HARAPAN KITA
OLEH:
Dodo Saripudin
(2059)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Aamiin Ya Robal’alamiin …
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
2
Hasil survei yang dilakukan Kementrian Kesehatan RI tahun 2014
menyatakan prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat
(Kemenkes, 2014). Dalam jurnal kardiovaskuler (2012), PJK masih menduduki
urutan pertama 80% penyebab kematian karena PJK. Berdasarkan data rekam
medik Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK), total
pasien PJK (2017) : 2.818 orang, Unstable Angina Pektoris (UAP) : 1.088 orang
(38,6%), Non ST Elevasi Myocard Infark (NSTEMI) : 758 orang (26,9 %), dan
ST Elevasi Myocard Infark (STEMI) : 972 orang (34,5 %). Dari total PJK 2.818
orang, yang dilakukan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) : 2.670 orang.
Sedangkan 106 orang (4%) dilakukan Percutaneous Transluminal Coronary
Angioplasty (PTCA) dan 2.564 orang (96%) menggunakan stent dari berbagai
tipe/jenis (misalnya Drug-Eluting Stent (DES), Bare-Metal Stent (BMS), dan lain-
lain).
Menurut Nakamura (2014), penatalaksanaan secara medis dari PJK
ditujukan untuk stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya, begitu juga
untuk mencegah rupturnya plak serta sekuel berikutnya. Di salah satu
revaskularisasi PCI bertujuan untuk mengembalikan aliran darah koroner yang
efektif, sehingga mengatasi iskemik miokardial serta gejala-gejala yang terjadi.
Menurut Baim (2015), indikasi dari PCI adalah adanya satu atau lebih
stenosis koroner yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang terjadi, yang
memerlukan revaskularisasi. Indikasi klinis PCI saat ini meliputi berbagai
spektrum penyakit jantung iskemik, mulai dari pasien dengan silent iskemia
sampai pasien dengan UAP dan STEMI.
Menurut The American College of Cardiology (ACC)/AHA guideline
(2014), indikasi secara lebih detail telah dirangkum dimana salah satunya adalah
pasien STEMI yang tidak dapat dilakukan terapi fibrinolitik yaitu dengan cara
PCI yang mempunyai pengurangan mortalitas jangka pendek, reinfraksi dan
stroke yang lebih baik.
Andreas Gruentzig (25 Juni 1939 - 27 Oktober 1985) merupakan penemu
metode penanganan penyakit jantung koroner melalui tindakan invasif
Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA). Pada tanggal 16
September 1977, di Zurich Switzerland, Gruentzig melakukan coronary
3
angioplasty pertama pada manusia yang sadar dan berhasil memperlebar arteri
LAD (Left Anterior Descending) yang mengalami stenosis 80%. Prosedur ini
kemudian diikuti oleh Universitas Emory, Atlanta, Georgia di Amerika.
Pada tahun 1980 murid dari Andreas R. Gruentzig di universitas Emory
bernama Merril Knudtson dan Dr. Charles Theodore Dotter memperkenalkan
prosedur ini di Calgary, Alberta, Canada. Sehingga pusat-pusat kesehatan di dunia
mengadopsi prosedur ini untuk pengobatan CAD. Istilah Angioplasty pertama kali
dideskripsikan oleh Dr. Charles Theodore Dotter dan Dr. Melvin P. Judkins pada
tahun 1964. Dan hingga sekarang berubah menjadi Percutaneous Coronary
Intervention (PCI).
Keberhasilan tindakan PTCA dengan stent selain ditentukan pada saat
tindakan pemasangan, juga dipengaruhi oleh asuhan keperawatan yang optimal
sebelum, saat dan sesudah prosedur, oleh karena itu peran perawat sangat dituntut
kemampuannya dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas sesuai
dengan prosedur. Dengan data di atas, maka penulis membahas mengenai asuhan
keperawatan pasca PCI yang terkait di dalamnya konsep sebelum, pada saat
tindakan PCI dan setelah tindakan PCI, agar komplikasi dapat dihindari sehingga
segera terdeteksi dan ditanggulangi lebih dini. Dengan asuhan keperawatan pasca
PCI juga dapat memperbaiki pola hidup yang lebih baik.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum:
Perawat mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan post Percutaneous Coronary Intervensi (PCI).
4
1.3 Manfaat
Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1. Memberikan informasi dan menambah wawasan luas ilmu
pengetahuan perawat mengenai asuhan keperawatan pasca PCI
sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca tulisan ini.
2. Diharapkan lebih memahami dan mengerti tentang asuhan
keperawatan pasca PCI, sehingga mencegah dan meminimalkan
komplikasi yang timbul pasca PCI.
3. Tulisan ini dapat meningkatkan mutu dan kualitas asuhan keperawatan
di masa yang akan datang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
ketidakseimbangan antara demand dan suplai akibat adanya sumbatan
formasi trombus yang berasal dari robekan plak, dengan manifestasi
klinik infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan Angina pektoris tidak
stabil (UAP).
Menurut Prof. Dr. Idris Idham (2009), Coronary Artery Disease
(CAD) adalah spektrum klinis, disebabkan adanya pengurangan
pasokan oksigen secara akut atau subakut dari miokard yang dipicu
adanya robekan plak atherosklerosis dan berkaitan dengan adanya
proses inflamasi trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi.
6
Perjalanan proses atherosklerosis secara bertahap dari sejak usia
muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk
bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam
pembuluh darah dan lambat laun pada usia tua dapat berkembang
menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah)
sehingga terjadi penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah.
Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel,
mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau
keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul
berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses
atherosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau
progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah
proses atherosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal
juga dengan CAD.
Lapisan intima terdiri dari sel endotel yang membatasi arteri
dan melindungi lapisan media dari komponen darah. Lapisan
adventisia merupakan lapisan terluar dinding pembuluh darah dan
terdiri atau sebagian sel-sel otot polos dan fibroblast, lapisan ini juga
mengandung vasa vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang
mengantarkan suplai darah ke dinding pembuluh darah. Pada
aherosklerosis, terjadi gangguan integritas lapisan media dan intima,
sehingga menyebabkan terbentuknya atheroma kemudian
menyebabkan disfungsi endotel arteri dengan meningkatnya
permeabilitas terhadap monosit dan lipid darah.
Hiperkolesterolemia diyakini menganggu fungsi endotel dengan
meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini
menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor endothelial-relaxing utama.
Apabila terjadi hiperlipidemia kronis, lipoprotein tertimbun di dalam
lapisan intima. Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel
dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi Low Density
Lipoprotein-Colesterol (LDL-C), yang berperan mempercepat
terjadinya plak atheromatosa. Oksidasi LDL-C yang diperkuat oleh
7
High Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, Diabetes Mellitus
(DM), defisiensi estrogen, hipertensi dan derivat rokok.
Hiperkolesterolemia memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos
subendotel dan penimbunan lipid dalam magrofag sel otot polos.
Apabila LDL-C teroksidasi, magrofag menjadi sel busa yang
beragregasi dalam lapisan intima yang terlihat sebagai bercak lemak.
Akhirnya deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini
menjadi atheroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti
bagian dalam plak terpajan dengan LDL-C yang teroksidasi dan
meningkatnya perlekatan elemen sel, termasuk trombosit. Akhirnya
deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi
atheroma, yang dapat mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi atau
trombosis dan menyebabkan infark miokardium.
Gambar 1
2.1.4. Patologi
Menurut Wilson & Price (2015), atherosklerosis merupakan
penyebab penyakit arteri koroner yang sering ditemukan.
Atherosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa
dalam arteri koroner sehingga mempersempit lumen pembuluh darah.
Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan
meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Dengan
8
demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen
menjadi tidak stabil.
Penumpukan plak di
atherosklerosis tunika intima
Hipoksia miokard
Trop T dan
LDH Infark miokardium
9
invasif medikamentosa CABG
2.2.1. Medikamentosa
1. Antikoagulan dan antiplatelet untuk mencegah pembekuan baru.
2. Nitrat (untuk mempertahankan vasodilatasi, mengurangi afterload
dan preload).
3. Agen penghambat calsium (untuk mengurangi kontraktilitas
miokard, hingga kebutuhan oksigen terpenuhi).
4. Agen trombolitik seperti aktivator plasmanogen jaringan (r-TPA),
urokinase/streptase dapat diberikan secara IV kurang dari 12 jam
setelah terjadinya serangan nyeri dada. Apabila tidak mampu
(dalam segi biaya) untuk dilakukan tindakan invasif primary PCI,
maka terapi trombolitik ini merupakan suatu pilihan. Apabila terapi
trombolitik ini berhasil maka tetap direncanakan untuk kateterisasi.
Tetapi, bila terapi trombolitik tidak berhasil maka harus dilakukan
rescue PCI.
2.2.2. Invasif Non Bedah (INB)
1. Primary PCI
Dalam panduan penatalaksanaan Primary PCI dari
ACC/AHA (2013), yaitu antara lain:
1) Tanda-tanda infark miokard yang luas:
a. Riwayat nyeri dada/perasaan tidak nyaman yang
bersifat substernal, lamanya lebih dari 20 menit,
10
tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat,
disertai penjalaran, mual, muntah dan keringat
dingin. Dengan onset gejala kurang dari atau sama
dengan 12 jam.
b. Elevasi segmen ST > 1 mm pada 2 sadapan
ekstremitas atau elevasi segmen ST > 2 mm pada 2
sadapan prekordial, atau Left Bundle Branch block
(LBBB) yang dianggap baru.
c. Peningkatan enzim jantung (Creatine Kinase-Muscle
and Brain (CK-MB), high-sensitivity (hs) troponin
T). Hasil tidak perlu di tunggu untuk memulai terapi
reperfusi.
11
Gambar 2.
Gambar 2.
2. Elektif PCI
PCI elektif dapat dilakukan pada pasien yang datang dari
rumah maupun pasien yang sedang dalam perawatan. Pre
tindakan pasien dipastikan sedang menggunakan terapi aspirin
dan clopidogrel. Jika tidak, pastikan dalam waktu 24 jam
sebelum tindakan terapi tersebut diberikan. PCI elektif tidak
hanya dilakukan pada IRA, namun bisa dilakukan dengan
multiple stenosis.
12
prosedur utamanya meliputi: angioplasty, arterectomy dan intra
coronary stenting.
13
3. Rescue Percutaneous Coronary Intervention adalah tindakan
yang dilakukan pada akut koroner infark dengan onset gejala
kurang dari 12 jam setelah mengalami kegagalan terapi
fibrinolitik.
4. Percutaneous Coronary Intervention Elektif.
14
Gambar 3.
Gambar 4.
15
2.3.3. Indikasi PCI
Adapun Indikasi PTCA dan pemasangan stent, sebagai berikut:
a. Dilakukan pada beberapa pembuluh darah koroner 3 Vessel
Diseases (3VD), 2VD, 1VD.
b. Angina pectoris dengan adanya penyempitan pembuluh darah
lebih dari 60%.
c. Unstable angina.
d. Pasien yang mengalami ACS dengan ST elevasi (primary PCI).
e. Dapat dilakukan pada beberapa pembuluh darah (LM, oklusi di
distal, pada graft dan pada CTO).
f. Restenosis setelah tindakan PCI.
g. Angina pectoris pada pasien post CABG.
h. Gagal trombolitik.
Gambar 5.
Stent BMS
b. Drug-Eluting Stent (DES)
16
DES merupakan suatu prosedur intervensi ke jantung
dengan pemasangan stent bersalut obat dan polymer (bahan
kimia), yaitu obat anti kanker, obat agar sel-sel lemak yang
menumpuk dan terus bertambah tidak tumbuh lagi dan
mencegah pertumbuhan dari jaringan parut yang dapat
menyebabkan pembuluh darah arteri menyempit kembali.
Polimer tersebut membawa dan melindungi obat di stent
sebelum dan selama prosedur pemasangan stent. Stent yang
sudah diimplantasikan (dipasang) di arteri koroner tersebut
membantu mengontrol pelepasan obat dan menempel ke dinding
arteri pembuluh darah, sehingga sel yang menyebabkan
penyumbatan tidak akan bertumbuh lagi menjadikan aliran
darah lancar. Terdapat banyak macam DES dengan berbagai
jenis obat yang dipakai seprti: sirolimus, biolimus, everolimus,
paclitaxel dan lain-lain.
Gambar 6.
Stent DES
17
Uniknya lagi, penggunaan DES dapat digunakan pada
segala jenis kondisi klinis termasuk yang amat kompleks
sekalipun, seperti: DM, IMA, penyempitan pembuluh darah
koroner yang panjang maupun penyumbatan total, sampai
berusia 80 atau 90 tahun, pasca operasi bypass yang mengalami
kegagalan atau menyempit kembali atau penderita yang sama
sekali sudah tidak menjalani operasi Coronary Artery Bypass
Graft (CABG). Metode DES juga cocok untuk pasca PCI yang
pembuluh koronernya menyempit kembali.
18
Gambar 7.
Stent BVS
2.2.6. Komplikasi
1. Perdarahan (area insersi, retroperitoneal)
2. Hematoma
3. Pseudoaneurisma
4. Fistula arteriovenosus
5. Thrombosis dan embolisasi distal
6. Contrast induce nefropati (CIN)
7. Neuropati femoral
8. Infeksi
19
9. Aritmia
10. Spasme tiba-tiba pembuluh darah koroner
11. Hipotensi
12. Reoklusi/restenosis
13. Infark miokard
14. Dehidrasi
15. Alergi reaksi kontras
16. Stroke
17. Kematian
20
1) Periksa pulsasi arteri radialis dan ulnaris, kemudian tekan
arteri radialis dan arteri ulnaris dengan 3 jari tangan
kiri/ibu jari secara bersamaan.
2) Anjurkan pasien untuk mengepal tangannya dengan kuat
selama 3-5 detik. Buka kepalan tangan pasien, telapak
tangan akan terlihat pucat.
3) Lepaskan tekanan di arteri ulnaris, arteri radialis tetap di
tekan.
4) Lihat jika revaskularisasi 1-3 detik berarti arteri ulnaris
baik dan tindakan via radialis dapat dilakukan.
Gambar 8.
b. Pasca PCI
1) Pemantauan pasien pasca tindakan PCI
a) Observasi tekanan darah dan nadi tiap 15 menit
selama 1 jam pertama, 30 menit selama 1 jam kedua,
1 jam selama 4 jam sampai pasien stabil.
b) Periksa ACT 4 jam setelah prosedur dan usahakan
nilai ACT kurang dari 100 detik untuk pengangkatan
sheath.
c) Periksa enzim jantung & perekaman EKG lengkap 6
jam pasca tindakan.
21
d) Perhatikan tanda perdarahan di tempat tusukan.
e) Perhatikan pulsasi nadi, khususnya sebelah distal
tempat penusukan.
f) Awasi tanda dan gejala iskemia, angina, perubahan
EKG, aritmia.
g) Observasi ada tidaknya reaksi alergi, mual.
h) Anjurkan pasien untuk minum 1,5 – 2 liter 6 jam
pasca tindakan.
i) Observasi produksi urine.
j) Anjurkan pasien untuk meluruskan tempat pungsi
arteri.
k) Anjurkan pasien untuk bedrest.
22
diedukasi agar bantal pasir tetap berada tepat di atas
pungsi arteri akses kateter.
b) Setelah PCI, pasien harus dimonitor terhadap
adanya miokard iskemi seperti nyeri dada,
perubahan EKG, aritmia dan hemodinamik yang
tidak stabil. EKG 12 lead digunakan sebagai data
dasar untuk perbandingan selanjutnya. Pasien yang
mengalami angina yang lama setelah PCI harus di
evaluasi jika terjadi akut miokard dengan enzim
penentu dan EKG.
c) Pasien yang dianggap beresiko tinggi terhadap
terjadinya trombus akut misalnya pada pasien
primary PCI diberikan terapi Integrillin/Agrastat.
d) Tempat tusukan sheath di monitor terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi seperti
perdarahan atau hematoma. Perfusi distal juga di
monitor melalui evaluasi terhadap pulsasi, warna
kulit dan kuku.
e) Latihan fisik (rehabilitasi) pasca intervensi PCI
bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, mental,
serta sosial pasien seoptimal mungkin. Selain itu,
mempertahankan pembuluh darah pasca PTCA atau
pemasangan stent, mengingat angka restenosis
masih cukup tinggi. Sehingga dicapai kemampuan
diri sendiri untuk menjalankan aktivitas di rumah
juga pekerjaan (lingkungan). Rehabilitasi diberikan
langsung fase II yang diawali dengan 6 minute walk-
test. Pasien diberikan program sesuai hasil test
selama 1 minggu kemudian dilakukan Uji Latih
Jantung Beban (ULJB) untuk menilai secara akurat
keluhan subyektif dan objektif, perubahan
hemodinamik maupun EKG. Berdasarkan hasil
23
tersebut program latihan maupun tindakan
selanjutnya ditentukan. Setelah 1 bulan di evaluasi
ulang seperti di awal.
3) Medikamentosa
a) Pasca PCI
(1) Obat-obat antikoagulan dan antiplatelet (dual
antiplatelet therapy/DAPT) untuk mencegah
thrombus berulang. Contohnya adalah aspirin
dan clopidogrel. Obat-obatan ini membantu
mencegah pembekuan darah yang terjadi pada
stent dan menyumbat arteri kembali.
Pembekuan darah dapat terjadi dalam waktu 1
tahun atau lebih setelah pemasangan stent pada
DES. Aspirin pada umumnya di konsumsi
seumur hidup dan clopidogrel di konsumsi
antara 1 – 12 bulan (tergantung tipe stent)
setelah prosedur dilakukan. Clopidogrel dapat
menyebabkan efek samping, jadi pemeriksaan
darah lengkap akan dilakukan secara rutin.
(2) Obat-obat vasodilator (nitrat) untuk
pencegahan dari serangan angina, sebaiknya di
minum atau sub lingual (ISDN 5 mg) sebelum
melakukan aktivitas.
(3) Obat-obat antipilemik (statin), untuk
menurunkan kadar lipid darah abnormal
sehingga mencegah terjadinya aterosklerosis di
pembuluh darah.
24
keperawatan secara mandiri. Pre, intra dan pasca PCI saling berkaitan satu
sama lain untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal dan
resiko/komplikasi dapat dihindari.
Menurut Nanda (2014) dan Arif muttaqin (2013), asuhan
keperawatan pasca PCI, meliputi:
a. Pengkajian
Bila pasien tiba di ruangan rawat intensif atau perawatan, maka
perawat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengobservasi dan mengkaji tingkat pemulihan klien. Perawatan
pasca PCI dilakukan dengan cara memantau pasien secara ketat
terhadap komplikasi sehingga dapat dilakukan penanganan segera.
Adapun pengkajian yang dilakukan adalah:
1) Identitas pasien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku,
alamat, no. medical record, pendidikan, pekerjaan, alamat,
diagnosa medis.
2) Keluhan utama
a) Ada tidaknya nyeri dada (Provokatif dan Paliatif,
Quantitatif dan Qualitatif, Region dan Radiasi, Severity,
Time (PQRST)).
b) Ada tidaknya nyeri hebat di daerah tusukan arteri.
c) Ada tidaknya keluhan: pusing, mual dan muntah.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat penyakit sekarang mendukung keluhan
utama dengan melakukan serangkaian pertanyaan tentang
kronologis keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan
adanya gejala: keringat dingin, muntah, pusing, pingsan,
berdebar, sesak napas, Dyspnea On Effort (DOE), Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), ortopnea, Jugularis Vena Pressure
(JVP).
4) Riwayat penyakit dahulu
25
Pengkajian yang mendukung dengan mengkaji apakah
sebelumnya pasien di rawat, minum obat teratur atau tidak,
stroke, hipertensi, DM, hiperlipidemia, perokok. Tanyakan obat-
obat yang biasa diminum oleh pasien pada masa lalu yang
relevan.
5) Riwayat keluarga
Pengkajian tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga,
serta bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka penyebab
kematian juga ditanyakan.
6) Status psiko-sosio ekonomi, spiritual
Pengkajian tentang situasi tempat tinggal dan lingkungannya,
tempat bekerja dan lingkungannya, kebiasaan sosial (pola
hidup), merokok, biografi pasien, hubungan dengan keluarga
dan lingkungan, koping pasien terhadap penyakit yang di derita,
aktif dalam kegiatan keagamaan.
7) Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Pengkajian mengenai tingkat pengetahuan pasien terhadap
penyakit yang di derita.
8) Pemeriksaan fisik
a) Sistem kardiovaskular, meliputi: BP, HR, kesadaran, suhu,
pulsasi perifer, waktu pengisian kapiler, irama jantung,
suara jantung.
b) Sistem respirasi, meliputi: frekuensi pernafasan, pola
napas, suara paru, ronkhi.
c) Sistem gastro intestinal, meliputi: apakah ada rasa mual,
nyeri pada ulu hati, frekuensi Buang Air Besar (BAB),
bising usus.
d) Sistem perkemihan, meliputi: frekuensi Buang Air Kecil
(BAK), produksi urine meliputi jumlah, warna
(jernih/keruh) dan bau.
e) Sistem neurologis, meliputi: tingkat kesadaran, orientasi
pasien, ukuran pupil, reaksi cahaya.
26
f) Sistem integrumen, meliputi: warna kulit, turgor kulit,
kapilary refill, sianotik/tidak.
g) Sistem muskulus skeletal, meliputi: ada/tidak keluhan
lemas dan pegal, cepat cape, kesemutan di daerah
ekstremitas.
h) Sistem penginderaan, meliputi: fungsi alat indra,
konjungtiva anemis/tidak, sclera ikterik/tidak.
9) Pemeriksaan penunjang, antara lain: laboratorium, EKG,
echokardiografi, exercise test, thalium scanning, kateterisasi
koroner.
27
pada sisi PTCA), mengakibatkan iskemia miokard dan/atau
infark.
Tujuan dan kriteria hasil: fungsi jantung/Cardiac Output (CO)
meningkat (adekuat) dengan tekanan darah sistolik, diastolik,
rata-rata Tekanan Darah (TD) dan denyut jantung dalam batas
normal, Analisa Gas Darah (AGD) dalam batas normal, bunyi
napas tambahan tidak ada, distensi vena jugularis tidak ada,
edema perifer tidak ada, ascites tidak ada, denyut perifer kuat
dan simetris, status kognitif dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Mencatat/mengobservasi TTV (HR, BP, Respiration Rate
(RR)) terutama adanya hipotensi dan irama EKG.
b) Mencatat/observasi adanya disritmia, kualitas denyut nadi
dan kaji tingkat kesadaran.
c) Mengobservasi perubahan status mental/orientasi/gerakan
reflek tubuh/gelisah.
d) Mencatat kualitas nadi perifer dan suhu kulit dengan cara
meraba nadi perifer.
e) Mengukur dan catat intake output balance cairan selama
24 jam.
f) Mendorong keluarga dan membantu keluarga dalam
memenuhi aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
pasien.
g) Mengkaji ulang EKG secara berseri setiap 24 jam dengan
melakukan pemeriksaan EKG 12 Lead setiap hari.
Observasi bila terpasang monitor EKG.
h) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian oksigen (O2)
sesuai indikasi, pemberian cairan lewat Intra Vena (IV)
line sesuai indikasi dan pemberian obat-obatan baik IV
dan per oral sesuai indikasi.
28
3) Nyeri dada berhubungan dengan iskemia miokard, diseksi,
spasme dan emboli.
Tujuan dan kriteria hasil:
Nyeri dada tidak terjadi, TTV dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Anjurkan pasien melaporkan keadaan nyeri (skala nyeri 1-
10).
b) Kaji dengan metode PQRST dan catat onset nyeri, lokasi,
penjalaran, lamanya dan faktor penyebab timbulnya nyeri.
c) Kaji dan observasi vital sign.
d) Lakukan perekaman EKG.
e) Anjurkan pasien untuk bedrest.
f) Beri lingkungan yang aman dan nyaman.
g) Kolaborasi pemberian oksigen, pemeriksaan laboratorium
(enzim), rontgen dada dan pemberian therapi.
29
f) Membebat luka setelah aff sheath dengan elastis perband
melebihi setengah sisi paha atau brachial.
g) Menganjurkan pasien untuk tidak beraktifitas
menggunakan anggota tubuh yang digunakan untuk
prosedur PCI selama 6 jam setelah aff sheath.
5) Resiko penurunan perfusi ginjal berhubungan dengan
penggunaan kontras tindakan invasif PCI dengan stent atau
terapi diuretik.
Tujuan dan kriteria hasil: perfusi jaringan ginjal baik, tekanan
darah dalam batas normal, tidak ada gangguan mental, orientasi
kognitif dan kekuatan otot, elektrolit, BUN, Creatinine dan
Biknat dalam batas normal, intake output seimbang, tidak ada
oedem perifer dan asites, tidak ada rasa haus yang abnormal,
membran mukosa lembab, warna dan bau urine dalam batas
normal.
Intervensi keperawatan:
a) Monitor dan catat intake dan output, laporkan bila urin <
0,5 cc/kgbb/jam.
b) Observasi vital sign dan tanda-tanda oedema dan ascites.
c) Anjurkan minum yang banyak.
d) Informasikan pentingnya pengeluaran zat kontras.
e) Kolaborasi dengan dokter bila perlu (laboratorium dan
terapi).
30
a) Raba nadi bagian distal pada area post penusukan 15
menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua
selanjutnya tiap 4 jam.
b) Kaji area distal terhadap kulit dingin, pucat, sianosis,
kesemutan, kebas, nyeri tekan, rasa hangat.
c) Perhatikan daerah post penusukan terhadap adanya
hematoma, nyeri tekan dan perdarahan.
d) Pertahankan penekanan pada daerah post penusukan.
e) Informasikan pada pasien perlunya tirah baring dan
daerah yang sakit dalam posisi lurus.
f) Berikan bantal pasir 1,5 - 2,5 kg pada sisi pungsi arteri,
jika perlu.
g) Pertahankan ekstremitas yang sakit tetap lurus.
h) Pertahankan tinggi kepala tempat tidur tidak lebih dari 45 o
selama 8 jam pertama pasca PCI.
i) Lakukan pemeriksaan ACT dan laporkan ke dokter bila
adanya hasil abnormal.
j) Ukur suhu oral atau aksila tiap 4 jam, beritahu dokter jika
demam.
k) Kaji dan laporkan adanya diaforesis dan atau menggigil.
l) Kolaborasi pemberian antibiotik dan antipiretik.
31
f) Anjurkan untuk selalu mencuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien pada tim kesehatan dan
keluarga/pengunjung.
g) Pertahankan lingkungan yang aseptic ketika tindakan
invasif.
h) Ajarkan pasien dan keluarga tehnik pencegahan infeksi.
i) Buka balutan dan plester.
j) Monitor karakteristik luka, meliputi: luka drainase, warna,
ukuran dan bau.
k) Bersihkan dengan cairan normal salin.
l) Gunakan teknik steril dan benar saat melakukan
pencabutan sheath kateter.
m) Rawat luka aff sheath kateter dengan teknik aseptik.
n) Monitor tanda-tanda vital termasuk suhu tubuh tiap 4 jam.
o) Monitor adanya kemerahan, pembengkakan, haematoma
dan rasa hangat pada luka penusukan sheath kateter.
p) Kenakan balutan sesuai denga tipe luka.
q) Ganti balutan sesuaikan dengan jumlah eksudate atau
drainase.
r) Bandingkan dan catat perubahan pada luka.
s) Hindari luka tertekan atau posisi.
t) Jelaskan pasien dan keluarga dalam prosedur perawatan
luka, gejala dan tanda infeksi.
u) Dokumentasikan lokasi, ukuran dan tampilan luka.
v) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy sesuai
kondisi pasien dan cek marker infeksi.
32
hari secara mandiri dan mampu menyeimbangkan aktivitas dan
istirahat.
Intervensi keperawatan:
a) Berikan penjelasan pentingnya keterbatasan aktivitas pada
daerah penusukan PCI.
b) Berikan bantuan sesuai kebutuhan pasien.
c) Jelaskan prosedur dengan penggunaan bantal pasir 2,5 kg,
bila perlu.
d) Kaji aktivitas personal sehari-hari yang biasa dilakukan.
e) Bantu pasien memilih aktivitas fisik, psikologis dan sosial
sesuai kemampuan.
f) Kolaborasi dengan terapist kerja untuk merencanakan dan
memonitor program aktivitas sesuai kebutuhan.
g) Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk
meningkatkan aktivitas.
33
f) Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa
digunakan/mendukung.
g) Instruksikan kapan harus ke pelayanan kesehatan.
h) Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit,
prosedur perawatan dan pengobatan.
1. Setelah tindakan
34
i. Mengobservasi adanya tanda-tanda hipovolemia.
j. Memberikan hidrasi sesuai kebutuhan pasien (sesuai
instruksi dokter).
k. Memonitor adanya tanda-tanda infeksi, meliputi: observasi
daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptic/septic, selalu
menjaga kesterilan area penusukan, observasi adanya
perubahan warna, suhu pada luka tusukan.
l. Berikan pendidikan kesehatan pada pasien (didampingi
oleh keluarga pasien):
1) Anjurkan untuk tidak mengangkat beban lebih dari 5
kg selama 1 minggu untuk menghindari
stretching/peregangan pada arteri radialis jika akses
melalui arteri radialis.
10) Beritahu perawat atau dokter bila terjadi keluhan
berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
11) Buka elestikon dang anti dengan tensoplast setelah
12 jam pemasangan elastikon.
12) Bila ada hematoma dan perdarahan segera hubungi
dokter atau perawat dan langsung ke rumah sakit.
35
e. Bila tidak terjadi perdarahan, lanjutkan membuka
nichiband dan tutup dengan kassa steril diatas luka insisi
dan tekan dengan kuat.
36
pemberian media kontras intravascular tanpa ada
penyebab lainnya (Thomsen, 2018).
c. Definisi CIN menurut Acute Kidney Injury Network
adalah peningkatan kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dL disertai
dengan adanya oliguria.
d. Slocum, dkk (2015) melakukan studi untuk menentukan
definisi CIN yang paling baik dalam implikasi klinis
apakah peningkatan serum ≥ 25% dari nilai dasar kreatinin
serum atau peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL. Dari
data yang ada, peningkatan yang absolut ≥ 0,5 mg/dL
lebih superior dibanding peningkatan serum ≥ 25% dari
nilai dasar kreatinin serum dalam menegakan CIN.
37
a) Volume media kontras
b) Pemberian media kontras berulang dalam
durasi 72 jam
c) Osmolaritas dan iconicity media kontras.
d. Tidak dapat diubah:
1) Pemakaian IABP
2) Emergency PCI
3) Pemberian media kontras secara intraarterial.
38
4,20 to 39
ml/min/1,73 m2
6 to 20
ml/min/1,73 m2
2.5.8. Penatalaksanaan
Tujuan:
Informasi umum:
39
3. Gagal ginjal kronis merupakan faktor predisposisi utama untuk
terjadinya CIN.
4. Bila penderita yang menjalani prosedur mengalami CIN dan
memerlukan dialisa akan berdampak pada lama waktu
perawatan, biaya perawatan dan resiko kematian.
5. Penderita yang akan menjalani prosedur angiografi harus di
periksa kadar kreatinin plasma.
6. Penderita yang sudah pernah menjalani prosedur, harus di cek
jenis media kontras yang digunakan sebelumnya.
7. Penderita dengan kadar kreatinin > 2,0 harus dirawat terlebih
dahulu sebelum menjalani prosedur.
2.5.9. Prosedur
Untuk penderita dengan kreatinin > 1,7 sampai 2,0 mg/dl tanpa tanda-
tanda gagal jantung dan Fraksi Ejeksi ≥ 40%.
Pre Prosedur:
Saat Prosedur:
40
b. Hindari penggunaan kontras yang berbeda dalam 72 jam, bila
penderita menjalani prosedur lebih dari sekali.
c. Jumlah kontras yang digunakan tidak melebihi volume yang
didapatkan, berdasarkan rumus:
BB (kg) X 4
Cr (mg/dl)
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1. Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama : Tn. B
b. Umur : 46 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Suku : Jawa
e. Status : Menikah
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SLTA
41
h. Pekerjaan : Supir jemputan anak sekolah
i. No Med Record : 2020455437
j. Tanggal masuk RS : 15 Januari 2020
k. BB/TB : 70 kg/ 172 cm
l. Alamat : Perumahan Merpati no. 25,
Pegadungan, Kalideres, Jakarta
Barat.
m. Tanggal pengkajian : 16 Januari 2020 jam 09.30 WIB
n. Unit : ICVCU
42
dirasakan muncul tiba-tiba saat pasien sedang ada di rumah saat
hendak melaksanakan sholat. Keluhan disertai keringat dingin (+)
membasahi pakaian, muntah (-), pusing (-), pingsan (-), berdebar (-),
sesak nafas (+), DOE (-), PND (-), JVP tidak meningkat . Pasien
dibawa ke RSKB CINTA KASIH TZU CHI untuk pertolongan dan
diberikan terapi ISDN 5 mg SL, Ascardia 160 mg, Clopidogrel 450
mg, dengan diagnosa STEMI inferoposterior onset 9 jam Killip 1.
Pasien dirujuk ke PJNHK untuk penanganan, sampai di UGD jam
13.00 WIB, nyeri dada (+). Pasien baru di PJNHK dan keluhan ini
pertama kali dirasakan. Pasien post tindakan Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) tanggal 15 Januari 2019 jam 22.36 WIB, dengan
hasil:
LM : Normal
LAD : Stenosis osteal – mid (diffuse) dengan maksimal stenosis
80 – 90%
LCX : Stenosis 70% proximal, stenosis 70% distal.
RCA : Stenosis 70% di proximal, total oklusi di mid.
Pasien tiba di ruang ICVCU jam 22.50 wib. Sekitar jam 23.05 wib
Pasien pernah mengalami penurunan BP 85/63 mmHg, HR 125 x/mnt
dan di loading NaCl 0,9% sampai dengan jumlah total 600 cc (3x
melakukan loading).
6. Riwayat keluarga
43
Pasien bekerja sebagai supir jemputan anak sekolah. Pasien
berpenghasilan pas-pasan. Pasien tinggal di kawasan yang padat
penduduk, sanitasi yang kurang baik. Hubungan pasien dengan
keluarga dan lingkungan baik, pasien tidak mengeluh atas
penyakitnya, pasien ke mesjid bersama dengan keluarganya setiap
hari.
9. Pemeriksaan Fisik
44
e. Sistem neurologis, meliputi: kesadaran kompos mentis, parese
(-), riwayat pelo atau aphasia (-), orientasi baik, pupil normal,
reaksi cahaya (+).
f. Sistem integumen, meliputi: oedem perifer (-), turgor baik,
sianotik (-), clubing finger (-), capillary refill 2 detik, warna
kulit sawo matang, terpasang IV line hari ke-2: RL emg dan
ada luka tusuk bekas puncture di radialis kanan, pulsasi teraba
sama kuat kanan dan kiri, hematome (-), perdarahan (-), tanda-
tanda infeksi (-).
g. Sistem muskulus skeletal, meliputi: pasien mengatakan sakit dan
pegal pada area penusukan, lemas (-), cepat capek (-),
kesemutan di daerah ekstremitas (-).
h. Sistem penginderaan, meliputi: konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik.
45
1) UGD PJNHK (15-1-2019) SR, rate 83 x/menit, ST
elevasi di II, III, AVF, V7 – V9, I dan V6.
46
2) ICVCU (16-1-2020) SR, rate 100 x/menit, Axis normal,
P wave normal, PR interval : 0,15 detik, QRS duration :
0,08 detik, Q patologis pada II, III, aVF.
47
CTR 55%, Segmen Ao normal, segmen pulmonal normal,
pinggang jantung (+), apex downward, kongesti (-), infiltrate (-).
c. Laboratorium
RS luar (15-1-2019. Jam 06.00 WIB) Hemoglobin: 13,9 g/dl,
leukosit: 8.490/ul, Hematokrit: 38 vol.%, CKMB: 92 U/L, hs
trop T: 428 ng/mL, Ureum: 28 mg/dL, BUN: 13 mg/dL,
Creatinin: 1,06 mg/dL, GD Sewaktu: 121 mg/dL, Natrium: 137
mmol/L, Kalium: 4,4 mmol/L, Calsium Total: 2,25 mmol/L,
Clorida: 104 mmol/L, Magnesium: 2,2 mg/dL.
d. Laporan PPCI
Terpasang 1 stent di RCA
48
11. Terapi
a. Aspilet 1x80 mg
b. Plavix 1x75 mg
c. ISDN 3x5 mg
d. Simvastatin 1x20 mg
e. Laxadine 1x1 CI
f. Diazepam 1x5 mg
g. Rencana inj. Lovenox 2 x 0,6 ml (setelah 4 jam post aff
nichiband).
h. Pada saat di UGD (15-1-2020) : Aspilet 80 mg 4 tab (kunyah)
total 320 mg, Plavix 75 mg 8 tab total 600 mg dan
ISDN 5 mg SL extra.
i. Pada saat tindakan PPCI (15-1-2020) heparin 8.500 ui
Analisa Data
49
2. DS : - Tindakan Resiko
DO : Terdapat luka puncture di radialis invasif PCI terjadi
kanan, pulsasi arteri radialis teraba sama dan perdarahan
kuat kanan dan kiri, hematome (-), pemberian
perdarahan (-), pada saat tindakan PCI : antikoagulan
heparin injeksi 8500 ui. Rencana masuk
terapi Lovenox 2 x 0,6 ml (4 jam setelah
aff nichiband)
3. DS: - Penggunaan Resiko
DO: tercatat di laporan prosedur PPCI zat kontras penurunan
penggunaan kontras omnipaque 320, 90 cc, saat tindakan perfusi ginjal
suhu: 36,2oC, akral hangat, produksi urine PCI.
1500 cc/24 jam, jumlah minum 1300 cc/24
jam, BB 70 kg, hasil laboratorium (15-1-
2019) Ur: 28/ BUN: 13/ Cr: 1,06/ Na:
137/ K: 4,4/ Ca:2,25/ Cl: 104/ Mg: 2,2.
4. DS: - Adanya Resiko
DO: tercatat di laporan prosedur PPCI, perubahan penurunan
LCX stenonsis 70% proximal dan stenosis struktural curah
70% distal. Pernah mengalami penurunan akut (LCX jantung.
BP 85/63 mmHg, HR 125 x/mnt, loading stenosis 70%
NaCl 0,9% total jumlah 600 cc (3x proksimal &
melakukan loading). stenosis 70%
distal)
menyebabka
n iskemia
atau infark.
50
2) Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan tindakan invasif PCI
dan pemberian antikoagulan.
3) Resiko penurunan perfusi ginjal berhubungan dengan penggunaan zat
kontras saat tindakan PCI.
4) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan adanya
perubahan struktural akut yg dapat menyebabkan terjadinya
iskemia/infark.
Intervensi Keperawatan:
51
kontinuitas jaringan di dengan kriteria hasil: pengkajian
area puncture radialis Ekspresi wajah rileks nyeri, observasi
kanan pasca tindakan dan tidak tampak perkembangan
PCI. meringis kesakitan, skala nyeri dan
nyeri 0/10, tanda-tanda keluhan.
vital dalam batas normal. 3. Observasi reaksi
verbal pasien.
4. Atur posisi yang
nyaman dan
anjurkan
istirahat.
5. Ajarkan tekhnik
napas panjang
dan dalam.
6. Kontrol
2. lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
Resiko terjadi Setelah dilakukan nyeri dan
perdarahan tindakan keperawatan ajarkan tekhnik
berhubungan dengan selama 1 x 24 jam relaksasi.
tindakan invasif PCI diharapkan tidak terjadi 7. Kolaborasi
dan pemberian perdarahan, dengan dalam
antikoagulan. kriteria hasil: pemberian
Akral hangat, tidak ada terapi.
hematoma pada area
puncture, pulsasi perifer
kuat, ACT dan APTT 1. Kaji keluhan
tidak memanjang, pasien.
hemodinamik stabil dan 2. Observasi tanda-
Hb tidak turun. tanda vital.
3. 3. Observasi
adanya
hematoma pada
area puncture
setiap 15 menit
Resiko penurunan pada jam
perfusi ginjal pertama dan
berhubungan dengan Setelah dilakukan setiap 30 menit
penggunaan zat kontras tindakan keperawatan pada jam kedua
saat tindakan PCI. selama 1 x 24 jam dan setiap jam
diharapkan perfusi ke selama 4 jam.
ginjal berfungsi baik, 4. Kolaborasi
dengan kriteria hasil: dalam
Output urin 0,5-1 pemeriksaan
cc/kgBB/jam, tidak ada
peningkatan nilai ureum 5. laboratorium:
dan kreatinin yang Hb, Ht, ACT
52
berarti, tanda-tanda vital dan APTT.
dalam batas normal. 6. Anjurkan pasien
untuk bedrest.
1. Observasi tanda-
tanda vital.
2. Observasi urin
output (jumlah
& warna).
3. Kolaborasi
dalam
pemberian
cairan IV
dengan
perhitungan 1
cc/kgBB/24 jam:
- Diberikan 8
jam pertama
lalu observasi
urin.
- Dilanjutkan
pemberian 16
jam
berikutnya.
4. Kolaborasi
pemeriksaan
ureum dan
kreatinin post
pemberian
cairan.
5. Balance cairan
secara ketat.
53
4. Resiko penutunan Setelah dilakukan
curah jantung asuhan keperawatan 1. Observasi TTV.
berhubungan dengan selama 1 x 24 jam 2. Observasi
adanya perubahan diharapkan penurunan adanya
struktur akut yang curah jantung tidak disritmia, denyut
dapat menyebabkan terjadi, dengan kriteria nadi dan tingkat
iskemia/infark. hasil: cardiac output kesadaran.
meningkat dengan 3. Ukur dan catat
tekanan darah sistolik, nintake output
diastolik dan HR dalam cairan selama 24
batas normal, bunyi jam.
napas tambahan tidak 4. Kolaborasi
ada, analisa gas darah dengan dokter
normal, distensi vena dalam
jugularis tidak ada, pemberian
edema perifer tidak ada, terapi.
denyut perifer kuat dan
teratur, status kognitif
dalam batas normal.
54
Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
No. Diagnosa keperawatan Tanggal/jam Implementasi Respon Evaluasi Tanda
tangan
1. Gangguan rasa nyaman: 16-1-2020 Mengobservasi tanda- Pasien mengatakan: (jam 11.15 wib)
nyeri tangan kanan Jam 11.00 tanda vital setiap jam masih terasa nyeri di S. Pasien mengatakan:
berhubungan dengan wib. dan skala nyeri. tangan kanan dengan tangan kanan masih
terputusnya kontinuitas (jam 11.00 wib) skala nyeri 5/10. terasa nyeri dengan skala
jaringan pada area nyeri 5/10.
puncture pasca tindakan Pasien mengatakan:
PCI. tidak nyeri dada. O. Pasien terlihat tampak
tegang dan meringis,
Tekanan darah 124/82 Tekanan darah 124/82
mmHg, HR. 98 x/menit, mmHg, HR. 98 x/menit,
RR 23 x/menit, saturasi RR 23 x/menit, saturasi
O2 99%. O2 99%.
55
(jam 11.10 wib) Dirasakan hilang timbul. P. Intervensi dilanjutkan.
Perawat menyiapkan
Melakukan kolaborasi obat untuk siang.
“pemberian terapi
sesuai drngan 6 benar.”
(jam 11.20 wib)
2. Resiko terjadi 16-1-2019 Mengkaji keluhan Pasien mengatakan: (jam 13.00 wib)
perdarahan berhubungan Jam 11.00 pasien. (jam 11.00 wib) tidak ada tanda-tanda S. Pasien mengatakan: saat
dengan tindakan invasif wib. perdarahan. ini tidak ada tanda-tanda
PCI dan pemberian
56
antikoagulan. perdarahan dan akan
melaporkan kepada
Mengobservasi tanda- Tekanan darah 123/69 perawat jika ada tanda-
tanda vital. (jam 12.00 mmHg, HR 90 x/menit, tanda perdarahan.
wib) RR 20 x/menit, saturasi
O2 99% O. K/U sedang, kes.
Composmentis, tidak
tampak tanda-tanda
Mengobservasi tanda- Balutan tampak bersih, perdarahan, balutan luka
tanda perdarahan tidak ada rembesan tampak bersih, tidak ada
seperti: gusi berdarah, darah. rembesan darah.
epistaksis, ptekie, Tekanan darah 123/69
hematuri dan kebiruan mmHg, HR 90 x/menit,
pada radialis kanan. RR 20 x/menit, saturasi
(jam 11.10 wib) O2 99%.
3. Resiko penurunan perfusi 16-1-2019 Mengobservasi Respon urin antara jam (jam 13.00 wib)
ginjal sehubungan Jam 12.00 wib
produksi urin untuk 06.00 wib sampai S. –
dengan penggunaan zat mengetahui fungsi dengan jam 12.00 wib O. balance cairan saat ini
kontras. ginjal. (jam 12.00 wib) sebanyak 300 cc. dari jam 06.00 wib
sampai dengan jam
57
13.00 wib 800 cc.
16-1-2020
Kolaborasi dengan Intruksi dokter lasix 2
Jam 12.00 wib dokter karena balance amp IV.
cairan berlebihan. Total intake 1100 cc dan
(jam 12.15 wib) output urine 1000 cc.
58
4. Resiko penurunan curah 16-1-2019 Mengobservasi tanda- Tekanan darah 124/82 (jam 13.30 wib)
jantung berhubungan Jam 13.00 wib tanda vital. mmHg, HR. 98 x/menit, S: Pasien mengatakan: tidak
adanya perubahan (jam 13.00 wib) RR 23 x/menit, saturasi ada keluhan.
struktur akut yang dapat O2 99%.
menyebabkan terjadinya O: K/U sedang, kes.
iskemia/infark. Composmentis, akral
Mengobservasi status Kesadaran pasien hangat, pulsasi arteri
fungsional dan komposmentis. Akral kuat/teratur dan tidak
kesadaran pasien. hangat, pulsasi ada tanda-tanda
(jam 13.00 wib) teratur/kuat penurunan curah
jantung.
59
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang kasus post Primary PCI.
Kasus yang penulis ambil adalah post Primary PCI dengan STEMI
jam 13.00 wib dengan keluhan nyeri dada. Kemudian jam 22.36 wib dilakukan
pengkajian. Pada saat itu pasien masih bedrest di tempat tidur. Pasien
60
tangan kanan. Tanda-tanda vital tekanan darah 123/81 mmHg, Hr 105
puncture pada arteri radialis dextra. Seperti yang kita ketahui arteri
61
Alasan penulis mengangkat diagnosa ini, karena selama
ginjal.
iskemia/infark.
pemberian terapi.
Implementasi
62
mengatasi nyeri, penulis menganjurkan proses distraksi dengan
terjadinya komplikasi.
63
Evaluasi
64
BAB V
5.1. Kesimpulan
1. Perawatan pasien post Primary PCI harus ketat diawasi dengan baik.
2. Sebagai seorang perawat harus mengetahui tanda dan gejala
perdarahan pada pasien post Primary PCI, sehingga perdarahan dapat
diatasi dengan cepat sebelum menimbulkan komplikasi dan bekerja
sama dengan pasien agar pasien patuh bedrest selama 6 jam untuk
mencegah perdarahan.
3. Dalam melakukan pengkajian harus fokus pada masalah yang ada di
pasien.
5.2. Saran
65
2. Untuk Pasien
Sebaiknya pasien dengan post tindakan Primary PCI dapat
mematuhi untuk bedrest total selama 6 jam untuk menghindari terjadinya
perdarahan. Dapat menjaga pola hidup yang sehat, olahraga teratur, makan
obat sesuaii anjuran dokter dan control sesuai jadwal.
5. Untuk Institusi
Diharapkan menyediakan literature yang banyak.
66
DAFTAR PUSTAKA.
Aart J. van der Molen,1 Peter Reimer,2 Ilona A. Dekkers,1 Georg Bongartz,3
Marie-France Bellin,4 Michele Bertolotto,5 Olivier Clement,6 Gertraud
Heinz-Peer,7 Fulvio Stacul,8 Judith A. W. Webb,9 and Henrik S. Thomsen 10.
Agarwal R1, Kusek JW2, Pappas MK1; A randomized trial of intravenous and oral
iron in chronic kidney disease; 2015 Oct;88(4):905-14. doi:
10.1038/ki.2015.163. Epub 2015 Jun 17;
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26083656.
67
Corwin, 2009. Buku Patologi. Jakarta; EGC
Keeley EC, Hillis LD. N Engl J Med. 2014 Jan 4;356(1):47-54. Review. No
abstract available. Primary PCI for myocardial infarction with ST-segment
elevation. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17202455
Michel R. Le May, M.D; 2008, A Citywide Protocol for Primary PCI in ST-
Segment Elevation Myocardial Infarction;
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa073102
68
Price, SA, Wilson, LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2 Ed/6. Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor.
Jakarta: EGC; 2015. BAB 53, Penyakit Serebrovaskular; hal. 1106-1129.
Reny Yuli Aspiani, 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskular; Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
69
0