Disusun oleh:
dr. Khanza Rizqullah Syauqi
dr. Mailani Karina Akhmad, Sp.JP, FIHA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan
judul “Prevalensi dan Faktor Risiko Kematian Pasien Infark Miokard Akut
dengan Elevasi Segmen ST (IMAEST) dalam Perawatan Rumah Sakit Periode
Januari – Desember 2021 di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi”.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu dalam penyusunan penelitian ini, yaitu dr. Mailani Karina Akhmad,
Sp.JP, FIHA selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, saran dan kritik, serta memberikan dukungan dalam
penyusunan penelitian ini, drg. Innes Dewiyana Aryanti, MPH yang telah
membantu perizinan penelitian ini dan memberikan dukungan dalam penyusunan
penelitian ini, bagian Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemerintah
Kabupaten Bekasi, bagian Kepegawaian RSUD Kabupaten Bekasi, bagian Rekam
Medis RSUD Kabupaten Bekasi, dan juga pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi para pembaca mengenai penyakit kardiovaskuler, khususnya sindrom koroner
akut. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis ingin meminta maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan di dalamnya.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk
memperbaiki kekurangan penelitian ini di kemudian hari.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.2.8 Diagnosis Banding....................................................................... 14
2.2.9 Komplikasi .................................................................................. 14
2.2.10Tatalaksana ................................................................................. 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian............................................................................. 22
3.2 Populasi dan Subjek Penelitian.............................................................. 22
3.3 Seleksi .................................................................................................... 22
3.3.1 Kriteria Inklusi ............................................................................. 22
3.3.2 Kriteria Eksklusi .......................................................................... 22
3.4 Waktu dan Tempat ................................................................................. 23
3.5 Definisi Operasional .............................................................................. 24
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................ 25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Seleksi dan Pengambilan Data ................................................... 26
4.2 Karakteristik Pasien Sindrom Koroner Akut ......................................... 27
4.3 Karakteristik Klinis Pasien IMAEST .................................................... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 33
5.2 Saran ...................................................................................................... 34
5.2.1 Untuk Rumah Sakit ..................................................................... 34
5.2.2 Untuk Penelitian Selanjutnya ...................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36
LAMPIRAN ......................................................................................................... 39
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
aterosklerosis atau trombosis dengan balon atau stent. Untuk pasien IMAEST yang
datang ke rumah sakit dengan fasilitas PCI, primary PCI harus dilakukan dalam 90
menit dengan onset keluhan <12 jam. Untuk pasien yang datang ke rumah sakit
tanpa fasilitas PCI, terapi fibrinolitik harus diberikan pada onset <12 jam dan jika
primary PCI tidak bisa dilakukan dalam 120 menit sejak kontak medis pertama.5,7
Terapi reperfusi dini mampu menurunkan tingkat mortalitas di rumah sakit dan
menunjukkan hasil yang lebih baik pada pasien infark miokard akut. Meski
demikian, IMAEST masih menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain disfungsi
miokard, gagal jantung, syok kardiogenik, aritmia, komplikasi mekanik, dan
perikarditis.10
Peneliti yang bekerja sebagai dokter umum di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bekasi melihat angka kejadian
kasus sindrom koroner akut di sana cukup banyak. Di antara kasus tersebut, ada
yang mendapatkan terapi reperfusi fibrinolitik dan ada yang dirujuk untuk
mendapatkan tindakan intervensi koroner perkutan. Rujukan dilakukan karena
rumah sakit peneliti bekerja belum memiliki fasilitas layanan kateterisasi jantung
(cath lab). Di antara pasien-pasien tersebut, ada yang meninggal dalam masa
perawatan di rumah sakit sebelum sempat dirujuk. Hal tersebut dikarenakan masa
pandemi saat ini menyebabkan sulitnya mendapat rujukan. Selain itu, kamar
perawatan intensif / Intensive Care Unit (ICU) sering kali penuh sehingga observasi
kurang maksimal di kamar perawatan biasa.
Pasien yang datang ke IGD memiliki faktor risiko yang berbeda-beda dengan
onset awal nyeri dada yang bervariasi. Peneliti ingin melihat distribusi pasien
sindrom koroner akut yang masuk melalui IGD dan gambaran faktor risiko apa saja
yang menyebabkan mortalitas pasien sindrom koroner akut di RSUD Kabupaten
Bekasi. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari rekam
medis pasien sindrom koroner akut dalam periode Januari hingga Desember 2021.
gambaran faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan mortalitas pasien sindrom
koroner akut dalam masa perawatan rumah sakit di RSUD Kabupaten Bekasi
periode Januari hingga Desember 2021.
6
7
kanan dengan ventrikel kanan terdapat katup trikuspid. Atrium kiri dan ventrikel
kiri membawa darah kaya oksigen, sedangkan atrium kanan dan ventrikel kanan
membawa darah kaya karbondioksida.11,12
Jantung dipersarafi oleh aferen dan eferen yang merupakan sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui
preskus jantung. Serabut post ganglion pendek melewati nodus SA dan AV dan
hanya sedikit yang menyebar pada ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus
toraksik dan servikal atas, saraf ini mensuplai kedua atrium dan ventrikel.
Meskipun jantung tidak memiliki persarafan somatik, stimulasi aferen vagal dapat
mencapai tingkat kesadaran dan dipersepsi sebagai nyeri.13
Jantung mendapatkan suplai darah dari arteri koronaria kanan dan kiri. Arteri
koronaria kanan berasal dari sinus aorta anterior, melewati di antara trunkus
pulmonalis dan apendiks atrium kanan, turun ke lekukan AV kanan sampai
mencapai lekukan interventrikuler posterior. Pada 85% pasien, arteri berlanjut
sebagai posterior decendens artery (PDA), disebut dominan kanan. Arteri
koronaria kanan mensuplai darah ke atrium kanan, ventrikel kanan, dan bagian
inferior. Arteri koronaria kiri berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terdiri dari
pangkal (left main), left anterior decending (LAD), dan left circumflex (LCX). LAD
mensuplai darah ke bagian depan ventrikel kiri, sedangkan LCX mensuplai darah
8
ke bagian lateral atas ventrikel kiri. Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus
koronarius ke atrium kanan. Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik
pada atrium kanan.13
Kriteria diagnosis definitif pada pasien sindrom koroner akut, yaitu nyeri dada
angina (angina tipikal), EKG dengan gambaran elevasi ST untuk diagnostik
IMAEST, depresi segmen ST atau inversi gelombang T untuk diagnostik keadaan
iskemia miokard, atau LBBB baru / persangkaan baru, serta biomarka jantung yang
meningkat.15
2.2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2008, menurut data WHO bahwa penyakit jantung iskemik
merupakan penyebab utama kematian dunia (12,8%). Di Indonesia sendiri,
prevalensi penyakit jantung koroner pada tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447
atau sebesar 0,5% dan menempati urutan ketiga penyebab kematian.15 Pada tahun
2015, menurut data WHO, penyakit jantung iskemik masih menjadi penyebab
kematian nomor satu di dunia, yaitu sebesar 13,2% atau diperkirakan 105 kematian
per 100.000 populasi. Menurut data Global Registry of Acute Coronary Events
(GRACE), sekitar 38% dari kasus sindrom koroner akut adalah ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) atau disebut juga IMAEST. Di Indonesia,
penelitian oleh Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry periode Oktober
2014 sampai Juli 2015 melaporkan dari 3015 kasus SKA 1024 diantaranya adalah
IMAEST.10
2.2.4 Etiologi
Pada kasus IMAEST, terjadi oklusi total pada arteri koroner sehingga
menyebabkan daerah infark yang lebih luas meliputi seluruh miokardium,
sedangkan pada kasus Non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) atau
IMANEST terjadi oklusi sebagian dan tidak melibatkan seluruh miokardium.
Gambaran EKG pada IMAEST adalah ditemukan adanya elevasi segmen ST,
sedangkan pada IMANEST tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST.
Terlepasnya suatu plak aterosklerotik dari salah satu arteri koroner dan kemudian
tersangkut di bagian hilir yang menyumbat aliran darah ke seluruh miokardium
dapat menyebabkan infark miokard. Selain itu, infark miokard juga dapat terjadi
apabila lesi trombotik menempel pada suatu arteri yang rusak kemudian
menyumbat secara total aliran ke bagian hilir. Kondisi jantung yang mengalami
hipertrofi berat juga dapat menyebabkan infark miokard akibat kebutuhan
oksigennya tidak dapat terpenuhi.14,15
2.2.5 Patofisiologi
IMAEST biasanya terjadi ketika aliran darah koroner berkurang secara drastis
akibat adanya oklusi trombotik pada arteri koroner yang sebelumnya telah
11
2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, sindrom koroner akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST).
2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMANEST).
12
2.2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada
retrosternal. Pasien sulit melokalisasi rasa nyeri. Pasien mengeluh rasa berat, seperti
dihimpit, ditekan, diremas, panas, atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih
dominan dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Nyeri dapat menjalar ke
13
lengan kiri, bahu, punggung, epigastrium, leher (seperti rasa tercekik), atau rahang
bawah (rasa ngilu). Kadang nyeri juga menjalar ke lengan kanan atau kedua lengan.
Nyeri pada sindrom koroner akut dapat berlangsung lebih dari 20 menit. Pada
IMAEST, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sublingual.17
Gejala sistemik lain yang dapat menyertai infark miokard akut, seperti mual,
muntah, atau keringat dingin. Gejala otonom yang dapat menyertai infark miokard,
seperti keringat dingin yang membasahi baju, mual atau muntah, dada berdebar-
debar, atau pandangan melayang. Selain itu, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai
faktor risiko sindrom koroner akut, seperti merokok, hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, faktor genetik di keluarga (riwayat orang tua atau saudara kandung
yang mengalami serangan jantung atau meninggal mendadak di usia muda), dan
menopause pada wanita.17
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menyingkirkan
kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya, dan mengevaluasi adanya komplikasi
sindrom koroner akut. Pemeriksaan fisik pada sindrom koroner akut umumnya
normal, namun dapat dijumpai takipnea, takikardia hingga bradikardia, adanya
gallop, ronki basah halus di paru, terdengar bising jantung (murmur), atau akral
yang dingin bila disertai kondisi syok kardiogenik.17
c. EKG
EKG harus diambil dalam 10 menit pertama setelah pasien datang ke instalasi
gawat darurat dengan keluhan nyeri dada. Berdasarkan gambaran EKG, pasien
sindrom koroner akut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Dengan elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggap baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan gambaran
elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang berhubungan.
2) Tanpa elevasi segmen ST, dengan gambaran EKG umumnya berupa depresi
segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien
mengeluh nyeri dada. 17
14
d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menilai adanya tanda
nekrosis miokard, yaitu CKMB, Troponin T dan I, serta mioglobin. Troponin lebih
dipilih karena lebih sensitif dari CKMB. Troponin yang meningkat akan
meningkatkan risiko kematian. Pada pasien sindrom koroner akut dengan ST
elevasi, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu hasil pemeriksaan
enzim jantung.17
CKMB merupakan isoenzim dari creatinine kinase, dengan konsentrasi
terbesar terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil CKMB dapat dijumpai di
otot rangka, usus kecil, atau diafragma. CKMB mulai meningkat 3 jam setelah
infark dan mencapai puncaknya setelah 12-14 jam. CKMB akan mulai menghilang
dari darah 48-72 jam setelah infark.17
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan
bersifat lebih spesifik dari CKMB. Ada dua bentuk troponin, yaitu troponin T dan
troponin I. Enzim ini mulai meningkat pada 3 jam setelah onset nyeri dada dan
mencapai puncaknya pada 12-24 jam, serta kadarnya masih meningkat sampai
beberapa hari ke depan, kemudian kembali normal pada hari ke-8-21 (troponin T)
dan hari ke-7-14 (troponin I). Peningkatan enzim ini menunjukkan adanya nekrosis
miokard dan prognosis yang buruk pada sindrom koroner akut.17
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi dari infark miokard, yaitu:
a. Gagal jantung kongestif
15
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat dari disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri mengakibatkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.15
b. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri yang mengalami
infark luas lebih dari 40% bagian. Pada kondisi ini, terjadi perubahan
hemodinamik progresif hebat yang bersifat ireversibel dengan manifestasi,
seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan
kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolik, dan hipoksemia yang
semakin menurunkan fungsi miokardium.15
c. Edema paru akut
Edema paru adalah cairan abnormal yang menimbun dalam paru-paru, baik
di rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda
adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran
melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan sesak nafas
yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vaskular paru menerima
darah yang berlebihan dari ventrikel kanan tidak mampu diambil oleh jantung
kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang sehingga udara tidak dapat masuk dan terjadilah hipoksia
berat.15
d. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitral sehingga akan terjadi eversi daun katup ke dalam atrium
saat fase sistolik. Inkompetensi katup ini akan mengakibatkan aliran
retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri. Hal tersebut menyebabkan
aliran darah ke aorta berkurang dan peningkatan kongesti pada atrium kiri
dan vena pulmonalis.11,15
e. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular menyebabkan ruptur dinding septum
sehingga dapat terjadi defek septum ventrikel.11,15
16
f. Ruptur jantung
Ruptur dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark
selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan jaringan
parut. Pecahnya dinding nekrotik yang tipis mengakibatkan terjadinya
perdarahan masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak elastis.
Kantong perikardium yang terisi oleh darah akan menekan jantung sehingga
menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi
aliran balik vena dan curah jantung.11
g. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang seperti balon pada fase sistolik dan
teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.11
h. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar
yang merupakan predisposisi pembentukan trombus. Pecahan trombus mural
intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Emboli sistemik
dapat berasal dari ventrikel kiri. Sumbatan vaskular dapat menyebabkan
stroke atau infark ginjal.15
i. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epicardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar sehingga merangsang permukaan perikardium
dan menimbulkan reaksi peradangan.15
j. Aritmia
Pada aritmia, semua kerja jantung berhenti, terjadi kedutan otot yang tidak
seirama (fibrilasi ventrikel), terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak
ada denyutan, dan bunyi jantung tidak terdengar.15
2.2.10Tatalaksana
a. Tatalaksana awal
Tatalaksana awal di rumah sakit ketika pasien datang dengan nyeri dada,
sesak nafas, tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen <94% adalah
17
pemberian oksigen. Pedoman Advanced Cardiac Life Support (ACLS) tahun 2015
merekomendasikan penundaan terapi oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau
terbukti sindrom koroner akut dengan saturasi yang normal. Indikasi terapi oksigen
adalah pada kondisi sebagai berikut:
- Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau hemodinamik tidak
stabil.
- Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut).
- Pasien dengan saturasi oksigen <90%.17
Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian
sistemik setelah terapi fibrinolitik. Aspirin diberikan dengan dosis pemeliharaan
80-100 mg/hari. Nitrogliserin sublingual dengan dosis 400 mikrogram atau
isosorbide dinitrate (ISDN) sublingual dengan dosis 5 mg dapat diberikan sampai
3 kali dengan interval 3-5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg, bradikardia
<50x/menit atau takikardia >150x/menit tanpa adanya gagal jantung, dan adanya
infark ventrikel kanan. Analgetik yang dapat diberikan pada pasien sindrom
koroner akut adalah morfin.17
b. Tatalaksana ST elevasi
IMAEST merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Secara medikamentosa dengan
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis dengan intervensi koroner
perkutan (IKP) primer. Reperfusi pada pasien IMAEST akan mengembalikan aliran
koroner pada arteri yang berhubungan dengan area infark, mencegah perluasan
infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang. Fibrinolisis berhasil
mengembalikan aliran normal koroner pada 50-60% kasus, sedangkan IKP primer
dapat mengembalikan aliran normal sampai 90% kasus.17
18
keluhan <12 jam dan waktu IKP primer dari kontak pertama dengan tenaga
kesehatan <120 menit.17
c. Tatalaksana non-ST elevasi
Angina pektoris tidak stabil (APTS) dan IMANEST termasuk ke dalam
spektrum sindrom koroner akut tanpa ST elevasi. Kenaikan enzim jantung yang
membedakan antara IMANEST dengan APTS. Diagnosis APTS maupun
IMANEST harus dilakukan secara terintegrasi dengan stratifikasi risiko.
Stratifikasi risiko dilakukan untuk memprediksi terjadinya major adverse cardiac
event (MACE) dan menjadi acuan untuk melakukan tindakan invasif dini pada
sindrom koroner akut tanpa ST elevasi. Untuk stratifikasi risiko tinggi dan sangat
tinggi perlu segera dilakukan revaskularisasi berupa angiografi dan intervensi
koroner.17 Kriteria stratifikasi risiko pasien sindrom koroner akut tanpa ST elevasi
ditampilkan pada tabel 2.3.
Waktu pemilihan strategi invasif pada sindrom koroner akut tanpa ST elevasi
ditampilkan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4 Pemilihan Strategi Invasif Dini pada SKA Tanpa ST Elevasi17
Tindakan invasif segera • Angina refrakter
(dalam 2 jam) • Tanda dan gejala gagal jantung atau regurgitasi mitral
baru atau perburukan
• Hemodinamik tidak stabil
• Angina atau iskemia rekuren waktu istirahat meskipun
dilakukan terapi intensif
• Ventrikel Takikardi menetap atau Ventrikel Fibrilasi
Strategi dipandu iskemia • Skor risiko rendah (misalnya Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) 0 atau 1, GRACE <109).
Pasien perempuan risiko rendah dengan troponin negatif
• Pilihan pasien atau klinisi pada pasien bukan risiko tinggi
Tindakan invasif dini • Bukan salah satu di atas, tetapi skor GRACE >140
(dalam 24 jam) • Perubahan temporal pada level troponin
• Depresi segmen ST baru atau diperkirakan baru
Tindakan invasif tertunda • Bukan salah satu di atas tetapi menderita diabetes
(dalam 25-72 jam) mellitus
• Insufisiensi ginjal (GFR <60 mL/menit/1.72 m2)
• Penurunan fungsi sistolik LV (EF <0.40)
• Angina dini pasca infark
• Riwayat IKP dalam 6 bulan terakhir
• Riwayat operasi CABG sebelumnya
• Skor GRACE 109-140; TIMI score >=2
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.3 Seleksi
3.3.1 Kriteria Inklusi
Semua pasien berusia >35 tahun yang mengeluhkan nyeri dada atau sesak
nafas dengan masalah utamanya pada kardiovaskuler yang masuk melalui
IGD dan dirawat inap di RSUD Kabupaten Bekasi periode Januari hingga
Desember 2021.
22
23
Data penelitian
20 status tidak termasuk dikumpulkan dari
12 status tidak
kriteria inklusi rekam medis mulai
ditemukan
tanggal 1 Januari –
28 Maret 2022
26
27
IMANEST
15%
APTS
71%
Gambar 4.2 Distribusi Pasien SKA RSUD Kabupaten Bekasi Tahun 2021
28
Pada penelitian ini, pasien sindrom koroner akut lebih banyak berjenis
kelamin laki-laki, yaitu 63 pasien (54%) daripada perempuan sebanyak 54 pasien
(46%). Usia juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sindrom koroner
akut. Pada penelitian ini dibedakan menjadi kelompok usia 65 tahun kebawah dan
65 tahun keatas. Dari 117 pasien, 99 pasien berusia dibawah 65 tahun (85%) dan
18 pasien berusia diatas 65 tahun (15%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Torry bahwa kelompok usia 41-60 tahun merupakan kelompok usia
penderita terbanyak. Laki-laki yang berusia lebih dari 45 tahun dan perempuan
yang berusia lebih dari 55 tahun, risiko terkena sindrom koroner akut semakin
meningkat.16
Penyakit penyerta atau komorbid yang dimiliki oleh pasien juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya sindrom koroner akut. Hal tersebut terlihat pada
penelitian ini dimana 99 pasien menderita hipertensi (85%), 46 pasien menderita
diabetes melitus (39%), dan 36 pasien menderita gagal ginjal kronik (31%). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suling bahwa hipertensi merupakan
faktor risiko terbanyak pasien sindrom koroner akut. Peningkatan tekanan darah
sistemik pada hipertensi menyebabkan resistensi terhadap pompaan darah dari
ventrikel kiri dan menyebabkan hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel ini
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium sehingga beban kerja
jantung meningkat. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mencetuskan terjadinya
angina dan infark miokardium. Insidensi sindrom koroner akut pada pasien dengan
hipertensi adalah lima kali lebih banyak dibandingkan pasien normotensi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hipertensi adalah faktor risiko mayor terjadinya
sindrom koroner akut.19
Faktor risiko terbanyak kedua adalah diabetes melitus. Pasien dengan
diabetes melitus memiliki risiko mengalami sindrom koroner akut sebanyak 200%
lebih besar dibandingkan pasien tanpa diabetes melitus. Penelitian lain
menyebutkan bahwa pasien laki-laki dengan diabetes melitus memiliki 50% risiko
lebih besar untuk mengalami sindrom koroner akut, sedangkan pasien perempuan
dengan diabetes melitus memiliki risiko dua kali lipat dibandingkan pasien tanpa
diabetes melitus.19
29
Selanjutnya, dari 117 kasus pasien sindrom koroner akut yang terdapat di
RSUD Kabupaten Bekasi selama 1 Januari hingga 31 Desember 2021, 16 kasus
diantaranya meninggal dunia dalam masa perawatan di rumah sakit. Kasus yang
meninggal tersebut, yaitu 3 kasus IMAEST (19%), 3 kasus IMANEST (17%), dan
10 kasus APTS (12%). Berdasarkan Buku Pedoman Tata Laksana Sindrom
Koroner Akut tahun 2018, prevalensi IMANEST dan APTS lebih tinggi
dibandingkan dengan IMAEST. Mortalitas awal pasien IMANEST lebih rendah
dibandingkan pasien IMAEST, namun setelah 6 bulan mortalitas keduanya
berimbang. Selanjutnya, secara jangka panjang, mortalitas pasien IMANEST akan
lebih tinggi.9
Dari 16 pasien sindrom koroner akut yang meninggal dunia, 7 pasien berjenis
kelamin laki-laki (11%) dan 9 pasien berjenis kelamin perempuan (17%). Dari
kelompok usia, pasien sindrom koroner akut yang lebih banyak meninggal berusia
dibawah 65 tahun sebanyak 15 pasien (15%), sedangkan pasien meninggal yang
berusia diatas 65 tahun sebanyak 1 pasien (6%). Penyakit penyerta atau komorbid
pada pasien sindrom koroner akut yang meninggal, yaitu hipertensi 11 pasien
(11%), diabetes melitus 9 pasien (20%), dan gagal ginjal kronik 9 pasien (25%).
Faktor risiko jenis kelamin, usia, dan komorbid yang dimiliki pasien sindrom
koroner akut mempengaruhi angka mortalitas. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sutarmini yang menyebutkan bahwa penyebab syok kardiogenik paska sindrom
koroner akut dapat diperberat oleh usia tua, diabetes melitus, infark miokard
sebelumnya, oklusi kronik pada arteri koroner kiri asenden, dan penurunan fraksi
ejeksi yang berakhir kematian.20
30
dan bahkan risiko mortalitas lebih besar dibandingkan pasien tanpa elevasi segmen
ST.20
Tabel 4.2 Karakteristik Pasien IMAEST
No. Variabel Jumlah (n=16) Meninggal (n=3)
1 Usia
<65 tahun 15 (94%) 3 (20%)
>65 tahun 1 (6%) 0 (0%)
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 13 (81%) 2 (15%)
Perempuan 3 (19%) 1 (33%)
3 Onset
<12 jam 11 (69%) 1 (9%)
>12 jam 5 (31%) 2 (40%)
4 Reperfusi
Fibrinolitik 8 (50%) 1 (13%)
Non-Fibrinolitik 8 (50%) 2 (25%)
5 Lokasi STEMI
Anterior 13 (81%) 3 (23%)
Non-Anterior 3 (19%) 0 (0%)
6 Hipertensi 15 (94%) 3 (20%)
7 DM 5 (31%) 3 (60%)
8 CKD 2 (13%) 1 (50%)
9 Hipotensi 5 (31%) 0 (0%)
10 Takikardia 3 (19%) 1 (33%)
11 Killip
I 2 (13%) 0 (0%)
II 7 (44%) 0 (0%)
III 2 (13%) 2 (100%)
IV 5 (31%) 1 (20%)
12 Aritmia 0 (0%) 0 (0%)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Jumlah penderita sindrom koroner akut yang masuk melalui IGD di RSUD
Kabupaten Bekasi tahun 2021 adalah 149 kasus. Terdapat 12 kasus yang
rekam medisnya tidak ketemu dan 20 kasus tidak termasuk kriteria inklusi.
Sehingga, jumlah akhir sampel penelitian ini adalah 117 kasus.
2. Penderita sindrom koroner akut terbagi menjadi 16 pasien IMAEST (14%),
18 pasien IMANEST (15%), dan 83 pasien APTS (71%).
3. Penderita sindrom koroner akut terbanyak berjenis kelamin laki-laki, yaitu 63
pasien (54%) dan sisanya perempuan, yaitu 54 pasien (46%).
4. Penderita sindrom koroner akut terbanyak berusia kurang dari 65 tahun, yaitu
99 pasien (85%) dan sisanya berusia lebih dari 65 tahun, yaitu 18 pasien
(15%).
5. Faktor risiko pasien sindrom koroner akut, yaitu 99 pasien hipertensi (85%),
46 pasien diabetes melitus (39%), dan 36 pasien gagal ginjal kronik (31%).
6. Jumlah pasien sindrom koroner akut yang meninggal dunia dalam masa
perawatan di rumah sakit adalah 16 pasien, terdiri atas 3 pasien IMAEST
(19%), 3 pasien IMANEST (17%), dan 10 pasien APTS (12%). Jenis kelamin
laki-laki sebanyak 7 pasien (11%) dan perempuan sebanyak 9 pasien (17%).
Usia kurang dari 65 tahun sebanyak 15 pasien (15%) dan lebih dari 65 tahun
sebanyak 1 pasien (6%). Faktor risiko yang dimiliki, yaitu 11 pasien
hipertensi (11%), 9 pasien diabetes melitus (20%), dan 9 pasien gagal ginjal
kronik (25%).
7. Dari 117 kasus, pasien IMAEST berjumlah 16 pasien dengan 3 diantaranya
meninggal dunia dalam masa perawatan di rumah sakit.
8. Pasien IMAEST paling banyak berusia kurang dari 65 tahun, yaitu 15 pasien
(94%) dan sisanya berusia lebih dari 65 tahun, yaitu 1 pasien (6%).
33
34
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Rumah Sakit
Untuk rumah sakit, saran yang dapat diberikan adalah:
1. Pencatatan rekam medis secara elektronik sehingga lebih mudah dilakukan
pencarian. Dalam hal ini, peneliti tidak dapat mengetahui pasien mana yang
dirujuk ke rumah sakit lain untuk mendapatkan tindakan intervensi koroner
perkutan / Percutaneous Coronary Intervention (PCI).
2. Ketersediaan reagen biomarka jantung terbatas sehingga tidak semua pasien
sindrom koroner akut atau pasien dengan gejala khas angina dapat
diperiksakan enzim jantungnya.
35
3. Melihat banyaknya angka kejadian sindrom koroner akut, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuka fasilitas
pelayanan kateterisasi jantung (cath lab) di RSUD Kabupaten Bekasi
sehingga PCI bisa segera dilakukan tanpa perlu dirujuk ke rumah sakit lain.
36
37
Lampiran 1
39
40
Lampiran 2