HARAPAN KITA
STUDI KASUS
Disusun Oleh:
TIM PEMBIMBING
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 11 Desember 2023
ii
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan studi kasus dengan judul
“Asuhan Keperawatan pada Tn. J dengan Shock Cardiogenic Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions (SCAI) C pada ST Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) Anterior Onset 8 Hari Pada Ventricularseptal
Rupture (VSR) dengan Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) di Intensive
Cardiovascular Care Unit (ICVCU) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita”. Penulisan studi kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
sebagai peserta pelatihan khusus keperawatan kardiovaskular (perawatan ICVCU)
di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Penulisan studi kasus ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP (K), MARS, FACC, FESC., selaku direktur utama
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
2. Ibu Tina Rahmawati, Sp. MM, selaku Kepala Instalasi Diklat RS Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
3. Bapak Asep Teten Nugrah, S.Kep, Ners, selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan, dukungan, dan motivasi dalam penulisan studi kasus ini.
4. Ibu Emireta Ratri Ingsih, S.Kep, Ners, selaku penguji yang telah
memberikan masukan dan dukungan dalam studi kasus ini
5. Bapak Ahmad Fauzi, S.Kep, Ners, selaku penguji dan Kepala Unit ICVCU
yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam studi kasus ini, serta
dalam proses pembelajaran di lahan praktik.
6. Ibu Siti Noorwidiastuti, S.Kep, Ners, selaku Ka. Instalasi Rawat Intensif dan
Kegawatdaruratan Kardiovaskular Diklat RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita yang telah memberikan dukungan dalam proses pembelajaran
di lahan praktik.
7. Seluruh Leader dan Senior di ICVCU yang telah mengajarkan ilmu
kardiovaskular dan bimbingan selama saya mengikuti pelatihan.
iii
8. Suami, orang tua, dan anak-anak saya, yang selalu mendukung dan
mendoakan selama saya mengikuti pelatihan.
9. Teman-teman program pelatihan khusus keperawatan kardiovaskular dan
PKKvTD Angkatan 6 tahun 2023 yang telah membersamai dalam suka dan
duka selama mengikuti pelatihan ini.
10. Teman-teman di RSUD Kab. Buleleng yang telah memberikan saya
dukungan selama mengikuti pelatihan ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulisan studi kasus ini. Semoga
studi kasus ini diterima dan bermanfaat. Penulis memohon kritik dan saran yang
membangun agar studi kasus ini dapat lebih baik dalam pengembangan ilmu
keperawatan.
Jakarta,
Desember 2023
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
5.2 Saran ......................................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................89
LAMPIRAN ..........................................................................................................93
vi
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
viii
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Koroner akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan
suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka angka
perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi (PERKI,2018). SKA
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gejala yang
dihasilkan dari iskemia miokard akut . SKA terdiri dari ST Elevasi Myocardial
Infarction (STEMI), Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI), dan Unstable
Angina Pectoris (UAP) (Lita,2021).Salah satu jenis STEMI adalah STEMI
Inferior.STEMI Anterior merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan
suplai darah kebagian arteri sisi anterior dinding jantung (Bansal et al,2022).
Salah satu kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan dengan waktu dan
tindakan yang tepat adalah acute coronary syndrome (ACS). ACS juga
merupakan diagnosis penyakit jantung dengan prevalensi tertinggi yang
membutuhkan pelayanan baik darurat maupun rawat inap di seluruh dunia. Pasien
dengan diagnosis ACS pada ST elevation myocardial infarction (STEMI) adalah
pasien dengan tingkat kematian dan morbiditas tertinggi jika tidak ditangani
dengan tindakan dan waktu yang tepat. Kemampuan untuk mengenali sedini
mungkin kasus ACS sangat penting untuk mencapai penanganan dan waktu yang
tepat guna menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (Lestari, 2022).
1
2
Peran perawat sangat dibutuhkan dalam upaya perawatan pada pasien penyakit
kardiovaskular, baik secara promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Oleh
sebab itu, perawat perlu memahami dan mengetahui konsep teoritis dan
keterampilan profesional sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan
komprehensif pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, khususnya yang
menggunakan device IABP. Berdasarkan latar belakang tersebut, saya tertarik
untuk mengangkat kasus pasien dengan device IABP sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sebagai praktisi keperawatan agar dapat mengetahui konsep teori
dan mengaplikasikan pada asuhan keperawatan
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
STEMI adalah jenis acute coronary syndrome (ACS) yang paling fatal dan jika
tidak ditangani memiliki mortalitas dan morbiditas terburuk. STEMI merupakan
suatu kondisi yang terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya
sehingga mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskemia yang
berkepanjangan. STEMI dikenali dari temuan elektrokardiogram (EKG) yang
karakteristiknya memiliki ST elevasi dan berhubungan dengan oklusi arteri
koroner total atau hampir total (Sekhon, 2023). Suplai darah ke jantung terbagi
atas 2 arteri utama, yakni arteri koroner kanan atau right coronary artery (RCA)
dan arteri koroner utama kiri atau left main coronary artery (LMCA). LMCA
kemudian terbagi lagi menjadi 2, yakni arteri koroner kiri anterior desenden atau
left anterior descending artery (LAD) dan arteri koroner kiri sirkumfleks atau left
circumflex artery (LCx) (Kurnia, 2020; Suhardi & Shujuan, 2021).
2.1.2 Etiologi
5
6
kelamin laki-laki, aktivitas fisik, obesitas, dan gizi buruk (Voudris & Kavinsky,
2019; Pop et al., 2019).
2.1.3 Patofisiologi
Sebagian besar ACS adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi
plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan
diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah
trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat
liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi
mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu
terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama ± 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark
miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari
iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena
proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), disritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien ACS tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami ACS karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah percutaneous coronary intervention (PCI). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardi, dapat menjadi
pencetus terjadinya ACS pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
ACS tanpa adanya elevasi segmen ST, terjadi pembentukan trombus dengan
oklusi yang parsial. Sedangkan pada STEMI, trombus yang terbentuk
menyebabkan oklusi total pada lumen pembuluh darah koroner. (Ketut et al.,
2022, Liwang, Yuswar, Wijaya, & Sanjaya, 2020; Patricia et al., 2018; PERKI,
2018).
7
Pasien dengan STEMI biasanya ditemukan keluhan nyeri dada tipikal, rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium, berlangsung secara intermiten/beberapa
menit atau persisten (>20 menit). Ini disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (Collet et al., 2021;
Gulati et al., 2021; PERKI, 2018).
Kriteria Skor
Pasien usia ≥75 tahun 3
Usia 65-74 2
Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Angina 1
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 3
Nadi > 100x/ menit 2
Kelas Killip II-IV 2
Berat Badan < 67 kg 1
STEMI Anterior atau LBBB 1
Waktu ke tindakan > 4 jam 1
Skor Total 0- 14
8
Skor risiko timi untuk STEMI menunjukkan hubungan yang kuat dengan
mortalitas pada 30 hari, dengan peningkatan mortalitas yang dinilai >40 kali lipat
dibanding yang memiliki skor risiko 0 dan mereka yang memiliki skor >8. Skor
risiko TIMI dinilai dengan membandingkan dengan tingkat kematian yang
diamati di seluruh populasi dibagi menjadi desil risiko.
Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi
GRACE. Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi
risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30
hari.
Tabel 2.4 Klasifikasi Killip
Kelas Killip Karakteristik Klinis Mortalitas
I Tidak terdapat gagal jantung 6%
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi basah 17%
pada setengah lapangan paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di seluruh 38%
lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah sistolik 81%
10
Tes yang negatif pada 1 kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark
miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya
12
menghilang dalam 2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini
dapat menetap hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia,
dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan meningkat dalam waktu 4-6
jam, mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
EKG adalah alat diagnostik lini pertama dalam penilaian pasien dengan dugaan
ACS. Direkomendasikan untuk melakukan perekaman EKG 12 lead dalam waktu
10 menit setelah kedatangan pasien di ruang gawat darurat, atau idealnya pada
kontak pertama dengan layanan medis. Jika sadapan standar tidak meyakinkan
dan pasien memiliki tanda atau gejala yang menunjukan iskemia miokard yang
sedang berlangsung, sadapan tambahan harus dicatat, sadapan kanan V3R, V4R
dan posterior V7, V8, V9 untuk mengetahui adakah infark di kanan atupun di
posterior dengan kecurigaan iskemia inferior.
pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas.
2.1.7 Penatalaksanaan
Jika pasien STEMI, sebagai terapi tambahan harus dilakukan reperfusi sesegera
mungkin. Jika STEMI berkembang dalam waktu kurang dari 12 jam, target dari
kontak medis pertama hingga door to balloon adalah 90 menit, sedangkan door to
needle (fibrinolisis) adalah 30 menit. Artinya, waktu pasien sampai di UGD
hingga waktu fibrinolisis harus kurang dari 30 menit. Pasien ini harus bedrest
dipantau dan melanjutkan therapi.
15
16
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi dari ACS terutama pasien dengan STEMI antara lain gagal jantung,
aritmia, dan komplikasi mekanik (PERKI, 2018).
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior,
dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling
patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai akibat dari
aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal
jantung secara klinis pada fase akut dan subakut didasari oleh gejala-gejala khas
seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi
pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri
dan berkurangnya fraksi ejeksi.
Pada pasien yang mengalami kegagalan dalam relaksasi maupun kontraksi dapat
ditemukan kondisi hipotensi, kongesti paru, keadaan curah jantung rendah, dan
syok kardiogenik. Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di
bawah 90 mmHg. Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di
segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada roentgen
dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator. Sedangkan
dalam keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal, dan berkurangnya produksi urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi
mekanis atau infark ventrikel kanan. Pasien yang datang dengan hipotensi, curah
jantung yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria,
ekstremitas dingin) dan kongesti paru dapat menjadi syok kardiogenik. Syok
kardiogenik terjadi dalam 6 – 10 % kasus ACS dan merupakan penyebab
kematian utama dengan angka mortalitas di rumah sakit berkisar mendekati
18
2.1.8.2 Aritmia
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam ±5 hari sejak infark
miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT
yang tidak berlanjut sebesar 13%, high degree atrioventricular (AV) sebesar 10%
(<30 detak per menit selama 28 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (<30 detak per
menit selama 28 detik), sinus arrest sebesar 5% (25 detik), ventrikel takikardia
(VT) berkelanjutan sebesar 3% dan ventrikel fibrilasi (VF) sebesar 3%.
Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48 jam) atau VT
yang berkelanjutan pada pasien dengan infark mickard akut masih kontroversial.
Pada pasien dengan infark miokard akut. VF/VT yang terjadi awal merupakan
indikator peningkatan risiko mortalitas 30 hari (22 % vs 5%) dibandingkan
19
Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari
setelah STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan
meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua
komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan
secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat
mendeteksi adanya murmur jantung baru dan harus dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera yang dapat menunjukkan regurgitasi mitral atau ventricular
septal rupture (VSR). Ventricular septal rupture (VSR), pasca infark merupakan
komplikasi yang menakutkan dengan angka mortalitas yang tinggi VSR
menyebakan pirau kiri kekanan, memiliki manifestasi klinik dari hemodinamik
stabil hingga syok kardiogenik. Pembedahan merupakan terapi definitip namun
masih menjadi tantangan tersendiri karena tingkat mortalitas dan morbiditas yang
tinggi.
Sebelum ketersediaan intervensi trombolitik dan PCI, kejadian VSR sekitar 2%.
Dengan munculnya terapi yang efektif dan pengurangan waktu untuk
revaskularisasi, kejadian VSR telah berkurang menjadi 0.31%.Meskipun insiden
menurun tapi hasil pasien dengan ventricular septal rupture tetap buruk(Eur
20
Menurut penelitian Global Registry for Acute Coronary Events (GRACE), tingkat
VSR pada infark miokard akut yang dilakukan dengan PCI berkurang (0.7%)
dibandingkan infark miokard pada pasien yang dilakukan dengan terapi
trombolitik (1.1 %). Insiden VSR pada STEMI lebih tinggi dibanding dengan
UAP atau NSTEMI (0.9%). Kondisinya bersifat progresif, dan lebih dari 90%
meninggal dalam 12 bulan pertama. Prognosis yang buruk terutama disebabkan oleh
kelebihan volume yang tiba-tiba pada kedua ventrikel (Mubarik & Iqbal, 2022).
2.2.2 Etiologi
Penyebab paling umum dari ruptur septum ventrikel adalah infark miokard
transmural di salah satu arteri koroner berikut:
2.2.2.1 LAD; memasok sebagian besar bagian anterior septum interventrikular.
Ini dapat menyebabkan VSR apikal.
2.2.2.2 RCA dominan; memasok bagian paling inferior dari septum
interventrikular. Hal ini dapat menyebabkan VSR basal.
Faktor risiko VSR meliputi jenis kelamin wanita, peningkatan usia, episode
pertama infark miokard, infark miokard dengan elevasi segmen ST, skor risiko
GRACE yang tinggi, penyakit ginjal kronis, dan tertunda reperfusi (Damluji et al.,
2021; Mubarik & Iqbal, 2022).
2.2.3 Patofisiologi
Aliran darah ke septum berasal dari cabang LAD dan PDA. Dalam kasus yang
jarang terjadi, suplai darah mungkin juga berasal dari LCx. Infark biasanya
transmural dan luas. Hampir dua pertiga dari VSR terjadi di dinding septum
anterior, dan sekitar sepertiga terjadi di dinding inferior atau posterior. Sering
21
disertai dengan insufisiensi katup mitral sekunder akibat disfungsi atau ruptur otot
papiler. Pada otopsi, arteri koroner penyebab hampir seluruhnya tersumbat tanpa
adanya kolateral. Dalam kasus yang jarang terjadi, mungkin ada beberapa
perforasi septum.Temuan patologis yang paling umum dari septum infark adalah
nekrosis koagulasi yang didefinisikan sebagai denaturasi kering akibat
kekurangan oksigen akibat hilangnya suplai darah. Ini berkembang menjadi
penipisan dan pelemahan septum. Proses ini biasanya memakan waktu tiga
sampai lima hari setelah infark miokard akut. VSR juga dapat terjadi dalam 24
jam setelah infark miokard akibat diseksi hematoma intramural atau perdarahan
ke dalam miokardium yang sakit. Mekanisme utama di balik VSR adalah stressor
geser fisik, terutama di persimpangan area infark dan miokardium normal yang
sehat (Mubarik & Iqbal, 2022).
2.2.4 Klasifikasi
Tipe III: Presentasi terlambat, pembentukan aneurisma, dan ruptur, terkait dengan
infark yang lebih lama (Mubarik & Iqbal, 2022).
Rontgen dada dapat mengungkapkan pembesaran ventrikel kiri dan edema paru.
Ekokardiografi digunakan untuk mendiagnosis VSR, yang menunjukkan aliran
darah melintasi septum ventrikel. Ekokardiogram juga menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan dan hipertensi pulmonal akibat peningkatan aliran darah sisi
kanan. Blok jantung mungkin ada pada 30% pasien. Ekokardiografi doppler
warna juga berguna dalam evaluasi ukuran anatomi ruptur. Kateterisasi jantung
hanya dilakukan pada pasien yang stabil. Prosedur ini dapat membantu
membedakan VSR dari regurgitasi mitral. Pada VSR, pasien akan mengalami
22
peningkatan oksigen antara atrium kanan dan arteri pulmonalis (Mubarik & Iqbal,
2022).
2.2.6 Penatalaksanaan
Ada dua teknik bedah untuk memperbaiki VSR, termasuk prosedur Daggett dan
prosedur David.
2.2.6.1 Prosedur Daggett: Menambal cacat dengan jahitan di kedua ventrikel
(teknik inklusi infark)
2.2.6.2 Prosedur David: Menambal ruptur dengan jahitan di ventrikel kiri saja
(teknik eksklusi infark)
Perbaikan VSR posterior lebih berisiko daripada ruptur anterior karena kedekatan
otot papiler. Jika VSR berkembang dalam 24 jam setelah infark miokard,
intervensi bedah lebih sulit karena sulit untuk membedakan antara jaringan yang
sehat dan yang baru mengalami infark. Selain itu, pada titik ini otot lemah dan
tidak mampu menahan jahitan. Untuk itu, operasi yang ditunda memungkinkan
perbaikan septum yang lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran
ruptur, tamponade dan kematian saat menunggu operasi. Prosedur tambahan yang
bypass arteri koroner, dan reseksi aneurisma ventrikel kiri (Mubarik & Iqbal,
2022).
Kematian intervensi bedah dalam 24 jam setelah infark miokard akut lebih dari
60%. Sebaliknya, VSR yang tidak diobati memiliki angka kematian 40% sampai
80%. Intervensi bedah yang terlambat memiliki prognosis yang baik; namun, ini
mungkin bukan pilihan untuk pasien dengan gangguan hemodinamik. Intervensi
bedah dalam waktu tujuh hari dari komplikasi ini memiliki angka kematian
sebesar 54,1%. Di sisi lain, operasi setelah tujuh hari memiliki tingkat kematian
18,4%. Selama menunggu untuk dilakukan operasi perbaikan, pasien dengan syok
kardiogenik membutuhkan intra-aorta balloon counterpulsation untuk
mengurangi afterload dan meningkatkan curah jantung (Mubarik & Iqbal, 2022).
Menurut Thiele et al. (2019) syok kardiogenik didefinisikan sebagai suatu kondisi
low cardiac output yang menyebabkan kondisi hipoperfusi dan hipoksia end-
organ yang mengancam jiwa dan diakibatkan penyakit jantung primer. Karena
cardiac output yang tidak adekuat menyebabkan manifestasi klinis dan biokimia
dari perfusi jaringan yang tidak adekuat. Dalam praktek, diagnosis syok
24
Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun
juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek
maupun jangka panjang berkaitan dengan disfungsi sitolik ventrikel kiri dan
beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel kanan juga merupakan
predictor penting prognosis yang buruk, terutama pada disfungsi kedua ventrikel.
Predictor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan
syok kardiogenik (Zeymer, 2020).
2.3.2 Etiologi
Etiologi syok kardiogenik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok
utama, yaitu ACS dan yang tidak terkait ACS. Sekitar 76% pasien syok
kardiogenik disebabkan oleh infark miokardium. Etiologi lain yang dapat
ditemukan antara lain penggunaan obat-obatan (mis, penyekat beta dan kanal
kalsium, digoksin), disfungsi ventrikel (mis. miokarditis akut), obstruksi aliran
darah (mis. stenosis katup, kardiomiopati hipertrofi), penyakit pericardial
(tamponade jantung), dan aritmia (Lipinski, 2020). Dibandingkan dengan non
infark miokardium, pasien syok kardiogenik dengan infark miokardium biasanya
berusia lebih muda dan tidak pernah mengalami infark miokardium, percutaneous
coronary intervention (PCI), atau coronary artery bypass graft (CABG)
sebelumnya (Besmaya & Laksono, 2022; Habib, 2022).
25
2.3.3 Kriteria
2.3.3.4 Penurunan indeks jantung <1.8 L/mnt/m2 tanpa sokongan,dan 2.0 – 2.5
L/mnt/m2 dengan sokongan.
2.3.4 Patofisiologi
Menurut Besmaya dan Laksono (2022) dan Squara et al. (2019) menyatakan
bahwa patofisiologi syok kardiogenik masih belum jelas sepenuhnya karena
berhubungan dengan banyak etiologi dan pencetus. Syok kardiogenik juga
bervariasi bergantung dengan kondisi jantung sebelumnya. Beberapa mekanisme
yang dapat terjadi yaitu gangguan jantung inisial yang menurunkan curah jantung,
perubahan hemodinamik sentral (termasuk perubahan dinamika tekanan dan
volume pada pengisian ventrikel kanan dan kiri), disfungsi mikrosirkulasi, respon
inflamasi sistemik, dan disfungsi multi organ. Mekanisme ini dapat terjadi secara
simultan dan mempercepat perburukan penyakit.
2.3.4 Klasifikasi
2.3.4.1 Syok kardiogenik dapat dibagi menjadi tiga tahap yang semakin lama
semakin berat (Kurniati, Trisyani & Tresia, 2018):
a. Tahap I: Kompensasi (non-progresif), ditandai dengan respons
kompensatorik, dapat menstabilkan sirkulasi, mencegah kemunduran
lebih lanjut.
b. Tahap II: Tahap progresif, ditandai dengan manisfestasi sistemik
darihipoperfusi dan kemunduran fungsi organ.
c. Tahap III: Refrakter (irreversible), ditandai dengan kerusakan sel
yang hebat tidak dapat lagi dihindari, yang pada akhirnya menuju ke
kematian.
2.3.4.2 Society for Cardiovascular Angiography and Interventions (SCAI)
mengelompokkan syok kardiogenik berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik, laboratorium dan status hemodinamik sebagai berikut (Naidu et
27
al., 2022):
AP= arteri pulmonalis; BNP= B-type natriuretic peptide; CI= cardiac index;
CRT= capillary refill time; CVP= central venous pressure, tekanan vena sentral;
HR= heart rate, denyut jantung; JVP= jugular venous pressure, tekanan vena
jugularis; LFG= laju filtrasi glomerulus; MAP = mean arterial pressure, tekanan
arteri rerata; PCWP= pulmonary capillary wedge pressure, RJP= resusitasi
jantung paru; SK= syok kardiogenik; TDS= tekanan darah sistol
2.3.5 Penatalaksanaan
2.3.5.1 Cairan
Resusitasi cairan adalah hal pertama yang perlu dipertimbangkan pada syok
kardiogenik. Pemeriksaan status volume yang paling ideal adalah menggunakan
kateterisasi jantung kanan pada saat bersamaan dengan angiografi koroner. Jika
tidak dapat dilakukan atau terdapat penundaan kateterisasi, dan dicurigai pasien
mengalami hipovolemia, dapat dibenarkan melakukan challenge resusitasi dengan
kristaloid 250-500 mL untuk stabilisasi. Dapat juga dilakukan leg raise test untuk
menilai kecukupan preload (Besmaya & Laksono, 2022)
Pada fase akut hipoksemia dan gagal napas dinilai dengan analisis gas darah
untuk menilai rasio PaO2/FiO2 dengan kriteria ringan (rasio P/F <300 mmHg),
sedang (rasio P/F <200 mmHg), dan berat (rasio P/F <100 mmHg). Nilai PaO2
awal yang rendah meningkatkan mortalitas. Sampai dengan 80% pasien SK
membutuhkan ventilasi mekanik untuk membantu pertukaran gas yang efektif,
Pada pasien dengan gagal jantung kanan saja, penggunaan ventilator perlu hati-
hati karena mengganggu afterload dan fungsi ventrikel kanan. Pada pasien
dengan edema paru dan gangguan metabolik dan hemodinamik yang minimal,
lebih disarankan menggunakan ventilasi non invasif (Vallabhajosyula et al.,
2019).
29
2.3.5.3 Farmakologis
Menurut Levy et al. (2018), Levy et al. (2020), dan Werdan et al. (2021)
menyatakan bahwa penggunaan vasopressor dan inotropik pada syok kardiogenik
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.8 Penggunaan vasopressor dan inotropik pada syok kardiogenik
2.3.5.4 Revaskularisasi
Pilihan pertama revaskularisasi adalah PCI. Fibrinolitik digunakan pada pasien
syok kardiogenik dengan STEMI hanya jika PCI tidak dapat dilakukan. Pada era
PCI, karena tindakan angiografi yang dini, kejadian syok kardiogenik menjadi
lebih rendah, namun mortalitasnya masih tinggi. Baik PCI ataupun CABG tidak
berbeda dalam hal luaran pasien syok kardiogenik. Namun demikian, CABG
jarang dilakukan (Besmaya & Laksono, 2022; Thiele et al., 2019).
Jenis perangkat yang digunakan antara lain intra-aortic balloon pump (IABP),
percutaneous ventricular assist device (pVAD), and extracorporeal life support
(ECLS). Belum ada data superioritas di antara perangkat ini, malahan beberapa
penelitian menyebutkan tingkat mortalitas yang lebih besar pada penggunaan
MCS (Tewelde et al., 2018). Namun, pedoman internasional tetap menyarankan
penggunaan MCS sementara pada syok kardiogenik yang refrakter. European
Society of Cardiology (ESC) dan American Heart Association (AHA)
merekomendasikan penggunaan left ventricular assist device (LVAD) atau
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). IABP direkomendasikan jika
terdapat komplikasi mekanis (Werdan et al., 2021). Menurut Vahdatpour et al.
(2019) menyatakan bahwa syok kardiogenik dengan tekanan darah sistolik (TDS)
<90 mmHg dengan menggunakan IABP selama ≥30 menit dapat mempertahankan
TDS ≥90 menit mmHg.
31
Pada pemasangan IABP, kateter masuk ke dalam aorta melalui arteri femoralis
sampai ke bagian distal arteri subclavia sinistra (± 1 cm di bawah arteri subclavia
sinistra). Sedangkan bagian bawah dari IABP berada diatas arteri renalis. Di
bagian ujung balon dihubungkan dengan mesin IABP yang di trigger dengan
menggunakan gelombang EKG dan gelombang tekanan arteri (pressure). Balon
akan inflate (mengembang) pada saat diastolik dan deflate pada saat sistolik
menyesuaikan fase siklus jantung (Kimman et al., 2020).
2.4.2 Tujuan
Tujuan pemasangan IABP dapat terjadi saat inflate balon, deflate balon, dan juga
pada hemodinamik (INACCN/ Indonesian Acute Cardiovascular care Nurses,
2020)
2.4.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang terpasang IABP dan
pencegahannya adalah sebagai berikut (INACCN, 2020):
2.4.4.1 Saat Pemasangan
a. Diseksi aorta
b. Perforasi arteri
c. Perdarahan
d. Hematoma
33
Berikut ini adalah persiapan pada pasien sebelum, selama, dan sesudah insertion,
serta persiapan alat untuk pemasangan IABP (INACCN, 2020).
b. Selama Insertion
1) Pemantauan klinis pasien
2) Periksa tanda dan gejala terjadinya komplikasi (chest pain dan
perubahanhemodinamik
3) Monitor stand by
4) Stand by chest radiografi
c. Setelah Insertion
1) Zero transducer
2) Pemantauan periperal pulse (monitor tanda-tanda acute limb
ischemic)
3) Pemantauan status neuro pasien
4) Pemantauan urine output
5) Pemantauan hemodinamik
6) Pemantauan hipoperfusi mesentrika (mual, kembung, diare)
7) Pemantauan efek hematologi (trombositopenia, anemia)
8) Pastikan kateter IABP terfiksasi aman di daerah pemasangan
9) Instruksikan pada pasien posisi tidur tidak lebih dari 30 derajat
10) Chest X ray dan monitor posisi IABP pada posisi yang benar
IABP dapat bekerja dengan adanya trigger, frekuensi, augmentasi, dan timing
(INACCN, 2020).
2.4.7.1 Trigger
Untuk terapi IABP yang efektif, pompa membutuhkan sinyal sejelas mungkin dari
pasien. Bentuk gelombang EKG dan arterial pressure (AP) yang baik harus
termonitor di IABP. Jika jejak EKG hilang (misalnya elektroda jatuh), pompa
secara otomatis akan menggunakan sinyal pressure sebagai trigger. Bila pasien
terpasang pacemaker, trigger dapat diberikan berdasarkan irama pacing yang
diberikan.
2.4.7.2 Frekuensi
a. Frekuensi 1:1, artinya balon mengembang setiap beat dan
memberikan augmentasi maksimal.
b. Frekuensi 1:2, artinya balon mengembang setiap 2 beat. Ini
digunakan untuk menyapih dan memeriksa waktu.
c. Frekuensi 1:3, artinya balon mengembang atau bertambah setiap 3
beat. Inidigunakan untuk menyapih.
2.4.7.3 Augmentasi
2.4.7.4 Timing
Timing adalah waktu saat balon inflate atau deflate. Waktu penggunaan balon
harus akurat untuk memberikan manfaat penuh dari augmentasi. Waktu balon
dinilai dengan membandingkan bentuk gelombang tekanan arteri saat balon
mengembang dengan siklus jantung. Bentuk gelombang arteri yang baik penting
untuk menilai waktu pengembangan balon yang tepat. Pengaturan waktu harus
diperiksa pada rasio 1:2 atau 1:3 sehingga dapat membandingkan bentuk normal
dan yang diberikan support.
Ada beberapa timing error dalam monitoring IABP.
a. Balloon Inflation
Balloon Inflation terjadi pada puncak gelombang T sampai permulaan
komplek QRS.
1) Early Inflation
Terjadinya inflasi sebelum dicrotic notch. Pada keadaan ini
menyebabkan terjadinya penutupan katup aorta lebih awal. Sehingga
akan mengakibatkan peningkatan tekanan di aorta dan akan
meningkatkan afterload, sehingga dapat menurunkan stroke volume.
Dan pada akhirnya akan membahayakan pasien seperti kegagalan
perfusi,miokard iskemia, dan bahkan terjadinya edema pulmonal.
2) Late Inflation
Terjadinya inflasi setelah dicrotic notch. Pada kondisi ini balon
terjadi akan menghasilkan tekanan augmentasi yang lebih rendah.
40
b. Balloon Deflation
Balloon Deflation terjadi dari gelombang R sampai puncak gelombang T.
1) Early Deflation
Terjadi ketika ASYS > SYS. Pada keadaan ini akan berakibat waktu
augnentasi diastolik sangat pendek sehingga pada akhirnya IABP
tidak bekerja maksimal.
2) Late Deflation
Terjadi jika ADIA > DIA dan gelombang ADIA berbentuk U. Balon
secara komplit atau sebagian akan inflasi pada awal sistolik berikutnya
sehingga akan mengakibatkan obtruksi pada katup aorta dan akan
berakibat meningkatnya afterload, sehingga menurunkan stroke
volume. Ini merupakan kondisi yang sangat berbahaya bagi klien
karena ventrikel kiri justru menghadapi beban yang lebih besar oleh
karena balon masihmengembang pada fase sistolik.
41
Weaning IABP dilakukan jika hemodinamik pasien sudah relatif stabil dan
pemberian terapi inotropik sudah minimal. Teknik weaning yang digunakan
adalah dengan menurunkan frekuensi IABP dari 1:1 menjadi 1:2 sampai tercapai
rasio assist minimum atau dengan menurunkan augmentasi secara bertahap
sampai tercapai augmentasi minimal. Dari kedua cara tersebut, apabila tidak
terjadi penurunan hemodinamik dan pasien tidak ada keluhan, maka weaning
IABP dapat dilakukan sesuai standar pencabutan IABP. Jika gagal weaning, maka
frekuensi IABP dan augmentasi balon dikembalikan seperti sebelum weaning
(INACCN, 2020).
Konsep asuhan keperawatan pasien yang terpasang IABP dapat dilakukan dimulai
dari pengkajian, penegakkan diagnosis keperawatan, dan rencana keperawatan
(INACCN, 2020; Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
2.5.1 Pengkajian
2.5.1.1 Anamnesa
Adanya keluhan nyeri dada akibat dari ACS yang dialami, atau nyeri karena
tempat penusukan IABP. Dapat ditanyakan terkait keluhan yang disebabkan
karena penurunan curah jantung.
42
Edukasi
● Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
● Jelaskan strategi meredakan nyeri
● Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
● Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
● Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
44
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Terapeutik
● Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
● Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan kafein, natrium, kolestrol, dan makanan
tinggi lemak)
● Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermiten, sesuai indikasi
● Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi hidup sehat
● Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika perlu
45
Edukasi
● Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
● Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
● Anjurkan berhenti merokok
● Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
● Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
● Rujuk ke program rehabilitasi jantung
Terapeutik
● Pertahankan kadar antikoagulan sesuai dosis yang dianjurkan
● Lakukan latihan rentang gerak pergelangan kaki (fleksi dan ekstensi) setiap 1-2 jam
● Pertahankan posisi telentang dengan kepala tempat tidur maksimal 15°
● Pertahankan ekstremitas yang terkanulasi tetap dalam posisi lurus
● Pertahankan volume balon untuk memastikan augmentasi diatolik tetap optimal
● Gunakan restrain yang lembut pada ekstemitas yang terkanulasi, jika perlu
46
● Pastikan balon intra aorta terisi ulang setiap 1-2 jam, atau sesuai tipe mesin
● Minimalkan kebisingan dalam ruangan
● Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan terkait perawatan dirinya, jika memungkinkan
Edukasi
● Informasikan tanggal dan waktu serta orientasikan pasien secara rutin
● Anjurkan menghindari gerakan fleksi paha
● Anjurkan keluarga mengekspresikan perasaan dan stress emsional yang dirasakan
● Anjurkan harapan yang realistis pada keluarga terhadap perkembangan kondisi pasien
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
● Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
● Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
Edukasi
● Anjurkan berhenti merokok
● Anjurkan berolahraga rutin
● Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
● Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol
● Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
● Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
● Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis: melembabkan kulit kering pada kaki)
● Anjurkan program rehabilitasi vaskular
● Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis: rendah lemak jenuh, minyak ikan omega
3)
● Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis: rasa sakit yang tidak hilang
saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa).
4 Risiko perdarahan Luaran Utama: Pencegahan Perdarahan (I.02067)
dibuktikan dengan Tingkat Perdarahan Observasi
efek agen (L.02017) ● Monitor tanda dan gejala perdarahan
farmakologis Ekspektasi: Menurun ● Monitor nilai hemoglobin/hematokrit sebelum dan setelah kehilangan darah
Setelah dilakukan asuhan ● Monitor tanda-tanda vital ortostatik
keperawatan tingkat ● Monitor koagulasi
perdarahan menurun selama
perawatan dengan kriteria Terapeutik
hasil: ● Batasi tindakan invasif, jika perlu
● Kelembapan membrane ● Pertahankan bedrest selama perdarahan
mukosa meningkat ● Gunakan Kasur pencegah decubitus
● Hemoglobin membaik ● Hindari pengukuran suhu rektal
● Hematokrit membaik
● Tekanan darah membaik Edukasi
● Hematuria menurun ● Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
● Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi
● Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
● Anjurkan meningkatkan asupan makan dan vitamin K
● Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
● Anjurkan pemberian produk darah, jika perlu
● Anjurkan pemberian pelunak tinja, jika perlu
Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018); Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018)
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.2 Pengkajian
Pasien rujuk lepas dari RSUD Kota Bogor dengan Stemi Anterior late onset, AHF
dan IVS Rupture. Sebelumnya Tn.J mengalami nyeri dada kiri sejak 8 hari (20-
11-2023) sebelum masuk rumah sakit.Nyeri dirasakan tembus kepunggung dan
menjalar kelengan kiri disertai mual muntah dan keluar keringat dingin yang
membasahi seluruh baju.Kemudian pasien berobat 2 hari setelahnya ke RS Ummi
dan disarankan untuk pasang ring dan dirujuk ke RSUD Kota Bogor.Namun di
RSUD Kota Bogor dikatakan tidak bisa pasang ring oleh karena ada IVS Rupture
dan disarankan rujuk ke RSJPDHK untuk operasi dan mendapat obat pengencer
darah yang disuntik 1x sehari.Kemudian pasien tiba di IGD RSJPDHK pada
49
tanggal 28-11-2023 pukul 12.06 wib dengan keluhan nyeri dada sudah tidak
dirasakan lagi tapi nafas masih sesak, kesadaran compos mentis dengan TD
104/71 mmHg,HR 83x/mnt,RR 22x/mnt,S 36.5◦C dan SpO2 97% dengan nasal
kanul 3 lpm,dan pada echo bedside di igd didapatkan IVS Rupture kesan multipel
dan pasien mendapat therapy Dobutamine drip 5 mcg/kbBB/mnt,Heparin drip 840
ui/jam..Kemudian pasien tiba di ICVCU pada pukul 22.15 wib dengan kesadaran
compos mentis dengan TD 106/63 mmHg, HR 104 x/mnt, S 36.3◦C, RR 31 x/mnt
,SpO2 96% dengan nasal kanule 6 lpm.dan pada echo bedside di ICVCU
didapatkan IVS Rupture 6-8 mm apicoseptal dan pasien masih sesak nafas dan
belum bisa tidur terlentang dan hanya berkurang saat duduk.Pada saat pengkajian
( tanggal 1 -12-2023 pukul 14.30 wib ) pasien masih mengeluh sesak nafas dan
tampak lemas nyeri dada sudah tidak ada dan sakit pada area penusukan IABP (
terpasang tanggal 1-12-2023 pukul 08.45 wib ), kesadaran compos mentis TD
94/51 mmHg, HR 106 x/mnt, RR 25 x/mnt, SpO2 98% dengan nasal kanule 3
lpm.Tampak terpasang IABP di femoral sinistra dengan trigger AP, Augmentasi
maximal dan frekuensi 1:1. Pada femoral dextra terpasang vena dalam (28-11-
2023) dan mendapat therapy Dobutamine drip 5 mcg/kgBB/mnt, Furosemide drip
10 mg/jam.Terpasang juga Dower catheter (28-11-2023) dengan urine output
3550 cc/24 jam.
Tn. J mengatakan sebelumnya punya riwayat hipertensi dari 10 tahun yang lalu
tapi tidak pernah kontrol,riwayat sakit DM dan Jantung pasien mengaku tidak
pernah.
Tn. J mengatakan didalam keluarga tidak ada yang memiliki sakit seperti yang
diderita oleh pasien
50
51
Tn. J mengatakan bahwa dirinya punya sakit hipertensi tapi tidak pernah kontrol
oleh karena tidak ada keluhan,dan dulu pernah merokok tapi sudah lama berhenti
saat SMP.
Tn. J mengatakan bahwa dirinya sekarang sudah tidak bekerja lagi dan hanya
tinggal dirumah saja.
Pasien hanya aktivitas di dalam rumah saja semenjak sudah tidak bekerja lagi.
Saat di RS, aktivitas pasien dibatasi dan dibantu. Pasien mengatakan saat ini
sudah bisa tidur.
Saat ini BAK menggunakan Dower kateter. Saat di IGD, urine output per 6 jam
sekitar 170 ml atau 28,3 ml/jam (sesuai dengan kategori syok kardiogenik SCAI
C). Saat di ICVCU, balans cairan -1725 ml/24 jam dengan input 1625 ml, output
3350 ml, dan diuresis 1.99 ml/kgBB/jam. Urine output 139 ml/jam dengan
diuretic furosemide 10 mg/jam. Tn. J BAB tiap 1-2x hari sekali dengan
konsistensi lembek.
rendah. Alarm bed Tn. J sudah ditempatkan pada posisi yang mudah
dijangkau dan ketinggian tempat tidur sudah disesuaikan.
c. Pengkajian Nyeri
Saat dilakukan pengkajian, Tn. J tidak ada keluhan nyeri dada,tapi mengeluh
nyeri pada luka penusukan IABP dan pasien agak meringis dan gelisah bila
nyeri datang
P (provokes) : pemasangan IABP
Q (quality) : nyeri dirasakan seperti diiris.
R (radiation) : femoralis sinistra.
S (severity) : skala nyeri yang dirasakan klien 4/10 .
T (time) : klien merasakan nyeri hilang timbul.(+/-5 menit)
b. Elektrokardiogram
c. Ekokardiografi
Tabel 3.4 Hasil Ekokardiografi
RSUD KOTA BOGOR IGD RSJPDHK CVC RSJPDHK
(25-11-23) (28-11-23) (01-12-23)
● Valvular : tidak dievaluasi ● TD 101/67 (74) HR 92 ● on Dobutamine 5 mcg
● Dimensi ruang jantung: tidak ● EDD 49 ESD 42 ● TD 105/61 HR 96
dievaluasi ● EF 33.5 TAPSE 15 ● IVC 23/17 eRAP 8-10
● Disfungsi sistolik ● PVaccT 130 RVOT ● EDD 51 ESD 38 EF
LV(LVEF): 42% VTI 12.6 38% TAPSE 18 mm
● Tampak VSD (Ruptur ● IVC 22/19 eRAP 15 ● RVOT VTI 16.7
Ventrikel) ● LVOT VTI 13.7 SV 43 ● LVOT VTI 12.7 SV
CO 3.95 SVR 1195 39.8 CO 3.83 LSVR
● Peak E vel 101 e med 1372
4.84 e lat 7.93 PCWP ● Peak E 105 Med E 4.4
21.5 Lat E 11 PCWP 19
● Akinetik apical, ● Hipokinetik
apicolateral,mid anteroseptal
anteroseptal,hipokinetik inferoseptal
inferoseptal ● IVS Rupture 6-8 mm
● IVS Rupture kesan apicoseptal L-R shunt
multiple,PG 46 mmHg PG 50
● MR mild, PE(-) ● TR moderate MR
LUS B lines ++/++ Mild , PE (-)
LUS: B Lines ++/++
57
d. Rontgen Toraks
Diagnosis
No Luaran Intervensi
Keperawatan
1 Penurunan Luaran Utama: Perawatan Jantung (I.02075)
curah jantung Curah Jantung Observasi
berhubungan (L.02008) ● Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung (meliputi dispnea,
dengan Ekspektasi: Meningkat kelelahan, adema ortopnea paroxysmal nocturnal dyspenea, peningkatan CVP)
perubahan Setelah dilakukan ● Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi peningkatan
preload, asuhan keperawatan, berat badan, hepatomegali ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria,
afterload, dan curah jantung meningkat batuk, kulit pucat)
kontraktilitas 24 jam sebelum pasien ● Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu)
jantung pulang dengan kriteria ● Monitor intake dan output cairan
hasil: ● Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
● Lelah menurun ● Monitor saturasi oksigen
● EF meningkat ● Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi, radiasi, durasi, presipitasi yang
● Kekuatan nadi perifer mengurangi nyeri)
meningkat ● Monitor EKG 12 sadapan
● Tekanan darah ● Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
membaik ● Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit, enzim jantung, BNP, Ntpro-
● Murmur jantung BNP)
menurun ● Monitor fungsi alat pacu jantung
● Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktivitas
● Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat (mis. Beta
62
Terapeutik
● Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
● Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan kafein, natrium, kolestrol, dan
makanan tinggi lemak)
● Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermiten, sesuai indikasi
● Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi hidup sehat
● Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika perlu
● Berikan dukungan emosional dan spiritual
● Berikan oksigen untuk memepertahankan saturasi oksigen >94%
Edukasi
● Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
● Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
● Anjurkan berhenti merokok
● Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
● Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
● Rujuk ke program rehabilitasi jantung
● Monitor kekuatan nadi, warna kulit, pengisian kapiler dan suhu pada area perifer
● Monitor adanya nyeri pada ekstremitas bawah
● Monitor adanya bengkak pada ekstemitas bawah
● Monitor inflasi dan deflesi IABP (intra-aortic balloon pump)
● Monitor keoptimalan tingkat augmentasi diastolik
Terapeutik
● Pertahankan kadar antikoagulan sesuai dosis yang dianjurkan
● Lakukan latihan rentang gerak pergelangan kaki (fleksi dan ekstensi) setiap 1-2
jam
● Pertahankan posisi telentang dengan kepala tempat tidur maksimal 15°
● Pertahankan ekstremitas yang terkanulasi tetap dalam posisi lurus
● Pertahankan volume balon untuk memastikan augmentasi diatolik tetap optimal
● Gunakan restrain yang lembut pada ekstemitas yang terkanulasi, jika perlu
● Pastikan balon intra aorta terisi ulang setiap 1-2 jam, atau sesuai tipe mesin
● Minimalkan kebisingan dalam ruangan
Libatkan dalam pengambilan keputusan terkait perawatan dirinya
Edukasi
● Informasikan tanggal dan waktu serta orientasikan pasien secara rutin
● Anjurkan menghindari gerakan fleksi paha
● Anjurkan keluarga mengekspresikan perasaan dan stress emsional yang dirasakan
● Anjurkan harapan yang realistis pada keluarga terhadap perkembangan kondisi
pasien
64
efektif (L.02011) ● Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, TD,
dibuktikan Ekspektasi: Meningkat MAP)
dengan Setelah dilakukan ● Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
● Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
prosedur asuhan keperawatan,
● Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
endovaskular perfusiperifer meningkat ● Periksa riwayat alergi
24 jam sebelum pasien
pulang dengan kriteria Terapeutik
hasil: ● Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
● Kekuatan nadi perifer ● Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
meningkat ● Pasang jalur IV, jika perlu
● Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu
● Warna kulit pucat
● Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
menurun
● Pengisian kapiler Edukasi
membaik ● Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
● Akral membaik ● Jelaskan tanda dan gejala awal syok
● Turgor kulit membaik ● Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal syok
● Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
● Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
● Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
● Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
ankle-brachial index)
● Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis: diabetes, perokok, orang tua,
hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
● Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas
Terapeutik
● Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area keterbatasan perfusi
● Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
● Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang cidera
● Lakukan pencegahan infeksi
● Lakukan perawatan kaki dan kuku
● Lakukan hidrasi
Edukasi
● Anjurkan berhenti merokok
● Anjurkan berolahraga rutin
● Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
● Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu
● Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
● Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
● Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis: melembabkan kulit kering
pada kaki)
● Anjurkan program rehabilitasi vaskular
● Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis: rendah lemak jenuh,
minyak ikan omega 3)
● Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (mis: rasa sakit yang
tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa).
67
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
● Anjurkan pemberian produk darah, jika perlu
● Anjurkan pemberian pelunak tinja, jika perlu
Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018); Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018)
68
Diagnosis Wakt
Implementasi Evaluasi Paraf
Kep. u
● Memonitor tekanan darah S:
Penurunan 14.30 ● Memonitor intake dan output cairan ● Tn. J mengatakan masih ada keluhan sesak nafas
curah jantung ● Memonitor saturasi oksigen dan lelah, tidak ada keluhan nyeri dada
dibuktikan ● Memonitor keluhan nyeri dada ● Tn. J mengatakan diberi dukungan penuh oleh
dengan ● Memonitor aritmia (kelainan irama dan keluarganya
perubahan frekuensi)
preload, ● Memberikan oksigen untuk
afterload, dan memepertahankan saturasi oksigen O:
kontraktilitas >94% ● Tn. J Compos mentis, posisi kepala 45°, posisi kaki
jantung ● Memonitor kekuatan nadi, warna kulit, lurus
pengisian kapiler dan suhu pada area ● Ada oedem ekstermitas bawah
perifer ● TD 94/51 mmHg, HR 106 x/m, RR 25 x/m, suhu
● Memonitor adanya nyeri pada 36.3 °C SpO2 98% dengan nasal canul 3 lpm
ekstremitas bawah ● Tn. J terpasang dobutamin 5 mcg/kgBB/menit,
● Memonitor adanya bengkak pada furosemide 10 mg/jam, NaCl 0.9 % 1500 ml/24
ekstemitas bawah
jam
● Memonitor inflasi dan deflasi IABP
● Status cairan per 7 jam: Intake 689 ml, output 1050
● Memonitor keoptimalan tingkat
augmentasi diastolik ml, balans -361 ml, diuresis 2.14 ml/kgBB/jam
● Mempertahankan posisi telentang ● Diit siang habis ¾ porsi
dengan kepala tempat tidur maksimal ● ADL Tn. J dibantu perawat
69
P:
● Lanjutkan intervensi
● Kolaborasi:
- Rencana early PCI jika sudah bisa tidur flat
70
A:
Nyeri akut
P:
Lanjutkan Intervensi
A:
● Risiko perdarahan
P:
Lanjutkan intervensi
73
Tanggal 02-12-2023
Diagnosis Wakt
Implementasi Evaluasi Paraf
Kep. u
Penurunan 08.00 ● Memonitor tekanan darah S:
curah jantung ● Memonitor intake dan output cairan ● Tn. J mengatakan sesak nafas sudah berkurang
berhubungan ● Memonitor saturasi oksigen lelah masih dirasakan, tidak ada keluhan nyeri dada
dengan
● Memonitor keluhan nyeri dada
perubahan
preload, ● Memonitor aritmia (kelainan irama dan
O:
afterload, dan frekuensi)
● Tn. J Compos mentis, posisi kepala 30°, posisi kaki
kontraktilitas ● Memberikan oksigen untuk lurus
jantung memepertahankan saturasi oksigen ● TD 94/58 mmHg, HR 94 x/m, RR 22 x/m, suhu
>94% 36.2 C SpO2 100% dengan nasal canul 3 lpm
● Memonitor kekuatan nadi, warna kulit, ● Tn. J terpasang dobutamin 5 mcg/kgBB/menit,
pengisian kapiler dan suhu pada area furosemide 10 mg/jam, NaCl 0.9 % 500 ml/24 jam
perifer ● Status cairan per 24 jam: Intake 2228 ml, output
● Memonitor adanya nyeri pada 5050 ml, balans -2.822 ml, diuresis 3.01
ekstremitas bawah ml/kgBB/jam
● Memonitor adanya bengkak pada ● EKG Sinus Rhytm dengan HR 94 x/mnt, tidak ada
ekstemitas bawah tanda tanda aritmia
● Memonitor inflasi dan deflasi IABP ● Diit siang habis ¾ porsi
● Memonitor keoptimalan tingkat ● ADL Tn. J dibantu perawat
● Tn. J terpasang IABP di femoral kiri dengan
augmentasi diastolik
monitoring:
● Mempertahankan posisi telentang
dengan kepala tempat tidur maksimal
74
15°
● Mempertahankan ekstremitas yang
terkanulasi tetap dalam posisi lurus
● Mempertahankan volume balon untuk
memastikan augmentasi diastolik tetap
optimal
● Melibatkan Tn. J dalam pengambilan
keputusan terkait perawatan dirinya
● Menginformasikan tanggal dan waktu
serta orientasikan Tn. J secara rutin
● Menganjurkan menghindari gerakan
fleksi paha
● Memberikan diet jantung yang sesuai
● Memeriksa tekanan darah dan frekuensi
nadi sebelum pemberian obat
● Memberikan dukungan emosional dan ● Echo Bedside 02-12-23 on IABP:
spiritual TD 101/44 MAP 59 HR
● Menganjurkan beraktivitas fisik sesuai 101 IVC 21/13 eRAP 5-8
toleransi EF 38% TAPSE 18 mm
RVOT VTI 19.7 PvAcct 129
● Menganjurkan beraktivitas fisik secara
LVOT VTI 14 SV 44 CO 4.4 SVR 1055
bertahap Peak E 105 Med E 4.4 Lat E 11 PCWP 15
Hipokinetik anteroseptal,inferoseptal ,Rupture
apicoseptal 6-8 mm L-R shunt TR mild moderate,
MR mild, PE (-)
LUS: B Lines +/+
75
A:
● Penurunan curah jantung
P:
● Lanjutkan intervensi
● Kolaborasi:
- Rencana early PCI jika sudah bisa tidur flat.
- Rencana Urgent CABG dan IVS Repair
Nyeri akut 08.30 ● Mengkaji keluhan nyeri klien S:
berhubungan mengkaji skala nyeri ● Tn.J mengatakan kadang masih nyeri pada
dengan agen Mengkaji respons nyeri nonverbal tempat penusukan alat IABP dengan skor
pecedera fisik klien nyeri 2/10
(on IABP) ● Mengajarkan teknik distraksirelaksasi O:
● memberikan lingkungan yangnyaman ● k/u lemah, kesadaran CM, GCS E4V5M6,
Kolaborasi dalam pemberian terapi klien kadang masih meyeringai ketika nyeri
Analgetik jika perlu. timbul, klien terlihat terpasang sheat IABP di
Femoral kiri keadaan sheat bersih tidak ada
pembengkakan, klien tampak bedrest.
● TTV: 94/58 mmhg HR: 94 xmnt RR:
22X/mnt SPO2 100%
A:
● Nyeri akut
P:
● Lanjutkan intervensi
76
A:
● Risiko perfusi perifer tidak efektif
P:
● Lanjutkan intervensi
77
A:
● Risiko perdarahan
P:
● Lanjutkan intervensi
78
Tanggal 03-12-2023
Diagnosis Wakt
Implementasi Evaluasi Paraf
Kep. u
Risiko 08.30 ● Memonitor tekanan darah S:
penurunan ● Memonitor intake dan output cairan ● Tn. J mengatakan sesak sudah berkurang dan lelah
curah jantung ● Memonitor saturasi oksigen masih ada, tidak ada keluhan nyeri dada
dibuktikan
● Memonitor keluhan nyeri dada ● Tn. J mengatakan sangat senang saat keluarganya
dengan menjenguk ke ruangan
perubahan ● Memonitor aritmia (kelainan irama dan
preload, frekuensi)
O:
afterload, dan ● Memberikan oksigen untuk ● Tn. J Compos mentis, posisi kepala 15-30°, posisi
kontraktilitas memepertahankan saturasi oksigen kaki lurus
jantung >94% ● Tidak ada oedem pada extermitas,CRT<2 dtk
● Memonitor kekuatan nadi, warna kulit, ● TD 104/61 mmHg, HR 106 x/m, RR 23 x/m,
pengisian kapiler dan suhu pada area suhu 36.4 C SpO2 98 % dengan nasal canul 3 lpm
perifer ● Tn. J terpasang dobutamin 5 mcg/kgBB/menit dan
● Memonitor adanya nyeri pada furosemide 5 mg/jam
ekstremitas bawah ● Status cairan per 24 jam: Intake 1972 ml, output
● Memonitor adanya bengkak pada 2800 ml, balans -878 ml, diuresis 1.6 ml/kgBB/jam
ekstemitas bawah ● Irama EKG Sinus Takhikardi dengan HR 106 xmnt
● Memonitor inflasi dan deflasi IABP ● Lab 03-12-23:
Hb 11.1/Ht 34.0/Ur 70.70/Cr1.88/e GFR 39
● Memonitor keoptimalan tingkat
● Diit siang habis ¾ porsi
augmentasi diastolik
● Mempertahankan posisi telentang
dengan kepala tempat tidur maksimal
79
P:
● Lanjutkan intervensi
A:
● Risiko perdarahan
P:
● Lanjutkan intervensi
83
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada BAB ini penulis akan melakukan analisis asuhan keperawatan pada Tn. J
dengan shock cardiogenic society for cardiovascular angiography and
interventions (SCAI) C dan ventricular septal rupture (VSR) pada ST elevation
myocardial infarction (STEMI) anterior onset 8 hari dengan intra-aortic balloon
pump (IABP) di intensive cardiovascular care unit (ICVCU) Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Untuk lebih sistematis, pembahasan
ini dilakukan sesuai tahapan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian,
diagnosis keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, dan evaluasi
keperawatan.
4.1 Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian dan menurut beberapa teori, ventricular septal
rupture, merupakan komplikasi serius dari myocardial infarction. Insiden ini
terus menurun dengan era trombolitik dan percutaneus corronary intervention,
tetapi angka kematian masih tetap tinggi. Sembelum era reperfusi kejadian
ventricular septal rupture, berkisar 2 % dan menurun menjadi 0,31% setelah
reperfusi ventricular septal rupture, sendiri sering ditemukan pada paska infark
anterior yaitu sebanyak 60%, dan pada infark inferior sebanyak 40 % (CCJ 2020).
Infark anterior menyebabkan ventricular septal rupture apikal oleh karena arteri
koroner LAD memasok sebagian besar bagian anterior septum interventrikuler.
Dari pengkajian yang dilakukan oleh penulis, saat pengkajian pasien mengeluh
sesak nafas, nyeri pada tempat penusukan IABP, hasil ECG ditemukan ST elevasi
di V2-V5 dan sudah terbentuknya gelombang Q patologis (infark) di lead III,
aVF, V2-V6
84
Hasil tersebut diatas sama dengan konsep teori ventricular septal rupture yang
sudah dijelaskan:
4.1.1 Ventricular septal rupture pada kasus ini terjadi pada pasien infark anterior.
4.1.2 Klasifikasi ventricular septal rupture pasien kemungkinan di type 2
dengan asumsi penulis saat pengkajian pasien pertamakali mengalami
serangan dan baru berobat 2 hari setelahnya dan hasil ECG klien sudah
terbentuk nya Q patologis (old myocardial infarction) infark lama..
Kemudian karena infark yang tidak dilakukan terapi dan tertunda reperfusi
apalagi yg bermasalah di anterior maka perfusi ke septum interventricle
juga mengalami gangguan, sehingga dari proses infark tadi mengakibatkan
terjadinya penipisan dinding septum ventrikel.
4.1.3 Faktor resiko pasien didapatkan jenis kelamin laki-laki, dan memiliki
faktor resiko DM (hasil lab HbAIc 6.6 mg/dL) ,peningkatan usia,riwayat
merokok saat muda dan punya riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
4.1.4 Dari hasil echo juga didapatkan adanya ventricular septal rupture,
adanya penurunan dari fungsi kontraksi ventrikel kiri/ EF, mengakibatkan
jumlah CO menjadi menurun dan pasien juga mengalami shock
cardiogenic
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
STEMI adalah jenis acute coronary syndrome (ACS) yang paling fatal dan jika
tidak ditangani memiliki mortalitas dan morbiditas terburuk. STEMI merupakan
suatu kondisi yang terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya
sehingga mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskemia yang
berkepanjangan. STEMI dikenali dari temuan elektrokardiogram (EKG) yang
karakteristiknya memiliki ST elevasi dan berhubungan dengan oklusi arteri
koroner total atau hampir total (Sekhon, 2023). STEMI Anterior disebabkan dari
oklusi LAD. STEMI Anterior dapat didiagnosis dengan mengenali ST elevasi
pada sadapan anterior (V1-V4) dan resiprokal pada sadapan inferior (II, III, dan
aVF) (Andini & Trihartanto, 2019; Sekhon, 2023).
Komplikasi dari ACS terutama pasien dengan STEMI antara lain gagal jantung,
aritmia, dan komplikasi mekanik. Komplikasi mekanik yang dapat terjadi adalah
ventricular septal rupture (VSR). Diagnosis ini dikonfirmasi dengan
ekokardiografi, yang dapat menentukan lokasi dan besarnya ruptur. Ruptur ini
dapat membuat left-to-right shunt dan dapat menghasilkan tanda dan gejala gagal
jantung kanan akut baru. Penatalakanaan VSR yaitu dengan pembedahan. Selama
menunggu untuk dilakukan operasi perbaikan, pasien VSR dengan syok
kardiogenik membutuhkan intra-aorta balloon counterpulsation untuk
mengurangi afterload dan meningkatkan curah jantung (Damluji et al., 2021;
Mubarik & Iqbal, 2022).
Pada kasus Tn. J dengan shock cardiogenic society for cardiovascular
angiography and interventions (SCAI) C dan ventricular septal rupture (VSR)
pada ST elevation myocardial infarction (STEMI) anterior onset 8 hari dengan
intra-aortic balloon pump (IABP) di intensive cardiovascular care unit (ICVCU)
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita penulis mendapat
88
Saran
Agar pelayanan yang sudah bagus di rumah sakit ini tetap dipertahankan
dan studi kasus ini dapat digunakan sebagai tambahan bahan pertimbangan
dalam melakukan inovasi dan modifikasi intervensi keperawatan sehingga
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan lebih baik lagi.
Studi kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan dasar
pembelajaran dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
STEMI dengan komplikasi VSR dan syok kardiogenik yang menggunakan
device IABP.
DAFTAR PUSTAKA
89
90
10.1007/s11897-020-00480-0.
Ketut, S. I, Kiki, W. P., & Pratama, Y. A. A. G. W. (2022). Infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) anterior ekstensif: Laporan kasus.
Ganesha Medicina Journal, Vol 2 No 1 Maret 2022 GMJ | 22
Kurnia, A. (2020). Diagnosis dan tatalaksana infark miokard akut ventrikel kanan.
Cermin Dunia Kedokteran: 1;47(8):413-6.
Kurniati, A., Trisyani, Y., & Tresia, A. (2018). Keperawatan gawat darurat dan
bencana. Singapura: Elsevier
Lestari, Y. C. (2022). Pentingnya mengenal tanda dan gejala sindrom koroner
akut (SKA). Available at
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1513/pentingnya-mengenal-
tanda-dan-gejala-sindrom-koroner-akut-ska - Diakses pada 31 Juli 2023
Levy, B., Clere-Jehl, R., Legras, A., Morichau-Beauchant, T., Leone, M.,
Frederique, G., et al. (2018). Epinephrine versus norepinephrine for
cardiogenic shock after acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol:
72, 173–182.
Levy, B., Klein, T., Kimmoun, A. (2020). Vasopressor use in cardiogenic shock.
Curr Opin Crit Care: 26, 411–416.
Lipinski, M.J. (2020). Cardiogenic shock in the setting of acute myocardial
infarction: The swinging pendulum of revascularization. Cardiovascular
Revascularization Medicine: 921, 359–360.
Liwang, F., Yuswar, P. W., Wijaya, E., & Sanjaya, N. P. (2020). Kapita selekta
kedokteran edisi V. Jakarta: Media Aesculapius.
Mangkoesoebroto, A. P., Sungkar, S., Sugiri, Rifqi, S. (2018). Ventricular septal
rupture pasca infark miokard akut : Diagnosis dini dan tatalaksana. Medica
Hospitalia: Vol. 5 (1)
Mubarik, A. & Iqbal, A. M. (2022). Ventricular septal rupture. Available at
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30521278/ – Diakses 30 Juli 2023
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534857/ post infark VSR
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9207689/
Muhibbah, Wahid, A., Agustina, R., & OskiiIlliandri. (2019). Karakteristik Tn. N
sindrom koroner akut pada Tn. N rawat inap ruang tulip di RSUD Ulin
Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences: Vol.3(1): 6-12
Naidu, S.S., Baran, D.A., Jentzer, J.C., Hollenberg, S.M., van Diepen, S., Basir,
M.B., et al. (2022). SCAI SHOCK stage classification expert consensus
update: a review and incorporation of validation studies: this statement
was endorsed by the American College of Cardiology (ACC), American
College of Emergency Physicians (ACEP), American Heart Association. J
Am Coll Cardiol 79, 933– 946.
Oktaviano, Y. H. (2020). Tatalaksana khusus pada intervensi koroner perkutan.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Patricia, M. I., Suling, F. R., & Suling, T. E. (2018). Prevalensi dan faktor risiko
91
Vázquez, R. M., Sisi, a. E., Jones, J. P. S., Reyes, R. H., Montes, J. A. G, …, &
Zabal, C. (2020). Transcatheter closure of perimembranous ventricular
septal defects using different generations of amplatzer devices:
multicenter experience. Journal of Interventional Cardiology: Volume
2020 (7) https://doi.org/10.1155/2020/8948249
Voudris, K.V, & Kavinsky, C.J. (2019). Kemajuan dalam penatalaksanaan
penyakit arteri koroner stabil: Peran revaskularisasi? Curr Treat Options
Kardiovaskular Med.: 21 (3):15.
Werdan, K., Buerke, M., Geppert, A., Thiele, H., Zwissler, B., Ruß, M., 2021.
Klinische Leitlinie: Infarktbedingter kardiogener Schock - Diagnose,
Monitoring und Therapie. Deutsches Arzteblatt International: 118, 88– 95.
World Health Organization (WHO). (2021). Cardiovascular Diseases
(CVDs), Available at https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/cardiovascular-diseases-(cvds) – Diakses 30 Juli 2023
Zeymer, U. (2020). Acute Cardiovascular Care Association position statement for
the diagnosis and treatment of patients with acute myocardial infarction
complicated by cardiogenic shock: A document of the Acute
Cardiovascular Care Association of the European Society of Cardiology.
ESC Acute Cardiovascular Care: 9(2):1-13
LAMPIRAN
PATHWAY