Anda di halaman 1dari 71

TREND DAN ISSUE SISTEM PERKEMIHAN

CHRONIC KIDNEY DISEASES DAN CAPD


(Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau Dengan Menggunakan Kuesioner KDQOL-SF)

DISUSUN OLEH :

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan
rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Trend
Dan Issue Sistem Perkemihan Extracorporeal Chronic Kidney Diseases dan
CAPD”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sistem
Perkemihan. Karena makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa
bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Agus Supinganto, Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.
2. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan
STIKES YARSI Mataram.
3. Bq. Nur’ainun Apriani Idris, Ners., selaku dosen pembimbing akademik.
4. Zulhendry, S. Kep., Ners., MM., selaku dosen Mata Kuliah Sistem
Perkemihan.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, 08 Maret 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan................................................................ 3
1.4. Manfaat Penulisan.............................................................. 4
1.5. Ruang Lingkup .................................................................. 4
1.6. Metode Penulisan ............................................................... 4
1.7. Sistematika Penulisan ........................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 5
2.1. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik ................................... 5
2.1.1. Definisi Chronic Kidney Diseases ........................ 5
2.1.2. Epidemiologi Chronic Kidney Diseases ............... 6
2.1.3. Etiologi Chronic Kidney Diseases ........................ 6
2.1.4. Patofisiologi Chronic Kidney Diseases................. 7
2.1.5. Manifestasi GGK dan Uremia............................... 14
2.1.6. Manifestasi Klinis ................................................. 20
2.1.7. Klasifikasi Chronic Kidney Diseases .................... 22
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang ........................................ 23
2.1.9. Penatalaksanaan .................................................... 24
2.1.10. Diagnosis ............................................................... 26
2.1.11. Prognosis ............................................................... 26
2.2. Konsep Hemodialisa .......................................................... 27
2.2.1. Definisi Hemodialisa.............................................. 27
2.2.2. Tujuan Hemodialisa ............................................... 28
2.2.3. Proses Hemodialisa ................................................ 28
2.2.4. Alasan dilakukam Hemodialisa ............................. 29
2.2.5. Frekuensi dilakukan Hemodialisa .......................... 29
2.2.6. Komplikasi ............................................................. 30

iii
2.3. CAPD Sebagai Trend Dalam Hemodialisa ........................ 30
2.3.1. Sejarah dan Perkembangan .................................... 30
2.3.2. CAPD Belum Memasyarakat ................................. 31
2.3.3. Alamiah .................................................................. 32
2.3.4. Definisi CAPD ....................................................... 34
2.3.5. Anatomi Membran Peritonium .............................. 36
2.3.6. Tujuan CAPD ......................................................... 37
2.3.7. Indikasi CAPD ....................................................... 37
2.3.8. Kontraindikasi CAPD ............................................ 37
2.3.9. Cara Kerja CAPD................................................... 38
2.3.10. Prosedur CAPD ...................................................... 39
2.3.11. Pemasangan Kateter Peritonial Dialisis ................. 41
2.3.12. Cairan Dialisat........................................................ 44
2.3.13. Penggantian Cairan Dialisat ................................... 44
2.3.14. Prinsip-prinsip CAPD ............................................ 45
2.3.15. Efektifitas CAPD ................................................... 48
2.3.16. Keuntungan CAPD dibandingkan HD ................... 49
2.3.17. Kelemahan CAPD .................................................. 50
2.3.18. Komplikasi CAPD ................................................. 50
2.3.19. Fase Persiapan Sebelum CAPD ............................. 52
2.3.20. Penatalaksanaan Keperawatan ............................... 54
2.3.21. Penatalaksanaan Diet ............................................. 55
BAB 3 PEMBAHASAN JURNAL ....................................................... 56
3.1. Gambaran Karakteristik Pasien Yang Menjalani CAPD ... 56
3.2. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Yang Menjalani CAPD 60
BAB 4 PENUTUP ................................................................................. 65
4.1. Simpulan............................................................................... 65
4.2. Saran ..................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ginjal adalah organ tubuh yang sangat penting. Namun, banyak orang
yang tidak sadar untuk menjaganya sehingga ginjal menjadi tidak sehat dan
bahkan terjadi gagal ginjal. Jika tidak diobati, penyakit ginjal bisa
menimbulkan komplikasi penyakit lain. Pada penyakit gagal ginjal terjadi
penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang
membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ini desertai berbagai komplikasi
seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran
cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia (Rindiastuti, 2005).
Sebuah penelitian di Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 6,2%
dari populasi penduduk Indonesia menderita gagal ginjal. Para penderita itu
harus menjalani terapi dan pengobatan yang memerlukan biaya besar. Dari
angka 6,2% tersebut, banyak penderita yang mengalami gagal ginjal kronik
tahap lima. (Suhardjono, 2008).
Gaya hidup modern yang gemar melahap makanan dengan kadar
garam, gula, lemak serta kebiasaan merokok dan minum alkohol, juga
menjadi pemicu penyakit gagal ginjal. Transplantasi ginjal dan peritonial
dialisis merupakan pilihan terapi pengganti ginjal yang dapat dijadikan
alternatif pengobatan. Saat ini, terdapat teknologi baru yang hadir sebagai
terapi bagi penderita gagal ginjal, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD). Terapi pengganti ginjal ini sesuai sebagai metode
pengobatan yang diberikan kepada pasien gagal ginjal yang tidak mungkin
lagi diobati secara konservatif dengan diet dan obat-obatan. (Suhardjono,
2008) Peritonial dialisis dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yang menggunakan
Twinbag CAPD System, serta Automated Peritoneal Dialysis (APD) yang
menggunakan mesin khusus. CAPD merupakan dialisis mandiri yang bisa

1
dilakukan sendiri oleh penderita, sedangkan APD dilakukan dengan mesin
khusus di rumah sakit (Situmorang, 2004). Dengan demikian, penggunaan
metode CAPD dapat dijadikan pilihan selain hemodialisis dan transpalansi
ginjal. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi
penderita, sebab mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa
banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan (Erlan, 2007).
Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subyektif dan obyektif. Dari
segi subyektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu secara
umum, sedangkan secara obyektif adalah pemenuhan tuntutan kesejahteraan
materi, status sosial, dan kesempurnaan fisik secara sosial atau budaya
(Trisnowati, 2002).
Menurut Kunmartini (2008), pasien penyakit ginjal kronik (PGK)
seringkali dihadapi dengan berbagai komplikasi yang mengikuti penyakit
yang dideritanya yang berakibat semakin menurunnya kualitas hidup orang
tersebut. Menurut Cella (1994), penilaian kualitas hidup penderita gagal
ginjal dapat dilihat pada aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, fungsi
sosial, role function dan perasaan sejahtera.
Pada masa yang akan datang, semua jenis pelayanan kesehatan,
pemantauan terhadap efikasi pengobatan harus mempertimbangkan kualitas
hidup penderita disamping status klinis dan status ekonominya (Ganz, 1994).
Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika
Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien
dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan karena
masalah penyakit kardiovaskuler dan infeksi1. Lima puluh persen populasi
dialisis di dunia menggunakan cara peritoneal dialisis. Peritoneal dialisis
digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara-
negara berkembang populasi pasien dengan peritoneal dialisis ini cenderung
naik. Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis
dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama. Perkecualian
pada pasien diabetik usia tua yang mendapatkan terapi CAPD dimana mereka
mempunyai resiko relatif kematian 1,26 kali dibandingkan mereka yang

2
diterapi dengan hemodialisis. Faktor-faktor komorbid yang tidak diukur
mungkin dapat menjelaskan terjadinya perbedaan ini atau mungkin juga
karena adanya bias yang tidak terdiskripsi.
Karena angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan
hemodialisis dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama,
dan adanya beberapa kelebihan peritoneal dialisis anatara lain lebih fleksibel,
lebih efektif dalam segi biaya dan tehnik yang lebih sederhana, maka
penggunaan CAPD di Indonesia cenderung lebih disukai. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian secara deskriptif mengenai
CAPD.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Chronic Kidney Diseases?
2. Bagaimana etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan,
dan prognosis Chronic Kidney Diseases?
3. Apa yang dimaksud dengan CAPD?
4. Bagaimana prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi, komplikasi, keuntungan
serta kerugian CAPD?

1.3. Tujuan Penulisan


Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, diharapkan memberikan tujuan
dan manfaat sebagai berikut :
1.3.1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Perkemihan, serta para mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang Chronic Kidney Diseases dan CAPD.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa memahami konsep tentang Chronic Kidney Diseases.
2. Mahasiswa memahami konsep tentang CAPD.
3. Mahasiswa memahami prinsip kerja, indikasi, kontraindikasi,
komplikasi keuntungan, serta kerugian CAPD

3
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi pembaca dan penulis dan untuk mengaplikasikan
ilmu yang diperoleh selama pendidikan. Merupakan latihan dalam
penulisan karya ilmiah dan upaya untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
1.4.2. Bagi Pendidikan
Sebagai kerangka acuan dalam pembuatan makalah tentang Gagal
Ginjal Kronik dan CAPD dan menambah pengetahuan dan informasi
tentang Gagal Ginjal Kronik dan CAPD.

1.5. Ruang Lingkup


Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi masalah pada Chronic
Kidney Diseases (Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Paatofisiologi,
Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan, Pemeriksaan Penunjang) dan CAPD.

1.6. Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah adalah
metode Deskrisif dan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik
studi kepustakaan yang mengambil materi dari berbagai sumber buku, jurnal
penelitian, dan media internet.

1.7. Sistematika Penulisan


BAB 1 : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan, Manfaat, Ruang Lingkup, Metode Penulisan, dan
Sistematika Penulisan.
BAB 2 : Tinjauan Pustaka
BAB 3 : Pembahasan Jurnal
BAB 4 : Penutup meliputi : Kesimpulan dan Saran

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Gagal Ginjal Kronik


2.1.1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi kerusakan
ginjal yang progresif yang tidak dapat pulih kembali, dimana ginjal
tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa
dalah darah ( Timby & Smith, 2005)
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah).
Chronic Kidney Disease (CKD)adalah suatu proses penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya pada suatu derajat
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis dan
transplantasi ginjal (Aru A. Sudoyo, 2006).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi renal
yang progresif dan reversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
yang menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer, 2001).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif dan umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis
maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan

5
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik
2.1.2. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi
dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan
LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari
populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada
tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun
dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.

2.1.3. Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus
sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal.
5. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati
timbal.
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.

6
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis.

2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi
dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh
molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi
sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth
Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien

7
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain

Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi


pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai
perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih
berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem
organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea
dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah
dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido,
urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin,
mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada
penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan
angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi
kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan
gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat
menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang
metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida
seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing
hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya
karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan

8
sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari
ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi
eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu.
Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua
bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme
protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi
ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal
jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed
red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu
diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang
mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal.
Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin
turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini
menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi
ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi
ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan
yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens
menurun sampai kurang dari 30 –35 ml/menit. Anemia pada gagal
ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor
lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal
ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang
nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis
anemia pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis.

9
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang.
Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur
menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah
normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah
normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu
hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan
gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki
waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada
uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa
phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme
yang menyebabkan terjadinya hemolisis.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu
mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses
hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan
dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder
hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah
yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal
terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan
kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel
darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung
penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah
banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua,
efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon
sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan
penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah
dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan

10
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal
adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat
pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan
penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3-
diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat
kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan
kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses
rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang
hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang
tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak
mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin,
pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik.
Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan
biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit.
Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang
distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang,
penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel
darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal
ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang ,
yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada
darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih.
Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan
karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau
mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa,
SLE, dan hipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal
ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak
menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi

11
proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang
paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi
eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang
progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran
penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal
ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik
bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien
anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit
ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin
yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel
darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi,
dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada
gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang
timbul akibat efek imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan
respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap
sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien
uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses
ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien
dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht
biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur
dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan
kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis
ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada
gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan
pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan

12
trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan
trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah
disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi
yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal
kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena
hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika
dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada
eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada
pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara
kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun
efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum
dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup
eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara
hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.
4. Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien
dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah
intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi
dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang
mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia
mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal
pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien
tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat
bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium
pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan
ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme
besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara

13
prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.

2.1.5. Manifestasi GGK dan Uremia


1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik

yang stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh

meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya


keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi
natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan
penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume
cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan
menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal
lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di
dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop
diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat
digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis
juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan
natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan
cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien
akan mengalami kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu
disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun
demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa
konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan ,
transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake,
metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium
masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal
nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik.
Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam

14
kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro
intestinal.
c. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam
sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-
ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt
dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal
yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau
natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber
endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan
terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar
utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan
perhatian yang seksama terhadap status volume.
2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal
kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan
tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral
yang abnormal yaitu :
a. Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik

fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43-.

b. Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis

PTH dan masa sel kelenjar para tiroid.

c. Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang

berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan

dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 –dihidroksi oleh

15
kalsiferol).
d. Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan
sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat
hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya,
menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung
dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi
langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan
kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan
kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan

gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang

kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya


meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol,
semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari
paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low
turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori,
yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya
memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan
osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada
osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak
termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat
menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit
aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik
dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik dan gagal ginjak kronik, dan ini
biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang
adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang
dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH
denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan
komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan

16
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol

(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi

pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan


tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
3. Kelainan kardiovaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan
akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi,
hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan
hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non-tradisional, yaitu
anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat
mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat
penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan
fase akut, seperti interleukin 6 dan C-reaktif protein, yang
menyebabkan proses penyumbatan koroner dan meningkatkan
resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan
mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular.
Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun
sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-
arginin.
b. Gagal jantung kongestif.
Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease
dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi
air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung
kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
paling sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan
terjaadinya hipertrofi ventrikel.

17
4. Kelainan hematologi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80 –90 % pasien penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-
hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium,
dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia
yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa
kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan
penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output,
pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung
kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan
siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi.
Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap
anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g % atau
hematokrit ≤ besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat
besi total/total iron bindingcapacity, feritin serum), mencari
sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.
b. Gangguan pembekuan.
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time,
penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet
agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala
kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari
luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro
intestinal,dll.

18
5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan
komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada
penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti
gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan
tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi
atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis,
mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari
saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian
distal lebih dari bagian proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor
,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi
mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri
perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden
terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal
polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme
glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen,
sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi hamil
menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis
dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia,
displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma.
8. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit
akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gannguan
pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-fosfat dan
hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat
deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat

19
kadar urea itu sendiri.

2.1.6. Manifestasi Klinis


1. Kelainan hemapoetik
a. Anemia
1) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan
eritropoetis pada sumsum tulang menurun
2) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrisit dalam
suasana uremia toksik
3) Defisiensi besi, asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan
yang berkurang
4) Perdarahan saluran cerna dan kulit
5) Abrosis sum-sum tulang akibat hiperparatiroidisme
sekunder.
b. Purpura / diatesis hemoragic trombositopenia
2. Kelainan saluran cerna
a. Mual, muntah, anoreksia dan vomitus yang berhubungan
dengan gangguan metabolism bakteri usus seperti ammonia
dan metal quinidin seperti lembarnya membrane mukosa usus.
b. Fosfor uremik disebabkan ureum yang berlebihan pada air liur,
diubah oleh bakteri di mulut manjadi ammonia sehingga nafas
berbau ammonia, akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan
parotitis.
c. Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
d. Gastritis, erosive, ulkus peptikum dan colitis uremik
3. Kelainan kulit
a. Pruritus / gatal – gatal dengan ekskuriasi akibat toksin uremia
dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Uremic frost akibat kristalisasi yang ada pada keringat (jarang
di jumpai)

20
c. Kulit berwarna pucat akibat uremia dan kekuning-kuningan
akibat timbunan urokrom.
d. Bekas – bekas garukan karena gatal.
4. Kelainan kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan
aktivitas system rennin angiotensin – aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis dini
akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, akibatkan
penimbunan cairan dan hipertensi
d. Edema akibat penimbunan cairan
5. Kelainan neurologi
a. Retless leg syndrome. Penderita merasa gatal ditungkai bawah
dan selalu menggerakkan kakinya.
b. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan seperti terbakar
terutama di telapak kaki.
c. Ensefalopati metabolic
1) Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi
2) Tremor, asteriksis, miokionus
3) Kejang-kejang
4) Miopat
5) Kelemahan dan hipotropi otot – otot ekstremitas proksimal
6. Disfungsi endokrin. Gangguan seksual, gangguan toleransi
glukosa, gangguan metabolic lemak dan gangguan metabolism
vitamin D
7. Kelainan respiratori. Infeksi paru, efusi pleura, tachypnea, edema
pulmonal, kusmaul respirasi
8. Kelaianan Urinaria. Poliuria, nocturia, oliguria, anuria, proteinuria,
hematonuria.

21
9. Kelainan Muskuloskletal. Nyeri tulang, fraktur patogik,
osteodistropi ginjal, kelemahan otot dan kram.

2.1.7. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal.
Selama stadium ini kreatinine serum dan kadar BUN normal dan
pasien asimtomatik. Homeostsis terpelihara.Tidak ada
keluhan.Cadangan ginjal residu 40 % dari normal.
2. Stadium II : Insufisiensi Ginjal
Penurunan kemampuan memelihara homeotasis, Azotemia
ringan, anemi.Tidak mampu memekatkan urine dan menyimpan
air, Fungsi ginjal residu 15-40 % dari normal, GFR menurun
menjadi 20 ml/menit. (normal : 100-120 ml/menit). Lebih dari 75
% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari
normal), kadar BUN meningkat, kreatinine serum meningkat
melebihi kadar normal. Dan gejala yang timbul nokturia dan
poliuria (akibat kegagalan pemekatan urine)
3. Stadium III : Payah ginjal stadium akhir
Kerusakan massa nefron sekitar 90% (nilai GFR 10% dari
normal). BUN meningkat, klieren kreatinin 5- 10 ml/menit.Pasien
oliguria.Gejala lebih parah karena ginjal tak sanggup lagi
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh.Azotemia dan anemia lebih berat, Nokturia, Gangguan
cairan dan elektrolit, kesulitan dalam beraktivitas.
4. Stadium IV
Tidak terjadi homeotasis, Keluhan pada semua sistem, Fungsi
ginjal residu kurang dari 5 % dari normal.

22
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease (CKD)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk
mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges
(1999), Suzanne C. Smeltzer (2001) adalah sebagai berikut :
1. Urine
Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna
keruh, berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml / menit,
natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.
2. Darah
BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht
menurun, Hb kurang dari 7 – 8 gr/dl, SDM waktu hidup
menurun, AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolic
(kurang dari 7.2), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5
mEq atau lebih besar, magnesium/fosfat meningkat, kalsium
menurun, protein khususnya albumin menurun.
3. Osmolalitas serum
Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan urine.
4. KUB Foto
Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu).
5. Elektrokardiografi (ECG)
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri,
tanda – tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia dan hipokalsemia).
6. Ultrasonografi (USG)
Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal, kandung kemih serta
prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor
yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.

23
7. Foto polos abdomen
Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan
apakah ada batu atau obstruksi lain.
8. Pielografi Intravena (PIV)
Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena
ginjal tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang
dilakukan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan
efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang
Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan
klasifikasi metastatik.

2.1.9. Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien
yang mengalami CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri
dari penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan
dan penatalaksanaan diet.Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
1. Penatalaksanaan medis
a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 samapai 600 ml untuk
24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24
jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air yang masuk
harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.

24
b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah
protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang
diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida
mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya
harus diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif
dan control volume intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa
gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian
suplemen makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan
untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini
memerlukan gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis
yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan
yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh
medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah
kalium kadang – kadang kayexelate sesuai kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen
(eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara
intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh
darah pasien CRF maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal
yang baru. Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa
persaratan, dan persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal
tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari segi
imunologik sama dengan pasien. Pemilihan dari segi
imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA .

25
i. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir
dibatasi selaput semi permiabel dengan suatu cairan (cairan
dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga komposisi
elektrolitnya sama dengan darah normal. Dengan demikian
diharapkan bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari dalam
darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau perlu air juga
dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua
macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis (CAPD)
yang merupakan tindakan pengganti fungsi faal ginjal
sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi, sedangkan fungsi
endokrinnya tidak ditanggulangi.

2.1.10. Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2
selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran
patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk
abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran
radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum
dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal
terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi
prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral,
penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur
urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid
obesity.

2.1.11. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis
jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya

26
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.

2.2. Konsep Hemodialisa


2.2.1. Definisi
a. Hemodialisa berasal dari kata hemo=darah,dan dialisa=pemisahan
atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah
berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel.
Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat
sampah. Proses ini disebut dialysis yaitu proses berpindahnya air
atau zat, bahan melalui membran semi permeabel ( Pardede, 1996
).
b. Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan
dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis
dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
c. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan
tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang
membutuhkan dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M. Nurs,
2006).
d. Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti
ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat
alat dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel
dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak
dikehendaki terjadi. Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal
ginjal dan beberapa bentuk keracunan (Christin Brooker, 2001).

27
e. Hemodialisa adalah pelayanan kesehatan bagi orang yang
mengalami gangguan fungsi ginjal. Seperti yang kita ketahui,
fungsi utama ginjal adalah menyaring dan membersihkan darah
dari sisa hasil metabolisme tubuh untuk nanti dikeluarkan
bersama urine. Selain itu, ginjal juga berperan besar dalam
mengatur keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh. Sehingga
jika fungsi ginjal terganggu, sisa hasil metabolisme yang berubah
menjadi racun ditambah dengan adanya ketidakseimbangan
elektrolit di dalam darah dapat mengganggu keseimbangan tubuh
dan dapat membahayakan hidup penderita. Ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan ginjal seseorang mengalami disfungsi,
antara lain akibat dari komplikasi dengan penyakit lain seperti
diabetes dan hipertensi, atau bisa juga disebabkan karena hal lain
seperti batu ginjal, kista ginjal atau akibat penyalahgunaan obat-
obatan.

2.2.2. Tujuan Hemodialisa


Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan
asam urat
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita.

2.2.3. Proses Hemodialisa


Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama seperti berikut :
a. Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena perbedaan
kadar di dalam darah dan di dalam dialisat. Semakian tinggi
perbedaan kadar dalam darah maka semakin banyak bahan yang
dipindahkan ke dalam dialisat.

28
b. Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan
terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan
dialisat.
c. Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga
kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat.

2.2.4. Alasan Dilakukan Hemodialisa


Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan :
a. Kelainan fungsi otak ( ensefalopati uremik )
b. Perikarditis ( peradangan kantong jantung )
c. Asidosis ( peningkatan keasaman darah ) yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan lainnya.
d. Gagal jantung
e. Hiperkalemia ( kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah ).

2.2.5. Frekuensi Dilakukan Hemodialisa


Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa,
tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3
kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika :
a. Penderita kembali menjalani hidup normal.
b. Penderita kembali menjalani diet yang normal.
c. Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.
d. Tekanan darah normal.
e. Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif ( Medicastore.com,
2006 ) Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang
untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara
sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal
ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau
beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

29
2.2.6. Komplikasi Pada Hemodialisa
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada
saat dilakukan terapi adalah :
a. Hipotensi
b. Kram otot
c. Mual atau muntah
d. Sakit kepala
e. Sakit dada
f. Gatal-gatal
g. Demam dan menggigil
h. Kejang

2.3. CAPD Sebagai Trend Dalam Hemodialisa


2.3.1. Sejarah dan Perkembangan
Kemajuan teknologi kedokteran yang berkembang pesat saat
ini memungkinkan para penderita gagal ginjal menjalani rutinitas cuci
darah (dialisa) sambil bekerja, cuci mata di mall, bahkan sambil
bercinta dengan pasangan! Padahal di masa lalu, kegiatan dialisa harus
dilakukan di rumah sakit sambil terbaring lemah selama 5 jam,
sebanyak tiga kali seminggu. Belum lagi perasaan gatal di sekujur
tubuh sebagai dampak dari terapi cuci darah tersebut.
Terapi cuci darah yang begitu praktis itu bernama Continuous
Ambulatory Peritoneal Dyalisis/CAPD atau dialisis tanpa mesin dan
dapat dilakukan secara mandiri oleh penderita gagal ginjal. Metode ini
merupakan metode alternatif dengan menggunakan membran
semipermiabel yang berfungsi sebagai ginjal buatan, sehingga mampu
menyerap cairan pembersih ke dalam rongga ginjal. Dalam waktu 4
sampai 6 jam dengan frekuensi 4 kali sehari, terjadi proses difusi serta
ultrafiltrasi dalam ginjal, sehingga zat racun yang ada di dalamnya
terserap ke luar dan diganti cairan baru.

30
Karena masih tergolong teknologi baru, biaya CAPD masih
tergolong mahal. Umumnya, biaya yang dikeluarkan peserta terapi
CAPD saat ini masih sebesar Rp 4,2-Rp 5 juta setiap bulannya.
Namun, biaya sebesar itu menjadi tak berarti, jika melihat kondisi
tubuh penderita yang bugar dan tetap produktif seperti sebelum
terkena gagal ginjal.
Karena pasien tetap bisa bekerja dan melakukan segala
aktivitas seperti biasa, layaknya orang sehat. Bedanya, peserta CAPD
punya kantong kecil di perutnya untuk pergantian cairan dialisat itu.
Pada harian Kompas dikatakan bahwa terdapat pengalaman
”Karyono (45), karyawan swasta yang telah menjalani terapi CAPD
selama tiga tahun ini agaknya bisa jadi pelajaran. Karyono mengaku,
kualitas hidupnya makin membaik setelah ikut terapi CAPD. Selain
itu, ia bisa kembali bekerja dan sama produktifnya seperti sebelum
sakit.

2.3.2. CAPD Belum Memasyarakat


Terapi dengan menggunakan pergantian cairan dialisat ini
sebenarnya telah masuk ke Indonesia sejak 2004 lalu, namun tidak
banyak diketahui masyarakat. Melihat manfaat CAPD yang begitu
besar, para pengembangg dan peneliti tergugah untuk terus
mensosialisasikan CAPD kepada masyarakat luas di Indonesia sebagai
salah satu alternatif penanganan bagi penderita gagal ginjal.
Selama ini dikenal dua metode dalam penanganan gagal
ginjal. Pertama, transplantasi ginjal dan kedua, dialisis atau cuci
darah. Sebenarnya metode pertama memiliki lebih banyak keunggulan
karena dapat menggantikan fungsi ginjal yang rusak. Hanya saja
masalahnya, masih sedikit donor yang mau memberikan organ
tubuhnya. Selain itu jarang sekali ditemukan donor yang cocok
dengan penderita gagal ginjal, sehingga tingkat keberhasilannya
sangat kecil. Selain itu, biayanya sangat besar.

31
Karena itu, penderita gagal ginjal lebih banyak melakukan
terapi dialisa atau cuci darah. Metode dialisis pada intinya adalah
melakukan fungsi utama ginjal, yakni membersihkan darah dari zat-
zat yang tidak berguna pada tubuh dan menjaga kestabilan kandungan
darah di dalam tubuh.
Pembersihan ini dilakukan dengan dua cara, haemodialisis
(HD) dan peritonialdialisis (PD). Pada HD, darah yang akan
dibersihkan dikeluarkan dari tubuh dan dimasukkan ke ginjal buatan
(dializer). Darah dibersihkan dengan menggunakan cairan pembersih
(dialisat) dalam serat-serat dializer itu. Setelah bersih, darah baru
dimasukkan kembali ke dalam tubuh.
Sedangkan pada metode PD, darah tidak dikeluarkan dari
dalam tubuh. Proses pembersihan dilakukan di dalam rongga perut
(peritoneum), dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga
itu. Cairan ini dibiarkan selama empat hingga enam jam hingga
akhirnya dikeluarkan kembali.
Saat ini sudah berkembang metoda PD dengan berbagai
cara seperti CAPD atau APD. Keunggulan utama CAPD adalah
kemudahannya, sehingga terapi dengan metode itu pun lebih alami.
Proses yang berlangsung terus-menerus selama 24 jam setiap harinya
itu, menjadikan hampir sama dengan proses yang berlangsung di
dalam ginjal. Sementara itu, jika melakukan cuci darah biasa secara
HD, keseluruhan proses dilakukan selama lima jam, yang berarti
cairan tubuh dipaksa diperas untuk dicuci mesin. Akibatnya beban
jantung menjadi bertambah dan menyebabkan gangguan tekanan
darah.

2.3.3. Alamiah
CAPD belum banyak digunakan, padahal terapi itu
memiliki kelebihan, yakni tidak mengganggu jantung, kontaminasi
dengan hepatitis lebih kecil. Fungsi ginjal yang tersisa masih dapat

32
dipertahankan, dan proses dialisis pun bekerja selama 24 jam sesuai
dengan kerja ginjal secara alamiah.
"Pasien juga tidak perlu datang ke rumah sakit untuk
melakukan cuci darah, tetapi melakukan cuci darah secara mandiri
dengan jadwal yang dapat ia buat sendiri," katanya.
Keuntungan CAPD adalah lebih memudahkan pengendalian
kimia darah dan tekanan darah. Cairan dialisat dapat dijadikan sebagai
sumber nutrisi dan bagi penderita diabetes dapat diberikan insulin
secara intraperitorial. Sedangkan, kekurangan CAPD adalah sering
kali menimbulkan infeksi pada rongga perut. Selain itu juga
meningkatkan kadar lemak dan mengakibatkan kegemukan (obesitas),
serta dapat menimbulkan hernia, serta sakit pinggang. Kunci utama
dari terapi CAPD adalah menjaga kebersihan lubang yang
menghubungkan ginjal dalam perut dengan dunia luar, yaitu kantong
cairan dialisat. Bila terjadi infeksi di lubang tersebut, maka biayanya
sangat mahal. Karena itu, selalu diingatkan pada pasien untuk
menjaga kebersihan.
Tentang jumlah pasien CAPD di seluruh Indonesia , dr
Tunggul dari FKUI mengaku tidak tahu pasti. Namun, pasien CAPD
di RS PGI Cikini sudah ratusan orang. Sementara di dunia, ada
diperkirakan 120.000 penderita gagal ginjal menggunakan terapi
CAPD.
Ditanya faktor penyebab utama terjadinya gagal ginjal, dr
Tunggul mengatakan, penyebab utama adalah hipertensi (darah tinggi)
dan diabetes atau kencing manis. Gangguan fungsi ginjal bisa terjadi
perlahan-lahan atau mendadak, bahkan tidak disadari oleh penderita
karena tubuh tidak menunjukkan gejala seperti orang sakit. Namun,
tiba-tiba dokter mendiagnosa Anda terkena gagal ginjal.
Jika seseorang memperhatikan gejala yang umum menyertai
penderita gagal ginjal, kata dr Tunggul, penyakit tersebut bisa
diminimalisir sedini mungkin. Adapun beberapa tanda fisik yang

33
harus diwaspadai seperti tubuh bengkak yang diawali dari kedua kaki,
kulit terlihat kasar. Penderitanya mengalami gangguan pengecapan,
mual, muntah, tidak nafsu makan, lesu, gangguan tidur dan juga sering
gatal. Tanda lainnya, sering kram, vena di leher melebar dan ada
cairan di selaput jantung dan paru.
Bila mendapati satu saja dari gejala itu, sudah waktunya
untuk waspada. Untuk itu, segera ke rumah sakit untuk chek-up untuk
membuktikan kebenarannya. Kalau kita lihat hasil laboratorium,
penderita gagal ginjal ini punya peningkatan asam urat, kalsium,
fosfor dan kalium. Hati-hati jika kaliumnya meningkat, karena
memperbesar risiko penyakit jantung.

2.3.4. Definisi CAPD


CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah
metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum (selaput
yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini
memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah.
Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum
ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil
yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus
dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran
darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian
cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru
(Surya Husada, 2008). Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam
rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan
peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai
tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang
berisi racun yang akan dibuang.

34
Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam
rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan
peritoneum sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai
tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang
berisi racun ureum yang akan dibuang. Peritoneal dialysis ini secara
prinsip mirip dengan hemodialisis. Keduanya sama-sama tergantung
pada pergerakan pasif dari air dan solute melewati membrane
semipermeabel. Proses ini disebut sebagai difusi. Arah dari aliran
solute ini ditentukan oleh konsentrasi masing-masing sisi membrane,
sehingga solute bergerak dari sisi dengan konsentrasi tinggi ke sisi
yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman dulu peritoneal dialisis
dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus melakukan
pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya
sepanjang malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis
telah dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi
lebih sederhana dan lebih mudah.
Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik
peritoneal dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternative untuk
pasien dengan gagal ginjal.Continuous pada CAPD ini berarti bahwa
cairan dialisat selalu berhubungan dengan membrane peritoneum,
kecuali pada saat penggantian cairan dialisat.

35
Gambar 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

2.3.5. Anatomi Membran Peritoneum


Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang
membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dan lain-lain.
Di dalam rongga perut ini terdapat banyak pembuluh darah kecil
(kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan
cairan dialysis pada sisi yang lain.
Rongga peritoneum berisi sekitar 100ml cairan yang berfungsi
untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum.Pada orang dewasa
normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa
menimbulkan gangguan.Membran peritoneum merupakan lapisan tipis
bersifat semi permeable. Luas permukaannya kurang lebih 1,55m2
yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:
a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal
peritoneum), merupakan 20% dari total luas membran peritoneum.
b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum),
merupakan 80% dari luas total membran peritoneum. Total suplai

36
darah pada membran peritoneum dalam keadan basal adalah 60 –
100 ml/mnt.

2.3.6. Tujuan CAPD


Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat
toksik serta limbah metabolik, mengembalikan keseimbangan cairan
yang normal dengan mengeluarkan cairan yang berlebihan dan
memulihkan keseimbangan elektrolit.

2.3.7. Indikasi CAPD


a. pasien yang tidak mampu atau yang tidak mau menjalani
hemodialisa
b. Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan
metabolic yang cepat (hemodinamik yang tidak stabil)
c. Penyakit ginjal stadium terminal yang terjdai akibat penyakit
diabetes
d. Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin
secara sistemik
e. Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
f. Adanya penyakit CV yang berat
g. Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema
pulmonary yang tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi
dengan dialysis peritoneal.

2.3.8. Kontraindikasi CAPD


a. Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus,
nefrostomi)
b. Adhesi abdominal
c. Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat
kelainanpada discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan
adanya tekanan cairan dialis dalam abdomenyang kontinyu

37
d. Pasien dengan imunosupresi

2.3.9. Cara Kerja CAPD


a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses
sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses
ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi
dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit
site”.

b. Pemasukan Ciran Dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan
dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika
dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam
darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke
dalam cairan dialisat.

38
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke
dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran
peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses
perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki


kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke
dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.

2.3.10. Prosedur CAPD


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya
membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan
kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti
dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini
berlangsung sekitar 20 menit.

39
2. Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui
kateter. Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam
rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.

40
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4
atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.

2.3.11. Pemasangan Kateter Peritoneal Dialisis


Keberhasilan penempatan kateter adalah hal yang paling
utama, karena alat tersebut bersifat permanen. Komplikasi yang
berhubungan dengan kateter termasuk infeksi exit site dan tunel telah
diidentifikasi sebagai kegagalan tehnik yang diperkirakan 1/3 dari
kegagalan peritoneal dialisis dan harus kembali ke hemodialisa.
Penanganan yang baik, penempatan kateter yang tepat dan perawatan
kateter awal akan mengurangi komplikasi tersebut.
Sehari sebelum operasi pasien menjalani hemodialisis
terlebih dahulu. Letak exit site sebaiknya ditentukan lebih dulu serta
diberi tanda. Letak exit site sebaiknya pada posisi lateral dan
ditempatkan di atas atau di bawah garis pinggang dan sebaiknya tidak
pada bekas luka atau di bawah lipatan lemak. Satu jam sebelum
operasi disarankan pemberian antibiotika 1 gram cephalosporin
generasi pertama dan 2x0,5 gram yang masing-masing diberikan 8

41
jam dan 12 jam kemudian. Alternatif lain dapat juga diberikan 1 gram
vancomycin intra vena 24 jam sebelum operasi. Anestesi diberikan
secara lokal dengan lidocain 2% subkutan tanpa epinefrin. Meskipun
anestesi lokal sudah cukup, namun perlu menghubungi dokter anestesi
untuk mencegah komplikasi.
Jarak 2 cm dari bawah umbilikus arah ke kanan atau ke kiri
dibuat insisi transverse paramedian 3 cm sampai ke rektus fascia
anterior. Kemudian rektus fascia anterior disayat secara transversal
untuk mendapatkan otot rektus. Setelah didapatkan rektus fascia
posterior dan menyayatnya akan didapatkan selaput peritoneum
dimana selaput peritoneum ini harus dijaga agar tidak terjadi robekan.
Kemudian ditempatkan 2 klem di atas rectus fascia posterior pada
daerah sayatan sehingga terbentuk lobang selebar diameter kateter.
Kateter dimasukkan secara kaudal ke arah pelvik minor untuk
memungkinkan terjadinya gravitasi pada waktu drain. Pergerakan
kateter selama dialisa sangat diharapkan karena posisi tersebut
mengoptimalkan pada waktu cairan masuk atau keluar. Cuff internal
ditempatkan di dalam setara dengan otot rektus. Dengan tehnik Purse
string peritoneum ditutup dengan pas menggunakan benang yang
dapat diserap di bawah cuff.
Untuk mengurangi insiden terjadinya infeksi dibuat tunnel
dengan menggunakan tunneller, dimana sebaiknya tunel ini berada di
dinding abdomen di bawah kulit. Selanjutnya kateter akan melalui
tunel dan keluar pada exit site dan mengarah ke bawah. Cuff eksternal
sebaiknya ditempatkan sedalam jaringan lemak di bawah fascia scarpa
minimal 2 cm di bawah exit site. Penempatan ini akan membantu
mencegah infeksi serta ekstrusi cuff eksternal. Setelah kateter keluar
pada exit site, luer lock adaptor dipasang dan dihubungkan dengan
ekstension line dan dicek fungsi kateter yaitu dengan mencoba
memasukkan sejumlah cairan dialisat untuk mengetahui posisi kateter
serta ada tidaknya kebocoran. Jika kateter telah terpasang dengan

42
tepat, pemasukan cairan tidak akan memberikan rasa sakit serta cairan
dapat keluar dengan lancar. Setelah letak kateter dianggap tepat, luka
operasi dijahit lapis demi lapis. Untuk meminimalkan pergerakan
kateter dari exit site sebaiknya difiksasi. Hal ini juga berguna untuk
mencegah ekstrusi cuff eksternalserta mempercepat proses
penyembuhan. Pemberian antibiotika pada exit site tidak diperlukan
karena dikhawatirkan akan terjadi resistensi. Perawatan luka operasi
yang tepat merupakan metode terbaik pencegahan infeksi.
Meskipun proses dialisa dapat segera dilakukan, namun lebih
baik menundanya untuk 1-3 hari dengan tujuan agar terjadi proses
penyembuhan luka operasi yang lebih baik. Jika dialisa mendesak
untuk dilakukan, dapat dikerjakan pada pasien dengan posisi
terlentang serta volume minimal (500 mL). Idealnya CAPD ditunda
sampai 10-14 hari setelah pemasangan kateter. Pada masa ini pasien
perlu dilakukan hemodialisa atau intermiten peritoneal dialisa.

Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD

43
2.3.12. Cairan Dialisat
Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu
dekstrose 1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25%
(hipertonik). Dekstrose 1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400
mL dan digunakan untuk pasien dehidrasi atau pasien dengan berat
badan turun. Dialisat ini mengandung 110 kalori. Dekstrose 2,3%
yang mengandung 180 kalori dapat menarik cairan sebanyak 400-600
mL dan umumnya digunakan pada pasien overload atau kelebihan
cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik cairan sebanyak
600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat
dengan konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.
Komposisi cairan dialisat terdiri dari natrium 132 meq/L,
kalium 0 meq/L, klorida 96 meq/L, kalsium 3,5 meq/L, magnesium
0,5 meq/L, laktat 40 meq/L dan pH berkisar 5,2. Sebelum digunakan
sebaiknya cairan dialisat dihangatkan terlebih dahulu secara
pemanasan kering misalnya dengan cara diletakkan di atas bantalan
atau selimut listrik atau dibungkus di dalam selimut dengan tujuan
agar mencapai suhu normal atau sama dengan suhu tubuh pasien.

2.3.13. Penggantian Cairan Dialisat


Pada saat proses penggantian cairan dialisat pasien harus
ditempatkan pada tempat yang tenang dan bersih untuk mencegah
kemungkinan kontaminasi. Setelah cuci tangan dengan bersih dan
menyiapkan beberapa alat, pasien mulai untuk mengalirkan solute
lama yang sudah berada di rongga peritoneum secara gravitasi keluar
dari rongga abdomennya. Proses ini disebut sebagai drain dan
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit.
Langkah selanjutnya adalah melepas tube dari kantong
dialisat lama dan menghubungkan tube ke kantong dialisat yang baru.
Proses ini dapat dilakukan secara manual dimana dibutuhkah
koordinasi yang baik antara mata dan tangan dan juga fisik yang kuat.

44
Setelah tube terhubung ke kantong dialisat yang baru, kantong
tersebut harus diletakkan di atas abdomen pasien sehingga dialisat
yang baru dapat mengalir ke dalam rongga peritoneum pasien secara
gravitasi. Proses ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah semua
cairan dialisat masuk ke rongga peritoneum pasien melepaskan tube
dari kantong dialisat tersebut dan pasien bisa beraktifitas seperti biasa.
Keseluruhan proses penggantian cairan dialisat ini membutuhkan
waktu sekitar 20 sampai 30 menit.
Penggantian cairan dialisat ini pada umumnya berlangsung 4
kali sehari, yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan
sebelum waktu tidur. Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time
yaitu waktu saat cairan dialisat berada di abdomen, sebaiknya paling
sedikit 4 jam. Selama dialisat berada dalam abdomen, pasien selalu
dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan waste product
dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir
mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.

2.3.14. Prinsip-prinsip CAPD


CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti
pada bentuk dialisis lainnya, yaitu: difusi dan osmosis.
a. Difusi
Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke
rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah
proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi
ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini
berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma
darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin
uremik.Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD.

45
b. Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi
permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar
air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air
rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan
hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada
peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD
menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi
(hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari
kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi) Kandungan
glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan
melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu
diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute.
1) Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :
a) Kualitas membrane
b) Ukuran & karakteristik larutan
c) Volume dialisat
2) Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
a) Tekanan osmotic
b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan
plasma darah dalam pembuluh kapiler
Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam
peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat,
sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal.
Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding
lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
3) Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
a) Na (132 meq /lt)
b) Cl ( 102 meq /lt)
c) Mg (0,5 meq /lt)
d) K (0 meq /lt)

46
CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar
produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan
yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih
tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk
limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium
ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan
dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis
berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap
berada dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang
berukuran sedang semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul
ini merupakan toksik uremik yang signifikan.Dengan CAPD
kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul
rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses
dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat
dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan
dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa
1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga
memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan
toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien.
Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient
osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien
harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat
berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari.
Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari,
dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan

47
pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore
dan 10.00 malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa
pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu
retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran
terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan
dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran
dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau
lebih.

2.3.15. Efektifitas CAPD


Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan
dengan cara CAPD lebih hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan
rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan
lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan
melalui rongga peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi
sebagai filter adalah selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan
memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui selang
kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini
memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan
membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada dalam rongga
perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan
ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di
rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang
menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat
dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat bekerja
seperti biasa (Wurjanto, 2010).

48
2.3.16. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti
diketahui sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih
tersisa sedikit. Di samping untuk membersihkan kotoran, fungsi
ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah mengeluarkan
eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai
hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis
peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.
2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan
hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun
pada akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui
bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal
menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih
tinggi.
3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya
untuk tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
sebagaimana HD
5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun
pertama

49
2.3.17. Kelemahan CAPD :
1. Resiko infeksi
Peritonitis
2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi.
3. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama
berlangsungnya proses dialisis peritoneal (Iqbal et al, 2005).

2.3.18. Komplikasi CAPD


Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan
paling serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani
peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi
dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental,
dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi,
prognosis lebih serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis
yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus,
hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya
S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan
jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu
penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien
dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran
dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama
48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi
suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat
jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta
dapat AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam
waktu 2-4 hari . AB harus diberikan dengan cermat dan tidak
bersifat nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang

50
tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis
akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan
kateter permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis.
Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga
merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara
menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan
pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan peritonitis akan
kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar,
malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka
insisi atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang.
Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda
selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya
kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan
adalah aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan
pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan
memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml)
dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat
terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini
disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus
lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum
peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali
penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap
berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran
kateter dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani
pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun intervensi

51
yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan
lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah
4. Komplikasi lainnya adalah
a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen
yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional,
inguinal, diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen
yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala
hernia hiatus dan hemoroid.
b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat
mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap
merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien
ini.
c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam
rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada
indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.

2.3.19. Fase persiapan sebelum dilakukan CAPD


1. Persiapan Bagi Klien yang akan menjalani CAPD
Persiapan bagi klien dan keluarga yang menjalani CAPD
tergantung dari status fisik dan psikologis klien, tingkat
kesadaran, pengalaman sebelumnya tentang terapi dialysis dan
pemahaman serta adaptasi klien terhadap prosedur tersebngut.
Mungkin klien yang akan menjalani hemodialis peritoneal berada
dalam kondisi akut sehingga memerlukan terapi jangka pendek
untuk memperbaiki kondisi yang berat pada status cairan dan
elektrolit.
Prosedur dialisi peritoneal perlu dijelaskan terlebih dahulu
kepada pasien dan surat persetujuan (inform consent) yang sudah
ditandatangani harus sudah diperoleh sebelum prosedur tersebut
dilaksanakan. data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan

52
dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan kandung
kemih dan usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknys
organ-organ internal. perawat juga harus mengkaji rasa cenas
klien dan memberikan dukngan serta petunjuk mengenai prosedur
yang akan dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus
dipasang di kamar operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan
kepada klien dan keluarganya.
2. Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal
Disamping merakit peralatan untk dialysis peritoneal,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan
konsentrasi larutan dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan
yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin dapat
ditambahkan untk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang
dapat menyembut kateter peritoneal.Kalium klorida dapat
diresepakn untk mencegah hipokalemia.antibiotic dapat diberikan
untk mengobati peritonitis.
sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat
dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah
gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri abdomen, selain itu
tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens
ureum. Larutan yang terlalu dingin menyebabkan nyeri dan
vasokonstriksi dan menurunkan klirens.larutan yang terlalu panas
dapat membakar peritoneum. peralatan yang digunakan untuk
menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan cermat
untuk menjamin suhu yang diinginkan.
Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang
untuk dialysis dirakit.selang tersebut diisi dengan larutan dialisat
yang sudah dipersiapkan untuk mengurangi jumlah udara yang
masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang dapat
menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan

53
mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat
tersebut.
3. Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal
Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi
untuk mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil
kemungkinan kontaminasi.sebuah kateter stylet dapat digunakan
jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan dalam waktu
singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen
dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi
jumlah bakteri pada kulit dan untuk mengurangi resiko
kontaminasi seta infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Dokter
melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam kulit dan
jaringan subkutan pasien sebelum prosedur pemasangan keteter
dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan dilakukan pada
abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus, di
daerah ini relative tidak mengandung banyak pembuluh darah
besar sehingga perdarahan yang terjadi tidak begitu besar. Sebuah
trokar (sebuah alat yang berujung tajam) digunakan untk menusuk
peritoneum sementara pasien mengencangkan otot abdomennya
dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui
trokar dan kemudian diatur posisisnya.caiaran yang sudah
disiapkan diinfuskan ke dalam cavum peritoneal dengan
mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari
organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat
dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya

2.3.20. Penatalaksanaan Keperawatan


a. Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan
hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24
jam sebelumnya.

54
b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium.
Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

2.3.21. Penatalaksanaan Diet


a. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.
b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya
katabolisme protein
c. Lemak diberikan bebas.
d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin,
niasin dan asam folat.
e. Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik,
hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk
secara cepat dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens
ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi
seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.

55
BAB 3
PEMBAHASAN JURNAL

3.1. Gambaran Karakteristik Sosio-Demografi Pasien Gagal Ginjal Kronik


Yang Menjalani Terapi CAPD
Gambaran karakteristik sosio-demografi pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi CAPD. Penelitian ini melibatkan 47 pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD di RSUD Arifin Achmad
Provinsi Riau. Responden penelitian berdasarkan jenis kelamin terdiri dari
responden perempuan 40,42% dan responden laki-laki 59,57%, maka jenis
kelamin responden paling banyak pada penelitian ini adalah berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan data dari USRDS bahwa pasien
gagal ginjal kronik terbanyak adalah laki-laki. Secara umum gagal ginjal
kronik memiliki resiko yang sama besar kejadiannya terhadap jenis kelamin
perempuan dan laki-laki.
Hal ini berhubungan dengan faktor resiko yang bersifat
multifaktorial yaitu yang pertama adalah pekerjaan salah satu contohnya
orang yang memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan
kimia, apabila bahan-bahan kimia terpapar dan masuk kedalam tubuh akan
dapat mempengaruhi ginjal dan menyebabkan penyakit ginjal. Selanjutnya
gaya hidup yang tidak sehat misalnya kebiasaan mengkonsumsi makanan
cepat saji dan makanan yang mengandung karbohidrat tinggi tetapi rendah
serat, kurangnya melakukakan aktivitas olahraga, kebiasaan merokok serta
meminum minuman yang beralkohol dapat menimbulkan penyakit ginjal
kronik, dan berikutnya adalah faktor genetika yaitu penyakit ginjal dapat
berupa keturunan atau bawaan seperti kelainan struktural, kelainan fungsi
yang menimbulkan penyakit ginjal. Terdapatnya kecendurungan laki-laki
lebih rentan terkena gagal ginjal kronik dikarena faktor pekerjaan pada laki-
laki lebih berat baik dari segi beban fisik maupun beban mental yang
dialaminya daripada perempuan dan faktor kebiasaan merokok lebih tinggi
terjadi pada laki-laki di bandingkan perempuan.

56
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Perakis
memaparkan jumlah pasien CAPD di Yunani tahun 1990-2007 sebagian
besar (57,90%) adalah laki-laki. Penelitian lain yang dilakukan oleh Chan
tentang profil kesehatan pasien gagal ginjal terminal yang menjalani
peritoneal dialysis di hongkong menunjukkan juga jumlah responden laki-
laki lebih banyak yaitu sebanyak 83 orang. Sedangkan penelitian yang di
lakukan di rumah sakit denpasar menunjukkan bahwa responden laki-laki
(52%) lebih banyak dibandingkan responden perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan rentang usia responden pada
penelitian ini adalah 18-64 tahun, meningkatnya usia seseorang memberikan
dampak pada penurunan fungsi –fungsi tubuh sehingga semakin rentan
terhadap penyakit. Umur pasien yang semakin meningkat juga berkaitan
dengan prognosis suatu penyakit dan harapan hidup. Pada penderita yang
berusia di atas 55 tahun lebih mudah untuk terjadinya suatu komplikasi yang
dapat memperberat fungsi ginjal untuk bekerja dibandingkan dengan
penderita yang usianya di bawah 40 tahun. Dalam penelitian ini didapatkan
responden dengan rentang usia 18-44 tahun berjumlah 24 responden
(51,08%) dan responden dengan rentang usia 45-65 tahun berjumlah 23
responden (48,93%).
Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di unit
hemodialisa RSPAD Gatot Soebroto yang menyatakan bahwa responden
yang menderita gagal ginjal kronik banyak pada kelompok usia produktif
yaitu berjumlah (71,7%). Kecenderungan bertambahnya penderita gagal
ginjal kronik dan bergesernya usia responden 10 tahun lebih muda dari 30-
40 tahun terjadi dikarenakan gagalnya pencegahan primer seperti
menghindari faktor resiko, sehingga hal ini dapat menyebabkan timbulnya
penyakit-penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi, dan salah satunya
pencegahan primer yang dilakukan adalah dengan menghindari kebiasaan
merokok karena kebiasaan merokok tersebut dapat memperbesar resiko
terjadinya penyakit yang berhubungan dengan terjadinya penyempitan pada
pembuluh darah, termasuk pembuluh darah di ginjal, serta angka kejadian

57
penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi juga meningkat
kejadiannya pada usia reproduktif. Hal itulah yang menjadi alasan
banyaknya pasien usia produktif yang mengidap penyakit ginjal kronik atau
gagal ginjal kronik.
Berdasarkan data yang diperoleh , responden penelitian terbanyak
berasal dari suku melayu (31,91%) kemudian diikuti oleh suku batak
(23,40%), suku jawa (21,27%), suku minang dan suku tionghoa (10,63%)
serta suku aceh (2,12%). Pada dasarnya hal ini lebih dikarenakan kondisi
demografi penduduk di provinsi Riau. RSUD Arifin ahmad merupakan
rumah sakit rujukan yang menerima pasien dari rumah sakit pemerintah
lainnya dari daerah maupun kabupaten se-Provinsi Riau. Populasi suku
terbanyak di provinsi Riau ini adalah suku melayu.
Latar belakang budaya dan suku seseorang mengajarkan bagaimana
cara sehat, cara mengenali sakit, dan cara merawat orang sakit dan efek
penyakit dan interprestasinya berbeda menurut kultur masing-masing suku.
Perbedaan suku dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah
keputusan tentang penggunaan layanan kesehatan. Pada dasarnya penyakit
yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor
lingkungan. Misalnya cara merawat orang sakit, cara menjaga kesehatan dan
pemilihan makanan pada orang yang sakit.
Dalam penelitian ini diperoleh responden terbanyak memiliki status
pendidikan terakhir sebagai lulusan D1/D2/D3/S1 (53,19%) dan paling
sedikit merupakan lulusan SD (6,38%) . Hal ini sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Batubara yang menunjukkan jumlah respondennya
mayoritas adalah pendidikan terakhirnya perguruan tinggi. Status
pendidikan terakhir berperan penting dalam menentukan status kesehatan
dan kualitas hidup seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan pengobatan akan
masalah kesehatanya yang dihadapinya juga akan semakin tinggi dan
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka individu tersebut akan
cenderung untuk lebih berpikir positif. Status pendidikan terakhir juga

58
berpengaruh terhadap sumberdaya ekonomi dan sosial yang dicapai,
sehingga muncul paradigma bahwa tingkat pendidikan yang rendah
mengakibat suatu individu memiliki pengetahuan yang rendah terhadap
kesehatan dirinya dan dapat jatuh pada keadaan streesfull, sehingga hal ini
dapat menyebabkan meningkatnya resiko penyakit ginjal kronik.
Data dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden
telah menikah (93,61%). Besar atau tidaknya dukungan yang diterima oleh
seorang responden yang sudah menikah sangat menentukan perjalanan
penyakit dari gagal ginjal kronik. Dukungan yang diberikan pada pasangan
dapat berupa motivasi, penghargaan, perhatian, dan pemberian solusi
terhadap masalah yang dihadapi oleh pasangannya. Didapatkannya
dukungan yang lebih dari pasangan akan dapat mempengaruhi emosional
dari pasien gagal ginjal kronik dan dapat menimbulkan perbaikan pada
perjalanan penyakitnya.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien yang telah
memakai CAPD dalam kurun waktu <1 tahun sebanyak 19,14%, pasien
yang memakai CAPD dalam kurun waktu 1-5 tahun sebanyak 72,34% dan
pasien yang memakai CAPD >5 tahun sebanyak 8,51%. Responden dengan
jangka waktu memakai CAPD terpendek adalah 1 bulan dan terlama adalah
80 bulan. Komplikasi yang terjadi pada responden yaitu hipoalbumin,
infeksi exit site/tunnel, peritonitis dan kebocoran cairan dialisat terjadi pada
maupun pada responden yang lebih dari 5 tahun menjalani CAPD,
responden jarang kontrol ke tenaga medis dan banyak responden telah lupa
melakukan prosedur standar dalam perawatan CAPD. Penelitian yang
dilakukan oleh Noph yang mengamati pasien yang menjalani terapi CAPD
pada 3 tahun pertama ditemukan terjadinya infeksi exit site, catheter
replacement dan peritonitis. Menurut penelitian Pollock juga menemukan
terjadinya peritonitis pada 2-3 tahun pertama pemakaian CAPD di Australia,
sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Szeto et all menyatakan
bahwa rata-rata lama responden menjalani terapi CAPD adalah 63,7 bulan
dan terdapat 23% yang mengalami peritonitis.

59
Hasil penelitian didapatkan mayoritas responden bekerja sebagai
IRT, pensiunan dan tidak bekerja (36,17%), sedangkan yang bekerja sebagai
wiraswasta berjumlah (34,08%) dan yang bekerja sebagai pegawai negeri
sipil berjumlah (29,78%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asri
dkk menyatakan bahwa 2/3 pasien yang menjalani terapi dialisis tidak
pernah dapat kembali pada aktivitas atau pekerjaan semula sehingga pasien
dapat kehilangan pekerjaannya. Rendahnya aktivitas seseorang dapat
berpengaruh terhadap perburukan kesehatan baik dari segi fisik maupun
psikis individu, sehingga dapat mengakibatkan seseorang sakit.

3.2. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang


Menjalani Terapi CAPD
Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik merupakan salah satu hal
penting untuk menilai efek samping dari sebuah terapi pengobatan. Kualitas
hidup dapat menggambarkan suatu beban seorang penderita akibat penyakit
yang dideritanya dan terapi yang diperolehnya. Ketepatan dalam melakukan
pengukuran kualitas hidup bermanfaat untuk mengetahui proses penyakit
dan efek terapi yang diberikan kepada penderita, dengan demikian pasien
yang menderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD perlu
diteliti kualitas hidupnya.

Pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner KDQOL-SFTM

didapatkan sebanyak 76,59% pasien gagal ginjal kronik yang menjalani


terapi CAPD memiliki kualitas hidup yang baik dan 23,40% termasuk
dalam kategori buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fatayati yang menilai kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi CAPD dengan menggunakan kuesioner kualitas hidup dari
Spitzer di dapatkan hasil bahwa 68,75% responden termasuk dalam kategori
baik, sedangkan sisanya sebanyak 31,25% termasuk dalam kategori sedang.
Karakteristik seseorang berpengaruh terhadap pola dan kualitas
kehidupan seseorang. Karakteristik dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang misalnya yang pertama usia yaitu berdasarkan penelitian yang

60
dilakukan oleh Nofitri menemukan adanya hubungan usia dalam aspek-
aspek kehidupan individu dalam meningkatkan kualitas hidup. Saat
memasuki usia tua kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik karena
individu tersebut telah melewati masa-masa dalam perubahan hidupnya dan
individu yang berusia tua lebih memiliki kemampuan untuk mengarahkan
dan mengevaluasi dirinya kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa kelompok usia 45-64 tahun sebanyak 82,60%
memiliki kualitas hidup dalam kategori baik.
Berikutnya pendidikan merupakan Pasien yang memiliki status
pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang luas
sehingga memungkinkan pasien tersebut dapat mengontrol dirinya terhadap
masalah yang sedang dihadapinya, mempunyai perkiraan yang tepat dalam
mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh
petugas kesehatan, mempunyai pengalaman serta percaya diri yang tinggi
serta pasien tersebut dapat mengurangi kecemasan yang dirasakannya
sehingga individu tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Notoadmojo yang
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hal penting untuk melakukan
suatu tindakan, prilaku yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih baik
hasilnya dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Berikutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofitri menyatakan
bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat
pendidikan yang didapatkan oleh individu dan ditemukannya adanya
pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup secara subjektif.
Pada prosedur CAPD, pasien yang menjalani terapi CAPD
sebelumnya akan mendapatkan pelatihan tentang CAPD, perawatan serta
penggantian cairan CAPD dirumah oleh perawat bersertifikat CAPD.
Keberhasilan dalam pelatihan ini akan tergantung dari kemampuan pasien
dalam menyerap informasi yang diberikan perawat selama pelatihan
tersebut berlangsung.
Dari uraian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa, status

61
pendidikan terakhir pasien gagal ginjal kronik yang terbanyak adalah
D1/D2/D3/S1 dengan kualitas hidup dalam kategori baik sebanyak 80%
sedangkan yang termasuk dalam kategori buruk berjumlah 20%, hal ini bisa
juga terjadi disebabkan karena kurangnya informasi tentang pelayanan
kesehatan yang didapatkan atau pendidikan pasien mungkin cukup tinggi
tetapi sikap dan tindakan responden terhadap kesehatan kurang atau dalam
arti lain responden kurang memanfaatkan pendidikannya untuk mencari
informasi tentang kesehatan. Serta walaupun seseorang memiliki pendidikan
tinggi tetapi pengalaman atau pengetahuan seseorang tersebut dalam
menjaga kesehatannya masih kurang.
Berikutnya status pernikahan, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Moons et all menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
antara individu yang tidak menikah, individu yag bercerai dan janda, serta
individu yang menikah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Myers
menyatakan bahwa disaat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang
lain terpenuhi, baik hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun
hubungan pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih
baik secara fisik maupun emosional. Zapt et all juga menyatakan bahwa
status pernikahan merupakan salah satu prediktor terbaik dari kualitas hidup
secara keseluruhan.
Dari data penelitian juga didapatkan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang menikah dalam kategori baik sebanyak 75% dan kualitas
hidup dalam kategori buruk pada responden yang menikah sebanyak 25%.
Hal dapat terjadi di karenakan pada masa sekarang ini baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah menikah pada usia produktif lebih mementingkan
karir/pekerjaan serta aktivitas sosial sehingga perhatian terhadap suami atau
istri berkurang, akibatnya dukungan yang diberikan juga berkurang. Salah
satu efek yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi dialysis adalah penurunan libido akibat penurunan hormon
reproduksi, sehingga hubungan suami istri akan terganggu dan berdampak
juga pada keharmonisan rumah tangga, berkurangnya semangat dan

62
motivasi dari pasangan sehingga menimbulkan masalah emosional yang
berdampak terhadap kesehatan responden.
Pekerjaan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahl
mengemukakan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup,
baik pada laki-laki ataupun perempuan. Serta Moons menyatakan bahwa
terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai
pelajar, bekerja,tidak bekerja, dan tidak mampu bekerja. Berdasarkan uraian
tersebut maka apapun pekerjaan responden akan berhubungan dengan
kualitas hidupnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas hidup
dalam kategori baik banyak terdapat pada responden yang bekerja sebagai
wiraswasta (31,91%) dan responden yang kualitas hidupnya dalam kategori
buruk banyak terdapat pada IRT/pensiunan/tidak bekerja (14,89%).
Perbedaan kualitas hidup pada pekerjaan terjadi karena perbedaan beban
kerja, lingkungan, dan seberapa puas responden menikmati aktivitasnya.
Serta lama terapi menjalani CAPD berperan dalam menentukan
kualitas hidup yaitu Semakin lama pasien telah menggunakan terapi CAPD
maka akan meningkat pengetahuan dan wawasan tentang CAPD yang. Hal
tersebut akan mempengaruhi kemampuan pasien dalam mencegah berbagai
komplikasi yang dapat terjadi dalam penggunaan CAPD dilakukan dan hal
ini akan meningkatkan kualitas hidupnya.
Disamping karakteristik pasien yang mempengaruhi kualitas hidup,
hal lain seperti keseriusan dari individu untuk menjaga kesehatannya akan
berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik individu dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang
terutama yang menderita penyakit ginjal kronik.
Angka kualitas hidup didapatkan cukup tinggi pada pasien gagal
ginjal kronik ini terjadi dikarenakan pasien merasa lebih nyaman
menggunakan CAPD sebab pasien dapat melakukan dialisis secara sendiri
di rumah atau di tempat kerja dengan jadwal yang fleksibel tanpa
ketergantungan terhadapat rumah sakit, serta pasien menjadi mandiri dan
dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.

63
Kelebihan CAPD yang lainnya adalah pada dialisis ini pembuangan
cairan dan racun lebih stabil sehingga dapat mempertahankan keadaan klinis
yang baik, serta terapi ini dapat mempertahankan residualrenal function.
Dalam hal diet tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan oleh pasien
CAPD namun perlu ditekankan untuk menyeimbangkan antara intake dan
output keseimbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk
metabolic oleh dialysis. Untuk itu maka dianjurkan untuk diet tinggi protein
untuk mencegah terjadinya balans negative karena kehilangan protein. Hal
inilah yang menyebabkan angka kualitas hidup cukup tinggi pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD.

64
BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
CAPD (Continuius Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Merupakan metode pencucian darah dengan mengunakan
peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut).
Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum
ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang
menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan
selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara
perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Metode CAPD memiliki beberapa keunggulan antara lain:
a. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
b. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
1) Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
2) Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode
waktu tertentu (4-6 jam)
3) Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
c. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan
biss dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan
tidak perlu ke rumah sakit.. Namun, di samping keunggulannya, CAPD
juga memiliki beberapa kelemahan yaitu sering kali menimbulkan
infeksi pada rongga perut. Selain itu juga meningkatkan kadar lemak
dan mengakibatkan kegemukan (obesitas), serta dapat menimbulkan
hernia, serta sakit pinggang.

4.2. Saran
Perkembangan teknologi di era globalisasi ini kian menuntut
manusia untuk selalu berevolusi dan berinovasi, khususnya dibidang

65
teknologi kesehatan. Berbagai penemuan-penemuan terkait dengan terapi
pengobatan dan metode pengobatan terbaru pun telah ditemukan. Salah
satunya adalah metode dialysis tanpa mesin yaitu metode CAPD. Kita
sebagai mahasiswa perawat, sebagai bibit yang nantinya akan meneruskan
pembangunan di bidang kesehatan sudah sepatutnya untuk membekali diri
dengan segala dan setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini
penting karena dapat membantu mahasiswa nantinya dalam menjalankan
profesinya di bidang keperawatan. Dengan memiliki jiwa yang sensitive
akan perkembangan teknologi, maka ilmu pun akan selalu diperoleh guna
profesionalisme kerja yang juga nantinya akan bermanfaat dalam
memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.

66
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients
with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal
Dialysis 2005;21:85-9.
Ardaya. 2003. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana
Gagal ginjal Kronik. Palembang: Perhimpunan Nefrologi Indonesia

67

Anda mungkin juga menyukai