Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

SPINAL PADA MIOMA UTERI DAN KISTA OVARIUM

Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk melengkapi
kepanitraan klinik senior dibagian Departemen Anestesi RSUD dr. Pirngadi
Medan

Disusun oleh:
Febriyanthi 71210891029
Helina melyanti ananda 71210891051
Wandira saprilla 71210891009
Rivaldi risky 71210891004
Rahmat hidayat sk 71210891007
Pembimbing:
Dr. Ade Fitriani, Sp. An

DEPARTEMEN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DR. PIRNGADI
MEDAN
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Ade Fitriani, Sp. An

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan refarat yang berjudul “Spinal pada
Mioma Uteri dan Kista Ovarium” dalam rangka melengkapi persyaratan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anestesi di RSUD dr. Pirngadi
Medan.
Penyusunan refarat ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis
menyampaikan terimakasih kepada atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti KKS di Departemen Anestesi RSUD dr. Pirngadi Medan serta dalam
penyusunan refarat ini.
Penulis menyadari bahwa refarat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan agar dapat
menjadi pedoman untuk perbaikan refarat ini di kemudian hari.
Harapan penulis, semoga refarat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
penyakit kulit di klinik dan di masyarakat.

Medan, Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Pendahuluan.......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Anestesi Spinal.............................................................................................2
2.1.1 Indikasi......................................................................................................2
2.1.2 Kontraindikasi...........................................................................................3
2.1.3 Struktur Anatomi Vertebra........................................................................4
2.1.4 Persiapan Anestesi Spinal.........................................................................9
2.1.5 Obat-obatan pada Anestesi Spinal..........................................................11
2.1.6 Teknik Anestesi Spinal...........................................................................14
2.1.7 Faktor yang mempengaruhi Anestesi Spinal...........................................18
2.1.8 Masalah Klinis pada Anestesi Spinal......................................................18
2.1.9 Komplikasi pada Anestesi Spinal............................................................18
2.1.10 Stadium Anestesi...................................................................................25
2.1.11 Kunjungan Pra Anestesi........................................................................26
2.2 Mioma Uteri.................................................................................................35
2.2.1 Etiologi....................................................................................................35
2.2.2 Klasifikasi...............................................................................................35
2.3 Kista Ovarium .............................................................................................37
2.3.1 Etiologi....................................................................................................38
2.3.2 Faktor Resiko..........................................................................................39
BAB 3 LAPORAN ANESTESI...........................................................................41
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada
operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen
bawah. Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat analgetik local untuk
menghambat hantaran saraf sensorik untuk sementara (reversible). Fungsi motoric
juga terhambat sebagian. Dan pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar 1.

Sejak anestesi spinal/ Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh


August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas
untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah papila mamae
kebawah. Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal
ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau
L4-L5. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan,peralatan
yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal
dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas,
serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.
Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun
leiomioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan
ikat yang menumpangnya. Sering ditemukan pada wanita usia reproduksi,
kejadiannya lebih tinggi pada usia diatas 35 tahun. Tingginya kejadian mioma
uteri antara usia 35 - 50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri
dengan estrogen. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39% -
11,87% dari semua penderita ginekologi yang dirawat. Walaupun biasanya
asimptomatik, mioma dapat menyebabkan banyak problem termasuk metrorrhagia
dan menorrhagia, rasa sakit bahkan infertilitas. Memang, perdarahan uteri yang
sangat banyak merupakan indikasi yang paling banyak untuk dilakukan

1
histerektomi. Hal ini menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi
yang paling efektif belum didapatkan, karena sedikit sekali informasi mengenai
etiologi mioma uteri itu sendiri.
Angka kejadian kista ovarium di dunia yaitu 7% dari populasi wanita, dan
85% bersifat jinak. Sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak diketaui secara
pasti dikarenakan pencatatan kasus yang kurang baik. Namun, diperkirakan
prevalensi kista ovarium sebesar 60% dari seluruh kasus gangguan ovarium.
Kistadenoma ovarii musinosum sebesar 40% dari seluruh kasus neoplasma
ovarium. Frekuensi kistadenoma ovarii musinosum ditemukan Hariadi (1970)
sebesar 27%, Gunawan (1977) menemukan 29,9%, Sapardan (1970) menemukan
37,2%, dan Djaswadi menemukan 15,1%. Frekuensi kistadenoma ovarii serosum
ditemukan Hariadi dan Gunawan di Surabaya sebesar masing-masing 39,8% dan
28,5%. Di Jakarta Sapardan menemukan 20%, dan di Yogyakarta ditemukan
Djaswadi sebesar 36,1%. Frekuensi kista dermoid ditemukan Sapardan sebesar
16,9%. Djaswadi menemukan 15,1%, Hariadi dan Gunawan masingmasing
menemukan 11,1% dan 13,5% 2.

Kista ovarium merupakan tumor baik kecil maupun besar, kistik atau padat,
jinak atau ganas yang berada di ovarium. Kista ovarium umum ditemukan pada
wanita usia reproduktif. Kista menimbulkan angka kematian yang cukup tinggi.
Karena 20-30% kista dapat berpotensi menjadi ganas terutama pada wanita diatas
40 tahun. Perjalanan penyakit dianggap berlangsung secara diam-diam (silent
killer), sehingga wanita umumnya tidak menyadari sudah menderita kista
ovarium. Wanita umumnya sadar setelah benjolan teraba dari luar. Sekarang ini
semakin sering ditemukan kista ovarium pada seorang wanita dikarenakan
pemeriksaan fisik dan semakin majunya teknologi. Sebagian besar kista tidak
menimbulakan gejala yang nyata, namun sebagian lagi menimbulkan masalah
seperti rasa sakit dan perdarahan. Bahkan kista ovarium yang maligna tidak
menimbulkan gejala pada sadium awal, sehingga sering ditemukan dalam stadium
lanjut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal


Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai
dari vertebra thorakal 4 3.

2.1.1 Indikasi Anestesi Spinal


Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3
jam.

2.1.2 Kontraindikasi

Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya

3
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah diperlukan
pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit, bisa
ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kearah jantung
akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman1

2.1.4 Sruktur Anatomi Vertebra

Gambar 1 : Kolumna Vertebralis [4]

4
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang  koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai

5
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1 4.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-
4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5.

Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis[5]

6
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
 Kutis
 Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
 Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
 Ligamentum interspinosum
 Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk keruang epidural 2.

7
 Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
 Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
 Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra[6]

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior 5.

8
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis[7]

2.1.5 Persiapan Anestesi Spinal

Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana


dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum 6.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.

9
 Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat


dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set 1.

10
Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal

2.1.6 Obat-obatan pada Anestesi Spinal

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi


local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
local bersifat reversible 6.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric.
Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.
Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan

11
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. [8]
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,
dosis 20-50mg(1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
 Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.

12
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local. [2][8][11]

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal


dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.[6][7][8]
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.[9][10]
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.[10]

13
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.1.7 Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -


1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.

14
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml
Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke
dalam ruang arachnoid tersebut 3.

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

15
Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.[7]

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial[7]

16
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.4

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris[7]

17
2.1.8 Faktor yang mempengaruhi anestesi spinal

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :


 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk
1 ml larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-
4 obat cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama
didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.

2.1.9 Masalah klinis pada anestesi spinal

Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi


spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan
saat melakukan anestesi spinal :

18
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada
cairan yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih
30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum
didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika
ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam,
atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks
saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial
dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien
melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai
kulit.

2.1.10 Komplikasi Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular 
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac
arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia

19
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac
arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol
yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak
10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi
dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.

2. Blok Tinggi atau Total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang,

20
pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak
ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan
pengobatan yang cepat dan tepat.

3. Komplikasi Sistem Respirasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla. 
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.[2]

4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat
tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine. [2][6][7]

5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor

21
seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin
besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala
juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala
post suntikan biasanya muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal.
Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda
yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk,
dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif
dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring,
rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang
pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.
Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran. [2][6][7]

6. Komplikasi Sistem Respirasi


Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik
dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja. [2][6][7]

7. Komplikasi Sistem Respirasi


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom
ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam,
rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan
simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda
equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat

22
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau
bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin
dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas
bawah. Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik
pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari
meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan infark
korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama. Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal
maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal
intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh
darah besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf.
Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda
utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada
2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah
efek sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat
dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya
sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena
terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi,
kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan
gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal
anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang

23
kadang timbul setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran
darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan
terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal
padapasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada
pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita
selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik
dan drainase jika perlu.1

8. Komplikasi Traktus Urinarius


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.
Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood
patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang

24
epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam
waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.

2.1.11 Stadium Anestesi


Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi,
agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup
adekwat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda
klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium
dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan
refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether. 1
1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
operasi kecil bisa dilakukan. 1
2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai
dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini
penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks
cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan
hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas
menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus
segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan
premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi yang
halus dan tepat. 1
3. Stadium III disebut juga stadium operasi.
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4
plana: 1
Plana I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai
dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola
mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun. 7

25
Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun
dan frekwensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola
mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks
kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh
otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan
dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar
dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring dan
peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun
Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan
tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot
makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks spincter ani negatif. Stadium IV dari paralisis diafragma
sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium
paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi
respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure4.
2.1.12 Kunjungan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-
2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif
dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
 Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
 Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
 Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology).

26
1. Anamnesis
Komunikasi yang efektif dan pendekatan oleh tenaga medis sangat
penting dalam periode pre-operasi. Komplikasi pasca tindakan dan tuntutan
hukum malprektik sering disebabkan karena kurangnya persiapan dan
kegagalan dalam komunikasi. Anggota tim penting dalam proses visit
preoperatif ini termasuk diantaranya dokter anestesi, dokter bedah, dan dokter
umum. Informasi yang ingin dicari melalui anamnesis, dapat diperoleh dari
pasien sendiri (autoanamnesis) atau dari keluarga pasien (aloanamnesis). Hal –
hal yang harus diperhatikan pada anamnesis sebagai berikut: 4
a. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan, tinggi
badan, dll).
b. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi.
c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi
d. Riwayat alergi.
e. Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi.
f. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat tindakan anestesi
sebelumnya. Hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
tertentu yang perlu mendapatkan perhatian khusus, seperti alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas paska pembedahan
sebelumnya, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya dengan
lebih baik.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi dan
berat badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital, tanda-tanda
anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, malnutrisi, edema, serta apakah pasien
mengalami sesak atau kesakitan. Selain itu terdapat 6 indikator lain yang
menjadi poin penting dalam pemeriksaan fisik preoperatif pasien : 4

27
Breath (B1) : jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas
tambahan.
Memperhatikan jalan nafas bagian atas dan bagaimana
penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah
tersumbat, apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong
atau memakai gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil yang akan
mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan membuka mulut atau
kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang
mendorong saluran nafas bagian atas. Untuk menilai jalan nafas secara
seksama dapat digunakan aturan 3-3-2. Aturan 3-3-2 berfungsi untuk
memperkirakan apakah anatomi leher akan memungkinkan pembukaan
tenggorokan dan laring yang sesuai. Ini berfungsi untuk memperkirakan
secara kasar kesejajaran bukaan untuk visualisasi langsung laring saat
intubasi.

Gambar 1. Evaluasi jalan napas dengan aturan 3-3-2.


 3: Pengukuran tiga jari antara gigi seri atas dan bawah dari mulut terbuka
pasien menunjukkan kemudahan akses ke jalan napas melalui pembukaan
mulut. Pembukaan mulut yang memadai memudahkan kedua insersi
laringoskop dan mendapatkan pandangan langsung ke glotis. 3

28
 3: Pengukuran 3 jari dari ujung anterior mandibula ke leher anterior
memberikan perkiraan volume ruang submandibular. Seorang pasien dapat
meletakkan tiga jari di lantai mandibula antara sudut mental dan leher di
dekat tulang hyoid. Biasanya jarak ini harus diukur mendekati 7 cm. Jika
jarak ini kurang dari lebar tiga jari, sumbu laring akan berada pada sudut
yang lebih tajam dengan sumbu faring, yang menunjukkan bahwa
penyelarasan bukaan mulut ke bukaan faring akan sulit. Ini juga
menunjukkan bahwa akan ada lebih sedikit ruang untuk memindahkan
lidah di dalam tenggorokan. Aturan tersebut memiliki batasan karena jarak
dapat bervariasi. 3
 2: Pengukuran 2 jari antara dasar mandibula dengan takik tiroid di leher
anterior mengidentifikasi lokasi laring relatif terhadap dasar lidah.
Normalnya seseorang dapat menempatkan dua jari di laring laring
superior. Jika laring terlalu tinggi di leher, berukuran kurang dari dua jari,
laringoskopi direk akan sulit dan berpotensi tidak mungkin dilakukan; ini
karena sudut antara pangkal lidah ke laring terlalu tajam.
Aturan 3-3-2 memainkan peran penting dalam perencanaan sebagai komponen
skala dari LEMON.LEMON adalah singkatan dari :
L: Look
Cari indikator eksternal dari intubasi endotrakeal yang sulit. Yang dapat
mencakup bentuk wajah yang tidak normal, cachexia ekstrim, gigi yang
buruk, mulut tidak bergigi, obesitas morbid, langit-langit tinggi
melengkung, leher pendek, gigi depan besar, bekas luka operasi yang
menunjukkan bekas luka trakeostomi sebelumnya, menunjukkan pasien
mungkin mengalami trakeomalasia, mulut sempit, wajah , atau patologi
leher.
E: Evaluated
Di sinilah pentingnya aturan 3-3-2. Aturan ini adalah pengukuran
perkiraan 3 jarak terpisah pada pasien dengan menggunakan jari
pemeriksa seperti yang sudah dijelaskan di atas.
M: Mallampati Score

29
Skoring Mallampati adalah suatu sistem yang didasarkan pada anatomi
mulut dan pandangan dari berbagai struktur anatomi apabila seseorang
membuka mulut selebar mungkin. Penilaian dilakukan dalam posisi duduk
dan tidak dapat dilakukan dalam keadaan darurat. Skor kelas I diartikan
mudah, dan kelas IV adalah yang paling sulit 3.

Gambar 2. Mallampati Score


Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling mudah untuk dilakukan
intubasi dibandingkan kelas III dan IV, kelas III dan IV merupakan kelas yang
paling sulit untuk dilakukan intubasi. Untuk menghindari hasil positif palsu atau
negative palsu, tes ini sebaiknya di ulang sebanyak dua kali.
O: Obstruction
Seseorang harus menilai apakah jalan nafas dapat terhalang oleh benda
asing, abses, tumor, pembengkakan jaringan lunak seperti pada korban
luka bakar atau hematoma yang meluas pada pasien trauma.
N: Neck Mobility
Pada pasien yang waspada dan terjaga, lihat apakah pasien dapat
meletakkan dagu mereka di dada dan seberapa jauh mereka dapat

30
memiringkan kepala ke belakang. Mobilitas leher yang menurun
merupakan prediktor negatif dari komplikasi intubasi.
Blood (B2) : tekanan darah, perfusi, suara jantung, suara tambahan, kelainan
anatomis dan fungsi jantung. Melihat apakah pasien menderita penyakit jantung
atau pernafasan, khususnya untuk penyakit katup jantung (selama operasi
dibutuhkan antibiotik sebagai profilaksis), hipertensi, dan gagal jantung kiri atau
kanan dengan peningkatan tekanan vena jugularis, adanya edema pada
pergelangan kaki, pembesaran hepar atau krepitasi pada basal paru. Melihat
bentuk dada dan aktifitas otot pernafasan untuk mencari adanya obstruksi jalan
nafas akut atau kronis atau kegagalan pernafasan. Meraba trakea apakah tertarik
oleh karena fibrosis, kolaps sebagian atau seluruh paru, atau pneumotoraks.
Melakukan perkusi pada dinding dada, bila terdengar redup kemungkinan
kolaps paru atau efusi. Mendengarkan apakah ada wheezing atau ronkhi yang
menandakan adanya obstruksi bronkus umum atau setempat.
Brain (B3) : menilai GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat atau perifer.
Bladder (B4): AKI, CKD, menilai produki urin.
Bowel (B5) : makan atau minum terakhir, menilai kondisi bising usus, apakah
ada gangguan peristaltik, gangguan lambung, gangguan metabolit, massa, atau
sedang dalam masa kehamilan.
Bone (B6) : apakah ada patah tulang, kelainan postur tubuh, kelainan
neuromuskuler.
3. Pemeriksaan Penunjang.
Setelah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa masalah
dan memutuskan apakah diperlukan pemeriksaan lain seperti
laboratorium, radiologi dan elektrokardiogram. Radiologi rutin untuk foto
toraks tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau abnormal pada dada, tapi
pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit sebaiknya rutin dilakukan pada
pasien yang akan menjalani anestesi umum.
a. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, tes fungsi hati (SGOT, SGPT),
tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin), serum elektrolit, faal hemostasis, dll.

31
b. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, foto polos abdomen (BOF), USG, CT
Scan.
c. Pemeriksaan EKG bila umur lebih dari 35 tahun atau bila ada indikasi
d. Lain-lain.
 Pemeriksaan pada anak didampingi ayah atau ibunya.
 Pemeriksaan gigi, kerusakan gigi karena laryngoskopi
 Gigi palsu harus dibuka.
 Puasa preoperatif
Puasa preoperatif adalah untuk mengurangi volume, tingkat
keasaman lambung, dan mengurangi risiko aspirasi paru dari sisa-sisa
makanan. Sebaiknya, puasa sebelum induksi anestesia tidak menyebabkan
dehidrasi, hipoglikemia, dan ketidaknyamanan pada pasien. Selama masa
puasa pasien akan merasa haus, lapar, gelisah, mengantuk, pusing, mual
dan muntah.
Rekomendasi Puasa :
 Bahan cairan: dihentikan 2 jam sebelum prosedur
 ASI: diberhentikan 4 jam sebelum prosedur
 Susu formula bayi dihentikan 6 jam sebelum prosedur
 Bukan ASI : dihentikan 6 jam sebelum prosedur
 Makanan ringan: dihentikan 6 jam sebelum prosedur
 Makanan yang digoreng, makanan berlemak, atau waktu puasa
tambahan daging (misalnya, 8 jam atau lebih). Rekomendasi ini
berlaku untuk pasien sehat yang menjalani prosedur elektif yang
membutuhkan anestesi umum, anestesi regional, atau sedasi prosedural
dan analgesia. Tidak termasuk wanita dalam persalinan.
 Ijin operasi (inform consent) ditandatangani oleh pasien dan keluarganya
kecuali pada kondisi emergensi.
 Konsultasi ke internis, dokter anak dll, guna optimalisasi keadaan umum
pasien sebelum operasi 2.

32
2.1.13 Klasifikasi ASA
Penggolongan status fisik penderita merupakan hal yang penting untuk
menentukan resiko anestesi digolongkan menurut ASA (ASA I s.d ASA VI).8
Tabel. Klasifikasi Status Fisik Berdasarkan American Society of Anesthesiology
(ASA). 8
ASA Definisi Keterangan
I Seorang pasien Sehat, tidak merokok, tidak ada atau
sehat yang normal penggunaan alkohol minimal
II Seorang pasien Contohnya termasuk perokok, social alcohol
dengan penyakit drinker, kehamilan, obesitas (BMI 30 – 40
sistemik ringan kg/m2), DM / HT yang terkendali dengan
Hanya penyakit baik, penyakit paru-paru ringan
ringan tanpa
keterbatasan
fungsional.
III Seorang pasien Mengidap satu atau lebih penyakit moderat
dengan penyakit hingga berat dengan keterbatasan fungsional.
sistemik berat Contohnya termasuk DM/HT tidak terkontrol
atau, PPOK, obesitas berat (BMI ≥40),
hepatitis aktif, ketergantungan alkohol,
menggunakan alat pacu
jantung, penurunan sedang dari fraksi ejeksi,
ESRD yang menjalani cuci darah secara rutin,
bayi prematur dengan PCA < 60 minggu,
riwayat MI, CVA, TIA, atau CAD (> 3
bulan).
IV Seorang pasien Riwayat baru (<3 bulan) MI, CVA, TIA, atau
dengan penyakit CAD / stent, iskemia jantung atau disfungsi
sistemik berat katup berat yang sedang berlangsung,
yang mengancam penurunan berat fraksi ejeksi, sepsis, DIC,
nyawa AKI atau ESRD yang tidak menjalani dialisi
secara terjadwal.
V Seorang pasien Ruptur aneurisma thorakal/abdominal, trauma
sekarat yang tidak besar, perdarahan intrakranial dengan efek
dapat bertahan massa, iskemik usus dengan kelainan jantung
hidup tanpa yang signifikan atau disfungsi multiorgan.
tindakan operasi
VI Seorang pasien mati batang otak yang organ tubuhnya akan
didonorkan

33
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = Emergency). Misalnya 1E atau 3E. Istilah
emergency/darurat didefinisikan pada kondisi yang jika ditunda penanganannya
akan menyebabkan pasien kehilangan nyawa atau salah satu hingga beberapa
anggota tubuh 6.

3.1.13 Persiapan Pada Hari Operasi


1. Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan.
Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi
isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambung dilakukan dengan puasa, pada pasien dewasa puasa 6-9
jam, pada bayi/anak dipuasakan 3-4 jam. Pada pembedahan darurat,
pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang
muntah, memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang menyebabkan
muntah.9 Cara-cara ini tidak menyenangkan pasien sehingga jarang sekali
dilakukan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menetralkan asam lambung
dengan memberi antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2
(cimetidin, ranitidine atau famotidin) Puasa yang cukup lama pada kasus akut
kadang - kadang tidak menjamin lambung kosong secara sempurna, misalnya
pada stress mental yang hebat, kehamilan, rasa nyeri atau pasien diabetes
melitus Pemberian obat pencahar umumnya dilakukan pada laparotomi
eksplorasi.9Komplikasi penting yang harus dihindari kerena puasa adalah
hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatrik.9
2. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan dan bahan
kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak menggangu
pemeriksaan selama anestesi, misalnya sianosis.9
3. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi. Untuk
membersihkan jalan napas, pasien diminta batuk kuat-kuat dan
mengeluarkan lendir jalan napas.9
4. Penderita dimasukan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian
khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi

34
apakah pasien atau keluarga sudah memberikan izin pembedahan secara
tertulis (informed consent).9
5. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulang sekali lagi di kamar operasi
karena mungkin terjadi perubahan bermakna yang dapat menyulitkan
perjalanan anestesi, misal hipertensi mendadak, dehidrasi, atau serangan
akut asma.9Pemberian obat premedikasi secara intra muscular atau oral
dapat diberikan ½ - 1 jam sebelum dilakukan induksi anestesi atau
beberapa menit bila diberikan secara intra vena 1.

2.2 Mioma Uteri


Myoma uteri adalah neoplasma jinak yang tersusun dari otot polos uteri dan
jaringan ikat yang menumpangnya dan sering juga disebut sebagai fibromioma,
leiomioma, fibroid 10.

2.2.1 Etiologi

Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Mioma
uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada
usia menopause, dan belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Diduga
penyebab timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen.
Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri, atau
memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan
banyak sekali mediator didalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor,
insulin growth factor – 1 (IGF-1). Awal mulanya pembentukan tumor adalah
terjadinya mutasi somatik dari sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakupi rentetan
perubahan pada kromosom, baik secara parsial maupun secara keseluruhan 11.

2.2.2 Klasifikasi

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan
selebihnya adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut
arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain mioma

35
submukosa, mioma intramural, mioma subserosa, dan mioma intraligamenter.
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa
(48,2%), submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)12

1. Mioma submukosa
Berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis
ini di jumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan
keluhan gangguan perdarahan. Mioma uteri jenis lain meskipun besar mungkin
belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun
kecil sering memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma submukosa
umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase, dengan adanya benjolan waktu
kuret, dikenal sebagai Currete bump. Tumor jenis ini sering mengalami infeksi,
terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata
adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini dapat
keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau
mioma yang di lahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi, dan infark.
Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena
proses di atas.6
2. Mioma intramural
Terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuklah
semacam simpai yang mengelilingi tumor. Bila didalam dinding rahim dijumpai
banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berdungkul dengan
konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih keatas, sehingga
dapat menimbulkan keluhan miksi.
3. Mioma subserosa
Apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh diantara kedua
lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter

36
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus. Jarang
sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada
serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran serviks sehingga ostium uteri
eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa
mioma terdiri dari berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti
kumparan (whorle like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan
ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini 12.

Gambar. Jenis-jenis mioma uteri


2.3 Kista Ovarium

Kista ovarium merupakan perbesaran sederhana ovarium normal, folikel de


graff atau korpus luteum atau kista ovarium dapat timbul akibat pertumbuhan dari
epithelium ovarium.

Kista ovarium merupakan suatu tumor, baik kecil maupun yang besar, kistik
atau padat, jinak atau ganas yang berada di ovarium. Dalam kehamilan, tumor
ovarium yang dijumpai paling sering ialah kista dermoid, kista coklat atau kista
lutein. Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin
dalam rahim atau dapat menghalang – halangi masuknya kepala ke dalam
panggul.

37
Kistoma ovari adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya
bertangkai, bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis berisi cairan
serosa dan berwarna kuning. Pengumpulan cairan tersebut terjadi pada indung
telur atau ovarium 13.

Jadi, dapat disimpulkan kista ovarium adalah kantong abnormal yang berisi
cairan atau neoplasma yang timbul di ovarium yang bersifat jinak juga dapat
menyebabkan keganasan.

2.3.1 Etiologi

Etiologi dari kista ovarium belum diketahui secara pasti. Namun, secara
umum dapat digolongkan etiologi terhadap jenis kista yang dialami. Penyebab
terjadinya kista ovarium yaitu terjadinya gangguan pembentukan hormon pada
hipotalamus, hipofisis, atau indung telur itu sendiri. Kista indung telur timbul dari
folikel yang tidak berfungsi selama siklus menstruasi.

Kista ovarium terbentuk oleh bermacam sebab. Penyebab inilah yang


nantinya akan menentukan tipe kista. Diantara beberapa tipe kista ovarium, tipe
folikuler merupakan tipe kista yang peling banyak ditemukan. Kista jenis ini
terbentuk oleh karena pertumbuhan folikel ovarium yang tidak terkontrol. Cairan
yang mengisi kista dsebagian besar berupa darah yang keluar akibat perlukaan
yang terjadi pada pembuluh darah ovarium. Pada beberapa kasus dapat juga diisi
oleh jaringan abnormal tubuh seperti rambut dan gigi yang dinamakan kista
dermoid.

Folikel adalah suatu rongga cairan yang normal terdapat dalam ovarium.
Pada keadaan normal, folikel yang berisi sel telur ini akan terbuka saat siklus
menstruasi untuk melepaskan sel telur. Namun, pada beberapa kasus, folikel ini
tidak terbuka sehingga menimbulkan bendungan cairan yang nantinya akan
menjadi kista.

Kista folikuler secara tipikal kecil dan timbul dari folikel yang tidak sampai
saat menopause, sekresinya akan terlalu banyak mengandung estrogen sebagai
respon terhadap hipersekresi folikel stimulation hormon (FSH) dan luteinizing

38
hormon (LH) normalnya ditemui saat menopause berdiameter 1 -10 cm (folikel
normal berukuran maksimum 2,5 cm); berasal dari folikel ovarium yang gagal
mengalami involusi atau gagal meresorpsi cairan. Dapat multipel dan bilateral.
Biasanya asimtomatik atau tanpa gejala 14.

Kista granulosa lutein yang terjadi di dalam korpus luteum indung telur
yang fungsional dan membesar bukan karena tumor, disebabkan oleh penimbunan
darah yang berlebihan saat fase pendarahan dari siklus menstruasi.

Kista teka-lutein biasanya bersifat bilateral dan berisi cairan bening,


berwarna seperti jerami; biasanya berhubungan dengan tipe lain dari tumor
indung telur, serta terapi hormon.

2.3.2 Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam pembentukan kista
ovarium.(Anurogo, 2009):
a. Pengobatan infertilitas
Pasien yang sedang diobati untuk infertilitas dengan induksi ovulasi dengan
gonadotropin atau bahan lainnya, seperti clomiphene citrate atau letrozole, dapat
membentuk kista ovary sebagai bagian dari ovarian hyperstimulation syndrome.

b. Tamoxifen

Tamoxifen dapat mengakibatkan kista ovari benigna fungsional yang


biasanya timbul setelah penghentian terapi.

c. Kehamilan

Pada wanita hamil, kista ovarium dapat terbentuk pada trimester kedua saat
kadar hCG tertinggi.

d. Hypothyroidism

Karena kemiripan antara subunit alpha thyroid-stimulating hormone (TSH)


dan hCG, hipotirodisme dapat menstimulasi pertumbuhan kista ovarii.

39
e. Gonadotropin maternal

Efek transplasental dari gonadotropin maternal dapat menyebabkan


pembentukan dari kista ovarii neonatal dan fetal.

f. Merokok

Risiko kista ovarii fungsional meningkat dengan merokok; resiko dari


merokok mungkin meningkat lebih jauh dengan penurunan indeks massa tubuh
(IMT)

g. Ligasi tuba kista fungsional telah dihubungkan dengan sterilisasi ligasi tuba1

40
BAB 3
LAPORAN ANESTESI

3.1 Ilustrasi Kasus


Laporan kasus ini membahas pasien seorang perempuan, usia tahun
dengan diagnosis Mioma Uteri dan Kista Ovarium, jenis tindakan pembedahan
TAH USO dengan rencana anastesi spinal.
1. Identitas Pasien
Nama Lasma
Umur 43 Tahun
Jenis kelamin Perempuan
Agama Islam
Status Menikah
Tinggi / Berat badan 160 cm / 60 kg
No. RM 397626
Tanggal Masuk 11 Mei 2023
Tanggal Operasi 15 Mei 2023

2. Anamnesis
Keluhan utama : Perut Membesar
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan perut membesar,
yang dialami selama 3 bulan terakhir, pasien juga
mengeluhkan haidnya tidak teratur dan siklusnya
memanjang.
BAK :

41
BAB :
RPK :
RPT :
RPO :

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat sakit serupa : tidak dijumpai
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Asma : disangkal
 Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal
 Diabetes : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 Penyakit paru : disangkal
 Kejang : disangkal
 Penyakit hati : disangkal
 Penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat operasi dan anestesi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
 Merokok : tidak dijumpai
 Minum alkohol : tidak dijumpai
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

42
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : kg
TB : cm
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/i
Suhu : 36,5 0C
Pernapasan : 18 x/i
STATUS GENERALISATA
a. Kulit : Dalam batas normal
b. Kepala : Normosefali
Mata : konjungtiva anemis(+/+), sclera ikterik (-/-).
Hidung : tidak ada polip, perdarahan, maupun deviasi
septum
Mulut :
c. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, tidak terdapat struma, sikatrik.
d. Toraks
Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : Dinding dada simetris statis-dinamis, tidak ada
retraksi maupun ketertinggalan gerak. Vokal
fremitus kanan kiri sama kuat. Sonor kedua lapang
paru. Suara napas vesikuler, tidak terdengar ronkhi
maupun wheezing di kedua lapang paru.
e. Abdomen : Perut membesar (+), nyeri tekan(-), peristaltik (+).
f. Genitalia : Tidak ada kelainan.
g. Ekstremitas : Akral hangat, odem (-), fraktur (-)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 Hematologi

43
 HGB : g/dl (N: 12-14 gr/dl)
 HCT : % (N : 36-48 %)
 RBC : juta/ul (N: 4,0-5,4 juta/ul)
 WBC : /ul (N: 4000-11000/ul)
 MCV : fl (N: 80.0-97,0)
 MCH : pg (N: 27,0-33,7)
 MCHC : g/dl (N: 31,5-35,0)
 PLT : /ul (N: 150000-400000/ul)
 RDW-CV : % (N: 10,0-15,0)
 RDW-SD : fL (N: 35-47)
 PDW : fL (N: 10.0-18.0)
 MPV : fL (N: 6.5-11.0)
 P-LCR : % (N: 15,0-25,0)
 PCT : % (N: 0.2-0.5)
Kimia klinik
 Natrium :
 Kalium :
 Chlorida :
 Ureum :
 Creatinin :
 Glukosa Adrandom :

Rontgen Thoraks : Kesan Normal


CT-Scan :
EKG :
Swab PCR : Negatif
HbsAg : Non Reaktif

6. Diagnosa Kerja
Mioma Uteri, Kista Ovarium

44
7. Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
ASA
8. Rencana Tindakan
TAH USO
9. Rencana Anestesi
Spinal
10. Kesimpulan
Pasien perempuan usia tahun, berat badan kg, status fisik ASA , Mioma
Uteri dan Kista Ovarium yang akan dilakukan tindakan TAH USO, rencana
anastesi GA-ETT.
11. Dokumentasi

3.2 Persiapan Pasien


Pemeriksaan pra operatif
 Informed consent
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium maka pasien
dapat diklasifikasikan dengan ASA , yaitu seorang pasien yang normal
selain penyakit yang dioperasi
 IV line 1 jalur RL 20 tpm
 Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah general anestesi dengan teknik

Persiapan operasi
 Sebelum operasi, pasien dipersiapkan terlebih dahulu untuk puasa 6-8 jam
yang bertujuan mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi
 Memastikan infus berjalan lancar supaya obat-obatan yang diberikan
melalui jalur intravena dapat bekerja secara efektif, lalu memasang
tensimeter dan saturasi O2 agar dapat dimonitor selama operasi
berlangsung, karena anestesi spinal menghambat saraf simpatis sehingga
dapat menyebabkan hipotensi.3
 Kemudian dilakukan anestesi terhadap pasien menggunakan obat

45
 Pasien diberikan obat premedikasi yaitu
 Setelah operasi selesai, pasien diberikan
Pasien dipindahkan ke recovery room untuk dilakukan pemantauan
sebelum dibawa kembali ke ruangan.

Pemantauan Setelah Tindakan Anestesi


Dilakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang
telah dilakukan. Pemantauan dilakukan pada fungsi kardiovaskular, fungsi
respirasi, serta cairan.
- Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi
setiap 5 menit
- Respirasi : inspeksi pernapasan spontan pasien & saturasi oksigen
- Cairan : Monitoring input cairan infus.
Lampiran Monitoring Tindakan Operasi

Pukul Tindakan TD Nadi Saturasi


09.00 Pasien masuk kamar operasi, 110/70 82x/i 99%
dibaringkan di meja operasi
kemudian dilakukan
pemasangan manset di lengan
kiri atas dan pulse oxymetri di
ibu jari tangan kanan. Setelah
itu dilakukan general anestesi
09.15 108/70 76x/i 99%
10.00 130/70 87x/i 99%
10.15 110/80 80x/i 99%
10.30 120/90 77x/i 99%
11.30 Diberikan Ketorolac 30 mg 120/70 83x/i 99%

46
Operasi selesai

Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra Bedah Adenomiosis + Kista Ovarium Kanan
2. Diagnosis Pasca Bedah Post
3. Penatalaksanaan Preoperasi Infus RL 50 cc
4. Penatalaksaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : LSS
b. Jenis anestesi : Regional anestesi (spinal anestesi)
c. Teknik anestesi : Spinal
d. Mulai anestesi : 09.15 WIB
e. Mulai operasi : 09.30 WIB
f. Premedikasi :
g. Medikasi :
h. Medikasi tambahan : Ketorolac 30mg
i. Respirasi : pernapasan spontan
j. Cairan durante op : RL 50 cc
k. Selesai operasi : 11.30
Post Operatif Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan.
Observasi tanda vital:
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 120/80
Nadi : 72x/menit

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Lastiawan IKB, Natanagara GCW. SPINAL ANESTHESIA FAILURE IN


PATIENTS WITH TOTAL ABDOMINAL HYSTERECTOMY WITH
ANEMIA AND ITS MANAGEMENT: CASE REPORT. J Heal Sains p–
ISSN 2723-4339 e-ISSN 2723-6927 Vol 3, No 3, Maret 2022 SPINAL.
2022;3(3).

2. Mehta S, Menio D, Ayad S, et al. Spinal Anesthesia or General Anesthesia


for Hip Surgery in Older Adults. new Engl Med Establ 1812 Novemb 25,
2021 vol 385 no 22 Spinal. 2021;2021:2025-2035.
doi:10.1056/NEJMoa2113514

3. Lin C, Jones EL, Kaganov D, et al. Spinal Anesthesia with Targeted


Sedation based on Bispectral Index Values Compared with General
Anesthesia with Masked Bispectral Index Values to Reduce Delirium : The.
2021;(6):992-1003. doi:10.1097/ALN.0000000000004015

4. Patil A, Kulkarni M. Pre-anesthetic medications in patients undergoing


exploratory laparotomy: Results of a cross-sectional study. Asian J Pharm
Clin Res. 2018;11(3):277-279. doi:10.22159/ajpcr.2018.v11i3.23229

5. Ferré F, Martin C, Bosch L, et al. Control of Spinal Anesthesia-Induced


Hypotension in Adults Control of Spinal Anesthesia-Induced Hypotension

48
in Adults. Published online 2022. doi:10.2147/LRA.S240753

6. Liu Y, Su M, Li W, Yuan H, Yang C. Comparison of general anesthesia


with endotracheal intubation, combined spinal-epidural anesthesia, and
general anesthesia with laryngeal mask airway and nerve block for
intertrochanteric fracture surgeries in elderly patients: A retrospective
cohort study. BMC Anesthesiol. 2019;19(1):4-9. doi:10.1186/s12871-019-
0908-2

7. Soenarjo, Marwoto, Witjaksono, et al. Persiapan Preanestesi. In: Soenarjo,


Jatmiko HD, eds. Anestesiologi. 2nd ed. Perdatin Jawa Tengah; 2015:95-
110.

8. ASA. ASA Physical Status Classification System. American Society of


Anesthesiologists; 2020.

9. John F. Butterworth, Mackey DC, Wasnick JD. Preoperative Assessment,


Premedication, & Perioperative Documentation. In: Morgans & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology 5th Edition. McGraw-Hill Education; 2013:295-
308.

10. Sulastriningsih K, Yang MF, Dengan B, Mioma K, Pada U. Faktor-Faktor


Yang Berhubungan Dengan Kejadian Mioma Uteri Pada Wanita di RSUD
Pasar Rebo Tahun 2017. 2019;2(1):110-125.

11. Wulandari AD, Cahyawati PN, Kurniawan KA, Sakit R, Berdasarkan B.


HUBUNGAN USIA DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN MIOMA
UTERI DI RSUD WANGAYA DENPASAR TAHUN 2016-2017
2021;5(November).

12. Rsup DI, Kandou PRD. KARAKTERISTIK PENDERITA MIOMA


UTERI. 2019;1:1-6.

13. Rompas V, Suwartono H, Nasir M. KISTA OVARIUM NEOPLASMA


DENGAN PROLAPS RAHIM: LAPORAN KASUS NEOPLASMA
OVARIAN CYST WITH UTERIN PROLAPSE: CASE REPORT. Med

49
Prof Program, Fac Med Tadulako Univ Palu, Indones 94118 2Department
Obstet Gynecol Undata Gen Hosp – Palu, Indones 94118 3Departement
Soc Heal Sci Bioeth Med Law, Facul. 2023;5(1):20-26.

14. Nurmansyah, Djemi. Sebuah Laporan Kasus: Kista Ovarium. Med Prof
Program, Fac Med Univ Tadulako – Palu, Indones – 94118 2Departement
Obstet Gynecol Hosp – Anutapura Hosp Palu,INDONESIA,94111
3Departement Res Trop Dis Traumatol F. 2019;3(3):226-229.

50

Anda mungkin juga menyukai