DISUSUN OLEH :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan
rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Trend
Dan Issue Sistem Perkemihan Extracorporeal Chronic Kidney Diseases dan
CAPD”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sistem
Perkemihan. Karena makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa
bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Agus Supinganto, Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.
2. Indah Wasliah, Ners., M.Kep., Sp.Anak., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan
STIKES YARSI Mataram.
3. Bq. Nur’ainun Apriani Idris, Ners., selaku dosen pembimbing akademik.
4. Zulhendry, S. Kep., Ners., MM., selaku dosen Mata Kuliah Sistem
Perkemihan.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.3. CAPD Sebagai Trend Dalam Hemodialisa ........................ 30
2.3.1. Sejarah dan Perkembangan .................................... 30
2.3.2. CAPD Belum Memasyarakat ................................. 31
2.3.3. Alamiah .................................................................. 32
2.3.4. Definisi CAPD ....................................................... 34
2.3.5. Anatomi Membran Peritonium .............................. 36
2.3.6. Tujuan CAPD ......................................................... 37
2.3.7. Indikasi CAPD ....................................................... 37
2.3.8. Kontraindikasi CAPD ............................................ 37
2.3.9. Cara Kerja CAPD................................................... 38
2.3.10. Prosedur CAPD ...................................................... 39
2.3.11. Pemasangan Kateter Peritonial Dialisis ................. 41
2.3.12. Cairan Dialisat........................................................ 44
2.3.13. Penggantian Cairan Dialisat ................................... 44
2.3.14. Prinsip-prinsip CAPD ............................................ 45
2.3.15. Efektifitas CAPD ................................................... 48
2.3.16. Keuntungan CAPD dibandingkan HD ................... 49
2.3.17. Kelemahan CAPD .................................................. 50
2.3.18. Komplikasi CAPD ................................................. 50
2.3.19. Fase Persiapan Sebelum CAPD ............................. 52
2.3.20. Penatalaksanaan Keperawatan ............................... 54
2.3.21. Penatalaksanaan Diet ............................................. 55
BAB 3 PEMBAHASAN JURNAL ....................................................... 56
3.1. Gambaran Karakteristik Pasien Yang Menjalani CAPD ... 56
3.2. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Yang Menjalani CAPD 60
BAB 4 PENUTUP ................................................................................. 65
4.1. Simpulan............................................................................... 65
4.2. Saran ..................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
dilakukan sendiri oleh penderita, sedangkan APD dilakukan dengan mesin
khusus di rumah sakit (Situmorang, 2004). Dengan demikian, penggunaan
metode CAPD dapat dijadikan pilihan selain hemodialisis dan transpalansi
ginjal. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi
penderita, sebab mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa
banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan (Erlan, 2007).
Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subyektif dan obyektif. Dari
segi subyektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu secara
umum, sedangkan secara obyektif adalah pemenuhan tuntutan kesejahteraan
materi, status sosial, dan kesempurnaan fisik secara sosial atau budaya
(Trisnowati, 2002).
Menurut Kunmartini (2008), pasien penyakit ginjal kronik (PGK)
seringkali dihadapi dengan berbagai komplikasi yang mengikuti penyakit
yang dideritanya yang berakibat semakin menurunnya kualitas hidup orang
tersebut. Menurut Cella (1994), penilaian kualitas hidup penderita gagal
ginjal dapat dilihat pada aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, fungsi
sosial, role function dan perasaan sejahtera.
Pada masa yang akan datang, semua jenis pelayanan kesehatan,
pemantauan terhadap efikasi pengobatan harus mempertimbangkan kualitas
hidup penderita disamping status klinis dan status ekonominya (Ganz, 1994).
Jumlah pasien yang tetap hidup dengan terapi dialisis di Amerika
Serikat terus meningkat dari tahun ke tahun. Di negara ini mortalitas pasien
dengan dialisis mendekati 18% per tahun. Kematian ini disebabkan karena
masalah penyakit kardiovaskuler dan infeksi1. Lima puluh persen populasi
dialisis di dunia menggunakan cara peritoneal dialisis. Peritoneal dialisis
digunakan hampir 12% pada populasi dialisis di Amerika Serikat. Di negara-
negara berkembang populasi pasien dengan peritoneal dialisis ini cenderung
naik. Angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan hemodialisis
dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama. Perkecualian
pada pasien diabetik usia tua yang mendapatkan terapi CAPD dimana mereka
mempunyai resiko relatif kematian 1,26 kali dibandingkan mereka yang
2
diterapi dengan hemodialisis. Faktor-faktor komorbid yang tidak diukur
mungkin dapat menjelaskan terjadinya perbedaan ini atau mungkin juga
karena adanya bias yang tidak terdiskripsi.
Karena angka ketahanan hidup pada pasien yang menggunakan
hemodialisis dibandingkan dengan peritoneal dialisis adalah hampir sama,
dan adanya beberapa kelebihan peritoneal dialisis anatara lain lebih fleksibel,
lebih efektif dalam segi biaya dan tehnik yang lebih sederhana, maka
penggunaan CAPD di Indonesia cenderung lebih disukai. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian secara deskriptif mengenai
CAPD.
3
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi pembaca dan penulis dan untuk mengaplikasikan
ilmu yang diperoleh selama pendidikan. Merupakan latihan dalam
penulisan karya ilmiah dan upaya untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
1.4.2. Bagi Pendidikan
Sebagai kerangka acuan dalam pembuatan makalah tentang Gagal
Ginjal Kronik dan CAPD dan menambah pengetahuan dan informasi
tentang Gagal Ginjal Kronik dan CAPD.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik
2.1.2. Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi
dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan
LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari
populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada
tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun
dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.
6
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya
tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi
dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh
molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi
sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth
Factor ß (TGF-ß). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG
masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
7
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah
terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain
Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan
8
sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari
ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi
eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu.
Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua
bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme
protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi
ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal
jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed
red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu
diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang
mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal.
Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin
turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini
menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi
ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi
ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan
yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens
menurun sampai kurang dari 30 –35 ml/menit. Anemia pada gagal
ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor
lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal
ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang
nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis
anemia pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium.
1. Hemolisis.
9
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang.
Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur
menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah
normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah
normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu
hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan
gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki
waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada
uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa
phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme
yang menyebabkan terjadinya hemolisis.
Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu
mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses
hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan
dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder
hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah
yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal
terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan
kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel
darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung
penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah
banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua,
efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon
sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan
penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah
dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan
10
rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal
adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat
pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan
penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3-
diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat
kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan
kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses
rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang
hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang
tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak
mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin,
pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik.
Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan
biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit.
Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang
distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang,
penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel
darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal
ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang ,
yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada
darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih.
Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan
karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau
mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa,
SLE, dan hipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal
ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak
menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi
11
proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang
paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi
eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang
progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran
penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal
ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik
bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien
anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit
ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin
yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel
darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi,
dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada
gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang
timbul akibat efek imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan
respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap
sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien
uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses
ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien
dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht
biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur
dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan
kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis
ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada
gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan
pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan
12
trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan
trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah
disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi
yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal
kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena
hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika
dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada
eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada
pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara
kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun
efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum
dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup
eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara
hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.
4. Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien
dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah
intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi
dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang
mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia
mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal
pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien
tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat
bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium
pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan
ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme
besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara
13
prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.
14
kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro
intestinal.
c. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam
sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-
ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt
dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal
yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau
natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons
terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber
endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan
terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar
utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan
perhatian yang seksama terhadap status volume.
2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal
kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan
tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau
normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral
yang abnormal yaitu :
a. Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik
15
kalsiferol).
d. Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan
sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat
hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya,
menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung
dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi
langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan
kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan
kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan
16
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
17
4. Kelainan hematologi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80 –90 % pasien penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-
hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat
terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium,
dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia
yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa
kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan
penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output,
pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung
kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan
siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi.
Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap
anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g % atau
hematokrit ≤ besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat
besi total/total iron bindingcapacity, feritin serum), mencari
sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.
b. Gangguan pembekuan.
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time,
penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet
agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala
kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari
luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro
intestinal,dll.
18
5. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan
komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada
penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti
gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan
tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi
atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis,
mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma.
Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari
saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian
distal lebih dari bagian proximal.
6. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor
,sensasi pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi
mukosa pada saluran pencernaan yang dapat menyababkan nyeri
perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insiden
terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal
polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
7. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme
glukosa dan pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen,
sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadi hamil
menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis
dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia,
displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma.
8. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit
akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gannguan
pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium-fosfat dan
hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat
deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat
19
kadar urea itu sendiri.
20
c. Kulit berwarna pucat akibat uremia dan kekuning-kuningan
akibat timbunan urokrom.
d. Bekas – bekas garukan karena gatal.
4. Kelainan kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam / peningkatan
aktivitas system rennin angiotensin – aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis dini
akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, akibatkan
penimbunan cairan dan hipertensi
d. Edema akibat penimbunan cairan
5. Kelainan neurologi
a. Retless leg syndrome. Penderita merasa gatal ditungkai bawah
dan selalu menggerakkan kakinya.
b. Burning feet syndrome. Rasa kesemutan seperti terbakar
terutama di telapak kaki.
c. Ensefalopati metabolic
1) Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi
2) Tremor, asteriksis, miokionus
3) Kejang-kejang
4) Miopat
5) Kelemahan dan hipotropi otot – otot ekstremitas proksimal
6. Disfungsi endokrin. Gangguan seksual, gangguan toleransi
glukosa, gangguan metabolic lemak dan gangguan metabolism
vitamin D
7. Kelainan respiratori. Infeksi paru, efusi pleura, tachypnea, edema
pulmonal, kusmaul respirasi
8. Kelaianan Urinaria. Poliuria, nocturia, oliguria, anuria, proteinuria,
hematonuria.
21
9. Kelainan Muskuloskletal. Nyeri tulang, fraktur patogik,
osteodistropi ginjal, kelemahan otot dan kram.
22
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease (CKD)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien CKD untuk
mengetahui penyebab dan daerah yang terkena menurut Doenges
(1999), Suzanne C. Smeltzer (2001) adalah sebagai berikut :
1. Urine
Volume kurang dari 40 ml / 24 jam ( oliguria ), warna
keruh, berat jenis kurang dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun kurang 10 ml / menit,
natrium lebih dari 40 mEq/L, proteinuria.
2. Darah
BUN/kreatinin meningkat lebih dari 10 mg/dl, Ht
menurun, Hb kurang dari 7 – 8 gr/dl, SDM waktu hidup
menurun, AGD (pH menurun dan terjadi asidosis metabolic
(kurang dari 7.2), natrium serum rendah, kalium meningkat 6,5
mEq atau lebih besar, magnesium/fosfat meningkat, kalsium
menurun, protein khususnya albumin menurun.
3. Osmolalitas serum
Lebih besar dari 285 nOsm/kg, sering sama dengan urine.
4. KUB Foto
Menunjukkan ukuran finjal/ureter/kandung kemih dan
adanya obstruksi (batu).
5. Elektrokardiografi (ECG)
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri,
tanda – tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit
(hiperkalemia dan hipokalsemia).
6. Ultrasonografi (USG)
Menilai bentuk dan besar ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan paremkim ginjal, ureter proximal, kandung kemih serta
prostat. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya faktor
yang reversibel, juga menilai apakah proses sudah lanjut.
23
7. Foto polos abdomen
Sebaiknya tampa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal dan
apakah ada batu atau obstruksi lain.
8. Pielografi Intravena (PIV)
Pada PIV, untuk CKD tak bermanfaat lagi olah karena
ginjal tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini sudah jarang
dilakukan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda – tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan
efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang
Mencari osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan
klasifikasi metastatik.
2.1.9. Penatalaksanaan
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien
yang mengalami CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri
dari penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan
dan penatalaksanaan diet.Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.
1. Penatalaksanaan medis
a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 samapai 600 ml untuk
24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24
jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air yang masuk
harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.
24
b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah
protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang
diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida
mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya
harus diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif
dan control volume intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa
gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian
suplemen makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan
untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini
memerlukan gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis
yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan
yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh
medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah
kalium kadang – kadang kayexelate sesuai kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen
(eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara
intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokkan ginjal yang sehat ke pembuluh
darah pasien CRF maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal
yang baru. Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa
persaratan, dan persyaratan yang utama adalah bahwa ginjal
tersebut diambil dari orang/mayat yang ditinjau dari segi
imunologik sama dengan pasien. Pemilihan dari segi
imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA .
25
i. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir
dibatasi selaput semi permiabel dengan suatu cairan (cairan
dialisis) yang dibuat sedemikiam rupa sehingga komposisi
elektrolitnya sama dengan darah normal. Dengan demikian
diharapkan bahwa zat-zat yang tidak diinginkan dari dalam
darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau perlu air juga
dapat ditarik kecairan dialisis. Tindakan dialisis ada dua
macam yaitu hemodialisis dan peritoneal dialysis (CAPD)
yang merupakan tindakan pengganti fungsi faal ginjal
sementara yaitu faal pengeluaran/sekresi, sedangkan fungsi
endokrinnya tidak ditanggulangi.
2.1.10. Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2
selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran
patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk
abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran
radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum
dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal
terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi
prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral,
penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur
urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid
obesity.
2.1.11. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis
jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.
Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk
mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya
26
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.
27
e. Hemodialisa adalah pelayanan kesehatan bagi orang yang
mengalami gangguan fungsi ginjal. Seperti yang kita ketahui,
fungsi utama ginjal adalah menyaring dan membersihkan darah
dari sisa hasil metabolisme tubuh untuk nanti dikeluarkan
bersama urine. Selain itu, ginjal juga berperan besar dalam
mengatur keseimbangan elektrolit dalam cairan tubuh. Sehingga
jika fungsi ginjal terganggu, sisa hasil metabolisme yang berubah
menjadi racun ditambah dengan adanya ketidakseimbangan
elektrolit di dalam darah dapat mengganggu keseimbangan tubuh
dan dapat membahayakan hidup penderita. Ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan ginjal seseorang mengalami disfungsi,
antara lain akibat dari komplikasi dengan penyakit lain seperti
diabetes dan hipertensi, atau bisa juga disebabkan karena hal lain
seperti batu ginjal, kista ginjal atau akibat penyalahgunaan obat-
obatan.
28
b. Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan
terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan
dialisat.
c. Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena tenaga
kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan dialisat.
29
2.2.6. Komplikasi Pada Hemodialisa
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada
saat dilakukan terapi adalah :
a. Hipotensi
b. Kram otot
c. Mual atau muntah
d. Sakit kepala
e. Sakit dada
f. Gatal-gatal
g. Demam dan menggigil
h. Kejang
30
Karena masih tergolong teknologi baru, biaya CAPD masih
tergolong mahal. Umumnya, biaya yang dikeluarkan peserta terapi
CAPD saat ini masih sebesar Rp 4,2-Rp 5 juta setiap bulannya.
Namun, biaya sebesar itu menjadi tak berarti, jika melihat kondisi
tubuh penderita yang bugar dan tetap produktif seperti sebelum
terkena gagal ginjal.
Karena pasien tetap bisa bekerja dan melakukan segala
aktivitas seperti biasa, layaknya orang sehat. Bedanya, peserta CAPD
punya kantong kecil di perutnya untuk pergantian cairan dialisat itu.
Pada harian Kompas dikatakan bahwa terdapat pengalaman
”Karyono (45), karyawan swasta yang telah menjalani terapi CAPD
selama tiga tahun ini agaknya bisa jadi pelajaran. Karyono mengaku,
kualitas hidupnya makin membaik setelah ikut terapi CAPD. Selain
itu, ia bisa kembali bekerja dan sama produktifnya seperti sebelum
sakit.
31
Karena itu, penderita gagal ginjal lebih banyak melakukan
terapi dialisa atau cuci darah. Metode dialisis pada intinya adalah
melakukan fungsi utama ginjal, yakni membersihkan darah dari zat-
zat yang tidak berguna pada tubuh dan menjaga kestabilan kandungan
darah di dalam tubuh.
Pembersihan ini dilakukan dengan dua cara, haemodialisis
(HD) dan peritonialdialisis (PD). Pada HD, darah yang akan
dibersihkan dikeluarkan dari tubuh dan dimasukkan ke ginjal buatan
(dializer). Darah dibersihkan dengan menggunakan cairan pembersih
(dialisat) dalam serat-serat dializer itu. Setelah bersih, darah baru
dimasukkan kembali ke dalam tubuh.
Sedangkan pada metode PD, darah tidak dikeluarkan dari
dalam tubuh. Proses pembersihan dilakukan di dalam rongga perut
(peritoneum), dengan memasukkan cairan dialisat ke dalam rongga
itu. Cairan ini dibiarkan selama empat hingga enam jam hingga
akhirnya dikeluarkan kembali.
Saat ini sudah berkembang metoda PD dengan berbagai
cara seperti CAPD atau APD. Keunggulan utama CAPD adalah
kemudahannya, sehingga terapi dengan metode itu pun lebih alami.
Proses yang berlangsung terus-menerus selama 24 jam setiap harinya
itu, menjadikan hampir sama dengan proses yang berlangsung di
dalam ginjal. Sementara itu, jika melakukan cuci darah biasa secara
HD, keseluruhan proses dilakukan selama lima jam, yang berarti
cairan tubuh dipaksa diperas untuk dicuci mesin. Akibatnya beban
jantung menjadi bertambah dan menyebabkan gangguan tekanan
darah.
2.3.3. Alamiah
CAPD belum banyak digunakan, padahal terapi itu
memiliki kelebihan, yakni tidak mengganggu jantung, kontaminasi
dengan hepatitis lebih kecil. Fungsi ginjal yang tersisa masih dapat
32
dipertahankan, dan proses dialisis pun bekerja selama 24 jam sesuai
dengan kerja ginjal secara alamiah.
"Pasien juga tidak perlu datang ke rumah sakit untuk
melakukan cuci darah, tetapi melakukan cuci darah secara mandiri
dengan jadwal yang dapat ia buat sendiri," katanya.
Keuntungan CAPD adalah lebih memudahkan pengendalian
kimia darah dan tekanan darah. Cairan dialisat dapat dijadikan sebagai
sumber nutrisi dan bagi penderita diabetes dapat diberikan insulin
secara intraperitorial. Sedangkan, kekurangan CAPD adalah sering
kali menimbulkan infeksi pada rongga perut. Selain itu juga
meningkatkan kadar lemak dan mengakibatkan kegemukan (obesitas),
serta dapat menimbulkan hernia, serta sakit pinggang. Kunci utama
dari terapi CAPD adalah menjaga kebersihan lubang yang
menghubungkan ginjal dalam perut dengan dunia luar, yaitu kantong
cairan dialisat. Bila terjadi infeksi di lubang tersebut, maka biayanya
sangat mahal. Karena itu, selalu diingatkan pada pasien untuk
menjaga kebersihan.
Tentang jumlah pasien CAPD di seluruh Indonesia , dr
Tunggul dari FKUI mengaku tidak tahu pasti. Namun, pasien CAPD
di RS PGI Cikini sudah ratusan orang. Sementara di dunia, ada
diperkirakan 120.000 penderita gagal ginjal menggunakan terapi
CAPD.
Ditanya faktor penyebab utama terjadinya gagal ginjal, dr
Tunggul mengatakan, penyebab utama adalah hipertensi (darah tinggi)
dan diabetes atau kencing manis. Gangguan fungsi ginjal bisa terjadi
perlahan-lahan atau mendadak, bahkan tidak disadari oleh penderita
karena tubuh tidak menunjukkan gejala seperti orang sakit. Namun,
tiba-tiba dokter mendiagnosa Anda terkena gagal ginjal.
Jika seseorang memperhatikan gejala yang umum menyertai
penderita gagal ginjal, kata dr Tunggul, penyakit tersebut bisa
diminimalisir sedini mungkin. Adapun beberapa tanda fisik yang
33
harus diwaspadai seperti tubuh bengkak yang diawali dari kedua kaki,
kulit terlihat kasar. Penderitanya mengalami gangguan pengecapan,
mual, muntah, tidak nafsu makan, lesu, gangguan tidur dan juga sering
gatal. Tanda lainnya, sering kram, vena di leher melebar dan ada
cairan di selaput jantung dan paru.
Bila mendapati satu saja dari gejala itu, sudah waktunya
untuk waspada. Untuk itu, segera ke rumah sakit untuk chek-up untuk
membuktikan kebenarannya. Kalau kita lihat hasil laboratorium,
penderita gagal ginjal ini punya peningkatan asam urat, kalsium,
fosfor dan kalium. Hati-hati jika kaliumnya meningkat, karena
memperbesar risiko penyakit jantung.
34
Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam
rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan
peritoneum sebagai membran semipermeabel yang berfungsi sebagai
tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang
berisi racun ureum yang akan dibuang. Peritoneal dialysis ini secara
prinsip mirip dengan hemodialisis. Keduanya sama-sama tergantung
pada pergerakan pasif dari air dan solute melewati membrane
semipermeabel. Proses ini disebut sebagai difusi. Arah dari aliran
solute ini ditentukan oleh konsentrasi masing-masing sisi membrane,
sehingga solute bergerak dari sisi dengan konsentrasi tinggi ke sisi
yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman dulu peritoneal dialisis
dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus melakukan
pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya
sepanjang malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis
telah dikembangkan untuk membantu agar proses dialisis menjadi
lebih sederhana dan lebih mudah.
Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik
peritoneal dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis
(CAPD), dan langsung dapat diterima sebagai terapi alternative untuk
pasien dengan gagal ginjal.Continuous pada CAPD ini berarti bahwa
cairan dialisat selalu berhubungan dengan membrane peritoneum,
kecuali pada saat penggantian cairan dialisat.
35
Gambar 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
36
darah pada membran peritoneum dalam keadan basal adalah 60 –
100 ml/mnt.
37
d. Pasien dengan imunosupresi
38
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke
dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran
peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses
perpindahan ini disebut Difusi.
39
2. Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui
kateter. Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam
rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.
40
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4
atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam seminggu.
41
jam dan 12 jam kemudian. Alternatif lain dapat juga diberikan 1 gram
vancomycin intra vena 24 jam sebelum operasi. Anestesi diberikan
secara lokal dengan lidocain 2% subkutan tanpa epinefrin. Meskipun
anestesi lokal sudah cukup, namun perlu menghubungi dokter anestesi
untuk mencegah komplikasi.
Jarak 2 cm dari bawah umbilikus arah ke kanan atau ke kiri
dibuat insisi transverse paramedian 3 cm sampai ke rektus fascia
anterior. Kemudian rektus fascia anterior disayat secara transversal
untuk mendapatkan otot rektus. Setelah didapatkan rektus fascia
posterior dan menyayatnya akan didapatkan selaput peritoneum
dimana selaput peritoneum ini harus dijaga agar tidak terjadi robekan.
Kemudian ditempatkan 2 klem di atas rectus fascia posterior pada
daerah sayatan sehingga terbentuk lobang selebar diameter kateter.
Kateter dimasukkan secara kaudal ke arah pelvik minor untuk
memungkinkan terjadinya gravitasi pada waktu drain. Pergerakan
kateter selama dialisa sangat diharapkan karena posisi tersebut
mengoptimalkan pada waktu cairan masuk atau keluar. Cuff internal
ditempatkan di dalam setara dengan otot rektus. Dengan tehnik Purse
string peritoneum ditutup dengan pas menggunakan benang yang
dapat diserap di bawah cuff.
Untuk mengurangi insiden terjadinya infeksi dibuat tunnel
dengan menggunakan tunneller, dimana sebaiknya tunel ini berada di
dinding abdomen di bawah kulit. Selanjutnya kateter akan melalui
tunel dan keluar pada exit site dan mengarah ke bawah. Cuff eksternal
sebaiknya ditempatkan sedalam jaringan lemak di bawah fascia scarpa
minimal 2 cm di bawah exit site. Penempatan ini akan membantu
mencegah infeksi serta ekstrusi cuff eksternal. Setelah kateter keluar
pada exit site, luer lock adaptor dipasang dan dihubungkan dengan
ekstension line dan dicek fungsi kateter yaitu dengan mencoba
memasukkan sejumlah cairan dialisat untuk mengetahui posisi kateter
serta ada tidaknya kebocoran. Jika kateter telah terpasang dengan
42
tepat, pemasukan cairan tidak akan memberikan rasa sakit serta cairan
dapat keluar dengan lancar. Setelah letak kateter dianggap tepat, luka
operasi dijahit lapis demi lapis. Untuk meminimalkan pergerakan
kateter dari exit site sebaiknya difiksasi. Hal ini juga berguna untuk
mencegah ekstrusi cuff eksternalserta mempercepat proses
penyembuhan. Pemberian antibiotika pada exit site tidak diperlukan
karena dikhawatirkan akan terjadi resistensi. Perawatan luka operasi
yang tepat merupakan metode terbaik pencegahan infeksi.
Meskipun proses dialisa dapat segera dilakukan, namun lebih
baik menundanya untuk 1-3 hari dengan tujuan agar terjadi proses
penyembuhan luka operasi yang lebih baik. Jika dialisa mendesak
untuk dilakukan, dapat dikerjakan pada pasien dengan posisi
terlentang serta volume minimal (500 mL). Idealnya CAPD ditunda
sampai 10-14 hari setelah pemasangan kateter. Pada masa ini pasien
perlu dilakukan hemodialisa atau intermiten peritoneal dialisa.
Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD
43
2.3.12. Cairan Dialisat
Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu
dekstrose 1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25%
(hipertonik). Dekstrose 1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400
mL dan digunakan untuk pasien dehidrasi atau pasien dengan berat
badan turun. Dialisat ini mengandung 110 kalori. Dekstrose 2,3%
yang mengandung 180 kalori dapat menarik cairan sebanyak 400-600
mL dan umumnya digunakan pada pasien overload atau kelebihan
cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik cairan sebanyak
600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat
dengan konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.
Komposisi cairan dialisat terdiri dari natrium 132 meq/L,
kalium 0 meq/L, klorida 96 meq/L, kalsium 3,5 meq/L, magnesium
0,5 meq/L, laktat 40 meq/L dan pH berkisar 5,2. Sebelum digunakan
sebaiknya cairan dialisat dihangatkan terlebih dahulu secara
pemanasan kering misalnya dengan cara diletakkan di atas bantalan
atau selimut listrik atau dibungkus di dalam selimut dengan tujuan
agar mencapai suhu normal atau sama dengan suhu tubuh pasien.
44
Setelah tube terhubung ke kantong dialisat yang baru, kantong
tersebut harus diletakkan di atas abdomen pasien sehingga dialisat
yang baru dapat mengalir ke dalam rongga peritoneum pasien secara
gravitasi. Proses ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah semua
cairan dialisat masuk ke rongga peritoneum pasien melepaskan tube
dari kantong dialisat tersebut dan pasien bisa beraktifitas seperti biasa.
Keseluruhan proses penggantian cairan dialisat ini membutuhkan
waktu sekitar 20 sampai 30 menit.
Penggantian cairan dialisat ini pada umumnya berlangsung 4
kali sehari, yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan
sebelum waktu tidur. Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time
yaitu waktu saat cairan dialisat berada di abdomen, sebaiknya paling
sedikit 4 jam. Selama dialisat berada dalam abdomen, pasien selalu
dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan waste product
dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir
mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.
45
b. Osmosis
Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi
permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar
air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air
rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan
hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada
peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD
menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi
(hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari
kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi) Kandungan
glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan
melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu
diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute.
1) Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :
a) Kualitas membrane
b) Ukuran & karakteristik larutan
c) Volume dialisat
2) Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
a) Tekanan osmotic
b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan
plasma darah dalam pembuluh kapiler
Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam
peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat,
sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal.
Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding
lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
3) Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
a) Na (132 meq /lt)
b) Cl ( 102 meq /lt)
c) Mg (0,5 meq /lt)
d) K (0 meq /lt)
46
CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar
produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan
yang stabil. Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih
tersisa, volume dialisa setiap hari, dan kecepatan produk
limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium
ini pada CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan
dialysis peritoneal intermiten karena proses dialysis
berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap
berada dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang
berukuran sedang semakin baik.Diperkirakan molekul-molekul
ini merupakan toksik uremik yang signifikan.Dengan CAPD
kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul
rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses
dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat
dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan
dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa
1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga
memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan
toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien.
Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient
osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien
harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat
berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari.
Teknik ini berlangsung secara kontinyu selama 24 jam sehari,
dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan
47
pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari
(misalnya, pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore
dan 10.00 malam).Dan dapat tidur pada malam harinya. Setipa
pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu
retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran
terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan
dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran
dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau
lebih.
48
2.3.16. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
1. Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti
diketahui sebenarnya saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih
tersisa sedikit. Di samping untuk membersihkan kotoran, fungsi
ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah mengeluarkan
eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai
hormon seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis
peritoneal tidak mematikan fungsi-fungsi tersebut.
2. Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan
hemodialisis pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun
pada akhirnya, semua mempunyai usia juga, tetapi diketahui
bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal
menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih
tinggi.
3. Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya
untuk tenaga/fasilitas kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
sebagaimana HD
5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun
pertama
49
2.3.17. Kelemahan CAPD :
1. Resiko infeksi
Peritonitis
2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi.
3. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama
berlangsungnya proses dialisis peritoneal (Iqbal et al, 2005).
50
tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis
akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan
kateter permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis.
Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga
merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara
menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan
pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan peritonitis akan
kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar,
malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka
insisi atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang.
Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda
selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya
kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan
adalah aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan
pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan
memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml)
dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat
terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini
disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus
lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum
peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali
penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap
berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran
kateter dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani
pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun intervensi
51
yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan
lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah
4. Komplikasi lainnya adalah
a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen
yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional,
inguinal, diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen
yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala
hernia hiatus dan hemoroid.
b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat
mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap
merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien
ini.
c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam
rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada
indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
52
dan kadar elektrolit serum harus dicatat. pengosongan kandung
kemih dan usus diperlukan untuk memperkecil resiko tertusuknys
organ-organ internal. perawat juga harus mengkaji rasa cenas
klien dan memberikan dukngan serta petunjuk mengenai prosedur
yang akan dilaksanakan. Kateter untuk dialysis peritoneal harus
dipasang di kamar operasi, sehingga hal ini harus dijelaskan
kepada klien dan keluarganya.
2. Persiapan Peralatan untuk Dialysis Peritoneal
Disamping merakit peralatan untk dialysis peritoneal,
perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan
konsentrasi larutan dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan
yang akan ditambahkan pada dialisat tersebut. Heparin dapat
ditambahkan untk mencegah pembentukan bekuan fibrin yang
dapat menyembut kateter peritoneal.Kalium klorida dapat
diresepakn untk mencegah hipokalemia.antibiotic dapat diberikan
untk mengobati peritonitis.
sebelum menambahkan obat-obatan ini, larutan dialisat
dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah
gangguan rasa nyaman nyeri dan nyeri abdomen, selain itu
tindakan-tindakan ini dapat menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh darah peritoneum sehingga meningkatkan klierens
ureum. Larutan yang terlalu dingin menyebabkan nyeri dan
vasokonstriksi dan menurunkan klirens.larutan yang terlalu panas
dapat membakar peritoneum. peralatan yang digunakan untuk
menghangatkan larutan dialisat harus dipantau dengan cermat
untuk menjamin suhu yang diinginkan.
Sesaat sebelum dialysis dimulai, peralatan dan selang
untuk dialysis dirakit.selang tersebut diisi dengan larutan dialisat
yang sudah dipersiapkan untuk mengurangi jumlah udara yang
masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal, yang dapat
menyebabkan gangguan rasa nyaman pada abdomen dan
53
mengganggu penetesan serta pengaliran keluar cairan dialisat
tersebut.
3. Pemasangan Kateter untuk Dialysis Peritoneal
Idealnya, kateter peritoneal dipasang dalam kamar operasi
untuk mempertahankan teknik aseptic dan memperkecil
kemungkinan kontaminasi.sebuah kateter stylet dapat digunakan
jika diperkirakan dialisi peritoneal akan dilakukan dalam waktu
singkat. Sebelum prosedur ini dilakukan, kulit abdomen
dibersihkan dengan larutan aseptic lokal untuk mengurangi
jumlah bakteri pada kulit dan untuk mengurangi resiko
kontaminasi seta infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Dokter
melakukan penyuntikan infiltrasi anestesi local ke dalam kulit dan
jaringan subkutan pasien sebelum prosedur pemasangan keteter
dilakukan.Insisi kecil atau sebuah tusukan dilakukan pada
abdomen bagian bawah, 3 hingga 5 cm dibawah umbilicus, di
daerah ini relative tidak mengandung banyak pembuluh darah
besar sehingga perdarahan yang terjadi tidak begitu besar. Sebuah
trokar (sebuah alat yang berujung tajam) digunakan untk menusuk
peritoneum sementara pasien mengencangkan otot abdomennya
dengan cara menganggkat kepalanya. Keteter dimasukkan melalui
trokar dan kemudian diatur posisisnya.caiaran yang sudah
disiapkan diinfuskan ke dalam cavum peritoneal dengan
mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari
organ-organ abdomen) menjauhi kateter. sebuah jahitan dapat
dibuat untuk mempertahankan kateter pada tempatnya
54
b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium.
Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.
55
BAB 3
PEMBAHASAN JURNAL
56
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Perakis
memaparkan jumlah pasien CAPD di Yunani tahun 1990-2007 sebagian
besar (57,90%) adalah laki-laki. Penelitian lain yang dilakukan oleh Chan
tentang profil kesehatan pasien gagal ginjal terminal yang menjalani
peritoneal dialysis di hongkong menunjukkan juga jumlah responden laki-
laki lebih banyak yaitu sebanyak 83 orang. Sedangkan penelitian yang di
lakukan di rumah sakit denpasar menunjukkan bahwa responden laki-laki
(52%) lebih banyak dibandingkan responden perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan rentang usia responden pada
penelitian ini adalah 18-64 tahun, meningkatnya usia seseorang memberikan
dampak pada penurunan fungsi –fungsi tubuh sehingga semakin rentan
terhadap penyakit. Umur pasien yang semakin meningkat juga berkaitan
dengan prognosis suatu penyakit dan harapan hidup. Pada penderita yang
berusia di atas 55 tahun lebih mudah untuk terjadinya suatu komplikasi yang
dapat memperberat fungsi ginjal untuk bekerja dibandingkan dengan
penderita yang usianya di bawah 40 tahun. Dalam penelitian ini didapatkan
responden dengan rentang usia 18-44 tahun berjumlah 24 responden
(51,08%) dan responden dengan rentang usia 45-65 tahun berjumlah 23
responden (48,93%).
Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di unit
hemodialisa RSPAD Gatot Soebroto yang menyatakan bahwa responden
yang menderita gagal ginjal kronik banyak pada kelompok usia produktif
yaitu berjumlah (71,7%). Kecenderungan bertambahnya penderita gagal
ginjal kronik dan bergesernya usia responden 10 tahun lebih muda dari 30-
40 tahun terjadi dikarenakan gagalnya pencegahan primer seperti
menghindari faktor resiko, sehingga hal ini dapat menyebabkan timbulnya
penyakit-penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi, dan salah satunya
pencegahan primer yang dilakukan adalah dengan menghindari kebiasaan
merokok karena kebiasaan merokok tersebut dapat memperbesar resiko
terjadinya penyakit yang berhubungan dengan terjadinya penyempitan pada
pembuluh darah, termasuk pembuluh darah di ginjal, serta angka kejadian
57
penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi juga meningkat
kejadiannya pada usia reproduktif. Hal itulah yang menjadi alasan
banyaknya pasien usia produktif yang mengidap penyakit ginjal kronik atau
gagal ginjal kronik.
Berdasarkan data yang diperoleh , responden penelitian terbanyak
berasal dari suku melayu (31,91%) kemudian diikuti oleh suku batak
(23,40%), suku jawa (21,27%), suku minang dan suku tionghoa (10,63%)
serta suku aceh (2,12%). Pada dasarnya hal ini lebih dikarenakan kondisi
demografi penduduk di provinsi Riau. RSUD Arifin ahmad merupakan
rumah sakit rujukan yang menerima pasien dari rumah sakit pemerintah
lainnya dari daerah maupun kabupaten se-Provinsi Riau. Populasi suku
terbanyak di provinsi Riau ini adalah suku melayu.
Latar belakang budaya dan suku seseorang mengajarkan bagaimana
cara sehat, cara mengenali sakit, dan cara merawat orang sakit dan efek
penyakit dan interprestasinya berbeda menurut kultur masing-masing suku.
Perbedaan suku dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil sebuah
keputusan tentang penggunaan layanan kesehatan. Pada dasarnya penyakit
yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor
lingkungan. Misalnya cara merawat orang sakit, cara menjaga kesehatan dan
pemilihan makanan pada orang yang sakit.
Dalam penelitian ini diperoleh responden terbanyak memiliki status
pendidikan terakhir sebagai lulusan D1/D2/D3/S1 (53,19%) dan paling
sedikit merupakan lulusan SD (6,38%) . Hal ini sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Batubara yang menunjukkan jumlah respondennya
mayoritas adalah pendidikan terakhirnya perguruan tinggi. Status
pendidikan terakhir berperan penting dalam menentukan status kesehatan
dan kualitas hidup seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan pengobatan akan
masalah kesehatanya yang dihadapinya juga akan semakin tinggi dan
semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka individu tersebut akan
cenderung untuk lebih berpikir positif. Status pendidikan terakhir juga
58
berpengaruh terhadap sumberdaya ekonomi dan sosial yang dicapai,
sehingga muncul paradigma bahwa tingkat pendidikan yang rendah
mengakibat suatu individu memiliki pengetahuan yang rendah terhadap
kesehatan dirinya dan dapat jatuh pada keadaan streesfull, sehingga hal ini
dapat menyebabkan meningkatnya resiko penyakit ginjal kronik.
Data dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden
telah menikah (93,61%). Besar atau tidaknya dukungan yang diterima oleh
seorang responden yang sudah menikah sangat menentukan perjalanan
penyakit dari gagal ginjal kronik. Dukungan yang diberikan pada pasangan
dapat berupa motivasi, penghargaan, perhatian, dan pemberian solusi
terhadap masalah yang dihadapi oleh pasangannya. Didapatkannya
dukungan yang lebih dari pasangan akan dapat mempengaruhi emosional
dari pasien gagal ginjal kronik dan dapat menimbulkan perbaikan pada
perjalanan penyakitnya.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien yang telah
memakai CAPD dalam kurun waktu <1 tahun sebanyak 19,14%, pasien
yang memakai CAPD dalam kurun waktu 1-5 tahun sebanyak 72,34% dan
pasien yang memakai CAPD >5 tahun sebanyak 8,51%. Responden dengan
jangka waktu memakai CAPD terpendek adalah 1 bulan dan terlama adalah
80 bulan. Komplikasi yang terjadi pada responden yaitu hipoalbumin,
infeksi exit site/tunnel, peritonitis dan kebocoran cairan dialisat terjadi pada
maupun pada responden yang lebih dari 5 tahun menjalani CAPD,
responden jarang kontrol ke tenaga medis dan banyak responden telah lupa
melakukan prosedur standar dalam perawatan CAPD. Penelitian yang
dilakukan oleh Noph yang mengamati pasien yang menjalani terapi CAPD
pada 3 tahun pertama ditemukan terjadinya infeksi exit site, catheter
replacement dan peritonitis. Menurut penelitian Pollock juga menemukan
terjadinya peritonitis pada 2-3 tahun pertama pemakaian CAPD di Australia,
sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Szeto et all menyatakan
bahwa rata-rata lama responden menjalani terapi CAPD adalah 63,7 bulan
dan terdapat 23% yang mengalami peritonitis.
59
Hasil penelitian didapatkan mayoritas responden bekerja sebagai
IRT, pensiunan dan tidak bekerja (36,17%), sedangkan yang bekerja sebagai
wiraswasta berjumlah (34,08%) dan yang bekerja sebagai pegawai negeri
sipil berjumlah (29,78%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asri
dkk menyatakan bahwa 2/3 pasien yang menjalani terapi dialisis tidak
pernah dapat kembali pada aktivitas atau pekerjaan semula sehingga pasien
dapat kehilangan pekerjaannya. Rendahnya aktivitas seseorang dapat
berpengaruh terhadap perburukan kesehatan baik dari segi fisik maupun
psikis individu, sehingga dapat mengakibatkan seseorang sakit.
60
dilakukan oleh Nofitri menemukan adanya hubungan usia dalam aspek-
aspek kehidupan individu dalam meningkatkan kualitas hidup. Saat
memasuki usia tua kualitas hidup seseorang menjadi lebih baik karena
individu tersebut telah melewati masa-masa dalam perubahan hidupnya dan
individu yang berusia tua lebih memiliki kemampuan untuk mengarahkan
dan mengevaluasi dirinya kearah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa kelompok usia 45-64 tahun sebanyak 82,60%
memiliki kualitas hidup dalam kategori baik.
Berikutnya pendidikan merupakan Pasien yang memiliki status
pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang luas
sehingga memungkinkan pasien tersebut dapat mengontrol dirinya terhadap
masalah yang sedang dihadapinya, mempunyai perkiraan yang tepat dalam
mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh
petugas kesehatan, mempunyai pengalaman serta percaya diri yang tinggi
serta pasien tersebut dapat mengurangi kecemasan yang dirasakannya
sehingga individu tersebut dapat mengambil keputusan yang tepat.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Notoadmojo yang
menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hal penting untuk melakukan
suatu tindakan, prilaku yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih baik
hasilnya dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Berikutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nofitri menyatakan
bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat
pendidikan yang didapatkan oleh individu dan ditemukannya adanya
pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup secara subjektif.
Pada prosedur CAPD, pasien yang menjalani terapi CAPD
sebelumnya akan mendapatkan pelatihan tentang CAPD, perawatan serta
penggantian cairan CAPD dirumah oleh perawat bersertifikat CAPD.
Keberhasilan dalam pelatihan ini akan tergantung dari kemampuan pasien
dalam menyerap informasi yang diberikan perawat selama pelatihan
tersebut berlangsung.
Dari uraian di atas maka ditarik kesimpulan bahwa, status
61
pendidikan terakhir pasien gagal ginjal kronik yang terbanyak adalah
D1/D2/D3/S1 dengan kualitas hidup dalam kategori baik sebanyak 80%
sedangkan yang termasuk dalam kategori buruk berjumlah 20%, hal ini bisa
juga terjadi disebabkan karena kurangnya informasi tentang pelayanan
kesehatan yang didapatkan atau pendidikan pasien mungkin cukup tinggi
tetapi sikap dan tindakan responden terhadap kesehatan kurang atau dalam
arti lain responden kurang memanfaatkan pendidikannya untuk mencari
informasi tentang kesehatan. Serta walaupun seseorang memiliki pendidikan
tinggi tetapi pengalaman atau pengetahuan seseorang tersebut dalam
menjaga kesehatannya masih kurang.
Berikutnya status pernikahan, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Moons et all menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup
antara individu yang tidak menikah, individu yag bercerai dan janda, serta
individu yang menikah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Myers
menyatakan bahwa disaat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang
lain terpenuhi, baik hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun
hubungan pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih
baik secara fisik maupun emosional. Zapt et all juga menyatakan bahwa
status pernikahan merupakan salah satu prediktor terbaik dari kualitas hidup
secara keseluruhan.
Dari data penelitian juga didapatkan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang menikah dalam kategori baik sebanyak 75% dan kualitas
hidup dalam kategori buruk pada responden yang menikah sebanyak 25%.
Hal dapat terjadi di karenakan pada masa sekarang ini baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah menikah pada usia produktif lebih mementingkan
karir/pekerjaan serta aktivitas sosial sehingga perhatian terhadap suami atau
istri berkurang, akibatnya dukungan yang diberikan juga berkurang. Salah
satu efek yang dirasakan oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi dialysis adalah penurunan libido akibat penurunan hormon
reproduksi, sehingga hubungan suami istri akan terganggu dan berdampak
juga pada keharmonisan rumah tangga, berkurangnya semangat dan
62
motivasi dari pasangan sehingga menimbulkan masalah emosional yang
berdampak terhadap kesehatan responden.
Pekerjaan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahl
mengemukakan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup,
baik pada laki-laki ataupun perempuan. Serta Moons menyatakan bahwa
terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai
pelajar, bekerja,tidak bekerja, dan tidak mampu bekerja. Berdasarkan uraian
tersebut maka apapun pekerjaan responden akan berhubungan dengan
kualitas hidupnya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kualitas hidup
dalam kategori baik banyak terdapat pada responden yang bekerja sebagai
wiraswasta (31,91%) dan responden yang kualitas hidupnya dalam kategori
buruk banyak terdapat pada IRT/pensiunan/tidak bekerja (14,89%).
Perbedaan kualitas hidup pada pekerjaan terjadi karena perbedaan beban
kerja, lingkungan, dan seberapa puas responden menikmati aktivitasnya.
Serta lama terapi menjalani CAPD berperan dalam menentukan
kualitas hidup yaitu Semakin lama pasien telah menggunakan terapi CAPD
maka akan meningkat pengetahuan dan wawasan tentang CAPD yang. Hal
tersebut akan mempengaruhi kemampuan pasien dalam mencegah berbagai
komplikasi yang dapat terjadi dalam penggunaan CAPD dilakukan dan hal
ini akan meningkatkan kualitas hidupnya.
Disamping karakteristik pasien yang mempengaruhi kualitas hidup,
hal lain seperti keseriusan dari individu untuk menjaga kesehatannya akan
berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik individu dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang
terutama yang menderita penyakit ginjal kronik.
Angka kualitas hidup didapatkan cukup tinggi pada pasien gagal
ginjal kronik ini terjadi dikarenakan pasien merasa lebih nyaman
menggunakan CAPD sebab pasien dapat melakukan dialisis secara sendiri
di rumah atau di tempat kerja dengan jadwal yang fleksibel tanpa
ketergantungan terhadapat rumah sakit, serta pasien menjadi mandiri dan
dapat meningkatkan kepercayaan dirinya.
63
Kelebihan CAPD yang lainnya adalah pada dialisis ini pembuangan
cairan dan racun lebih stabil sehingga dapat mempertahankan keadaan klinis
yang baik, serta terapi ini dapat mempertahankan residualrenal function.
Dalam hal diet tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan oleh pasien
CAPD namun perlu ditekankan untuk menyeimbangkan antara intake dan
output keseimbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk
metabolic oleh dialysis. Untuk itu maka dianjurkan untuk diet tinggi protein
untuk mencegah terjadinya balans negative karena kehilangan protein. Hal
inilah yang menyebabkan angka kualitas hidup cukup tinggi pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi CAPD.
64
BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
CAPD (Continuius Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Merupakan metode pencucian darah dengan mengunakan
peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut).
Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh
darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum
ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang
menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan
selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara
perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Metode CAPD memiliki beberapa keunggulan antara lain:
a. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
b. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
1) Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
2) Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode
waktu tertentu (4-6 jam)
3) Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
c. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan
biss dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan
tidak perlu ke rumah sakit.. Namun, di samping keunggulannya, CAPD
juga memiliki beberapa kelemahan yaitu sering kali menimbulkan
infeksi pada rongga perut. Selain itu juga meningkatkan kadar lemak
dan mengakibatkan kegemukan (obesitas), serta dapat menimbulkan
hernia, serta sakit pinggang.
4.2. Saran
Perkembangan teknologi di era globalisasi ini kian menuntut
manusia untuk selalu berevolusi dan berinovasi, khususnya dibidang
65
teknologi kesehatan. Berbagai penemuan-penemuan terkait dengan terapi
pengobatan dan metode pengobatan terbaru pun telah ditemukan. Salah
satunya adalah metode dialysis tanpa mesin yaitu metode CAPD. Kita
sebagai mahasiswa perawat, sebagai bibit yang nantinya akan meneruskan
pembangunan di bidang kesehatan sudah sepatutnya untuk membekali diri
dengan segala dan setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini
penting karena dapat membantu mahasiswa nantinya dalam menjalankan
profesinya di bidang keperawatan. Dengan memiliki jiwa yang sensitive
akan perkembangan teknologi, maka ilmu pun akan selalu diperoleh guna
profesionalisme kerja yang juga nantinya akan bermanfaat dalam
memberikan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients
with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal
Dialysis 2005;21:85-9.
Ardaya. 2003. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana
Gagal ginjal Kronik. Palembang: Perhimpunan Nefrologi Indonesia
67