,
tidak ada retraksi
Palpasi Nyeri tekan (-), taktil fremitus simetris
pada kedua lapang paru
Perkusi
Sonor Redup Pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Auskultasi
Vesikuler Ronkhi Wheezing
- - + + - -
- - + + - -
8
- - + + - -
Anterior
- - + + _ _
- - + + _ _
- - + + _ _
Posterior
Jantung Inspeksi Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi Iktus kordis teraba kuat angkat, melebar (-),
thrill (-)
Perkusi Batas jantung kanan: ICS V linea
parastrernal dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea
midclavicularis sinistra
Batas jantung atas:ICS II linea parsternalis
sinistra
Batas pinggang jantung: ICS III linea
parastrenal sinistra
Auskultasi S1, S2 tunggal reguler, Murmur (-), Gallop
(-)
Abdomen Inspeksi Asites (-), tidak sikatrik, massa (-), distensi
(-)
Auskultasi Bising usus (+), peristatlik usus
(12x/menit)
Perkusi Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi Supel, tidak ada defans muscular, turgor
cukup, hepar tidak teraba, lien teraba.
Nyeri tekan
+ + +
+ + +
+ + +
Ekstremitas Akral dingin (+), Kesan lateralisasi
ekstremitas ke arah kiri, Edema (-) pada
seluruh ektremitas, Nyeri tekan (-),
9
Deformitas (+ ) Ulnar Deviasi pada
metacarpophalangeal pedis dekstra dan
sinistra
CRT < 2 detik.
Kimia Klinik
Faal Hati
AST (SGOT) 18 U/L 8-37 Normal
ALT (SGPT) 18 U/L 13-42 Normal
Faal Ginjal
Ureum 21 mg/dL 10-50 Normal
Kreatinin *1,7 mg/dL 0.6-1.2 Meningkat
Elektrolit
Natrium (Na) *145 mmol/L 135-145 Normal
10
Kalium (K) 4,0 mmol/L 3.5-4.5 Normal
Klorida (Cl) 103 mmol/L 95-105 Normal
Gula Darah
Gula darah 168 mg/dL 80-200 Normal
sewaktu
Kimia Klinik
Gula Darah
Gula darah puasa *110 mg/dL 74-106 Meningkat
Gula darah 2 jam PP *144 mg/dL <140 Meningkat
11
Interpretasi :
- Irama : Sinus
- Rate : 100 kali/menit
- Axis : Normal
- Gelombang P : Normal (Tinggi 1 kotak kecil, lebar 1 kotak kecil)
- Interval PR : Normal (3 Kontak Kecil)
- Kompleks QRS : Terdapat gelombang R,S,R di v1
- Segmen ST : Tidak terdapat ST elevasi / ST depresi
- CRBB (Complete Right Bundle Brench Block) : Adanya hambatan aliran
listrik kearah ventrikel kanan
c. Pemeriksaan Rontgen Thorax (13 Oktober 2021)
Corak PA
- Cor : tidak membesar
- Pulmo : corakan bronchovascular meningkat, tampak infiltrate di para
cardia kanan kiri
- Sinus phrenocostalis kanan dan kiri tajam
- Diafragma kanan dan kiri normal
12
- Skelet hemithorax : tak tampak fracture
Kesan
- Tak tampak cardiomegali
- Mengesankan gambaran pneumonia
13
- Orbita, sinus ethimoidalis, sphenoidalis, mastoid kanan dan kiri
tampak normal
- Tulang calvaria tampak normal
Kesimpulan :
- Saat ini tak tampak gambaran intracerebral haemorhage maupun
infraction di brain parenchyme
- Brain athrophy
- Tulang calvaria dalam batas normal
2.6 Terapi
- IVFD Ringer Laktat 12 tpm
- NGT + Kateter
- Cithicolin 2x250 mg (IV)
- Diazepam ½ ampul jika kejang (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
- Levofloxacin tab (PO)
- Diet Sonde 6x150 cc
- Furosemid 20 mg (IV)
- Candesrtan 8 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
14
- V Block 6,25 mg (PO)
2.7 Follow Up
13 Oktober 2021
S Penurunan Kesadaran (+) Kejang (-)
O KU: Lemah
Kesadaran: Somnolen (E2V3M4)
SpO2: 98% dengan O2 5 lpm
Tanda Vital :
- TD : 180/90
- N : 87x/menit
- RR: 18x/menit
- Suhu : 36oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
oedema palpebra (-/-)
- THT : Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
15
Perkusi :
Sonor Redup Pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Auskultasi
Vesikuler Rhonki Wheezing
- - + + - -
- - + + - -
- - + + - -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
- - -
- - -
- - -
- Ekstremitas
16
Hangat Edema
+ + - -
+ + - -
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- IVFD Ringer Laktat 12 tpm
- NGT + Kateter
- Cithicolin 2x250 mg (IV)
- Diazepam ½ ampul jika kejang (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
- Levofloxacin tab (PO)
- Diet Sonde 6x150 cc
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x20 mg (IV)
- Candesrtan 2x8 ml (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
14 Oktober 2021
S Lemas (+), Penurunan Kesadaran (-), Kejang (-)
O KU: Lemah
Kesadaran: Compos mentis (E4V5M6)
17
SpO2: 97%
Tanda Vital :
- TD : 113/60
- N :64x/menit
- RR: 18x/menit
- Suhu : 36,7oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
oedema palpebra (-/-)
- THT :Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
Perkusi :
Sonor Redup Pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
18
Auskultasi
Vesikuler Rhonki Wheezing
- - + + - -
- - + + - -
- - + + - -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
- - -
- - -
- - -
- Ekstremitas
Hangat Edema
+ + + +
+ + + +
19
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- IVFD Ringer Laktat 12 tpm
- NGT + Kateter
- Cithicolin 2x250 mg (IV)
- Diazepam ½ ampul jika kejang (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
- Levofloxacin tab 1x500 mg (PO)
- Cek GD 1 dan GD 2 ulang besok
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x20 mg (IV)
- Candesrtan 2x16 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
15 Oktober 2021
S Lemas (+), Sesak (-), Batuk (-), Demam (-)
O KU: Lemah
Kesadaran: Compos mentis (E4V5M6)
SpO2: 97%
Tanda Vital :
20
- TD : 143/85
- N :62x/menit
- RR: 18 x / menit
- Suhu : 36 oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
oedema palpebra (-/-)
- THT :Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
21
+ + - - - -
+ + - - - -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistr
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : bising usus (+) peristaltik 5x/menit
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
+ + +
+ + +
+ + +
- Ekstremitas
Hangat Edema
+ + + +
+ + + +
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
22
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- IVFD Ringer Laktat 12 tpm
- Cithicolin 2x250 mg (IV)
- Diazepam ½ ampul jika kejang (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
- Levofloxacin tab 1x500 mg (PO)
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x20 mg (IV)
- Candesrtan 2x16 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
16 Oktober 2021
S Lemas (+), Sesak (-), Batuk (-), Demam (-)
O KU: Baik
Kesadaran: Compos mentis (E4V5M6)
SpO2: 98% NRM 3 lpm
Tanda Vital :
- TD : 120/61
- N : 60
- RR: 20x/menit
- Suhu : 36,6 oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
23
oedema palpebra (-/-)
- THT :Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
24
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : bising usus (+) peristaltik 10x/menit
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
- - -
- - -
- - -
- Ekstremitas
Hangat Edema
+ + - -
+ + - -
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- IVFD Ringer Laktat 12 tpm
- Cithicolin 1x500 mg (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
25
- Levofloxacin tab 1x500 mg (PO)
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x20 mg (IV)
- Candesrtan 2x16 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
- Echocardiography
17 Oktober 2021
S Lemas (+)
O KU: Baik
Kesadaran: Compos mentis (E4V5M6)
SpO2: 99% NC 3 lpm
Tanda Vital :
- TD : 129/61
- N : 54x/menit
- RR: 20x/menit
- Suhu : 36,5 oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
oedema palpebra (-/-)
- THT :Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
26
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistr
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : bising usus (+) peristaltik 10x/menit
Perkusi :
27
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
- - -
- - -
- - -
- Ekstremitas
Hangat Edema
+ + - -
+ + - -
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- Cithicolin 1x500 mg (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
- Levofloxacin tab 1x500 mg (PO)
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x20 mg (IV)
- Candesrtan 2x16 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
28
18 Oktober 2021
S Lemas (+) Sesak (-), Batuk (-), Demam (-)
O KU: Baik
Kesadaran: Compos mentis (E4V5M6)
SpO2: 99% NC 3 lpm
Tanda Vital :
- TD : 129/61
- N : 62x/menit
- RR: 28x/menit
- Suhu : 36,5 oC
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), releks pupil (+/+),
oedema palpebra (-/-)
- THT :Masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-),
mukosa bibir tidak hiperemis, Tonsil T1/T1, tonsil hiperemis (-)
- Leher: pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Thorax:
Paru :
Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada
gerakan napas yang tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada
tampak adanya tanda – tanda peradangan
Palpasi :
Nyeri tekan
- -
- -
- -
29
Sonor Redup Pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Auskultasi
Vesikuler Rhonki Wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistr
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), asites (-), caput medusae (-), massa (-),
meteorismus (-), peradangan (-)
Auskultasi : bising usus (+) peristaltik 10x/menit
Perkusi :
Timpani
+ + +
+ + +
+ + +
Palpasi :
Nyeri tekan (+)
- - -
- - -
- - -
- Ekstremitas
Hangat Edema
30
+ + - -
+ + - -
CRT < 2 detik
A - Epilepsi Sekunder
- Pnemonia
- Diabetes Melitus
- AKI
- CHF Fc III
- HHD
P Terapi
dr. Bhaskoro Adi Widi Nugroho, M. Biomed, Sp. S
- Cithicolin 1x500 mg (IV)
- Phenytoin 3x100 mg (PO)
- Asam Folat 2xI tab (PO)
- BPL
dr. I Ketut Sumandi, Sp. PD
- BPL sesuai neuro
dr. I Nyoman Indrawan Mataram, Sp. JP
- Furosemid 1x40 mg (IV)
- Clopidogrel 1x75 mg (PO)
- Candesrtan 2x16 mg (PO)
- Sprinolakton 1x25 mg (PO)
- Adalat Oros 1x30 mg (PO)
- Nitrokaf 2x2,5 mg (PO)
- V Block 2x6,25 mg (PO)
- Hydrochlorothiazide 1x25 mg (PO)
31
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
32
3.3 Epidemiologi Pneumonia
Angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di negara berkembang.
Pneumonia menyerang sekitar 450 juta orang setiap tahunnya. Berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2018, prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan yaitu sekitar 2% sedangkan tahun 2013 adalah 1,8%. Berdasarkan data
Kemenkes 2014, Jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada tahun 2013
berkisar antara 23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19%. Tahun
2010 di Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan crude fatality rate (CFR) atau angka kematian penyakit
tertentu pada periode waktu tertentu dibagi jumlah kasus adalah 7,6%. Menurut
Profil Kesehatan Indonesia, pneumonia menyebabkan 15% kematian balita yaitu
sekitar 922.000 balita tahun 2015. Dari tahun 2015- 2018 kasus pneumonia yang
terkonfimasi pada anak-anak dibawah 5 tahun meningkat sekitar 500.000 per
tahun, tercatat mencapai 505.331 pasien dengan 425 pasien meninggal. Dinas
Kesehatan DKI Jakarta memperkirakan 43.309 kasus pneumonia atau radang paru
pada balita selama tahun 2019 (PDPI, 2020).
3.4 Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia
rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di
Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri
gram negative (PDPI. 2003).
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B (Price SA,
Wilson LM. 2012).
33
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (Price SA, Wilson LM. 2012).
34
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara
host dan bakteri maka akan nampak empat zona (Gambar 3.1) pada daerah pasitik
parasitik terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri
dan cairan edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari
PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN
yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI, 2003).
3.6 Pendekatan Diagnosis Pneumonia
a. Anamnesis
1. Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan
sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
35
b. Pemeriksaan fisik
2. Didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi
redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub (PDPI.
2003).
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
- Pemeriksaan menggunakan (foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas (Dahlan Z.
2009).
2. Laboratorium
- Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul,
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat
pula ditemukan leukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the
left, dan LED meningkat (Luttfiya MN, 2010).
3. Mikrobiologi
- Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur
darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus (Luttfiya MN,
2010).
4. Analisa Gas Darah
- Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus,
tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium
lanjut menunjukkan asidosis respiratorik (Luttfiya MN, 2010).
36
3.7 Diagnosis Banding Pneumonia
- Tuberculosis Paru (TB)
- Atelektasis
- PPOK
- Bronkhitis
37
empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin
serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang
didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi
tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit,
sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas
(Mandell LA, 2007).
38
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan
di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor
modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam
(cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin intravena)
yang dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau intravena, atau
pemberian fluroquinolon antipneumococcal intravena saja. Begitu juga
panduan penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of
America (IDSA) menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide
atau βlactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja
(Dunn, L, 2009). Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik
streptococcal pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian
pasien CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi
meningkatkan outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada
pasien CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen yang
terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide, atau fluroquinolon. Sedangkan
monoterapi yang dimaksud adalah penggunaan golongan β-lactam atau
fluoroquinolon sebagai agen tunggal (Allen JN. 2004).
39
3.9 Komplikasi Pneumonia
Komplikasi pneumonia meliputi hipoksemia, gagal respiratorik, effuse
pleura, empyema, abses paru, dan bacteremia, disertai penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lain yang menyebabkan meningitis, endocarditis dan pericarditis
(Paramita, 2011).
3.10 Prognosis Pneumonia
Kejadian PK di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta kasus per tahun, dan
20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum, angka kematian pneumonia
oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pada lanjut usia
dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di Amerika Serikat
merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%.
Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien PK yang
dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan
faktor modifikasi yang ada pada pasien (Dahlan Z. 2009).
No: Klasifikasi
1. Diabetes Tipe 1
Diakibatkan oleh adanya destruksi sel ß, hal ini dapat
menyebabkan defisiensi insulin absolut.
A. Dimediasi oleh imunitas
B. Ideopatik
40
2. Diabetes Tipe 2
Bersifat variatif, yaitu dapat diakibatkan oleh resistensi
insulin dominan dengan defisiensi insulin relatif hingga
adanya defek sekretorik insulin dengan resistensi insulin.
3. Diabetes Tipe Lainnya
A. Defek genetik fungsi sel beta
B. Defek genetik fungsi insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas
D. Endokrinopati
E. Akibat obat atau zat kimia
F. Infeksi
G. Sindrom genetik yang berkaitan dengan DM
4. Diabetes Gestasional
Intoleransi glukosa dapat terjadi selama kehamilan, terutama
pada trimester dua dan tiga.
Sumber : PERKENI, 2015
41
Obesitas dikaitkan dengan banyak kelainan metabolik yang dapat
meneyababkan resistensi insulin
e. Aktivitas fisik yang kurang
Pengaruh aktivitas fisik secara langsung berhubungan dengan
peningkatan kecepatan pemulihan glukosa otot (seberapa banyak otot
mengambil glukosa dari aliran darah)
f. Ras / etnis
Ras Asia umumnya memiliki presentase lemak tubuh total dan lemak
viseral yang lebih tinggi dibandingkan ras kulit putih hal ini akan
meningkatkan risiko DM tipe 2 (Sudoyo, 2018).
g. Kadar kolesterol
Dislipidemia dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin.
h. Merokok
Perokok cenderung memiliki akumulasi lemak sentral daripada bukan
perokok, selain itu rokok diketahui dapat menyebabkan resistensi insulin
dan menurunkan respon dari sekresi insulin.
43
tipe 1 diantaranya, ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet
Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid
decarboxylase) (Abbas, 2015). ICCA merupakan autoantibodi utama pada
pasien DM tipe 1 dan dapat dikenali oleh berbegai jenis sel pada pankreas.
Namun demikian, autoantibodi ini hanya selektif menghancurkan sel ß
(Skyler, 2017). Destruksi autoimun sel-sel ß pulau Langerhans pankreas
dapat menyebabkan defisiensi sekresi insulin. Hal ini yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe 1 (Kasper, 2015).
Pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin,
resistensi insulin, produksi glukosa yang meningkat, dan metabolisme
lemak yang berlebihan. Proses feedback (umpan-balik) antara fungsi dan
sekresi insulin terganggu maka fungsi insulin dalam hepar, otot, dan
jaringan adiposa serta sekresi insulin oleh sel beta pada pankreas juga turut
terganggu. Hal ini berdampak pada peningkatan kadar glukosa darah.
Tahap awal DM tipe 2, toleransi glukosa cukup normal walaupun sudah
terdapat resistensi insulin yang diakibatkan oleh kompensasi sel beta untuk
meningkatkan sekresi dari insulin (Kasper, 2015). Proses tersebut akan
berdampak pada hiperinsulinemia akibat pankreas tidak dapat
berkompensasi lagi, sehingga terjadi penurunan sekresi insulin (Abbas,
2015). Gangguan sekresi insulin ini akan meningkatkan prosuksi glukosa
di dalam hepar sehingga glukosa dalam darah akan meningkat
(hiperglikemia) (Sudoyo, 2018).
Glukosa memiliki sifat menarik cairan sehingga penderita diabetes
mellitus memiliki kecenderungan untuk banyak kencing (poliuri). Tubuh
yang kehilangan banyak cairan melalui urine dapat mengalami dehidrasi.
Kondisi ini menyebabkan rasa haus yang terus - menerus sehingga selalu
ingin minum (poidipsi). Sel-sel jaringan tubuh yang kekurangan suplai
glukosa akan menjadi menyusut sehingga kemudian mengirimkan sinyal
ke otak untuk merangsang pusat lapar, sehingga penderita diabetes
mellitus memiliki kecenderungan untuk makan terus-menerus (polifagi)
(Sudoyo, 2018).
44
3.16 Tatalaksana Diabetes Mellitus
Menurut PERKENI (2015), pengendalian DM terdiri dari empat pilar
yaitu edukasi (termasuk pemantauan glukosa darah mandiri), diet, latihan
jasmani, dan pengobatan.
a. Non Farmakologi
Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik (Perkeni, 2018).
Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit,
dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut-turut (Perkeni, 2015).
b. Farmakologi
Beberapa farmakoterapi yang dapat digunakan sebagai anti-
hiperglikemik, yaitu :
45
mikrovaskular hipoglikemia
Metiglinides Repaglinide Menurunkan Risiko
glukosa hipoglikemia
postprandial Peningkatan BB
46
GLP-1 2. Exenatide menyebabkan gastrointestinal
3. Albiglutide hipoglikemia Meningkatkan
4. Lixisenatide Menurunkan denyut jantung
5. Dulaglutide glukosa Bentuknya ijeksi
postprandial Membutuhka
Menurunkan pelatihan pasien.
faktor risiko
CVD
47
menimbulkan aterosklerosis. Komplikasi dari penyakit
kardivaskular ini bergantung pada letak aterosklerosis tersebut
berada (Hammer, 2014).
Hipertensi
Peningkatan konsentrasi insulin dapat meningkatkan retensi
natrium di ginjal dan peningkatan sistem saraf simpatis (Hammer,
2014). Insulin juga dapat meningkatkan tekanan darah dengan cara
meningkatkan konsentrentrasi natrium dan kalsium di dalam
intraseluler yang akan menyebabkan dinding vasa lebih peka
terhadap Angiotensin-II, noradrenalin, dan NaCl (Guyton, 2014).
o Komplikasi mikrovaskular :
Retinopati diabetik
Retinopati diabetik merupakan suatu kelainan pembuluh
darah progresif yang ditandai dengan pembentukan pembuluh
darah baru yang hanya terdiri atas satu lapisan endotel tanpa sel
perisit dan membran basalis sehingga sangat mudah untuk pecah
(Sudoyo, 2018).
Nefropati diabetik
Pada keadaan hiperglikemik yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan hiperfiltrasi dan hipertrofi pada ginjal, sehingga area
filtrasi glomerulus akan berkurang (Sudoyo, 2018).
Gastropati Diabetik
Gastropati diabetik merupakan komplikasi diabetes mellitus
yang menyebabkan berbagai masalah pencernaan, khususnya pada
lambung. Menurut American Diabetes Association, menjelaskan
bahwa gastropati diabetik menunjukkan terjadinya kerusakan
fungsi dari sistem otot dan saraf (neuromuskuler) dibagian
lambung karena keadaan gula darah yang tinggi (hiperglikemia)
dalam jangka panjang (Sudoyo, 2018)
Neuropati Diabetik
48
Neuropati autonomik dapat berdampak pada fungsi pupil,
kardiovaskular, gastrointestinal, dan genitourinary (Sudoyo, 2018).
Ulkus kaki diabetik
Neuropati sensorimotor dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan
pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya
ulkus (Zheng, 2018).
49
3.18 Definsi Acute Kidney Injury (AKI)
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga 6
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia-
tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah
renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam,
sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat
menggambarkan patologi gangguan ginjal (KDIGO, 2012).
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi
ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat
atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN)
dan urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat
bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera
ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke depresi volume ekstraseluler atau
penurunan aliran darah ginjal (KDIGO, 2012).
Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :
50
Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam waktu
48 jam atau
Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
Output urine 6 jam berturut-turut
51
kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2,
dan 3. Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis
(outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut
AKIN dapat dilihat pada tabel 3.6. (USRDS,2015).
52
Gambar 3.3. Kriteria RIFLE yang dimodifikasi
Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga
memberikan evaluasi yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI
juga harus akurat karena dengan peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan
TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko jangka panjang setelah
terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan
berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat
yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi (KDIGO,
2012).
53
500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden
stroke (Lameire N, 2006).
54
55
3.22 Patofisiologi Acute Kidney Injury (AKI)
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah :
Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan
oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan
darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya
mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang
pelepasan vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme
tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi
serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol
afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide
(NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh
angiotensin-II dan ET-1 (Osterman M, 2009).
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :
a. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
b. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
c. Obstruksi renal akut (post renal)
56
- Bladder outlet obstruction (post renal)
- Batu, trombus atau tumor di ureter
a. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)
Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70
mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium
dan air. Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana
belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal (Sinto, R. dan Nainngolan, G,
2010).
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis
intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh
berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien-pasien
berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga
dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung.
Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan
yang merupakan resiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah
ginjal (penyakit renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis
intrarenal. Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut
prerenal akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis (Sinto, R. dan
Nainngolan, G, 2010).
b. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa
penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus
penyebab gagal ginjal akut intra renal, yaitu :
- Pembuluh darah besar ginjal
- Glomerulus ginjal
- Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
- Interstitial ginjal
57
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular
akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal
renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular
akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan
vaskuler terjadi:
peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang
menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor
dan gangguan otoregulasi
terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel
endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-
1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang
berasal dari endotelial NO-sintase
peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan
interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari
intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel,
sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan
vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik
dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya
yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi regional yang dapat
menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab lain yang lebih jarang
ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan
parenkim renal : glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah (Sinto, R.
dan Nainngolan, G, 2010).
Sepsis-associated AKI
Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang.
Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi,
walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang
58
memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan
secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan
cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena terjadi
vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin yang
memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol eferen
yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut
akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron,
vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang
menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies serta
adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal (Harrison’s,
2005).
c. Gagal Ginjal Akut Post Renal
Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan
GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide)
dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi
pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik ( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra
(striktura). GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli
– buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal
satunya tidak berfungsi (Osterman M, 2007).
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan
aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini
disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-
A2 dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan
59
setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi
pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal (Sinto, R. dan Nainngolan, G, 2010).
60
pasien rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan
untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh.
Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan
garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai
terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan
kompensasi pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih
didominasi oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya
(Harrison’s, 2005).
d. Assessment pasien dengan AKI
- Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin
tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari
produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal
- Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator
yang spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum
perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume
urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya
hampir selalu disertai oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang tidak
dijumpai oliguria. GGA renal dan post renal dapat ditandai baik anuria
maupun poliuria.
- Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk
secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat
yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin
18, enzim tubular, N-acetyl-B-glucosamidase, alanine
aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu penelitian pada
anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocain
(NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam
lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin (Mehta RL, 2007).
61
Tabel 3.9 Evaluasi pada pasien dengan AKI
62
e. Pemeriksaan Penunjang
- Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prerenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin
yang transparan. AKI postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen
inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi
intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai
cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented
“muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang
dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus
atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy
brown” granular cast pada nefritisinterstitial (Osterman M, 2007).
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma)
dan urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat
mengarahkan pada penentuan tipeAKI. Kelainan analisis urin dapat
dilihat pada tabel 3.9 (Harrison’s, 2005).
63
Tabel 3.10 Kelainan Analisis Urin
64
yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada pengukuran volume dan
isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus
dimonitor dengan hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen
yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen,
obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic.
Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan
volume intravaskular sulit (Sinto, R, 2010).
b. AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi
cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan
penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma
mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE (Mehta
RL,2007).
c. AKI Postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau
kandung kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau
suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi
perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat
diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh
penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami
diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5%
dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang
65
mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan
darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata
laksana optimal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI
berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi
obstruksi pascarenal, dan menghindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa
pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan
serum (Osterman M, 2007).
66
Tabel 3.11 Komplikasi dan penanganan pada AKI (Sinto, R. dan Nainngolan, G,
2010)
67
4.26 Prognosis Acute Kidney Injury (AKI)
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan (Mehta RL, 2007).
68
BAB IV
PEMBAHASAN
69
Pada pasien terjadi peningkatan eusinofil yang disebabkan oleh berbagai
hal seperti respon tubuh terhadap neoplasma, penyakit Addison, reaksi alergi,
penyakit
collagen vascular atau infeksi parasit.
Pada pasien terjadi peningkatan kreatinin dan berdampak pada LFG yang
didapatkan yaitu 25,61 ml/menit/1,73 m², dimana terjadi penurunan jumlah
glomeruli yang normal menyebabkan penurunan substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal (Lumenta, 2007). Dengan menurunnya LFG
mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin
serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang
menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Pernefri, 2006).
Pada pasien ini memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi yang berlangsung
lama dapat mengakibatkan perubahan - perubahan stuktur pada arteriol diseluruh
tubuh, ditandai dengan fibrosis dan sklerosis di dinding pembuluh darah
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2004). Organ sasaran utama dari hipertensi
adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal terjadi aterosklerosis ginjal
akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis benigna (Mutiara, 2014).
Gagal ginjal akut dan hipertensi memiliki hubungan yang sangat erat, selain
hipertensi dapat berakibat pada gagal ginjal akut hubungan keduanya dapat berupa
hipertensi sebagai komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal akut
(Sudoyo,AW.,2017).
Pada pasien ini didapatkan peningkatan gula darah puasa dan gula darah 2
jam PP yang dikaitkan dengan riwayat diabetes mellitus yang dialami oleh pasien.
Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah pengobatan medikamentosa.
Medikamentosa diberikan IVFD Ringer Laktat, Cithicolin, Diazepam, Phenytoin,
Asam Folat, Levofloxacin, Furosemid, Candesrtan, Sprinolakton, Adalat Oros,
Nitrokaf, dan V Block.
70
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
71
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar,V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi
9. Singapura : Elsevier Saunder
Alberta Clinical Practice. Guidelines for the diagnosis and management
community aquuired pneumonia. Akses online pada tanggal 3 Maret 2017 di
http://www.albertadoctors.org/bcm/ama/amawebsite.nsf/alldocsearch/87256
D B000705C3F87256E0500553605/$File/pneumoniapediatrics.pdf
Allen JN. 2004. Eusinophilic Lung Disease, dalam James CD, dkk (editor).
Baum's Textbook of Pulmonary Diseases. Philadephia: Lippincott W & W
American Diabetes Association, 2017. Standar of Medical Care in Diabetes 2017
Vol. 40. United American State : ADA
72
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of
internal medicine. Ed 16. New York: 28 McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Djojodibroto, R.D. Respirologi : Respiratory Medicine. 2013. Jakarta : ECG.
Dunn, L. Pneumonia : Classification, Diagnosis and Nursing Management. Royal
Collage of Nursing Standard Great Britain. 2007. 19(42). hal :50-54.
Guyton, A. C., Hall, J.E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12.
Jakarta : EGC
Hammer, Gary D & J. Stephen. 2014. Pathophysiology Of Disease An
Introduction To Clinical Medicine. Ed. 7. USE : Mc Graw Hill Education
James, Rebecca., & Hijaz, Adonis. 2014. Lower Urinary Tract Symptoms in
Women with Diabetes Mellitus : A Current Review. New York : Springer
Jeremy, P.T. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. 2007. Jakarta : Erlangga
Medical Series.
Kasper, DL., et al. 2015. Horrison’s Principles of Internal Medicine Ed.19. New
York : McGraw-Hill
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012.
Vol.2. 19-36
Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two
databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
Lumenta. 2007. Penyakit Ginjal. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Luttfiya MN, Henley E, Chang L. Diagnosis and treatment of community
acquired pneumonia. American Family Physician. 2010;73(3):442-50
Markum, H. M. S. Gangguan Ginjal Akut. In : Sudoyo AW et al (ed). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: InternaPublishing; 2009.p1041
73
Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time
for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178- 87.
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.
Acute kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in
acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31
Mutiara, U. G., 2014. A 42 Years Old Woman With Stage 5 Chronic Renal
Failure And Moderate Anemia. J Medula Unila, III(2), pp. 124-135.
M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit.
6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.
Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American
Journal of Kidney Diseases 2002; 39:930-936
Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium Mikrobiologi
Klinik Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005. 2009. Program
Sarjana Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia : Jakarta.
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according
to RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837- 1843.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2004, JNHC.
Pernefri. (2006). Konsensus Dialisis. Edisi pertama. Jakarta: FKUI
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2015. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia Tahun 2015.
Jakarta : Perkeni
Riskesdas. 2013. Badan Penelitian Pengembangan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta: Riskesdas.
Sinto, R. dan Nainngolan, G. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. 2010. Maj Kedokt Indon. Vol 60 (2).
Skyler, Jas J, et al. 2017. Differentiation of Diabetes by Pathophysiology, Natural
History, and Prognosis. USA : ADA
Sudoyo, AW., Setiati S., Stiyohadi B., Syam AF. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Internal Publishing
74
Sudoyo, AW., Setiyohadi, B., dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid
II) 6th ed Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI
Task Force on CAP. Philippine Clinical Practice Guidelines on the Diagnosis,
Empiric Management, and Prevention of Community-acquired Pneumonia
(CAP) in Immunocompetent Adults. 2010
United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute
Kidney Injury. 2015. Vol. 1. 57-66
Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung,
Indonesia. CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.
Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2.
Jakarta:EGC. Hal:796-815
Zheng, Yan. Ley, Sylvia H & Hu, Frank B. 2018. Global Aetiology And
Epidemiology Of Type 2 Diabetes Mellitus And Its Complication. USE :
Macmillan Publisher. Available at : https://www.ncbi .nlm.nih. gov/pu
bmed/29219149
75