STUDI KASUS
DISUSUN OLEH KELOMPOK C:
Diego Hanggara, S.Kep, Ners
PENGUJI I PENGUJI II
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat sesuai
dengan batas waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami buat dengan judul : "ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN TN. B DENGAN GAGAL NAPAS TIPE 1 DI RUANG
CVCU RUMAH SAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA
JAKARTA".
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas kelompok pada Pelatihan Keperawatan
Kardiovaskular Tingkat Dasar di Instalasi Diklat Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Angkatan IV 2023.
Kelompok ini menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak pihak yang telah
membantu, maka dari itu kelompok mengucapkan terima kasih kepada :
1. Sungkono, S.Kep. Ners, M.Kep selaku pembimbing kelompok dalam penyusunan
makalah ini.
2. Wahyono, S.Kep. Ners selaku penguji 1 dalam presentasi makalah.
3. Tandang Susanto, S.Kep. Ners, M.Kep selaku penguji 2 dalam presentasi makalah.
4. Kepala instalasi, para pembimbing ruangan, semua teman sejawat perawat dan
seluruh pegawai di ruangan ICVCU RSJPDHK.
5. Seluruh staf instalasi diklat dan teman-teman peserta Pelatihan Keperawatan
Kardiovaskular Tingkat Dasar di Instalasi Diklat Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Jakarta Angkatan IV Tahun 2023.
Kami juga menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, danmasih
jauh dari kesempurnaan. Kami sangat mengharapkan adanya kritik, masukan dansaran yang
sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini kedepan. Semoga makalah yang kami
susun dapat berguna dan bermanfaat bagi semua orang yang membaca dan
mempergunakannya.
Jakarta, 6 Juli 2023
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMANPENGESAH ........................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
BAB I......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
iv
2.2. Konsep Dasar Penyakit ....................................................................... 20
2.2.9. Komplikasi............................................................................... 36
v
3.1.1.5 Faktor Risiko ............................................................... 46
vi
3.4 Rencana Asuhan Keperawatan ............................................................... 58
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR TABEL
ix
BAB I
PENDAHULUAN
karbondioksida (CO2) dari darah ke paru-paru yang dibuang saat ekspirasi. Fungsi pertukaran
gas paru-paru tergantung pada sistem saluran udara terbuka, perluasan paru-paru, luas
permukaan yang memadai untuk difusi, dan aliran darah yang melalui kapiler paru. Namun
proses tersebut dapat mengalami kegagalan yang dikenal dengan gagal napas (Norris &
Lalchandani, 2018).
Gagal napas adalah suatu kegawatan sistem pernapasan yang terjadi akibat kegagalan
karbondioksida. Gagal napas dapat diartikan juga sebagai sindrom kegagalan pertukaran gas
karena tidak berfungsinya salah satu atau lebih dari komponen pernapasan meliputi dinding
dada, kepatenan jalan napas, alveolar-capillary, sirkulasi pulmonal serta sistem neurologi.
(PJNHK, 2019).
Gagal napas dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas tipe I dan gagal napas
tipe II. Gagal napas tipe I ditandai dengan adanya hipoksia jaringan yang secara klinik pada
hasil analisa gas darah didapatkan PaO2 <60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau abnormal.
Penurunan PaO2 atau disebut hipoksemia dapat terjadi akibat jumlah oksigen yang tidak
memadai di udara, gangguan sistem pernapasan, disfungsi sistem saraf, atau perubahan fungsi
signifikan adalah hipoventilasi, gangguan difusi gas, sirkulasi darah yang tidak memadai
melalui kapiler paru, dan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Pada gagal napas tipe II
1
ditandai dengan hiperkapnia PaCO2 tinggi (PaCO2 >50 mmHg) yang diakibatkan kegagalan
asam basa dan fungsi ginjal. Peningkatan kadar PCO2 menghasilkan penurunan pH dan
meningkatkan retensi bikarbonat ginjal (HCO3 -), yang meghasilkan kadar HCO3 dan pH serum
meningkat. (Pinson & Tang, 2018; Norris & Lalchandani, 2018; PJNHK, 2019).
Menurut Shebl et al. (2021), manifestasi klinis gagal napas yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik dapat berupa tanda dan gejala hipoksemia diantaranya dispnea, mudah
gejala dan tanda hiperkapnia yaitu sakit kepala, perubahan perilaku, koma, asterixis, papillo
Kegagalan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan pada paru atau di luar paru
yang meliputi, depresi sistem saraf pusat pada kasus overdosis narkotika dan obat penenang,
gangguan sistem saraf perifer seperti kelemahan otot pernapasan dan dinding dada pada kasus
sindrom Guillian-Barre dan miastenia gravis, obstruksi saluran napas atas dan bawah karena
berbagai penyebab seperti pada kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik dan asma
bronkial akut berat, dan kelainan pada alveolus yang mengakibatkan gagal napas tipe 1
(hipoksemik) seperti pada kasus edema paru dan pneumonia berat (Sakti et al., 2021).
Prevalensi gagal napas di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Menurut Jurnal
Critical Care Explorations bulan Juni Tahun 2020, Warga Amerika Serikat yang mengalami
gagal napas dan dilakukan prosedur untuk ventilasi mekanis diperkirakan ada 1.146.195 pada
tahun 2017, dengan rata-rata lama rawat inap 10,5 hari. Data publikasi Online Eurostate
Statistict Tahun 2021 menyebutkan ada sebanyak 339.000 kematian di Eropa akibat penyakit
pada sistem pernapasan, hal ini setara dengan 7,5% dari semua kematian pada tahun 2016.
Pada Tahun 2018, proporsi kematian di Irlandia akibat penyakit pernapasan jauh lebih tinggi
2
daripada rata-rata Eropa, yaitu 13,0%, sementara penyakit pernapasan juga menyumbang
setidaknya 1 dari 10 kematian di Spanyol, Denmark, Portugal, Belgia, Yunani dan Malta
(Shebl, 2021).
rumah sakit yaitu sebesar 5,1% pada tahun 2017 berdasarkan data peringkat sepuluh penyakit
tidak menular (PTM) pada tahun 2018 (Mahdi et al., 2022). Sementara itu, data Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan angka kejadian gagal napas di Indonesia
mencapai 20-75 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun dengan angka kematian 30%-50% (Marlisa
& Situmorang, 2019). Prevalensi gagal napas di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita dalam 5 tahun terakhir didapatkan data sebagai berikut, pada tahun 2018
sebanyak 22 kasus, tahun 2019 sebanyak 23 kasus, tahun 2020 sebanyak 33 kasus, dan tahun
2021 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebanyak 127 kasus sementara pada tahun
intensive care unit (Purnawan et al., 2020). Prinsip perawatan suportif pasien gagal napas
adalah sama terlepas dari patologi yang mendasarinya. Terdapat tiga prinsip penatalaksanaan
gagal napas yaitu pembukaan dan perlindungan jalan napas, pemberian oksigenasi, dan
dukungan ventilator termasuk ventilator mekanis (Dewi et al., 2022). Tatalaksana gagal napas
merupakan tindakan cepat, tepat dan akurat serta cermat, dengan melihat kondisi klinis pasien.
Pemantauan dan observasi yang ketat dapat menilai progresivitas kondisi pasien. Oksigenasi
dan mode ventilator serta terapi yang tepat untuk pasien dapat mengembalikan kondisi pasien
yang kritis (Sakti et al., 2021). Melihat fenomena diatas penulis tertarik untuk membuat
makalah Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gagal Napas di Rumah Sakit Jantung dan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat atau pasien dan
setiap petugas kesehatan khususnya bagi perawat yang terlibat dalam pemberian asuhan
Memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gagal napas yang lebih aktual
Memberikan panduan dalam pelayanan kepada pasien dengan gagal napas sesuai
Menjadi panduan dalam pembuatan kurikulum keperawatan pada pasien dengan gagal
napas.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Respirasi dalam pengertian sebenarnya adalah pertukaran gas, dimana oksigen yang
dibutuhkan untuk metabolisme sel masuk kedalam tubuh dan karbon dioksida yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru. Pada keadaan normal, respirasi
mengatur pemasukan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida dalam berbagai tingkatan
metabolisme. Sistem pernapasan manusia terbagi menjadi dua, yaitu sistem pernapasan atas dan
5
2.1.1. Sistem Pernapasan Atas
Sistem pernapasan bagian atas dimulai dari hidung, faring, laring, dan trakea. Sistem
ini berfungsi sebagai jalan untuk memindahkan udara dari luar ke dalam paru-paru dan
mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru keluar tubuh. Pada saat udara dipindahkan
melalui jalur ini, udara dibersihkan, disaring, dan dihangatkan (Sumiyati et al, 2021).
2.1.1.1. Hidung
Selama bernapas, udara masuk ke hidung melewati lubang hidung. Bagian dalam
hidung terdiri dari rongga hidung, dibagi oleh septum yang merupakan garis tengah
pada hidung. Reseptor penciuman terletak di mukosa pada bagian superior hidung
yang berbentuk seperti celah, tepat dibawah tulang etmoid. Rongga hidung
mengeluarkan lendir yang membantu mengeluarkan partikel debu dari udara dan
juga menormalkan udara sesuai dengan suhu tubuh. Lendir menangkap bakteri
yang masuk dan kotoran asing lainnya, enzim lisozim dalam lendir menghancurkan
bakteri secara kimiawi. Sel-sel bersilia pada mukosa hidung membuat gerakan
6
lembut yang menggerakkan lembaran lendir yang terkontaminasi di posterior
menuju tenggorokan (faring), dimana akan ditelan dan dicerna oleh cairan lambung.
Bila suhu eksternal sangat dingin, gerakan silia ini menjadi lambat, sehingga
Sinus merupakan cavum berisi udara. Sinus paranasal mengelilingi rongga hidung,
yang terletak pada tulang frontalis, sfenoid, etmoid, dan maksilaris. Fungsi dari
menjebak debris. Mulut merupakan jalan napas lainnya yang digunakan apabila
jalan hidung tersumbat atau asupan udara lebih besar diperlukan (Sumiyati et al,
2021).
7
Gambar 2.4. Sinus
2.1.1.2. Faring
panjang sekitar 13 cm (5 inchi). Panjang yang dimulai dari lubang hidung internal
sampai dengan ke bagian krikoid, tulang rawan paling inferior dari laring (pita
suara). Faring terletak tepat di posterior hidung dan rongga mulut, di atas laring,
dan tepat di anterior serviks tulang belakang. Dindingnya terdiri dari otot rangka
dan dilapisi selaput lendir, otot rangka yang rileks membantu menjaga faring tetap
paten. Kontraksi otot rangka membantu proses deglutisi (menelan). Faring dapat
Nasofaring berfungsi sebagai jalan udara. Masa pada jaringan limfoid (tonsil
dan adenoid) berada dalam mukosa setinggi dinding posterior menjebak dan
di bagian belakang rongga mulut dan melintang dari palatum mole hingga setinggi
tulang hioid. Orofaring berfungsi sebagai saluran untuk udara dan makanan.
8
Palatum mile yang terletak lebih tinggi mencegah makanan masuk ke dalam
hioid hingga laring mempunyai tugas sebagai jalan untuk makanan dan udara
2.1.2.1. Laring
Terletak antara faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan
krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik
mengikat laring pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan
laring merupakan epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng,
tidak ada kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada
Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara
(lipat suara). Celah antara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat
mukosa dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara
9
Laryngeus superior (Aulia, 2022).
2.1.2.2. Trakea
udara dengan panjang sekitar 12 cm (5 inchi) dan diameter 2,5 cm (1 inchi). Trakea
terletak di anterior esofagus dan memanjang dari laring ke batas superior dari
vertebra toraks kelima (T5), terbagi menjadi bronkus utama kanan dan kiri. Lapisan
a. Mukosa
Mukosa trakea terdiri dari lapisan epitel dan epitel kolumnar semu bersilia dan
lapisan dasar lamina propria yang mengandung serat elastis dan serat retikuler.
Hal ini memberikan perlindungan yang sama terhadap debu seperti selaput yang
b. Submukosa
Trakea cukup kaku karena dindingnya kuat diperkuat dengan cincin tulang rawan
hialin bebentuk “C”. Cincin ini mempunyai tujuan ganda: bagian terbuka dari
kita menelan makanan. Makanan yang padat membuat dinding trakea tetap
paten, atau terbuka, meskipun terdapat perubahan tekanan yang terjadi selama
10
bernapas.
trakhea bagian posterior. Trakea dilapisi dengan mukosa bersilia. Silia bergerak
terus menerus ke arah posterior. Silia dikelilingi oleh sel goblet yang
menghasilkan mukus. Silia mendorong mukus, yang sarat dengan partikel debu
2.1.2.3. Paru-Paru
dada. Paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan mediastinum, yang
membagi rongga toraks menjadi dua ruang yang berbeda secara anatomis. Setiap
paru-paru dibagi menjadi dua lobus oleh fisura: paru-paru kiri memiliki dua lobus,
dan paru-paru kanan memiliki tiga lobus. Setiap paru-paru tertutup dan dilindungi
oleh membran serosa berlapis ganda disebut membran pleura. Lapisan superfisial,
yang disebut pleura parietal melapisi dinding rongga toraks, dan lapisan dalam
terdapat pleura visceral, melapisi paru-paru sendiri. Antara pleura visceral dan
11
parietal terdapat ruang kecil disebut rongga pleura, yang berisi sedikit cairan
untuk bergerak dengan mudah dalam dinding dada selama bernapas (Sumiyati et al,
2021).
Sistem vaskuler paru terdiri dari arteri pulmonalis, yang mengirim darah ke
paru untuk oksigenasi, dan vena pulmonalis yang mengirim darah kaya oksigen ke
jantung. Dalam paru, arteri pulmonalis bercabang menjadi jaringan kapiler paru
yang mengelilingi alveoli. Jaringan paru mendapatkan suplai darah dari arteri
bronkialis dan dialiri oleh vena bronkialis dan pulmonalis (Sumiyati et al, 2021).
12
2.1.2.4. Bronkus dan Alveoli
Bronkus utama (primer) kanan dan kiri dibentuk oleh percabangan dari
trakea. Setiap bronkus utama berjalan miring sebelum terjun ke depresi medial
(hilus) dari paru-paru pada sisinya masing-masing. Bronkus utama kanan lebih
lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal dari pada kiri. Akibatnya, bronkus kanan
lebih umum menjadi tempat bersarang benda asing yang terhirup. Pada saat udara
masuk mencapai bronkus, udara yang masuk sudah hangat, sudah dibersihkan dari
sebagian besar kotoran, dan sudah lembab. Seperti trakea, bronkus utama
mengandung cincin tulang rawan yang tidak lengkap dan dilapisi oleh
jalur utama kanan dan kiri bronkus pada punggung bagian dalam yang disebut
karina dibentuk oleh proyeksi posterior dan agak inferior dari tulang rawan trakea
yang terakhir. Selaput mukosa pada karina merupakan salah satu area paling sensitif
dari laring dan trakea untuk memicu refleks batuk (Sumiyati et al, 2021).
lebih kecil, disebut lobar bronkus (sekunder), satu untuk setiap lobus paru-paru.
Lobar bronkus terus bercabang, membentuk bronkus yang lebih kecil, yang disebut
pada gilirannya bercabang berulang kali, dan terkecil bercabang menjadi tabung
yang lebih kecil yang disebut bronkiolus terminal. Percabangan yang ekstensif ini
dari trakea melalui bronkiolus terminal menyerupai pohon terbalik dan biasanya
ruangan umum yang disebut atrium. Paru-paru pada orang dewasa mempunyai
sekitar 300 juta alveoli yang menyediakan permukaan sangat besar untuk
pertukaran gas. Dinding pada alveoli merupakan dinding selapis tunggal sel epitel
skuamosa di atas membran basalis sangat tipis. Permukaan luar alveoli dilapisi
Dinding alveolar yang berisi sel yang mensekresi cairan yang berisi surfaktan,
14
2.1.3. Fisiologi Pernapasan
Menurut Sumiyati et al, 2021, fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memasok
tubuh dengan oksigen dan membuang karbon dioksida. Respirasi terjadi apabila terdapat
Ventilasi paru melibatkan pergerakan fisik udara ke dalam dan keluar dari
alveolar yang adekuat. Hal ini untuk mencegah penumpukan karbon dioksida di
alveoli dan mencapai pasokan oksigen yang konstan ke jaringan. Udara mengalir
diantara atmosfer dan alveoli paru-paru sebagai akibat dari perbedaan tekanan yang
diciptakan oleh kontraksi dan relaksasi otot pernapasan. Laju aliran udara dan usaha
yang dibutuhkan untuk bernapas dipengaruhi oleh tegangan permukaan alveoli dan
Respirasi eksternal (pertukaran gas paru) adalah difusi oksigen dari kantong
alveolar ke kapiler paru dan difusi karbon dioksida dari kapiler paru ke kantong
Respirasi eksternal juga merupakan difusi oksigen dari alveoli ke dalam sirkulasi
paru (aliran darah melalui paru-paru) dan difusi karbon dioksida ke arah yang
berlawanan. Difusi terjadi karena molekul gas selalu bergerak dari area konsentrasi
Baik oksigen dan karbon dioksida diangkut dari paru-paru ke jaringan tubuh
melalui darah. Kedua gas tersebut mengalir dalam plasma darah dan hemoglobin,
yang ditemukan di dalam eritrosit (sel darah merah) setiap eritrosit mengandung
sekitar 280 juta melokul hemoglobin dan setiap hemoglobin memiliki potensi untuk
membawa empat molekul oksigen. Oleh karena itu, pengiriman oksigen juga
bergantung pada adanya pasokan eritrosit dan hemoglobin (Hb) yang memadai.
Sama seperti oksigen, sejumlah kecil kabondioksida (sekitar 10%) diangkut dalam
plasma darah. Karbon dioksida juga diangkut menempel pada hemoglobin (Hb),
antara darah dan sel jaringan: sebuah fenomena diatur oleh prinsip yang sama
dengan respirasi eksternal. Sel memanfaatkan oksigen saat membuat sumber energi
16
utama sel, adenosin tri-trifospat (ATP). Selain ATP, sel juga menghasilkan air dan
dalam jaringan selalu lebih rendah dari dalam darah. Demikian pula penggunaan
oksigen secara terus menerus memastikan tingkat karbon dioksida dalam jaringan
selalu lebih tinggi dari dalam darah. Saat darah mengalir melalui kapiler, oksigen
dan karbon dioksida mengikuti gradien tekanannya dan terus menerus berdifusi
antara darah dan jaringan. Konsentrasi oksigen dalam darah mengalir dari jaringan,
Ventilasi paru atau pernapasan mempunyai dua fase, yaitu inspirasi dimana udara
mengalir ke dalam paru, dan fase ekspirasi dimana gas mengalir keluar dari paru, satu kali
napas terdiri dari dua fase tersebut dan normal berlangsung 12 sampai 20 kali per menit.
Waktu yang diperlukan untuk inspirasi berlangsung adalah selama 1-1,5 detik sedangkan
waktu untuk ekspirasi berlangsung selama 2-3 detik (Sumiyati et al, 2021).
vertikal rongga dada. Otot interkosta eksterna berkontraksi, mengangkat rangka iga dan
atmosfer. Udara masuk ke dalam paru sebagai akibat dari gradien tekanan ini sehingga
tekanan intrapulmonal dan tekanan atmosfer sama. Sebaliknya, ekspirasi terutama adalah
proses pasif yang terjadi sebagai akibat elastisitas paru. Otot inspiratorik relaks, diafragma naik,
iga turun, dan paru kembali ke bentuk semula. Baik tekanan dada maupun intrapulmonal meningkat
Pernapasan atau ventilasi paru, sepenuhnya proses mekanis yang bergantung pada
perubahan volume yang terjadi di rongga dada. Perubahan volume udara dalam rongga dada
menyebabkan perubahan tekanan udara dalam rongga tersebut. Karena gas selalu mengalir
atau keluar paru untuk menyamakan tekanan tersebut. Tekanan yang normalnya terdapat
dalam rongga dada adalah tekanan intrapulmonal dan tekanan intrapleural (Sumiyati et al,
2021).
18
Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi (Sumiyati et al, 2021)
Tegangan permukaan alveolar difasilitasi oleh cairan yang disebut surfaktan, yaitu
paru.
Aliran udara melalui saluran pernapasan tergantung pada resistensi dan perbedaan
udara yang masuk dan keluar dari paru-paru. Selama inspirasi, bronkiolus membesar
karena dindingnya tertarik ke segala arah. Diameter saluran pernapasan juga bergantung
pada otot polos. Stimulasi dari simpatik serabut saraf terhadap otot polos menyebabkan
c. Komplians paru
Komplians paru adalah upaya yang dibutuhkan untuk paru-paru dan dada mengembang.
mengembangkan dada dan paru-paru, dan semakin rendah komplians berarti semakin
banyak usaha yang dibutuhkan. Di paru-paru ada dua faktor yang berperan: tegangan
permukaan dan elastisitas. Paru-paru normal memiliki komplians yang tinggi dan
mudah mengembang karena serat elastis mudah meregang dan surfaktan di paru-paru
Orang dewasa yang sehat saat istirahat biasanya memiliki laju pernapasan 12-18 napas
per menit dan setiap pernapasan ada 500 ml udara masuk atau keluar dari paru-paru.
19
Volume tidal (tidal volume, TV) adalah volume udara dalam satu tarikan napas. Dengan
menarik napas dalam-dalam dapat meningkatkan volume tidal di atas 500 ml (volume
cadangan inspirasi/ inspiratory reserve volume, IRV). Pada orang dewasa laki-laki bisa
mencapai 3100 ml dan pada wanita kira kira 1900 ml. Kapasitas paru total (total lung
(6000 ml). Kapasitas paru total dihitung dengan menjumlahkan volume tidal (tidal
volume, TV); volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, IRV): volume
cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, ERV), yaitu jumlah maksimum yang
dapat dihembuskan setelah ekshalasi normal (1000 ml) dan volume residu (residual
volume, RV), yaitu jumlah sisa udara di dalam paru setelah ekshalasi normal (1100 ml).
Kapasitas vital (vital capacity. VC) adalah jumlah udara total yang dapat dihembuskan
setelah inspirasi maksimal (4500 ml). Kapasitas vital dihitung dengan menambah IRV,
TV, dan ERV. Kapasitas inspiratorik adalah jumlah udara total yang dapat ditarik
dan IRV. Kapasitas residual fungsional (functional residual capacity, FRC) adalah
volume udara sisa di paru setelah ekshalasi normal. ERV dan RV ditambahkan untuk
ekspiratorik paksa (forced expiratory volume, FEV) adalah jumlah udara yang dapat
dihembuskan dalam 1 detik. Kapasitas vital paksa (forced vital capacity. FVC) adalah
jumlah udara yang dapat dihembuskan paksa dan cepat setelah asupan udara maksimum.
Volume menit (minute volume, MV) adalah jumlah total volume udara yang ditarik dan
20
2.1.5. Kontrol Pernapasan
Area penting lainnya dari pusat pernapasan adalah area pneumotaxic. Area
ini ada di pons dan penting untuk mengatur jumlah udara yang dihirup seseorang
setiap bernapas.
Bagian lain dari otak yang mengkoordinasikan transisi antara inhalasi dan
ekshalasi adalah area aponeustic. Area ini terletak di pons bagian bawah. Area ini
tarikan udara, sehingga mengakibatkan tarikan napas menjadi lama dan dalam. Saat
area pneumotaxic aktif, area tersebut akan menggantikannya sinyal dari area
apneustic.
Fungsi area ini adalah untuk mengontrol ritme pernapasan. Ada area inspirasi
dan ekspirasi di dalam area ini. Saat bernapas dengan tenang, waktu inspirasi adalah
21
sekitar 2 detik paling lama 3 detik. Impuls dari area inspirasi, mempertahankan
ritme ini. Saat area inspirasi aktif, area ekspirasi tidak aktif. Namun, selama
pernapasan yang kuat, area ekspirasi dirangsang oleh saraf dari area inspirasi.
dioksida dan menyerap lebih banyak oksigen. Karbon Dioksida cenderung tidak
membuat gas CO2 tetap di dalam air. Sebaliknya, CO2 berubah menjadi ion
ini. Dalam darah, saat karbon dioksida diubah menjadi ion bikarbonat, ion
hidrogen tidak akan menimbulkan masalah karena ion hidrogen akan berikatan
dengan hemoglobin (globin menyangga ion hidrogen). Namun, di otak pada area
hidrogen. Jadi saat level CO2 di otak mulai meningkat, sebagian besar diubah
menjadi ion bikarbonat dan ion hidrogen. Kemoreseptor pusat sensitif terhadap
tingkat ion hidrogen. Jadi kemoresptor ini secara tidak langsung mengenai
peningkatan kadar karbon dioksida. Namun, perubahan pH plasma saja tidak akan
darah otak ke cairan cerebrospinal. Hanya tingkat CO2 yang memengaruhi karena
CO2 dapat berdifusi, bereaksi dengan H2O untuk membentuk asam karbonat
22
sehingga menurunkan pH.
komunis bercabang menjadi arteri karotis eksterna dan internal, di mana terdapat
pembengkakan kecil pada daerah ini. Pembengkakan ini adalah sinus karotis, dan
mengandung daerah yang disebut badan karotis dalam sinus tersebut. Aorta
mengandung daerah yang disebut badan aorta dalam aorta tersebut. Daerah ini
Neuron bisa sensitif terhadap oksigen tetapi neuron-neuron ini hanya dapat
mendeteksi penurunan kadar oksigen yang besar, jadi kemoreseptor ini hanya
diaktifkan saat tingkat oksigen turun ke tingkat yang sangat rendah. Ini merupakan
situasi yang mengancam jiwa. Serabut saraf aferen bergabung dengan sinus saraf
2.2.1. Definisi
Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal melakukan fungsi
pertukaran gas yaitu pemasukan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida. Secara
menyeluruh, penyebaran frekuensi gagal napas tidak diketahui karena gagal napas
merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit dari pada proses penyakit tunggal (Sakti
et al., 2021).
Gagal napas adalah suatu kegawatan sistem pernapasan yang terjadi akibat kegagalan
23
mengeluarkan karbon dioksida. Gagal napas dapat diartikan juga sebagai sindrom
kegagalan pertukaran gas karena tidak berfungsinya salah satu atau lebih dari komponen
Gagal napas merupakan suatu kondisi ketika sistem pernapasan gagal dalam
mempertahankan pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida. Hal ini dapat dilihat
dari nilai PaO2 yang lebih rendah dari 60 mmHg, dan atau PaCO2 lebih tinggi dari 50
mmHg. Kondisi ini mengakibatkan darah tidak memiliki oksigen yang cukup ataupun
terlalu banyak karbon dioksida. Pada saat bernapas, paru-paru mengambil oksigen.
Selanjutnya oksigen dibawa oleh darah menuju ke organ-organ. Selain itu pada saat
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gagal napas adalah suatu
kondisi ketika sistem pernapasan gagal dalam melakukan pertukaran gas untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh yang ditandai dengan nilai PaO 2 yang lebih rendah dari 60
2.2.2. Etiologi
Etiologi Gagal napas diakibatkan dari paru atau ekstra paru, menurut Shebl et al.
Pada beberapa kasus, gagal napas terjadi karena pemakaian secara berlebih
24
karbon dioksida akan terus meninggi dan memicu gagal napas.
pernapasan.
a. Myasthenia Gravis
berkurang dari impuls saraf dan penurunan depolarisasi otot (McCance &
2020).
Pada pasien GBS ditemukan adanya gambaran efusi pleura. Efusi pleura
pleura. Efusi pleura merupakan manifestasi dari banyak penyakit. Ada dua
tipe penyebab utama dari efusi pleura yaitu efusi pleura transudative dan
memiliki banyak fungsi salah satunya menjaga tekanan onkotik, sehingga bila
25
terjadi hipoalbuminemia akan menyebabkan penurunan tekanan onkotik.
a. Saluran napas bagian atas seperti epiglotis akut, tumor pada trakea
b. Saluran napas bagian bawah seperti asma, COPD, asma dan cystic fibrosis
a. Edema paru
Jantung memompa darah ke seluruh tubuh dari ventrikel kiri, darah yang
akibat gangguan jantung umumnya terjadi karena ventrikel kiri tidak mampu
ventrikel kiri dan terjadi peningkatan tekanan. Sehingga membuat darah dari
darah paru yang mengakibatkan sebagian cairan dari pembuluh darah akan
b. Pneumonia
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinue menurun, membuat
26
c. Perdarahan paru
darah pada pleura cavity. Kondisi ini terjadi ketika seseorang mengalami
cedera dada seperti robeknya tulang rusuk atau terbentur benda keras akibat
Emboli paru terjadi ketika satu atau lebih gelembung udara masuk ke vena atau
b. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal adalah tekanan darah tinggi yang secara spesifik terjadi
pada orang yang menderita gangguan di jantung atau paru-paru. Kondisi ini
lelah, dan hilang nafsu makan. Hipertensi pulmonal terjadi ketika arteri di paru-
paru dan pembuluh kapiler paru menyempit, tersumbat atau rusak. Akibatnya
tekanan pada paru meningkat dan otot jantung melemah yang memicu berbagai
komplikasi seperti gagal jantung, aritmia, atau perdarahan pada paru-paru yang
27
2.2.3. Klasifikasi
2.2.3.1. Berdasarkan tipe gagal napas dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal
adanya hipoksia jaringan yang secara klinik pada hasil analisa gas darah
didapatkan PaO2 <60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau abnormal. Pada
tipe I ini merupakan gagal napas yang sering terjadi sebagai akibat dari
itu sendiri. Misalnya pada kasus akut lung udem, kelainan jantung bawaan
serta beberapa penyakit paru seperti pneumonia dan ARDS (PJNHK, 2019).
Gagal napas tipe II ditandai dengan hiperkapnia PaCO2 tinggi (PaCO2 >50
2.2.3.2 Berdasarkan waktu gagal nafas dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal
napas kronis
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
28
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
Gagal napas kronis terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik, seperti bronchitis kronik, dan emfisema. Pasien
Gagal napas dada banyak kasus sering terjadi demam, batuk, mengeluarkan dahak
dan sesak napas (Rohmah, 2020). Klasifikasi manifestasi klinik gagal napas (Shebl at al.,
2021) diantaranya:
Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan,
antara lain:
a. Dispneu
Pada awal tahapan gagal napas, gejala yang dominan terlihat adalah sesak
c. Sianosis
d. Takikardia
e. Aritmia
Gagal napas dapat memicu kelainan irama detak jantung (aritmia) akibat
29
2.2.4.2. Gagal napas hiperkapni
a. Penurunan kesadaran
Hiperkapnia memiliki efek utama pada sistem saraf pusat. PaCO2 meningkat,
pasien mengalami tahapan lesu, pingsan dan akhirnya koma (CO2 narkosis).
b. Sakit Kepala
c. Papillodema
2.2.5. Patofisiologi
Secara umum mekanisme terjadinya gagal napas dibedakan menjadi 4 yaitu (PJNHK,
2019):
Pada kondisi ini terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch)
dimana tidak terjadi ventilasi di alveoli disebabkan adanya cairan atau pus atau
kolapsnya alveoli karena infeksi paru sehingga darah yang melewati alveoli tidak
teroksigenasi dan berakibat hipoksemia pada saat dilakukan pemeriksaan analisa gas
darah. Pada kasus edema paru karena tekanan hidrostatik yang lebih tinggi
Penyebab shunting antara lain: Elsenmenger syndrome, pneumonia, ALO, kolaps paru,
30
ventilasi yang baik tetapi tidak diikuti oleh perfusi yang baik sehingga pertukaran
oksigen di alveoli dan kapiler paru tidak terjadi secara normal yang berakibat terjadinya
hipoksemia saat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Keadaan ini terjadi akibat
gangguan perfusi karena penurunan kardiak output yang disebabkan karena masalah
jantung ataupun vasodilatasi pembuluh darah. Sebagai contoh pada penurunan curah
jantung karena ACS ataupun penurunan sistemik vaskular resisten pada pasien sepsis.
c. Difusi abnormal
jumlah alveoli yang menyebabkan pengurangan alveolar surface area. Sebagai contoh
pada kondisi pasien yang terjadi ARDS dan penyakit paru fibrotik yang akan
menurunkan komplians paru dan pertukaran gas di alveoli dan kapiler paru.
d. Hipoventilasi Alveolar
Hipoventilasi alveolar terjadi akibat penurunan pressure gradient antara gas di alveoli
dan tekanan gas di kapiler darah sehingga akan menurunkan pertukaran gas baik O 2
maupun CO2. Hipoventilasi ini ditandai dengan adanya peningkatan PaCO 2 dan
depresan
31
2.2.6. Pathway
Pathway gagal napas menurut Shebl et al. (2021) dan Khan (2020)
32
2.2.7. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
1) Elektrokardiografi
irama jantung, gangguan pada otot jantung, adanya pembesaran jantung, gangguan
elektrolit, adanya pericarditis dan adanya pengaruh dari obat – obatan jantung (PJNHK,
2019)
2) Echokardiografi
Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapnik kronik (PJNHK,
2019)
3) Pemeriksaan Laboratorium
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan keseimbangan
Enzim jantung, Kultur darah dan sputum untuk memastikan adanya infeksi pada paru-
paru. Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas, kadar kreatinin serum yang meningkat dengan kadar
4) Pulse Oxymetri
Merupakan suatu sensor kecil yang menggunakan cahaya untuk mengukur banyaknya
oksigen di dalam darah. Melalui alat ini dapat menentukan nilai saturasi oksigen. Pulse
33
(PJNHK, 2019).
5) Radiografi
Radiografi dada bertujuan untuk mendeteksi dinding dada, pleura, dan lesi pada
parenkim paru. Tindakan ini penting dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab dari
2.2.8. Penatalaksanaan
Penanganan pada gagal napas secara umum adalah menjaga kepatenan jalan
napas, memberikan oksigenasi yang cukup serta menjaga sirkulasi yang cukup.
Hal ini untuk menjamin masuknya oksigen dan mampu terjadinya pertukaran gas
Adapun dukungan integratif dan pengelolaan gagal napas akut sebagai berikut:
34
Gambar 2.17. Tatalaksana gagal napas
a. Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan Spo2 93% dengan udara bebas
dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15L/menit, lalu titrasi
napas, yaitu:
c. Infeksi
inflamasi
35
pemberian diuretik, vasodilator, inotropik, morpin, serta pemberian
dengan ACS yang terjadi komplikasi menjadi akut lung edema maka
baik.
Flow Nasal Canula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam
napas aktif)
indeks ROX.
36
aman (indeks ROX >4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan
hingga mencapai 25 L.
37
kerja jantung harus dilakukan dengan meyakinkan penurunan preload,
gelisah
f. Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok disarankan
38
pada ARDS ringan hingga sedang.
/menit.
cmH2O.
spesialis anastesi
Indikasi ECMO:
39
c. pH 7,20 + Pa CO2 >80 mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
a. Usia 65 tahun
c. Status imunokompromis
Kontraindikasi absolut:
2) Sirosis hepatis
3) Demensia
rehabilitasi.
5) Keganasan metastase
40
antikoagulan.
Gambar 2.18. alur penentuan alat bantu napas mekanik (Kemenkes, 2021)
diantaranya :
2.2.8.2.2. Oksigenasi
dan sepsis
asidosis metabolik
ventilasi mekanik.
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi yang timbul dari gagal napas akut umumnya disebabkan oleh gangguan
gas darah atas dari terapi itu sendiri. Beberapa komplikasi yang dapat timbul pada gagal
43
napas diantaranya (Zuliani et al, 2022) :
b. Komplikasi kardiovaskular: aritmia, gagal jantung, henti jantung, dan infark miokard
akut
d. Renal: Gagal ginjal akut dapat terjadi akibat hipoperfusi dan keracunan obat
h. Infeksi: Sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan gagal
napas akut
2.3.1. Pengkajian
a. Sistem Pernapasan
cuping
sianosis.
pernapasan tertinggal.
44
Perkusi : Suara napas (sonor, hipersoner atau pekak).
b. Sistem Kardiovaskuler
tingkat kesadaran.
papilledema.
c. Sistem Neurologis
Coma Scale.
d. Sistem Eliminasi
e. Sistem Gastrointestinal
terbakar.
45
Inspeksi : Penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat,muntah,
Diagnosa keperawatan dapat disusun dengan menggunakan sumber dari SDKI. Diagnosa
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan benda asing dalam jalan napas.
46
2.3.3. Rencana Keperawatan
47
1 2 3 4 5 ▪ Monitor posisi alat terapi oksigen
▪ Monitor tanda-tanda hipoventilasi
4 Gelisah
▪ Monitor integritas mukosa hidung akibat
1 2 3 4 5 pemasangan oksigen Terapeutik :
▪ Bersihkan secret pada mulut, hidung, dan
Memburu Cukup Seda Cukup Membai
trakea. Bila perlu.
k Membur ng Membai k
▪ Pertahankan kepatenan jalan napas
uk k
▪ Berikan oksigen bila perlu
5 PCO2 Edukasi :
▪ Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di
1 2 3 4 5
rumah
6 PO2 Kolaborasi :
▪ Kolaborasi penentuan dosis oksigen
48
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
49
napas tetap paten ▪ Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan
upaya napas.
Meningk Cukup Seda Cukup Menuru ▪ Monitor saturasi oksigen, monior AGD
at n n
▪ Monitor adanya sumbatan jalan napas
Mening g Menuru ▪ Monitor produksi sputum Terapeutik
k n :
▪ Atur interval pemantauan respirasi sesuai
at
dengan kondisi pasien Edukasi :
2 Produksi sputum ▪ Jelaskan tujuan dan procedure pemantauan
▪ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
1 2 3 4 5
3 Mengi
1 2 3 4 5
4 Sianosis
1 2 3 4 5
5 Gelisah
1 2 3 4 5
50
Membur Cukup Seda Cuku
uk memb n p Membai
ur g memba k
uk ik
6 Pola Napas
1 2 3 4 5
51
1 Dispnea ▪ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
▪ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
adekuat
Terapi Oksigen
1 2 3 4 5
▪ Observasi :monitor kecepatan aliran oksigen
2 Penggunaan otot bantu napas ▪ Monitor posisi alat terapi oksigen
▪ Monitor tanda-tanda hipoventilasi
1 2 3 4 5
▪ Monitor integritas mukosa hidung akibat
Memburu Cukup Sedan Cukup Membai pemasangan oksigen
k g k Terapeutik :
membur Memba
▪ Bersihkan secret pada mulut, hidung, dan
uk ik
trakea, bila perlu
3 Frekuensi Napas ▪ Pertahankan kepatenan jalan napas
▪ Berikan oksigen, bila perlu
1 2 3 4 5
Edukasi:
4 Kedalaman Napas ▪ Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di
rumah
1 2 3 4 5
Kolaborasi:
▪ Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
52
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakadekuatan Membur Cukup Seda Cukup Menur ▪ Monitor saturasi oksigen dan keluhan nyeri
53
Meningk Cukup Seda Cukup Menur stress, jika perlu
at Meningkat ng Menuru un ▪ Berikan dukungan emosional dan spiritual
n ▪ Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
3 Palpitasi
Edukasi:
1 2 3 4 5 ▪ Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
▪ Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
4 Distensi Vena Jugularis
▪ Anjurkan berhenti merokok
1 2 3 4 5 ▪ Anjurkan pasien dan keluarga mengukur berat
badan
5 Gambaran EKG Aritmia
▪ Anjurkan pasien dan keluarga mengukur
1 2 3 4 5 intake dan output cairan harian
Kolaborasi:
6 Lelah
▪ Kolaborasi pemberian antiaritma, jika perlu
1 2 3 4 5 ▪ Rujuk ke program rehabilitasi jantung
54
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
55
3 Penggunaan otot bantu napas ▪ Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika
perlu
1 2 3 4 5
4 Gelisah
1 2 3 4 5
5 PCO2
1 2 3 4 5
6 PO2
1 2 3 4 5
7 SaO2
1 2 3 4 5
8 Takikardia
1 2 3 4 5
56
Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
57
c. Napas megap-megap (gasping) ● Posisikan pasien semi Fowler (30-40 derajat)
● Lakukan pengisapan jalan napas, jika perlu
Meningkat Cukup Sedan Cukup Menurun
● Berikan fisioterapi dada, jika perlu
meningkat g menurun
● Lakukan uji coba penyapihan (30-120 menit
1 2 3 4 5 dengan napas spontan yang dibantu ventilator)
● Gunakan teknik relaksasi, jika perlu
d. Lelah
● Hindari pemberian sedasi farmakologis selama
1 2 3 4 5
f. Frekuensi napas
1 2 3 4 5
58
g. Nilai gas darah arteri
1 2 Cukup 3 4 Cukup 5
Memburuk Memburuk Sedan membaik Membai
g k
a. FiO2
b. Dosis sedasi
59
Risiko Infeksi Tingkat infeksi Pencegahan infeksi
Definisi : Observasi :
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
Berisiko ▪ Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
mengalami diharapkan tidak terjadi infeksi atau tingkat infeksi menurun sistemik
peningkatan Terapeutik :
b Nyeri
60
c Warna sputum
1 2 Cukup 3 4 Cukup 5
g k
a Leukosit
b Kultur darah
c Kultur urin
61
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
Nama : Tn B
Umur : 76 tahun
No MR : 2023532916
Pekerjaan : Pensiunan
62
3.1.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
urin dan hematuri 1 minggu SMRS. Sesak napas dan nyeri dada sebelum
masuk rumah sakit disangkal oleh keluarga. Tanggal 3 Juni 2023 pukul
15.00 pasien mengalami nyeri hebat di saluran kemih skala 7/10, pasien
pada 7 Juni 2023 pukul 00.13 WIB. Kesadaran DPO SAS 3 dengan terapi
hari ke 13.
sudah dilakukan operasi TURP tahun 2019, riwayat sincope suspec TIA
tahun 2021.
63
3.1.1.4 Faktor risiko
hipertensi.
riwayat GI bleeding.
lumen.
64
3.1.3. Tanda-tanda vital
Suhu : 36o C
BB/ TB : 72Kg/170cm
Palpasi: Akral hangat, nadi karotis teraba kuat, pulsasi teraba kuat, tidak
midklavikula kiri, batas kanan atas pada garis 2 jari parasternal kanan,
65
dan batas kiri atas pada garis 3 jari parasternal kiri.
VTe 472 (7cc/kgbb)/ Ppeak 15/ SpO2 99/ MVe 8 L/min. Bentuk thorax
Palpasi: Pengembangan dada simetris, tidak ada nyeri tekan dan tidak
Perkusi: Sonor. Perkusi redup pada ICS VI midklavikula kanan dan ICS
ICS VIII.
66
3.1.4.5 Sistem Gastrointertinal
ml/24jam .
Palpasi: tidak teraba masa, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran
hepar.
Perkusi: Timpani
3333 4444
3333 4444
67
3.1.5 Pemeriksaan Penunjang
68
- Gelombang T : Ada, positive di semua lead, kecuali di
lead AVR, Tidak ada T tall
- Axis : Normal
16-06-
2023
69
Kontrol 10.4
BNP yang menandai adanya gagal jantung. Adanya penurunan dari fungsi
eGFR.
70
3.1.6.2 Hasil Pemeriksaan AGD
Tanggal
Pemeriksa
an
Alkalosi Norma
Interprest l
s
asi Respirat
AGD
orik
71
3.1.6.3 Hasil Pemeriksaan ECHO
▪ Td 101/60(72) HR 95
▪ EF 52 % TAPSE 23
▪ SV 43 CO 4 SVR 1140
▪ SAFE score 1
72
Interprestasi : CTR > 75% Terdapat efusi pleura di paru kanan Trakea
73
3.1.8 WOC
74
3.2 Analisis Data
1. DS: Pasien terpasang trakeostomi, sulit dikaji Bersihan jalan napas Sekresi yang tertahan
tidak efektif
DO:
▪ Slem dari trakeostomi sedang, kental,
warna kuning, slym dari mulut kental,
banyak, putih.
▪ Pasien terpasang trakeostomi dengan
ventilator mekanik mode SIMV 15 PS
15 PS dengan FiO2 40 %, Tidal
Volume 430, PEEP 5, Respiratory
Rate 12
▪ Terdapat bunyi ronchi 1/3 lapang paru
▪ TTV saat pengkajian tanggal
16/06/2023 TD : 126/65 mmHg
HR:117x/menit RR: 24 kali/menit
SaO2: 100% Pasien masih
mendapatkan Ventolin 2.5 mg
▪ Pasien masih mendapatkan Ventolin 2.5 mg
2. DS: Pasien terpasang trakeostomi, sulit dikaji Gangguan penyapihan Hambatan upaya
ventilator napas
DO:
● Pasien dengan ventilator H+14
● Pasien tampak gelisah dan sesak saat
dicoba weaning ventilator.
● Upaya napas pasien dan bantuan
ventilator tidak sinkron
● Suara napas vesikuler ronkhi
● TTV saat pengkajian tanggal 16/06/2023:
75
TD: 126/65 mmHg HR:117x/menit
RR: 24 kali/menit SaO2: 94-96%
● AGDA tanggal 14/06/2023
pH/ 7.40, pCO2/ 37.5, pO2/ 70.3, HCO3/
23.3, Actual BE/ -0.6 Saturasi O2/ 93.8%,
Mg Ion/ 0.80, Ca Ion/ 1.18, Glukosa darah/
255, Asam laktat/ 1.8
● AGDA tanggal 16/06/2023
pH/ 7.36, pCO2/ 42.3, pO2/ 102.2, HCO3/
23.9, Actual BE/ -1.1 Saturasi O2/ 97.9%,
Mg Ion/ 0.98, Ca Ion/ 1.20, Glukosa darah/
104, Asam laktat/ 0.8
● Terpasang tracheostomy dengan dengan
mode ventilasi mekanik SIMV 15 PS 15
FI02 40% TV 430 PEEP 5 Cuff 31 mmHg.
3 DS: Pasien terpasang trakeostomi, sulit dikaji Risiko infeksi Faktor risiko:
Prosedur invasive dan
DO: Peningkatan paparan
▪ Hasil X-Ray kesan adanya pneumonia dan organisme patogen
PPOK lingkungan
▪ Hasil lab tanggal 16/02/2023: Leukosit
21.790, PCT 0.68
▪ Pasien dengan ventilasi mekanik on
Trakeostomi mode SIMV 15 PS 15
dengan FiO2 40 %, Tidal Volume 430,
PEEP 5, Respiratory Rate 12 dengan
sedasi recofol 40mg/jam
▪ Terpasang dower catether silicon no. 16
sejak tanggal 04/06/2023,
▪ Terpasang CV line di jugularis dextra
sejak 8/06/2023, kateter vena dalam paten,
tidak ada kemerahan dan bengkak pada
area insersi
▪ Terpasang NGT no. 16 sejak 4/06/23,
76
tidak ada.
▪ Produksi sputum banyak, kental.
▪ Pasien diberikan terapi antibiotik
Meropenem 2 x 500mg Intravena,
vancomyicin 1x 1250mg
4 DS: Pasien terpasang trakeostomi, sulit dikaji Risiko penurunan curah Faktor risiko:
jantung Perubahan irama dan
DO: frekuensi jantung
▪ TTV saat pengkajian tanggal
16/06/2023 TD : 126/6 mmHg
HR:117x/menit RR: 24 kali/menit
SaO2: 94-96%
▪ Perkusi pekak dengan batas jantung kiri
di intracostae 7 garis midklavikula kiri,
batas kanan atas pada garis 2 jari
parasternal kanan, dan batas kiri atas
pada garis 3 jari parasternal kiri.
▪ Intake: 1951ml/24 jam
Output:2200ml/24jam (1,22 cc/kgbb/jam)
balance cairan: -249ml/24 jam
▪ Hasil EKG tanggal 15/06/2022: Atrial
fibrilasi normal ventrikuler respon.
▪ Hasil Lab tanggal 16/06/2023
Natrium: 139 mmol/L Kalium 4.8 mmol/L
Clorida :106 mmol/L. kalsium total 2.20
mmol/L Magnesium: 3.1 mg/dL Ur 145.00
mg/dL, Cr 3.73 mg/ dL, eGFR: 17 / NT-Pro
BNP 13137 / Hb 10.2 g/dL / Ht 33.9 % /
Eritrosit 3.63 juta/ ȂµL Trombosit 21790
AuL
▪ Hasil echo tanggal 15/06/2023
echo CVC 15/6/2023 pukul 07.00 (vascon 0,1
mcg/kgbb/m)
Td 101/60(72) HR 95
77
Ivc 22/16 eRAP 8-10
pvacct 134 rvot vti 9 MPAP 18
EF 52 tapse 23
LVOT Vti 16/15/12 (mean VTI 14)
SV 43 CO 4 SVR 1140
peak e 101 med e 4,64 lat e 10,2 PCWP 19
blines score 3/3
SAFE score 1
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
c. Risiko infeksi dibuktikan dengan adanya faktor risiko prosedur invasive, dan peningkatan
d. Risiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan adanya faktor risiko: perubahan irama
jantung
78
3.4 Rencana Asuhan Keperawatan
Keperawatan
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam diharapkan Manajemen Jalan Napas
tidak efektif bersihan jalan napas meningkat menunjukkan kriteria hasil Observasi:
79
kontra indikasi Kolaborasi :
Observasi
Terapeutik
Kolaborasi
80
▪ Monitor posisi kanul trakeostomi terutama setelah
mengubah posisi
setelah penggisapan
diperlukan
kotor
2. Gangguan penyapihan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam diharapkan 1. Penyapihan ventilasi mekanik
dengan hambatan ventilasi mekanik dengan menunjukkan kriteria hasil ▪ Periksa kemampuan untuk disapih (meliputi
upaya napas sebagai berikut: hemodinamik stabil, kondisi optimal, bebas infeksi)
81
kapasitas vital, Vd / Vt, MVV, kekuatan inspirasi,
Penyapihan Ventilator
FEV1, tekanan inspirasi negatif)
Kriteria Hasil Sebelum Tujuan
▪ Monitor tanda-tanda kelelahan otot pernapasan (mis.
82
menurun) meningkat) ▪ Ajarkan cara pengontrolan napas saat penyapihan
Kolaborasi
SaO2 2 4
▪ Kolaborasi pemberian obat yang meningkatkan
(cukup (cukup
kepatenan jalan napas dan pertukaran gas
menurun) meningkat
Suara napas 2 4
meningkat) menurun)
Dosis sedasi 2 4
(cukup (Cukup
meningkat) menurun)
4. Risiko penurunan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam diharapkan Perawatan Jantung
curah jantung curah jantung meningkat dengan menunjukkan kriteria hasil Observasi
dibuktikan dengan sebagai berikut : ▪ Identifikasi tanda/ gejala primer penurunan curah
83
jantung, perubahan Indikator Awal Tujuan ▪ Identifikasi tanda/ gejala sekunder penurunan curah
Terapeutik
84
▪ Posisikan pasien semi fowler/ fowler dengan kaki ke
Kolaborasi
85
3.5 Implementasi dan Evaluasi
1 Bersihan jalan napas Jumat, 16/06/2023 Penghisapan Jalan Napas Jumat 16/6/2023 Pukul 21.00
tidak efektif Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan identifikasi kebutuhan dilakukan S: Tidak dapat dikaji
▪ Melakukan auskultasi sebelum dan sesudah ▪ Terdapat bunyi ronkhi pada kedua lapang paru
Respon: adanya suara nafas ronkhi pada 1/3 kemerahan dan dari mulut slem kental berwarna putih
▪ Melakukan monitor status oksigenasi Pulmicort 3x sehari, Hydonac 1x2,5 gr dalam 3 jam
86
Respon : Sputum dari trakeostomi banyak, P : Lanjutkan Rencana Intervensi: Pengisapan jalan napas,
kental, warna kemerahan dan dari mulut slem Manajemen jalan napas buatan, Manajemen jalan napas
atraumatic
87
Manajemen Jalan Napas
bronkodilator
2 Bersihan jalan napas Senin, 19/06/2023 Penghisapan Jalan Napas Senin, 19/6/2023 Pukul 21.00
tidak efektif Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan identifikasi kebutuhan dilakukan S: Tidak dapat dikaji
▪ Melakukan auskultasi sebelum dan sesudah ▪ Terdapat bunyi ronkhi pada kedua lapang paru
Respon: adanya suara nafas ronkhi pada 1/3 kemerahan dan dari mulut slem kental berwarna putih
▪ Melakukan monitor status oksigenasi Pulmicort 3x sehari, Hydonac 1x2,5 gr dalam 3 jam
88
▪ Memonitor warna, jumlah, dan konsistensi
kental, warna kemerahan dan dari mulut slem P : Lanjutkan Rencana Intervensi: Penghisapan jalan napas,
kental berwarna putih Manajemen jalan napas buatan, Manajemen jalan napas
atraumatic
89
▪ Mengganti fiksasi trakeostomi
bronkodilator
3 Bersihan jalan napas Selasa, 20/06/2023 Penghisapan Jalan Napas Selasa, 20/6/2023 Pukul 21.00
tidak efektif Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan identifikasi kebutuhan dilakukan S: Tidak dapat dikaji
▪ Melakukan auskultasi sebelum dan sesudah ▪ Terdapat bunyi ronkhi pada kedua lapang paru
Respon: adanya suara nafas ronkhi pada 1/3 kemerahan dan dari mulut slem kental berwarna putih
90
▪ Melakukan monitor status oksigenasi Pulmicort 3x sehari, Hydonac 1x2,5 gr dalam 3 jam
secret
▪ Menggunakan teknik aseptik, asianotik, dan A : Bersihan jalan napas tidak efektif belum teratasi
atraumatic
91
▪ Melakukan monitoring tekanan balon
Respon: fiksasi trakesotomi bersih P : Lanjutkan Rencana Intervensi: Penghisapan jalan napas,
bronkodilator
92
No Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
2 Gangguan penyapihan Jumat, 16/06/2023 Penyapihan ventilasi mekanik Jumat. 16/06/2023 Pukul 21.00 WIB
penyapihan (mis. tingkat ▪ Pergerakan dinding dada simetris, RR 19x/menit, tidak ada
vital, Vd / Vt, MVV, kekuatan ▪ Mode ventilator: SIMV 15 PS 15 FI02 40% TV 430 PEEP
▪ Melakukan monitor tanda-tanda warna kemerahan dan dari mulut slem kental berwarna
93
dinding abdomen paradoks) pH/ 7.36, pCO2/ 42.3, pO2/ 102.2, HCO3/ 23.9, Actual
hipoksemia, dan hipoksia BE/ -1.1 Saturasi O2/ 97.9%, Mg Ion/ 0.98, Ca Ion/ 1.20,
dan elektrolit pasien Fentanyl 500 mcg/ 50 ml NaCl 0,9% ---> 50 mcg/ mnt
napas
jika perlu
94
penyapihan
▪ Memberikan dukungan
Edukasi
Kolaborasi
napas untuk disapih (meliputi ▪ Kesadaran SAS 3, pasien gelisah, pergerakan dada
hemodinamik stabil, kondisi simetris, reflek batuk baik, slym tampak kental kuning, akral
95
kemampuan untuk mentolerir 07.30 Trakeostomi No. 8, dengan ventilasi mekanik mode
vital, Vd / Vt, MVV, kekuatan 12.15 pasien sesak berat, Wheezing(+), SPO2 97%.TD
inspirasi, FEV1, tekanan 220/120, HR 120, RR 35x/menit. EKG AFRVR NTG naik s.d
96
▪ Melakukan pengisapan jalan Recofol --> 50 mg/Jam → weaning sampai stop → jam 11.00
▪ Melakukan uji coba penyapihan 119x/mnt ->Loading NaCl 0,9% 100 ml -> TD 84/45 (55)
penyapihan
▪ Memberikan dukungan
Edukasi
Kolaborasi
97
yang meningkatkan kepatenan
▪ Melakukan monitor tanda-tanda ▪ Suction sputum dari trakeostomi tube, kental, warna
kelelahan otot pernapasan (mis. kuning dan dari mulut slem lebih cair berwarna putih.
98
napas cepat dan dangkal, gerakan terdengar wheezing(+), pasien ditidurkan wheezing hilang
jaringan saat penyapihan Hb 9,3/ Hct 28/ pH 7,47/ pCO2 29,9/ pO2 83,8/HCO3
dan elektrolit pasien 97,2/ GDS 128 / Asam laktat 1,4/ Na 139/ K 4,1 / Cl 107
Fowler (30-40 derajat) Fentanil 500 mcg in 50 ml nacl 0,9% --> 12,5 mcg/jam
napas
99
farmakologis selama percobaan
Frekuensi 3 5 4
penyapihan
napas (Sedang) (meningkat (Cukup
▪ Memberikan dukungan
) meningkat)
psikologis kepada pasien
PO2 3 4 2
Edukasi
(sedang) (cukup (Cukup
▪ Mengajarkan cara pengontrolan
membaik) menurun)
napas saat penyapihan
Kolaborasi
FiO2 2 4 3
menurun) meningkat)
SaO2 2 4 4
100
menurun) meningkat meningkat)
Suara 2 4 3
Dosis 2 4 3
meningkat) menurun)
1 Risiko penurunan curah Jumat, 16/06//2023 Perawatan Jantung Jumat, 16/6/2023 Pukul 21.00 WIB
jantung dibuktikan dengan Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan identifikasi tanda/gejala primer S : Sulit dikaji
adanya faktor risiko: WIB penurunan curah jantung
101
dan perubahan frekuensi Respon: adanya udem pada ekstermitas bawah ▪ Adanya udem pada ekstermitas bawah
▪ Monitor tanda-tanda vital dan saturasi oksigen ▪ Hasil TTV : TD : 126/63 mmHg HR :
Respon: Intake: 1951ml/24 jam Output: 2200 ml/ cc/kgbb/jam) balance cairan: -249ml/24
ventrikuler respon
▪ Monitor EKG 12 Sandapan
▪ Hasil Lab: Natrium: 139 mmol/L Kalium
Respon: Atrial fibrilasi rapid ventrikuler respon
4.8 mmol/L Clorida :106 mmol/L.
▪ Melakukan monitoring elektrolit yang dapat
kalsium total 2.20 mmol/L Magnesium:
meningkatkan resiko aritmia
3.1 mg/dL
Respon: Natrium: 139 mmol/L Kalium 4.8
▪ Hasil ECHO: EF: 52 %
mmol/L Clorida :106 mmol/L. kalsium total 2.20
102
▪ Melakukan monitoring nadi (frekuensi, P : Lanjutkan Rencana Intervensi: Perawatan
Kolaborasi:
2 Risiko penurunan curah Senin, 19/06/2023 Perawatan Jantung Senin, 19/6/2023 Pukul 21.00
jantung dibuktikan dengan Pukul 07.30-21.00 ▪ Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah S: Tidak dapat dikaji
adanya faktor risiko: jantung
dan perubahan frekuensi derajat 2. JVP 8 cmH2O ▪ Adanya udem pada ekstermitas bawah
103
(MAP:58), HR: 93 kali/menit, RR: 18 kali/menit, (MAP:58), HR: 93 kali/menit, RR: 18
▪ Monitor intake dan output cairan ▪ Respon: Intake: 2793 ml/24 jam
Respon: Intake: 2793 ml/24 jam Output: Output: 1050 ml/24 jam (0.5cc/kgbb/jam).
1050ml/24 jam (0.5cc/kgbb/jam). Balance cairan: Balance cairan: +1743 ml/24 jam
Respon: Atrial fibrilasi rapid ventrikuler respon ▪ Hasil Lab: Natrium: 141 mmol/L
104
Kolaborasi:
3 Risiko penurunan curah Selasa, 20/06/2023 Perawatan Jantung Selasa, 20/6/2023 Pukul 21.00
jantung dibuktikan Pukul 07.30-21.00 ▪ Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah S: Tidak dapat dikaji
dengan adanya faktor jantung
jantung, dan perubahan derajat 2. JVP 8 cmH2O ▪ Adanya udem pada ekstermitas bawah
Respon: Hasil TTV: TD: 127/64 mmHg, N: ▪ Hasil TTV : TD: 127/64 mmHg, N:
84x/mnt, P: 20x/mnt, SpO2 93-95%, S;36 C 84x/mnt, P: 20x/mnt, SpO2 93-95%, S;36 C
105
Respon: Sinus Rythm dengan OMI anterior ▪ Hasil Lab: Natrium: 139 mmol/L
▪ Melakukan monitoring elektrolit yang dapat Kalium: 4.1 mmol/L Clorida :107 mmol/L
Curah jantung
▪ Melakukan monitoring nadi (frekuensi,
Kekuatan, irama)
Kriteria hasil Awal Tujuan Akhir
Respon: Pulsasi arteri perifer kuat dan tidak
Kekuatan nadi 2 4 4
teratur, akral hangat
perifer (sedang) (cukup (cukup
▪ Menyediakan lingkungan yang kondusif untuk meningkat) meningkat)
istirahat dan pemulihan Takikardi 3 4 4
Gambaran Ekg 3 4 3
▪ Melakukan kolaborasi pemberian terapi
aritmia (sedang) (cukup (sedang)
Respon: pasien mendapat terapi captopril 3 x 6,25
menurun)
mg, amlodipin 1x5 mg
Edema 2 4 2
106
Oliguria 2 4 2
1 Risiko infeksi dibuktikan Jumat, 16/06/2023 Pencegahan infeksi Jumat 16/6/2023 Pukul 21.00
dengan adanya faktor Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah S: Tidak dapat dikaji
dan peningkatan paparan ▪ Mempertahankan teknik aseptic ▪ Pasien terpasang trakeostomi hari ke-1
organisme patogen ▪ Memonitoring hasil laboratorium yang berkaitan ▪ Leukosit : 21790 /µL, Procalcitonin 0,68
lingkungan dengan tanda infeksi ▪ CV line di vena jugularis dextra tanggal pemasangan
Respon : Hasil TTV : TD : 126/63 mmHg HR : ▪ Dower catheter no. 16 triple lumen tangga
117 kali/menit, RR : 24 kali/menit, S : 36.4 C, pemasangan 04/06/2023 hari ke 12, area insers
107
SpO2 : 94-96% tidak ada kemerahan.
▪ Melakukan monitoring pada area terpasang ▪ Hasil TTV : TD : 126/63 mmHg HR : 117
trakeostomi, CV line, Arteri line, dan Mahokar kali/menit, RR : 24 kali/menit, S : 36.4 C, SpO2 : 94
Respon : area insersi tidak tampak kemerahan dan ▪ Sputum dari trakeostomi jumlah sedang, kental
panggil.
tunggu ICVCU
Kolaborasi
108
Meropenem 2 x 500mg Intravena, vancomyicin
1x 1250mg
2 Risiko infeksi dibuktikan Senin, 19/06/2023 Pencegahan infeksi Senin, 19/6/2023 Pukul 21.00
dengan adanya faktor Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah S: Tidak dapat dikaji
dan peningkatan paparan ▪ Mempertahankan teknik aseptic ▪ Pasien terpasang trakeostomi No. 8 hari ke 4
organisme patogen ▪ Monitor hasil laboratorium yang berkaitan ▪ Leukosit : 23010 /µL, Procalcitonin 0,68
lingkungan dengan tanda infeksi ▪ CV line di vena jugularis dextra tanggal pemasangan
▪ Monitoring suhu dan tanda-tanda vital: ▪ Arteri line di radialis dextra tanggal pemasangan 07
(MAP:58), HR: 93 kali/menit, RR: 18 kali/menit, ▪ Dower catheter no. 16 triple lumen tangga
S : 36.8 C, SpO2 : 94% - 96% pemasangan 04/06/2023 hari ke 15, area insers
trakeostomi, CV line, Arteri line, dan Mahokar ▪ Hasil TTV : TD : 94/47 mmHg (MAP:58), HR: 93
adanya kemerahan dan bengkak di area insersi, kali/menit, RR: 18 kali/menit, S : 36.8 C, SpO2
109
bengkak. ▪ Sputum dari trakeostomi jumlah sedang, kental
▪ Monitoring area pemasangan dower catheter warna kemerahan dan dari mulut slem kenta
akan di panggil.
Kolaborasi
1x 1250mg
110
3 Risiko infeksi dibuktikan Selasa, 20/06/2023 Pencegahan infeksi Selasa, 20/6/2023 Pukul 21.00
dengan adanya faktor Pukul 07.30-21.00 ▪ Melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah S: Tidak dapat dikaji
dan peningkatan paparan ▪ Mempertahankan teknik aseptic ▪ Pasien terpasang trakeostomi hari ke 5
organisme patogen ▪ Monitor hasil laboratorium yang berkaitan ▪ Leukosit : 17530 /µL, Procalcitonin 0,68
lingkungan dengan tanda infeksi ▪ CV line di vena jugularis dextra tanggal pemasangan
▪ Monitoring suhu dan tanda-tanda vital ▪ Arteri line di radialis dextra tanggal pemasangan 07
84x/mnt, P: 20x/mnt, SpO2 93-95%, S;36 C ▪ Dower catheter no. 16 triple lumen tangga
▪ Melakukan monitoring pada area terpasang pemasangan 04/06/2023 hari ke 16, area insers
adanya kemerahan dan bengkak di area insersi, ▪ Hasil TTV : TD: 127/64 mmHg, N: 84x/mnt, P
Respon : area insersi tidak tampak kemerahan dan 20x/mnt, SpO2 93-95%, S;36 C
▪ Monitoring area terpasang dower catether warna kemerahan dan dari mulut slem kenta
111
ditiadakan, bila ada kondisi pasien yang
panggil.
▪ Respon : keluarga kooperatif, menunggu di ruang Kriteria hasil Sebelum Tujuan Akhir
Kadar 2 4 4
tunggu ICVCU
leukosit (cukup (cukup (cukup
Kolaborasi
memburuk) membaik) membaik)
▪ Melakukan kolaborasi pemberian antibiotic
1x 1250mg
112
BAB IV
PEMBAHASAN
Gagal napas adalah suatu kegawatan sistem pernapasan yang terjadi akibat
mengeluarkan karbon dioksida. Gagal napas dapat diartikan juga sebagai sindrom
kegagalan pertukaran gas karena tidak berfungsinya salah satu atau lebih dari komponen
pulmonal serta sistem neurologi (PJNHK, 2019). Gagal napas dapat terjadi karena
berbagai macam faktor risiko. Hasil penelitian yang dilakukan Behrendt C.F di Amerika
Serikat menyebutkan bahwa morbiditas dan mortalitas kejadian gagal napas meningkat
seiring dengan meningkatnya usia dan adanya komorbiditas (Mahdi, 2022). Hasil
penelitian di atas sesuai dengan pengkajian yang dilakukan terhadap Tn. B dengan usia 76
tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Anggraeni (2022) yang meneliti tentang Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gagal Napas pada Pasien PPOK Eksaserbasi Akut
di RSUP Dr. M. Djamil Padang di dapatkan bahwa, pasien dengan dengan gagal nafas
lebih banyak pada pasien laki-laki dengan riwayat merokok sebelumnya. Berdasarkan Hal
tersebut diatas sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan bahwa Tn. B berjenis
Gagal napas adalah suatu kegawatan sistem pernapasan yang terjadi akibat
mengeluarkan karbon dioksida. Gagal napas dapat diartikan juga sebagai sindrom
kegagalan pertukaran gas karena tidak berfungsinya salah satu atau lebih dari komponen
113
pulmonal serta sistem neurologi (PJNHK, 2019). Pasien Tn. B pada kasus ini mengalami
gagal napas dengan rujukan dari RS Cikini yang sudah terpasang ventilator.
Gagal napas pada Tn. B termasuk dalam kategori gagal napas tipe I karena memiliki
PaO2 < 60 mmHg. Gagal napas tipe I merupakan kegagalan pernapasan yang ditandai
dengan adanya hipoksia jaringan yang secara klinik pada hasil analisa gas darah
didapatkan PaO2 <60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau abnormal. Pada tipe I ini
merupakan gagal napas yang sering terjadi sebagai akibat dari adanya gangguan sirkulasi
jantung ataupun adanya masalah pada paru-paru itu sendiri, misalnya pada kasus acute
lung oedema, kelainan jantung bawaan serta beberapa penyakit paru seperti pneumonia
dan ARDS (PJNHK, 2019). Perkembangan gagal napas pada Tn. B telah berada pada fase
kronis karena terjadi dalam beberapa hari, sesuai dengan pernyataan Shebl et al., (2021)
yang menjelaskan bahwa gagal napas kronis adalah gagal napas yang terjadi dalam
beberapa hari. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Shebl at al. (2021) juga menjelaskan bahwa gejala yang timbul
pada gagal napas tipe I merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan,
antara lain sesak napas, sianosis, takikardia, dan aritmia. Gejala tersebut selaras dengan
manifestasi klinis pada Tn. B yang menunjukkan gejala gagal napas tipe I yaitu adanya
sesak napas, takikardi dengan HR 130x/menit, sianosis dengan anemia dan konjungtiva
tampak anemis, serta adanya aritmia yaitu atria fibrilasi rapid ventrikuler respon.
Shebl et al., (2021) menyatakan bahwa etiologi gagal napas dapat diakibatkan dari
paru atau ekstra paru meliputi disfungsi sistem saraf pusat, disfungsi Sistem saraf tepi,
disfungsi saluran napas, disfungsi alveolar, atau disfungsi sirkulasi paru. Selaras dengan
pernyataan Shebl et al., (2021), etiologi gagal napas pada Tn. B disebabkan oleh adanya
disfungsi alveolar dan disfungsi saluran napas. Disfungsi alveolar pada Tn. B dibuktikan
dengan adanya edema paru akut dan pneumonia. Selain itu Tn. B juga mengalami disfungsi
114
saluran napas bagian bawah yaitu ditunjukkan dengan adanya PPOK. David-Joao et al.
(2018) menjelaskan bahwa etiologi utama adalah pneumonia (27%), penyebab neurologis
(19%), sepsis non pulmoner (12%), penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (6%), dan
acute lung oedema (ALO) (6%). Mekanisme terjadinya gagal napas pada Tn. B terjadi
akibat mekanisme shunting atau perfusi tanpa ventilasi. Pada kondisi ini terjadi
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi (V/P missmatch) dimana tidak terjadi
ventilasi di alveoli disebabkan adanya cairan atau pus atau kolapsnya alveoli karena infeksi
paru sehingga darah yang melewati alveoli tidak teroksigenasi dan berakibat hipoksemia
pada saat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Pada kasus edema paru karena tekanan
cairan dari kapiler paru ke interstisial dan ke alveoli sehingga akan mengganggu
Data yang diperoleh dari pasien Tn. B menjadi bahan dasar dalam menegakkan
diagnosis keperawatan yang selanjutnya akan dijadikan acuan kelompok dalam menyusun
rencana asuhan keperawatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien berdasarkan 3S
yaitu SDKI, SLKI, dan SIKI. Beberapa diagnosis yang diangkat pada kasus ini antara lain:
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan, gangguan
penyapihan ventilator berhubungan dengan hambatan upaya napas, risiko penurunan curah
jantung dibuktikan dengan adanya faktor risiko: perubahan irama dan frekuensi jantung,
dan risiko infeksi dibuktikan dengan adanya faktor risiko prosedur invasive, dan
Diagnosa bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan dikuatkan dengan data dari hasil pengkajian yaitu adanya produksi sekret banyak,
115
kental, warna kemerahan (SDKI, 2017). Rencana keperawatan yang kelompok susun guna
mengatasi masalah tersebut adalah penghisapan jalan napas, manajemen jalan napas, dan
manajemen jalan napas buatan. Intervensi penghisapan jalan napas yaitu membersihkan
mengelola kepatenan jalan napas, sedangkan intervensi manajemen jalan napas buatan
adalah intervensi untuk mengelola selang endotrakeal. Mawarti & Setyawan (2020)
menjelaskan bahwa suction adalah tindakan atau proses menghisap pada saluran napas
dilakukan pada pasien dengan kelebihan produksi lendir atau sputum dimana pasien tidak
dikuatkan dengan data dari pasien, pasien sudah dengan bantuan ventilator hari ke-14, gelisah dan
sesak saat dicoba weaning ventilator, upaya napas pasien dan bantuan ventilator tidak sinkron,
Hemodinamik tidak stabil saat dilakukan weaning dari mode ventilator SIMV 15 PS 15 FiO2%
40%, PEEP ke mode PS 10, TD meningkat hingga 220/120, HR 120, RR 35x/menit, SaO2 97%
dan terdengar wheezing. Intervensi yang kelompok susun guna mengatasi masalah ini adalah
penyapihan ventilasi mekanik melalui tindakan observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi.
Diagnosa lainnya yaitu resiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan adanya
faktor risiko: perubahan irama jantung, perubahan frekuensi jantung. Diagnosa ini
dikuatkan dengan (EF 52%, TAPSE 23), hasil EKG atrial fibrilasi rapid ventrikuler respon
dan sinus rythm dengan OMI anterior, eGFR 17, NT-Pro BNP 13137, Hb 10.2, /Ht 33.9%,
Eritrosit 3.63 Juta / ȂµL Trombosit 21790 AuL (SDKI, 2017). Intervensi yang kelompok
susun guna mengatasi masalah ini adalah perawatan jantung. Maksud dari intervensi ini
antara suplai dan konsumsi oksigen miokard (SIKI, 2018). Pemberian terapi obat captopril
116
3 x 6,25 mg, pada Tn. B untuk meningkatkan curah jantung pada Tn. B. Captopril golongan
Diagnosa terakhir yang kelompok angkat yaitu risiko infeksi dibuktikan dengan
adanya faktor risiko prosedur invasive, dan peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan. Diagnosa keperawatan ini dikuatkan oleh adanya data dari hasil laboratorium
jumlah leukosit 23010 dan nilai PCT 0.68. Pasien juga terpasang ETT dan ventilator
mekanik sejak 07/06/2023 dan dilakukan trakeostomi pada tanggal 16/06/2023. Pasien
terpasang CV line di vena jugularis dextra tanggal pemasangan 08-06-2023, Arteri line di
radialis dextra tanggal pemasangan 07-06-2023, Dower catheter no. 16 triple lumen
tanggal pemasangan 04/06/2023 (SDKI, 2017). Intervensi yang kelompok susun guna
mengatasi masalah ini adalah pencegahan infeksi yaitu mengidentifikasi dan menurunkan
diantaranya: melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien,
tanda infeksi, dan melakukan kolaborasi dalam pemberian antibiotic (SIKI, 2018).
mg. Pemberian antibiotik empiris dilakukan sampai keluar hasil kultur sputum yang
menunjukkan resistensi antibiotik multipel. Oleh karena hasil kultur tidak dapat
memberikan informasi yang adekuat mengenai pemberian terapi definitif, maka terapi
definitif menggunakan pola kuman dan terapi antibiotik setempat yang dikeluarkan oleh
117
Kombinasi tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan efek sinergisitas dalam
118
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada Tn. B dengan diagnosa medis Gagal
napas tipe I on ventilator Acute on CKD Riwayat TURP 2019 diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
5.1.1 Sistem pernafasan terbagi menjadi 2 yaitu sistem pernafasan atas dan sistem
pernafasan bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, rongga hidung, sinus,
faring, laring dan trakea. Sedangkan sistem pernafasan bagian bawah terdiri dari
eksternal dan internal. Pernafasan eksternal yaitu masuk dan keluarnya udara dari
hidung sampai dengan proses bertukarnya O2 dan CO2 di alveoli secara difusi.
Sedangkan pernafasan internal adalah pertukaran udara antara sel darah merah di
5.1.2 Gagal napas merupakan suatu kondisi ketika sistem pernapasan gagal dalam
mempertahankan pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida. Hal ini dapat
dilihat dari nilai PaO2 yang lebih rendah dari 60 mmHg, dan atau PaCO2 lebih
5.1.3 Asuhan keperawatan pada pasien Tn. B dengan diagnosa medis gagal napas Tipe 1
hambatan upaya napas, risiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan adanya
faktor risiko perubahan irama jantung dan frekuensi jantung serta risiko infeksi
dibuktikan dengan adanya faktor risiko prosedur invasif dan peningkatan paparan
119
organisme patogen lingkungan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita. Tujuan utama dari terapi gagal napas adalah mengembalikan
pertukaran gas yang adekuat dengan komplikasi sekecil mungkin. Pada dasarnya,
terapi gagal napas akut ditujukan pada penyebabnya dan memperbaiki keadaan
hipoksemia dengan pemberian oksigen untuk meningkatkan FiO2 dengan alat bantu
5.2 Saran
Melalui makalah ini, penulis berharap studi mengenai gagal napas diperluas karena
mengingat banyak sekali faktor-faktor resiko yang menyebabkan gagal napas. Dalam
rangka perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan keperawatan pada pasien gagal
napas, maka kelompok memberikan beberapa pemikiran dan saran sebagai berikut:
dengan gagal napas secara komprehensif mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa
Keluarga pasien diharapkan lebih mengetahui tentang proses penyakit gagal napas
120
khususnya asuhan keperawatan dengan cara aktif memberikan pelatihan, atau
lebih optimal.
121
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, A. (2022). Asuhan Keperawatan Sistem Pernapasan Berbasis SDKI, SIKI dan SLKI.
David-Joao, P. G., Guedes, M. H., Rea-Neto, A., de Oliveira Chaiben, V. B., & Baena, C. P.
Dewi, C. J. S., Yaswir, R., & Desywar, D. (2019). Korelasi Tekanan Parsial Oksigen Dengan
Jumlah Eritrosit Berinti Pada Neonatus Hipoksemia. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1),
76-80.
Jodjana, E., & Adja, Y. M. I. W. O. (2021). Sindrom Guillain-Barre dengan Komplikasi ( Gagal
Tahun 2020.
Katzung, B. G., Kruidering-Hall, M., & Trevor, A. J. (2019). Katzung & Trevor’s
Khan, N., Chen, X., & Geiger, J. D. (2020). Role of endolysosomes in severe acute respiratory
Komaria, K., Halim R, A., Nst, A., & Hasan, H. (2018). Predictor of Left Atrial Spontaneous
Lajar, C. E. U. (2022). Kajian pustaka efektivitas penggunaan natrium bikarbonat pada pasien
122
Listia, M., Kalay, M., Kurnia, D., Pahria, T., Harun, H., Herliani, Y. K., & Fitriana, E. (2020).
Studi Kasus: Status Pernafasan Pada Pasien Myasthenia Gravis di Ruang Azalea RSUP
https://doi.org/10.32584/jpi.v4i1.458.
Saturasi Oksigen Pada Pasien Gagal Napas Yang Dilakukan Suction Endotracheal
Tube (ETT) Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP H. Adam Malik Medan Tahun
Mawarti, D., & Setyawan, A. B. (2020). Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir (Suction)
Moore, C. J. (2020). Mechanical Ventilation: Pressure Support, Pressure Control, and Volume-
Natadidjaja, R. I. (2020). Konsep RASPRO: Metode Tataguna Antibiotik Bijak dalam Rangka
Norris, T. L., & Lalchandani, R. (2018). Porth's pathophysiology: concepts of altered health
Panjaitan, D. K., Sinatra, J., & Siahaan, D. L. (2021). Hubungan Penggunaan Ventilator
31-40.
Pinson, R. D., & Tang, C. L. (2018). CDI pocket guide. Brentwood, TN: HCPro, 190.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
123
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Sakti, M., Ferianto, F., Siswoyo, D. V., Candita, F., & Ifani, R. F. (2021). Tatalaksana Gagal
Nafas Akut Akibat Edem Paru Akut Pada Pasien Dengan Hipertensi. Collaborative
Shebl, E., Mirabile, V. S., Sankari, A., & Burns, B. (2021). Respiratory failure. In StatPearls
Sumiyati, S., Anggraini, D. D., Kartika, L., Arkianti, M. M. Y., Sudra, R. I., Hutapea, A. D.,
... & Sitanggang, Y. F. (2021). Anatomi Fisiologi. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Zuliani, Z., Rajin, M., Damayanti, D., Sinaga, R. R., Megasari, A. L., Nurdiansyah, T. E., ...
124