Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Menyelesaikan Program Pendidikan dan Pelatihan
Keperawatan Kardiologi Khusus Scrub Nurse Diagnostik Invasif
Disusun oleh:
Disusun oleh:
Pembimbing,
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Tim Pembimbing:
Mengetahui,
( Ns, Eka Dwiyati, S. Kep. Ners ) ( Ns. Nanang Raharja, S. Kep. Ners )
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugrah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan CAD 3VD,
Riwayat Post CABG yang Dilakukan Tindakan Angiografi Koroner Di Instalasi Diagnostik Invasif
dan Intervensi Non Bedah Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir dari pelatihan Scrub Diagnostik Invasif di
Unit Kateterisasi Jantung Instalasi Diagnostik Invasif dan Intervensi Non Bedah Rumah Sakit
Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Dalam penulisan ini penulis tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K),MARS, FACC, FESC, selaku Direktur Utama RSPJPD
Harapan Kita Jakarta.
2. Tina Rahmawati, SP., MM selaku kepala Instalasi pendidikan dan pelatihan Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
3. Ns. Tandang S.Kep, Ners, M.Kep selaku kepala unit operasional pendidikan dan
pelatihan sekaligus penguji diklat Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita
4. Ns. Uyuni Rohmah, S.Kep, Ners selaku penanggung jawab program keperawatan
Instalasi pendidikan dan pelatihan rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta.
5. Ns. Eka Dwiyanti,S.Kep, Ners selaku Kepala Instalasi Diagnostik Invansif dan
Intervensi Non Bedah Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
6. Nanang Raharja,S.Kep., Ners selaku Kepala Unit Instalasi Diagnostik Invasif dan
Intervensi Non Bedah Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
7. Ns. Agus Susanto, S.Kep, Ners, Sp.KV selaku koordinator klinik/lahan praktik Unit
Invasif Kateterisasi Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
8. Supriyani, S.Kep, Ners selaku penguji ruangan yang telah memberikan, saran serta
masukan dalam penyempurnaan makalah ini
9. Ns. Hero Sunandar S.Kep, Ners selaku pembimbing ruaagan yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, saran serta masukan dalam penyusunan makalah
ini sehingga dapat terselesaikan tepat waktu.
10. Seluruh staf Unit Kateterisasi Diagnostik Invansif dan Intervensi Non Bedah
iv
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang telah memberikan
motivasi dalam penyusunan makalah ini.
11. Seluruh peserta pelatihan kardiologi khusus, yang senantiasa kerjasama serta kesediaan
dalam berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis.
12. Direktur utama Rumah Sakit SMC Telogorejo Semarang yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan pelatihan Kardiologi Khusus Scrub
Diagnostik di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
13. Keluarga Tercinta yang telah memberi dukungan moril dan materiil setiap saat.
Penulis menyadari bahwa penyusunan studi kasus ini masih jauh dari kata sempurna.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan studi kasus ini.
Penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu dalam penyususnan studi kasus ini. Penulis berharap studi kasus ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan..
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................................................i
Lembar Persetujuan....................................................................................................................ii
Lembar Pengesahan..................................................................................................................iii
Kata Pengantar..........................................................................................................................iv
Daftar Isi....................................................................................................................................vi
Daftar Tabel.............................................................................................................................vii
Daftar Gambar........................................................................................................................viii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
vi
2.3 Angiografi Koroner........................................................................................................19
2.3.1 Pengertian..............................................................................................................19
2.3.2 Klasifikasi..............................................................................................................21
2.3.3 Akses Masuk Kateter.............................................................................................21
2.3.4 Pathway Angiografi Koroner.................................................................................23
2.3.5 Indikasi...................................................................................................................23
BAB 4 PEMBAHASAN.........................................................................................................71
5.1 Kesimpulan.....................................................................................................................76
5.2 Saran...............................................................................................................................77
vii
Daftar Pustaka............................................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Faktor CIN...............................................................................................................37
Tabel 2.2 Rencana Keperawatan..............................................................................................40
Tabel 3.1 Pemeriksaan Penunjang............................................................................................53
Tabel 3.2 Terapi Obat...............................................................................................................56
Tabel 3.3 Analisa Data.............................................................................................................58
Tabel 3.4 Intervensi..................................................................................................................62
Tabel 3.5 Implementasi dan Evaluasi.......................................................................................67
ix
DAFTAR GAMBAR
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
kaitannya dengan kemajuan teknologi pencitraan terutama di bidang jantung dan
pembuluh darah. Kateterisasi jantung sebagai wujud inovasi teknologi yang telah
berevolusi dari fungsi diagnostik semata sampai menjadi pusat intervensi dan
pengobatan di bidang jantung dan pembuluh darah. Lebih jauh lagi, kateterisasi jantung
juga telah menjadi tempat ajang riset dengan tujuan untuk menggeser batasan ilmu
pengetahuan dalam mengidentifikasi dan menguji metode-metode terbaru dalam
tatalaksana penyakit jantung dan pembuluh darah. (PERKI, 2018).
Penyakit jantung koroner dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik non
invasif atau pun pemeriksaan invasif. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan berbagai
alat. Mulai alat sederhana seperti EKG dan treadmill sampai alat yang canggih yaitu
MS- CT. Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah angiografi koroner.
Angiografi koroner atau kateterisasi (berasal dari kata cardiac catheterization,
atau kateterisasi jantung dan disingkat menjadi kateterisasi) adalah tindakan
memasukkan selang kecil (kateter) ke dalam pembuluh darah arteri dan/atau vena dan
menelusurinya hingga ke jantung, pembuluh darah lainnya dan/ atau organ lain yang
dituju dengan bantuan sinar-X (PERKI, 2018). Kateterisasi jantung (berasal dari kata
catheterization laboratory dan sering disingkat menjadi kateterisasi jantung) adalah
tempat melakukan tindakan kateterisasi baik yang bertujuan untuk diagnostik (mencari
gangguan struktur dan atau fungsi pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah
lainnya, dan atau organ lain) dan atau terapetik (memperbaiki gangguan struktur dan
atau fungsi pembuluh darah jantung, pembuluh darah lainnya, dan atau organ lain)
(PERKI, 2018).
Angiografi koroner adalah tindakan diagnostik secara invasif dengan
menggunakan alat seperti kateter / selang dalam rangka menegakkan atau menentukan
kelainan pada penyakit jantung dan pembuluh darah . (Dakota, 2019)
Dari hasil dari pemeriksaan angiografi koroner jika ditemukan adanya
penyempitan atau penyumbatan baik sebagian ataupun sumbatan total arteri koroner
maka dapat dilanjutkan dengan pelebaran pembuluh darah koroner dengan balon dan
stent. Jika tidak memungkinkan untuk pemasangan stent maka pilihan selanjutnya
dengan Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
CABG merupakan prosedur revaskularisasi pembedahan yang diperkenalkan
pada tahun 1960-an. Tujuan dari tindakan CABG adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan aliran darah dari aorta ke arteri koroner dengan membuat jalan pintas
2
(bypass) dari aorta ke bagian koroner jantung yang tersumbat sehingga memungkinkan
suplai darah dari jantung memintas ke bagian koroner jantung yang obstruktif (Kulick &
Shiel, 2018).
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) adalah suatu operasi untuk memintas
bagian pembuluh darah koroner yang mengalami penyumbatan akibat proses
penumpukan plak (lemak, kolesterol dan kotoran sel) dengan menggunakan pembuluh
darah arteri atau vena dari pasien sendiri. Tujuan operasi ini adalah untuk memperbaiki
aliran pembuluh darah koroner agar penyediaan oksigen ke otot-otot jantung menjadi
normal kembali sehingga dapat menghilangkan gejala nyeri dada dan mengurangi resiko
kematian akibat penyakit jantung koroner.
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) juga dilakukan pada penderita dengan
penyempitan koroner yang berpotensi fatal, operasi ini juga direkomendasikan apabila
obat-obatan maupun pelebaran dengan balon atau pemasangan stent tidak efektif dalam
mengatasi gangguan koroner (Yahya, 2017). Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
merupakan salah satu metode revaskularisasi yang umum dilakukan pada pasien yang
mengalami atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau
penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Udjianti, 2017).
Pada insiden infark miokard peri-operative maka tindakan kateterisasi tersebut
berguna untuk mengetahui apakah terjadi dugaan iskemia miokard paska operasi
CABG, terutama pada pasien dengan peningkatan CK atau CKMB melebihi 100 U/l.
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang merupakan pusat
jantung nasional di Indonesia pada tahun 2018 sudah melakukan tindakan angiografi
koroner sebanyak 3924 tindakan, tahun 2019 sebanyak 3735 tindakan, dan tahun 2020
sebanyak 2267 tindakan,dan tahun 2021 adalah sebanyak 2722 tindakan.
Dari data diatas menunjukkan banyaknya jumlah tindakan angiografi koroner
yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Adapun untuk angiografi koroner pada pasien post CABG secara khusus jumlahnya
belum bisa diketahui, tetapi dalam pelaksanaannya di ruang kateterisasi jantung
menunjukan adanya jumlah yang signifikan pasien post CABG yang dilakukan
angiografi coroner.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyusun laporan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan CAD 3VD,
RiwayatPost CABG yang dilakukan Tindakan Angiografi
3
Koroner Riwayat Post CABG Di Instalasi Diagnostik Invasif Dan Intervensi Non
Bedah Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta”.
Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
1.2.2.2 Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan CAD 3VD, riwayat
post CABG yang dilakukan tindakan angiografi koroner.
4
1.3 Manfaat Studi Kasus
5
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Membahas tentang: latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
ruang lingkup penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB IV : Pembahasan
Membandingkan kesenjangan yang terdapat pada tinjauan teori dengan
tinjauan kasus.
BAB V : Penutup
Berisi tentang: kesimpulan dan saran.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner merupakan kondisi ketidakcukupan suplai pasokan
darah dan oksigen di sebagian otot jantung, biasanya muncul ketika terjadi
ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung (Localzo,
2017).
Coronary Artery Disease atau Penyakit Jantung Koroner (PJK) didefinisikan
sebagai keadaan abnormal tertentu yang disebabkan oleh gangguan fungsi jantung
dan pembuluh darah (Utami & Azam, 2019). PJK terjadi karena penyempitan arteri
koronarian akibat aterosklerosis. Dampak utama PJK adalah gangguan pasokan
oksigen dan nutrient ke dalam jaringan miokard akibat penurunan aliran darah
koroner (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017).
2.1.2 Etiologi
Penyakit jantung koroner biasanya disebabkan oleh aterosklerosis, sumbatan
pada arteri koroner oleh plak lemak dan fibrosa. Istilah aterosklerosis berasal dari
bahasa yunani dari kata “athere”, yang berarti “bubur” atau “lunak”. Istilah ini
menggambarkan penampilan kasar dari bahan bahan plak. Aterosklerosis sudah
dimulai sejak usia anak – anak, tetapi proses ini memerlukan waktu bertahun-tahun
sampai berbentuk suatu mature plaks yang bertanggung jawab terhadap gejala
klinis yang timbul dikemudian hari. Pada aterosklerosis lemak menumpuk pada
lapisan intima arteri. Fibroblast di area tersebut merespon dengan memproduksi
kolagen dan sel otot polos berpoliferasi, bersama-sama membentuk lesi kompleks
yang disebut plak. Plak terdiri atas sebagian besar kolesterol, trigliserida,
fosfolipid, kolagen, dan sel otot polos. Plak mengurangi ukuran lumen pada arteri
yang terserang, mengganggu aliran darah. Selain itu plak dapat menyebabkan
ulkus, menyebabkan pembentukan trombus yang dapat menyumbat pembuluh
secara komplet.
7
Gambar 2.1 aterosklerosis
sumber: (LeMone, 2017)
Penyebab Infark Miokard Akut (IMA) paling sering adalah oklusi lengkap atau
hampir lengkap dari arteri koroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak aterosklerosis
yang rentan dan diikuti oleh pembentukan trombus. ruptur plak dapat dipicu oleh
faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain karakteristik
plak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid dan ketebalasan lapisan fibrosa
serta kondisi bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan derajat
vasokontriksi arteri. Plak yang paling rentan sering terjadi pada area dengan
stenosis kurang dari 70% dan ditandai dengan bentuk yang eksentrik dengan batas
tidak teratur, inti lipid yang besar dan tipis, dan pelapis fibrosa yang tipis. Faktor
eksternal berasal dari aktifitas klien atau kondisi eksternal yang mempengaruhi
klien. Aktifitas fisik berat dan stres emosional berat, seperti kemarahan serta
peningkatan respon sistem saraf simpatis dapat menyebabkan ruptur plak. Pada
waktu yang sama respon sistem saraf simpatis meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium. Kejadian koroner akut terjadi lebih sering dengan paparan terhadap
dingin dan pada waktu-waktu pagi hari.
2.1.3 Patofisiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI,
2018) sebagian besar PJK yang dimanifestasikan dalam sindrom koroner akut
(SKA) adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
8
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan
aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam,
anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya
SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI, 2018).
1. Keturunan
Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada
perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Tar dan nikotin dan karbon
monoksida berkontribusi pada kerusakan. Tar mengandung
hidrokarbon dan zat karsiogenik lain. Nikotin meningkatkan pelepasan
epinefrin dan norepinefin yang selanjutya akan meningkatkan
vasokontriksi perifer, meningkatkan tekananan darah dan denyut
jantung komsumsi oksigen yang lebih tinggi dan peningkatan risiko
distritmia. Selain itu nikotin mengaktifkan trombosit dan menstimulasi
proliferasi otot polos pada dinding arteri. Karbon monoksida
mengurangi jumlah darah yang tersedia pada tunika intima
dinding pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas endotel.
2. Hipertensi
10
sebagai batas atas.
Pada usia muda dan pertengahan, pria memiliki kadar kolesterol
yang lebih tinggi. Pada wanita kadar kolesterol terus meningkat sampai
usia 70 tahun. Kolesterol bersirkulasi di darah dalam kombinasi dengan
trigliserida dan fosfolipid terikat protein, komplek ini disebut
lipoprotein. Peningkatan lipoprotein ini disebut sebagai hiperlipidemia.
Terdapat 4 bentuk lipoprotein dan fungsinya :
a. Kilomikrom terutama mengangkut trigliserida dan kolesterol
dari makanan.
b. VLDL (very low density lipoprotein) terutama mengangkut
trigliserida yang disintesis oleh hati
c. LDL (low density lipoprotein) memiliki konstentrasi kolesterol
yang paling tinggi dan mengangkut kolesterol endogen ke sel-
sel tubuh
d. HDL (high density lipoorotein) memiliki konsentrasi kolesterol
paling rendah dan mengangkut kolesterol endogen ke sel-sel
tubuh. Orang dengan rasio kadar HDL/LDL yang tinggi
memiliki risiko untuk PJK yang lebih rendah, dibandingkan
orang dengan rasio HDL/LDL yang rendah. Konsentrasi tinggi
HDL tampaknya memiliki efek perlindungan terhadap
perkembangan PJK.
4. Obesitas
11
12
2.1.5 Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi 3,
yaitu: (PERKI, 2018):
2.1.5.2 Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan
(PERKI, 2018).
14
2. Angina yang tidak stabil (unstable angina) : frekuensi serta durasi nyeri
makin meningkat dan serangan nyeri makin mudah ditimbulkan, angina
yang tidak stabil menunjukkan penyakit arteri koronaria makin parah,
yang dapat berlanjut menjadi infark miokard
a. Angina prinzmetal atau variant angina : nyeri disebabkan oleh
spasme arteri koronaria, serangan nyeri ini dapat terjadi spontan dan
dapat tidak berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres emosi.
b. Angina mikrovaskuler : kerusakan cadangan vasodilator
menyebabkan nyeri dada yang mirip angina pada individu yang
memiliki arteri koronaria yang normal.
2.1.6.2 Mual dan muntah sebagai akibat stimulasi reflek oleh rasa nyeri pada
pusat muntah.
2.1.6.3 Ekstremitas dingin dan kulit pucat akibat stimulasi saraf simpatik.
2.1.6.4 Diaforesis akibat stimulasi saraf simpatik.
2.1.6.5 PJK dapat bersifat asimtomatik pada lanjut usia (lansia) karena penurunan
respon saraf simpatik. Dispnea dan keletihan merupakan dua sinyal
penting yang menandai iskemia pada orang tua yang aktif.
16
2.1.7.3 Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental
dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia menghilang. Selain itu
diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik atau
diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika
memungkinkan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal harus tersedia
diruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin
pada pasien tersangka SKA.
2.2.1 Definisi
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu operasi yang
dimaksudkan untuk memperbaiki aliran darah ke jantung, yang terutama ditujukan
pada penderita penyempitan arteri koroner berat yang berpotensi tinggi
menimbulkan serangan jantung. Bypass juga dilakukan pada penderita dengan
penyempitan koroner yang berpotensi fatal, operasi ini juga direkomendasikan
apabila obat- obatan maupun pelebaran dengan balon atau pemasangan stent tidak
efektif dalam mengatasi gangguan koroner (Yahya, 2017).
Coronary Artery Bypass Graft merupakan salah satu metode revaskularisasi
yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami atherosklerosis dengan 3 atau
lebih penyumbatan pada arteri koroner atau penyumbatan yang signifikan pada Left
Main Artery Coroner (Udjianti, 2015). Secara sederhana, CABG adalah operasi
pembedahan yang dilakukan dengan membuat pembuluh darah baru atau bypass
terhadap pembuluh darah yang tersumbat sehingga melancarkan kembali aliran
darah yang membawa oksigen untuk otot jantung yang diperdarahi pembuluh
tersebut.
jantung
18
2.2.3 Indikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
Indikasi CABG Menurut Arif Muttaqin (2010), pasien penyakit jantung
koroner yang dianjurkan untuk bedah CABG adalah pasien yang hasil kateterisasi
jantung ditemukan adanya:
2.2.3.1 Penyempitan>50% dari left main disease atau left main equivelant yaitu
penyempitan menyerupai left main arteri misalnya ada penyempitan
bagian proximal dari arteri anterior desenden dan arteri circumflex.
2.2.3.2 Penderita dengan Three Vessel Disease (3VD) yaitu tiga arteri koroner
semuanya mengalami penyempitan bermakna yang fungsi jantung mulai
menurun (EF<50%).
2.2.3.3 Penderita yang gagal dilakukan balonisasi dan stent.
2.2.3.4 Penyempitan 1 atau 2 pembuluh namun pernah mengalami gagal jantung.
19
dilakukan pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui kepatenan arteri
ulnaris jika arteri radialis diambil. Pada pasien yang menggunakan arteri
radialis harus mendapatkan terapi Ca Antagonis selama 6 bulan setelah
operasi menjaga agar arteri radialis tetap terbuka lebar. Sebuah studi
menunjukkan bahwa arteri radialis memberikan lebih banyak kemampuan
revaskularisasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan vena safena.
2.2.4.3 Vena Safena
Ada dua vena safena yang terdapat pada tungkai bawah yaitu vena
safena magna dan parva. Namun yang sering dipakai sebagai saluran baru
pada CABG adalah vena safena magna. Vena safena sering digunakan
karena diameter ukurannya mendekati arteri koroner, terutama pada arteri
koroner kanan (RCA).
2.3.1 Pengertian
Kateterisasi (berasal dari kata cardiac catheterization, atau kateterisasi jantung
dan disingkat menjadi kateterisasi) adalah tindakan memasukkan selang kecil
(kateter) ke dalam pembuluh darah arteri dan/atau vena dan menelusurinya hingga
ke jantung, pembuluh darah lainnya dan/ atau organ lain yang dituju dengan
bantuan sinar-X (PERKI,2018)
21
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan struktur rongga jantung yang dituju (PERKI,2018):
2.3.2.1 Left heart catheterization (Kateterisasi jantung Kiri):
2. Aortography
1. Venography
4. Transeptal catheteterization
ANGIOGRAPHY CORONER
Resiko Perdarahan
CEMA HIPOTENSI BRADICARDI NYERI
Resiko trauma RESIKO
S, penusukan Mencegah Trombus PENURUN
PSIKOLOGIS PENEKANAN
AN CURAH PADA LUKA
JANTUNG TUSUK
DENGAN
ATAU TANPA
Anxietas
OSMOLARITAS
↑,ALIRAN KE GINJAL↓
RESIKO ALIRAN
PENURUNAN KE
PERFUSI DISTAL
RESIKO PERFUSI RENAL TIDAK EFEKTIF
24
1) Apabila hasil pemeriksaan non invasive meragukan atau saling
berlawanan
2) Pemeriksaan CT Angiografi menunjukkan kalsifikasi berat dengan
probabilitas menengah sedang, pada pasien dengan gejala ringan atau
tanpa gejala dianjurkan untuk menjalani imaging stres test.
2.3.7 Komplikasi
Berdasarkan Kern,Sorajja &Lim (2016), menunjukkan bahwa komplikasi
angiografi koroner terdiri dari komplikasi mayor (penyakit serebrovaskular,
kematian, infark miokard, VT/VF dan serius aritmia) dan komplikasi minor
(diseksi aorta, tamponade cardiac, cardiac perforasi,CHF, Contrast Induce
Nephropathy,asistol, perdarahan, infeksi, reaksi protamine, Supraventrilular
takikardi, atrial fibrilasi, thrombosis,emboli, vascular injury, pseudoaneurisme, dan
rekasi vagal).
Untuk kateterisasi diagnostik, analisis komplikasi pada lebih dari 200.000
pasien menunjukkan insiden risiko: kematian,~ 0,2%; infark miokard, ~ 0,05%;
stroke, ~ 0,07%; ventrikel serius aritmia, ~ 0,5%; dan komplikasi vaskular utama
(trombosis, perdarahan yang membutuhkan transfusi, atau pseudoaneurysm), 1%.
Komplikasi vaskular lebih sering terjadi ketika pendekatan brachialis digunakan
dibanding dengan radialis (Kern,M.J., Sorajja,P., Lim,M.J., 2016).
26
Gambar 2.7. Persiapan alat melalui arteri femoralis
27
sedasi) dan minimal 5 jam (untuk tindakan dengan sedasi).
15. Pasien pada umumnya puasa sebelum tindakan setidaknya 2 jam
setelah konsumsi cairan bening atau setidaknya 6 jam setelah makan.
16. Sesaat sebelum dimulainya tindakan, operator dan staf medis harus
memastikan: nama pasien benar, rencana tindakan benar, informed
consent sudah ditandatangani, konfirmasi alergi, administrasi
antibiotik, rencana lokasi akses, dan ketersediaan alat yang
diperlukan selama tindakan.
17. Pencegahan contrast induced nephropathy (CIN) dan reaksi media
kontras harus diperhatikan.
c. Perawat scrub
Bertanggung jawab sebagai asisten operator untuk melakukan
preparasi desinfektan, persiapan alat dan membantu operator
selama tintra prosedur.
d. Perawat sirkular
Bertanggung jawab diluar lingkungan steril operator dan perawat
scrub untuk menyediakan seluruh kebutuhan operator dan perawat
scrub. Berperan sebagai pemberi asuhan selama perioperative.
28
e. Radiografer
Bertanggung jawab pada persiapan alat (C.arm) untuk bisa
digunakan, mengoperasikan peralatan selama intraprosedur dan
berkolaborasi dengan operator untuk pemilihan media kontras
sesuai dengan fungsi ginjal pasien.
f. Teknisi kardiovaskular
Bertanggung jawab pada persiapan dan penggunaan alat
monitoring haemodinamik, serta peralatan-peralatan lainnya yang
dibutuhkan keahlian khusus seperti prosedur Intravascular
Ultrasound (IVUS), Instant Wave-Free Ratio (IFR), Fractional
Flow Reserve (FFR), Optical Coherence Tomography (OCT) dan
lainnya.
29
2. Pemilihan arteri
Pemilihan arteri yang akan digunakan sebagai akses masuknya
kateter ke dalam tubuh pasien juga tidak kalah penting. Pemilihan
arteri ini bergantung pada beberapa faktor, seperti keahlian operator,
kondisi fisik pasien, status antikoagulasi dan kondisi pembuluh darah
perifer.
a. Arteri Femoralis
30
prosedur. Selama prosedur dapat dipakai midazolam 0,5-2 mg IV
dan fentanil 25-50 mg. Selama dalam pengaruh sedasi, pasien
harus dipantau kondisi hemodinamik, EKG, dan oksimetri.
b. Antikoagulan
Antikoagulan tidak lagi diberikan pada prosedur angiografi
koroner dengan akses arteri femoralis rutin. Unfractionated
heparin 2000-5000 unit IV diberikan pada prosedur angiografi
koroner dengan akses arteri brakhialis atau radialis dan pasien
dengan risiko tinggi komplikasi tromboemboli.
c. Kontras
Kontras radiografi mengandung yodium yang secara efektif
menyerap sinar X dalam kisaran energi sistem angiografi. Kontras
radiografi ini dapat dibagi menjadi dua tingkat, yaitu kontras
yodium osmolar tinggi dan kontras yodium osmolar rendah.
Kontras angiografi memiliki efek samping terhadap hemodinamik
dan ginjal. Pada beberapa pasien dapat terjadi reaksi alergi,
sehingga kortikosteroid IV harus disiapkan setiap kali prosedur
dilaksanakan.
d. Obat Angina
Selama tindakan dilakukan, angina dapat terjadi karena
beberapa faktor, seperti takikardia, agen kontras, hipertensi,
mikroemboli, dll. Nitrogliserin sublingual, intrakoroner,
maupun intravena dapat diberikan pada pasien dengan
tekanan sistolik >100 mmHg.
Table 2.1
Identifikasi terhadap pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya
CIN sangat penting dilakukan. Faktor-faktor risiko tersebut dapat dibagi kedalam dua
kelompok yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat
34
dimodifikasi.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah sebagai berikut:
1. Penyakit Ginjal Kronik
Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal
kronik dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting
dalam menimbulkan CIN (Mehran dkk,2016). Insiden CIN pada penderita
dengan penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai
55% (Ultramari dkk, 2016).
Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 ml/min/1,73 m2 adalah
batas untuk menentukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk
terjadinya CIN. Hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih
direkomendasikan sebelum terpapar kontras media untuk penilaian CIN.
Terdapat hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita
yang menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi merupakan
respon dari penurunan GFR hampir 50%.
2. Diabetes Melitus
Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai
kreatinin serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan 81% pada penderita dengan
kreatinin serum >4,0 mg/dL (Mehran dkk, 2006). DM merupakan independen
prediktor lainnya yang kuat untuk terjadinya CIN setelah intervensi koroner.
Insiden CIN pada penderita DM berkisar antara 5,7 sampai 29,4% (Mehran
dkk, 2006). Penderita DM dengan nilai kreatinin serum normal yang
dilakukan intervensi koroner dan didapatkan hasil bahwa pada penderita
tersebut terjadi peningkatan resiko untuk timbulnya CIN. Walaupun resiko
CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal normal adalah rendah, namun
apabila juga disertai dengan penyakit ginjal kronik, resiko terjadinya CIN
menjadi tinggi dan sebaiknya tindakan profilaksis CIN dilakukan (Ultramari
dkk, 2016) jika fungsi ginjal normal atau terjadi gangguan ringan (kreatinin
serum < 2 mg/dL), resiko terjadiya CIN pada penderita DM adalah 4,1% atau
dua kali dibandingkan pada non DM.
35
3. Usia Lanjut
Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang tinggi pada
usia tua adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih dominannya
vasokonstriksi renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk akses vascular
oleh karena pembuluh darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi pada pembuluh
darah sehingga membutuhkan jumlah kontras yang lebih banyak dan
gangguan pada sintesis prostaglandin . Pada suatu studi prospektif terhadap
183 penderita dengan usia tua yaitu >70 tahun yang menjalani intervensi
koroner didapatkan 11% menderita CIN. Studi lainnya menunjukkan CIN
terjadi 17% pada usia>60 tahun dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda.
4. Hipertensi
Hipertensi telah dikategorikan menjadi faktor resiko terjadinya CIN pada
beberapa penelitian.Penjelasan hipertensi menjadi faktor resiko CIN adalah
gangguan pelepasan mediator-mediator vasoaktif intrarenal seperti sistem
rennin angiotensin. Berkurangnya jumlah nefron ginjal juga merupakan
predisposisi penderita hipertensi untuk terjadi CIN .
Studi yang dilakukan terhadap 1382 sampel yang menjalani intervensi
koroner dengan hipotesa hipertensi sebagai faktor resiko independen
terjadinya CIN pada penderita yang menjalani PCI. Dan dari hasil studi
didapatkan hasil yang sesuai dengan hipotesa tersebut.
5. Faktor resiko jantung
Congestive heart failure (CHF), infark miokard akut, syok kardiogenik
dan penggunaan intra aortic ballon pump (IABP) berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CIN setelah PCI, hal ini terutama akibat
seluruh kondisi tersebut menyebabkan penurunan perfusi ginjal . Studi- studi
yang ada menunjukkan bahwa penurunan left ventricular ejection fraction
(LVEF) = 49% atau CHF New York Heart Association (NYHA) III atau IV
merupakan faktor resiko untuk terjadinya CIN.
36
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah :
37
itu, media ini harus di hangatkan (prewarmed) sebelum infus, yang nyata
menurunkan viskositas.
Tabel 2.1
38
2.5 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Post Angiografi Koroner
2.5.1 Pengkajian
Menurut Dakota (2019) pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan
Angiografi Koroner adalah sebagai berikut:
1. Keluhan: Keluhan utama pasien biasanya cemas sebelum tindakan atau
dirasakan nyeri. Keluhan nyeri ini dapat dikaji dengan metode PQRST:
a. Provocative: peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas), hilang dengan istirahat atau tidak
b. Quality: Bagaimana sifat nyeri yang dirasakan? Apakah sifat nyerinya
tajam, tumpul, seperti ditusuk-tusuk atau seperti terbakar?
c. Region: lokasi nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien, apakah menjalar atau
tidak?
d. Severity: Tingkat keparahan, dapat dikategorikan dengan skala nyeri (1 -
10).
e. Time: Kapan dan berapa lama nyeri berlangsung? Apakah bertambah
buruk pada malam atau siang hari?
2. Riwayat Kesehatan Saat Ini: Tanyakan sejak kapan keluhan dirasakan, berapa
lama, dan berapa kali keluhan itu terjadi, serta upaya yang dilakukan untuk
mengatasi keluhan tersebut termasuk obat-obatan yang diminum.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu: Tanyakan penyakit yang dialami pasien
sebelumnya, serta pengobatan yang telah dilakukan pasien. Tanyakan pula
riwayat alergi yang dialami pasien.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga: Tanyakan penyakit yang dialami anggota
keluarga, anggota keluarga yang meninggal dan penyebab kematiannya.
5. Riwayat Pekerjaan dan Pola Hidup: Tanyakan situasi tempat kerja, kebiasaan
merokok, minum alkohol, dan makanan yang sering dikonsumsi dan disukai oleh
pasien.
6. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual: Tanyakan mekanisme koping terhadap
perubahan peran dan pengaruhnya terhadap hidup pasien.
7. Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum pasien dengan Angiografi Koroner biasanya
compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai tingkat gangguan yang
melibatkan perfusi sistem saraf pusat. Dilakukan pemeriksaan tanda vital dan
fisik dilakukan secara head to toe. Pada kasus Angiografi Koroner difokuskan
pada pemeriksaan kardiovaskuler.
39
8. Pemeriksaan Diagnostik: Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan
laboratorium (pada kasus ACS dengan peningkatan troponin dan CK- MB),
elektrokardiogram: adanya ST depresi, ST elevasi, T inverted, dan Q patologis,
angiografi (kateterisasi jantung): Untuk mengetahui lokasi dan persentase
oklusi pada arteri coroner, echokardiogram, dan MSCT coroner.
2.5.2.1 Ansietas
2.5.2.2 Nyeri
2.5.2.3 Risiko perdarahan
2.5.2.4 Manajemen Kesehatan tidak efektif
2.5.2.5 Risiko Perfusi Renal tidak efektif
2.5.2.6 Risiko perfusi perifer tidak efektif
40
2.5.3 Rencana Keperawatan
Ajarkan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Ajarkan pasien
mengenal situasi yang
41
Konsentrasi menimbulkan kecemasan
Pola tidur Kolaborasi :
Pola berkemih
pemberian obat untuk
Dengan kriteria hasil:
mengurangi kecemasan
1 (memburuk)
2 (Cukup
memburuk)
3 (sedang)
4 (Cukup membaik)
5 (Membaik)
42
Frekuensi nadi Terapeutik
Kontrol lingkungan yang
Pol a tidur
memperberat nyeri (mis.
Dengan kriteria
Suhu ruangan, pencahayaan
hasil:
kebisingan.
1 (memburuk)
Fasilitasi istirahat dan tidur.
2 (Cukup
memburuk) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
3 (sedang)
pemilihan strategi meredakan
4 (Cukup membaik)
nyeri
5 (Membaik)
Edukasi
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
43
3 Resiko Ekspektasi : Pencegahan perdarahan
Perdarahan Menurun Observasi :
Kriteria Hasil Monitor tanda dan gejala
Kelembaban pendarahan.
mukosa membrane Monitor tingkat hemoglobin/
Kelembaban hematokrit sebelum dan
kulit sesudah kehilangan darah,
Dengan kriteria seperti yang ditunjukkan.
hasil : Monitor tanda tanda
1 (menurun) pendarahan yang persisten
2 (Cukup menurun) (misalnya memeriksa semua
3 (sedang) sekresi)
4 (Cukup Monitor termasuk waktu
meningkat) prothombin (PT), waktu
5 (Meningkat) tromboplastin parsial
(PTT),fibrinogen degradasi/
Hemoptisis split fibrin.
Hematemesis Monitor tanda tanda vital
Hematuria
ortostatik termasuk
Dengan kriteria hasil: tekanan darah.
1 (meningkat)
2 (Cukup Terapeutik :
meningkat)
Pertahankan bed rest selama
3 (sedang) perdarahan
4 (Cukup menurun) batasi tindakan invasive.
5 (Menurun)
Edukasi :
Hemoglobin jelaskan tanda dan gejala
Hematokrit perdarahan.
Dengan kriteria hasil: anjurkan segera melapor jika
1 (memburuk) terjadi perdarahan.
2 (Cukup
memburuk)
3 (sedang)
44
Kolaborasi :
kolaborasi pemeberian obat
4 (Cukup membaik) pengontrol perdarahan, jika
5 (Membaik perlu
Verbalisasi Edukasi:
kesulitan dalam Jelaskan faktor risiko yang
menjalani program dapat memperngaruhi
perawatan/ kesehatan
pengobatan Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat
45
5 Risiko Perfusi renal Manajemen Cairan (I.03098)
Perfusi (L.02013) Observasi
Renal Ekspektasi Monitor status hidrasi
Normal
Terapeutik
Catat intake-output dan
hitung balance cairan
Berikan asupan cairan, sesuai
kebutuhan
Berikan cairan intravena
jika perlu
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
diuretic jika perlu
47
BAB III
TINJAUAN KASUS
Nama : Tn. S
Tgl lahir : 04-08-1960
Umur : 61 th
No RM : 2012338783
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Alamat : Kayu Besar No.72, 06/12, Tegal Alur,
Kalideres, Jakarta Barat
Diagnosa Pre Tindakan : APS, CAD 3VD, Post CABG 2021,
DM, HT, suspect graft failure
3.2 Pengkajian
49
3.2.5 Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan ibu memiliki riwayat diabetes dan hipertensi.
3.2.6 Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan.
3.2.7 Faktor Resiko
Pasien mengatakan menjadi perokok aktif sejak SMP sekitar umur 15 tahun,
dapat menghabis kan kurang lebih 1 bungkus per hari. Namun sudah berhenti
merokok sejak kurang lebih 5 tahun terakhir.
3.2.8 Riwayat Pekerjaan
Pasien mengatakan saat ini masih bekerja sebagai wiraswasta
3.2.9 Pola Aktivitas dan Istirahat
Pasien mengatakan saat melakukan aktifitas dada sering terasa nyeri, terasa
seperti tertimpa benda berat dan nafas menjadi tidak bisa plong, nyeri muncul
hilang timbul, skala nyeri 3. Saat keluhan muncul pasien akan beristirahat supaya
nyeri dadanya bisa berkurang. Pasien mengatakan sejak muda jarang sekali
berolahraga. Untuk pola istirahat pasien mengatakan biasa tidur malam jam 21.00,
dan bangun jam 06.00, istirahat siang kurang lebih 1 jam tetapi tidak teratur.
3.2.10 Pola Eliminasi dan defekasi
Pasien mengatakan saat di rumah sering BAK ± 3000 ml dalam sehari dan
BAB 1 x/ hari dengan konsistensi lembek, selama ini BAB dan BAK lancar tidak
ada keluhan.
3.2.11 Pola Makan dan Minum
Pasien mengatakan kebiasaan makan 3 kali/hari habis 1 porsi makan, nafsu
makan baik, minum 7-9 gelas/hari, sejak masih muda pasien senang
mengkonsumsi makanan bersantan dan makanan berbahan daging/jeroan. Pasien
mengatakan untuk persiapan tindakan hanya minum air putih sedikit dan tidak
memakan makanan padat sekitar 6 jam. Sebelum tindakan pasien minum obat
sesuai advice dokter untuk persiapan kateterisasi jantung.
3.2.12 Keamanan dan Nyeri
1. Pasien tidak mengalami demam, suhu pasien 36,3 °C.
2. Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri dan dilipat paha sebelah kanan yang
masih terpasang alat.
50
3. Pengkajian Risiko Jatuh (Morse Fall Scale/MPS) Skor 0 (risiko jatuh ringan).
4. Pengkajian Nyeri
a. P : Nyeri akibat luka puncture post tindakan angiografi koroner.
b. Q: Nyeri terasa seperti seperti ditusuk tusuk.
c. R: Nyeri yang dirasakan di sekitar tempat penusukan di pergelangan tangan
kiri dan dilipat paha sebelah kanan.
d. S: Skala nyeri 4 (1-10).
e. T: Nyeri yang dirasakan terus menerus.
3.2.13 Intake dan output
Intake di ruang RR post tindakan
Minum : 400 cc
Infus NaCl 0.9% 150 cc
Volume kontras 370 mg I/mL 190 cc Jadi total intake 790 cc
Output:
Setelah tindakan pasien mengatakan BAK 4x , urine : kurang lebih 600 cc
selama 3 jam. Pendarahan : 30 cc Total output : 630 cc.
Total balance cairan selama 3 jam di ruang RR post + 110 cc.
52
a. Teknisi kardiovaskular mengkonfirmasi kesiapan pasien, kesiapan alat
maupun informasi terkait tindakan yang akan dilakukan.
b. Memperkenalkan anggota tim yang bekerja, yaitu dokter operator, scrub
nurse, sirkuler, radiografer, dan teknisi kardiovaskuler.
c. Setelah itu tindakan dimulai.
7. Dokter operator melakukan anastesi sekitar arteri radialis kiri distal dengan
lidocain 2% sebanyak 2 cc.
8. Dilanjutkan punksi arteri radialis kiri distal, terpasang sheath 5F.
9. Masuk heparin 5000 unit, NTG 300 mcg, tetapi pembuluh darah tortouse dan
wire tidak dapat masuk.
10. Diputuskan untuk pindah akses arteri femoralis kanan, dilanjutkan anestesi
sekitar arteri femoralis kanan dengan lidocain 2% sebanyak 10 cc.
11. Punksi arteri femoralis kanan berhasil, masuk sheath 5F.
12. Dilakukan kanulasi LCA dengan JL 3.5/5 F, hasil angiografi menunjukkan :
Nattive vessel : LM: Normal, LAD: CTO di proximal, LCX: Diffuse stenosis
dari proksimal-distal, dengan total oklusi di distal.
13. Dicoba kanulasi RCA dengan kateter JR 3.5/5 F tetapi belum berhasil.
14. Ganti kateter dengan JR 4/5 F tetapi masih belum bisa engage ke RCA.
Diputuskan untuk melakukan kanulasi ke graft LIMA-Diagonal.
15. Ganti kateter dengan IMA, grafi graft LIMA-Diagonal menunjukkan: Graft
Vessels : LIMA-diagonal: Graft Patent.
16. Ganti sheath 5F dengan 6 F. Dilakukan kanulasi ke RCA kembali dengan
kateter JR 3.5/6 F tetapi belum berhasil.
17. Ganti kateter dengan JR 4/6 F, dicoba kanulasi berkali-kali tetapi masih belum
berhasil engage. Diputuskan untuk melakukan Aortografi.
18. Masuk kateter Pigtail 5F, dilakukan Aortografi dengan injektor. Hasil
Aortografi menunjukkan : Native Vessel: RCA : Ireguler, discrete stenosis
60% di proximal, tubular stenosis 90% di PDA. Graft vessels: SVG-OM :
Graft patent, SVG-RCA : Tidak tervisualisasi.
Kesimpulan : Post CABG X3(LIMA-Diagonal, SVG-OM, SVG-RCA (Oktober
2021) dengan graft failure pada SVG-RCA. Tindakan selesai pukul 15.20 WIB.
53
Lama tindakan ± 1 jam 20 menit.
a. Tanda-tanda vital saat tindakan: kesadaran composmentis TD : 127/75
mmHg, Nadi : 79 x/menit, RR : 18 x/menit.
b. Perdarahan selama prosedur ± 30 cc.
c. Penggunaan kontras 370 mg I/mL 190 cc.
d. Terpasang nichiban di radial kiri dan terpasang sheath 6F di femoral kanan.
e. Tidak ada tanda-tanda hematoma di area penusukan sheath, akral hangat.
Table 3.1
Gambar 3.1
55
- PR Interval 0.18 detik - QRS kompleks sempit, lebar 0.08 detik
- Tidak ada tanda – tanda hipertropi
- Tidak ada tanda block
- Tampak ST elevasi di lead V1-V3
- AXIS : lead I +4 , LEAD aVF +2, axis jantung normal
- Kesimpulan: Irama Sinus Rhytm dengan ST elevasi di lead V1-V
56
Gambar 3.3 Angiografi Koroner Post CABG
3.2.18 Terapi
1. Terapi Oral
Cara Pemberian
No Nama Obat Dosis Frekuensi
57
9 Spironolactone 25 mg Per Oral 1x1
Tabel 3.2
58
3.2 Analisa data
59
- Terpasang sheat di
Arteri femoral kanan
- Luka baik, tidak keras,
tidak hematoma
- TTV: TD : 135/89
mmHg, HR : 75
x/menit, RR : 1 x/mnt,
Suhu : 36 °C, SaO2 :
100%.
cc
Perdarahan 30 cc
Total 630 cc
- Total balance cairan
+110 cc
- Creatinin: 0,77 mg/dL
- eGfr : 98 Ml
- Riwayat DM tipe II
- Riwayat HT
- TTV: TD: 135/89 mmHg,
HR:75 x/menit, RR : 18
x/mnt, S:36,3 °C, SaO2 :
100%
61
3.3 Diagnosa Keperawatan
62
3.4 Intervensi Keperawatan
63
- Kontrol lingkungan
yang memperberat nyeri
suhu, kebisingan)
- Anjurkan mengambil
posisi yang nyaman
- Ajarkan tehnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
(distraksi dan relaksasi)
Kolaborasi
- Pemberian analgetik
64
2 Risiko Perdarahan Setelah dilakukan intervensi Pencegahan perdarahan
(D.0012) keperawatan 1X6 jam maka (I.02067) dan balut tekan
(I.02028)
resiko tingkat perdarahan
Observasi :
menurun (L.02017)
- Monitor tanda dan gejala
Ekspektasi : Menurun pendarahan sebelum,
Kriteria Hasil selama dan setelah
- Kelembaban mukosa pencabutan sheath
membrane, kelembaban
- Monitor kecepatan dan
kulit m e n i n g k a t ( 5 )
denyut nadi distal
- Hemoptisis,
Hematemesis, Hematuria - Monitor verban untuk
memantau drainase luka
menurun (5)
- Tekanan darah membaik (5) - Monitor termasuk waktu
protrombin (PT), waktu
tromboplastin parsial
(PTT), fibrinogen
degradasi/ split fibrin
Edukasi :
- Anjurkan tidak
mengangkat beban >5kg
selama 1 minggu
66
- Pemberian cairan
intravena
67
3.5 Implementasi dan Evaluasi
dengan pasien O:
68
akibat luka penusukan post
puncture di radialis kiri
dan femoralis kanan
Q: nyeri seperti ditusuk-
tusuk berkurang
R: nyeri dirasakan
disekitar tempat
penusukan post puncture
di radialis kiri dan
femoralis kanan
S: skala nyeri 2 diradial
kiri, skala nyeri 3 di
femoral kanan
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Lanjutkan intervensi
manajemen nyeri
Pencegahan Perdarahan S:
71
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini penulis akan membahas kesinambungan antara tinjauan teori
dengan kasus asuhan keperawatan pada pasien pada Tn. S dengan riwayat post CABG
yang telah dilakukan angiografi koroner pada pasien tanggal 22 Maret 2022 di Ruang Unit
Kateterisasi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Dimana pembahasan ini
sesuai dengan tiap fase dalam proses keperawatan yang meliputi: melakukan pengkajian
keperawatan, menegakkan diagnosa keperawatan, membuat intervensi, melaksanakan
implementasi dan melakukan evaluasi tindakan, dengan uraian sebagai berikut:
4.1 Pengkajian keperawatan
73
risiko dialisis adalah 0.04 %.
Berdasarkan data diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan, pada tahap ini
penulis akan membahas keterkaitan antara perencanaan yang dibuat dengan teori yang
dipakai. Perencanaan asuhan keperawatan berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) yang dilakukan pada diagnosa:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka puncture post
kateterisasi jantung). Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 6
jam, maka tingkat nyeri menurun, dengan kriteria hasil: Keluhan adanya nyeri
menurun, gelisah menurun, TTV dalam batas normal.
74
angiografi koroner. Sumber lain menyebutkan bahwa strategi pencegahan CIN
berfokus pada mempertahankan aliran darah ke seluruh kapiler, dan
mengurangi hipoksia dibagian medula ginjal (Ann L. Jorgensen, 2013). Studi
menunjukkan bahwa hidrasi intravena adalah strategi yang paling efektif untuk
mencegah CIN. Dalam sebuah penelitian, tingkat cedera ginjal akut menurun
ketika output urine lebih besar dari 150 ml / jam selama 6 jam setelah prosedur
yang memerlukan kontras
Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan Keperawatan,
tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan
dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
1. Hasil evaluasi pasien Tn.S pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan efek
samping prosedur invasif (kateterisasi jantung) masalah teratasi sebagian
dengan data subjektif : pasien mengatakan nyeri di pergelangan tangan kiri
berkurang, dan nyeri dilipat paha kanan juga mulai berkurang, skala nyeri
berkurang dari 4/10 menjadi 2/10, dan data objektif : pasien tampak tidak
gelisah, tampak terpasang sheath difemoral kanan, aff sheath 6 jam pasca
pemberian heparin terakhir, TTV: TD :135/ 86 mmHg, HR:75x/menit, RR: l8
x/mnt, suhu 36,3 °C, SaO2: 100 %.
2. Hasil evaluasi pada diagnosa resiko perdarahan, masalah teratasi sebagian
dengan data subjektif : pasien mengatakan tidak melihat dan merasakan adanya
75
darah yang keluar dari luka bekas tusukan baik di pergelangan tangan kiri
maupun lipat paha kanan, data objektif : tidak tampak adanya perdarahan,
bengkak, maupun hematom diradialis kiri, maupun difemoral kanan, femoralis
kanan tampak masih terpasang sheath, TD: 139/ 67 mm Hg, HR 57x/menit,
RR: 18x/ menit, SpO2: 99 %.
3. Hasil evaluasi pada diagnosa resiko perfusi renal tidak efektif, masalah teratasi
sebagian dengan data subjektif : pasien mengatakan BAK 3x, pasien
mengatakan sudah banyak minum air putih, data objektif : balance cairan
selama 3 jam di RR post + 110 cc.
76
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
77
akut, resiko perdarahan, resiko perfusi perifer tidak efektif. Pada
Perencanaan Intervensi keperawatan yang dilakukan oleh penulis
sesuai yang ada pada SDKI, SLKI, SIKI yaitu manajemen nyeri,
pencegahan perdarahan, perawatan area tusukan, dan manajemen
balance cairan. Implementasi keperawatan dilakukan berdasarkan
perencanaan intervensi keperawatan yang telah dibuat sebelumnya.
Impementasi keperawatan di lakukan setelah pasien selesai dilakukan
tindakan angiografi koroner pada tanggal 22 Maret 2022 jam 15.30.
Implementasi keperawatan dilaksanakan pada tiga diagnose yang
telah diangkat oleh penulis yaitu: nyeri akut, resiko perdarahan, dan
resiko perfusi renal tidak efektif. Evaluasi yang dilakukan oleh
penulis pada pasien Tn.S dilakukan selama 1 hari perawatan di unit
Chatlab Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta pada tanggal 22 Maret
2022 oleh penulis dan dibuat dalam bentuk SOAP. Hasil evaluasi
akhir yang dilakukan oleh penulis pada pasien Tn.S menunjukkan
bahwa masalah yang dialami pasien ada 3 masalah dan ketiganya
teratasi sebagian.
5.2 Saran
78
koroner pada umumnya dan pasien CABG pada khususnya
2. Adanya pemberian materi terkait pelaksanaan pelatihan di
ruang cathlab
3. Terkait persiapan pasien mulai dari ruang persiapan sampai
post tindakan untuk mencegah terjadinya komplikasi/ risiko
sudah sangat baik. Sehingga harus terus dipertahankan dan
ditingkatkan lagi kedepannya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Hassen, G. W., Hwang, A., Liu, L. L., Mualim, F., Sembo, T., Tu, T. J., … Kalantari,
H. (2014). Follow up for emergency department patients after intravenous contrast
and risk of nephropathy. The western journal of emergency medicine, 15(3), 276–
281. doi:10.5811/westjem.2013.8.
Kern, Morton J., Lim, Michael J., Sorajja, Paul.(2018). The interventional
cardiaccatheterization handbook. Philadelphia, PA : Elsevier
PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat