Anda di halaman 1dari 71

DIKLAT RS JANTUNG & PEMBULUH DARAH

HARAPAN KITA

ASUHAN KEPERAWATAN POST PRIMARY


PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION PADA
PASIEN TN. B. DI RUANG ICVCU RS JANTUNG &
PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

OLEH:
Dodo Saripudin
(2059)
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.

Adapun judul makalah ini adalah “Asuhan Keperawatan Post Primary


Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Pada Pasien Tn. R. di Ruang ICVCU
Kamar X Rumah Sakit Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas individu dalam rangka study day pada
Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Lanjut di Divisi Diklat Pusat
Jantung Nasional dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Angkatan XXVI tahun
2018-2019.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Akhirnya penulis berharap, semoga makalah yang penulis susun dapat


bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Aamiin Ya Robal’alamiin …

Jakarta, Februari 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. 1


DAFTAR ISI …………………………………………………….…………. 2
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………. 3
Latar Belakang ……………………………………….. 3
Tujuan ………………………………………………… 5
Manfaat ……………………………………………….. 5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ……………………………… 6
Coronary Artery Desease (CAD) …………………….. 6
Penatalaksanaan CAD ………………………………... 10
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) …………... 13
Penatalaksanaan PCI …………………………………. 20
Asuhan Keperawatan PCI ……………………………. 24
Peran Perawat dalam PCI …………………………….. 34
Discharge Planning …………………………………… 36
Contrast Induced Nefrofathy (CIN) ………………….. 36
BAB III : TINJAUAN KASUS …………………………………. 42
Pengkajian ……………………………………………. 42
Analisa Data ………………………………………….. 51
Diagnosa Keperawatan ……………………………….. 52
Intervensi Keperawatan ………………………………. 54
Implementasi Dan Evaluasi ………………………… 57
BAB IV : PEMBAHASAN ……………………………………... 62
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………………………. 67
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 69
Patoflow Kasus Post Primary PCI …………………………………………. 72

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab penyakit arteri
coroner yang sering ditemukan. Menurut American Heart Association (AHA)
Guideline. PJK merupakan penyebab 1 dari setiap 5 kematian di Amerika Serikat.
Diperkirakan setiap 25 detik, seseorang mengalami serangan jantung yang diduga
setiap 1 menit meninggal karena serangan jantung tersebut. Di Indonesia PJK
masih merupakan penyebab kematian nomor satu (AHA, 2014).

2
Hasil survei yang dilakukan Kementrian Kesehatan RI tahun 2014
menyatakan prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat
(Kemenkes, 2014). Dalam jurnal kardiovaskuler (2012), PJK masih menduduki
urutan pertama 80% penyebab kematian karena PJK. Berdasarkan data rekam
medik Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK), total
pasien PJK (2017) : 2.818 orang, Unstable Angina Pektoris (UAP) : 1.088 orang
(38,6%), Non ST Elevasi Myocard Infark (NSTEMI) : 758 orang (26,9 %), dan
ST Elevasi Myocard Infark (STEMI) : 972 orang (34,5 %). Dari total PJK 2.818
orang, yang dilakukan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) : 2.670 orang.
Sedangkan 106 orang (4%) dilakukan Percutaneous Transluminal Coronary
Angioplasty (PTCA) dan 2.564 orang (96%) menggunakan stent dari berbagai
tipe/jenis (misalnya Drug-Eluting Stent (DES), Bare-Metal Stent (BMS), dan lain-
lain).
Menurut Nakamura (2014), penatalaksanaan secara medis dari PJK
ditujukan untuk stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya, begitu juga
untuk mencegah rupturnya plak serta sekuel berikutnya. Di salah satu
revaskularisasi PCI bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner yang
efektif, sehingga mengatasi iskemik miokardial serta gejala-gejala yang terjadi.
Menurut Baim (2015), indikasi dari PCI adalah adanya satu atau lebih
stenosis koroner yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang terjadi, yang
memerlukan revaskularisasi. Indikasi klinis PCI saat ini meliputi berbagai
spektrum penyakit jantung iskemik, mulai dari pasien dengan silent iskemia
sampai pasien dengan UAP dan STEMI.
Menurut The American College of Cardiology (ACC)/AHA guideline
(2014), indikasi secara lebih detail telah dirangkum dimana salah satunya adalah
pasien STEMI yang tidak dapat dilakukan terapi fibrinolitik yaitu dengan cara
PCI yang mempunyai pengurangan mortalitas jangka pendek, reinfraksi dan
stroke yang lebih baik.
Andreas Gruentzig (25 Juni 1939 - 27 Oktober 1985) merupakan penemu
metode penanganan penyakit jantung koroner melalui tindakan invasif
Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA). Pada tanggal 16
September 1977, di Zurich Switzerland, Gruentzig melakukan coronary

3
angioplasty pertama pada manusia yang sadar dan berhasil memperlebar arteri
LAD (Left Anterior Descending) yang mengalami stenosis 80%. Prosedur ini
kemudian diikuti oleh Universitas Emory, Atlanta, Georgia di Amerika.
Pada tahun 1980 murid dari Andreas R. Gruentzig di universitas Emory
bernama Merril Knudtson dan Dr. Charles Theodore Dotter memperkenalkan
prosedur ini di Calgary, Alberta, Canada. Sehingga pusat-pusat kesehatan di dunia
mengadopsi prosedur ini untuk pengobatan CAD. Istilah Angioplasty pertama kali
dideskripsikan oleh Dr. Charles Theodore Dotter dan Dr. Melvin P. Judkins pada
tahun 1964. Dan hingga sekarang berubah menjadi Percutaneous Coronary
Intervention (PCI).
Keberhasilan tindakan PTCA dengan stent selain ditentukan pada saat
tindakan pemasangan, juga dipengaruhi oleh asuhan keperawatan yang optimal
sebelum, saat dan sesudah prosedur, oleh karena itu peran perawat sangat dituntut
kemampuannya dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas sesuai
dengan prosedur. Dengan data di atas, maka penulis membahas mengenai asuhan
keperawatan pasca PCI yang terkait di dalamnya konsep sebelum, pada saat
tindakan PCI dan setelah tindakan PCI, agar komplikasi dapat dihindari sehingga
segera terdeteksi dan ditanggulangi lebih dini. Dengan asuhan keperawatan pasca
PCI juga dapat memperbaiki pola hidup yang lebih baik.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum:
Perawat mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan post Percutaneous Coronary Intervensi (PCI).

1.2.2. Tujuan khusus:


a. Mengetahui konsep dasar teori PCI.
b. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan
pada pasien pasca PCI.

4
1.3 Manfaat
Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1. Memberikan informasi dan menambah wawasan luas ilmu
pengetahuan perawat mengenai asuhan keperawatan pasca PCI
sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca tulisan ini.
2. Diharapkan lebih memahami dan mengerti tentang asuhan
keperawatan pasca PCI, sehingga mencegah dan meminimalkan
komplikasi yang timbul pasca PCI.
3. Tulisan ini dapat meningkatkan mutu dan kualitas asuhan keperawatan
di masa yang akan datang.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Coronary Artery Disease (CAD)


2.1.1. Pengertian
Menurut Dr. Surya Dharma (2016), Coronary Artery Disease
(CAD) adalah gabungan gejala klinik yang menandakan adanya
iskemia miokard akut yang disebabkan karena adanya

5
ketidakseimbangan antara demand dan suplai akibat adanya sumbatan
formasi trombus yang berasal dari robekan plak, dengan manifestasi
klinik infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan Angina pektoris tidak
stabil (UAP).
Menurut Prof. Dr. Idris Idham (2009), Coronary Artery Disease
(CAD) adalah spektrum klinis, disebabkan adanya pengurangan
pasokan oksigen secara akut atau subakut dari miokard yang dipicu
adanya robekan plak atherosklerosis dan berkaitan dengan adanya
proses inflamasi trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi.

2.1.2. Faktor-faktor resiko CAD


Ada 2 faktor resiko CAD adalah:
1. Faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah usia (laki-laki > 45
tahun, perempuan > 55 tahun/menopause), jenis kelamin, riwayat
CAD pada keluarga.
2. Faktor yang dapat diubah adalah peningkatan kadar lipid serum,
hipertensi, merokok, diabetes mellitus (DM), Obesitas/kurang
exercise.

2.1.3. Patogenesis atherosklerosis


Menurut Corwin (2009), patogenesis atherosklerosis merupakan
suatu proses yang kompleks, interaksi dan respon komponen dinding
pembuluh darah dengan pengaruh unik berbagai stressor (sebagian
diketahui sebagai faktor resiko). Teori patogenesis yang mencakup
konsep ini adalah hipotesis respon terhadap cedera dengan beberapa
bentuk cedera tunika intima yang mengawali inflamasi kronis dinding
arteri dan menyebabkan timbulnya atheroma.

6
Perjalanan proses atherosklerosis secara bertahap dari sejak usia
muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk
bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam
pembuluh darah dan lambat laun pada usia tua dapat berkembang
menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah)
sehingga terjadi penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah.
Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel,
mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau
keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
atherosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah
proses atherosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal
juga dengan CAD.
Lapisan intima terdiri dari sel endotel yang membatasi arteri
dan melindungi lapisan media dari komponen darah. Lapisan
adventisia merupakan lapisan terluar dinding pembuluh darah dan
terdiri atau sebagian sel-sel otot polos dan fibroblast, lapisan ini juga
mengandung vasa vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang
mengantarkan suplai darah ke dinding pembuluh darah. Pada
aherosklerosis, terjadi gangguan integritas lapisan media dan intima,
sehingga menyebabkan terbentuknya atheroma kemudian
menyebabkan disfungsi endotel arteri dengan meningkatnya
permeabilitas terhadap monosit dan lipid darah.
Hiperkolesterolemia diyakini menganggu fungsi endotel dengan
meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini
menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor endothelial-relaxing utama.
Apabila terjadi hiperlipidemia kronis, lipoprotein tertimbun di dalam
lapisan intima. Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel
dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi Low Density
Lipoprotein-Colesterol (LDL-C), yang berperan mempercepat
terjadinya plak atheromatosa. Oksidasi LDL-C yang diperkuat oleh

7
High Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, Diabetes Mellitus
(DM), defisiensi estrogen, hipertensi dan derivat rokok.
Hiperkolesterolemia memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos
subendotel dan penimbunan lipid dalam magrofag sel otot polos.
Apabila LDL-C teroksidasi, magrofag menjadi sel busa yang
beragregasi dalam lapisan intima yang terlihat sebagai bercak lemak.
Akhirnya deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini
menjadi atheroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti
bagian dalam plak terpajan dengan LDL-C yang teroksidasi dan
meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Akhirnya
deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi
atheroma, yang dapat mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi atau
trombosis dan menyebabkan infark miokardium.

Gambar 1
2.1.4. Patologi
Menurut Wilson & Price (2015), atherosklerosis merupakan
penyebab penyakit arteri koroner yang sering ditemukan.
Atherosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa
dalam arteri koroner sehingga mempersempit lumen pembuluh darah.
Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan
meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Dengan

8
demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen
menjadi tidak stabil.

2.1.5. Patofisiologi Atherosklerosis


Menurut Arif Muttaqin (2013), patofisiologi aterosklerosis adalah sebagai
berikut:

Hipertensi Usia Perokok DM Dislipidemia

Tekanan darah Pembuluh Peningkatan Penumpukan lemak di


meningkat darah kaku viskositas darah pembuluh darah

Penumpukan plak di
atherosklerosis tunika intima

Penimbunan lemak dan jaringan fibrosa arteri koronaria

Penyempitan lumen arteri, rupture plak, trombosis, dan spasme arteri

Penurunan aliran darah arteri koronaria

Gangguan suplai oksigen ke miokardium

Hipoksia miokard

Ketidakseimbangan kebutuhan oksigen Iskemia miokardium Kerusakan otot ke miokardium

Metabolisme anaerob Edema sel EKG : T terbalik dan ST


Iskemik > 20
Produksi asam laktat Pelepasan enzim menit Sindrom coroner akut

Angina pektoris CKMB, STEMI NSTEMI UAP


Gangguan suplai oksigen ke miokardium Gangguan suplai oksigen ke miokardium

Trop T dan
LDH Infark miokardium

Intervensi non bedah Cardiac output , LVEDP dan Intervensi Bedah


LVEDV

9
invasif medikamentosa CABG

Primary PCI PCI elektif

2.2. Penatalaksanaan CAD


Penatalaksanaan pada CAD dapat dilakukan dengan intervensi non
bedah yaitu, antara lain:

2.2.1. Medikamentosa
1. Antikoagulan dan antiplatelet untuk mencegah pembekuan baru.
2. Nitrat (untuk mempertahankan vasodilatasi, mengurangi afterload
dan preload).
3. Agen penghambat calsium (untuk mengurangi kontraktilitas
miokard, hingga kebutuhan oksigen terpenuhi).
4. Agen trombolitik seperti aktivator plasmanogen jaringan (r-TPA),
urokinase/streptase dapat diberikan secara IV kurang dari 12 jam
setelah terjadinya serangan nyeri dada. Apabila tidak mampu
(dalam segi biaya) untuk dilakukan tindakan invasif primary PCI,
maka terapi trombolitik ini merupakan suatu pilihan. Apabila terapi
trombolitik ini berhasil maka tetap direncanakan untuk kateterisasi.
Tetapi, bila terapi trombolitik tidak berhasil maka harus dilakukan
rescue PCI.
2.2.2. Invasif Non Bedah (INB)
1. Primary PCI
Dalam panduan penatalaksanaan Primary PCI dari
ACC/AHA (2013), yaitu antara lain:
1) Tanda-tanda infark miokard yang luas:
a. Riwayat nyeri dada/perasaan tidak nyaman yang
bersifat substernal, lamanya lebih dari 20 menit,

10
tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat,
disertai penjalaran, mual, muntah dan keringat
dingin. Dengan onset gejala kurang dari atau sama
dengan 12 jam.
b. Elevasi segmen ST > 1 mm pada 2 sadapan
ekstremitas atau elevasi segmen ST > 2 mm pada 2
sadapan prekordial, atau Left Bundle Branch block
(LBBB) yang dianggap baru.
c. Peningkatan enzim jantung (Creatine Kinase-Muscle
and Brain (CK-MB), high-sensitivity (hs) troponin
T). Hasil tidak perlu di tunggu untuk memulai terapi
reperfusi.

2) Kriteria RS untuk melakukan tindakan PCI mengharuskan


operator (dokter yang mengintervensi) harus baik
sekurangnya 75 x/tahun, fasilitas RS harus lengkap,
penanganan harus cepat (door to ballon dengan golden
time: 60 menit) waktu masuk RS sampai dengan
pengembangan balon/stent, PCI hanya di Infark Related

3) rea (IRA), untuk primary PCI. (Lihat lampiran no. 3).

11
Gambar 2.

Gambar 2.
2. Elektif PCI
PCI elektif dapat dilakukan pada pasien yang datang dari
rumah maupun pasien yang sedang dalam perawatan. Pre
tindakan pasien dipastikan sedang menggunakan terapi aspirin
dan clopidogrel. Jika tidak, pastikan dalam waktu 24 jam
sebelum tindakan terapi tersebut diberikan. PCI elektif tidak
hanya dilakukan pada IRA, namun bisa dilakukan dengan
multiple stenosis.

2.2.3. Intervensi Bedah


Untuk sakit menetap, kronis dan nyeri dada yang berat
diperlukan tindakan bypass arteri koroner (CABG).

2.3. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


2.3.1. Pengertian
Menurut The American College of Cardiology/American Heart
(ACC/AH) Cardiac Nursing (2013), Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) adalah menggambarkan kelompok atau kumpulan
beberapa prosedur yang menggunakan tehnik percutaneous untuk
memperbaiki atau membuka kembali arteri koroner yang menyempit,

12
prosedur utamanya meliputi: angioplasty, arterectomy dan intra
coronary stenting.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) terdiri dari tiga kata


yaitu: Percutaneous yang artinya melalui kulit, Coronary adalah pada
arteri koroner dan intervention adalah tindakan yang dilakukan dalam
rangka pengobatan pada kelainan/penyakit jantung koroner.
Percutaneous coronary intervention (PCI) adalah intervensi atau
tindakan non bedah untuk membuka/dilatasi/melebarkan arteri
koroner yang mengalami penyempitan agar aliran darah dapat kembali
menuju ke otot jantung (Davis, 2014).

Percutaneous coronary intervention merupakan suatu tindakan


angioplasty (dengan atau tanpa stent) dalam 12 jam pada lesi culprit
(lesi arteri koroner) setelah simtom, tanpa didahului oleh pemberian
fibrinolitik atau obat lain yang dapat melarutkan bekuan darah.
Prosedur ini bertujuan untuk membuka infarc related artery saat
terjadinya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (Keeley EC,
Hillis LD, 2014).

2.2.2. Jenis Percutaneous Coronary intervention (PCI)

Team Work Service Koroner PJNHK membagi Percutaneous


Coronary Intervention menjadi tiga:

1. Primary Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan


yang dilakukan pada akut koroner infark dengan onset gejala
kurang dari 12 jam. Keterlambatan door to needle atau door to
ballon tiap 30 menit akan meningkatkan resiko relative 1 tahun
sebanyak 7,5%. Sehingga segala usaha harus dilakukan untuk
mempercepat reperfusi (May MRL, 2008).
2. Early Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan yang
dilakukan pada akut koroner infark dengan onset gejala lebih
dari 12 jam.

13
3. Rescue Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan
yang dilakukan pada akut koroner infark dengan onset gejala
kurang dari 12 jam setelah mengalami kegagalan terapi
fibrinolitik.
4. Percutaneous Coronary Intervention Elektif.

2.3.2. Tujuan tindakan PCI


1. Mengembalikan aliran darah koroner yang terhambat karena
adanya penyempitan dengan menggunakan balonisasi atau stent.
2. Mempertahankan pembukaan pembuluh darah koroner secara
mekanis.
3. Mengurangi tanda dan gejala PJK.
4. Menyanggah dan memperlebar pembuluh darah koroner agar
tidak mudah menyempit kembali (restenosis) setelah dilebarkan
dengan balon atau stent.
5. Menghilangkan penyumbatan sehingga aliran darah koroner
dapat menjadi normal kembali dan kerusakan miokard dapat
dihindari. Sehingga dapat beraktivitas seperti sedia kala sebelum
sakit. Hal yang tidak kalah pentingnya setelah pemasangan stent
ini adalah kembali dalam pola hidup serta pola makan yang
sehat kembali.

14
Gambar 3.

Gambar 4.

15
2.3.3. Indikasi PCI
Adapun Indikasi PTCA dan pemasangan stent, sebagai berikut:
a. Dilakukan pada beberapa pembuluh darah koroner 3 Vessel
Diseases (3VD), 2VD, 1VD.
b. Angina pectoris dengan adanya penyempitan pembuluh darah
lebih dari 60%.
c. Unstable angina.
d. Pasien yang mengalami ACS dengan ST elevasi (primary PCI).
e. Dapat dilakukan pada beberapa pembuluh darah (LM, oklusi di
distal, pada graft dan pada CTO).
f. Restenosis setelah tindakan PCI.
g. Angina pectoris pada pasien post CABG.
h. Gagal trombolitik.

2.2.4. Jenis stent


a. Bare-Metal Stent (BMS)
BMS adalah stent pembuluh darah tanpa lapisan (seperti
yang digunakan dalam DES). Ini adalah tabung metal seperti
kawat tipis. Stent dahulu terbuat dari bahan stainless steel 316L
kemudian diubah cobalt premium kemudian berubah menjadi
platinum, alat berubah seiring perubahan teknologi. Penggunaan
stent ini disesuaikan dengan kebutuhan dan biaya. Bila
penyumbatan koroner tersebut di derita tidak memiliki riwayat
penyakit DM, maka dipasang stent BMS ini.

Gambar 5.
Stent BMS
b. Drug-Eluting Stent (DES)

16
DES merupakan suatu prosedur intervensi ke jantung
dengan pemasangan stent bersalut obat dan polymer (bahan
kimia), yaitu obat anti kanker, obat agar sel-sel lemak yang
menumpuk dan terus bertambah tidak tumbuh lagi dan
mencegah pertumbuhan dari jaringan parut yang dapat
menyebabkan pembuluh darah arteri menyempit kembali.
Polimer tersebut  membawa dan melindungi obat di stent
sebelum dan selama prosedur pemasangan stent. Stent yang
sudah diimplantasikan (dipasang) di arteri koroner tersebut
membantu mengontrol pelepasan obat dan menempel ke dinding
arteri pembuluh darah, sehingga sel yang menyebabkan
penyumbatan tidak akan bertumbuh lagi menjadikan aliran
darah lancar. Terdapat banyak macam DES dengan berbagai
jenis obat yang dipakai seprti: sirolimus, biolimus, everolimus,
paclitaxel dan lain-lain.

Gambar 6.
Stent DES

Dengan DES, restenosis (penyempitan kembali) akibat


munculnya kerak baru pada pembuluh darah koroner dapat
mencapai 0-5%. Selain itu hasil yang dicapai dengan
pemasangan DES pun dapat berguna dalam waktu lama. Stent
yang mengandung obat digunakan untuk jangka waktu 3-6
bulan dan perubahan pola hidup untuk menghindari supaya
sumbatan tidak terjadi lagi.

17
Uniknya lagi, penggunaan DES dapat digunakan pada
segala jenis kondisi klinis termasuk yang amat kompleks
sekalipun, seperti: DM, IMA, penyempitan pembuluh darah
koroner yang panjang maupun penyumbatan total, sampai
berusia 80 atau 90 tahun, pasca operasi bypass yang mengalami
kegagalan atau menyempit kembali atau penderita yang sama
sekali sudah tidak menjalani operasi Coronary Artery Bypass
Graft (CABG). Metode DES juga cocok untuk pasca PCI yang
pembuluh koronernya menyempit kembali.

c. Bio-absorbable Vascular Scaffold (BVS) atau Bio-Aktive Stent


(BAS)
Penemuan terbaru dunia kardiologi berupa bio stent
(absorbable stent) berbahan jaringan polylactide (poli asam
laktat) yang dapat diserap oleh pembuluh darah koroner dalam
waktu sekitar 18 bulan yang pada akhirnya menetap dalam
arteri koroner yang tersumbat dan di metabolisme tubuh.
BVS/BAS keunggulannya adalah stent logam bersalut obat
terpasang secara permanen di dalam arteri koroner jantung,
sedangkan bio stent yang dapat diserap oleh tubuh. Bagi yang
memakai stent, diharuskan mengkonsumsi obat pengencer
darah seperti aspirin seumur hidup dan clopidogrel yang
berguna untuk mengurangi risiko penggumpalan darah. Bila
berhenti mengkonsumsi obat itu, akan meningkatkan resiko
penyumbatan stent dan serangan jantung. Dengan bio stent,
keuntungannya bisa langsung beraktivitas seperti biasa,
mengurangi komplikasi perdarahan atau hematoma, arteri
dapat terbuka dengan sendirinya dan larut dengan alami,
kebutuhan untuk pengobatan jangka panjang dengan obat-obat
anti-pembekuan darah dapat dikurangi.

18
Gambar 7.
Stent BVS

2.2.5. Kontra indikasi PCI


1. Peralatan dan fasilitas yang kurang memadai
2. Disfungsi ventrikel kiri.
3. Perdarahan saluran cerna akut/anemia.
4. Stroke baru (< 1 bulan).
5. Pasien yang tidak kooperatif.
6. Usia kehamilan kurang dari 3 bulan.
7. Infeksi (demam).
8. Stenosis ringan (< 50 %).

2.2.6. Komplikasi
1. Perdarahan (area insersi, retroperitoneal)
2. Hematoma
3. Pseudoaneurisma
4. Fistula arteriovenosus
5. Thrombosis dan embolisasi distal
6. Contrast induce nefropati (CIN)
7. Neuropati femoral
8. Infeksi

19
9. Aritmia
10. Spasme tiba-tiba pembuluh darah koroner
11. Hipotensi
12. Reoklusi/restenosis
13. Infark miokard
14. Dehidrasi
15. Alergi reaksi kontras
16. Stroke
17. Kematian

2.2.7. Diagnostik penunjang


1. Laboratorium: adanya peningkatan enzim, elektrolit, protombin
time, Activated Partial Thromboplastin Time (APTT),
Activated Clotting Time (ACT), creatinin serum, Hepatitis B
surface Antigen (HbsAg).
2. EKG, melihat adanya iskemi dan injuri dari miokard.
3. Echokardiografi, melihat wall motion abnormal, disfungsi
valve, hipertropy.
4. Exercise test untuk melihat adanya CAD.
5. Thalium scanning untuk melihat iskemi, infark dan left
ventrikel disfungsi.
6. Kateterisasi koroner untuk mengetahui penyumbatan pada
CAD, antara lain: LM, Left Anterior Descendence (LAD), Left
Circumflex (LCx) dan Right Coronary Artery (RCA).

2.2.8. Penatalaksanaan PCI


a. Area penusukan
Menurut Runge & Ohman (2016), area penusukan adalah arteri
radialis, arteri brachialis, arteri femoralis.
Khusus untuk area penusukan di arteri radialis dilakukan
“Allen Test” terlebih dahulu. Teknik melakukan Allen test,
yaitu:

20
1) Periksa pulsasi arteri radialis dan ulnaris, kemudian tekan
arteri radialis dan arteri ulnaris dengan 3 jari tangan
kiri/ibu jari secara bersamaan.
2) Anjurkan pasien untuk mengepal tangannya dengan kuat
selama 3-5 detik. Buka kepalan tangan pasien, telapak
tangan akan terlihat pucat.
3) Lepaskan tekanan di arteri ulnaris, arteri radialis tetap di
tekan.
4) Lihat jika revaskularisasi 1-3 detik berarti arteri ulnaris
baik dan tindakan via radialis dapat dilakukan.

Gambar 8.

b. Pasca PCI
1) Pemantauan pasien pasca tindakan PCI
a) Observasi tekanan darah dan nadi tiap 15 menit
selama 1 jam pertama, 30 menit selama 1 jam kedua,
1 jam selama 4 jam sampai pasien stabil.
b) Periksa ACT 4 jam setelah prosedur dan usahakan
nilai ACT kurang dari 100 detik untuk pengangkatan
sheath.
c) Periksa enzim jantung & perekaman EKG lengkap 6
jam pasca tindakan.

21
d) Perhatikan tanda perdarahan di tempat tusukan.
e) Perhatikan pulsasi nadi, khususnya sebelah distal
tempat penusukan.
f) Awasi tanda dan gejala iskemia, angina, perubahan
EKG, aritmia.
g) Observasi ada tidaknya reaksi alergi, mual.
h) Anjurkan pasien untuk minum 1,5 – 2 liter 6 jam
pasca tindakan.
i) Observasi produksi urine.
j) Anjurkan pasien untuk meluruskan tempat pungsi
arteri.
k) Anjurkan pasien untuk bedrest.

2) Hal-hal lain yang harus diperhatikan:


a) Setelah prosedur angiografi koroner dan PCI selesai
maka femoral sheath (kateter) akan dicabut/dilepas
jika ACT < 100 detik. Untuk mengontrol dan
mencegah perdarahan dilakukan penekanan sampai
terjadi proses pembekuan. Menurut Kern (2003),
penekanan secara manual segera setelah pencabutan
femoral sheath (kateter) dilakukan dengan cara 5
menit pertama penekanan dengan kekuatan penuh, 5
menit selanjutnya penekanan dengan kekuatan 75 %,
dan 5 menit berikutnya penekanan dengan kekuatan
50 % dan 5 menit terakhir kekuatan penekanan 25
%. Jadi penekanan manual berlangsung selama 20-
30 menit. Paska penekanan secara manual, untuk
mencegah komplikasi pembuluh darah dilanjutkan
dengan penekanan secara mekanikal. Salah satu
metode penekanan mekanikal adalah dengan bantal
pasir 1,5 – 2,5 kg, selama 6 jam. Pasien juga harus

22
diedukasi agar bantal pasir tetap berada tepat di atas
pungsi arteri akses kateter.
b) Setelah PCI, pasien harus dimonitor terhadap
adanya miokard iskemi seperti nyeri dada,
perubahan EKG, aritmia dan hemodinamik yang
tidak stabil. EKG 12 lead digunakan sebagai data
dasar untuk perbandingan selanjutnya. Pasien yang
mengalami angina yang lama setelah PCI harus di
evaluasi jika terjadi akut miokard dengan enzim
penentu dan EKG.
c) Pasien yang dianggap beresiko tinggi terhadap
terjadinya trombus akut misalnya pada pasien
primary PCI diberikan terapi Integrillin/Agrastat.
d) Tempat tusukan sheath di monitor terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi seperti
perdarahan atau hematoma. Perfusi distal juga di
monitor melalui evaluasi terhadap pulsasi, warna
kulit dan kuku.
e) Latihan fisik (rehabilitasi) pasca intervensi PCI
bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, mental,
serta sosial pasien seoptimal mungkin. Selain itu,
mempertahankan pembuluh darah pasca PTCA atau
pemasangan stent, mengingat angka restenosis
masih cukup tinggi. Sehingga dicapai kemampuan
diri sendiri untuk menjalankan aktivitas di rumah
juga pekerjaan (lingkungan). Rehabilitasi diberikan
langsung fase II yang diawali dengan 6 minute walk-
test. Pasien diberikan program sesuai hasil test
selama 1 minggu kemudian dilakukan Uji Latih
Jantung Beban (ULJB) untuk menilai secara akurat
keluhan subyektif dan objektif, perubahan
hemodinamik maupun EKG. Berdasarkan hasil

23
tersebut program latihan maupun tindakan
selanjutnya ditentukan. Setelah 1 bulan di evaluasi
ulang seperti di awal.

3) Medikamentosa
a) Pasca PCI
(1) Obat-obat antikoagulan dan antiplatelet (dual
antiplatelet therapy/DAPT) untuk mencegah
thrombus berulang. Contohnya adalah aspirin
dan clopidogrel. Obat-obatan ini membantu
mencegah pembekuan darah yang terjadi pada
stent dan menyumbat arteri kembali.
Pembekuan darah dapat terjadi dalam waktu 1
tahun atau lebih setelah pemasangan stent pada
DES. Aspirin pada umumnya di konsumsi
seumur hidup dan clopidogrel di konsumsi
antara 1 – 12 bulan (tergantung tipe stent)
setelah prosedur dilakukan. Clopidogrel dapat
menyebabkan efek samping, jadi pemeriksaan
darah lengkap akan dilakukan secara rutin.
(2) Obat-obat vasodilator (nitrat) untuk
pencegahan dari serangan angina, sebaiknya di
minum atau sub lingual (ISDN 5 mg) sebelum
melakukan aktivitas.
(3) Obat-obat antipilemik (statin), untuk
menurunkan kadar lipid darah abnormal
sehingga mencegah terjadinya aterosklerosis di
pembuluh darah.

2.4. Asuhan keperawatan Pasca PCI


Proses keperawatan merupakan acuan praktek keperawatan
profesional yang memungkinkan perawat mengelola dan melakukan asuhan

24
keperawatan secara mandiri. Pre, intra dan pasca PCI saling berkaitan satu
sama lain untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal dan
resiko/komplikasi dapat dihindari.
Menurut Nanda (2014) dan Arif muttaqin (2013), asuhan
keperawatan pasca PCI, meliputi:

a. Pengkajian
Bila pasien tiba di ruangan rawat intensif atau perawatan, maka
perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengobservasi dan mengkaji tingkat pemulihan klien. Perawatan
pasca PCI dilakukan dengan cara memantau pasien secara ketat
terhadap komplikasi sehingga dapat dilakukan penanganan segera.
Adapun pengkajian yang dilakukan adalah:
1) Identitas pasien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku,
alamat, no. medical record, pendidikan, pekerjaan, alamat,
diagnosa medis.
2) Keluhan utama
a) Ada tidaknya nyeri dada (Provokatif dan Paliatif,
Quantitatif dan Qualitatif, Region dan Radiasi, Severity,
Time (PQRST)).
b) Ada tidaknya nyeri hebat di daerah tusukan arteri.
c) Ada tidaknya keluhan: pusing, mual dan muntah.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat penyakit sekarang mendukung keluhan
utama dengan melakukan serangkaian pertanyaan tentang
kronologis keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan
adanya gejala: keringat dingin, muntah, pusing, pingsan,
berdebar, sesak napas, Dyspnea On Effort (DOE), Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), ortopnea, Jugularis Vena Pressure
(JVP).
4) Riwayat penyakit dahulu

25
Pengkajian yang mendukung dengan mengkaji apakah
sebelumnya pasien di rawat, minum obat teratur atau tidak,
stroke, hipertensi, DM, hiperlipidemia, perokok. Tanyakan obat-
obat yang biasa diminum oleh pasien pada masa lalu yang
relevan.
5) Riwayat keluarga
Pengkajian tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga,
serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka penyebab
kematian juga ditanyakan.
6) Status psiko-sosio ekonomi, spiritual
Pengkajian tentang situasi tempat tinggal dan lingkungannya,
tempat bekerja dan lingkungannya, kebiasaan sosial (pola
hidup), merokok, biografi pasien, hubungan dengan keluarga
dan lingkungan, koping pasien terhadap penyakit yang di derita,
aktif dalam kegiatan keagamaan.
7) Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Pengkajian mengenai tingkat pengetahuan pasien terhadap
penyakit yang di derita.
8) Pemeriksaan fisik
a) Sistem kardiovaskular, meliputi: BP, HR, kesadaran, suhu,
pulsasi perifer, waktu pengisian kapiler, irama jantung,
suara jantung.
b) Sistem respirasi, meliputi: frekuensi pernafasan, pola
napas, suara paru, ronkhi.
c) Sistem gastro intestinal, meliputi: apakah ada rasa mual,
nyeri pada ulu hati, frekuensi Buang Air Besar (BAB),
bising usus.
d) Sistem perkemihan, meliputi: frekuensi Buang Air Kecil
(BAK), produksi urine meliputi jumlah, warna
(jernih/keruh) dan bau.
e) Sistem neurologis, meliputi: tingkat kesadaran, orientasi
pasien, ukuran pupil, reaksi cahaya.

26
f) Sistem integrumen, meliputi: warna kulit, turgor kulit,
kapilary refill, sianotik/tidak.
g) Sistem muskulus skeletal, meliputi: ada/tidak keluhan
lemas dan pegal, cepat cape, kesemutan di daerah
ekstremitas.
h) Sistem penginderaan, meliputi: fungsi alat indra,
konjungtiva anemis/tidak, sclera ikterik/tidak.
9) Pemeriksaan penunjang, antara lain: laboratorium, EKG,
echokardiografi, exercise test, thalium scanning, kateterisasi
koroner.

b. Diagnosa dan intervensi keperawatan Pasca PCI


1) Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan area
penusukan, penempatan sheath, hematoma pasca tindakan PCI.
Tujuan dan kriteria hasil:
Rasa nyeri berkurang atau hilang, TTV dalam batas normal,
wajah tampak rileks.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji tingkat nyeri pasien.
b) Kaji dan catat tanda vital.
c) Anjurkan pasien untuk bedrest dan meluruskan area bekas
pungsi.
d) Ajarkan dan anjurkan pasien teknik distraksi/rileks
dengan melakukan aktifitas ringan yang lain/guide
imagine.
e) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
f) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
analgetik bila perlu.

2) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan


perubahan struktural akut (diseksi, thrombus, atau spasme arteri

27
pada sisi PTCA), mengakibatkan iskemia miokard dan/atau
infark.
Tujuan dan kriteria hasil: fungsi jantung/Cardiac Output (CO)
meningkat (adekuat) dengan tekanan darah sistolik, diastolik,
rata-rata Tekanan Darah (TD) dan denyut jantung dalam batas
normal, Analisa Gas Darah (AGD) dalam batas normal, bunyi
napas tambahan tidak ada, distensi vena jugularis tidak ada,
edema perifer tidak ada, ascites tidak ada, denyut perifer kuat
dan simetris, status kognitif dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Mencatat/mengobservasi TTV (HR, BP, Respiration Rate
(RR)) terutama adanya hipotensi dan irama EKG.
b) Mencatat/observasi adanya disritmia, kualitas denyut nadi
dan kaji tingkat kesadaran.
c) Mengobservasi perubahan status mental/orientasi/gerakan
reflek tubuh/gelisah.
d) Mencatat kualitas nadi perifer dan suhu kulit dengan cara
meraba nadi perifer.
e) Mengukur dan catat intake output balance cairan selama
24 jam.
f) Mendorong keluarga dan membantu keluarga dalam
memenuhi aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
pasien.
g) Mengkaji ulang EKG secara berseri setiap 24 jam dengan
melakukan pemeriksaan EKG 12 Lead setiap hari.
Observasi bila terpasang monitor EKG.
h) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian oksigen (O2)
sesuai indikasi, pemberian cairan lewat Intra Vena (IV)
line sesuai indikasi dan pemberian obat-obatan baik IV
dan per oral sesuai indikasi.

28
3) Nyeri dada berhubungan dengan iskemia miokard, diseksi,
spasme dan emboli.
Tujuan dan kriteria hasil:
Nyeri dada tidak terjadi, TTV dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Anjurkan pasien melaporkan keadaan nyeri (skala nyeri 1-
10).
b) Kaji dengan metode PQRST dan catat onset nyeri, lokasi,
penjalaran, lamanya dan faktor penyebab timbulnya nyeri.
c) Kaji dan observasi vital sign.
d) Lakukan perekaman EKG.
e) Anjurkan pasien untuk bedrest.
f) Beri lingkungan yang aman dan nyaman.
g) Kolaborasi pemberian oksigen, pemeriksaan laboratorium
(enzim), rontgen dada dan pemberian therapi.

4) Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan invasif


PCI dan pemberian antikoagulan (heparin).
Tujuan dan kriteria hasil: tidak terjadi perdarahan, tidak ada
hematoma.
Intervensi keperawatan:
a) Catat banyaknya perdarahan dan yang terjadi saat
prosedur PCI.
b) Observasi dan mencatat adanya perdarahan dan hematoma
pada luka penusukan sheath kateter setiap 30 menit.
c) Observasi dan mencatat perubahan hemodinamik: tekanan
darah menurun, nadi meningkat.
d) Observasi dan mencatat adanya perubahan warna kulit,
akral pasien.
e) Cabut sheath kateter pada akses femoralis, sebelumnya
cek ACT setelah 4 jam selesai tindakan PCI.

29
f) Membebat luka setelah aff sheath dengan elastis perband
melebihi setengah sisi paha atau brachial.
g) Menganjurkan pasien untuk tidak beraktifitas
menggunakan anggota tubuh yang digunakan untuk
prosedur PCI selama 6 jam setelah aff sheath.
5) Resiko penurunan perfusi ginjal berhubungan dengan
penggunaan kontras tindakan invasif PCI dengan stent atau
terapi diuretik.
Tujuan dan kriteria hasil: perfusi jaringan ginjal baik, tekanan
darah dalam batas normal, tidak ada gangguan mental, orientasi
kognitif dan kekuatan otot, elektrolit, BUN, Creatinine dan
Biknat dalam batas normal, intake output seimbang, tidak ada
oedem perifer dan asites, tidak ada rasa haus yang abnormal,
membran mukosa lembab, warna dan bau urine dalam batas
normal.
Intervensi keperawatan:
a) Monitor dan catat intake dan output, laporkan bila urin <
0,5 cc/kgbb/jam.
b) Observasi vital sign dan tanda-tanda oedema dan ascites.
c) Anjurkan minum yang banyak.
d) Informasikan pentingnya pengeluaran zat kontras.
e) Kolaborasi dengan dokter bila perlu (laboratorium dan
terapi).

6) Resiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


sirkulasi akibat emboli, trombus dan hematoma.
Tujuan dan kriteria hasil: menunjukkan perfusi jaringan perifer
yang dibuktikan oleh adanya nadi distal sampai sisi pungsi
arteri teraba dan kuat, sisi pungsi tidak menunjukkan adanya
kemerahan dan nyeri tekan, warna kulit dan suhu normal, tidak
ada oedema.
Intervensi keperawatan:

30
a) Raba nadi bagian distal pada area post penusukan 15
menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua
selanjutnya tiap 4 jam.
b) Kaji area distal terhadap kulit dingin, pucat, sianosis,
kesemutan, kebas, nyeri tekan, rasa hangat.
c) Perhatikan daerah post penusukan terhadap adanya
hematoma, nyeri tekan dan perdarahan.
d) Pertahankan penekanan pada daerah post penusukan.
e) Informasikan pada pasien perlunya tirah baring dan
daerah yang sakit dalam posisi lurus.
f) Berikan bantal pasir 1,5 - 2,5 kg pada sisi pungsi arteri,
jika perlu.
g) Pertahankan ekstremitas yang sakit tetap lurus.
h) Pertahankan tinggi kepala tempat tidur tidak lebih dari 45 o
selama 8 jam pertama pasca PCI.
i) Lakukan pemeriksaan ACT dan laporkan ke dokter bila
adanya hasil abnormal.
j) Ukur suhu oral atau aksila tiap 4 jam, beritahu dokter jika
demam.
k) Kaji dan laporkan adanya diaforesis dan atau menggigil.
l) Kolaborasi pemberian antibiotik dan antipiretik.

7) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan pasca tindakan dan


pemasangan alat–alat invasif.
Tujuan dan kriteria hasil: tidak terjadi infeksi, tanda-tanda
infeksi tidak ada.
Intervensi keperawatan:
a) Bersihkan lingkungan sekitar pasien.
b) Ganti peralatan setelah di pakai pasien.
c) Isolasi pasien dari agen yang dapat menginfeksi.
d) Tingkatkan intake pasien.
e) Batasi pengunjung, bila perlu.

31
f) Anjurkan untuk selalu mencuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien pada tim kesehatan dan
keluarga/pengunjung.
g) Pertahankan lingkungan yang aseptic ketika tindakan
invasif.
h) Ajarkan pasien dan keluarga tehnik pencegahan infeksi.
i) Buka balutan dan plester.
j) Monitor karakteristik luka, meliputi: luka drainase, warna,
ukuran dan bau.
k) Bersihkan dengan cairan normal salin.
l) Gunakan teknik steril dan benar saat melakukan
pencabutan sheath kateter.
m) Rawat luka aff sheath kateter dengan teknik aseptik.
n) Monitor tanda-tanda vital termasuk suhu tubuh tiap 4 jam.
o) Monitor adanya kemerahan, pembengkakan, haematoma
dan rasa hangat pada luka penusukan sheath kateter.
p) Kenakan balutan sesuai denga tipe luka.
q) Ganti balutan sesuaikan dengan jumlah eksudate atau
drainase.
r) Bandingkan dan catat perubahan pada luka.
s) Hindari luka tertekan atau posisi.
t) Jelaskan pasien dan keluarga dalam prosedur perawatan
luka, gejala dan tanda infeksi.
u) Dokumentasikan lokasi, ukuran dan tampilan luka.
v) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy sesuai
kondisi pasien dan cek marker infeksi.

8) Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan luka area


penusukan.
Tujuan dan kriteria hasil: pasien bertoleransi terhadap aktivitas,
berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan RR, mampu melakukan aktivitas sehari-

32
hari secara mandiri dan mampu menyeimbangkan aktivitas dan
istirahat.
Intervensi keperawatan:
a) Berikan penjelasan pentingnya keterbatasan aktivitas pada
daerah penusukan PCI.
b) Berikan bantuan sesuai kebutuhan pasien.
c) Jelaskan prosedur dengan penggunaan bantal pasir 2,5 kg,
bila perlu.
d) Kaji aktivitas personal sehari-hari yang biasa dilakukan.
e) Bantu pasien memilih aktivitas fisik, psikologis dan sosial
sesuai kemampuan.
f) Kolaborasi dengan terapist kerja untuk merencanakan dan
memonitor program aktivitas sesuai kebutuhan.
g) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk
meningkatkan aktivitas.

9) Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


penyakit dan pengobatannya.
Tujuan dan kriteria hasil: pasien mengerti proses penyakitnya
dan program perawatan serta terapi, pasien mampu
menjelaskan kembali tentang penyakitnya, mengenal
kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya.
b) Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala),
identifikasi kemungkinan penyebab dan kondisi tentang
pasien.
c) Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif
pengobatan.
d) Diskusikan perubahan gaya hidup untuk mencegah
komplikasi.
e) Diskusikan tentang terapi dan pilihannya.

33
f) Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa
digunakan/mendukung.
g) Instruksikan kapan harus ke pelayanan kesehatan.
h) Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit,
prosedur perawatan dan pengobatan.

2.5.3. Peran Perawat dalam PCI

1. Setelah tindakan

a. Kaji keluhan pasien setelah tindakan.


b. Observasi tanda-tanda vital secara ketat: setiap 15 m3nit
pada jam pertama, setiap 30 menit pada jam ketiga dan
setiap jam pada 4 jam berikutnya.
c. Mengobservasi tanda-tanda adanya perdarahan dan
hematoma pada area penusukan.
d. Mengobservasi dan mengukur tanda-tanda vital (tekanan
darah, nadi, respirasi, suhu tubuh dan saturasi O2).
e. Pemantauan perubahan EKG 12 lead.
f. Mengobservasi hasil laboratorium (peningkatan creatinin
mengindikasikan gangguan ginjal karena zat kontras,
sedangkan peningkatan CKMB menandakan cedera otot
jantung).
g. Mengobservasi efek alergi zat kontras (seperti: menggigil,
kemerahan, datal, pusing, mual, muntah, urine tidak keluar
dan sebagainya).
h. Mengobservasi gangguan sirkulasi perifer, cek pulsasi
arteri dorsalis pedis, tibialis, radialis. Bila terjadi gangguan
(nadi lemah/tidak teraba), beritahu dokter, biasanya
diberikan obat antikoagulan bolus dan bisa dilanjutkan
dengan pemberian terus menerus (kontinyu). Observasi
kehangatan daerah ekstremitas kanan dan kiri kemudian
dibandingkan.

34
i. Mengobservasi adanya tanda-tanda hipovolemia.
j. Memberikan hidrasi sesuai kebutuhan pasien (sesuai
instruksi dokter).
k. Memonitor adanya tanda-tanda infeksi, meliputi: observasi
daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptic/septic, selalu
menjaga kesterilan area penusukan, observasi adanya
perubahan warna, suhu pada luka tusukan.
l. Berikan pendidikan kesehatan pada pasien (didampingi
oleh keluarga pasien):
1) Anjurkan untuk tidak mengangkat beban lebih dari 5
kg selama 1 minggu untuk menghindari
stretching/peregangan pada arteri radialis jika akses
melalui arteri radialis.
10) Beritahu perawat atau dokter bila terjadi keluhan
berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
11) Buka elestikon dang anti dengan tensoplast setelah
12 jam pemasangan elastikon.
12) Bila ada hematoma dan perdarahan segera hubungi
dokter atau perawat dan langsung ke rumah sakit.

2. Prosedur pelepasan Nichiband.

Area puncture di arteri radialis:

a. Pelepasan dilakukan 4 – 6 jam setelah tindakan PCI.


b. Gunakan sarung tangan bersih, letakan tangan kiri diatas
nichiband dan beri sedikit penekanan dengan kuat.
c. Buka plester nichiband dengan tangan kanan perlahan-
lahan sambil memperhatikan aliran darah yang keluar dari
luka insisi/penusukan.
d. Bila masih terdapat perdarahan, pasang kembali nichiband
dan plester untuk mencegah plester nichiband terlepas.

35
e. Bila tidak terjadi perdarahan, lanjutkan membuka
nichiband dan tutup dengan kassa steril diatas luka insisi
dan tekan dengan kuat.

2.5.4. Discharge Planning


Perencanaan pulang merupakan suatu mekanisme yang
sistematis, konfrehensif dari multi disiplin ilmu yang bertujuan untuk
memberi kemudahan dan mencapai keberhasilan fase transisi setelah
perawatan di rumah sakit ke rumah.
Perencanaan pulang meliputi pengkajian yang dibutuhkan pada
follow up oleh perawat di komunitas (nursing home), termasuk sosio
demografi, masalah kesehatan dan topik pendidikan kesehatan. Ada
beberapa topik yang bisa diberikan dalam pendidikan kesehatan juga
disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang pendidikan pasien PCI,
yaitu:
a. Tanda dan gejala PJK.
b. Pengobatan termasuk dosis, manfaat dan efek samping.
c. Pola hidup sehat.
d. Aktifitas fisik.

2.5.5. Contrast Induced Nefropathy

1. Definisi Contrast Induced Nefropathy

a. Contrast Induced Akut Kidney Injury adalah adanya


peningkatan serum creatinin ≥ 0,5 mg/dl (≥ 44 µmol/L)
atau peningkatan 25% dari nilai awal creatinin yang dilihat
48 jam setelah prosedur radiological, tanpa penyebab yang
lainnya. (McCullough. Contrast Induced-AKI, JACC. Vol.
51, No. 15, 2016).
b. Definisi CIN menurut European Society of Urogenital
Radiology, adalah peningkatan kreatinin serum ≥ 25%
atau 0,5 mg/dl, yang terjadi dalam 3 hari setelah

36
pemberian media kontras intravascular tanpa ada
penyebab lainnya (Thomsen, 2018).
c. Definisi CIN menurut Acute Kidney Injury Network
adalah peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dL disertai
dengan adanya oliguria.
d. Slocum, dkk (2015) melakukan studi untuk menentukan
definisi CIN yang paling baik dalam implikasi klinis
apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin
serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari
data yang ada, peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL
lebih superior dibanding peningkatan serum ≥ 25% dari
nilai dasar kreatinin serum dalam menegakan CIN.

2.5.6. Faktor Resiko Contrast Induced Nefropathy (CIN)

Menurut Shoukat (2014):

1. Faktor resiko terkait pasien


a. Dapat diubah:
1) Kekurangan cairan
2) Anemia
3) Penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik
4) Albumin rendah
b. Tidak dapat diubah:
1) Usia
2) Diabetes Mellitus
3) Gagal ginjal yang sudah ada sebelumnya
4) CHF
5) Hemodinamik yang tidak stabil
6) Nefrotik sindrom
7) Transplantasi ginjal
c. Faktor resiko terkait prosedur
1) Dapat diubah:

37
a) Volume media kontras
b) Pemberian media kontras berulang dalam
durasi 72 jam
c) Osmolaritas dan iconicity media kontras.
d. Tidak dapat diubah:
1) Pemakaian IABP
2) Emergency PCI
3) Pemberian media kontras secara intraarterial.

2.5.7. Stratifikasi Resiko Contrast Induced Nefropathy (CIN)


1. Berdasarkan National Kidney and Transplant Institute
Phillipines (2013):
a. Low Risk: eGFR > 60 ml/mnt
b. Moderate Risk: eGFR 30 – 59 ml/mnt
c. High Risk: eGFR , 30 ml/mnt

2. Berdasarkan Mehran (2014):

Risk Factor Score


Systolic pressure < 80 mmHg for > 1 hr and patient 5
requires inotropic support or an intra aortic balloon pump
within 24 hr after the procedure.
Use of intra aortic balloon pump. 5
Heart failure (New York Heart Association class III or 5
IV), history of pulmonary edema or both.
Age > 75 yr 4
Hematocrit < 39% for men or < 36% for women 3
Diabetes 3
Volume of contrast medium 1 for each 100
ml
Serum creatinine level > 1,5 mg/dl (133 µmol/liter) 4
Estimated GFR < 60 ml/min or 1,73 m 2 body surface 2,40 to < 60
area ml/min/1,73 m2
Volume of contrast medium 1 for each 100
ml
Serum creatinine level > 1,5 mg/dl (133µmol/liter) 4
Estimated GFR < 60 ml/min/1,73 m2 body surface area 2,40 to < 60
ml/min/1,73 m2

38
4,20 to 39
ml/min/1,73 m2
6 to 20
ml/min/1,73 m2

Risk Total Score Risk of an increase in Risk of Dyalisis


serum creatinine level
of > 0,5 mg/dl (44
µmol/liter) or > 25
percent
≤5 7,5 0,04
6 to 10 14,6 0,12
11 to 15 26,1 1,09
≥ 16 57,1 12,6

2.5.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CIN berdasarkan standar Prosedur Operasional CIN


di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita adalah:

Definisi/pengertian: Contrast Induced Nefropathy (CIN).

CIN adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan atau perburukan


fungsi ginjal yang terjadi dalam 24 sampai 48 jam paska pemberian
kontras tanpa sebab yang lain, dimana kadar kreatinin meningkat 0,5
mg/dl atau terjadi peningkatan 25% dari nilai kreatinin awal.

Tujuan:

1. Mencegah kejadiaan CIN semua penderita yang mengalami


prosedur.
2. Mengurangi kejadian CIN semua penderita resiko tinggi yang
menjalani prosedur.

Informasi umum:

1. CIN masih merupakan masalah yang berkaitan dengan


penggunaan media kontras.
2. CIN merupakan salah satu penyebab gagal ginjal akut yang
didapat saat perawatan di Rumah Sakit.

39
3. Gagal ginjal kronis merupakan faktor predisposisi utama untuk
terjadinya CIN.
4. Bila penderita yang menjalani prosedur mengalami CIN dan
memerlukan dialisa akan berdampak pada lama waktu
perawatan, biaya perawatan dan resiko kematian.
5. Penderita yang akan menjalani prosedur angiografi harus di
periksa kadar kreatinin plasma.
6. Penderita yang sudah pernah menjalani prosedur, harus di cek
jenis media kontras yang digunakan sebelumnya.
7. Penderita dengan kadar kreatinin > 2,0 harus dirawat terlebih
dahulu sebelum menjalani prosedur.

2.5.9. Prosedur

Untuk penderita dengan kreatinin > 1,7 sampai 2,0 mg/dl tanpa tanda-
tanda gagal jantung dan Fraksi Ejeksi ≥ 40%.

Pre Prosedur:

a. Diberikan infus NaCL 0,9% 0,5 cc/kgBB/jam dalam 12 jam


sebelum prosedur.
b. Menghentikan obat-obatan yang bisa mengganggu fungsi ginjal
antara lain: aminoglokosida, NSAID.
c. Memberikan fluimucyl 600 mg oral setiap 12 jam sebanyak 4
dosis (2 X 1 selama 48 jam), yang dimulai sebelum diberikan
kontras.

Saat Prosedur:

a. Pilih kontras media dengan osmolalitas rendah (low osmolality)


atau kontras media dengan osmolalitas yang sama dengan
plasma (iso osmolality).

40
b. Hindari penggunaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila
penderita menjalani prosedur lebih dari sekali.
c. Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang
didapatkan, berdasarkan rumus:
BB (kg) X 4

Volume Kontras = -------------------

Cr (mg/dl)

BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1. Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama : Tn. B
b. Umur : 46 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Suku : Jawa
e. Status : Menikah
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SLTA

41
h. Pekerjaan : Supir jemputan anak sekolah
i. No Med Record : 2020455437
j. Tanggal masuk RS : 15 Januari 2020
k. BB/TB : 70 kg/ 172 cm
l. Alamat : Perumahan Merpati no. 25,
Pegadungan, Kalideres, Jakarta
Barat.
m. Tanggal pengkajian : 16 Januari 2020 jam 09.30 WIB
n. Unit : ICVCU

2. Diagnosa medik : STEMI Inferoposterior onset 9 jam


Killip I CAD 3VD Post PPCI 1
DES di RCA.
3. Keluhan utama
Pasien mengatakan badanya terasa pegal dan nyeri pada tangan kanan
di area penusukan, dengan skala nyeri 5/10.

P: Nyeri dirasakan menetap pada area penusukan.

Q: Nyeri dirasakan seperti di cubit.

R: Nyeri dirasakan di daerah penusukan, tangan kanan (radialis


dextra).

S: Dengan skala nyeri 5/10

T: Nyeri dirasakan menetap, bertambah jika tangan bergerak.

Pasien tampak meringis kesakitan dan wajah pasien tampak tegang.

4. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke UGD PJNHK diantar petugas ambulance dari RSKB
CINTA KASIH TZU CHI dengan keluhan nyeri dada seperti
tertindih/tertekan benda berat tanpa disertai adanya penjalaran, 9 jam
SMRS atau sejak jam 04 pagi dengan lama nyeri lebih dari 20 menit,

42
dirasakan muncul tiba-tiba saat pasien sedang ada di rumah saat
hendak melaksanakan sholat. Keluhan disertai keringat dingin (+)
membasahi pakaian, muntah (-), pusing (-), pingsan (-), berdebar (-),
sesak nafas (+), DOE (-), PND (-), JVP tidak meningkat . Pasien
dibawa ke RSKB CINTA KASIH TZU CHI untuk pertolongan dan
diberikan terapi ISDN 5 mg SL, Ascardia 160 mg, Clopidogrel 450
mg, dengan diagnosa STEMI inferoposterior onset 9 jam Killip 1.
Pasien dirujuk ke PJNHK untuk penanganan, sampai di UGD jam
13.00 WIB, nyeri dada (+). Pasien baru di PJNHK dan keluhan ini
pertama kali dirasakan. Pasien post tindakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) tanggal 15 Januari 2019 jam 22.36 WIB, dengan
hasil:
LM : Normal
LAD : Stenosis osteal – mid (diffuse) dengan maksimal stenosis
80 – 90%
LCX : Stenosis 70% proximal, stenosis 70% distal.
RCA : Stenosis 70% di proximal, total oklusi di mid.
Pasien tiba di ruang ICVCU jam 22.50 wib. Sekitar jam 23.05 wib
Pasien pernah mengalami penurunan BP 85/63 mmHg, HR 125 x/mnt
dan di loading NaCl 0,9% sampai dengan jumlah total 600 cc (3x
melakukan loading).

5. Riwayat penyakit dahulu


Belum pernah dirawat. Riwayat stroke (-), asthma (-), gastritis (-),
hipertensi (-), DM (-), dislipidemia tidak diketahui, ex smoker 30
tahun yang lalu (6 bungkus/hari).

6. Riwayat keluarga

Keluarga tidak ada yang menderita sakit jantung.

7. Status psikososio ekonomi Spiritual

43
Pasien bekerja sebagai supir jemputan anak sekolah. Pasien
berpenghasilan pas-pasan. Pasien tinggal di kawasan yang padat
penduduk, sanitasi yang kurang baik. Hubungan pasien dengan
keluarga dan lingkungan baik, pasien tidak mengeluh atas
penyakitnya, pasien ke mesjid bersama dengan keluarganya setiap
hari.

8. Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.


Pasien mengatakan sudah dijelaskan oleh dokter pada saat di emg dan
pada saat tiba setelah tindakan dokter sudah menjelaskan semuanya
mengenai penyakit yang dialaminya sekarang ini.

9. Pemeriksaan Fisik

a. Sistem kardiovaskular, meliputi: S1 dan S2 normal, murmur (-),


gallop (-), TD : 122/61 mmHg, MAP : 81 mmHg, HR: 105
x/menit, RR : 20x/mnt, SpO2: 100%, suhu: 36,2oC, pulsasi arteri
perifer kuat, JVP tidak meningkat, capillary refill 2 detik, irama
jantung teratur.
b. Sistem respirasi, meliputi: irama dan kedalaman napas teratur,
bentuk dada normal, suara napas: vesikuler, pola nafas: epnue,
ronki (-), whezing (-), tidak menggunakan otot bantu napas,
terpasang oksigen binasal 3 liter/menit.
c. Sistem gastro intestinal, meliputi: asites (-), hepatomegali (-),
abdomen rata, bising usus (+) 9 x/mnt, pasien mengatakan
nafsu makan berkurang namun makan selalu dihabiskan karena
ingin cepat sembuh, mual (-), minum 1300 cc/24 jam, BAB
lunak setiap hari (terakhir tgl 14-1-2019 pagi), berat badan 70
kg, nyeri ulu hati (-).
d. Sistem perkemihan, meliputi: terpasang condom catheter hari
ke-1, produksi urine: 1500 cc/24 jam, warna urine jernih,
hematuri (-).

44
e. Sistem neurologis, meliputi: kesadaran kompos mentis, parese
(-), riwayat pelo atau aphasia (-), orientasi baik, pupil normal,
reaksi cahaya (+).
f. Sistem integumen, meliputi: oedem perifer (-), turgor baik,
sianotik (-), clubing finger (-), capillary refill 2 detik, warna
kulit sawo matang, terpasang IV line hari ke-2: RL  emg dan
ada luka tusuk bekas puncture di radialis kanan, pulsasi teraba
sama kuat kanan dan kiri, hematome (-), perdarahan (-), tanda-
tanda infeksi (-).
g. Sistem muskulus skeletal, meliputi: pasien mengatakan sakit dan
pegal pada area penusukan, lemas (-), cepat capek (-),
kesemutan di daerah ekstremitas (-).
h. Sistem penginderaan, meliputi: konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik.

10. Pemeriksaan Penunjang


a. EKG

45
1) UGD PJNHK (15-1-2019)  SR, rate 83 x/menit, ST
elevasi di II, III, AVF, V7 – V9, I dan V6.

46
2) ICVCU (16-1-2020)  SR, rate 100 x/menit, Axis normal,
P wave normal, PR interval : 0,15 detik, QRS duration :
0,08 detik, Q patologis pada II, III, aVF.

b. Rontgen thorax (5-1-2020)

47
CTR 55%, Segmen Ao normal, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung (+), apex downward, kongesti (-), infiltrate (-).

c. Laboratorium
RS luar (15-1-2019. Jam 06.00 WIB)  Hemoglobin: 13,9 g/dl,
leukosit: 8.490/ul, Hematokrit: 38 vol.%, CKMB: 92 U/L, hs
trop T: 428 ng/mL, Ureum: 28 mg/dL, BUN: 13 mg/dL,
Creatinin: 1,06 mg/dL, GD Sewaktu: 121 mg/dL, Natrium: 137
mmol/L, Kalium: 4,4 mmol/L, Calsium Total: 2,25 mmol/L,
Clorida: 104 mmol/L, Magnesium: 2,2 mg/dL.

d. Laporan PPCI
Terpasang 1 stent di RCA

48
11. Terapi
a. Aspilet 1x80 mg
b. Plavix 1x75 mg
c. ISDN 3x5 mg
d. Simvastatin 1x20 mg
e. Laxadine 1x1 CI
f. Diazepam 1x5 mg
g. Rencana inj. Lovenox 2 x 0,6 ml (setelah 4 jam post aff
nichiband).
h. Pada saat di UGD (15-1-2020) : Aspilet 80 mg  4 tab (kunyah)
 total 320 mg, Plavix 75 mg  8 tab  total 600 mg dan
ISDN 5 mg SL extra.
i. Pada saat tindakan PPCI (15-1-2020)  heparin 8.500 ui

Analisa Data

No Data fokus Etiologi Problem


Dx Tgl 16-1-2020
1 DS: pasien mengatakan seluruh badan Terputusnya Nyeri di area
terasa pegal dan nyeri pada tangan kanan di kontinuitas puncture
area penusukan. jaringan di (radialis
DO: kesadaran composmentis, wajah area puncture kanan).
pasien tampak meringis kesakitan dan radialis
tampak tegang, TD : 122/61 mmHg, MAP : kanan.
81 mmHg, HR: 105 x/menit, RR : 20x/mnt,
SpO2: 100%, akral hangat, pulsasi arteri
perifer kuat, irama jantung teratur, oksigen
binasal 3 liter/menit, kesemutan di daerah
ekstremitas (-), terdapat luka puncture di
radialis kanan, pulsasi arteri radialis teraba
sama kuat kanan dan kiri, hematoma (-),
perdarahan (-), skala nyeri area tusuk : 4-5

49
2. DS : - Tindakan Resiko
DO : Terdapat luka puncture di radialis invasif PCI terjadi
kanan, pulsasi arteri radialis teraba sama dan perdarahan
kuat kanan dan kiri, hematome (-), pemberian
perdarahan (-), pada saat tindakan PCI : antikoagulan
heparin injeksi 8500 ui. Rencana masuk
terapi Lovenox 2 x 0,6 ml (4 jam setelah
aff nichiband)
3. DS: - Penggunaan Resiko
DO: tercatat di laporan prosedur PPCI zat kontras penurunan
penggunaan kontras omnipaque 320, 90 cc, saat tindakan perfusi ginjal
suhu: 36,2oC, akral hangat, produksi urine PCI.
1500 cc/24 jam, jumlah minum 1300 cc/24
jam, BB 70 kg, hasil laboratorium (15-1-
2019)  Ur: 28/ BUN: 13/ Cr: 1,06/ Na:
137/ K: 4,4/ Ca:2,25/ Cl: 104/ Mg: 2,2.
4. DS: - Adanya Resiko
DO: tercatat di laporan prosedur PPCI, perubahan penurunan
LCX stenonsis 70% proximal dan stenosis struktural curah
70% distal. Pernah mengalami penurunan akut (LCX jantung.
BP 85/63 mmHg, HR 125 x/mnt, loading stenosis 70%
NaCl 0,9% total jumlah 600 cc (3x proksimal &
melakukan loading). stenosis 70%
distal)
menyebabka
n iskemia
atau infark.

3.2. Diagnosa keperawatan


1) Gangguan rasa nyaman: nyeri tangan kanan berhubungan dengan
terputusnya kontinuitas jaringan di area puncture radialis kanan pasca
tindakan PPCI.

50
2) Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan invasif PCI
dan pemberian antikoagulan.
3) Resiko penurunan perfusi ginjal berhubungan dengan penggunaan zat
kontras saat tindakan PCI.
4) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya
perubahan struktural akut yg dapat menyebabkan terjadinya
iskemia/infark.

Intervensi Keperawatan:

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil Keperawatan
.
1. Gangguan rasa Setelah dilakukan
nyaman: nyeri tangan tindakan keperawatan 1 1. Observasi tanda-
kanan berhubungan x 24 jam diharapkan tanda vital.
dengan terputusnya nyeri berkurang/hilang, 2. Lakukan

51
kontinuitas jaringan di dengan kriteria hasil: pengkajian
area puncture radialis Ekspresi wajah rileks nyeri, observasi
kanan pasca tindakan dan tidak tampak perkembangan
PCI. meringis kesakitan, skala nyeri dan
nyeri 0/10, tanda-tanda keluhan.
vital dalam batas normal. 3. Observasi reaksi
verbal pasien.
4. Atur posisi yang
nyaman dan
anjurkan
istirahat.
5. Ajarkan tekhnik
napas panjang
dan dalam.
6. Kontrol
2. lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
Resiko terjadi Setelah dilakukan nyeri dan
perdarahan tindakan keperawatan ajarkan tekhnik
berhubungan dengan selama 1 x 24 jam relaksasi.
tindakan invasif PCI diharapkan tidak terjadi 7. Kolaborasi
dan pemberian perdarahan, dengan dalam
antikoagulan. kriteria hasil: pemberian
Akral hangat, tidak ada terapi.
hematoma pada area
puncture, pulsasi perifer
kuat, ACT dan APTT 1. Kaji keluhan
tidak memanjang, pasien.
hemodinamik stabil dan 2. Observasi tanda-
Hb tidak turun. tanda vital.
3. 3. Observasi
adanya
hematoma pada
area puncture
setiap 15 menit
Resiko penurunan pada jam
perfusi ginjal pertama dan
berhubungan dengan Setelah dilakukan setiap 30 menit
penggunaan zat kontras tindakan keperawatan pada jam kedua
saat tindakan PCI. selama 1 x 24 jam dan setiap jam
diharapkan perfusi ke selama 4 jam.
ginjal berfungsi baik, 4. Kolaborasi
dengan kriteria hasil: dalam
Output urin 0,5-1 pemeriksaan
cc/kgBB/jam, tidak ada
peningkatan nilai ureum 5. laboratorium:
dan kreatinin yang Hb, Ht, ACT

52
berarti, tanda-tanda vital dan APTT.
dalam batas normal. 6. Anjurkan pasien
untuk bedrest.

1. Observasi tanda-
tanda vital.
2. Observasi urin
output (jumlah
& warna).
3. Kolaborasi
dalam
pemberian
cairan IV
dengan
perhitungan 1
cc/kgBB/24 jam:
- Diberikan 8
jam pertama
lalu observasi
urin.
- Dilanjutkan
pemberian 16
jam
berikutnya.
4. Kolaborasi
pemeriksaan
ureum dan
kreatinin post
pemberian
cairan.
5. Balance cairan
secara ketat.

53
4. Resiko penutunan Setelah dilakukan
curah jantung asuhan keperawatan 1. Observasi TTV.
berhubungan dengan selama 1 x 24 jam 2. Observasi
adanya perubahan diharapkan penurunan adanya
struktur akut yang curah jantung tidak disritmia, denyut
dapat menyebabkan terjadi, dengan kriteria nadi dan tingkat
iskemia/infark. hasil: cardiac output kesadaran.
meningkat dengan 3. Ukur dan catat
tekanan darah sistolik, nintake output
diastolik dan HR dalam cairan selama 24
batas normal, bunyi jam.
napas tambahan tidak 4. Kolaborasi
ada, analisa gas darah dengan dokter
normal, distensi vena dalam
jugularis tidak ada, pemberian
edema perifer tidak ada, terapi.
denyut perifer kuat dan
teratur, status kognitif
dalam batas normal.

54
Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
No. Diagnosa keperawatan Tanggal/jam Implementasi Respon Evaluasi Tanda
tangan
1. Gangguan rasa nyaman: 16-1-2020 Mengobservasi tanda- Pasien mengatakan: (jam 11.15 wib)
nyeri tangan kanan Jam 11.00 tanda vital setiap jam masih terasa nyeri di S. Pasien mengatakan:
berhubungan dengan wib. dan skala nyeri. tangan kanan dengan tangan kanan masih
terputusnya kontinuitas (jam 11.00 wib) skala nyeri 5/10. terasa nyeri dengan skala
jaringan pada area nyeri 5/10.
puncture pasca tindakan Pasien mengatakan:
PCI. tidak nyeri dada. O. Pasien terlihat tampak
tegang dan meringis,
Tekanan darah 124/82 Tekanan darah 124/82
mmHg, HR. 98 x/menit, mmHg, HR. 98 x/menit,
RR 23 x/menit, saturasi RR 23 x/menit, saturasi
O2 99%. O2 99%.

Pasien kadang tampak Pasien kadang tampak


mengerutkan dahi setiap mengerutkan dahi setiap
menggerakan tangan menggerakan tangan
kanannya. kanannya.

Melakukan pengkajian Nyeri di tangan kanan Terpasang O2 binasal 3


nyeri dan dirasakan setiap l/menit , posisi tidur
mengobservasi merubah posisi. semi fowler.
perkembangan dan Nyeri dirasakan seperti
keluhan (termasuk di cubit. A. Masalah belum teratasi.
apakah ada nyeri dada). Skala nyeri 5/10.

55
(jam 11.10 wib) Dirasakan hilang timbul. P. Intervensi dilanjutkan.

Mengobservasi reaksi Pasien mengatakan: jika


verbal dari pasien dan nyeri, mengurangi
ketidaknyamanan aktivitas yang
pasien. (jam 11.10 wib) menggerakan tangan
kanan

Mengontrol lingkungan Pasien mengatakan: jika


yang dapat nyeri datang akan
mempengaruhi nyeri berusaha rileks dan
dan mengajarkan melakukan tekhnik tarik
tekhnik relaksasi: tarik nafas dalam serta
napas dalam. (jam berdo’a dan berdzikir.
11.15 wib)

Perawat menyiapkan
Melakukan kolaborasi obat untuk siang.
“pemberian terapi
sesuai drngan 6 benar.”
(jam 11.20 wib)

2. Resiko terjadi 16-1-2019 Mengkaji keluhan Pasien mengatakan: (jam 13.00 wib)
perdarahan berhubungan Jam 11.00 pasien. (jam 11.00 wib) tidak ada tanda-tanda S. Pasien mengatakan: saat
dengan tindakan invasif wib. perdarahan. ini tidak ada tanda-tanda
PCI dan pemberian

56
antikoagulan. perdarahan dan akan
melaporkan kepada
Mengobservasi tanda- Tekanan darah 123/69 perawat jika ada tanda-
tanda vital. (jam 12.00 mmHg, HR 90 x/menit, tanda perdarahan.
wib) RR 20 x/menit, saturasi
O2 99% O. K/U sedang, kes.
Composmentis, tidak
tampak tanda-tanda
Mengobservasi tanda- Balutan tampak bersih, perdarahan, balutan luka
tanda perdarahan tidak ada rembesan tampak bersih, tidak ada
seperti: gusi berdarah, darah. rembesan darah.
epistaksis, ptekie, Tekanan darah 123/69
hematuri dan kebiruan mmHg, HR 90 x/menit,
pada radialis kanan. RR 20 x/menit, saturasi
(jam 11.10 wib) O2 99%.

Menganjurkan pasien Pasien mengatakan: akan A. Masalah resiko


untuk melaporkan melaporkan kepada perdarahan tidak terjadi.
kepada perawat jika ada perawat jika ada tanda-
tanda-tanda perdarahan. tanda perdarahan.
(jam 11.10 wib) P. Intervensi dilanjutkan.

3. Resiko penurunan perfusi 16-1-2019 Mengobservasi Respon urin antara jam (jam 13.00 wib)
ginjal sehubungan Jam 12.00 wib
produksi urin untuk 06.00 wib sampai S. –
dengan penggunaan zat mengetahui fungsi dengan jam 12.00 wib O. balance cairan saat ini
kontras. ginjal. (jam 12.00 wib) sebanyak 300 cc. dari jam 06.00 wib
sampai dengan jam

57
13.00 wib 800 cc.

Diuresis 0,7 Diuresis saat ini 1.9


cc/kgBB/jam cc/kgBB/jam.

A. Tidak terjadi penurunan


Kolaborasi dengan Intruksi dokter dilakukan fungsi ginjal.
dokter untuk melakukan rehidrasi dengan NaCl
rehidrasi dengan 1 0,9% . 1 cc/kgBB/jam P. observasi intake dan
cc/kgBB/jam. (jam selama 8 jam pertama output. Kolaborasi
10.00 wib) dilanjutkan 16 jam dengan dokter untuk
kedua. program cairan
Besok direncanakan cek selanjutnya.
ureum, kreatinin.

Mengobservasi intake Total intake 1050 cc dan


dan output urin. (jam output urine 300cc.
11.00 wib)

16-1-2020
Kolaborasi dengan Intruksi dokter lasix 2
Jam 12.00 wib dokter karena balance amp IV.
cairan berlebihan. Total intake 1100 cc dan
(jam 12.15 wib) output urine 1000 cc.

58
4. Resiko penurunan curah 16-1-2019 Mengobservasi tanda- Tekanan darah 124/82 (jam 13.30 wib)
jantung berhubungan Jam 13.00 wib tanda vital. mmHg, HR. 98 x/menit, S: Pasien mengatakan: tidak
adanya perubahan (jam 13.00 wib) RR 23 x/menit, saturasi ada keluhan.
struktur akut yang dapat O2 99%.
menyebabkan terjadinya O: K/U sedang, kes.
iskemia/infark. Composmentis, akral
Mengobservasi status Kesadaran pasien hangat, pulsasi arteri
fungsional dan komposmentis. Akral kuat/teratur dan tidak
kesadaran pasien. hangat, pulsasi ada tanda-tanda
(jam 13.00 wib) teratur/kuat penurunan curah
jantung.

Mengobservasi intake A: Masalah resiko


dan output cairan (urin Diuresis 0,7 penurunan curah jantung
output). (jam 12.00 cc/kgBB/jam tidak terjadi.
wib)
P: Intervensi dilanjutkan.

59
BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang kasus post Primary PCI.

Data yang penulis dapatkan, diagnosa keperawatan, intervensi yang ditetapkan,

implementasi yang penulis lakukan dan evaluasi dari kondisi pasien.

Kasus yang penulis ambil adalah post Primary PCI dengan STEMI

Inferoposterior onset 9 jam killip I. pasien Tn. R. dengan diagnosa STEMI

Inferoposterior onset 9 jam killip I masuk ke RSJPHK tanggal 15 Januari 2019

jam 13.00 wib dengan keluhan nyeri dada. Kemudian jam 22.36 wib dilakukan

primary PCI. Dari laporan tindakan Primary PCI didapatkan data:

1. Pasien diberikan heparin 8500 unit.

2. Di puncture di area radialis dextra dengan sheath 5 Fr berjalan lancar.

Kanulasi LCA dan RCA dengan optitorque 5F.

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan: LM normal, LAD stenosis osteal-

mid (diffuse) dengan maksimal stenosis 80-90%, LCX stenosis 70%

proximal-stenosis 70% distal, RCA stenosis 70% di proxsimal dan

total oklusi di mid.

4. Media kontras: omnipaque 320, 90 cc dan total perdarahan 60 cc.

5. Kesimpulan: STEMI Inferiposterior onset 9 jam killip I, CAD-3VD

post PPCI 1 DES di RCA.

Pada tanggal 16 Januari 2019 jam 09.30 wib. dilakukan

pengkajian. Pada saat itu pasien masih bedrest di tempat tidur. Pasien

mengeluh nyeri di area puncture, skala nyeri 5/10, terdapat balutan di

60
tangan kanan. Tanda-tanda vital tekanan darah 123/81 mmHg, Hr 105

x/menit, RR 23 x/menit, saturasi oksigen 98% dengan oksigen binasal

3 l/menit. Pasien tampak meringis jika menggerakan tangan kanannya,

wajahnya tampak tegang.

Berdasarkan hal-hal yang ditemukan pada pasien, penulis

mendapatkan beberapa diagnosa keperawatan, sebagai berikut:

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri tangan kanan berhubungan dengan

terputusnya kontinuitas jaringan karena puncture arteri radialis

dextra dengan menggunakan sheath.

Puncture arteri radialis dextra menggunakan sheath

mengakibatkan diskuntinuitas jaringan sehingga menyebabkan rasa

nyeri dan tidak nyaman pada pasien.

2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberian terapi

antikoagulan saat pelaksanaan tindakan Primary PCI.

Alasan penulis mengangkat diagnosa ini karena adanya

puncture pada arteri radialis dextra. Seperti yang kita ketahui arteri

merupakan pembuluh darah pada tubuh sehingga memerlukan

penekanan yang lama untuk menghentikan perdarahan. Selain itu

juga pasien mendapatkan terapi antikoagulan langsung via arteri

yaitu berupa heparin 8500 unit, yang mengakibatkan terganggunya

proses koagulasi darah sehingga penulis melakukan pengawasan

ketat terhadap tanda-tanda perdarahan.

3. Resiko penurunan perfusi ke ginjal berhubungan dengan

pamakaian zat kontras.

61
Alasan penulis mengangkat diagnosa ini, karena selama

dilakukan tindakan PCI pasien mendapatkan zat kontras berupa

omnipaque 320 sebanyak 90 cc. zat kontras ini selain bersifat

toksik pada ginjal juda bersifat high osmolar yang mengakibatkan

menurunnya aliran darah ke ginjal sehingga menurunkan perfusi ke

ginjal.

Penulis melakukan observasi ketat terhadap intake dan

output urine serta berkolaborasi dengan dokter jika terjadi

imbalance cairan seperti: rehidrasi dan pemberian terapi lasix extra

2 ampul karena produksi urin pasien yang menurun.

4. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya

perubahan struktur akut yang dapat menyebabkan terjadinya

iskemia/infark.

Alasan penulis mengangkat diagnosa ini, karena selama

masa perawatan post tindakan PPCI, pasien mengalami penurunan

BP dan dilakukan loading cairan NaCl 0,9% dengan jumlah total

sebanyak 600 cc (3x dilakukan loading).

Penulis melakukan observasi ketat terhadap tanda-tanda

penurunan curah jantung dan kolaborasi dengan tim dokter dalam

pemberian terapi.

Implementasi

Intervensi dan implementasi yang dilakukan berfokus pada

pencegahan terhadap beberapa resiko yang mungkin terjadi. Untuk

62
mengatasi nyeri, penulis menganjurkan proses distraksi dengan

menarik napas panjang dan dalam. Untuk mencegah resiko

perdarahan penulis melakukan observasi ketat terhadap adanya

tanda-tanda perdarahan baik di tempat puncture sheath maupun

tanda perdarahan lain, misalnya; epistaksis, gusi berdarah,

perdarahan lambung dan hematuri. Pembatasan aktifitas perlu juga

untuk mencegah perdarahan dan mengurangi rasa nyeri.

Pemantauan haluaran urine, intake dan output cairan, kadar ureum

dan kreatinin. Untuk pemantauan pemakaian kontras adakah tanda

alergi karena kontras.

Saat pemantauan haluaran urine ditemukan diuresis 0,7

cc/kgBB/jam, hal ini dapat menimbulkan kewaspadaan akan

terjadinya CIN maka dikolarorasikan dengan dokter untuk

melakukan rehidrasi dengan NaCl 0,9%, 1 cc/kgBB/jam selama 12

jam. Evaluasi tetap dilakukan sehingga haluaran urine menjadi 1,9

cc/kgBB/jam. Dengan urine yang cukup diharapkan fungsi ginjal

tidak mengalami penurunan. Pendidikan kesehatan dilakukan

untuk mengoptimalkan pasien dalam pemulihan dan mencegah

terjadinya komplikasi.

Pemantauan terhadap tanda-tanda penurunan curah jantung

juga dilakukan dengan ketat oleh penulis.

63
Evaluasi

Pada evaluasi terakhir, kondisi pasien: nyeri berkurang atau

pasien dapat mentolerir adanya nyeri dan tidak terjadi perdarahan.

Untuk mengetahui efek dari kontras masih perlu observasi lebih

lanjut. Untuk sementara tidak terjadi penurunan fungsi ginjal

karena diuresis pasien mengalami peningkatan secara jumlah yaitu

dari 0,7 cc/kgBB/jam menjadi 1,9 cc/kgBB/jam dalam jarak waktu

observasi 2 jam, sehingga masalah resiko gangguan perfusi ke

ginjal tidak terjadi. Begitu juga dengan masalah resiko penurunan

curah jantung tidak terjadi.

64
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien post


Primary PCI di ruang ICVCU RS Pusat Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita, maka penulis mengambil kesimpulan, sebagai berikut:

1. Perawatan pasien post Primary PCI harus ketat diawasi dengan baik.
2. Sebagai seorang perawat harus mengetahui tanda dan gejala
perdarahan pada pasien post Primary PCI, sehingga perdarahan dapat
diatasi dengan cepat sebelum menimbulkan komplikasi dan bekerja
sama dengan pasien agar pasien patuh bedrest selama 6 jam untuk
mencegah perdarahan.
3. Dalam melakukan pengkajian harus fokus pada masalah yang ada di
pasien.

5.2. Saran

Dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan


keperawatan pada pasien post tindakan Primary PCI, maka penulis ingin
menyampaikan beberapa pemikiran yang dituangkan dalam bentuk uraian,
sebagai berikut:

1. Untuk rekan-rekan perawat


a. Sebaiknya perawat mengetahui tanda dan gejala perdarahan pada
pasien post tindakan Primary PCI agar perdarahan dapat dicegah dan
diatasi dengan segera sebelum menimbulkan komplikasi. Diharapkan
adanya peningkatan kerjasama, pengawasan dan perawatan antara
perawat dan pasien agar hasil tindakan dapat maksimal.
b. Perawat sebaiknya harus bisa menghubungkan kejadian dengan
penyakit dasar (patofisiologi).

65
2. Untuk Pasien
Sebaiknya pasien dengan post tindakan Primary PCI dapat
mematuhi untuk bedrest total selama 6 jam untuk menghindari terjadinya
perdarahan. Dapat menjaga pola hidup yang sehat, olahraga teratur, makan
obat sesuaii anjuran dokter dan control sesuai jadwal.

3. Untuk keluarga pasien


Sebaiknya keluarga memberikan dukungan baik secara moril maupun
spiritual kepada pasien dan selalu mengingatkan pasien untuk minum obat
rutin serta control ke petugas kesehatan terdekat.

4. Untuk Rumah Sakit


Diharapkan adanya peningkatan kualitas dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada semua pasien di RS Pusat Jantung dan
Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, terutama dalam hal penyuluhan
kesehatan yang berkesinambungan, baik melalui diskusi maupun berupa
leaflet selama pasien di rawat sehingga morbiditas hasil tindakan Primary
PCI dapat maksimal.

5. Untuk Institusi
Diharapkan menyediakan literature yang banyak.

66
DAFTAR PUSTAKA.

Aart J. van der Molen,1 Peter Reimer,2 Ilona A. Dekkers,1 Georg Bongartz,3
Marie-France Bellin,4 Michele Bertolotto,5 Olivier Clement,6 Gertraud
Heinz-Peer,7 Fulvio Stacul,8 Judith A. W. Webb,9 and Henrik S. Thomsen 10.

Post-contrast acute kidney injury – Part 1: Definition, clinical features,


incidence, role of contrast medium and risk factors;
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5986826/ Published online
2018 Feb 9. doi: 10.1007/s00330-017-524

ACC/AHA Guideline on the Treatment of Blood Cholesterol to Reduce


Atherosclerotic Cardiovascular Risk in Adults; 2013;
https://www.ahajournals.org/doi/full/10.1161/CIR.0000000000000134

Agarwal R1, Kusek JW2, Pappas MK1; A randomized trial of intravenous and oral
iron in chronic kidney disease; 2015 Oct;88(4):905-14. doi:
10.1038/ki.2015.163. Epub 2015 Jun 17;
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26083656.

AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non–ST-Elevation


Acute Coronary Syndromes A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines;
2014;
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/CIR.0000000000000134

Amar Narula Roxana Mehran Giora Weisz George D. Dangas Jennifer Yu


Philippe Généreux Eugenia Nikolsky Sorin J. Brener Bernhard
Witzenbichler Giulio Guagliumi ... Show more; Contrast-induced acute
kidney injury after primary percutaneous coronary intervention: results from
the HORIZONS-AMI substudy; European Heart Journal, Volume 35,
Issue 23, 14 June 2014, Pages 1533–1540,
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehu063.

Amin Huda Nurarif, Hardhi Kusuma. 2013, Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA. Jogjakarta; Media Action
Publishing.

67
Corwin, 2009. Buku Patologi. Jakarta; EGC

Davis, 2014. Percutaneous Coronary


Intervention.http://www.emedicinehealth.com/percutaneous_coronary_inter
vention_pci/page10 em.htm.

Dharma S, Gilchrist IC, Patel T. Balloon assisted tracking: A solution to severe


subclavian artery tortuosity encountered during trans-radial primary PCI. Int
J Angiol 2016; 25:134-136.(link to journal).

Idris Idham; 2009. Cardiovascular Emergency: Focus On Acute Coronary


Syndromes Roles of Primary Physicians;

Kedev S, Kalpak O, Dharma S, Antov S, Kostov J, Pejkov H, Spiroski I.


Complete transitioning to the radial approach for primary percutaneous
coronary intervention: A real world single center registry of 1808
consecutive patients with acute ST-elevation myocardial infarction. J
Invasive Cardiol 2014;26(9):475-82. (link to journal)

Keeley EC, Hillis LD. N Engl J Med. 2014 Jan 4;356(1):47-54. Review. No
abstract available. Primary PCI for myocardial infarction with ST-segment
elevation. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17202455

Michel R. Le May, M.D; 2008, A Citywide Protocol for Primary PCI in ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction;
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa073102

Muttaqin,Arif. 2013. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika.

Peter A. McCullough, MD, MPH,a,b,c,dJames P. Choi, MD,cGeorges A. Feghali,


MD,cJeffrey M. Schussler, MD,cRobert M. Stoler, MD,cRavi C. Vallabahn,
MD,cAnkit Mehta, MD. Contrast-Induced Acute Kidney Injury.
VOL.68,NO.13,201.
http://www.anestesiologiachp.com/DevPort/modules/dGC/files/artigosv/Co
ntrast-Induced%20Acute%20Kidney%20Injury.pdf.

68
Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2 Ed/6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor.
Jakarta: EGC; 2015. BAB 53, Penyakit Serebrovaskular; hal. 1106-1129.

Reny Yuli Aspiani, 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskular; Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

69
0

Anda mungkin juga menyukai