Anda di halaman 1dari 83

LAPORAN KASUS KELOMPOK 2

Asuhan Keperawatan Pada Ny. Y Dengan Post Operasi Coronary Aertery


Bypass Graft dan Mitral Valve Replacment
Di Ruang GICU B
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin Bandung

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok :


Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Dasar

Pembimbing :
Rika Winarni S.kep.,Ners

Disusun oleh :
Kelompok 2

PELATIHAN KEPERAWATAN KARDIOVASKULER TINGKAT DASAR


(PKKVTD ANGKATAN VIII)
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR HASAN SADIKIN BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT, berkat Rahmat dan Karunia-Nya Kami dapat
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Ny.Y Dengan Post Operasi Coronary Artery Bypass Graft dan Mitral Valve
Replecment”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok dalam
Pelatihan Keperawatan kardiovaskular Tingkat Dasar.

Makalah ini berisi tentang teori tentang Asuhan Keperawatan Pada


Pasien Post operasi Coronary Artery Bypass Graft dan Mitral Valve Replacment
yang meliputi teori coronary artery bypass graft dan mitral valve replacment,
serta asuhan keperawatan, dan penerapan nya di lapangan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak


dalam hal ini tak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
perbaikan di masa yang akan datang

Bandung, Desember 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan..............................................................................4
1.4.1 Manfaat teoritis.....................................................................4
1.4.2 Manfaat aplikatif..................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4
1.1. Konsep Teori......................................................................................5
2.1.1 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)..............................5
2.1.2 Mitral Valve Replacment......................................................9
2.1.3 Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)..................15
2.1.4 Konsep Dasar Pasca Bedah Jantung.....................................16
1.2. Konsep Asuhan Keperawatan.............................................................19
2.2.1 Pengkajian............................................................................19
2.2.2 Diagnosa keperawatan..........................................................21
2.2.3 Perencanaan Keperawatan....................................................22
2.2.4 Implementasi Keperawatan..................................................30
2.2.5 Evaluasi Keperawatan..........................................................30
BAB III TINJAUAN KASUS.............................................................................32
3.1 Pengkajian..........................................................................................32
3.2 Analisa Data.......................................................................................59
3.3 Diagnosa Keperawatan.......................................................................61
3.4 Perencanaan Keperawatan..................................................................62
3.5 Implementasi Keperawatan................................................................66

iii
3.6 Evaluasi Keperawatan........................................................................68
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................69
BAB V PENUTUP...............................................................................................74
5.1 Simpulan.............................................................................................74
5.2 Saran...................................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................76
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Munculnya gangguan kardiovaskular disebabkan karena kegagalan
dalam mempertahankan pola kehidupan yang baik dan sehat, seperti tidak
berolahraga secara teratur, banyak bekerja dalam posisi duduk yang lama serta
tidak dibarengi dengan pola makan yang baik (Pahlawi & Sativani, 2021).
Prayogi et al. (2019) menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab kematian nomor satu di negara maju dan berkembang
termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 36 juta kematian diakibatkan oleh
penyakit tidak menular (PTM) tiap tahun, diperoleh 9 juta dari total kematian
terjadi sebelum umur 60 tahun pada negara berkembang.
Penyebab utama kematian di benua Asia sendiri dinyatakan oleh
World Health Organization (WHO) dikutip dari Pratiwi & Saragi (2018)
disebabkan oleh penyakit jantung. Survei yang dilakukan oleh Riset
Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan prevalensi penyakit jantung
koroner berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia ialah
sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.
Mabruroh & Syarif (2020) menambahkan bahwa penyakit jantung
koroner (PJK) atau Coronary Artery Disease (CAD) saat ini menjadi masalah
kesehatan yang tinggi di masyarakat. Terdapat 18.2 juta (6.7%) orang dewasa
usia lebih dari 19 tahun memiliki riwayat PJK serta menyebabkan 365.914
kematian pada tahun 2017. American Heart Association (AHA)
menambahkan, di USA terdapat 15,5 juta orang dengan usia ≥20 tahun
menderita PJK.
Coronary Artery Disease (CAD) atau yang lebih populer dikenal
penyakit jantung koroner merupakan penyakit kardiovaskular penyebab
kematian terbesar dan insidensinya pada saat ini cenderung meningkat. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan taraf hidup dan berubahnya masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri maupun perubahan pola makanan (Awaludin et
al., 2018).

v
Dalam penelitian Pahlawi & Sativani (2021) WHO menyatakan bahwa
Cardio Vascular Disease (CVD) mengalami peningkatan secara radikal
dengan perkiraan 12 juta orang meninggal tiap tahunnya dan kebanyakan
berasal dari negara berkembang. Penyakit jantung koroner (PJK) dianggap
sebagai beban pertumbuhan CVD dan menjadi penyebab utama dilakukannya
operasi jantung di seluruh dunia. PJK memengaruhi arteri koroner yang
mensuplai darah beroksigen otot jantung karena menyebabkan timbulnya plak
aterosklerotik di dalam arteri koroner sehingga terjadilah stenosis arteri.
Stenosis dan penurunan suplai darah melalui salah satu segmen arteri ini
memiliki efek berbahaya pada otot jantung.
Salah satu penanganan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
keadaan arteri pada penyakit jantung koroner ini adalah dengan dilakukannya
Coronary Artery Bypass Graft (CABG). CABG adalah operasi mayor yang
digunakan untuk memperbaiki arteri yang tersumbat dan menyempit dengan
cara pembuluh darah kaki dicangkok di pembuluh darah jantung seperti
sephaenos vein sebagai pengganti arteri cooner sebelah kanan dan arteri
mamaria interna kiri (LIMA) sebagai pengganti arteri coroner sebelah kiri
yang disebut "graft" (Pahlawi & Sativani, 2021).
Selain ada masalah di sirkulasi coroner, ada juga pasien yang
bermasalah sirkulasi sistemik yaitu pada katup jantungnya. Suplai darah
dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat katup
yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar darah
tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup
trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup
pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan arteri pulmonal, katup mitral
yang terletak di antara atrium kiri dan ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di
antara ventrikel kiri dan aorta. Katup mitral memiliki 2 daun (leaflet), yaitu
leaflet anterior dan posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun (leaflet).
Salah satu masalah pada katup yaitu stenosis pada katup mitral. Mitral
stenosis adalah penyakit katup mitral yang dicirikan dengan adanya
penyempitan ukuran diameter katup mitral. Ditemukan pengurangan ukuran
katup mitral ( 2 cm ) yang menimbulkan gangguan aliran darah dari atrium ke

vi
ventrikel kiri. Penyempitan katup mitral menyebabkan katup tidak terbuka
dengan tepat dan menghambat aliran darah antara ruang-ruang jantung kiri.
Ketika katup mitral menyempit (stenosis), darah tidak dapat dengan efisien
melewati jantung. Kondisi ini menyebabkan seseorang menjadi lemah dan
nafas menjadi pendek serta gejala lainnya.
Menurut data dari The World Bank tahun 2015 dikutip dari Harahap et
al (2021) sebanyak 4.511.101 per 100.000 populasi dengan posisi tertinggi
yaitu benua Asia sebanyak 28.907 dari 100.000 populasi. Berdasarkan data
yang diperoleh dari WHO, tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di
seluruh rumah sakit di dunia, sedangkan pada tahun 2012 data mengalami
peningkatan sebesar 148 juta jiwa sedangkan untuk kawasan Asia pasien
operasi mencapai angka 77 juta jiwa pada tahun 2012.
Hasil observasi data di ruang GICU B RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung pasien yang menjalani operasi Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) dan MVR (Mitral Valve Replecment) sekitar 26 pasien dari total
tindakan 116 pasien selama 6 bulan dari April sampai dengan bulan Oktober
2023.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada
penulisan Makalah ini adalah bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan
pada pasien Post Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve
Replecment (MVR).
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya asuhan keperawatan pada pasien Coronary Artery
Disease (CAD) Post Coronary Artery Bypass Graft (CABG) di ruang GICU B
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2023.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya pengkajian keperawatan pada pasien Post Coronary Artery
Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR).
b. Diketahuinya diagnosis keperawatan pada pasien Post Coronary Artery
Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR).

vii
c. Diketahuinya intervensi keperawatan pada pasien Post Coronary Artery
Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR)
d. Diketahuinya implementasi keperawatan pada pasien Post Coronary
Artery Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR).
e. Diketahuinya evaluasi keperawatan pada pasien Post Coronary Artery
Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR).
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam praktik Pelatihan
keperawatan kardiovaskuler tingkat dasar sebagai proses pembelajaran dalam
melakukan praktik asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Post
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dan Mitral Valve Replecment (MVR).
1.4.2 Manfaat Aplikatif
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi
pemberian intervensi pada pasien Post Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Mitral Valve Replecment (MVR), serta berbagai tatanan pelayanan kesehatan
dan masyarakat.

viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep Teori


2.1.1 Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
2.1.1.1 Pengertian Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu
penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara
membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami
penyempitan atau penyumbatan. Terdapat beberapa indikasi untuk
dilakukan CABG antara lain asymptomatic/ mild angina dengan
ditemukannya sumbatan pada left main, triple vessel disease; stable
angina; unstable/ non-ST elevation MI; ST elevation MI; fungsi ventrikel
kiri yang buruk; aritmia ventrikel yang mengancam jiwa; Percutaneus
Coronary Intervention (PCI) gagal dan riwayat CABG sebelumnya.
Teknik ini dilakukan dengan menggunakan pembuluh darah dari
bagian tubuh lain untuk pintasan arteri yang menghalangi pesokan darah
ke jantung. Pembuluh darah yang sering duganakan adalah arteri mamaria
interna, arteri radialis, dan vena safena magna.
Sejak diperkenalkan hampir 50 tahun yang lalu, Coronary Artery
Bypass Graft (CABG) telah terbukti aman dan efektif dalam mengurangi
gejala angina dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup sebagian
besar pasien. Operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) tetap
menjadi faktor penting dalam pengobatan penyakit arteri koroner,
meskipun terdapat banyak kemajuan, seperti teknik invasif minimal,
perbaikan terapi obat, dan pendidikan modifikasi gaya hidup.

2.1.1.2 Tujuan Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Tujuan CABG adalah untuk revaskularisasi aliran darah koroner
akibat adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung (Muttaqin,
2014).Sedangkan menurut Smetzer dan Bare (2013) tujuan CABG adalah :
Meningkatkan sirkulasi darah ke arteri koroner, mencegah terjadinya

ix
iskemia yang luas, meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan
toleransi aktifitas.

2.1.1.3 Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Indikasi CABG menurut American Heart Association (AHA)
(Hilis, et al., 2012) adalah :
a. Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signifikan
b. Angina yang tidak dapat di kontrol dengan terapi medis
c. Angina yang tidak stabil
d. Iskemik yang mengancam dan tidak respon terhadap terapi non bedah
yang maksimal
e. Gagal pompa ventrikel yang progresif dengan stenosis koroner yang
mengancam daerah miokardium.
f. Sumbatan yang tidak dapat ditangani dengan PTCA dan trombolitik
g. Sumbatan /stenosis LAD dan LCx pada bagian proksimal > 70 %
h. Satu atau dua vessel disease tanpa stenosis LAD proksimal yang
signifikan.
i. Pasien dengan komplikasi kegagalan PTCA.
j. Pasien dengan sumbatan 3 pembuluh darah arteri (three vessel
disease) dengan angina stabil atau tidak stabil dan pada pasien dengan
2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil atau tidak stabil dan
pada pasien dengan 2 sumbatan pembuluh darah dengan angina stabil
atau tidak stabil dan lesi proksimal LAD yang berat.
k. Pasien dengan stenosis (penyempitan lumen > 70%) pada 3 arteri
yaitu arteri koronaria komunis sinistra, bagian proksimal dari arteri
desenden anterior sinistra.

2.1.1.4 Kontraindikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Adapun kontraindikasi pelaksanaan CABG ialah :
a. Faktor Usia yang sangat tua
b. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat
diabetes mellitus dan EF yang sangat rendah <15%

x
c. Sklerosis aorta yang sangat berat
d. Struktur arteri koroner yang berat
e. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin disambung

2.1.1.5 Manajemen Pasien Paska Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Manajemen perawatan pasien paska CABG (Rachel
Matthews,2008) dibagi menjadi 3 tahap yaitu :
1. Immediate Postoperative Care (Perawatan paska operasi segera)
2. Post operatif care in the ward (Perawatan paska operasi di ruangan
perawatan)
3. Discharge and convalescence (Pemulangan dan pemulihan)
Dalam makalah ini kami hanya membahas tahap awal perawatan
paska operasi CABG atau Immediate Postoperative Care. Yaitu perawatan
paska operasi segera setelah pasien dipindahkan ke Intensive Care Unit
(ICU). Prinsip dan fokus dari tahap ini adalah mengidentifikasi dan
memperbaiki dari masalah yang terjadi, memastikan manajemen nyeri
yang efektif dan memberikan dukungan psikologis pasien dan keluarga
Apabila kondisi pasien paska CABG stabil dan tidak ada tanda tanda
komplikasi serta pengaruh sedasi sudah hilang, tindakan weaning
(penyapihan dari alat bantu nafas) dan ekstubasi segera harus dilakukan,
hal ini sesuai dengan Hilary P. Grocott, MD, FRCPC The Journal of
Thoracic and Cardiovascular Surgery “Early extubation after cardiac
surgery: The evolution continues ( November 2017).
Sedangkan kriteria weaning ventilator pada pasien dengan bedah
jantung menurut (St.Joseph Hospital, 2006) diantaranya yaitu : Jumlah
perdarahan dibawah 100 cc / jam, tekanan darah dalam batas normal,
Cardiac Indek jantung ≥ 2, tidak ada aritmia ventrikel, pasien bernafas
spontan dan FiO2 <.50 %.
Setelah dilakukan ektubasi pemilihan terapi oksigen yang tepat dan
sesuai kebutuhan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
hipoksemia hal ini sesuai dengan jurnal “Oxygen delivery to patients after
cardiac surgery” (Critical Rescue, 2009) bahwa terapi oksigen masih

xi
diperlukan pada pasien paska CABG terutama pada 24 jam pertama dan
jenis terapi oksigen yang diberikan adalah binasal kanul atau sungkup
muka sederhana atau disesuaikan dengan kebutuhan pasien.

2.1.1.6 Komplikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


a. Nyeri pasca operasi
Setelah dilakukan bedah jantung, pasien dapat mengalami nyeri
yang diakibatkan luka insisi dada atau kaki, selang dada atau
peregangan iga selama operasi. Ketidaknyamanan insisi kaki sering
memburuk setelah pasien berjalan khususnya bila terjadi
pembengkakan kaki. Peregangan otot punggung dan leher saat iga
diregangkan dapat menyebabkan ketidaknyamanan punggung dan
leher. Nyeri dapat merangsang sistem saraf simpatis, meningkatkan
frekuensi jantung dan tekanan darah yang dapat mengganggu
hemodinamik pasien. Ketidaknyamanan dapat juga mengakibatkan
penurunan ekspansi dada, peningkatan atelektasis dan retensi
sekresi. Tindakan yang harus dilakukan yaitu memberikan
kenyamanan maksimal, menghilangkan faktor-faktor peningkatan
persepsi nyeri seperti ansietas, kelelahan dengan memberikan
penghilang nyeri.
b. Penurunan curah jantung
Disebabkan adanya perubahan pada frekuensi jantung, isi sekuncup
atau keduanya. Bradikardia atau takikardi pada paska operasi
dapat menurunkan curah jantung. Aritmia sering terjadi 24 jam –
36 jam paska operasi. Takikardi menjadi berbahaya karena
mempengaruhi curah jantung dengan menurunkan waktu pengisian
diastolik ventrikel, perfusi arteri koroner dan meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard. Bila penyebab dasar dapat
diidentifikasikan maka dapat diperbaiki.
c. Perubahan cairan
Setelah operasi Coronary Bypass Grafting (CABG) volume cairan
tubuh total meningkat sebagai akibat dari hemodilusi. Peningkatan

xii
vasopressin, dan perfusi non perfusi ginjal yang mengaktifkan
mekanisme renin-angiotensin-aldosterone (RAA).
d. Ketidakseimbangan elektrolit pasca operasi paling umum adalah
kadar kalsium abnormal. Hipokalemia dapat diakibatkan oleh
hemodilusi, diuretik dan efek-efek aldosteron yang menyebabkan
sekresi kalium ke dalam urine pada tubulus distal ginjal saat
natrium diserap. Hiperkalemia dapat terjadi sebagai akibat jumlah
besar larutan kardioplegia atau gagal ginjal akut
e. Perubahan tekanan darah
Setelah bedah jantung ditemukan adanya hipertensi atau hipotensi
intervensi. Keperawatan diarahkan pada antisipasi perubahan dan
melakukan intervensi untuk mencegah atau untuk memperbaiki
dengan segala tekanan darah pada rentang normotensi.
f. Tamponade jantung awal
Tamponade jantung terjadi apabila darah terakumulasi di sekitar
jantung akibat kompresi jantung kanan oleh darah atau bekuan
darah dan menekan miokard. Hal ini mengancam aliran balik vena,
menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Tindakan meliputi
pemberian cairan dan vasopressor untuk mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah sampai dekompresi bedah dilakukan.
Untuk menghindari adanya komplikasi paska bedah CABG maka
manajamen perawatan yang benar dan tepat harus dilakukan.
(Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2008)

2.1.2 Mitral Valve Replacment


2.1.2.1 Pengertian Mitral Valve Replacment (MVR)
Penatalaksanaan regurgitasi mitral meliputi pemberian
medikamentosa, dan operasi katup jantung (perbaikan atau penggantian
katup). Penatalaksanaan medikamentosa seperti pemberian vasodilatator,
diuretik, anti aritmia, suplemen elektrolit, antikoagulan (Bravo-jaimes et
al., 2018; PERKI, 2016).

xiii
Mitral Valve Replacement adalah presedur bedah jantung yang
dilakukan untuk mengganti katup mitral yang sudah tidak dapat di perbaiki
lagi, dan diganti dengan katup jantung buatan. MVR dilakukan untuk
mengatasi kurang atau terhambatnya suplai darah dariatrium kiri ke
ventrikel kiri akibat dari mitral deases baik itu mitral stenosis maupun
mitral regurgitasi. (Fadilah 2016)
Operasi katup jantung merupakan strategi pengobatan utama untuk
penyakit katup jantung (Li et al.,2019). Operasi penggantian katup jantung
mitral atau Mitral Valve Replacement (MVR) adalah prosedur operasi
jantung yang dilakukan untuk mengganti katup mitral pasien dengan
menggunakan katup jantung buatan (baik itu mekanik maupun
bioprostetik).
Stenosis mitral adalah kondisi katup mitral yang tidak sepenuhnya
terbuka. Hal ini terjadi karena katup mitral secara patologis mengalami
penyempitan sehingga aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada
fase diastolik terhambat. Pembukaan katup mitral biasanya seluas 4-5 cm2
, tetapi pada kodisi ini menurun menjadi setengah ukuran normal bahkan
lebih kecil.
Pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang sering tidak
menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Kondisi klinis pasien tersebut
mirip dengan orang normal seusianya. Namun, stenosis mitral berat atau
yang bergejala dapat terjadi sebagai dampak buruk jangka panjang dari
stenosis mitral yang tidak ditangani secara mekanis.

xiv
Gradien PAPS
Keparahan MVA cm2
mmHg mmHg
Ringan >1.5 <5 <30
Sedang 1.0-1.5 5-10 30-50
Berat <1.0 >10 >50
Tabel 1.1 Tingkat keparahan stenosis mitral sesuai panduan ACC/AHA

Keadaan klinik
Rekomendasi Level of
Operasi Stenosis Mitral kelas evidence

Pasien simtomatik (NYHA III, IV)


dengan stensosis mitral sedang atau
berat ketika: Balloon valvotomy
I B
tidak tersedia. Balloon valvotomy
kontraindikasi karena trombus atau
regurgitasi mitral. Morfologi mitral
tidak baik untuk balloon valvotomy.
Pasien simtomatik dengan stenosis
mitral sedang sampai berat yang I C

juga memiliki mitral regurgitasi


sedang sampai berat
Pasien simtomatik sedang (NYHA
I,II) dengan stenosis mitral berat dan IIa C

hipertensi pulmonal berat


(PASP>60mmHg).
Pasen asimtomatik dengan stenosis
mitral sedang sampai berat dan
emboli berulang meskipun telah IIb C

menerima antikoagulan yang


adekuat, ketika kemungkinan
kesuksesan MVr adalah tinggi.
III C
MVr dengan stenosis mitral ringan.
III C
Closured commissurotomy pada

xv
MVr ; open commissurotomy harus
dilakukan
Tabel 1.2 Panduan operasi katup mitral menurut ACC/AHA

MVR atau Mitral Valve Replacement adalah prosedur operasi


jantung yang dilakukan untuk mengganti katup mitral pasien yang sudah
tidak dapat diperbaiki dengan katup jantung buatan (baik itu mekanik
maupun bioprostetik).

2.1.2.2 Tujuan Mitral Valve Replacment (MVR)


Tujuan dari tindakan operasi ini adalah memperbaiki atau
mengganti katup jantung yang mengalami kerusakan, mengurangi gejala
fisik, dan morbiditas serta meningkatkan kualitas hidup (Cohn & Adams,
2018).
Mengkoreksi kelainan anatomis atau fungsi jantung, misalnya pada
katup. Jika perbaikan katup tidak memungkinkan, pembedahan
penggantian katup (Mitral Valve Replacement/MVR) merupakan
pengobatan yang paling banyak digunakan untuk penyakit katup Mitral.
Tersedia dua jenis pengganti katup untuk MVR, yaitu katup mekanis dan
biologis (bioprostetik). Katup mekanis sering direkomendasikan pada
orang dewasa karena tingkat operasi ulang yang lebih rendah
dibandingkan katup bioprostetik. Namun, pasien akan membutuhkan
antikoagulan seumur hidup karena peningkatan trombogenisitasnya (Etnel,
et al., 2019).

2.1.2.3 Indikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Adapun indikisi dilakukan tindakan pengantian katup adalah
sebagai berikut; regurgitasi mitral akut bisa dilakukan operasi sesegera
mungkin, sedangkan bila regurgitasi mitral kronik mengikuti beberapa
pertimbangan antara lain pada pasien yang simtomatik merupakan indikasi
untuk dilakukan operasi. Pada pasien regurgitasi berat asimptomatik
indikasi operasi bila telah timbul disfungsi ventrikel kiri, left ventricular

xvi
end-systolic diameter (LVESD) > 45 mm, left ventricular ejection fraction
(LVEF)< 60%. Adanya penyulit: Atrial Fibrilasi (AF) dan atau hipertensi
pulmonal (tekanan sistolik arteri pulmonal > 50 mmHg). Pasien dengan
LVESD >55 mm dan/atau EF <30% perlu pertimbangan, mengingat risiko
operasi yang tinggi dan hasil belum tentu maksimal. Adanya stenosis
mitral dengan area katup mitral <1.5 cm2 (Falk et al., 2017; Nishimura et
al., 2017; PERKI,2016).

2.1.2.4 Kontra indikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Pasien dengan MR parah harus dievaluasi oleh ahli bedah jantung
yang berpengalaman dalam bedah katup mitral. Evaluasi pra-operasi
standar harus dilakukan untuk menentukan kandidat pembedahan,
termasuk penilaian arteri koroner, penyakit penyerta medis, dan riwayat
pembedahan sebelumnya. Pasien dengan kalsifikasi aorta, disfungsi RV,
atau MAC parah dianggap sebagai kontraindikasi relatif. Perhitungan
risiko Society of Thoracic Surgeons (STS) dapat dilakukan untuk
membantu penentuan risiko pembedahan, termasuk mortalitas dan
morbiditas utama. Disfungsi ventrikel kiri yang parah juga merupakan
kontraindikasi karena perbaikan katup mitral menghasilkan katup yang
kompeten, sehingga meningkatkan afterload pada ventrikel kiri. Dengan
demikian, fungsi LV sebelum operasi dan fraksi ejeksi biasanya melebih-
lebihkan fungsi ventrikel kiri yang sebenarnya pada kasus MR berat
karena katup regurgitasi bertindak sebagai katup "pop-off". Emfisema
berat, penyakit paru restriktif, dan hipertensi pulmonal (PHT) juga sering
terlihat sebagai komorbiditas dengan MR parah yang sudah berlangsung
lama dan menimbulkan kontraindikasi relatif terhadap pembedahan.

2.1.2.5 Manajemen Pasien Paska Mitral Valve Replacment (MVR)


Pasien yang akan menjalani operasi MVR membutuhkan persiapan
yang matang. Tatalaksana preoperasi merupakan hal yang sangat penting
dan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dari suatu tindakan
operasi. Morbiditas dan mortalitas operasi jantung dapat diminimalkan

xvii
melalui penilaian dan optimalisasi preoperasi yang menyeluruh, serta
perencanaan perawatan perioperatif dan pasca operasi yang cermat
(Whittle & Kelleher, 2015).

2.1.2.6 Komplikasi Mitral Valve Replacment (MVR)


Operasi jantung terbuka merupakan operasi dengan berbagai
komplikasi meliputi perdarahan, infeksi, aritmia, distres napas, gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Perdarahan masif, aritmia, cedera
ginjal akut dan gangguan serebrovaskular merupakan komplikasi berat
setelah bedah jantung terbuka, dan hal tersebut dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. (Icu-cne 2016) Tatalaksana
pascaoperasi setelah bedah jantung terbuka sangat penting untuk
mencegah, mendeteksi dan memberikan tatalaksana komplikasi yang
mungkin terjadi. (Icu-cne 2016)
Perdarahan masif dapat dipengaruhi oleh penggunaaan
cardiopulmonary bypass (CPB) pada saat operasi, pasien geriatri, anemia
prabedah, indeks masa tubuh yang rendah, konsumsi antitrombotik atau
antikoagulan sebelum operasi, disfungsi status koagulasi dan penyakit
komorbid. Insidens perdarahan masif setelah bedah jantung terbuka
bervariasi, bergantung pada definisi yang digunakan, dan diprediksi sekitar
2-10%. Perdarahan masif merupakan masalah yang signifikan yang dapat
mengakibatkan gangguan kardiovaskular, kerusakan organ akhir dan
kematian. (Petrou et al 2016)
Aritmia pasca operasi lazim ditemukan setelah bedah jantung dan
memengaruhi morbiditas dan mortalitas pascaoperasi secara signifikan.
Signifikansi klinis aritmia setelah bedah jantung tergantung pada respon
ventricular, durasi aritmia, fungsi jantung dan penyakit komorbid.3 Faktor
risiko aritmia pascaoperasi dapat dibagi menjadi faktor bedah dan faktor
yang berhubungan dengan pasien seperti usia, gangguan jantung struktural
dan komorbid ekstrakardiak.(Peretto G et al 2014) Faktor bedah meliputi
trauma, inflamasi, stres hemodinamik, gangguan iskemik, obat yang
dikonsumsi dan imbalans elektrolit. (Peretto G et al 2014) Tatalaksana

xviii
aritmia pascaoperasi meliputi koreksi faktor yang memengaruhi dan
pemberian agen atiaritmia.
Cedera ginjal akut merupakan komplikasi yang dapat berkembang
menjadi gangguan ginjal kronik jika tidak ditangani dengan segera.
Prognosis fungsi ginjal sangat dipengaruhi oleh durasi pasien menderita
cedera ginjal akut. Prevalensi cedera ginjal akut yang membutuhkan terapi
pengganti ginjal dalam waktu 60 hari pascaoperasi adalah 52.6% dan 90
hari pascaoperasi adalah 44.7%. (Vives M et al 2019)
Gangguan serebrovaskular dapat terjadi selama masa perioperatif.
Struk perioperatif didefinisikan sebagai struk iskemik atau hemoragik
yang terjadi selama operasi hingga 30 hari pascaoperasi. Prevalensi struk
pada operasi non-kardiak, non-neurologik dan operasi minor sekitar 0.1-
1.9%. Namun, gangguan serebrovaskular perioperatif pada operasi kardiak
dan neurologik mencapai 10%. Prevalensi perdarahan intrakranial setelah
bedah katup mitral sekitar 1%. Namun, risiko perdarahan intrakranial
meningkat pada pasien dengan operasi katup jantung multipel. (Ko SB
2018)

2.1.3 Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)


Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu tindakan
CABG yang menggunakan mesin Cardio Pulmonary Bypass (CPB) sering
disebut On- Pump Coroanary Artery Bypass atau tanpa menggunakan
mesin CPB yang sering disebut Off-Pump Coronary Artery Bypass
(OPCAB).

Ada beberapa parameter dalam memilih tehnik operasi off-pump


atau on- pump antara lain yaitu, status hemodinamik harus stabil, karena
status hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan pemberian obat, dan
apabila pemberian obat tidak memberikan hasil yang baik, maka
menggunakan tehnik operasi on-pump lebih dipilih. Kemudian evaluasi
pembuluh darah yang akan dioperasi, karena pada pasien obesitas dengan
lapisan lemak epikardium yang tebal atau pembuluh darah target yang

xix
terlalu dalam di lapisan miokardium atau pembuluh darah yang terlalu
kecil. Keadaan ini akan mempersulit penggunaan tehnik operasi off-pump.

Teknik operasi Off-Pump Coronary Bypass Graft belum banyak


digunakan karena teknik ini merupakan teknik baru, tanpa menggunakan
mesin CPB. Tehnik ini mempunyai tingkat mortalitas dan morbiditas yang
rendah. Namun bukan berarti teknik ini lebih baik. Penggunaan teknik
On-pump Coronary Artery Bypass Graft lebih banyak dari pada teknik
Off-Pump Coronary Bypass Graft.

Pada operasi On-pump Coronary Artery Bypass Graft, prosedur


dilakukan dengan alat mekanis mesin jantung paru atau CPB. Mesin ini
meminimalkan perdarahan saat operasi berlangsung, dan perfusi jantung
dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain di tubuh. Gambaran
umum pembuatan arteri pintas pada jantung seperti pada gambar di bawah
ini.

Gambar 9. Coronary Artery Bypass Graft.

2.1.4 Konsep Dasar Pasca Bedah Jantung


2.1.4.1 Perawatan pasca bedah jantung di ICU
Pemantauan ketat diperlukan pada periode awal pasca operasi
untuk mengoptimalkan perawatan pasien. Perawatan pasca bedah dimulai
sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem pasca bedah
dianjurkan untuk mengetahui problem penderita prabedah dan intra bedah
sehingga dapat diantisipasi dengan baik misalnya problem pernapasan,
diabetes dan lain-lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca bedah jantung
Perawatan di ICU menurut Robert M Bojar (2020) terbagi atas:
1. Monitoring Hemodinamik :

xx
a. CVP
b. Denyut jantung/ heart rate (HR)
c. Wedge presure (PCWP) dan PAP.
d. Tekanan Darah dan MAP
e. Curah jantung (CO), cardiac index(CI)
f. Peripheral oxygen saturation (SpO2)
g. Systemic vascular resistant (SVR), PVR
h. Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi
jantung, dosisnya, rutenya dan lain-lain.
i. Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pacu jantung
dll.
2. EKG
Pemantauan EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar
jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok
atrioventrikel dll. Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali
dalam sehari dan tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila
ada perubahan irama dasar jantung yang membahayakan.
3. Sistem pernapasan
Penderita dari kamar bedah masih belum sadar. Sampai di ICU
segera pasang alat bantu nafas dan dilihat :
a. Ukuran dan kedalaman ETT yang dipakai
b. Tidal volume dan minut volume, RR, FiO2, PEEP, Mode
ventilator
c. Lihat cairan yang keluar dari bronkhus / tube, apakah lendirnya
normal, kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda
edema paru. Bila perlu diperiksa kultur.
4. Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari pasien mulai bangun atau masih diberikan obat
- obatan sedatif dan relaxan. Bila pasien mulai bangun maka disuruh
untuk menggerakkan keempat ekstremitasnya.
5. Sistem ginjal

xxi
Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi
akibat hemolisis dan lain-lain. Dilakukan pemerikasaan ureum dan
kreatinin.
6. Gula darah
Bila pasien menderita DM maka kadar gula darah harus dikontrol

7. Laboratorium :
a. HB, HT, trombosit, leukosit
b. Analisa gas darah
c. SGOT/SGPT, Albumin, ureum, kreatinin, gula darah
d. Enzim CK dan CKMB
8. Water Seal Drain
Drain vaskuler yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan
dari mana mungkin bisa diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu
biasanya tiap jam tetapi bila ada perdarahan maka observasi
dikerjakan tiap ½ jam atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang terjadi lebih
dari 3 cc/kgBB/jam dianggap sebagai perdarahan pasca bedah dan
mungkin memerlukan re-open untuk menghentikan perdarahan.
9. Foto thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk
melihat alat-alat dirongga thorak. Perawatan pasca bedah di ICU harus
disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang
dijumpai. Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap
respirator segera dimulai dan begitu juga ekstubasi beberapa jam
setelah pasca bedah.
10. Fisioterapi.
Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk penderita
dengan ventilator. Bila sudah ekstubasi fisioterapi penting untuk
mencegah retensi sputum (napas dalam, vibrilasi, postural drainase).

2.1.4.2 Perawatan setelah dari ruang ICU

xxii
Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi
semua organ terus dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari
pertama pasca bedah dengan hemodinamik stabil. Umumnya pemeriksaan
hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium
yaitu Elektrolit, Darah lengkap, AGDA, Faal Hemostatis, Enzim
CKMB dan troponin T. Hari ketiga lihat dan diperiksa antara lain :
Elektrolit, thrombosit, Ureum, Gula darah, Thoraks foto dan EKG 12 lead.
Hari keempat lihat keadaan, pemeriksaan atas indikasi. Hari kelima
Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak. Hari
ke 6-10 pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosit. Biasanya
diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan
mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti
diabet dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator,
juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7
atau sampai klien pulang. Perawatan luka dapat dilakukan dengan teknik
tertutup atau terbuka. Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan
bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, leukositosis, maka
luka harus dibuka jahitannya sehingga nanah yang ada bisa bebas keluar.
Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke
delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang mengalami obesitas
dan diabetus melitus jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah
luka terbuka. Mobilisasi diruangan mulai dengan duduk ditempat tidur,
turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar
mandi dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau
oleh perawat

1.2. Askep Keperawatan Pasca Bedah Jantung


2.2.1 Pengkajian
Setelah selesai operasi, pasien segera dipindahkan keruang ICU,
segera setelah pasien tiba di ICU, perawat harus segera melakukan
pengkajian meliputi semua sistem organ untuk menentukan status pasca

xxiii
bedah dibandingkan dengan prabedah dan mengetahui perubahan yang
mungkin terjadi selama pembedahan.
1. Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan
vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP),
bentuk gelombang pada tekanan darah invasive, curah jantung dan
cardiac index, drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
2. Status Respirasi
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui
secara dini tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi.
Perawat mengkaji status respirasi pasien selama bedah, ukuran
endotrakeal tube, masalah yang dihadapi selama intubasi, lama
penggunaan alat mesin jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan dada,
suara nafas, setting ventilator (frekuensi pernafasan/RR, volume
tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP), kecepatan nafas, tekanan
ventilator, saturasi oksigen, analisa gas darah.
3. Status Neurologi
Kesadaran dipantau sejak klien mulia bangun atau masih diberikan
obat sedative. Jika klien mulai bangun maka minta klien untuk
menggerakkan seluruh ekstremitas. Kaji juga tingkat responsifitas ,
ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas,
dan kekuatan genggaman tangan.
4. Sistem percernaan
Observasi status cairan, asupan nutrisi
5. Status pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, warna kuku, mukosa bibir, suhu
kulit, edema.
6. Sistem perkemihan
Observasi produksi urine setiap jam dan perubahan warna yang
terjadi akibat hemolisis dan lain-lain. Pemeriksaan ureum kreatinin
harus dikerjakan jika fasilitas memungkinkan.
7. Status Cairan dan elektrolit.

xxiv
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan
indikasi ketidak seimbangan elektrolit.
8. Nyeri
Kaji sifat, jenis, lokasi, durasi, respon terhadap analgesik
9. Status Gastro intestinal
Auskultasi bising usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi.
10. Status alat yang dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri
paru, infus intravena, pacemaker, sistem drainase dan urine.
Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan
yang baik, perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status
psikologis dan emosional pasien dan risiko akan komplikasi.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi antara lain :
1. Penurunan curah jantung
2. Ganguan Ventilasi spontan
3. Resiko perdarahan
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif
5. Resiko ketidakeseimbangan cairan
6. Resiko ketidakeseimbangan elektrolit
7. Nyeri akut
8. Resiko infeksi
9. Resiko perfusi cerebral tidak efektif

xxv
2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
NO Perencanaan keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil intervensi
1. Penurunan curah jantung (D.0008) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Syok Kardiogenik (I.02051)
3x24 jam diharapkan Ketidakadekuatan Observasi
jantung memompa darah meningkat  Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
dengan kriteria hasil: frekuensi napas, TD, MAP)
1. Tekanan darah membaik  Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
2. Akral hangat  Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Pemberian therapi suport  Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
menurun  Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS
4. Nadi perifer teraba kuat (deformity/deformitas, open wound/luka terbuka,
5. Warna kulit tidak pucat tenderness/nyeri tekan, swelling/bengkak)
 Monitor EKG 12 lead
 Monitor rontgen dada (mis: kongesti paru, edema paru,
pembesaran jantung)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CKMB, Troponin)
 Identifikasi penyebab masalah utama (mis: volume, pompa atau
irama)
Terapeutik
 Pertahankan jalan napas paten
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin
 Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung, jika perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian inotropik (mis: dobutamine), jika TDS 70
– 100 mmHg tanpa disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: dopamine), jika TDS 70
– 100 mmHg disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: norefinefrin), jika TDS <
70 mmHg
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 Kolaborasi pompa intra-aorta, jika perlu

26
2. Penurunan ventilasi spontan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen ventilasi mekanik
3x24 ventilasi meningkat dengan kriteria Observasi
hasil :  Periksa indikasi ventilator mekanik
1. Volume tidal meningkat  Monitor kriteria perlunya terhadap status oksigenasi
2. Tidak terdapat retraksi dada  Monitor kriteria perlunya penyapihan ventilator
3. Pelepasan ventilasi mekanik  Monitor efek negatif ventilator
4. PO2 dalam batas normal  Monitor gejala peningkatan pernafasan
5. PCO2 dalam batas normal  Monitor kondisi yang meningkatkan konsumsi oksigen
 Monitor gangguan mukosa oral, nasal, trakea dan laring
Terapeutik
 Atur posisi kepala 45-600 untuk mencegah aspirasi
 Reposisi pasien setiap 2 jam
 Lakukan perawatan rutin
 Lakukan fisioterapi dada
 Lakukan pengisapan lendir sesuai kebutuhan
 Ganti sirkuit ventilator setiap 24 jam
 Siapkan bag-valve mask disamping tempat tidur
 Dokuemntasikan respon terhadap ventilator
Kolaborasi
 Kolaborasi pemilihan mode ventilator
 Kolaborasi pemberian agen pelumpuh otot,
 sedative, analgesik, sesuai kebutuhan
 Kolaborasi penggunakan PS atau PEEP untuk meminimalkan
hipoventilasi alveolus
Manajemen Asam Basa
Observasi
 Identifikasi penyebab ketidak seimbangan asam basa
 Monitor prekuensi dan kedalaman nafas
 Monitor status neurologis (mis. tingkat kesadaran, status mental)
 Monitor irama dan frekuensi jantung
 Monitor perubahan pH, PaCO2 dan HCO3
Terapeutik
 Ambil spesimen darah arteri untuk pemeriksaan AGD
 Berikan oksigen sesuai indikasi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian ventilasi mekanik jika perlu

27
3. Risiko Perdarahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Perdarahan
3x24 kehilangan darah baik internal Observasi:
maupun eksternal menurun dengan  Monitor tanda dan gejala perdarahan
kriteria hasil:  Monitor nilai hemoglobin/hematokrit sebelum dan setelah
1. Tekanan darah membaik kehilangan darah
2. Akral hangat  Monitor tanda-tanda vita ortostatik
3. Hemoglobin dalam batas  Monitor koagulasi
normal Terapeutik
4. Hematokritdalam batas  Batasi tindakan invasif, jika perlu
normal  Pertahankan bedrest selama perdarahan
5. Nadi perifer teraba kuat  Gunakan kasur pencegah dekubitus
6. Warna kulit tidak pucat  Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi
 Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
 Anjurkan meningkatkan asupan makan dan vitamin K
 Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
 Anjurkan pemberian produk darah, jika perlu
 Anjurkan pemberian pelunak tinja, jika perlu
4. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas
3x24 jam oksigenasi dan/atau eliminasi Observasi:
karbondioksida pada membran alveolus-  Monitor pola napas
kapiler Normal dengan kriteria hasil:  Monitor bunyi napas tambahan
1. Batuk Efektif meningkat  Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
2. Produksi sputum menurun Terapeutik
3. Tidak terjadi sianosis  Pertahankan kepatenan jalan napas
4. Tidak ada suara nafas tambahan  Posisikan semi fowler atau fowler
5. Pola nafas membaik  Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
6. Klien tidak gelisah  Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Kolaborasi

28
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu
Pemantauan Respirasi
Observasi:
 Monitor pola nafas
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
 Monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Monitor produksi sputum
Terapeutik
 Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi ps
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
5. Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Elektrolit
3x24 jam diharapkan kesimbangan Observasi:
elektrolit meningkat dengan kriteria  Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
hasil:  Monitor kadar elektrolit serum
1. Seru natrium dalam batas  Monitor mual,muntah dan diare
normal idak terjadi  Monitor kehilangan cairan, jika perlu
2. Serum kalium dalam batas  Monitor tanda dan gejala hipoglikemi (mis.kelemahan otot,
normal idak terjadi interval QT memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi
3. Serum klorida dalam batas segmen ST, gelombang U, keleahan, parestesia, penuruan reflek,
normal idak terjadi anoreksia, konstipasi,motilitas usus menurun, pusing, depresi
pernapasan)
 Monitor tanda dan gejala hyperkalemia (mis.peka rangsang,
gelisah, mual ,muntah,takikardi menfarah kebradikardia,
fibrilasi/takikardi ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P
datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung menegah asistol)
 Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis.disorientasi, otot
berkedut, sakit kepala, membrane mukosa kering, hipotensi
postural, kejang, letargi, penurunan kesadran)
 Monitor tanda dan gejala hypernatremia (haus, demam, mual,
muntah, gelisah, peka rangsang,membrane mukosa kering,
takikardi, hipotensi, letargi, konfusi,kejang)
 Monitor tanda gejala hipokalsemia(mis. Peka rangsang, tanda

29
chvostek (spasme otot wajah), tanda trousseau (spasme karpal),
kram otot, interval QT memanjang)
 Monitor tanda gejala hiperkalsemia (nyeri tulang, haus ,
anoreksia, letargi, kelemahan otot, segmen QT memendek,
gelombang T lebar, komplek QRS lbar, interval PR memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesium (mis, depresi
pernapasan, apatis, tanda chvostek, tanda trousseau,
konfusi,disritmia)
 Monitor tanda gejala hipermagnesemia ( mis.kelemahan otot,
hiporefleks, bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)
Terapeutik:
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemanduan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan procedure pemantaun
 Informasi hasil pemantauan, jika perlu
6. Risiko Ketidakseimbangan Cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Cairan
3x24 jam diharapkan keseimbangan Observasi:
cairan meningkat dengan kriteria hasil :  Monitor status hidrasi
1. Asupan cairan meningkat  Monitor berat badan harian
2. Haluan urine membaik  Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialisis
3. Edema menurun  Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
4. Asites menurun  Monitor status dinamik
Terapeutik:
 Catat intake output dan hitung balance cairan
 Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena, jika perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
Pemantauan Cairan (I.03121)
Observasi
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler

30
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium, dan BUN)
 Monitor intake dan output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hypovolemia (mis: frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering,
volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah,
konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu
singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis: dispnea, edema
perifer, edema anasarca, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks
hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur
pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis,
obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Dokumentasikan hasil pemantauan
7. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
3x24 jam diharapkan tingkat nyeri Observasi:
menurun dengan kriteria hasil :  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
1. Keluhan tidak nyaman hilang intensitas nyeri
2. Tekanan darah dan HR normal  Identifikasi skala nyeri
3. Skala nyeri 0  Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Obat anti nyeri berkurang  Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Pola nafas membaik  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Tidak terjadi kesulitan tidur  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik:

31
 Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
8. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan infeksi
3x24 jam tidak terjadi infeksi dengan Observasi:
kriteria hasil :  Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
1. Tidak terjadi peningkatan suhu Terapeutik
tubuh  Batasi jumlah pengunjung
2. Nyeri tidak terjadi  Berikan perawatan kulit pada daerah edema
3. Tidak ada kemerahan di sekitar  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
luka lingkungan pasien
4. Tidak ada peningkatan nilai  Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
leukosit Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik
9. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Peningkatan TIK
1x8 jam diharapkan tidak terjadi risiko Observasi
perfusi serebral tidak efektif dengan  Identifikasi penyebab peningkatan TIK
kriteri hasil :  Monitor tanda atau gejala peningkatan TIK
1. Tekanan intra kranial tidak  Monitor MAP
terjadi Terapeutik
2. Sakit kepala berkurang  Berikan posisi semi fowler
3. Gelisah tidak terjadi  Hindari pemberian cairan IV hipotonik
4. Kecemasan menurun  Cegah terjadinya kejang
5. Agitasi menurun Kolaborasi
 Kolaborasi dalam pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu

Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)


Observasi
 Identifikasi penyebab peningkatan TIK (misalnya: lesi, gangguan
metabolism, edema serebral)
 Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (misalnya: tekanan darah

32
meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas
ireguler, kesadaran menurun)
 Monitor MAP (mean arterial pressure) (LIHAT: Kalkulator
MAP)
 Monitor CVP (central venous pressure)
 Monitor PAWP, jika perlu
 Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (intra cranial pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari manuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Hindari penggunaan PEEP
 Hindari pemberian cairan IV hipotonik
 Atur ventilator agar PaCO2 optimal
 Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

33
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Brunner & Suddarth (2014) menyebutkan bahwa pelaksanaan atau
implementasi dalam keperawatan terdiri dari:
a. Validasi Rencana Keperawatan
Tujuan validasi data adalah menekan serendah mungkin terjadinya
kesalahpahaman atau salah persepsi. Karena adanya potensi manusia
berbuat salah dalam proses penilaian.
b. Dokumentasi Rencana Keperawatan
Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus
mempunyai landasan kuat dan bermanfaat secara optimal. Perawat
hendaknya mengadakan pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk
membahas data, masalah, tujuan serta rencana tindakan.
c. Tindakan Keperawatan
Meskipun perawat sudah mengembangkan suatu rencana keperawatan
yang maksimal, kadang timbul situasi yang bertentangan dengan
tindakan yang direncanakan, maka kemampuan perawat diuji untuk
memodifikasi alat maupun situasi.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus-menerus dengan
melibatkan klien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal
ini diperlukan pengetahuan kesehatan dan strategi evaluasi. Tujuan dari
evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak (Brunner & Suddarth, 2014).
Evaluasi terdiri atas evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi
struktur berisi tentang faktor lingkungan, kesediaan perlengkapan, fasilitas
fisik, rasio perawat-klien, administrasi serta kompetensi perawat dalam
area yang diinginkan. Evaluasi proses berfokus pada jenis informasi yang
didapat pada saat wawancara dan pemeriksaan fisik, validasi dari
perumusan diagnosis keperawatan, dan kemampuan tehnikal perawat.
Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons perilaku
klien merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan akan terlihat

34
pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi hasil terdiri atas
evaluasi subjektif, objektif, analisis dan planning (SOAP).
Evaluasi berdasarkan SOAP dimana perawat menilai hasil yang
telah dicapai. Evaluasi bermanfaat untuk menentukan kemajuan status
kesehatan klien, mengevaluasi ekektivitas askep dan menentukan kualitas
pelayanan secara keseluruhan. Pada tahap ini perawat menetapkan apakah
rencana diteruskan, dimodifikasi atau diakhiri (Lemone, 2015).

35
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN


A. Identitas Pasien
Inisial Pasien : Ny. Y
NO. Medrec : 0002091245
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 08 Juli 1968
Umur : 64 th
Alamat : Jl. Kopo Gg R.H Rt 04/ 07 Kab. Bandung
Agama : Islam
Pendidikan :-
Tanggal Masuk RS : 31 Oktober 2023
Tanggal Masuk ICU : 2 November 2023
Tanggal Pengkajian : 2 November 2023
Hari Rawat : POD 0
Sumber Data : Pasien, keluarga, rekam medik
B. Alasan Masuk ICU.
Perawatan pasca bedah jantung
Keluhan utama : Klien Tidak bisa dikaji karena masih dalam pengaruh
obat sedasi
C. Riwayat Keperawatan.
1. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pada tgl 31/10/2023 klien masuk rawat di ruang aglonema untuk
direncanakan tindakan operasi CABG dan replace katup mitral. Tanggal
2 November 2023, klien post operasi bedah jantung POD 0 , keadaan
umum lemah kesadraan DPO, klien terpasang ventilator dengan mode
SIMV, IE 1:2, Tidal Volume 320, PEEP 5, FiO2 50 %.
2. Riwayata Kesehatan Terdahulu
Keluarga Klien mengatakan klein sering mengeluh nyeri dada pada saat
aktivitas ringan sejak bulan november 2022, kemudian klien berobat ke

36
RS Paramarta dan dirujuk ke RSHS, pada bulan mei 2022 klien
diketahui memiliki penyakit katup jantung dan penyumbatan pembuluh
darah dan sudah disarankan untuk operasi namun menolak, keluarga
mengatakan bahwa klien juga mempuyai penyakit hipertensi
3. Riwayat Penyakit Keluarga.
Keluarga mengatakan bahwa ayahnya klien memiliki penyakit
hipertensi.
4. Genogram

Keterangan :

: Laki – Laki : Meninggal

: Perempuan

: Klien
: tinggal serumah

37
D. Diagnosa Medis
Diagnosa pre operasi :
Coronary Artery Diseases 3VD, Reumatic Heart Deases, Severe Mitral
Stenosis, Mild Mitral Regurgitasi, Paroxysmal Atrial Fibrilasi
Diagnosa post operasi :
Post Operasi Coronary Aartery Bypass Graft + Mitral Valve
Replacement
E. Keadaan Umum
Kesadraan : On Sedasi (DPO)
Tekanan Darah : 120/52 mmhg (arteri line)
HR : 86 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 35,2 C
Sat O2 : 98%
Map : 60 mmHg
Antropometri : BB 46 kg TB 150 cm IMT : 20,44 /m2
F. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem Respirasi dan Oksigenasi
a. Airway
 Kepatenan jalan nafas terpasang ETT no 7,5 kedalam 20 cm,
selang ETT tidak ada kebocoran dan tidak tergigit.
b. Breathing
 Terpasang ventilator dengan mode VC SIMV, IE 1:2, Tidal
Volume 320, PEEP 5, FiO2 50 %.
 Bentuk dada simetris, tidak ada kelaian seperti Pigeon chest,
Bareel chest dan funelk chest.
 Tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada retraksi dada,
tidak ada bunyi nafas tambahan seperti : ronchi (-), wheezing
(-), cracles (-), stridor (-).
 Tidak terdapat sianosis baik di periper ataupun sentral
 Kedalaman nafas normal.

38
 Terpasang chest tube substernal dan pleura kiri warna cairan
merah, produksi 398 cc/7jam
 Terdapat luka operasi di sternal sepanjang ± 15 cm, tertutup
kasa
c. Sitem sirkulasi
 Auskultasi bunyi jantung S1 dan S2 terdengar normal, tidak
terdengar bunyi jantung tambahan baik murmur maupun
Gallop.
 Tidak terdapat distensi vena jugularis nilai JVP 5+2 mmH2o
 CVP : 14 mmHg
 Pulsasi Nadi teraba lemah.
 SpO2 98%.
 CRT < 2 detik
 Tidak terdapat edema di palpebra
 Konjungtiva anemis.
 Turgor kulit baik < 2 detik
 Akral dingin
 Urine output : 3,5 cc/kgbb/jam
 Tidak terdapat oedema di daerah ektermitas
d. Sistem Neurologi
 GCS tidak dapat dikaji, masih dalam pengaruh obat anestesi
 Pupil : isokor, diameter pupil 2 cm kiri dan kanan
 Reflek terhadap cahaya positif
 Kesulitan bicara ada pasien terpasang ETT
 Ektermitas atas dan bawah sulit di kaji
e. Sistem Gastrointestinal
 Terpasang NGT dekompresi residu NGT 50 cc warna coklat
 Mukosa mulut lembab tidak ada lesi di dareah mukosa mulut,
warna mukosa mulut pucat.
 Lidah bersih, tidak terdapat nodul dan lesi
 Reflek menelan dan mengunyah tidak dapat dikaji.

39
 Bentuk abdomen datar, tidak terdapat masa dan stoma.
 Bising usus (+) 12 – 15 x/menit.
 Tidak terdapat drain di daerah abdomen.

f. Sistem Muskuloskeletal
 Tidak terdapat fraktur.
 Terdapat luka operasi di dareah ektermitas bawah kiri dan
kanan panjang ± 15 cm
 Mobilitas dibantu penuh
 Tidak terdapat sindrome kompartemen dan luka bakar.
 Kekuatan otot tidak terkaji (klien masih dalam pengaruh obat)
g. Sistem Urogenital
 Terpasang alat bantu dower cateter no 16
 Produksi urine 1120 cc/7jam, warna kuning jernih
h. Sistem Integumen
 Warna kulit pucat
 Terdapat luka operasi di daerah sternum terbalut dengan
verban, terdapat luka di daerah kaki kiri dan kanan terbalut
elastis verban
 Tidak terdapat benjolan di kulit
 Tidak ada dekubitus.
i. Personal Hygiene
 Aktivitas sehari hari dibantu total
 Penampilan bersih
 Rambut bersih
G. Alat Infasif.
1. Terpasang NGT
2. Terpasan ETT
3. Terpasang CVC di subclavia kiri
4. Terpasang swangun di jugularis kanan
5. Terpasang infus di tangan kiri

40
6. Terpasang arteri Line ditangan kanan
7. CTT di substernal pleura kiri
8. Dower cateter no 16
H. Kontrol Resiko Infeksi
1. Profilaksis dengan antibiotik
2. Perawatan luka POD 3
3. Monitoring VAP
4. Kontrol gula darah < 180 mg/dl

I. Pengkajian Kesadaran
GCS :
Score Eyes Verbal Motorik
6 Merespon perintah
5 Orientasi Baik Mengenali nyeri lokal
4 Membuka secara spontan Berbicara teratur tapi kadang bingung Menghindari rangsangan nyeri
3 Membuka rangsangan suara Berbicara melantur Hanya dapat melakukan flexi
2 Membuka rangsangan nyeri Suara tidak jelas/mengerang Hanya dapat melakukan ekstensi
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon
Intepretasi GCS : DPO (dibawah pengaruh obat)

J. Pengkajian Nyeri
Critical Paint Observation Tools (CPOT)
Indikator Skor Deskripsi
Rileks, netral 0 Tidak terlihat adanya ketegangan otot
Tegang 1 Merengut menurunkan alis
Ekspresi wajah
Meringis Semua gerakan wajah sebelumnya ditambah kelopak mata tertutup
2
rapat (pasien bisa juga dengan mulut terbuka atau menggigit ETT)
Adanya gerakan atau Tidak bergerak sama sekali (tidak selalu berarti tidak adanya rasa
posisi normal 0 sakit) atau posisi normal (gerakan tidak ditujukan terhadap adanya
lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk tujuan perlindungan)
Gerakan perlindungan Lambat, gerakan hati-hati, menyentuh lokasi nyeri, mencari perhatian
Gerakan tubuh 1
melalui gerakan
Gelisah Menarik tabung, mencoba untuk duduk, bergerak badan atau
2 meronta-ronta, tidak mengikuti perintah, mencoba untuk bangun dari
tempat tidur
Toleran terhadap Alarm tidak aktif, ventilasi mudah
0
Kepatuhan dengan ventilatir dan gerakan
ventilator (Pasien di Batuk tapi masih Batuk, alarm mungkin aktif tapi berhenti secara spontan
1
Intubasi) toleran
Melawan ventilator 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi, alarn aktif secara terus menerus
Berbicara dengan nada Berbicara dengan nada normal atau tidak ada suara
normal / tidak ada 0
Vokalisasi (pasien di suara
ektubasi) Mendesah, mengerang 1 Mendesah, mengerang
Menangis terisak – Menangis terisak-isak
2
isak
Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan pasif
Ketegangan otot Tegang 1 Resisten terhadap gerakan pasif
Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan pasif
Skor Interpretasi : 2

41
0 : Tidak Nyeri 1-2 : Nyeri Ringan 3-4 : Nyeri Sedang 5-6 : Nyeri Berat 7-8 : Nyeri Sangat Berat
Skala Nyeri : FLACC untuk usia 1 bulan s/d 3 tahun
WBS (Skala Wajah) untuk usia > 3 tahun s/d 7 tahun atau pasien yang tidak kooperatif
NRS (Skala Angka) untuk usia > 7 tahun
Interpretasi : skor CPOT 2 nyeri ringan

K. Kondisi Psikologi
 Tidak ada masalah dalam perkawinan
 Tidak mengalami kekeraan fisik
 Tidak pernah mencedrai diri ataupun orang lain
 Tidak ada gangguan tidur
L. Pengkajian sosial ekonomi dan spritual
 Status pernikahan menikah
 Jumlah anak: 2
 Pekerjaan : ibu rumah tangga
 Pembiayaan : BPJS PBI
 Tinggal bersama suami dan anak
 Agama islam
 Tidak ada kebiasaan merokok dan meminum minuman alkohol

M.Skrining Nutrisi
MST (Malnutrisi Screening Tools)
score

1. Apakah berat badan anda menurun akhir-akhir ini tanpa direncanakan


 Tidak 0
 Ya , bila ya berapa penurunan berat badan anda ?
 1 – 5 kg 1
 6 – 10 kg 2
 11 – 15 kg 3
 >15 kg 4
 Tidak yakin 2
Jika tidak yakin, apakah celana terasa longgar
 Tidak 0
 Ya 1
2. Apakah nafsu makan anda berkurang ?
 Tidak 0
 Ya 1
3. Sakit Berat
 Tidak 0
 Ya 1
Total score 2
Nilai MST :
o Resiko Rendah 0 – 1
o Resiko Sedang 2 – 3

42
o Resiko Tinggi 4 – 5
Catatan :
 Monitoring lebih lanjut dilakukan oleh ahli Gizi.
 Bila resiko rendah lakukan skrining ulang setiap7 hari.
 Bila resiko sedang dan tinggi lakukan pengkajian gizi lebih lanjut oleh ahli Gizi.
 Pasien dirawat diruang intensif dilakukan pengkajian langsung oleh dr gizi klinis.

Total skor : 2 (data di dapat dari keluarga)


Hasil Interpretasi : dari hasil wawancara keluarga didapat skor 2 dengan
resiko sedang

N. Penilaian Resiko Jatuh


Morse Scale
FAKTOR RESIKO KETERANGAN NILAI SKO
R

Riwayat jatuh yang baru atau dalam satu bulan terakhir Tidak 0 0

Ya 25

Diagnosa Medis sekunder >1 Tidak 0

Ya 15 15

Alat bantu jalan Bedrest 0 0

Penopang 15

Berpegangan pada forniture 30

Terapi Intravena infus / Lock Tidak 0

Ya 20 20

Cara berjalan dan berpindah Normal / Bedrest / Immobilisasi 0 0

Lemah 10

Terganggu 20

Status Mental Orientasi sesuai kemampuan diri 0

Lupa / keterbatasan diri 10 10

Jumlah Skor Skala Morse 45

Kriteria Skala Morse :

Tingkat Resiko Nilai MPS Tindakan

Resiko Rendah 0 – 24 Perawatan dasar

Resiko Sedang 25 – 50 Intervensi jatuh standar

Resiko tinggi >50 Intervensi jatuh Resiko tinggi

43
Hasil Interpretasi : klien dengan resiko jatuh sedang

O. Pengkajian Pressure Ulcer


BRADEN SCORE

Sko
1 2 3 4
r

Persepsi Keterbatasan penuh Sangat terbatas Keterbatasan ringan Tidak ada


2
sensori keterbatasan

Kelembaban Lembab terus Sangat lembab Kadang-kadang lembab Tidak ada lembab
3
menerus

Aktivitas Ditempat tidur Diatas kursi Kadang-kadang berjalan Sering berjalan 1

Mobilisasi Tidak dapat Pergerakan terbatas Keterbatasan ringan Tidak ada


2
bergerak keterbatasan

Status Nutrisi Sangat buruk Tidak ade kuat Adekuat Baik sekali 2

Friksi/ bermasalah Potensi bermasalah Tidak ada masalah


2
Gesekan

Total skor 12

Kesimpulan Tingkat Resiko :


<10 = Resiko sangat tinggi, 10 – 12 = Resiko Tinggi, 13 – 14 =Resiko sedang, 15 – 18 = Berisiko, > 19 =
Resiko rendah
Hasil Interpretasi : 12, Resiko Tinggi

P. Asesmen Fungsional
Barthal Index
N SKO N SKO
FUNGSI KETERANGAN FUNGSI KETERANGAN
O R O R

1 Mengontrol Inkontinen/tidak Berpindah tempat Tidak mampu


BAB teratur (perlu 0 dari tidur ke duduk 0
enema)

Kadang-kadang Perlu banyak


inkontinen (1x 1 bantuan untuk bisa 1
seminggu) duduk (2 orang)

Kontinen teratur Bantuan minimal 1


2 2
orang

2 Mengontrol Inkontinen atau 0 Mandiri 3


pakai kateter dan

44
BAK tidak terkontrol

Kadang-kadang Mobilisasi/berjalan Tidak mampu


inkontinen (max 1 0
1x24 jam)

Mandiri Bisa berjalan


2 1
dengan kursi roda

3 Membersihkan Butuh pertolongan Berjalan dengan


0 2
diri (lap muka, orang lain bantuan satu
sisir rambut,
sikat gigi) Mandiri 1 Mandiri 3

4 Penggunaan Tergantung Berpakaian Tergantung orang


toilet, pergi pertolongan orang 0 (memakai baju) lain 0
kedalam dari lain
WC (melepas,
memakai Perlu pertolongan Sebagian dibantu
celana, pada beberapa (mis: mengancing
menyeka, aktivitas terapi, baju
1 1
menyiram dapat mengerjakan
sendiri beberapa
aktivitas yang lain

Mandiri 2 Mandiri 2

5 Makan Tidak mampu 0 Naik turun tangga Tidak mampu 0

Perlu seseorang Butuh pertolongan


menolong 1 1
memotong makanan

Mandiri 2 mandiri 2

mandi Tergantung orang


0
lain
TOTAL
Mandiri 1

Kesimpulan skor : tidak dapat dikaji


20 Mandiri, 12 -19 Ketergantungan Ringan, 9 -11 Ketergantungan Sedang, 5 – 8 Ketergantungan Berat, 0 – 4
Ketergantungan Total.
Catatan :
 Skor ketergantungan Sedang s.d total Laporkan ke DPJP untuk konsultasi dengan Dokter rehabilitasi
medik
 Skor ketergantungan Minimal s.d Ringan : evaluasi setiap 2 hari atau bila ada perubahan faktor
ketergantungan.
Hasil Interpretasi : klien masih dalam pengaruh obat

Sofa Score
Skor Penilaian Kegagalan Organ Sekuens

Variabel Skor SOFA

0 1 2 3 4

45
Respirasi PaO2/FiO2 PaO2/FiO2 PaO2/FiO2 PaO2/FiO2 PaO2/FiO2
>400 300-399 200-299 100-199 <100

SpO2/FiO2 SpO2/FiO2 SpO2/FiO2 SpO2/FiO2 SpO2/FiO2


>302 221-301 220-142 220-142 <67

Kardiovaskuler Dopamin ≤ 5
Dopamin > 5 Dopamin > 15
(dosis dalam atau
TAR ≥ 70 TAR ≥ 70 Norepinefrin ≤ Norepinefrin >
mcg/kg/mnt dobutamin
mmhg mmhg 0,1 fenilefrina 0,1 fenilefrina
berapapun
≤ 0,8 > 0,8
dosisnya

Fungsi hati
(kadar
< 1,2 1,2-1,9 2.0-5,9 6,0-11,9 >12
billirubin dalam
mg/dl

Fungsi ginjal
(kadar kreatinin < 1,2 1,2-1,9 2.0-3,4 3,5-4,9 >5
dalam mg/dl

Koagulasi
(jumlah
>150 101-150 51-100 20-50 <20
trombosit
x103/mm3

Neurologis
15 13-14 10-12 6-9 <6
(skor GCS)

FiO2, fraksi Oksigen yang diinspirasi; TAR, tekanan arteri rata-rata; PaO2, tekanan Oksigen arteri; SpO2,
sat oksigen

Kesimpulan :

Max SOFA Max SOFA Max SOFA


Mortality Mortality Mortality
score score score

0-6 < 10 % 10-12 40-50 % 15 >80 %

0-7 15-20 % 13-14 50-60 % 15-24 >90 %

SOFA SCORE TOTAL : sofa score tidak dilakukan pengkajian karena pasien
tidak dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan GCS dibawah pengaruh obat

Q. Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Laboratorium
Tanggal 02 November jam 16:32
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal Interpretasi

Hematologi paket

Hemoglobin 10.3 g/dL 11.7-15.5 L

46
Hematokrit 31.0 % 32-36 L

Leukosit 9.85 103/uL 4.4-11 Normal

Trombosit 122 103/uL 150-400 L

Eritrosit 3.66 106/uL 4.4-51 L

MCH 84.7 Pg 27-33.2 Normal

MCV 28.1 fL 76-96 Normal

MCHC 33.2 g/dL 29-36 L

RDW-CV 13.9 % 11.6-14.8 Normal

RDW-SD 43.0 fL 36.4-46.3 Normal

Prtothrombine time

PT 18.2 detik 12-16 H

INR 1.31 0.8-1.2 H

APTT 37.20 detik 21-41 Normal

Kimia Klinik

Gluosa sewaktu 208 mg/dL 80-160 H

SGOT (AST) U/L 15-37

SGPT (AST) 0-55

Ureum 14-40

Kreatinin 0,57-1.11

Elektrolit

Natrium 143 mEq/L 136-145

Kalium 2.7 mEq/L 3.5-5.0 L

Cholrida 102 mEq/L 95-105 Normal

Kalsium 3.63 mg/dL 4.5-5.6 L

Magnesium 1.9 mg/dL 1.6-2.6 Normal

Analisa Gas Darah

FiO2 %

PH 7.360 7.35-7.45 Normal

47
pCO2 49.2 mm/Hg 35-45 H

pO2 108.7 mm/Hg 83-108

HCO3- 27.7 mmol/L 22-26 H

TCO2 29.3 mmol/L 23-27 H

BEecf **** mmol/L (-2)-(+2)

BE (B) 2.3 mmol/L (-2)-(+3)

Saturasi O2 98 % 94%-98%

Thorak AP tgl 02 November 2023 jam 16:00

Interpretasi thorax:
 Foto asimetris, inspirasi cukup

48
 Skeletal dan soft tisue yang terlihat dalam batas normal
 Trakea di deviasi kiri (posisi)
 Cor membesar (CTR ± 63.4%) apeks menempel pada hemothoraks kiri,
pinggang jantung mendatar.
 Sinus dan diagfragma kanan dalam batas normal. Sinus dan diagfraga kiri
tertutup bayangan jantung.
Pulmo :
- Hilus kanan dalam batas normal. Hilus kiri superposisi bayangan jantung
- Corakan bronkovaskuler sebagian bertambah.
- Tampak infiltrat di perihilier kiri
- Tidak tampak gambaran lusen avaskuler di hemithorak
bilateral/mediatinum.
- Kranialisasi (-)
Tampak terpasang ETT dengan ujung distal terlihat setinggi corpus vertebrae Th 4
Tampak terpaang CVC dengan ujung distal terlihat setinggi corpus verterbrae Th
9
Tampak terpasang Swan Ganz dengan ujung distal terlihat setinggi corpus
vertrebae Th 11-Th 12.
Tampak surgical wire yang terlihat setinggi corpus vertebrae Th 5-6, Th 8-9, Th
10-11.
Tampak terpasang drain substernal dengan ujung distal terlihat setinggi ICS 6
aspek posterior kiri.
Terpasang CTT dengan ujung distalterlihat setinggi paravertebrae Th 6 kiri.
Kesan :
- Suspek bronkopneumonia kiri.
- Tidak tampak pneumothoraks/pneumomediatinum.
- Kardiomegali.

49
EKG

Intepretasi EKG
1. Irama : sinus Rhytm
2. HR : 93 x/menit Reguler
3. Gel P : Tinggi 1 kk =0,1mv dtk Lebar 2kk = 0,08 detik, tiap gelombang P
diikuti QRS komplek 1:1, gelombang P bifasik di lead I, aVL, lead II, III,
aVF
4. P-R interval : normal (4 kk= 0,16)
5. Komplek QRS : normal 0,08 detik(lebar 2kk)
6. Gel Q : tidak terdapat gelombang Q patologis
7. ST segmen : Tidak terdapat ST elevasi Maupun ST depresi
8. Gel T : depleksi positif di semua lead
9. Axis : lead 1 Positif 4, lead aVF Negatif 8 (Normo axis Deviasi)
10. Sinus rhytm, Normo Axis dengan P mitral.

50
R. Therapi (Obat-obatan)
NAMA OBAT DOSIS RUTE INDIKASI
Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam IV antibiotik
Vit K 10 mg / 8 jam IV meningkatkan
percepatan
pembekuan darah
Kalnex 500 mg/8 jam IV membantu
menghentikan
pendarahan
Omeprazole 40 mg/12 jam IV obat untuk mengatasi
asam lambung
berlebih dan keluhan
yang mengikutinya
Dobutamin 10 mg/kg/jam Drip memperkuat denyut
jantung
Vascon 0,01 mcq/kg/mnt Drip meningkatkan tekanan
darah yang
diindikasikan pada
pasien yang menderita
tekanan darah rendah
akut
Dextmedotemidine mg /jam Drip senyawa sedatif yang
efektif dengan efek
depresi pernapasan
yang minimal
Kcl dalam nacl 100cc 25 meq Drip habis 4 jam mencegah atau
mengobati kadar
kalium darah rendah
(hypokalemia)
CaGlukonas dlm 2 Gram Drip habis 2 jam menaikan kadar
100ccnacl kalsium pada pasien
hipokalsemia

S. Kebutuhan Edukasi
 Pemahaman tentang penyakit :Menurut keluarga pasien tidak
mengetahui tentang penyakitnya, hanya mengetahui sakit jantung
 Pemahaman tentang pengobatan : Menurut keluarga pasien mengikuti
intruksi dokter karena ingin sembuh
 Pemahaman tentang nutrisi/diet : menurut keluarga pasien tidak
mengetahui untuk diet penyakit jantung

51
 Pemahaman tentang perawatan : menurut keluarga tidak mengetahui
cara perawatan pasca operasi
 Hambatan edukasi : tidak ada hambatan ( hanya
belum terpapar mengenai penyakit jantung

T. Perencanaan Pasien Pulang


Kriteria pasien yang dilakukan perencanaan pemulangan (Discharge
Planing) saat asesmen awal
Tempat tinggal pasien setelah pulang : Rumah sendiri
N
Kriteria Pasien Ya Tidak Keterangan
O

1 Usia diatas 60 

2 Pasien tinggal sendiri 

3 Tempat tinggal pasien memiliki tangga 

4 Memerlukan perawatan lanjutan dirumah 

5 Memiliki keterbatasan kemampuan merawat diri 

6 Pasien pulang dengan jumlah obat lebih dari 6 jenis/macam obat 

7 Kesulitan gerak/mobilitas 

8 Memerlukan alat bantu 

9 Memerlukan pelayanan medis 

10 Memerlukan pelayanan keperawatan 

11 Memerlukan bantuan dalam kehidupan sehari-hari 

12 Riwayat sering menggunakan fasilitas gawat darurat 

Kesimpulan : klien dan keluarga masuk kriteri dalam perencanaan persiapan


pulang.
U. Orientasi Pasien Baru (diberikan penjelasan mengenai)
 Lokasi ruangan : diberitahukan kepada keluarga pasien mengenai
perawatan di ruang GICU
 Tata tertib ruangan : diberitahukan kepada keluarga pasien mengenai
tata tertib ruangan

52
 Jam berkunjung : diberitahukan kepada keluarga pasien mengenai
waktu berkunjung
 Fasilitas ruangan : diberitahukan kepada keluarga pasien mengenai
fasilitas di ruang GICU
 Hak dan kewajiban : diberitahukan kepada keluarga pasien mengenai
hak dan kewajiban pasien selama di rawat
 Keamanan ruangan : diberitahukan kepada keluarga pasien
mengenai keamanan pasien selama di ruangan
 Waktu visite dokter : diberitahukan kepada keluarga pasien
mengenai waktu kedatangan dokter untuk memeriksa pasien
 Administrasi awal : diberitahukan kepada keluarga pasien
mengenai administrasi
 Rencana perawatan : diberitahukan kepada keluarga pasien
mengenai rencana perawatan setelah dilakukan perawatan di
ruang GICU

Pemeriksaan Penunjang Pre Operasi


Laboratorium tgl 21/11/2022
Darah Rutin : Nilai Normal Hitung Jenis

Hemoglobi 12.5 g/dL 12,3-15,3 g/dl Basofil 0 0–1%


n
Hematokrit 36.4 % 36.0-45.0 % Eosinofil 0 1–6%
3 3
Lekosit 8420 /mm 4.500-11.000/mm Batang 0 3–5%

Eritrosit 4.22 juta/µL 4.2-5,5juta/µL Segmen 69 40 – 70 %

Trombosit 317.000/mm3 150.000-450.000/mm3 Limfosit 22 30 – 45 %

MCV 86.3 fl 80-96 fl Monosit 8 2 – 10 %

MCH 28.7 pg 27.5-33.2 pg

MCHC 33.2 % 33.4-35.5%


Kimia Darah

Ureum 14.5 mg/dL 18-55 mg/dL

Kreatinin 0.59 mg/dL 0,6-1.0 mg/dL

eGFR ml/min/1.73m22
GDS 105 mg/dL < 140 mg/dL
Kalium 3.9 mEq/L 3,5-5,1 mEq/L

53
Natrium 138 mEq/L 135-145 mEq/L

Calcium 4.72 mEq/L 4.5-5.6 mg/dL

Magnesium 2.0 mEq/L 1.8-2.4 mg/dL

Echocardiography RS Santosa 18/04/22


• Slightly dilated RA, RV Dilated LA, Concentric Remodelling
• Normal LV systolic function, LVEF 60.3%
• Global Normokinetic at rest
• Diastolic dysfunction grade II
• Moderate MS ( doming & hockey stick (+)), Mild MR, Mild AR due to
rheumatic process.
• Mild TR, Intermediate probability of PH
• Normal RV contractility
Echocardiography RS Paramarta 24/10/22
• Dilated LA, Concentric LVH
• Preserved LV systolic function (LVEF 53%) simpsons
• Mild hypokinetic base anteroseptal wall
• Diastolic dysfunction grade II
• Moderate MS, Mild MR, due to mitral doming ec rheumatic mitral valve
calcification
• Low probability of PH, Mild TR
• Mild AR due to aortic valve calcification
• SEC -, Thrombus –
• Pericardial Effusion
TEE RSHS 24/11/22
• Dilated LA, RA, RV, concentric remodeling LV
• Normal LV systolic function (LVEF 54%) with D shaped LV
• LV diastolic dysfunction
• Severe low gradient MS, mild functional TR, mild AR,ec RHD, high
probability of PH
• Normal RV systolic function

54
• Suggestion : MVR
Echocardiography TEE RSHS 10/12/2022
• Dilated LA< RA, RV, concentric LV remodeling
• Borderline LV systolic function (LVEF 53%) with RWMA
• LV diastolic dysfunction +
• Mild AR, low gradient severe MS, mild MR due to rheumatic process
• High probability of PH
• Normal RV systolic function
• Suggestions : MV Replacement + CABG
Angiografi RS Santosa 19/04/22
• LM : Baik.
• LAD : Stenosis Kalsifikasi 70 -90 %
• LCx : Small Vessel, Stenosis 70 – 90%
• RCA : Stenosis 70% di Mid, Stenosis 80% di Distal.
Kesimpulan : CAD 3VD
Angiografi RSHS 22/11/22
• Sistem dominan kanan.
• Pembuluh LM tampak kalfisikasi, stenosis mild-moderate pada distal
(Medina 1,1,1).
• Pembuluh LAD tampak kalsifikasi, stenosis moderate-severe pada ostial-
distal, dengan lesi critical pada proksimal, bagian distal mendapat kolateral
dari RV branch.
• Pembuluh LCx tampak stenosis berat pada ostial-proksimal, CTO (J CTO
Score 2) pada distal, bagian distal mendapat kolateral dari OM1.
• Pembuluh RCA tampak kalsifikasi, stenosis moderate-severe pada
proksimal-mid, stenosis moderate-severe pada mid-distal RCA.
Kesimpulan : Calcified CAD LM-3VD dengan CTO LCx
USG Doppler Ekstremitas 23/11/22
• Tidak tampak plak pada kedua sistem arteri
• Flow kedua sistem arteri masih baik
• Tidak ditemukan chronic Venous Insufficiency pada vena kanan dan kiri

55
• Tidak ditemukan thrombus pada vena dalam dan vena superfisial di kedua
tungkai
USG Doppler Karotis 21/11/22
• Tampak plak tipe 3 non-stenotik pada bulbus arteri komunis kiri
• Tidak tampak plak pada arteri komunis kanan
• Tidak tampak penebalan pada arteri komunis kanan dan kiri
• Tidak terdapat diseksi pada arteri karotis kanan dan kiri
• Normal flow pada kedua arteri karotis kiri-kanan
• Normal flow pada kedua arteri karotis internal kiri-kanan
• Diameter normal pada arteri vertebralis kiri-kanan

56
Laporan Intra Operasi
1. Ruang operasi : OK bedah jantung LT2
2. Operasi terencana / terjadwal
3. Desinfeksi kulit dengan : povidone iodine
4. Jam operasi dimulai : jam 10:00 WIB
5. Jam selesai Operasi : jam 14:30 WIB
6. Macam sayatan : midsternal
7. Posisi penderita : supine

57
8. Temuan intra operasi :
- Jantung ukuran besar, cairan perikardium normal, kontraktilitas
baik.
- Stenosis di LAD, LCX dan RCA.
- Katup Mitral : penebalan leaflet, fusicomissure dan chordae.
- Dilakukan graft bypas ke :
• LIMA ke LAD
• SVG ke PDA
• SVG ke OM
9. Tehnik Operasi :
 Pasien posisi supine, induksi berjalan lancar, dipasang AL, CVC,
Side Port, Swanganz.
 Dilakukan tindakan antiseptik kemudian dilakukan drapping
 Dilakukan insisi median strenotomi, harvesting LIMA dan SVG,
masuk heparin
 Pericardium dibuka
 Dilakukan kanulasi aorta, SVC dan IVC dihubungkan kemesin
jantung
 CPB dimulai, kanulasi cardioplegi dipasang secara antegrade
 Suhu diturunkan dan dipasang cross clamp aorta, total bypass
 ACT diukur dengan nilai awal 131
 Heparim diberikan 2cc/kgBB, setelah nilai ACT tercapai 714
 Dilakukan Anastomosis distal (SVG ke PDA)
 Dilakukan Anastomosis distal (SVG ke OM)
 RA di buka dilakukan guirodon incission, evaluasi katup Mitral,
dilakukan MVR dengan katup mechanik no 23 (10 jahitan pledget)
 RA dan LA ditutup sambil dearing
 Dilakukan anastomosis proximal SVG-PDA dan SVG-OM
 Dilakukan anastomosis distal LIMA-LAD
 Dilakukan dearing dan warm perfusion
 Aortic cross clem of

58
 Weaning CPB sampai OF, mesin jantung dihentikan (CPB OF)
 Kemudian dilakukan dekanulasi SVC dan IVC
 Protamine diberikan, perdarahan dirawat
 Dekanulasi aorta, dilakukan pemasangan drain substernum no 32F
dan intrapleural kiri 28 Fr
 Kemudian sternum ditutup dengan steinles wire no 5,3 pasang
jahitan
 Kulit dijahit lapis demi lapis
 Operasi selesai
10. Laporan jalanya operasi :
 Sedia darah 15 labu ( 5 PRC, 5 FFP, 5 Trombosit)
 Perdarahan 1000 cc
 Operasi selesai jam 14:30 WIB
11. Instruksi pasca bedah :
 Kontrol nadi/tensi/pernafasan/suhu (tiap 1 jam)
 Puasa : sesuai ts anestesi
 drain : monitor produksi drain
 Infus : sesuai anestesi
 Obat – obatan : sesuai anestesi dan kardiologi
 Ganti balutan POD 3
 Cek lab post op jika HB < 10 berikan transfuso
 Rontgen thorax post operasi

59
60
61
62
63
3.2. Analisa Data
NO Data Etiologi Masalah Keperawatan

1. Ds : Operasi jantung dengan Gangguan ventilasi spontan


CPB, luka di sternum
- Tidak dapat di kaji klien
masih DPO
Do :

- Terpasang ventilator dengan


mode VC SIMV,RR= Pemakaian sedatif dan
19x/menit, IE 1:2, Tidal relaxan
Volume 320, PS= 5 PEEP 5,
FiO2 50 %.
- Nadi perifer teraba lemah
- Warna kulit pucat
- PH 7,360
- PCO2 49,2
- PO2 108,7 Deprsi pernapasan
- Luka Operasi di sternum
- Sedasi

Penurunan Complaince dan


recoil paru

Ventilasi Spontan

2. Ds : Intervensi CABG Nyeri akut

- Tidak dapat di kaji klien


masih DPO
Do : Luka insisi

- Skala nyeri cpot 2


- Luka operasi di sternal dan
kedua kaki Terputusnya kontinuitas
- Tekanan ibp 148/68 mmHg jaringan
- HR 78 x/menit
- Morpin 10 mcq/kgbb/
- Dexmedetomidine 0,4
mcq/kgbb
- RR 18 x/menit Menstimulasi saraf simpatis
- Suhu 35oC

Pelepasaan mediator nyeri

Nyeri dipersepsikan

64
Nyeri akut

3. Ds : CABG dengan mesin Resiko Penurunan curah jantung


perfusi
- Tidak dapat di kaji klien
masih DPO
Do :

- CI 2,5 L/menit/m2
- CO 3200 Liter Trauma jaringan
- Jumlah perdarahaan saat
operasi 1000 cc
- Nadi perifer teraba lemah
- Warna kulit pucat
- Tekanan ibp 148/68 mmHg
- Map 94 mmHg
- HR 78 x/menit Permeabilitas kapiler
- RR 18 x/menit meningkat
- Suhu 35oC
- JVP 5+2 mmH2O
- Akral dingin
- Vascon 0,01 mcq/kgbb/
- Dobutamin 10 mcq/kgbb
- Nilai cvp 14 mmHg Hipovolume
- Hb 10,3 mg/dl
- Urine out put 3,5
cc/kgbb/jam
- Produksi drain dan ctt 398
cc/7 jam
Perubahaan preload

Resiko Penurunan curah


jantung

4 Ds : Pemasangan alat invasiv Resiko Ineksi

- Tidak dapat di kaji klien


masih DPO
Do :

- Luka operasi di sternal dan Luka pada jirangan


kedua kaki
- Tekanan ibp 148/68 mmHg
- HR 78 x/menit
- RR 18 x/menit
- Suhu 35oC
- Trombosit 122.000 /ul
- Leukosit 9.850 /ul Port de entry
- Hb 10,3 mg/dl microorganisme
- Terpasang alat2 invasif :
 ETT no 7 kedalaman 20

65
cm
 ventilator dengan mode
SIMV, IE 1:2, Tidal
Volume 320, PEEP 5,
FiO2 50 %. Resiko infeksi
 Terpasang swanzgan di
jugularis kiri
 Terpasang CVC di
thorakal kanan
 Terpasang arteri line di
radialis kanan
 Terpasang dower cateter

3.3. Diagnosa Keperawatan


1) Gangguan ventilasi spontan b.d penurunan complaince dan recoil paru
2) Nyeri akut b.d agen pencedra fisik
3) Resiko penurunan curah jantung b.d perubahan preload
4) Resiko infeksi b.d tindakan invasif

66
3.4. Rencana Keperawatan
NO Perencanaan keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil intervensi

1. Penurunan ventilasi spontan b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen ventilasi mekanik
penurunan complaince dan recoil paru. 3x24 ventilasi meningkat dengan kriteria
hasil : Observasi

6. Volume tidal meningkat  Periksa indikasi ventilator mekanik


7. Tidak terdapat retraksi dada  Monitor kriteria perlunya terhadap status oksigenasi
8. Pelepasan ventilasi mekanik  Monitor kriteria perlunya penyapihan ventilator
9. PO2 dalam batas normal  Monitor efek negatif ventilator
10. PCO2 dalam batas normal  Monitor gejala peningkatan pernafasan
 Monitor kondisi yang meningkatkan konsumsi oksigen
 Monitor gangguan mukosa oral, nasal, trakea dan laring
Terapeutik

 Atur posisi kepala 45-600 untuk mencegah aspirasi


 Reposisi pasien setiap 2 jam
 Lakukan perawatan rutin
 Lakukan fisioterapi dada
 Lakukan pengisapan lendir sesuai kebutuhan
 Ganti sirkuit ventilator setiap 24 jam
 Siapkan bag-valve mask disamping tempat tidur
 Dokuemntasikan respon terhadap ventilator
Kolaborasi

 Kolaborasi pemilihan mode ventilator


 Kolaborasi pemberian agen pelumpuh otot,
 sedative, analgesik, sesuai kebutuhan
 Kolaborasi penggunakan PS atau PEEP untuk meminimalkan
hipoventilasi alveolus
Manajemen Asam Basa

67
Observasi

 Identifikasi penyebab ketidak seimbangan asam basa


 Monitor prekuensi dan kedalaman nafas
 Monitor status neurologis (mis. tingkat kesadaran, status mental)
 Monitor irama dan frekuensi jantung
 Monitor perubahan pH, PaCO2 dan HCO3
Terapeutik

 Ambil spesimen darah arteri untuk pemeriksaan AGD


 Berikan oksigen sesuai indikasi
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian ventilasi mekanik jika perlu

2. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
3x24 jam diharapkan tingkat nyeri
menurun dengan kriteria hasil : Observasi:

7. Keluhan tidak nyaman hilang  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
8. Tekanan darah dan HR normal intensitas nyeri
9. Skala nyeri 0  Identifikasi skala nyeri
10. Obat anti nyeri berkurang  Identifikasi respons nyeri non verbal
11. Pola nafas membaik  Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
12. Tidak terjadi kesulitan tidur  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik:

 Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri


 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

68
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


3. Resiko Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Syok Kardiogenik
perubahaan preload 3x24 jam diharapkan Ketidakadekuatan
jantung memompa darah meningkat Observasi
dengan kriteria hasil:
 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
6. Tekanan darah membaik frekuensi napas, TD, MAP)
7. Akral hangat  Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
8. Pemberian therapi suport  Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
menurun  Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
9. Nadi perifer teraba kuat  Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS
10. Warna kulit tidak pucat (deformity/deformitas, open wound/luka terbuka,
tenderness/nyeri tekan, swelling/bengkak)
 Monitor EKG 12 lead
 Monitor rontgen dada (mis: kongesti paru, edema paru,
pembesaran jantung)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CKMB, Troponin)
 Identifikasi penyebab masalah utama (mis: volume, pompa atau
irama)
Terapeutik

 Pertahankan jalan napas paten


 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin
 Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung, jika perlu
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian inotropik (mis: dobutamine), jika TDS 70


– 100 mmHg tanpa disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: dopamine), jika TDS 70
– 100 mmHg disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: norefinefrin), jika TDS <

69
70 mmHg
4. Resiko infeksi b.d tindakan invasif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan infeksi
3x24 jam tidak terjadi infeksi dengan
kriteria hasil : Observasi:

4. Tidak terjadi peningkatan suhu  Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik
tubuh Terapeutik
5. Nyeri tidak terjadi
6. Tidak ada kemerahan di sekitar  Batasi jumlah pengunjung
luka  Berikan perawatan kulit pada daerah edema
Tidak ada peningkatan nilai leukosit  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antibiotik

70
3.5 Implementasi Keperawatan
Hari,
Tanggal, No. Tindakan Keperawatan, Respon/Hasil Paraf
Jam Dx &Nama
Kamis,
02/11/2023

14.30 1,2  Memonitor kriteria perlunya terhadap status Kelompok 2


oksigenasi, prekuensi dan kedalaman nafas
 Memonitor irama dan frekuensi jantung
 Memonitor tingkat kesadaran dan respon
pupil
14.30  Memonitor status cairan
 Memonitor efek negatif ventilator
 Memonitor gejala peningkatan pernafasan
 Mengatur posisi kepala 45-600 untuk
mencegah aspirasi
 Melakukan pengisapan lendir sesuai
kebutuhan
 Mendokumentasikan respon terhadap
ventilator
 Berkolaborasi pemilihan mode ventilator
 Berkolaborasi pemberian agen pelumpuh
otot,
 sedative, analgesik, sesuai kebutuhan
15.30  Mengidentifikasi penyebab ketidak
seimbangan asam basa
 Memonitor perubahan pH, PaCO2 dan
HCO3
Respon / hasil:
16.00
Kesadaraan : On Sedasi (DPO)
 Tekanan Darah : 120/52 mmhg (arteri line)
 HR : 86 x/menit RR : 18 x/menit
 Suhu : 35,2 C Sat O2 : 98%
 Map : 60 mmHg CVP : 8 mmH2O
17.35  CO : 3200 CI : 2,5
 SVR : 2.250

Terpasang :
 ETT : no 7,5 , kedalaman 20 cm,
 selang ETT tidak ada kebocoran dan tidak
tergigit
 Ventilator mode VC SIMV ,RR 19x/menit,
IE ( 1: 2 ), Tidal volume 320, PS 5, Fi02
50%
 pH : 7, 3 pCO2 : 49,2
mmHg
 pO2 : 108,7 mmHg HCO3 : 27,7
mmHg
 t CO2 : 29,3 mmol/L BE : 2,3

71
19.30 3/4  Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas dan skala nyeri
 Mengidentifikasi respons nyeri non verbal
 Memberikan teknik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
R/ Luka daerah luka op tampak bersih tertutup
kassa, rembesan ( - )
Terpasang th/ drip midazolam 2 mg/jam
20.00  Mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
 Berkolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
 Memonitor tanda gejala infeksi lokal dan
sistemik
 Membatasi pengunjung
 Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien
 Mempertahankan teknik aseptik pada pasien
21.00 berisiko tinggi
 Berkolaborasi pemberian antibiotic

72
3.6 Catatan Perkembangan
Tanggal / jam Catatan Perkembangan TTD
3/10/2023 S : Kel 2
14:00 Klien mengatakan nyeri pada daerah luka op di
dada dan batuk
O:
 Klien sakit berat,
 GCS 15 compos mentis
 skala nyeri 3 ( 0 – 10 )
 Batuk ( + ) dahak berwarna putih ( + )
 TD 137/58 mmHg
 HR 63x/menit
 S 36 C
 RR 18x/menit
 Rh -/- , wh -/-
 SpO2 99%
 NRM 10 lpm
 MAP 82,
 CRT < 2 detik
 Tekanan arteri line 137/58
 DC terpasang produksi urine 17,3cc/jam,
 CPOT 1
 Terpasang morpin drip 10 mcq/KgBB/menit
A:
1. Gangguan ventilasi spontan teratasi
2. Nyeri akut teratasi sebagian
3. Resiko penurunan curah jantung
4. Resiko infeksi
P:
 Monitor status oksigenasi , frekuensi, dan
kedalaman nafas
 Monitor irama dan frekuensi jantung
 Ajarkan dan anjurkan tehnik batuk efektif
 Lakukan menejemen nyeri
I:
 Memonitor status oksigenasi, frekuensi, dan
kedalaman nafas
 Memonitor irama dan frekuensi jantung
 Mengajarkan dan anjurkan tehnik batuk efektif
 Melakukan menejemen nyeri
E:
 EKG / 24 jam
 Intake output / 24 jam

73
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pengkajian Keperawatan


Pada laporan kasus kelompok ini, pasien Post Coronary Artery Bypass
Graft (CABG) dan Mitral Valve Replacment (MVR). Terdapat luka post OP
yakni pada dada bagian tengah dan pada betis kaki bagian kanan dan kiri.
Penelitian syntax berusaha memberikan bukti yang diperlukan untuk
menentukan pilihan terapi terbaik dalam hal strategi revaskularisasi (CABG
atau PCI) bagi pasien-pasien CAD. Salah satu kesimpulan dari studi ini
adalah CABG masih merupakan pilihan terapi terbaik untuk pasien-pasien
dengan penyakit jantung koroner three-vessel atau left main (Antara et al.,
2019).
Hasil penelitian yang dilakukan Awaludin et al. (2018) menjelaskan
bahwa pasien post CABG mengalami perubahan dalam memandang kualitas
hidupnya. Hasil pengkajian yang didapatkan pasien mempunyai riwayat
hipertensi dengan tekanan darah IABP 120/52 mmHg, hasil laboratorium
menunjukkan klien mengalami anemia. Hal ini sejalan dengan yang
dijelaskan oleh Muthmainnah (2019) bahwa salah satu faktor risiko PJK ialah
faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) yaitu hipertensi.
Setelah dilakukan tindakan Angiography Koroner didapatkan hasil
bahwa klien mengalami Coronary Artery Disease 3 Vessel Disease + Critical
Left Main Disease. Hastuti & Mulyani (2019) membagi arteri koroner
menjadi dua bagian yaitu arteri koroner kiri atau Left Main (LM) dan arteri
koroner kanan atau Right Coronary Artery (RCA). Arteri koroner kiri atau
LM memiliki dua cabang yaitu Left Anterior Desendens (LAD) untuk
memperdarahi dinding anterior ventrikel kiri dan Left Circumflex (LCX)
untuk memperdarahi dinding lateral ventrikel. Selain dilakukan CABG pada
pasien ini dilakukan tindakan MVR dikarenakan mitral regurgitasi dan
stenosis pada katup mitral.
Pada saat dilakukan pengkajian pasien dalam pengaruh obat, sehingga
keluhan utama sulit untuk dikaji. Namun diagnosa yang diangkat pada kasus

74
ini adalah gangguan ventilasi sepontan, nyeri akut, resiko penurunan curah
jantung dan resiko infeksi.
4.2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan utama pada kasus di atas adalah gangguan
ventilasi sepontan. Masalah ini didapatkan pada saat selesai pengkajian pada
pasien saat dirawat di Ruang GICU B kamar 8 RSHS Bandung dengan data
terdapat luka post OP, klien tidak sadar dalam pengaruh obat, terpasang
ventilator dengan mode VC SIMV, RR= 19x/menit, IE 1:2, Tidal Volume
320, PS= 5 PEEP 5, FiO2 50 %. Nadi perifer teraba lemah, warna kulit pucat,
PH 7,360, PCO2 49,2 ,PO2 108,7, luka Operasi di sternum dan sedasi. Tanda
dan gejalanya yang dialami oleh klien pun diperkuat oleh buku Tim Pokja
SDKI DPP PPNI (2016) bahwa gejala dan tanda mayor subjektif ventilasi
sepontan salah satunya adalah dispnea dan tanda mayor objektif penggunaan
otot bantu meningkat, volume tidal menurun, PCO2 meningkat, PO2
menurun dan Spo2 menurun. Kemudian gejala dan tanda minor objektif salah
satunya adalah gelisah dan takikardi. Definisi ventilasi sepontan bersumber
dari buku Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) adalah penurunan Cadangan
energi yang mengakibatkan individu tidak mampu bernafas secara adekuat.
Penyebabnya meliputi gangguan metabolisme dan kelelahan otot pernafasan.
Selanjutnya didapat Skala nyeri cpot 2, Luka operasi di sternal dan
kedua kaki, Tekanan IBP 148/68 mmHg, HR 78 x/menit, RR 18 x/menit dan
Suhu 35oC. Tanda dan gejalanya yang dialami oleh klien pun diperkuat oleh
buku Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) bahwa gejala dan tanda mayor
objektif tampak meringis, bersikap protektitif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat dan sulit tidur. Kemudian tanda dan gejala minor objektif salah
satunya adalah tekanan darah meningkat dan pola nafas meningkat, nafsu
makan berubah dan proses berfikir terganggu. Definisi nyeri akut sepontan
bersumber dari buku Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016) adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

75
Dari hasil echo terdapat Cardiac Index 2,5 L/menit/m2, Cardiac
Output 3200 Liter, jumlah perdarahaan saat operasi 1000 cc, Nadi perifer
teraba lemah, warna kulit pucat, tekanan IBP 148/68 mmHg, Map 94 mmHg,
HR 78 x/menit, RR 18 x/menit, Suhu 350 C, JVP 5+2 mmH2O, akral dingin,
terapi Vascon 0,01 mcq/kgbb/m, Dobutamin 10 mcq/kgbb/m, Nilai CVP 14
mmHg, Hb 10,3 mg/dl, urine out put 3,5 cc/kgbb/jam dan produksi drain dan
CTT 398 cc/7 jam. Tanda dan gejala tersebut dapat beresiko perubahan
afterload, frekuensi jantung, irama jantung, kontraktilitas dan preload.
Definisi resiko penurunan curah jantung bersumber dari buku Tim Pokja
SDKI DPP PPNI (2016) adalah beresiko mengalami pemompaan jantung
yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Terdapat Luka operasi di sternal dan kedua kaki, tekanan IBP 148/68
mmHg, HR 78 x/menit, RR 18 x/menit, suhu 35oC, Trombosit 122.000 /ul,
Leukosit 9.850 /ul, Hb 10,3 mg/dl, terpasang alat2 invasif : ETT no 7
kedalaman 20 cm, ventilator dengan mode SIMV, IE 1:2, Tidal Volume 320,
PEEP 5, FiO2 50 %., Terpasang swanzgan di jugularis kiri, Terpasang CVC
di thorakal kanan, terpasang Arteri line di radialis kanan dan terpasang
Dower cateter. Tanda dan gejala tersebut dapat beresiko penyakit kronis, efek
prosedur invasive, malnutrisi, peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan, ketidakadekutan pertahanan tubuh.

4.3. Intervensi Keperawatan


Pelaksanakan Berdasarkan analisis literatur , gangguan ventilasi
spontan merupakan permasalahan yang paling sering dialami dan jika tidak
mendapatkan penanganan yang cepat akan berakibat fatal yaitu kematian.
Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur posisi pasien
dengan semi-fowler. Posisi ini akan menggunakan gaya gravitasi untuk
membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan visceral abdomen
pada diagframa. Pengembangan paru pada posisi ini akan memaksimalkan
volume tidak paru sehingga pernafasan menjadi lebih maksimal (Wijayanti et
al, 2019). Penelitian yang dilakukan oleh Suhatridjas dan Isnayati (2020)
menunjukkan bahwa pasien sesak nafas yang diberikan pengaturan posisi

76
semifowler, menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dimana
kemampuan bernafas menjadi lebih maksimal.
Dukungan ventilasi bertujuan untuk membantu ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi sebagai pencegahan kerusakan paru dan kelemahan
otot pernafasan karena sedang dalam kondisi diistirahatkan (Smeltzer, 2015).
Salah satu tindakan dukungan ventilasi yang dapat dilakukan sewaktu adalah
dengan memberikan posisi semi fowler. Pemberian posisi semi fowler
terbukti dapat membantu penurunan konsumsi oksigen dan meningkatkan
ekspansi paru menjadi lebih maksimal sehingga dapat mengatasi gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan membran alveolus.
Posisi ini akan membuat pasien terhindar dari sesak nafas dan memberikan
kenyamanan (Suwaryo, Amalia, Waladani, 2021).
Penerapan posisi semi fowler yang dilakukan pada pasein akan
membantu dalam mengurangi sesak nafas dan mengoptimalkan ventilasi
(Muzaki dan Ani, 2020). Selain mengatasi gangguan ventilasi, pengaturan
posisi head up 30 derajat akan menurunkan tekanan intrakranial pasien cedera
kepala, meningkatkan oksigen ke otak, serta merilekskan pasien (Kusuma dan
Anggraeni, 2019). Gravitasi pada posisi semi fowler menyebabkan aliran
darah pada alveoli di basis paru meningkat 10 kali lebih tinggi daripada di
bagian apeks paru pada posisi berdiri dengan kata lain aliran darah dari paru
meningkat secara linier dari apeks ke basis (Laitupa dan Amin, 2016).
Penerapan posisi semi fowler yang dilakukan pada pasein akan membantu
dalam mengurangi sesak nafas dan mengoptimalkan ventilasi (Muzaki dan
Ani, 2020). Pengaturan posisi ii dapat didukung dengan pemberian intervensi
lainnya.

4.4. Implementasi keperawatan


Implementasi merupakan proses keperawatan yang terdiri dari
serangkaian aktifitas keperawatan dari hari ke hari yang harus dilakukan dan
didokumentasikan dengan cermat. Pada tahap ini perawat harus melakukan
tindakan keperawatan yang ada dalam rencana keperawatan. Pelaksanaan

77
keperawatan pada Ny.Y telah dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan
yang telah disusun sesuai dengan masalah pasien.
Dalam melaksanakan rencana tindakan keperawatan mengacu pada
teori yaitu melalui tahap-tahap pelaksanaan yang terdiri dari 3 tahap yaitu
persiapan, pelaksanaan dan dokumentasi. Tahap persiapan terdiri dari
menganalisa dan menggali kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan. Mengetahui komplikasi yang timbul pada kasus dan persiapan
pencatatan atau pendokumentasian. Seluruh rencana tindakan dapat
dilakukan, tetapi tidak dalam 24 jam karena keterbatasan waktu, sehingga
kami mendelegasikan kepada perawat ruangan.

4.5. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan merupakan langkah terakhir dari proses
keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari
rencana keperawatan tercapai atau tidak. Hasil evaluasi dari keempat
diagnosa keperawatan yang kami angkat pada kasus yakni.
Diagnosa pertama yaitu gangguan ventilasi spontan berhubungan
dengan penurunan complaince dan recoil paru masalah teratasi dikarenakan
pasien dapat bernafas spontan dan diberikan terapi oksigenasi minimalis.
Diagnosa kedua Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedra fisik,
masalah teratasi sebagian ditandai dengan pasien mengatakan badannya
terasa lemah, TD: 120/52 mmhg (arteri line), HR: 86 x/menit, RR: 18
x/menit, CO: 3200, CI: 2,5, SVR: 2250, CVP: 8 mmHg, EF: 50%.
Diagnosa ketiga, Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan preload, masalah tidak terjadi ditandai dengan pasien tidak ada
kriterika tanda-tanda penurunan curah jantung karena hemodinamik stabil
TD: 120/52 mmhg (arteri line), HR: 86 x/menit, RR: 18 x/menit Intake : 625
cc/7jam output : 373 cc/7 jam.
Diagnosa keempat, resiko infeksi berhubungan dengan tindakan
invasive, masalah tidak terjadi ditandai dengan luka operasi tampak bersih
tertutup kassa steril dan tidak ada rembesan, tidak ada tanda- tanda infeksi
pada luka post operasi.. Faktor pendukung dalam pelaksanaan adalah

78
pendokumentasian yang dilakukan cukup lengkap sehingga kami dapat
mengevaluasi tindakan yang berpedoman pada implementasi yang sudah
dilakukan

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pasca bedah Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) dan MVR (Mitral Valve Replacment) merupakan hal yang sangat
penting karena menentukan keberhasilan pasien dalam melewati masa-masa
kritis pasca pembedahan. Keberhasilan ini akan dapat dicapai apabila perawat
dapat melakukan pengkajian yang spesifik hingga implementasi yang tepat
dan benar pada pasien.
Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan pada Ny. Y setelah
menjalani pembedahan, didapatkan beberapa diagnosa keperawatan. Adapun
diagnose keperawatan pada Ny.Y yaitu:
1. Gangguan ventilasi spontan b.d penurunan complaince dan recoil
paru
2. Nyeri akut b.d agen pencedra fisik
3. Resiko penurunan curah jantung b.d perubahan preload
4. Resiko infeksi b.d tindakan invasif
Pada asuhan keperawatan yang telah diberikan terdapat beberapa
pencapaian yang telah dilalui oleh pasien ditandai dengan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang stabil dan tidak terjadinya penurunan curah jantung,
bersihan jalan nafas sudah mulai efektif, perdarahan serta infeksi tidak terjadi.

5.2 Saran
Dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualiatas pelayanan
keperawatan pada pasien dengan post operasi CABG dan MVR, maka penulis
ingin menyampaikan beberapa pemikiran/saran sebagai berikut:
 Untuk pasien pasca operasi CABG dan MVR

79
Sebaiknya pasien yang telah melakukan operasi CABG dan MVR agar
dapat menjaga kesehatan untuk mencegah faktor resiko yang dapat
menyebabkan kejadian aterosklerosis kembali. Pembatasan aktivitas post
operasi di bulan-bulan pertama sangat perlu diperhatikan, sebaiknya
pasien post operasi CABG dan MVR mengurangi aktivitas agar tidak
terjadi komplikasi-komplikasi post pembedahan seperti terjadinya
perdarahan, serta diharapkan pasien mengikuti rehabilitasi sesuai
program sehingga fungsi secara fisik, mental, dan spritual kembali
optimal.
 Untuk keluarga pasien pasca operasi CABG dan MVR
Keluarga dapat memberikan dukungan baik secara moril maupun spritual
kepada pasien. Support dari keluarga sangat membantu dalam pemulihan
pasca operasi CABG dan MVR.
 Untuk teman sejawat perawat
Sebagai perawat yang profesional diharapkan mampu memahami konsep
dan dapat melakukan perawatan post bedah CABG dan MVR. Untuk itu
perawat harus dapat memahami defenisi, indikasi, komplikasi, dan
asuhan keperawatan dalam merawat pasien pasca operasi CABGdan
MVR, sehingga dapat meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien pasca operasi CABG dan MVR.

80
Daftar Pustaka

Awaludin, S., A, A. C. N., & Sekarwati, W. (2018). Hubungan Kecemasan


dengan Kualitas Hidup Pasien Post Coronary Artery Bypass Graft
(CABG) Di Ruang Rehabilitasi Jantung Rumah Sakit Jantung Dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Jurnal Kesehatan Kusuma
Husada, 1(1), 243–247.

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Singapore : Elsevier.

Bravo-jaimes, K., Tankut, S., Mieszczanska, H. Z., & As, A. S. (2018).


Cardiology Consult Manual. In Cardiology Consult Manual.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-89725-7

Brunner & Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal-Bedah (12th Ed.; Eka Anisa
Mardela, Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cohn, L. H., & Adams, D. H. (2018). Cardiac Surgery in the Adult (5th ed.). Mc
Graw Hill Education.

Etnel, J.R.G., Huygens, S.A., Grashuis, P., Pekbay, B., Papageorgiou, G.,
Hesselink, J.W.R., Bogers, A.J.J.C., & Takkenberg, J.J.M. (2019).
Bioprosthetic aortic valve replacement in nonelderly adults: a systematic
review, meta-analysis, microseimulation. Circulation: Cardiovascular
Quality and Outcomes, 12:e005481

Fadilah, N. (2016). Terapi Latihan pada Pasien Pasca Operasi Mitral Valve
Replacment. Tesis. Universitas Airlangga.

Falk, V., Baumgartner, H., Bax, J. J., De Bonis, M., Hamm, C., Holm, P. J., Iung,
B., Lancellotti, P., Lansac, E., Muñoz, D. R., Rosenhek, R., Sjögren, J.,
Tornos Mas, P., Vahanian, A., Walther, T., Wendler, O., Windecker, S., &
Zamorano, J. L. (2017). 2017 ESC/EACTS Guidelines for the management
of valvular heart disease. European Journal of Cardio-Thoracic Surgery :
Official Journal of the European Association for Cardio-Thoracic
Surgery, 52(4), 616–664. https://doi.org/10.1093/ejcts/ezx324.

81
Harahap, M. A., Nurelilasari, & Ritonga, N. (2021). Pengaruh Dzikir Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Post Operatif Bedah Mayor Di
Ruang Rawat Bedah J. Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia, 1(1), 45–52.

ICU-CNE. ICU Cardiac Surgery Post-op Care. Fifth Edition. Liverpool: New
South Wales Government. 2016.

Ko SB. Perioperative stroke: pathophysiology and management. Korean Journal


of Anesthesiology. 2018; 71 (1): 3-11.

Lemone, P. et al. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


Kardiovaskular Edisi 5. Jakarta: EGC.

Li, R. L., Luo, C. W., Ho, Y. C., Lee, S. S., & Kuan, Y. H. (2019). Heart valve
operations associated with reduced risk of death from mitral valve disease
but other operations associated with increased risk of death: A national
population-based case-control study. Journal of Cardiothoracic Surgery,
14(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s13019-019-0984-x

Mabruroh, F., & Syarif, S. (2020). Risiko Stres terhadap Penyakit Jantung
Koroner (Analisis Lanjut Studi Kohort Penyakit Tidak Menular): Nested-
case control. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 19(3), 120–125.
http://journals.stikim.ac.id/index.php/jikes/article/view/660/503

Matthews, Rachel .(2009). Surgical procedure and nursing care for coronary
heartadisease.Nursing times : Vantagea London dilihat di 11 November
2023,
https://www.nursingtimes.net/clinicalarchive/cardiovascular/surgicalproce
dure-and nursing-care-for-coronary-heart-disease/199516.article

Nishimura, R. A., Otto, C. M., Bonow, R. O., Carabello, B. A., Erwin, J. P.,
Fleisher, L. A., Jneid, H., Mack, M. J., McLeod, C. J., O’Gara, P. T.,
Rigolin, V. H., Sundt, T. M., & Thompson, A. (2017). 2017 AHA/ACC
Focused Update of the 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of
Patients with Valvular Heart Disease: A Report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines. In Circulation (Vol. 135, Issue 25).
https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000503

Pahlawi, R., & Sativani, Z. (2021). Active Cycle Breathing Technique Terhadap
Fungsional Paru Pasien Post CABG (Laporan Kasus Berbasis Bukti).
Jurnal Keperawatan Profesional, 2(1), 1–6.

Pratiwi, F. W., & Saragi, J. S. (2018). PEMANTAUAN KATETERISASI


JANTUNG PADA TINDAKAN PTCA TERHADAP PASIEN CAD.
Jurnal Arsip Kardiovaskular Indonesia (ARKAVI) |, 03(01), 182–186.

82
Prayogi, M. D., Hernawan, B., Herawati, E., & Romadhon, Y. A. (2019).
Correlation between Number of Prayer and Anxiety with Cardiovascular
Risk in Elderly. Proceeding Book National Symposium and Workshop
Continuing Medical Education XIV, December, 911–918.

Peretto G, Durante A, Limite LR, Cianflone D. Postoperative Arrythmias after


Cardiac Surgery: Incidence, Risk Factors, and Therapeutic Management.
Cardiology Research and Practice. 2014; 2014: 615987.

PERKI. (2016). Panduan Praktik Klinis (PPK) & Clinical Pathway (CP)
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Pertama). Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Petrou A, Tzimas P, Siminelakis S. Massive bleeding in cardiac surgery.


Definitions, predictors and challenges. Hippokratia. 2016; 20 (3): 179-86.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI

Vives M, Hernandez A, Parramon F, et al. Acute kidney injury after cardiac


surgery: prevalence, impact and management challenges. Int J Nephrol
Renovasc Dis. 2019; 12: 153-6.

Whittle, J., & Kelleher, A. A. (2015). Preoperative assessment for cardiac surgery.
Anaesthesia and Intensive Care Medicine, 16(10), 484–490.
https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.07.009

83

Anda mungkin juga menyukai