M DENGAN PERCUTANEUS
CORONARY INTERVENTION ( PCI ) LEFT MAIN - LAD di UNIT INVASIF
KATETERISASI, INSTALASI DIAGNOSTIK INVASIF, INTERVENSI
NON BEDAH dan NON INVASIF RUMAH SAKIT JANTUNG
dan PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA JAKARTA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir dalam mengikuti program
Pelatihan dan Pendidikan Keperawatan Kardiovaskular Lanjutan Rumah
Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
disusun oleh:
instansi:
i
LEMBAR PENGESAHAN
TIM PENGAMPU
ditetapkan di : Jakarta
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
mengetahui:
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan
Pada Tn. M Dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Left Main -
LAD di unit Invasif kateterisasi, Instalasi Diagnostik Invasif, Intervensi Non
Bedah dan Non Invasif Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita Jakarta.
Makalah ini merupakan salah satu tugas akhir sebagai peserta Pelatihan
Keperawatan Kardiovaskular Lanjutan di Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis juga tidak terlepas dari
berbagai kendala. Namun atas dukungan, bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Allah SWT dan Rasul-Nya
2. Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP (K), MARS, FACC, FESC selaku
Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Jakarta
3. Tina Rahmawati, SP., MM sebagai Kepala Instalasi Pendidikan dan
Pelatihan Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta
4. Ns. Tandang, S.Kep, M.Kep selaku kepala unit operasional
pendidikan dan pelatihan rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita
5. Ns. Uyuni Rohmah, S. Kep selaku penanggung jawab program
keperawatan instalasi pendidikan dan pelatihan rumah sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
6. Ns. Emireta Ratri Ingsih, S. Kep. Selaku Kepala Unit Penunjang
Diklat rumah sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
7. Ns. Eka Dwiyati, S.Kep selaku Kepala Instalasi Diagnostik Invasif
dan Intervensi Non-bedah, dan Non-Invasif Rumah Sakit Jantung
iv
dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
8. Ns. Nanang Raharja, S.Kep selaku Kepala Unit Invasif Kateterisasi
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
9. Ns. Agus Susanto, S.Kep., Sp.KV selaku pembimbing di Unit
Invasif Kateterisasi Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Jakarta.
10. Seluruh tim medis, paramedis, dan non-medis instalasi Diagnostik
Invasif dan Intervensi Non-bedah Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
11. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bogor yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pelatihan dan
pendidikan Scrub Nurse Intervensi Non Bedah di instalasi
Diagnostik Invasif dan Intervensi Non-bedah Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
12. Istri dan anak – anak tercinta, serta seluruh keluarga tercinta yang
memberikan dukungan moril dan materiilsetiap saat.
13. Teman-teman seperjuangan Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular
Lanjutan tahun 2022 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita Jakarta.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna untuk itu
penulis menerima masukan yang membangun baik itu kritik maupu saran
dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Jakarta,
Desember 2022
Andika Prastyono
v
DAFTAR ISI
vi
4.1.4 Kontra indikasi Percutaneus Coronary Intervention ( PCI ) ............... 20
4.1.5 Komplikasi Percutaneus Coronary Intervention ( PCI ) ..................... 20
4.1.6 Prosedur Tindakan Percutaneus Coronary Intervention ( PCI ) .......... 22
5.1 Peran Scrube Nurse di Ruang Kateterisasi Jantung ............................... 28
6.1 Konsep Asuhan Keperawatan padaPasien dilakukan PCI .................... ..19
6.1.1 Pengkajian ......................................................................................... 22
6.1.2 Diagnosa Keperawatan Pasien PCI .................................................... 35
6.1.3 Rencana Keperawatan ....................................................................... 36
6.1.4 Implementasi Keperawatan .............................................................. ..44
6.1.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................................ 45
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR SINGKATAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kardiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang
mengalami kemajuan paling pesat dalam kurun waktu 70 tahun terakhir.
Perkembangan ini erat kaitannya dengan kemajuan teknologi pencitraan
terutama di bidang jantung dan pembuluh darah. Kateterisasi jantung sebagai
wujud inovasi teknologi telah berevolusi dari fungsi diagnostik semata sampai
menjadi pusat intervensi dan pengobatan di bidang jantung dan pembuluh darah.
Lebih jauh lagi, kateterisasi jantung juga telah menjadi tempat ajang riset
dengan tujuan untuk menggeser batasan ilmu pengetahuan dalam
mengidentifikasi dan menguji metode-metode terbaru dalam tatalaksana penyakit
jantung dan pembuluh darah. (PERKI, 2018).
Ada beberapa prosedur medis untuk menangani penyakit jantung
koroner. Percutaneous Coronary Intervensi atau PCI jantung salah satu yang
sering menjadi pilihan. PCI jantung adalah penanganan penyakit arteri coroner
yang digunakan untuk membuka penymbatan dalam arteri coroner karena arterus
sklerosis, yakni penumpukan deposit kolesterol disebut plak di arteri. PCI juga
disebut sebagai intervensi coroner perkutan atau angioplasti jantung. Tindakan
ini dilakukan dengan memasukan kateter yakni selang kecil yang fleksibel ke
tubuh menuju arteri jantung yang bermasalah. PCI merupakan tindakan
melebarkan penyempitan di arteri koroner dengan menggunakan balon atau stent.
Diharapkan setelah terapi revaskularisasi ini dilakukan bisa memperbaiki aliran
ke miokard dan meminimalkan komplikasi yang ditimbulkan akibat infark
miokard (Harselia & Putri, 2018). Tindakan dilakukan dengan hanya insisi kulit
(Percutaneous) yang kecil, kemudian dimasukkan kateter ke dalam pembuluh
darah (Transluminal) sampai ke pembuluh koroner, dan dilakukan tindakan
intervensi dengan inflasi balon dan pemasangan stent (Coronary Angioplasty)
agar melebarkan pembuluh darah koroner kembali (Pratiwi & Saragi, 2018).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
6
Gambar 1.1 Gambar aterosklerosis
Penyebab Infark Miokard Akut (IMA) paling sering adalah oklusi lengkap
atau hampir lengkap dari arteri koroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak
aterosklerosis yang rentan dan diikuti oleh pembentukan trombus. ruptur plak dapat
dipicu oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain
karakteristik plak, seperti ukuran dan konsistensi dari inti lipid dan ketebalasan
lapisan fibrosa serta kondisi bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status
koagulasi dan derajat vasokontriksi arteri. Plak yang paling rentan sering terjadi
pada area dengan stenosis kurang dari 70% dan ditandai dengan bentuk yang
eksentrik dengan batas tidak teratur; inti lipid yang besar dantipis, dan pelapis
fibrosa yang tipis. Faktor eksternal berasal dari aktifitas klien atau kondisi eksternal
yang mempengaruhi klien. Aktifitas fisik beratdan stres emosional berat, seperti
kemarahan serta peningkatan respon sistem saraf simpatis dapat menyebabkan
ruptur plak. Pada waktu yang sama respon sistem saraf simpatis meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium. Kejadian koroner akut terjadi lebih sering dengan
paparan terhadap dingindan pada waktu-waktu pagi hari.
2.1.3 Patofisiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI,
2018) sebagian besar PJK yang dimanifestasikan dalam sindrom koroner akut
7
(SKA) adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang
koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan
aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam,
anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya
SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI, 2018).
8
PJK yang lebih tinggi. Peningkatan risiko ini terkait dengan predisposisi genetik
pada hipertensi, peningkatan lemak darah, diabetes, dan obesitas yang
meningkatkatkan risiko PJK.
2.Usia.
Pertambahan usia mempengaruhi risiko dan keparahan PJK. PJK
simtomatis tampaknya lebih banyak pada orang berusia lebih dari 40 tahun, dan
4dari 5 orang yang meninggal karena PJK berusia 65 tahun atau lebih.angina
dan infark miokardium dapat terjadi pada seseorang yang berusia 30-an dan
bahkan 20-an. Pada usia yang lebih tua, wanita yang mengalami serangan
jantung memiliki kemungkinan kematian akibat serangan jantung dua kali lebih
besar dibandingkan pria.
3.Jenis kelamin
Morbiditas akibat PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan dan kondis ini hampir 10 tahun lebih pada laki-laki daripada
perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah
monopouse. insidensi PJK meningkat dengan cepat sebanding dengan insidensi
pada laki-laki. Perokok mengalami monopause lebih dini daripada bukan
perokok.
9
2. Hipertensi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung dengan
meningkatkan after load, memperbesar dan melemahkan ventrikel kiri dari
waktu kewaktu. Semakin tekanan darah naik, risiko peristiwa kardiovaskuler
serius juga meningkat.
3. Peningkatan kolesterol serum
Risiko PJK meningkat dengan peningkatan kadar kolesterol darah. Risiko
meningkat lebih banyak apabila terdapat faktor resiko lain. Pada orang dewasa
kadar kolesterol total sebesar 240 mg/dl diklasifikasikan tinggi dan kadar
kolesterol total 200-239 mg/dl diklasifikasikan sebagai batas atas. Pada usia
muda dan pertengahan, pria memiliki kadar kolesterol yang lebih tinggi. Pada
wanita kadar kolesterol terus meningkat sampai usia 70 tahun. Kolesterol
bersirkulasi di darah dalam kombinasi dengan trigliserida dan fosfolipid terikat
protein, komplek ini disebut lipoprotein. Peningkatan lipoprotein ini disebut
sebagai hiperlipidemia. Terdapat 4 bentuk lipoprotein dan fungsinya :
a. Kilomikrom terutama mengangkut trigliserida dan kolesterol dari makanan
b. VLDL (very low density lipoprotein) terutama mengangkut trigliserida yang
disintesis oleh hati
c. LDL (low density lipoprotein) memiliki konstentrasi kolesterol yang paling
tinggi dan mengangkut kolesterol endogen ke sel-sel tubuh
d. HDL (high density lipoorotein) memiliki konsentrasi kolesterol paling
rendah dan mengangkut kolesterol endogen ke sel-sel tubuh. Orang dengan
rasio kadar HDL/LDL yang tinggi memiliki risiko untuk PJK yang lebih
rendah, dibandingkan orang dengan rasio HDL/LDL yang rendah.
Konsentrasi tinggi HDL tampaknya memiliki efek perlindungan terhadap
perkembangan PJK.
4.Obesitas
Obesitas menambah beban ekstra pada jantung, memaksa otot jantung
bekerja lebih keras untuk memompa dan untuk mengantarkan darah ke jaringan.
Obesitas juga meningkatkan risiko PJK karena sering berhubungan dengan
peningkatan kolesterol serum dan kadar trigliserida, tekanan darah yang tinggi
10
dan diabetes.
5.Diabetes
Faktor yang berperan pada peningkatan ini antara lain peningkatan
frekuensi obesitas dan gaya hidup pasif. Kadar glukosa darah puasa lebih dari
126 mg/dl atau kadar glikosa darah sewaktu 180 mg/dl menandai adanya
diabetes dan mencerminkan adanya peningkatan risiko PJK. Klien dengan
diabetes memiliko risiko 2-4 kali lebih tinggi terhadap pravalensi, insiden, dan
mortalitias akibat semua bentuk PJK.
2.1.5 Klasifikasi
11
tanpa perubahan (PERKI, 2018).
c. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian
infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka
jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka
diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-
Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut,
nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit
melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN) (PERKI, 2018). Jika
pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan
EKG tetap menunjukkan gambaran non diagnostik sementara keluhan angina
sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang
tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang (PERKI, 2018)
Tanda dan gejala PJK mencakup (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017) :
a. Angina, yang merupakan tanda klasik PJK.
Tanda ini terjadi karena penurunan pasukan oksigen ke dalam miokardium.
Tanda angina dapat diungkapkan pasien sebagai rasa nyeri seperti terbakar,
tertekan, atau terasa berat pada dada, yang dapat menjalar ke lengan kiri,
leher, rahang atau scapula kiri. Tidak semua pasien mengalami angina dengan
cara yang sama. Sebagian pasien, khususnya wanita, bisa saja tidak
mengalami ketidaknyamanan pada dada. Gejala utamanya mungkin berupa
dyspnea (rasa sesak) dan keletihan. Keadaan ini dinamakan ekuivalen angina.
Pasien diabetes dapat mengalami neuropati sentral sehingga tidak merasa
nyeri dada. Tanda- tanda stimulasi saraf simpatik dapat menjadi gejala angina
primer pada pasien diabetes.
12
Tipe-tipe angina, sebagai berikut :
1. Angina yang stabil (stable angina) : frekuensi serta durasi nyeri dapat
diperkirakan dan nyeri tersebut akan reda dengan istirahat dan pemberian
nitrogliserin. Secara klinis beratnya AP menggambarkan beratnya iskemik
otot jantung yang melayani oleh pasien. Untuk itu diperlukan gradasi
beratnya AP yang berguna untuk penatalaksanaan selanjutnya dan juga
sebagai prediktor dari prognosis pasien yang mengalami AP. Klasifikasi
derajat angina sesuai "Canadian Cardiovascular Society" (CCS) sebagai
berikut (PERKI, 2016) :
a) CCS Kelas 1: Keluhan angina terjadi saat aktifitas berat yang lama
b) CCS Kelas 2: Keluhan angina terjadi saat aktifitas yang lebih berat
dari aktifitas sehari-hari
c) CCS Kelas 3: Keluhan angina terjadi saat aktifitas sehari-hari
d) CCS Kelas 4: Keluhan angina terjadi saat istirahat .
2. Angina yang tidak stabil (unstable angina) : frekuensi serta durasi nyeri
makin meningkat dan serangan nyeri makin mudah ditimbulkan, angina
yang tidak stabil menunjukkan penyakit arteri koronaria makin parah,
yang dapat berlanjut menjadi infark miokard
a) Angina prinzmetal atau variant angina : nyeri disebabkan oleh spasme
arteri koronaria, serangan nyeri ini dapat terjadi spontan dan dapat tidak
berhubungan dengan aktivitas fisik atau stres emosi.
b) Angina mikrovaskuler : kerusakan cadangan vasodilator menyebabkan
nyeri dada yang mirip angina pada individu yang memiliki arteri
koronaria yang normal
c. Mual dan muntah sebagai akibat stimulasi reflex oleh rasa nyeri pada
pusat muntah
d. Ekstremitas dingin dan kulit pucat akibat stimulasi saraf simpatik
e. Diaforesis akibat stimulasi saraf simpatik
f. PJK dapat bersifat asimtomatik pada lanjut usia (lansia) karena
penurunan respon saraf simpatik. Dispnea dan keletihan merupakan dua
sinyal penting yang menandai iskemia pada orang tua yang aktif.
13
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal non diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi yaitu normal, non diagnostik, Left bundle branch blok (LBBB),
elevasi segment ST atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T. Penilaian elevasi segment ST dilakukan pada titik “J” dan
ditemukan sadapan yang bersebelahan. (PERKI, 2018).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka
nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab coroner / non
koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak non
koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis / perikarditis. Keadaan non kardiak yang dapat meningkatkan
kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik
akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T
14
(PERKI, 2018).
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang
6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal menyebabkan
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. di samping biomarka
jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin,
gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan
lipid. (PERKI, 2018)
3. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding ventrikel kiri
dapat terlihat saat iskemia menghilang. Selain itu diagnosis banding seperti
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik atau diseksi aorta dapat dideteksi
melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal harus tersedia diruang gawat darurat dan dilakukan
secara rutin dan sesegera mungkin pada pasien tersangka SKA.
4. Pemeriksaan Invasif (angiografi koroner)
Angiografi koroner memberikan informasi tingkat keberadaan dan
tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan
diagnostik pada pasien resiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas.
Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleks sangat
penting pada pasien yang sedang menjalani gejala atau peningkatan troponin
namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah multipel dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri
yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskuler yang serius.
15
Penemuan angiografi yang khas antra lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakan yang kabur dan filling defect yang mengesankan adanya
trombus intrakoroner.
5. Pemeriksaaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang
gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di
ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta
(PERKI, 2018).
6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI membantu mengientifikasi lokasi dan luas dari MI, menilai efek
dari terapi reperfusi dan membedakan cedera jaringan yang reversibel dan
ireversibel. Penggunaannya sebagai alat diagnosis untuk penyakt arteri koroner
semakin meningkat.
Ada 2 arteri koroner utama yang keluar dari aorta, yaitu arteri koroner kiri
16
dan arteri koroner kanan. Penyumbatan aliran darah pembuluh koroner akan
berakibat pada kematian miokard, yang merupakan dasar patogenesis infark
miokard akut.
Arteri Koroner Kiri Utama / Left Main (LM) Arteri koroner kiri utama yang
lebih popular dengan sebutan Left Main (LM), keluar dari sinus aorta kiri;
kemudian segera bercabang dua menjadi arteri Left Anterior Descending (LAD)
dan Left Cirumflex (LCX). Arteri LM berjalan diantara alur keluar ventrikel
kanan (right ventricle outflow tract) yang teletak di depannya, dan atrium kiri
dibelakangnya; baru kemudian bercabang menjadi arteri LAD dan arteri LCX.
Arteri Left Anterior Descending (LAD) Arteri LAD berjalan di parit
interventrikular depan sampai ke apeks jantung. Arteri ini mensuplai bagian
depan septum melalui cabang-cabang septal dan bagian depan ventrikuler kiri
melalui cabang-cabang diagonal, sebagian besar ventrikel kiri dan juga berkas
Antrio - Ventrikular. Cabang-cabang diagonal keluar dari arteri LAD dan
berjalan menyamping mensuplai dinding antero lateral ventrikel kiri; cabang
diagonal bisa lebih dari satu.
Arteri Left Circumflex (LCX) berjalan di parit atrioventrikular kiri diantara
atrium kiri dan ventrikel kiri dan mensuplai dinding samping ventrikel kiri
melalui cabang-cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M1, M2, dst).
17
Pada umumnya arteri LCX berakhir sebagai cabang obtuse marginal, namum
pada 10 % kasus mempunyai sirkulasi dominan kiri maka arteri LCX juga
mensuplai cabang “posterior descending artery” (PDA).
Arteri Koroner Kanan/ Right Coronary Artery (RCA) Arteri koroner kanan
keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam parit atrioventrikular kanan
diantara atrium kanan dan ventrikel kanan menuju ke bagian bawah dari septum.
Pada 50-60% kasus, cabang pertama dari RCA adalah cabang conus yang kecil
yang mensuplai alur keluar ventrikel kanan. Pada 20-30 % kasus, cabang conus
muncul langsung dari aorta. Cabang sinus node pada 60% kasus keluar sebagai
cabang kedua dari RCA dan berjalan ke belakang mensuplai SA- node. (Pada
40% kasus cabang ini keluar dari arteri LCX). Cabang-cabang yang berjalan
diagonal dan mengarah ke depan dan mensuplai dinding depan ventrikel kanan.
Selanjutnya adalah cabang acute marginal (AM) dan berjalan di tepi ventrikel
kanan diatas diafragma. RCA berlanjut ke belakang berjalan di dalam parit
atrioventrikular dan bercabang arteri AV node. Pada 65% kasus, cabang Posterior
Descending Artery (PDA) keluar dari RCA (sirkulasi dominan kanan). Cabang
PDA mensuplai dinding bawah ventrikuler kiri dan bagian bawah septum.
19
antara kebutuhan dan suplai oksigen miokard yang ditandai oleh rasa
nyeri yang terjadi jika kebutuhan oksigen miokardium melebihi
suplainya. Iskemia Miokard dapat bersifat asimtomatis (Iskemia
Sunyi/Silent Ischemia), terutama pada pasien diabetes.
Rekomendasi Kelas
20
4.1.4 Kontra indikasi Percutaneus Coronary Intervention ( PCI )
21
peningkatan Risiko kolaps kardiovaskuler selama PCI diantaranya:
LVEF kurang dari 25%, diameter stenosis koroner, CAD multivessel,
dan diffuse disease pada segmen yang sudah dilebarkan
3) Acuity of presentation: Risiko kejadian infark miokard post PCI
meningkat pada pasien yang menjalani Primary PCI pada infark
miokard akut dibandingkan dengan angina stabil atau tidak stabil
b. Komplikasi SelamaTindakan
1) Komplikasi Arteri Koroner: Diseksi dan penutupan pembuluh darah
mendadak setelah PCI (acute vessel closure). Kematian pasien saat
PCI elektif kebanyakan berkaitan dengan menutupnya pembuluh
darah secara mendadak sehingga menyebabkan kegagalan fungsi
ventrikel kiri dan hemodinamik tidak stabil. Risiko tersebut
meningkat seiring dengan kompleksitaslesi
2) Intramural Hematoma
22
3) Perforasi: Disebabkan oleh balon yang terlalu besar, rupture balon,
terapi laser, rotablasi, atau guidewire yang keluar
4) Emboli Udara: Terjadinya emboli udara pada PCI cukup berbahaya.
Data retrospektif menunjukkan emboli udara disebabkan tehnik
yang tidak tepat
5) Stent gagal mengembang (Failure of Stent Deployment) dan stent
thrombosis
6) Spasme Koroner : Vasospasme arteri koroner pada konteks PCI
adalah mengecilnya lumen arteri sementara > 50% dan reversible
serta respon terhadap pemberian nitrat. Spasme koroner yang berat
bisa mengganggu TIMI flow, dan sering berkaitan dengan cedera
pembuluh darah (diseksi, thrombus danperforasi).
1) Persiapan Pasien
Sign In (saat pasien masuk ruangan tindakan): memeriksa identitas pasien,
prosedur dan sisi yang dioperasi sudah benar, persetujuan tindakan sudah
lengkap, pemantauan hemodinamik berjalan baik, dan risiko selama
tindakan.Time Out (sebelum Anastesi lokal): tim memperkenalkan diri dan
peran masing- masing.
a) Dokter operator
Bertanggung jawab pada keseluruhan prosedur. Dimulai dari pemilihan
akses, pemilihan alat dan obat-obatan yang digunakan
b) Perawat scrub
Bertanggung jawab mengsukseskan proses tindakan dan dalam tim
sebagai asisten operator untuk melakukan preparasi desinfektan,
persiapan peralatan dan membantu operator selama intra prosedur
23
c) Perawat sirkular
Bertanggung jawab diluar lingkungan steril operator dan perawat scrub
untuk menyediakan seluruh kebutuhan operator dan perawat scrub.
Berperan sebagai pemberi asuhan selama perioperatif
d) Radiografer
Bertanggung jawab pada kesiapan alat (C-arm) untuk bias digunakan,
mengoperasikan peralatan selama intraprosedur dan berkolaborasi
dengan operator untuk pemilihan media kontras sesuai dengan fungsi
ginjal pasien
e) Teknisi kardiovaskular
Bertanggung jawab pada persiapan dan penggunaan alat monitoring
hemodinamik, serta peralatan-peralatan lainnya yang dibutuhkan
keahlian khusus seperti prosedur Intravascular Ultrasound (IVUS),
Instant Wave-Free Ratio (iFR), Fractional Flow Reserve (FFR), Optical
Coherence Tomography (OCT) dan lainnya.
2) Pemilihan arteri
Pemilihan arteri bergantung pada beberapa faktor, seperti keahlian
operator, kondisi fisik pasien, status antikoagulasi dan kondisi pembuluh
darah perifer. Arteri yang dapat dipilih, antara lain:
a) Arteri femoralis, diindikasikan pada evaluasi graft pada pasien paska
bypass koroner (Coronary Artery Bypass Graft).
b) Arteri radialis atau brakialis : Dibandingkan dengan arteri brakialis,
arteri radialis lebih sering dipilih karena terletak di superfisial sehingga
mudah didapat dan meminimalkan perdarahan. Letaknya juga jauh dari
vena dan saraf.
c) Persiapan Alat
Alat yang dipersiapkan tergantung pada area punksi termasuk
pada pemilihan sheath, wire dan kateter diagnostik. Ukuran sheath bila
dilakukan di arteri radialis cenderung lebih kecil dibandingkan di arteri
femoralis.AHA (2018) merekomendasikan pemakaian J-wire 0.035
24
sebagai guide wire dibandingkan dengan angled-wire berhubungan
dengan minimal kontak dengan tunika intima yang dapat dihubungkan
dengan trauma pada pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Kateter
Intervnesi atau guide kateter pilihan pada akses radial berupa GC JR, JL,
XB, AL dan IL.Alat-alat selanjutnya terdiri dari spuit 1 cc untuk NGT 1
pcs, spuit 3 cc untuk anastesi lokal Lidocain 1 pcs, spuit 1 cc untuk injek
kontras 1pcs, spuit 20 cc untuk flushing 2 pcs, extention panjang 1 pcs,
manifold 1 pcs, y conector 1 pcs, sheat sesuai ukuran 1 pcs, bloodset 1
pcs, jarum functure 1 pcs (bila akses femoral), plastik 4 pcs, wire
koroner sesuai kebutuhan dan ukuran minimal 1 pcs, indeflator 1 pcs,
balon koroner sesuai kebutuhan dan jenis minimal 1 pcs, stent koroner
sesuai kebutuhan dan ukuran minimal 1 pcs, balon NC koroner sesuai
kebutuhan dan ukuran minimal 1 pcs dan nichiban untuk post tindakan
akses radial.
25
angiografi koroner dengan akses arteri radialis dan pasien dengan risiko
tinggi komplikasi tromboemboli). Penelitian lain menyebutkan bahwa
risiko terjadi perdarahan rendah apabila heparin diberikan < 85 unit /
KgBB
c) Vasodilator
Diberikan pada pasien dengan akses arteri radialis untuk
mencegah spasme arteri. Dosis yang diberikan adalah 200- 400 mcg
intra rterial. Perawat perlu memperhatikan kontraindikasi diberikan
vasodilator.
4) Media Kontras
Zat kontras yang diberikan melalui intravena. Saat kontras
diinjeksikan ke dalam aliran darah, kontras akan bersirkulasi ke seluruh
tubuh. Sinar x-ray akan melemah saat melalui pembuluh darah atau organ
yang mendapatkan zat kontras. Struktur dari pembuluh darah dan organ
tersebut tergambarkan sebagai area berwarna putih pada pencitraan
tomografi komputer. Ginjal akan mengeliminasi zat kontras dari dalam
tubuh setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Berdasarkan osmolaritasnya
media kontras intravena dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a) High Osmolality Contrast Media (HOCM)
Kontras jenis ini memiliki osmolaritas 1500-2000mOsm/L. Contoh dari
kontras osmolaritas tinggi adalah diatrizoate, meglumine, dan metrizoate
b) Low Osmolality Contrast Media (LOCM)
Kontras jenis ini memiliki osmolaritas 600-1000 mOsm/L. Terbagi
menjadi dua macam zat kontras yang tidak terion seperti iohexol,
ioversol, iopromide dan iopamidol dan jenis yang terion seperti ioxaglate
dimmer
c) Iso Osmolality Contrast Media
Kontras jenis ini memiliki orsmolaritas 280-290 mOsm/L contohnya
iodixanol dan iotrolan.
26
a. Prosedur Intra (Prosedur Intervensi PCI)
Menurut PERKI (2018) tenaga yang berperan sebagai team dalam
tindakan PCI adalah sebagai berikut :
1) Satu orang Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) intervensi
2) Satu orang scrub, berperan sebagai perawat steril yang menfasilitasi dan
sebagai asisten dokter SpJP saat melakukan intervensi
3) Satu orang sirkuler
a) Serah terima pasien lengkap dengan file sesuai check list pre
angiography
b) Menyiapkan pasien
c) Memberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan sebelum
memasuki ruangan tindakan
d) Membantu kelancaran selama jalanya tindakan
e) Memonitor tanda-tanda vital selama tindakan
f) Mencatatkan pemakaian alkes yang terpakai selama tindakan
g) Membantu segala sesuatu yang dibutuhkan dokter dan scrub saat
tindakan.
4) Satu orang radiografer
a) Input data pasien
b) Membantu kelancaran tindakan
c) Map besar untuk arsip laporan hasil cath/ PCI, report selama tindakan
berlangsung (pada map sudah ada tulisan: Nama pasien, umur, dokter,
jenis tindakan, tanggal dan nomorID)
5) Satu Orang monitor hemodinamik
a) Memonitor haemodinamik pasien
b) Mencatat tahapan tahapan prosedur tindakan
c) Mencatat obat obat yang diberikan.
27
2) Observasi tanda-tanda vital dan status neurovaskular pada distalarea
puncture selama pemulihan
3) Observasi perdarahan di sekitar area tusukan
4) Observasi tanda-tanda dan efek samping zat kontras yaitu
a) Observasi tanda-tanda alergi kontras seperti gatal-gatal, menggigil, mual
dan muntah
b) Observasi tanda hipotensi dan perubahan tanda vital
c) Pemberian cairan/volume peroral/parenteral, Ukur cairan yang masuk
dan keluar.
5) Observasi tanda-tanda infeksi meliputi:
a) Observasi daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptik/septik
b) Selalu menjaga kesterilan area penusukan
6) Observasi adanya perubahan warna, suhu pada luka tusukan
7) Berikan hidrasi peroral 1-2 Liter dalam 6 jam pertama jika tidak ada
kontraindikasi
8) Lanjutkan program hidrasi 1cc/kgbb/jam dalam 6-12 jam post prosedur atau
sesuai instruksi medis
9) Pantau urine output
10) Lakukan pencabutan Band (TR-Band) pada pergelangan tangan kanan.
a) Jika pasien menggunakan dosis heparin < 50 unit/ KgBB TR Band dapat
dilepas dalam waktu 60 menit. Jika dosis heparin> 50 Kg/BB TR Band
dapat dilepas dalam waktu 120 menit
b) Tempatkan Pulse oksimeter pada ibu jari untuk memastikan patent
hemostasis
c) Kempiskan udara 3-5 mL tiap 10-15 menit
d) Jika terjadi perdarahan kembangkan balon hingga perdarahan berhenti
dan tunggu 15-30 menit
e) Ulangi langkah diatas hingga perdahan berhenti
f) Jika perdarahan telah berhenti berikan balutan kassa kering dengan
tekanan yang gentle. AHA (2018) dalam publikasi jurnalnya menuliskan
bahwa weaning protokol dengan mempertahankan patent hemostasis
28
minimal 60 menit setelah tindakan diagnotik dan 120-180 menit setelah
tindakan PCI. Risiko perdarahan dan rekompresi menurun seiring
dengan lamanya waktu kompresi. 1.2 % kompresi selama 4 jam, 3.7 %
kompresi selama 3 jam, 5.5 % kompresi selama 2 jam, dan 8.4 %
kompresi selama 1.5 jam.
11) Klien paska prosedur diagnostik dapat dipulangkan setelah menjalani
pemantauan minimal 2-6 jam dan dapar dilanjutkan perawatan sesuai
indikasi
12) Klien paska prosedur intervensi dapat dipulangkan setelah menjalani
pemantauan minimal 6-12 jam dan dapat dilanjutkan perawatan sesuai
indikasi.
13) Berikan penkes pada pasien:
Khusus untuk pasien yang di lakukan tindakan melalui arteri radialis:
a) Anjurkan untuk tidak mengangkat beban lebih dari 5 kg selama 1
minggu untuk menghindari perdarahan pada pergelangan tangan pasca
akses penusukan
b) Anjurkan tidak mengendarai mobil, kendaraan bermotor dan bersepeda
selama 5 hari
c) Beritahu perawat atau dokter bila terjadi keluhan berhubungan dengan
gangguan sirkulasi
d) Buka bebat elastis dan ganti dengan plester biasa setelah 24 jam
pemasangan elastikon
e) Bila ada hematoma dan perdarahan segera hubungi dokter atau perawat
dan langsung ke rumah sakit.
Perawat scrub atau asisten scrub, berdiri di meja dengan ahli jantung,
membantu dengan sisi instrumental dari prosedur. Ia harus memiliki pengetahuan
menyeluruh tentang teknik bedah steril untuk mengurangi kemungkinan proses
infeksi. Mereka harus mencuci tangan sampai siku sebelum setiap prosedur,
mengenakan gaun bedah, dan memakai sarung tangan steril. Asisten scrub
29
menyiram kateter, kabel pemandu, dan peralatan invasif lainnya yang dapat
digunakan di dalam sistem peredaran darah. Mereka juga membantu dengan
pertukaran kateter, kabel, dan perangkat lainnya. juga dapat menyuntikkan obat-
obatan seperti nitrogliserin, heparin, penghambat trombosit IIB-IIIA, dan obat lain
melalui kateter. (Sandy & kenneth, 2011).
Perawat scrub atau asisten scrub dapat berperan sebagai asisten operator dan
tugas lain yang diperlukan dalam prosedur kateterisasi jantung.(PERKI, 2018).
Peran perawat scrub diperlukan di meja pasien umtuk membantu dokter
dengan semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam kateterisasi,
membantu dalam pertukaran kateter dan manuver khusus lainnya.(Kern, 2016)
31
Menurut Kini & Rajamanickham (2014) faktor risiko CIN terdiri dari:
32
2) Diabetes Melitus
Pada suatu studi, CIN terjadi pada 27% penderita DM dengan nilai
kreatinin serum dasar 2,0-4,0 mg/dL dan 81% pada penderita dengan
kreatinin serum >4,0 mg/dL (Mehran dkk, 2006). DM merupakan
independen prediktor lainnya yang kuat untuk terjadinya CIN setelah
intervensi koroner. Insiden CIN pada penderita DM berkisar antara 5,7
sampai 29,4% (Mehran dkk, 2006). Penderita DM dengan nilai kreatinin
serum normal yang dilakukan intervensi koroner dan didapatkan hasil
bahwa pada penderita tersebut terjadi peningkatan resiko untuk timbulnya
CIN. Walaupun resiko CIN pada penderita DM dengan fungsi ginjal
normal adalah rendah, namun apabila juga disertai dengan penyakit ginjal
kronik, resiko terjadinya CIN menjadi tinggi dan sebaiknya tindakan
profilaksis CIN dilakukan (Ultramari dkk, 2016) jika fungsi ginjal normal
atau terjadi gangguan ringan (kreatinin serum < 2 mg/dL), resiko terjadiya
CIN pada penderita DM adalah 4,1% atau dua kali dibandingkan pada non
DM.
3) Usia Lanjut
Alasan yang mungkin menyebabkan terjadi insiden CIN yang
tinggi pada usia tua adalah perubahan-perubahan oleh usia seperti lebih
dominannya vasokonstriksi renal dibandingkan vasodilatasi, sulitnya untuk
akses vasular oleh karena pembuluh darah yang berkelok-kelok, kalsifikasi
pada pembuluh darah sehingga membutuhkan jumlah kontras yang lebih
banyak dan gangguan pada sintesis prostaglandin . Pada suatu studi
prospektif terhadap 183 penderita dengan usia tua yaitu >70 tahun yang
menjalani intervensi koroner didapatkan 11% menderita CIN
. Studi lainnya menunjukkan CIN terjadi 17% pada usia>60 tahun
dibandingkan 4% pada usia yang lebih muda.
4) Hipertensi
Hipertensi telah dikategorikan menjadi faktor resiko terjadinya CIN
pada beberapa penelitian.Penjelasan hipertensi menjadi faktor resiko CIN
33
adalah gangguan pelepasan mediator-mediator vasoaktif intrarenal seperti
sistem rennin angiotensin. Berkurangnya jumlah nefron ginjal juga juga
merupakan predisposisi penderita hipertensi untuk terjadi CIN .Studi yang
dilakukan terhadap 1382 sampel yang menjalani intervensi koroner
dengan hipotesa hipertensi sebagai faktor resiko independen terjadinya
CIN pada penderita yang menjalani PCI. Dan dari hasil studi didapatkan
hasil yang sesuai dengan hipotesa tersebut.
34
atau low-osmolar iodinated contrast media, dibandingkan dengan
menggunakan high osmolar iodinated contrast media pada pasien
dengan peningkatan resiko CIN.
1. Iso-osmolar Iodinated contast media, direkomendasikan untuk pasien:
a. Semua pasien dalam katagori high risk (eGFR < 30ml/menit)
b. Pasien yang menjalani dialysis
c. Moderate Risk (e GFR < 60 ml/menit) pada pasien yang
menjalani prosedur intra arterial.
2. Gunakan media kontras dengan osmolaritas paling rendah bila
memungkinkan untuk pasien – pasien dengan resiko CIN.
Umumnya penggunaan agen kontras iso-osmolar lebih aman
dan mengarah untuk menurunkan angka kejadian CIN pada pasien
dengan risiko tinggi kerusakan ginjal akut . Namun, mungkin tidak
diberlakukan pada semua pasien. Konsensus ahli tentang masalah ini
masih kurang . Selanjutnya , media iso - osmolar umumnya memiliki
viskositas yang lebih tinggi daripada jenis monomer rendah osmolar
mereka. Oleh karena itu , media ini harus di hangatkan (prewarmed)
sebelum infus , yang nyata menurunkan viskositas.
Menurut Heyman dkk (2017), dosis maksimal penggunaan
media kontras yang dapat menurunkan insiden CIN hingga 90%
adalah:
35
Skor nilai risiko terjadinya CIN menurut (Mehran, 2016
dalam Kern, 2018)
6.1.2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul pada Pasien PCI (SDKI
DPP PPNI 2017)
a. Ansietas
b. Nyeri akut
c. Risiko perdarahan
d. Penurunan curah jantung
e. Risiko infeksi
f. Risiko perfusi renal tidak efektif
g. Risiko perfusi perifer tidak efektif.
h. Risiko perfusi miokard tidak efektif
36
6.1.3 Rencana Keperawatan
Tabel 6.1 Rencana Keperawatan
No Diagnosa Luaran Intervensi
1. Ansietas Ekspektasi : Observasi :
Menurun
− Identifikasi tingkat
Kriteria Hasil
kecemasan
− Verbalisasi
− Jelaskan semua prosedur
kebingunan
dan apa yang dirasakan
− Verbalisasi selama prosedur
khawatir akibat
− Temani pasien untuk
Kondisi yang
memberikan keamanan
dihadapi
dan mengurangi takut
− Perilaku gelisah
− Dorong keluarga untuk
− Perilaku tegang menemani pasien
− Ajarkan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
− Ajarkan pasien
mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
Kolaborasi :
37
2. Nyeri akut Ekspektasi : Manajemen Nyeri
Menurun Observasi
Kriteria Hasil
− Identifikasi lokasi,
− Keluhan nyeri karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
− Meringis
intensitas, skala nyeri
− Sikap protektif serta respon nonverbal
nyeri,
− Gelisah
− Identifikasi faktor yang
− Kesulitan tidur
memperberat dan
− Tekanan darah memperingan nyeri
Dengan kriteria hasil
1 (Meningkat), − Monitor efek samping
pemberian analgetik
1 (Cukup meningkat),
Terapeutik
2 (sedang),
3 (Cukup menurun), − Berikan teknik non
4 (Menurun) farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
− Frekuensi nadi
(mis TENS, hipnosis,
− Pola tidur kompres hangat/ dingin,
Dengan kriteria hasil terapi bermain, terapi
1 (Memburuk), musik, biofeedback, terapi
1 (Cukup memburuk), pijat, aroma terapi, teknik
2 ( Sedang), imajinasi terbimbing)
3 (Cukup membaik)
4 (Membaik) − Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
− Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
− Jelaskan strategi
meredakan nyeri
− Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
− Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
− Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu.
Kolaborasi :
− Kolaborasi pemeberian
obat pengontrol
perdarahan, jika perlu.
41
3 (Sedang)
4 (Cukup membaik),
5 (Membaik)
42
1 (menurun) pengisian kapiler, warna,
2 (Cukup menurun) suhu, ankle brachial indek)
3 (sedang), − Identifikasi factor Risiko
4 (Cukup meningkat), gangguan sirkulasi
5 (Meningkat) (diabetes, hipertensi,
− Warna kulit pucat perokok, kadar kolesterol
− Edema perifer tinggi)
− Nyeri ekstermitas − Monitor panas,kemerahan,
Dengan kriteria hasil nyeri atau bengkak pada
1 (meningkat), ektermitas
2 (Cukup meningkat),
3 (sedang), Terapeutik
4 (Cukup menurun), − Hindari pengukuran
5 (Menurun) tekanan darah pada
− Pengisian kapiler ekstermitas dengan
− Akral keterbatasan perfusi
− Turgor kulit − Pencegahan infeksi
− Tekanan darah − Hidrasi
sistolik dan diastolic
Dengan kriteria hasil Edukasi
1 (memburuk), − Anjurkan berhenti
2 (Cukup memburuk), merokok
3 (sedang), − Anjurkan berolahraga
4 (Cukup membaik), rutin
5 (Membaik) − Anjuran menggunakan
obat penurun tekanan
darah, antikoagulan,
penurun kolesterol jika
perlu
− Anjurkan minum obat
secara teratur
− Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi (rnadah lemak
jenuh, minyak ikan, omega
3)
− Informasikan tanda dan
gejala yang harus
dilaporkan (Rasa sakit
yang tidak hilang, hilang
43
rasa, luka yang tidak
sembuh).
Edukasi
- Anjurkan berhenti
merokok
- Anjurkan minum obat
anti koagulan sesuai
dengan waktu dan dosis
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
anti koagulan dosis
rendah atau antiplatelet
dosis tinggi ( misal
heparin, clopidogrel,
warfarin, aspirin,
dipyridamole, dektran)
jika perlu
- Kolaborasi dalam
pemberian anti aritmia,
jika perlu
44
Terapeutik
- Berikan diet jantung yang
sesuai
45
6.1.5 Evaluasi Keperawatan
47
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 70 tahun 8 Bulan (01-03-1952)
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : S1
Status Perkawinan : Kawin
NO RM : 2022 – 52 – 27 – 73
Jaminan : BPJS
Alamat : Lampung
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Diagnosa pre tindakan : UAP dd NSTEMI CHF fc II - III ( EF 32 % ) pada CAD 1 VD
+ LM Desease, DM Type II
Tanggal Masuk Cathlab : 02 November 2022 Jam 14.00 Wib
Tanggal pengkajian : 02 November 2022 Jam 14.15 Wib
49
3.1.10 Pemeriksaan Dada :
Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, tidak disertai bunyi tambahan seperti mur-mur dan gallop.
Bunyi nafas vesikuler, tidak ada bunyi nafas tambahan, gerakan dinding dada simetris
kanan kiri
3.1.11 Abdomen
Supel, bising usus normal, tidak ada nyeri tekan, asites tidak ada, tidak ada muntah darah
3.1.12 Ekstremitas
Tidak ada oedem, akral hangat, CRT < 2 detik, pulsasi radialis kanan dan kiri adekuat,
pulsasi dorsalis pedis kanan dan kiri adekuat. Terpasang infus di tangan kiri.
50
3.2 TERAPI OBAT-OBATAN
Tabel 3.1 Terapi Pengobatan Pasien
Nama obat Frekuensi Quantity
Miniaspi 80 mg tab 1 1
Clopidogrel 75 mg tab 1 1
Furosemide tab 40 mg tab 1 1
Simvastatin 20 mg tab 1 1
Metformin tab 500 mg tab ( 3 1
stop 1 hari sebelum tindakan )
V-Bloc 3,125 mg tab 1 1
Lansoprazole 30 mg tab 2 1
Laxadin syrup 3 1 cth
Diazepam 5 mg tab 1 1
Nitrokaf 2,5 mg tab 2 1
51
3.3.2 Hasil EKG Pre Tindakan
3.3.3 Echocardiografi
Pemeriksaan echocardiografi dillakukan tanggal 26-09-2022 :
Dimensi RA, RV, LA Normal, LV Dilatasi.
Hipokinetik Apikal Anterior, Septal, Basal Mid Anterior, Anteroseptal, Anterolateral.
Normokinetik segmen lainnya
52
Fungsi LV menurun EF 32 – 36 %.
Kontraktilitas RV baik.
Mild-moderate MR ec functional, TR mild, PR mild.
Disfungsi Diastolik grade I.
P : Nyeri yang dirasakan karena adanya luka bekas punksi dan proses hemostasis
arteri radialis
Q: Nyeri terasa seperti seperti ditusuk tusuk
R: Nyeri yang dirasakan di balutan hemostasis di radialis kanan
S: Skala nyeri 3 (1-10)
T: Nyeri yang dirasakan terus menerus
53
Vital sign : Tekanan darah 128/90 mmHg, HR 80 x/menit, RR 22x/menit,
suhu 35,8°C dan SpO2 97%. Terpasang Nichiban pada Arteri Radialis Dextra, CRT <
2detik. Tidak terdapat hematom pada area post punksi radialis kanan, Tidak ada
perdarahan. Tidak ada sianosis di perifer. Pasien mengatakan haus sekali setelah
tindakan, minum 100 ml air hangat, BAK ± 200 ml setelah tindakan. Pasien mendapat
rehidrasi cairan NaCl 0,9 % 0,5cc/kgbb/jam setelah tindakan.
55
3.4 ANALISA DATA
2. DS :
Agen cidera
Pasien mengatakan nyeri pada area balutan Gangguan Rasa
fisik : Luka
hemostasis arteri radialis kanan ( luka bekas Nyaman
bekas punksi (
punksi arteri radialis )
proses
hemostasis
DO:
arteri radialis )
P : Nyeri yang dirasakan karena adanya
luka bekas penusukan sheath dan proses
hemostasis arteri radialis
Q: Nyeri terasa seperti seperti ditusuk
tusuk
56
R: Nyeri yang dirasakan di balutan
hemostasis di radialis kanan
S: Skala nyeri 3 (1-10)
T: Nyeri yang dirasakan terus menerus
Vital sign : Tekanan darah 128/90
mmHg, HR 80 x/menit, RR 22x/menit,
suhu 35,8°C dan SpO2 97%.
Terpasang Nichiban pada Arteri Radialis
Dextra, CRT < 2detik. Tidak terdapat
hematom pada area post punksi radialis
kanan, Tidak ada perdarahan.
3. DS :
Pasien mengatakan cemas dan khawatir Kondisi dan Ansietas
tetapi merasa siap karena sudah dirawat di prosedur PCI
Rumah Sakit yang tepat. Pasien mengatakan
tidak tahu perawatan pasca pasang Ring
jantung. Pasien mengatakan pasrah untuk
dilakukan tindakan.
DO :
Pasien sebelumnya sudah pernah
dilakukan kateterisasi di RS Abdul Muluk
Lampung
Pasien akan dilakukan tindakan PCI
dengan Resiko tinggi, ( PCI LM – LAD )
57
4. DS : -
DO : - Efek agen Resiko
Pasien mendapat terapi dual antiplatelet ( farmakologis ( Perdarahan
Miniaspi 1 x 80 mg per oral dan Pemberian anti
Clopidogrel 1 x 75 mg ) koagulan dan
Terdapat luka bekas punksi arteri radialis anti platelet )
kanan ( tertutup balutan hemostasis )
Pasien mendapat heparin 6500 unit intra
arteri
Terpasang Nichiban pada Arteri Radialis
Dextra, CRT < 2 detik. Tidak terdapat
hematom pada area post punksi radialis
kanan, Tidak ada perdarahan.
5. DS :
Pasien mengatakan haus setelah tindakan Penggunaan zat Risiko perfusi
DO : kontras renal tidak
- Tindakan PCI LM – LAD menggunakan efektif
kontras Metacosfar 320 sebanyak 100 cc
- Menderita Diabetes melitus tipe 2
- Kreatinin 1,14 mg/dl
- eGFR 64 ml /mnt
- Resiko CIN 9
- Resiko terjadinya CIN 14,0 %
- Resiko dialisis 0,12 %
- Pasien mendapat rehidrasi cairan NaCl
0,9% 0,5cc/kgbb/jam selama dan setelah
tindakan
- Balance cairan selama pre, intra, post PCI
( 2jam ) :
Total Intake 2 jam:
Infus Nacl 0,9% 100 cc + Kontras
metacosfar 320 100cc + minum 100 cc
58
post tindakan = 300 cc
Total output 2 jam:
Total perdarahan 30 ml + Urine intra
tindakan 100 cc + urine post tindakan 200
cc = 330 cc
- Balance cairan / 2 jam = intake 300cc – (
output 330 cc + iwl 81 ) = - 111 cc
- Diuresis urin / 2 jam = 2,3 cc/kgbb/jam
6. DS : -
DO : Penurunan Risiko perfusi
Terpasang Nichiban pada Arteri Radialis aliran arteri perifer tidak
Dextra, CRT < 2 detik. Tidak terdapat efektif
hematom pada area post punksi radialis
kanan, Tidak ada perdarahan.
Tidak ada sianosis di perifer
GDS 150 mg/dl
Riwayat Diabetes melitus tipe 2
59
3.6 INTERVENSI KEPERAWATAN
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian anti koagulan
60
menurun 1/10 memperberat dan memperingan
Frekuensi nadi nyeri
menurun
Tekanan darah Terapeutik
membaik
− Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
Edukasi:
61
4. Resiko perdarahan Setelah dilakukan Pencegahan perdarahan
berhubungan tindakan keperawatan Observasi :
dengan efek agen selama 1 x 6 jam
− Monitor tanda dan gejala
farmakologis diharapkan tidak
pendarahan
terjadi perdarahan
dengan kriteria hasil : − Monitor tanda tanda vital ortostatik
termasuk tekanan darah
Tidak terjadi
hematuri
Tidak terjadi
Perdarahan post area
Terapeutik :
punture
Tidak terjadi − Pertahankan bed rest selama
Perdarahan pasca perdarahan
prosedur invasif
Edukasi :
62
kesemutan ) tidak Terapeutik
terjadi − Hindari pengukuran tekanan darah
Pengisian kapiler pada ekstermitas dengan
baik, CRT < 2 detik keterbatasan perfusi
Edukasi
− Informasikan tanda dan gejala yang
harus dilaporkan (Rasa sakit yang
tidak hilang, hilang rasa).
Kolaborasi
− Kolaborasi pemberian infus cairan
Edukasi :
− Anjurkan minum cukup setelah
tindakan invasif
63
3.7 IMPLEMENTASI dan EVALUASI KEPERAWATAN
Edukasi O:
- Menganjurkan berhenti - Kesadaran CM
merokok - Gambaran EKG sinus ritem dengan
- Menganjurkan minum obat ST depresi di V5, V6, Lead I, aVL
anti koagulan sesuai dengan - Nadi membaik
waktu dan dosis - Tekanan darah 128/90 mmHg, HR
80 x/menit, RR 22 x/menit, suhu
Kolaborasi 35,8°C dan SpO2 97%.
- Berkolaborasi pemberian - Hasil PCI menunjukkan Kesimpulan
anti koagulan heparin 6500 Tindakan : Post PCI 1 DES LM –
unit intra arteri, intra LAD ( Provisional Technique )
tindakan dengan Hasil Baik
P : Intervensi Dihentikan
64
Gangguan rasa Rabu 02 November 2022, Jam Rabu 02 November 2022, Jam 17.00
nyaman 16.00 wib s/d jam 16.30 wib wib
berhubungan
dengan agen Observasi S : Pasien mengatakan nyeri pada
pencedera fisik balutan hemostasis arteri radialis
− Mengidentifikasi lokasi,
kanan berkurang menjadi skala 1/10
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas,
O:
skala nyeri serta respon
- Pasien tampak tenang dan rileks
nonverbal nyeri,
- Tekanan darah 120/90 mmHg, HR
− Mengidentifikasi faktor yang 86 x/menit, RR 20 x/menit, suhu
memperberat dan 36,5°C dan SpO2 99%.
memperingan nyeri
− Evaluasi nyeri:
P: Nyeri yang dirasakan
Terapeutik berkurang
Q: Kesemutan tidak dirasakan
− Memfasilitasi istirahat R: Nyeri diradialis kanan
berkurang
Edukasi S: Skala nyeri 1 (1-10)
T: -
− Menjelaskan penyebab, − Balut tekan hemostasis radialis
periode dan pemicu nyeri kanan masih terpasang
65
Ansietas Rabu 02 November 2022, Jam Rabu 02 November 2022, Jam 16.30
berhubungan 14.15 wib s/d jam 14.50 wib wib
dengan
kondisi dan Observasi : S : Pasien mengatakan sudah tidak
prosedur PCI merasa cemas, lebih rilekas dengan
− Mengidentifikasi tingkat
nafas dalam, dan bersyukur tindakan
kecemasan
berjalan lancar
− Mengukur ttv
Edukasi:
− Mengajarkan pasien
menggunakan teknik
relaksasi nafas dalam
Resiko Rabu 02 November 2022, Jam Rabu 02 November 2022, Jam 17.00
perdarahan 15.00 wib s/d jam 16.00 wib wib
berhubungan S : Pasien mengatakan tidak ada
dengan efek tanda perdarahan di balutan
66
agen Observasi : hemostasis arteri radialis kanan.
farmakologis
− Memonitor tanda dan gejala
O:
pendarahan pada intra dan
- Tekanan darah 120/90 mmHg, HR
post tindakan PCI
86 x/menit, RR 20 x/menit, suhu
− Memonitor tanda tanda vital 36,5°C dan SpO2 99%.
- Balut tekan hemostasis arteri radialis
Edukasi : kanan masih terpasang, tidak tampak
Risiko perfusi Rabu 02 November 2022, Rabu 02 November 2022, Jam 17.00
perifer tidak Jam 15.10 wib s/d jam 16.15 wib
efektif wib
berhubungan S : Pasien mengatakan tangan kanan
dengan Observasi yang terpasang balut tekan
penurunan − Memeriksa sirkulasi perifer hemostasis tidak terasa pegal,
aliran arteri pengisian kapiler, warna kesemutan atau baal
− Mengidentifikasi faktor
67
Risiko gangguan sirkulasi , O:
proses balut tekan − Terpasang nichiban di radialis
hemostasis, mengecek CRT kanan
− Perifer tidak tampak sianosis /
Terapeutik warna kulit pucat, pulsasi arteri
− Mengindari pengukuran ulnaris kuat
tekanan darah pada − CRT < 2 detik
ekstermitas dengan − Tekanan darah 120/90 mmHg,
keterbatasan perfusi, HR 86 x/menit, RR 20x/menit,
mengecek tekanan darah suhu 36,5°C dan SpO2 99%.
pada tangan kiri
Risiko perfusi Rabu 02 November 2022, Jam Rabu 02 November 2022, Jam 16.30
renal tidak 14.20 wib s/d jam 15.50 wib wib
efektif
berhubungan Observasi S:
dengan Pasien mengatakan haus setelah
− Memonitor status cairan
penggunaan tindakan
dan hidrasi
zat kontras O:
− Memonitor hasil
- Tindakan PCI LM – LAD
68
pemeriksaan laboratorium menggunakan kontras Metacosfar
− Memonitor status 320 sebanyak 100 cc
hemodinamik - Menderita Diabetes melitus tipe 2
- Tekanan darah 128/90 mmHg, HR
Terapeutik 80 x/menit, RR 22 x/menit, suhu
69
P : Intervensi dilanjutkan
− Monitor status cairan dan hidrasi
− Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
− Monitor status hemodinamik
− Anjurkan minum cukup setelah
tindakan invasif
70
BAB IV
PEMBAHASAN
72
LCX : Non Dominan, Normal
Kesimpulan Tindakan : Post PCI 1 DES LM – LAD ( Provisional
Technique ) dengan Hasil Baik.
Penatalaksanaan yang dilakukan setelah tindakan antara lain: kaji keluhan
setelah tindakan, observasi TTV, observasi tanda adanya perdarahan dan hematoma
pada area penusukan, mengobservasi efek alergi zat kontras (seperti : menggigil,
kemerahan, gatal, pusing, mual, muntah, urine tidak keluar), observasi gangguan
sirkulasi perifer, adanya tanda hipovolemi, dan memonitor adanya tanda- tanda infeksi
pada luka tusukan.
Intervensi dan implementasi berfokus pada pencegahan terhadap beberapa
resiko yang mungkin terjadi. Untuk mencegah resiko perdarahan maka dapat
dilakukan observasi tanda-tanda perdarahan baik dilokasi penusukan puncture maupun
tanda perdarahan lain misalnya hematuri, epistkasis. Pembatasan aktivitas juga
dilakukan dengan membatasi pergerakan pada area luka penusukan yaitu pada arteri
radialis dextra dan femoralis dextra. Pemantauan intake dan output, kadar ureum
creatinin dan eGFR juga diperlukan untuk mengetahui apakah terjadi masalah renal
atau tidak.
Untuk perawatan pasien, manajemen pengendalian faktor resiko harus tetap
dilakukan supaya tidak terjadi serangan berulang. Pada pasien yang sudah dilakukan
PCI akan tetap beresiko mengalami serangan jantung berulang karena terjadi
restenosis. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah ke koroner setelah prosedur
intra vaskular. Sehingga, pasien membutuhkan revaskularisasi koroner atau PCI
berulang. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk
pengendalian faktor resiko seperti rutin cek tekanan darah dan kolesterol, rutin
mengkonsumsi obat-obatan yang telah diberikan, istirahat yang cukup ( 6 - 8 jam ),
menjaga pola hidup sehat, pengaturan pola aktivitas dan olahraga serta rutin kontrol ke
pelayanan kesehatan, selain itu pemahaman pasien dan keluarga terhadap penyakit dan
tatalaksana tindakan yang akan dilakukan selanjutnya sesuai dengan rencana medis.
73
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
75
DAFTAR PUSTAKA
Dakota, Iwan. (2019). Modul pelatihan keperawatan kardiovaskular tingkat dasar. Jakarta:
Aksara Bermakna
Harselia, S. A., & Putri, A.K. (2018). Tindakan Percutaneous Coronary Intervention Pada
Pasien Stenosis Arteri Koroner Kanan. ARKAVI (Arsip Kardiovaskular
Indonesia), 3(1), 186-191. Diakses melalui
https://doi.org/10.22236/arkavi.v3i1.3687 pada tanggal 20 November 2022.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Nursing diagnoses definition and classification
2018-2020. Oxford: Willey Blackwell
May et al. (2017). Protokol for primary PCI in ST-segment elevation myocardial infarction. N
Eng J Med
76
AHA. (2017). Diagnosing a Heart Attack Cardiac: Cardiac Catheterization. Diakses dari
https://www.heart.org/en/health-topics/heart-attack/diagnosing-a-heart-
attack/cardiac-atheterization pada tanggal 20 November 2022.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI
Pratiwi, F. W., & Saragi, J. S. (2018). Pemantauan kateterisasi jantung pada tindakan PTCA
terhadap pasien CAD. Jurnal Arsip Kardiovaskular Indonesia (ARKAVI) Volume
03(1), 182-185
RSJPDHK. (2022). Data tata usaha tahun 2022. Data tidak dipublikasi
Themistocleous, I., Stefanakis, M., & Douda, H. (2017). Coronary Heart Disease Part I:
Pathophysiology and Risk Factors. Jurnal of physical activity, nutritio and
rehabilitation, Diakses melalui https://www.mayoclinic.org/diseases-
condition/coronary-artery=disease/symptom-cause/syc=20350613 pada tanggal 20
November 2022.
77
Zotz RJ, Erbel R, Philipp A, et al. High-speed rotational angioplasty-induced echo contrast
in vivo and in vitro optical analysis. Cathet Cardiovasc Diagn. 1992;26:98-109
http://news.unair.ac.id/2020/11/02/peran-ultrasonografi-intravaskuler-ivus-pada-pasien-
yang-menjalani-intervensi-koroner-perkutan-pci/?lang=id
Chung, C.J., & Schulze, P.C. 2011. Exercise as a nonpharmacologic intervention in patients
with heart failure. The physician and sportmedicine, 39:4, 37- 43.
78
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
DIABETES MELITUS ( DM )
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan keluarga Tn. M dapat melakukan perawatan
pada penyakit DM
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1x45 menit, Tn M dan keluarga dapat
menjelaskan kembali tentang :
a. Pengertian DM
b. Penyebab DM
c. Klasifikasi DM
d. Tanda dan gejala DM
e. Pengelolaan DM
f. Pemeriksaan penunjang
g. Makanan yang di pantang dan juga yang diperbolehkan.
C. MATERI
(Terlampir)
D. MEDIA
Materi SAP
E. METODE
Ceramah
Tanya jawab
Diskusi
F. KEGIATAN PENYULUHAN
4 Penutup :
Menyimpulkan materi penyuluhan Menyimak dan 5 menit
yang telah disampaikan Mendengarkan
Menyampaikan terima kasih atas Menjawab
perhatian dan waktu yang telah di
berikan kepada peserta
Mengucapkan salam Menjawab salam
G. REFERENSI
1. Soeparman dkk, 2018, Ilmu Penyakit dalam, Jilid 1, edisi 2. UI Press, Jakarta.
2. http://us.geocities.com/mauzurahm., Penyakit Kencing Manis,
Oleh : Mohamed Yosri Mohamed Yong diakses pada tanggal 02/11/2022
3. http://www.interna.fk.ui.ac.id/referensi/pedoman/001PD.htm# , 2017, Konsensus
Pengelolaan Diabete Melitus Di Indonesia. Universitas Indonesia, Jakarta. Diakses
pada tanggal 02/11/2022
Lampiran Materi
DIABETES MELITUS
A. PENGERTIAN
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah
tinggi karena tubuh tidak dapat menghasilkan atau menggunakan insulin secara
efektif.
Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pancreas, yang bertanggungjawab
dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal. Insulin memasukkan gula
kedalam sel sehingga bias menghasilkan energy atau disimpan sebagai cadangan
energi.
B. PENYEBAB
1. Keturunan
2. Usia
3. Kegemukan
4. Kurang gerak
5. Kehilangan insulin
6. Alkoholisme
7. Obat-obatan
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi bila penderita DM tidak dirawat dengan baik sehingga
gula darah selalu tinggi adalah :
1. Ginjal : Gagal Ginjal, Infeksi
2. Jantung : Hipertensi, Gagal Jantung, Penyakit Jantung Koroner
3. Mata : Glaukoma, Katarak, Retinopati
4. Syaraf : Neuropati, mati rasa
5. Kulit : Luka lama, gangren
6. Hipoglikemi
7. Ketoasidosis
Cara mencegah atau menghindari agar tidak terjadi luka pada kaki pada penderita
DM :
1. Hindari terlalu sering merendam kaki
2. Hindari penggunaan botol panas/penghangat kaki dari listrik
3. Hindari penggunaan pisau/silet untuk memotong kuku atau menghilangkan kalus
4. hindari kaos kaki / sepatu yang terlalu sempit
5. Hindari Rokok